EDITORIAL

Kuali Besar

Oleh Ady Amar - Kolumnis  KUALI besar itu sudah disiapkan guna menyambut pesta rakyat. Berharap pesta akan semarak. Waktu pesta memang masih sekitar setahunan, tapi kuali besar itu sudah disiapkan. Sang Chef muncul dengan wajah semringah. Suasana seperti ini memang yang sedang dinantikannya. Meski situasi itu muncul lebih karena desakan bercampur kemarahan yang ditumpahkan, hingga ia perlu menghadirkan kuali besar. Tidak tanggung-tanggung, Sang Chef yang menghadirkan kuali besar itu adalah Presiden Jokowi. Ia memang punya bakat menghidangkan hidangan dengan cara tidak biasa. Kuali besar itu sepertinya sejak lama dirancangnya, dan menjadi ngegas saat FIFA memastikan perhelatan sepak bola Piala Dunia U-20 di Indonesia dibatalkan. Jokowi tampak \"marah\" meski publik susah bisa melihat ekspresi kemarahan ditampakkan wajahnya. Digagalkannya PD U-20 itu menyodok emosi Jokowi dengan cara yang dipilihnya. Dan seperti biasanya, ia membalas dengan caranya. Penyebab utamanya memang partainya sendiri, yang menolak kehadiran tim Israel. Meski ia presiden dua periode, tetap saja menempel gelaran tak mengenakkan dan yang tak mau pergi, petugas partai. Ya petugas partai, itu yang pernah dinyatakan Ketua Umum PDIP Megawati Sukarnoputri, meski apa pun jabatannya di PDIP ia tetaplah petugas partai. Karenanya, ia tak mampu frontal melawan partainya. PDIP lewat dua orang gubernurnya menolak kedatangan tim sepak bola Israel untuk bertanding di wilayahnya: Gubernur Bali I Wayan Koster, dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Tidak bisa dibayangkan kesumpekan hati Jokowi. PD U-20 yang digadang-gadang sejak lama, berharap itu jadi legacy bahwa dirinya pernah menghadirkan perhelatan akbar, itu buyar berantakan. Mimpi Jokowi seperti dikubur partainya sendiri. Dua gubernur itu, sebelum memutuskan menolak tim sepak bola Israel, pastilah mendapat arahan agar bersikap seperti yang disuarakan partai, yaitu menolak kedatangan tim PD U-20. Ganjar tentu beda dengan Koster. Ganjar lebih punya beban berat antara bersikap menolak atau meski diam saja, itu bisa diartikan setuju atas kedatangan tim Israel. Ganjar memang digadang-gadang Jokowi untuk pelanjut suksesinya, dan karenanya pastilah berada dalam kebimbangan sangat. Sebagai petugas partai, memilih sikap berbeda dengan PDIP, itu hal mustahil. Menuruti \"permintaan\" partai, itu tanda kesetiaan tapi punya beban risiko yang mesti diterimanya. Ganjar dipaksa untuk berhadapan dengan Jokowi, dan pasti itu menjadikannya menjauh dari pusaran Jokowi. Menjadikan Jokowi berpaling darinya. Meski tersirat Jokowi membalas dengan caranya, dan itu dengan menyiapkan kuali besar sebagai bentuk perlawanan dengan PDIP, bahkan berhadapan dengan orang yang membesarkannya, Megawati. Apa boleh buat jika itu mesti dilakukannya, dan bahkan jika mesti berpisah dengan masa lalunya. Lelaki kurus cengkering yang dipilih karena kasihan kata Megawati, itu menunjukkan taringnya melawan dengan menghadirkan kuali besar. Dan, ia sendiri tampil sebagai Sang Chef. Kuali besar itu memang sudah dihadirkan, meski masih prematur. Rumah PAN dipilih untuk menghadirkannya, yang pada saatnya akan dihidangkan, atau bahasa lain dikukuhkan menjadi satu kekuatan untuk diuji pada waktunya. Disebut prematur itu lebih terlihat sebagai gagasan Sang Chef sendiri menghadirkan kuali besar sebagai kekuatan, dan itu belum tentu jadi keinginan bersama antarpartai.  Hadir dalam acara yang dibungkus silaturahmi itu, tentu PAN sendiri sebagai tuan rumah. Ada pula kawan PAN yang lain, yang sebelumnya tergabung dalam kuali kecil ikut hadir, Golkar dan PPP. Mereka biasa disebut Koalisi Indonesia Bersatu (KIB). Ada pula kuali kecil lainnya, Gerindra dan PKB, disebut koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KIR). Dua \"kuali kecil\" tadi disatukan Sang Chef lewat ambisinya menghadirkan kuali besar. Buat Sang Chef, menyatukan 5 partai itu bukanlah perkara sulit. Semua seperti dibuat nurut perintahnya, meski sejatinya ia cuma petugas partai yang kebetulan menjadi presiden. Tahap itu tepat jika disebut sekadar kumpul-kumpul, belum sampai bicara strategi pemenangan, atau siapa nantinya yang diharap bisa menggantikan peran Sang Chef, dan siapa yang jadi asisten Sang Chef. Kuali kecil bernama KIB, menawarkan Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto, yang berharap bisa dicalonkan menggantikan Chef Jokowi. Sedang kuali kecil yang lain, koalisi KIR, berharap Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto, bisa dicalonkan sebagai pengganti Chef Jokowi. Sedang Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar, berharap dirinya yang dicalonkan sebagai asisten Chef. Sedang PAN dan PPP tidak mencalonkan siapa-siapa. Sepertinya pasrah saja dengan nasibnya, yang penting ikut apa kata Chef Jokowi. Hanya saja kehadiran PAN dan PPP tetap diperlukan, setidaknya untuk sama-sama menghadirkan kuali besar, meski dengan risiko masa depan partai yang tidak mustahil akan lumat, dan cuma bisa dikenang sejarah. Kuali besar ini tentu belum bisa dipastikan bertahan sampai 2024. Banyak kesulitan akan muncul jika menyangkut kepentingan antarpartai. Yang muncul dikedepankan adalah hasrat partai. Dan, itu jadi kesulitan tersendiri Sang Chef menemukan titik temu dalam berbagai kepentingan--memang baru kali ini dalam sejarah suksesi kepemimpinan nasional seorang Chef yang akan purna tugas ikut cawe-cawe, atur-mengatur siapa titisan yang lebih kurang sama dengan dirinya, yang pantas menggantikannya. Kuali besar yang dihadirkan Chef Jokowi itu sebenarnya lebih pada gerakan reaktif yang lebih diri ingin tunjukkan, utamanya pada PDIP, pihak  yang dianggap menjegalnya, bahwa saya dengan kuasa yang ada bisa mengatur-atur bahkan mengobok-obok partai sesukanya. Tentu tidak semua partai mampu ditundukkannya.  Beberapa partai yang memang sedari awal menjaga jarak dengannya, dan juga partai yang memilih berpisah dengannya, mencukupkan kerjasama sampai 2024, bahkan sudah membuat kualinya sendiri. Meski kuali tidak terlalu besar, lebih ramping, tapi punya visi restorasi atau perubahan yang sama. Punya kemistri yang sama. Tiga partai berkumpul dalam Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP): NasDem, Demokrat dan PKS. Koalisi ini bahkan dinilai lebih maju, bahkan telah mendeklarasikan Bakal Calon Presidennya (Bacapres), Anies Rasyid Baswedan. Kuali besar memang hadir lebih pada maunya Chef Jokowi, sedang partai-partai yang dikumpulkannya itu seperti hanya ikut saja. Tapi pada waktunya partai-partai itu akan tunjukkan sikap partainya masing-masing. Tentu bersikap untuk masa depan partainya. Jika saat ini Chef Jokowi seperti mudah mengumpulkan mereka dalam satu genggaman, tapi itu tidak pada saat nanti. Semua akan berpencar mencari jalannya sendiri, tak lagi segan meninggalkan Chef Jokowi sendirian, bahkan tanpa hormat. Politik itu memang kepentingan, bukan seperti memasak tengkleng dalam kuali besar.**

Kurang Sengsara Apa Lagi Bangsa Ini?

SIAPA hari ini yang tidak mengeluh kesulitan pangan, pekerjaan, dan papan? Hampir semua mengeluh, tapi tak mau mengungkapkannya. Mungkin gengsi, harga diri tinggi. Mari kita putar lamunan kita pada awal 1998. Kaum yang mengklaim reformis menuduh Soeharto sang diktator. Kekuasaannya mencapai 32 tahun, jika tidak dihentikan, ia bisa berkuasa seumur hidup. Oleh karenanya langkah Soeharto harus dihentikan. Maka proses penjatuhan Soeharto pun didiskusikan. Orasi, brosur, pamflet dan buku-buku disebar. Isinya tentang Korupsi, Kolusi, Nepotisme Soeharto dan kroninya. Soeharto dituduh menumpuk kekayaan. Hartanya tersebar dari dalam hingga ke luar negeri. BUMN dikangangki, PNS dikebiri, ABRI dikuasai dan Yayasan-yayasan dialihfungsi. Masyarakat jadi paham. Hati mereka terhenyak. Kesadaran terbangun. Dan marah. Mahasiswa bergerak. Demonstrasi di mana-mana. Kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah luntur, terkikis habis. Kejadian ini terus berlangsung secara sporadis di beberapa wilayah, utamanya Jakarta, Medan, Bandung, Jogjakarta, Surabaya, dan Makassar.  Puncaknya masyarakat dan mahasiswa berhasil menduduki gedung DPR RI. Mereka mendesak Ketua MPR untuk mencabut mandat terhadap Soeharto. Harmoko sang Ketua MPR anak manis piaraan Soeharto berpihak pada mahasiswa. Pada saat yang bersamaan 17 menteri di bawah provokasi Ginandjar Kartasasmita mundur dari Kabinet Pembangunan VII. Akhirnya Soeharto menyatakan mengundurkan diri pada 21 Mei 1998. Ia membacakan teks, disusun oleh Yusril Ihza Mahendra yang kini juga sebagai kaum reformis. Mahasiswa bersorak sorai. Masyarakat bergembira. Aneka polah dipertontonkan merayakan kemenangan, mirip anak SMA lulus sekolah yang bajunya dipilox. Sang diktator telah mundur. Langkah berikutnya undang-undang diubah, era baru telah datang, politisi bagi-bagi kekuasaan. Kini era reformasi tengah berjalan. Presiden berganti, kabinet bergiliran, gubernur dan bupati bergantian. Mereka menikmati kekuasaan. Saking nikmatnya, hasrat berkuasa makin merajalela. Presiden ingin berkuasa lagi, meski konstitusi membatasi. Mereka lupa amanat penderitaan rakyat. Rakyat kini tak mendapatkan keuntungan apapun dari proses reformasi. Apa apa yang dulu ditentang di zaman Orba, kini ditiru oleh kaum reformis. Apa apa yang dulu  diharamkan, sekarang dihalalkan. Korupsi yang dulu jadi musuh, sekarang jadi sahabat. Kolusi yang dulu dibenci, sekarang dipuji. Nepotisme yang dulu dihujat, sekarang dijiplak.  Apa yang didapat oleh rakyat dari proses reformasi, tidak ada. Rakyat makin sengsara. Rakyat terkena prank penguasa. Jika dulu masih ada subsidi, sekarang gigit jari. Jika dulu masih ada sekolah gratis buat orang miskin, sekarang justru dihujat, siapa suruh kamu miskin. Mau pintar? Bayar! Sadis. Dulu seorang penjual bubur bisa naik haji. Sekarang penjual bubur tak bisa jualan lagi. Gas mahal, beras mahal, listrik mahal, lapak mahal. Boro-boro ke tanah suci. Jika dulu anak petani, nelayan, dan buruh masih bisa sekolah, sekarang mereka disuruh duduk manis di rumah menunggu BLT datang. Ngalap berkah. Proses pembodohan terus berjalan. Bangunlah jiwanya bangunlah badannya. Namun jiwa rakyat telah dininabobokkan oleh uluran tangan penguasa. Ia menjadi pengendali jiwa-jiwa kerdil, mengharap pemberian dan belas kasihan. Otak mereka dicuci untuk selalu nrimo bahwa negara sudah ada yang mengurusi, jangan banyak mimpi. Ketakutan disebar, kekhawatiran diumbar: jangan sampai Indonesia jadi bar bar seperti Suriah, Irak, dan negara negara Arab lainnya. Stempel Kadrun disematkan. Akibatnya sebagian masyarakat jadi apatis, lemah dan tak berdaya. Mereka ikut membenci saudaranya sendiri oleh gerombolan pengadudomba yang dibiayai. Sadarlah wahai bangsaku. Kekuatanmu telah dipecah belah. Saatnya bersatu melawan para pengkhianat bangsa. Kaum reformis tak lebih baik dari Orba. Mereka hanya follower belaka. Wahai Ketua MPR, anda gak lebih gentleman ketimbang Harmoko. Wahai para  menteri, anda tak lebih cerdas dari Ginanjar Kartasasmita. Wahai penguasa, nikmatmu tak akan lama, apalagi jika kau peroleh dari darah rakyat. Wahai rakyat, perubahan tak akan datang hanya dengan berpangku tangan. Jika cara-cara normal tak memungkinkan, gunakan cara-cara abnormal, keduanya sama-sama konstitusional.  Stop jadi jongos ekonomi dan politik rezim taipan oligarki. Sekarang saatnya bergerak : It\'s now or never. Tomorrow will be to late. Rotten fish from its head (Sekarang atau tidak pernah. Besok atau terlambat. Ikan busuk dari kepalanya).  \"When justice fails, public opinion takes over. When the law is lost in the extremes of legalism, or bends under the weight of money, mobs begin to burn and murder.” (Ketika keadilan gagal, opini publik mengambil alih. Ketika hukum tersesat pada kejumudan Undang-Undang atau bengkok karena uang, massa mulai akan membakar dan membunuh). Cepat atau lambat rakyat dengan caranya sendiri sendiri pasti akan bangkit melawan. (*)

Batalkan Putusan PN Jakpus

Oleh M Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan SAMBIL menunggu proses kerja Komisi Yudisial yang konon akan memeriksa tiga Hakim yang mengadili Perkara Perdata No 757/Pdt.G/2022/PN Jkt Pst, maka proses hukum berlanjut menuju Pengadilan Tinggi Jakarta. KPU menyatakan akan Banding. Pengadilan Tinggi berwenang melakukan \"pemeriksaan ulang sepenuhnya\" atas bukti, pertimbangan maupun Putusan Pengadilan Negeri.  Ada tiga hal kekacauan fatal Putusan PN yang harus diuji dan menjadi dasar pembatalan yaitu penundaan Pemilu yang di luar kewenangan PN (kompetensi absolut), Putusan serta merta (uitvoerbaar bij voorraad) yang tidak berdalil kuat, serta ganti rugi KPU 500 Juta yang tidak beralas bukti. Ditambah dengan kewajiban menggali \"nilai-nilai yang hidup di masyarakat\"  yang tidak dilakukan oleh Majelis Hakim PN Jakpus.  Sudah semestinya Pengadilan Tinggi Jakarta  membatalkan Putusan Pengadilan Negeri  Jakarta Pusat.  Kasus \"sengketa\" KPU dan Partai Prima itu masih menunggu Putusan Pengadilan Tinggi. Nuansa \"liciknya\" adalah butir amar \"serta merta\" yang mengindikasi adanya disain penundaan secara  sistematis. Hukum yang menjadi alat dari kepentingan politik.  Jika PT membatalkan Putusan No 757/Pdt.G/2022/PN Jkt. Pst, maka PT benar-benar menjalankan prinsip keadilan sebagaimana yang dirasakan oleh masyarakat. Pemilu tidak ditunda, proses berlanjut.  Sebaliknya, jika PT Jakarta menguatkan Putusan PN Jakarta Pusat maka hal itu menjadi bukti bahwa disain penundaan Pemilu memang benar adanya.  Untuk penegakan hukum yang ternyata bengkok maka hukum dinilai tidak menjadi solusi atau harapan. Kekuatan riel rakyat bukan mustahil menjadi jalan terakhir. Isu gerakan people power atas penundaan Pemilu dapat menjadi kenyataan. Implikasi atau konsekuensinya bukan sekedar tekanan pada lembaga Peradilan tetapi juga rezim.  Rezim Jokowi sudah banyak melakukan kesalahan yang mendapat reaksi masyarakat. Sejak UU KPK, Omnibus Law, pelanggaran HAM berat, Kereta Cepat hingga IKN. Tapi semua itu belum menjadi momentum bagi perubahan. Momentum itu terus ditunggu dan diraba.  Nah, penundaan Pemilu atau perpanjangan masa jabatan Presiden potensial untuk menjadi momentum bagi aksi besar pelampiasan kejengkelan rakyat. Kulminasi dari aksi atau gerakan perubahan.  Jokowi menjadi musuh rakyat. Penundaan Pemilu ditengarai sebagai kemauan dan disain Istana. Agenda yang sudah dirancang lama walau dengan berjuta bantahan.  Masalah utamanya adalah, siapa yang masih percaya pada perkataan dan bantahan Jokowi?  Bandung, 5 Maret 2023

Pertemuan Habib Rizieq dan Anies Isyarat Dukungan Capres 2024.

ANIES Baswedan orang yang berani dan tegas. Jika tidak demikian, mana mungkin Gubernur DKI Jakarta itu datang menghadiri peringatan Maulid Nabi Muhammad Sollollohu \'Alaihi Wassallam di Markas Front Persaudaraan Islam (FPI), kawasan Petamburan, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Keberanian itu ia tunjukkan dengan mendatangi kediaman Habib Rizieq Syihab (HRS). Itu terjadi pada Jum\'at malam, 7 Oktober 2022. Ia datang sendirian tanpa pengawalan yang ketat. Mantan Menteri Pendidikan Nasional itu hadir di tempat itu sekaligus memenuhi undangan pernikahan putri HRS. Anies, bukan lagi sekedar Gubernur DKI Jakarta. Kini ia telah resmi menjadi Calon Presiden (Capres) 2024 yang diusung Partai NasDem, partai yang masuk dalam koalisi pemerintahan Joko Widodo-Ma\'ruf Amin. Partai Demokrat (PD) dan Partai Keadilan Sejahtera dikabarkan segera menyusul. Pagi hari sebelum ke Petamburan, ia menyambangi Kantor Dewan Pimpinan Pusat PD, di Jalan Proklamasi, Pegangsaan, Kecamatan Menteng, Jakarta Pusat. Ia berbincang secara tertutup dengan Ketua Umum PD, Agus Harimurti Yudhoyono. Belum ada deal politik, karena pertemuan baru semacam silaturrahim. Ya, penjajagan politik atau silaturrahim politik. Sedangkan kehadirannya di Petamburan juga tidak berkaitan dengan urusan pencapresan. Anies murni datang memenuhi undangan warganya, seperti halnya dia lakukan terhadap masyarakat Jakarta yang lain. Tidak ada pembicaraan politik, apalagi deal politik dengan HRS dan pendukungnya. Meskipun demikian, kedatangannya bisa ditafsirkan penuh dengan nuansa politik. Apalagi dikaitkan dengan menangnya Anies menjadi DKI-1, antara lain berkat perjuangan HRS dan FPI yang menjungkalkan Basuki Tjahja Purnama alias Ahok yang dipenjara karena menista Alqur\'an. Akan tetapi, dari do\'a yang disampaikan HRS dan diamini jemaah yang hadir mengisyaratkan dukungan kepada Anies dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Apalagi, sudah sejak lama, rakyat menginginkan Anies menjadi presiden yang diyakini akan membawa banyak perubahan. Tidak ada kalimat yang tegas dan jelas HRS mendukung Anies menjadi Cawapres 2024. Pun juga tak ada kalimat yang jelas dan samar yang mengajak jemaah supaya mendukung mantan Rektor Universitas Paramadina itu. Yang ada, untaian do\'a. Yang ada permohonan kepada Sang Pencipta agar Anies bisa mengakhiri tugasnya sebagai Gubernur DKI  (Daerah Khusus Ibu Kota) Jakarta dengan baik.  \"Kita do\'akan Bapak doktor Anies Rasyid Baswedan bisa menyelesaikan tugasnya yang tinggal beberapa hari lagi di DKI Jakarta ini dengan husnulkhatimah,\" ujar Habib Rizieq, yang berdiri di samping Anies.  Ia mendo\'akan agar Anies diselamatkan dari orang-orang jahat dan diselamatkan dari berbagai fitnah. \"Kita mohon pada Allah agar beliau diselamatkan Allah dari makar orang-orang jahat, dari segala fitnah muslihat dan tipu daya yang ingin menjebak dan menghancurkan,\" ucapnya. Selain itu Habib Rizieq  mendo\'akan agar Anies diberi hidayah dan menjadi pemimpin yang istikamah. \"Agar Allah memberikan taufik dan hidayah kepada Bapak Gubernur kita agar tetap dan selalu menjadi pemimpin yang istikamah,\" ucapnya. Untaian do\'a\' yang dipanjatkan itu merupakan isyarat dukungan terhadap Anies menjadi Capres 2024. Kedatangannya menemui HRS, walau memenuhi undangan pernikahan putri HRS yang dirangkai dengan peringatan Maulid Nabi Muhammat, tentu bernuansa politis. Apalagi, ia dido\'akan supaya menjadi pemimpin yang mampu menegakkan HAM (Hak Azasi Manusia).

Edan, Ade Armando Pecicilan Menantang Singo Edan

BUKAN Ade Armando namanya kalau hari-harinya tidak bikin kuping masyarakat panas, dada sesak, dan hati mendidih. Melalui media sosial, dosen FISIP UI itu sering bikin gaduh mengeluarkan kata-kata tidak pantas dan cenderung mengundang keributan. Suatu sikap yang mustinya dihindari oleh seorang pendidik. Tapi Ade Armando tak mempedulikan itu. Entah karena pesanan atau target itulah yang harus ia tunaikan. Yang jelas setiap narasi yang keluar dari mulutnya, selalu melecehkan, memojokkan, dan merendahkan orang lain. Terbaru Ade Armando mengeluarkan pernyataan yang naif, kolot,  dan cenderung jahat berkaitan dengan peristiwa terbunuhnya 131 penonton sepak bola. Musibah yang menimpa Aremania itu tak membuat Ade Armando berempati. Ia justru nyinyir terhadap Suporter Arema FC Malang atau yang sering dikenal dengan Singo Edan.  Ade menuduh Aremania menjadi biang terjadinya tragedi kemanusiaan di Stadion Kanjuruhan, Malang tersebut. Coba kita telaah kalimat yang keluar dari kerongkongan Ade, \"Yang jadi pangkal masalah adalah suporter Arema yang sok jagoan melanggar semua peraturan dalam stadion dengan gaya preman masuk ke lapangan petentengan.\" Kurang ajar bukan? Tampaknya Ade berupaya bego bahwa terjadinya kematian ratusan suporter sesungguhnya akibat dari penggunaan gas air mata di dalam stadion. Ade minim pengetahuan bahwa Aremania selalu tampil sopan dan bertanggung jawab. Ade juga fakir etika bahwa Aremania punya kode etik dalam memberi dukungan pemain. Mereka jauh lebih beradab ketimbang kelakuan Ade Armando. Aremania solid sejak sebelum Ade Armando lahir telanjang ke bumi hingga dosen rasialis itu ditelanjangi di tengah lapangan sampai hari ini. Ade bukan mencari solusi, tetapi justru menyalahkan penonton yang menjadi korban keberingasan aparat. Tantangan Ade langsung direspons oleh komunitas Singo Edan. Mereka mendesak Polri  segera menangkap buzzer pemakan APBN itu. Hari Selasa (11/10/2022) Aremania akan menggeruduk kantor Polresta Kota Malang, memastikan makhluk penyebar kebencian itu dikandangi. Sebelumnya mulut beracun Ade Armando juga menyasar warga Minang, Sumatera Barat. Mereka menuntut Polda Sumbar memproses hukum pegiat media sosial yang telah menghina orang Minang dengan menyebutkan bahwa \'orang Minang lebih kadrun dari pada kadrun\' yang diucapkan pada 2020 lalu. Sakit hati massal orang Minang telah terjadi sejak dua tahun yang lalu, namun tak ada progres. Oleh karena itu, kini mereka menuntut kembali. Sesungguhnya Ade Armando telah memetik dosa atas ulahnya. Ia mengalami pengadilan rakyat dengan ditelanjangi ramai-ramai di tengah demonstrasi Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) di depan Gedung DPR/MPR RI pada 11 April 2022 lalu. Ini terjadi spontan akibat dari akumulasi ucapan Ade  yang tak patut. Jejak kebiadaban verbal bisa kita baca ulang. Di akun Facebook-nya, pada 25 Januari 2017 Ade Armando menuliskan kalimat \"Allah kan bukan orang Arab. Tentu Allah senang kalau ayat-ayatnya dibaca dengan gaya Minang, Ambon, Cina, Hiphop, Blues\". Karena unggahan tersebut ia dilaporkan ke Polda Metro Jaya. Ia pun ditetapkan sebagai tersangka sejak 2017 atas dugaan pelanggaran UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Namun, hingga lima tahun kasus tersebut mandek. Pada akhir Desember 2017, Ade Armando lagi-lagi dilaporkan ke Bareskrim Polri atas kasus dugaan tindak pidana ujaran kebencian bernuansa suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Ade mengunggah foto Habib Rizieq memakai topi Santa Claus jelang perayaan Natal. Padahal itu foto rekayasa. Pada April 2018 Ade juga dilaporkan ke polisi atas pelecehan terhadap agama Islam. Ia mencuit di media sosial dengan mengatakan adzan tidak suci. Ade mendukung Sukmawati Sukarnoputri yang menyebut kidung lebih merdu daripada azan. Bertobatkah Ade Armando? Tidak. Ia kembali secara masif memproduksi kebencian, utamanya teradap Islam. Ade Armando mengatakan bahwa sholat 5 waktu itu tidak ada dalam Alquran. Ade menantang semua pihak untuk mencoba mencari ayat dalam Al-Qur\'an yang memerintahkan Salat lima waktu. Mundur beberapa tahun sebelumnya, Ade sempat membuat pernyataan kontroversial. Pada Juli 2015 menurut Ade, LGBT itu bawaan lahir, bahkan Alquran tidak pernah melarang perilaku homoseksual. Yang dilarang adalah perilaku seks sodomi. Sudah pasti pernyataan itu memancing reaksi banyak pihak. Yang tak kalah kontroversi adalah saat Ade mengunggah meme Joker Anies Baswedan pada November 2019. \"Orang pintar milih Ahok. Orang bodoh milih Anies. Jadi kalau sekarang Ahok kalah artinya jumlah orang bodoh jauh lebih banyak daripada orang pintar. Simpelkan?,\" tulis Ade di akun Facebook miliknya. Akibatnya, ia kembali dilaporkan ke Polda Metro Jaya. Namun hingga kini, tak ada kelanjutannya. Ade adalah produsen virus. Virus kebencian yang ia semprotkan melalui media sosial. Berhasil tidaknya agenda itu, bisa dilihat dari respons masyarakat. Semakin banyak yang protes, semakin berhasil gerakan dia. Gerakan memporakporandakan kesatuan dan persatuan bangsa. Inilah kelompok yang nyata-nyata anti-NKRI. Kita lihat, apakah upaya Singo Edan mampu menghentikan arogansi Ade Armando dan gerombolannya? Atau hanya sekadar simbol meluapkan kekecewaan berjamaah belaka.   

Polisi Kok Menjadi Pembunuh Rakyat

KABAR duka itu datang dari Lapangan Sepak Bola Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur. Sebanyak 182 orang tewas dan ratusan lainnya diangkut ke rumah sakit guna mendapatkan pertolongan medis seusai pertandingan yang berlangsung Sabtu, 1 Oktober 2022 malam. Tragedi memilukan itu terjadi setelah Persebaya Surabaya menang melawan Arema FC. Kabarnya, pendukung Arema FC marah dan menyerbu lapangan, karena kesebelasan pujaannya kalah di kandang sendiri. Polisi reaktif dan menembakkan gas air mata. Maksudnya, supaya penonton bubar. Malangnya, penonton malah menjadi korban akibat saling dorong dan akhirnya terinjak-injak. Angka korban masih simpang-siur, karena ada yang menyebutkan 174 orang, 130 dan 127 orang. Jumlah tersebut bisa saja berubah-ubah. Akan tetapi, yang pasti jumlahnya di atas 100 orang, termasuk dua anggota polisi. Sebuah peristiwa \"pembunuhan massal.\" Tragedi sepak bola yang memilukan. Kita berduka atas tragedi yang  sangat memilukan itu. Apalagi, di antara korbannya banyak anak remaja dan bahkan masih ada anak kecil. Berdasarkan kabar yang beredar baik di media mainstream maupun media sosial (medsos), ada  pasangan suami-istri beserta anaknya yang tewas. Maklum, sepak bola adalah olahraga rakyat dan sangat diminati oleh banyak keluarga di Indonesia. Tragedi sepak bola! Itulah yang pantas dikatakan atas peristiwa tersebut. Kita sedih dan pilu. Kita prihatin dan marah. Kita berduka atas peristiwa yang semestinya tidak terjadi seperti itu. Andaikan aparat kepolisian tidak melakukan tindakan brutal dengan menembakkan gas air mata ke arah penonton, termasuk yang berada di tribun, jumlah korban dipastikan tidak sebanyak itu. Aparat kepolisian atas perintah atasannya - bisa Kepala Kepolisian Resor (Kapolres) setempat atau Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Jawa Timur - menembakan gas air mata sambil mengejar, menendang dan menginjak penonton yang sudah terkapar.  Ini bisa kita tonton di video yang beredar. Perintah atasan atau komandan sudah jelas. Sebab, tanpa perintah komandan, tidak mungkin polisi di lapangan menembakkan gas air mata. Tanpa ada komando, tidak mungkin mereka yang bertugas di lapangan yang rata-rata berpangkat rendah melakukan hal itu. Buktinya ada perintah menembakkan gas air mata ke arah penonton jelas. Kapolda Jawa Timur, Inspektur Jenderal Nico Afinta menyebutkan penembakan gas air mata itu sesuai prosedur. Artinya, ia menyetujui penembakan gas air mata di lapangan bola tersebut  Bahkan, diduga ia memerintahkannya. Prosedur yang mana yang sesuai? Padahal, induk organisasi sepak bola internasional FIFA (Federation International de Football Association) dengan tegas dan jelas melarang penggunaan gas air mata dalam usaha menghalau atau menghentikan keributan di lapangan bola. Apa yang dilarang FIFA tentu sangat beralasan. Bisa jadi petinggi kepolisian di negeri ini tidak mengetahuinya atau pura-pura tidak tahu. Kita marah ketika membaca maupun menonton berita peristiwa yang terjadi pada saat peringatan Hari Kesaktian Pancasila itu. Apakah petinggi polisi yang bertanggungjawab dalam peristiwa itu memiliki nurani dan Pancasialis. Kalau ia, segeralah Anda mundur dari jabatannya. Kalau tidak mundur, Anda tidak bernurani dan tidak Pancasilais. Hei Kapolda Jatim, Nico Afinta! Anda tidak cukup hanya minta maaf dan mengatakan prihatin. Anda harus jantan, segera mundur. Demikian juga Ketua Umum PSSI (Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia), Mochamad Iriawan- yang juga pensiunan polisi, segeralah mundur, sebelum FIFA menjatuhkan sanksi yang lebih berat kepada persepakbolaan nasional. Anda jangan bangga menjadi Ketua Tim Investigasi PSSI.  Harus disadari, yang terjadi di Malang itu secara tidak langsung merupakan pembunuhan massal yang dilakukan oleh anggota Kepolisian Republik Indonesia. Kok polisi yang mestinya menganyomi masyarakat, malah brutal menembakkan gas air mata. Rakyat sudah banyak yang marah dan muak atas kelakuan polisi, terutama setelah kasus pembunuhan anggota polisi Josua Hurabarat yang dilakukan oleh komplotan polisi, Irjen Ferdy Sambo. Apakah polisi yang digaji rakyat (uang APBN - Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara)  harus menjadi pembunuh?  Apakah senjata yang dipegang anggota polisi, termasuk gas air mata, yang juga dibeli dari uang rakyat diperintahkan untuk membunuh rakyat. Apakah Polri sudah berubah menjadi   \'drakula\' yang setiap saat siap membunuh rakyat?  Ayo, segera benahi institusi Polri. Singkirkan anggota polisi yang tidak merakyat. Bersihkan polisi yang masih berjiwa militer.  Mumpung rakyat masih bisa menahan diri dan baru melampiaskan amarahnya lewat medsos.

Rupiah Keok Rakyat Makin Terseok-seok

NILAI  tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terus merosot. Berdasarkan pantauan, Rabu, 28 September 2022, rupiah semakin melemah ke posisi Rp 15.250 dan bahkan sempat Rp 15.270 per dolar AS. Amblasnya nilai tukar tersebut sangat berpengaruh terhadap perekonomian Indonesia. Banyak faktor yang menyebabkan rupiah semakin keok. Tentu, biang kerok utamanya adalah krisis global yang melanda sejumlah negara. Krisis energi yang berlangsung pada saat pandemi Covid-19 (Coronavirus Disease 2019) masih belum berakhir, menyebabkan perekonomian sejumlah negara, termasuk negara maju rontok. Belum lagi perang antara Rusia dan Ukraina masih berlanjut. Pasokan bahan bakar minyak (BMM) dan gas, misalnya, menyebabkan perekonomian Inggris terseok-seok. Listrik di negara tersebut krisis.  Inggris adalah sebuah negara maju. Akan tetapi, krisis sudah sangat parah, sehingga anak sekolah pun tidak bisa makan. Sungguh menyedihkan. Nilai tukar rupiah yang terjun bebas diperkirakan terus lanjut. \"Rupiah semakin melemah karena bank-bank sentral negara OECD sedang melakukan program anti-inflasi agresif dengan menyedot akses likuiditas,\" kata pengamat ekonomi, Rizal Ramli ketika dihubungi FNN, di Jakarta, Rabu, 28 September 2022. OECD atau Organization of Economic Co-operation and Development  adalah inter-governmental organisasi yang memiliki misi  mewujudkan perekonomian global yang kuat, bersih, dan berkeadilan (a stronger, cleaner, fairer world economy). Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS akan semakin berpengaruh buruk terhadap perekonomian Indonesia. \"Inflasi pasti naik, karena banyak bahan kebutuhan makanan dan minuman yang diimpor. Sudah inflasi akibat kenakan harga BBM, akan inflasi lagi akibat melemahnya nilai tukar rupiah,\" ucapnya. Apa yang dikatakan pria yang disapa RR itu benar. Sebab, sejumlah bahan baku kebutuhan pokok Indonesia masih impor. Bahkan, BBM dan gas impor. Demikian juga kacang kecele yang menjadi bahan baku tempe dan tahu,  impor. Tempe dan tahu makanan yang dikonsumsi rakyat sehari-hari. Gandum dan tepung terigu juga impor. Padahal, menjadi bahan baku makanan berbau mi, kue, biskuit dan lainnya. Demikian juga jagung yang menjadi bahan makanan ternak ayam.  Sederet komoditas lainnya masih mengandalkan impor. Nilai rupiah yang merosot akan semakin membuat komoditas olahannya mahal. Hal itu jelas berimbas pada rakyat. Sejatinya, melemahnya nilai tukar rupiah akan menguntungkan sektor yang hasilnya diekspor. Misalnya, karet dan kelapa sawit. Akan tetapi, keadaan berbalik. Penurunan nilai tukar  rupiah tersebut semakin parah karena  ‘kelemahan struktural’ ekonomi Indonesia dan ketergantungan utang sangat besar, yang sangat rentan terhadap gejolak tingkat bunga. Akibatnya, rupiah tidak bisa menahan diri dan terjun bebas. Pelemahan nilai tukar rupiah yang cukup cepat belakangan ini akan berimbas pada situasi politik dan sosial. Sebab, menguatnya dolar AS terhadap rupiah akan semakin membuat rakyat susah. Bantuan sosial yang diberikan pemerintah tidak akan memadai. Ingat krisis ekonomi tahun 1998, antara lain karena pelemahan rupiah. Hal itu terjadi tidak lama setelah Presiden Soeharto menaikkan harga BBM. Krisis ekonomi yang berujung aksi unjuk rasa akhirnya menumbangkan Soeharto yang sudah berkuasa 32 tahun. Sekarang pun mirip terjadi. Sejak Presiden Joko Widodo (Jokowi) menaikkan harga BBM bersubsidi pada 3 September 2022 yang lalu, aksi unjuk rasa terus terjadi di hampir semua kota besar, terutama di Jakarta. Rakyat menyuarakan keberatan atas kenaikan harga BBM itu. Sebab, harga kebutuhan pokok sudah mahal sebelumnya, dan semakin mahal lagi akibat keputusan yang menindas rakyat itu. Rakyat berteriak di tengah jalan, “Turunkan Jokowi!”

Pesta Durian yang Ditunggu Rakyat

JAKARTA dalam bulan ini dibanjiri dirian. Di beberapa sudut ibu kota terlihat buah itu diperjual-belikan. Apalagi di beberapa swalayan dan tempat-tempat khusus penjualan buah-buahan, komoditas enak dan beraroma menyengat itu pasti ada, baik yang masih bulat dengan durinya maupun yang sudah dikupas dan buahnya dimasukkan kotak plastik. Pesta durian! Itulah kalimat yang sering terdengar ketika sekelompok orang asyik menikmati buah yang sebutan populernya King of Fruit (raja dari segala buah)  itu. Pesta durian bisa dilakukan langsung di lapak pedagang atau dibawa ke rumah dan dinikmati bersama keluarga. Jakarta sedang pesta durian? Ah itu hanya omongan ngebacot doang. Andaikan daerah Parung, Bogor, Banten dan daerah lainnya tidak memasoknya, pasti Jakarta tidak kebagian durian. Padahal, di Jakarta ada beberapa wilayah yang populer dengan nama duren. Ada daerah Tanjung Duren, Duren Tiga, Duren Sawit. Duren atau durian adalah kata yang bermakna sama. Wilayah  yang disebut duren di Jakarta itu sudah tidak ada lagi kebunnya. Jangankan kebun, pohon durian di wilayah ini sudah tidak ada lagi.  Sudah berubah menjadi pohon gedung dan rumah mewah. Belakangan, Duren Tiga menjadi terkenal lagi.  Akan tetapi, bukan karena ada kebun durian atau ada pasar durian maupun pesta durian di kawasan itu. Kalau mau membeli durian, lebih pas di Kasawan Kalibata, yang berjarak tidak terlalu jauh dari Duren Tiga. Duren Tiga belakangan terkenal seantero Nusantara karena ada jenderal polisi membunuh anak buahnya. Ya, Inspektur Jenderal (Irjen) Ferdy Sambo melakukan pembunuhan berencana terhadap Brigadir Josua Hutabarat. Tidak tanggung-tanggung, Sambo mengajak istrinya Putri Candrawahi bersekongkol melakukan pembunuhan berencana itu. Kasus pembunuhan itu menyeret puluhan polisi dan lima di antaranya sudah dipecat atau pemberhentian dengan  tidak hormat dari anggota polisi. Itu di Duren tiga. Pesta durian di musim durian sebenarnya masih ditunggu-tunggu rakyat. Sebab, puncaknya belum sampai. Pada saat durian membanjiri Jakarta, rakyat juga melakukan pesta jalanan. Mereka memprotes Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang seenaknya menaikkan harga BBM atau Bahan Bakar Minyak. Akibatnya, harga kebutuhan pokok yang sudah mahal, semakin mahal lagi. Tiap hari rakyat, mulai dari emak-emak, mahasiswa, kaum buruh atau pekerja, ulama, purnawirawan dan bahkan pelajar turun ke jalan. Tiga tuntutan yang mereka suarakan dengan lantang, yaitu “Turunkan harga BBM, turunkan harga kebutuhan pokok, dan tegakkan supremesi hukum.” Akan tetapi, tidak sedikit spanduk dan suara orator yang menyuarakan, “Turunkan Jokowi!” Ada lagi tulisan, “BBM Naik, Ente Turun!” Para pendemo tidak bosan dan lelah dalam menghadapi rezim Jokowi yang dinilai semena-mena terhadap rakyat. Tiap hari mereka ‘pesta jalanan’. Mereka menyebut dirinya sebagai “Parlemen Jalanan,” karena parlemen yang sesungguhnya (DPR) sudah menjadi tempat bisu. Meski begitu, mereka tetap silih berganti mendatangi gedung Parlemen,  yang berada di Senayan, Jakarta Pusat itu. Selain gedung DPR, sasaran mereka adalah Istana Kepresidenan, di kawasan Monas, Jakarta Pusat. Hanya saja, pendemo tidak bisa masuk, akibat blokade ketat yang dilakukan aparat kepolisian, baik dengan menggunakan kawat berduri maupun barrier beton, yang belakangan dimensinya dibuat lebih tinggi dan tebal dari ukuran semula. Beberapa kali barrier beton dan kawan berduri berhasil dijebol para pendemo. Akan tetapi, mereka belum berhasil menembus blokade aparat kepolisian. Bentrok pun tidak bisa dihindari. Beberapa mahasiswa luka-luka, karena mereka jatuh didorong kembali ke arah kawat berduri yang sudah dijebol. Kegigihan para pendemo yang tidak bosan-bosanya turun ke jalan harus diakui semua pihak. Kita harus memberikan dukungan dan semangat agar perjuangan mereka bisa terwujud. Mereka berteriak dengan suara lantang, baik dikala panas terik maupun hujan. Mereka tidak bosan menyuarakan kepedihan rakyat. Hampir sama dengan pedagang durian yang tidak bosan-bosan menawarkan dagangannya. Jika durian sudah turun dari pohonnya, Jokowi pun diharapkan segera lengser dari jabatannya. Rakyat sudah muak dan bosan atas berbagai kebohongan dan tipu-tipunya. Bahkan adu-domba yang dilakukannya terhadap sesama anak bangsa. Rakyat sedang menunggu pesta durian yang lebih besar. Rakyat menanti perubahan yang bisa menjadikan bangsa ini menjadi besar dan jaya.*

Vonis Edy Mulyadi, Hakim Bernurani dan Jaminan Kebebasan Pers

KETUKAN palu Ketua Majelis Hakim, Adeng Abdul Kohar dari ruang sidang Muhammad Hatta Ali, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin 12 September 2022 sangat melegakan hati. Hakim benar-benar masih punya nurani. Sangat berbeda dengan polisi yang menangkap Edy Mulyadi dan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang membegal hati nurani dan membegal hukum. Padahal, polisi dan jaksa adalah bagian dari aparatur penegak hukum. Bahkan, jaksa sejak awal antara lain mendakwa Edy bukan wartawan dan FNN tidak berizin. Kok izin? JPU pun menuntutnya 4 tahun penjara. Sebuah tuntutan yang tidak masuk akal, kecuali bagi mereka yang kerasukan jin. Oleh majelis hakim, Edy dijatuhi vonis sesuai masa tahanan, tujuh bulan 15 hari. Perintah majelis, ia juga harus dibebaskan. Ya, berdasarkan putusan itu, Edy harus segera menghirup udara, berkumpul dengan keluarga dan bertemu dengan sahabat, serta para penggemarnya. Wartawan senior FNN itu segera menghirup udara bebas sejak ditahan 31 Januari 2022 yang lalu. Ya, penahanan yang dilakukan semena-mena, tanpa terlebih dahulu polisi mengarahkan persoalan Edy ke Dewan Pers. Padahal, masalah yang terjadi adalah sengketa pers. Tidak ada hak jawab dan koreksi yang dialamatkan ke FNN oleh mereka yang merasa keberatan atas video Edy itu. Pokoknya, \'jin buang anak\', itu harus dijadikan masalah. Edy sendiri menjadi korban karena dia sudah lama ditarget berkaitan dengan investigasinya dalam kasus pembantaian enam laskar Front Pembela Islam (sekarang Front Persaudaraan Islam-FPI) yang mengawal Habib Rizieq Syihab, yang terkenal dengan peristiwa KM 50. Sebenarnya, sejak awal, perkara yang dialamatkan ke Edy itu adalah rekayasa jahat oleh penguasa, yang diperintahkan kepada polisi. Anda tidak percaya? Buktinya, baru sekali diperiksa, sudah langsung ditahan. Sedangkan Putri Candrawathi yang juga menjadi tersangka pembunuhan berencana bersama suaminya Ferdy Sambo terhadap Josua Hurabarat, sudah dua kali diperiksa,  tetapi masih bebas menghirup udara. Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Polri, khususnya bagian cyber terlalu memaksakan kasus tersebut hingga menjadikan Edy tersangka dan langsung ditahan. Jin buang anak yang menjadi malapetaka bagi Edy, jelas tidak masuk akal dan menjadikan aparat penegak hukum menjadi alat penguasa Semua tahu dan maklum, kalimat tersebut tidak memiliki konotasi negatif. Kalimat tersebut hanya mengambarkan sebuah tempat yang sepi, jauh dari keramaian. Tetapi, polisi gelap mata dan memaksa Edy menjadi tersangka dan langsung ditahan sejak Senin, 31 Januari 2022. Nuansa politik sangat kental dalam kasus ini. Edy adalah wartawan senior FNN, yang sudah malang-melintang di beberapa media besar dan resmi. Edy bukan wartawan abal-abal. Intinya, Edy menjadi terdakwa bukan karena kalimat ‘jin buang anak’. Akan tetapi, di video itu ia mengkritisi habis-habisan pembangunan calon Ibu Kota Baru (IKN) di Kalimantan Timur yang akan menghabiskan anggaran ratusan triliun. Sebagai wartawan senior, Edy kerap membuat tulisan maupun video yang mengkritisi kebijakan pemerintah yang memberatkan rakyat. Misalnya, tulisannya berjudul; “Kereta Cepat Jakarta-Bandung untuk Siapa?” yang dimuat di FNN.co.id sudah dibuka lebih dari 20.000 kali. Belum yang disebar di media sosial lainnya. Sekali lagi, kita apresiasi putusan hakim terhadap Edy. Sebab, putusan itu juga sekaligus memberikan angin segar terhadap dunia pers. Jika mau jujur, seandainya Edy tidak sempat ditahan, majelis hakim akan memvonis bebas. Vonis itu membuat ruang pers bernapas lega. Andaikan vonisnya berat, itu pertanda mulai matinya kebebasan pers. Jika divonis lebih berat, bukan tidak mungkin banyak wartawan akan semakin mudah di-Edy-kan. Ya, akan ada sederet wartawan yang dihukum penjara. Padahal, tugas mereka bukan membela penguasa, tetapi menyampaikan kebenaran. Vonis tersebut juga membuat kebebasan pers yang bertanggungjawab terjamin dan terjaga. (*)

Novum Baru Pembantaian Enam Laskar FPI Ada di Kantor Polisi

KETERANGAN Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri), Jenderal Listyo Sigit Prabowo tentang pembunuhan enam pengawal Habib Rizieq Syihab menarik dicermati. Ia mengatakan, peristiwa yang terjadi di Jalan Tol Jakarta-Cikampek Km 50, pada 7 Desember 2020 itu akan diproses kembali jika ada bukti baru atau novum.  \"Terkait  dengan Km 50, saat ini sudah berproses di pengadilan. Memang sudah ada keputusan, dan jaksa juga sedang mengajukan banding terhadap kasus tersebut. Tentunya kami juga menunggu, \" kata Sigit dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR, di gedung Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu,  24 Agustus 2022. Kasus Km 50 kembali mengemuka setelah peristiwa pembunuhan terhadap anggota polisi Brigadir Josua Hutabarat yang juga dilakukan polisi. Pembunuhan berencana terhadap Josua diotaki oleh Inspektur Jenderal Ferdy,  Sambo yang sudah diberhentikan dengan tidak hormat sebagai anggota polisi (meski ia masih banding), dan juga istrinya Putri Candrawathi. Saat melakukan pembunuhan, Sambo menjabat sebagai Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) Polri. Kasus pembunuhan terhadap Josua dan enam laskar FPI di Km 50 hampir mirip. Mulai dari keterangan pers yang direkayasa dan penghilangan kamera pengintai atau CCTV. Pasangan suami-istri tersebut telah ditetapkan sebagai tersangka kasus pembunuhan berencana. Dua anggota polisi dan seorang sipil juga ditetapkan jadi tersangka. Enam perwira juga menjadi tersangka pelanggaran pidana menghalang-halangi proses hukum atau obstruction of justice terkait kasus tersebut. Sederet anggoga polisi lainnya ditempatkan di ruang khusus karena pelanggaran etika dan sebagian besar kemungkinan kena pidana. Kembali ke ucapan Listyo Sigit mengenai kasus Km 50, maka pertanyaannya adalah novum yang bagaimana yang diharapkan? Kasusnya, mirip dengan pembunuhan Josua, berupa usaha menghilangkan kamera pengintai atau CCTV/Closed Circuit Television.  Mari gunakan akal sehat menelusuri peristiwa Km 50 itu. Pertama, beberapa waktu setelah pembunuhan enam laskar Front Pembela Islam (FPI) - kini berganti nama Front Persaudaraan Islam - itu, rest area atau tempat istirahat tersebut sudah rata dengan tanah. Pertanyaannya, kenapa tiba-tiba dibongkar? Meskipun ada keterangan dari pihak PT Jasa Marga, pembongkaran sudah direncanakan sebelum peristiwa tersebut, namun tetap terasa janggal dan penuh misteri. Ya, kalaupun benar sudah direncanakan mau dibongkar, ya tunggu tiga sampai empat bulan tentu akan lebih nyaman dan tidak menjadi pertanyaan masyarakat, khususnya pengurus, anggota dan simpatisan organisasi yang telah dibubarkan pemerintah itu. Lebih khusus lagi, dari keluarga besar enam laskar tersebut. Lalu, siapa yang meminta atau memerintahkan supaya tempat tersebut segera dibongkar? Kedua, CCTV yang ada di jalan tol menuju Km 50 dan di lokasi kejadian, katanya, rusak, mati, kena gangguan.  Kok bisa terjadi kerusakan secara bersamaan? Perlu diselidiki lagi, siapa yang merusak atau atas perintah siapa, sehingga seluruh CCTV tidak hidup. Untung tidak ada peristiwa besar lainnya yang terjadi pada waktu  hampir bersamaan. Ketiga, enam HP atau telefon genggam laskar yang dibunuh hilang. Sampai sekarang, belum ditemukan/dikembalikan atau dijadikan alat bukti di persidangan. Ke mana dan di mana HP itu sekarang? Kalau hilang, siapa yang menghilangkan? Siapa yang meminta atau merampasnya dari tangan laskar?  Keempat, keberadaan mobil Landcruiser hitam di Km 50.  Ada saksi mata yang melihat, begitu penumpang turun, para polisi yang berada di lokasi langsung memberi hormat. Ada semacam breefing atau pengarahan dari orang tersebut kepada sejumlah anggota polisi di tempat itu.  Siapa penumpang yang turun dari mobil tersebut? Rasanya tidak masuk akal jika orang tersebut berpangkat rendah. Dapat dipastikan, penumpang Landcruiser itu orang berpengaruh dan memiliki posisi penting di kepolisian atau penegak hukum. Listyo Sigit, tentu mudah melacaknya, jika ada kemauan dan kesungguhan membongkar tuntas peristiwa Km 50 itu. Kelima, ketika kendaraan yang ditumpangi HRS dan keluarga dipepet mobil yang tidak menggunakan plat nomor dinas polisi, seseorang berpakaian preman (tidak pakai seragam polisi) sempat mengeluarkan tangannya yang penuh tato ke mobil menantu HRS, Muhmamad Hanif. Hal itu terjadi ketika mobil yang ditumpangi Hanif mencoba menghalangi agar tidak memepet mobil HRS. Siapa orang itu? Coba Pak Listyo diselidiki, itu polisi bertugas di mana?  Mudah juga menelusurinya. Berapa orang anggota polisi bertato seperti itu? Apalagi dalam kasus Josua, ada seorang polisi yang berfoto dengan Sambo (bersama ajudan lainnya) yang tangannya bertato juga. Cuma satu orang dan berjambang saat difoto. Itulah sekedar masukan buat  Listyo Sigit. Jika ada kemauan, tidak usah menunggu bukti baru. Lima hal di atas saja, bisa menjadi novum, atau menjadi dasar penyelidikan dan penyidikan. Masih ada beberapa hal lainnya yang bisa dijadikan novum. Apalagi, peristiwa penembakan enam laskar FPI itu diduga dilakukan oleh anggota polisi yang berada pada Satuan Tugas Khusus (Satgasus) Merah Putih  yang kini sudah dibubarkan. Kepala Satgasus saat peristiwa Km 50 adalah Ferdy Sambo. Tahun 2021, Brigadir Jenderal (Brigjen) Hendra Kurniawan, anak buah Sambo di Divisi Propam  terlibat dalam tim khusus pencari fakta  kasus Km 50. Hendra ikut bersama Kapolda Metro Jaya, Irjen Fadil Imran dan Pangdam Jaya, Dudung Abdurachman saat menggelar jumpa pers peristiwa penembakan laskar itu. Hendra juga bagian dari Satgasus. Ayo dong Pak Listyo Sigit. Sebenarnya, dari nurani yang dalam, Anda tahu semua itu.