ENERGI

Menelisik Motif Di Balik Gugatan Atas Impor LNG Pertamina

Oleh Marwan Batubara *) BEBERAPA bulan terakhir berita dan opini mempermasalahkan impor LNG oleh Pertamina (dari Amerika/Cheniere dan Mozambique) beredar cukup luas di media. Inti berita adalah menyoal kesalahan kebijakan dan dugaan korupsi di balik impor LNG tersebut. Sehingga, para nara sumber berita menuntut agar pihak yang terlibat diproses secara hukum. Tulisan ini tidak bermaksud mengamankan siapapun agar terhindar dari proses hukum. Apalagi jika yang bersangkutan diduga terlibat korupsi. Namun karena berita terkesan tendensuius dan tidak akurat, maka IRESS perlu mengungkap permasalahan seputar impor LNG, terutama guna mengamankan bisnis BUMN dan menjaga kredibilitas Indonesia sebagai salah satu pioner bisnis LNG di dunia. Sejarah LNG Indonesia, bermula saat ditemukannya cadangan gas di Arun, Aceh (1971) dan Badak, Kaltim (1972). Untuk dapat dimonetisasi, Pemerintah dan Pertamina memutuskan membangun LNG Plants di Lhoksuemawe dan Bontang. Pembangunan dilakukan setelah ditandatanganinya kontrak penjualan LNG dengan sejumlah perusahaan Jepang. Ekspor LNG ke Jepang berdurasi 20 tahun dengan opsi perpanjangan 20 tahun berikutnya. Bisnis LNG boleh dikatakan berada lingkup terbatas, sehingga semua LNG Seller maupun LNG Buyer saling mengenal dengan baik. Faktor integritas dan kredibilitas sangat berperan, sehingga dalam sejarahnya belum pernah ada kejadian gagal bayar atau gagal offtake. Karena itu meski berhasil menjual LNG sejak tahun 1970-an, Pertamina baru mendapat kepercayaan pasar mengimpor LNG pada tahun 2000-an. Sikap pruden sangat berperan, jika sampai terjadi kegagalan offtake kargo LNG, maka seluruh rantai bisnis LNG akan terdampak hingga sampai ke produser gas, dan berujung pada penutupan sumur. Kemampuan bisnis jual/beli LNG Pertamina dan Indonesia secara global telah terbangun cukup lama. Hal-hal yang mendasari kemampuan ini antara lain adalah pengalaman, keahlian dan kepercayaan pasar. Kemampuan ini sekaligus bermanfaat untuk mengamankan pasokan gas nasional jangka panjang dan berkelanjutan. Dalam praktek, Pertamina pun terlibat dalam kontrak impor gas dari AS dan Mozambique. Kebutuhan Impor LNG Pada Desember 2013, Pertamina berkontrak dengan Cheniere Energy, untuk impor LNG dari Texas (AS) sekitar 0,76 MTPA (million ton per annum/juta ton per tahun), berlaku sejak 2019 selama 20 tahun. Impor LNG ini dilakukan sesuai kebutuhan jangka panjang, dengan merujuk pada Neraca Gas Nasional yang diterbitkan Kementrian ESDM (2011). Impor LNG ini telah masuk dalam Rencana Jangka Panjang Perusahaan, Pertamina (2012-2016) yang disetujui pemerintah melalui mekanisme Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Adapun kebutuhan impor LNG dari Mozambique, Afrika dengan Anadarko Petroleum Corp. diawali dengan negosiasi pada 2013 dan penandatangan Head of Agreement (HoA) pada 2014. Namun negosiasi tidak berujung kesepakatan karena ada perubahan harga pasar LNG dunia pada 2016. Belakangan, karena adanya kebutuhan internal (kilang), Pertamina melihat kembali ketersediaan LNG di pasar, termasuk negosiasi ulang dengan Mozambique dengan term and condition dan harga yang lebih menguntungkan. Hal ini berujung pada tandatangan HoA pada 2018, dan tandatangan kontrak pada Februari 2019. Volume kontrak LNG adalah 1 MTPA, berlaku sejak 2025 untuk periode 20 tahun. Rujukan impor LNG Mozambique ini adalah sama seperti impor LNG dari AS, yakni Neraca Gas Nasional yang rutin diterbitkan Kementrian ESDM (2018). Impor LNG dari Mozambique masuk dalam Rencana Kerja dan Anggaran Pertamina yang disetujui RUPS pada tahun 2019. Melihat ke belakang, ternyata pasokan LNG dari Cheniere direncanakan akan disalurkan ke terminal-terminal penerima LNG Pertamina, yakni untuk proyek LNG Floating Storage and Regasification Unit (FSRU) di Arun, Aceh dan FSRU Jateng yang memerlukan kepastian tambahan pasokan LNG. Kedua fasilitas tersebut didesain dengan kapasitas sekitar 3 MTPA guna memenuhi kebutuhan gas bagi sektor ketenagalistrikan dan industri. Sedangkan impor LNG Mozambique ditetapkan setelah mempertimbangkan kebutuhan Pertamina mengoperasikan kilang BBM proyek Refinery Development Master Plan (RDMP) Cilacap, Jateng dan Proyek Listrik Tenaga Gas Uap (PLTGU) Jawa-1 berkapasitas 1.760 MW di Cilamaya, Jabar. Kedua proyek membutuhkan gas cukup besar dan tidak dapat dipenuhi suplai gas domestik. Kebutuhan ini pun ditetapkan setelah mempertimbangkan harga LNG Mozambik yang murah dan hasil kajian konsultan yang saat itu disewa pemerintah/Pertamina. Pembelian LNG ke produser LNG yang akan dideliver setelah LNG Plant selesai konstruksi dan beroperasi adalah cara yang terbaik. Hal ini umumnya dilakukan konsumen LNG Global lain, dengan tujuan mendapat pasokan LNG jangka panjang berkesinambungan dengan harga wajar, seperti telah dilakukan Pertamina dan Indonesia saat menjual LNG nya pada tahun 1970 an. Kondisi tersebut ternyata selaras dengan pemahaman bahwa bisnis LNG adalah bisnis jangka panjang yang membutuhkan kemampuan membaca dinamika pasar baik sebagai penjual maupun sebagai pembeli. Lebih lanjut, dalam proses jual beli LNG, proses negosiasi kontrak LNG memerlukan waktu panjang karena banyaknya faktor-faktor yang harus dipertimbangkan. Kontrak LNG harus dikelola secara profesional dengan terus menerus memperhatikan dinamika pasar, sehingga produksi dapat dicapai tepat waktu. Apa dan Siapa Yang Dibidik Komut Pertamina, Ahok? Pada 10 Februari 2021, Komut Pertamina Ahok menyatakan adanya kejanggalan dalam kontrak impor LNG dari Mozambique. Kata Ahok: "Ada indikasi (dimainkan oleh oknum) makanya kami minta diaudit," Rabu (10/2/2021). Kita tidak paham bagaimana hasil audit yang disebut Ahok tersebut dan bagaimana pula tindak lanjutnya. Belakangan, Komut Pertamina pun mempertanyakan harga kontrak impor LNG yang dianggap sangat mahal. Sikap Ahok ini dikemukakan saat harga migas turun, terutama pada periode 2019-2020. Lalu diperparah pula dengan harga yang turun akibat pendemi Covid-19. Maka, muncullah permintaan agar kontrak LNG tersebut dibatalkan. Kondisi semakin runyam dengan munculnya pernyataan ahli hukum dari satu “law firm” yang sengaja disewa oleh “Manajemen/Dekom Pertamina”. Dikatakan, pembatalan kontrak LNG dapat dilakukan bila ada fraud dalam proses pengadaan. Karena itu, terjadilah pelaporan “kasus impor LNG” tersebut ke Kejaksaan Agung, untuk mencari-cari fraud dimaksud. IRESS sangat ragu jika latar berlakang sikap Ahok di atas, termasuk melaporkan “kasus impor LNG” ke Kajaksaan Agung, terutama dimaksudkan untuk mencegah Pertamina dari kerugian akibat turunnya harga gas dunia. Ditengarai, menurut sumber IRESS yang terpercaya, sebenarnya sikap tersebut bisa saja dilatarbelakangi motif lain. Jika harga gas/LNG yang jadi penyebab, tersedia opsi lain, yaitu dengan menjual kembali. Faktanya, harga migas memang selalu berfluktuasi, naik dan turun. Belum pernah terjadi, harga migas berada pada level rendah dalam waktu cukup lama. Bahkan dalam 1-2 bulan terakhir, harga gas telah naik berlipat-lipat, dan mendatangkan keuntungan yang cukup besar bagi Pertamina dan Indonesia. Dengan demikian, sikap short-sighted (memperlakukan jual/beli LNG layaknya jual-beli mobil bekas) yang ditunjukkan Ahok tersebut sangat tidak relevan untuk menjadi kebijakan korporasi. Oleh sebab itu, wajar jika timbul kecurigaan tentang “motif lain” di balik pernyataan “ada indikasi” yang disebutkan di atas. Mungkin saja ada anggota manajemen yang sedang “dibidik”. Perubahan struktur organisasi (proses pembentukan Subholding) di Pertamina dengan pembubaran Direktorat Gas yang menangani bisnis Gas dan LNG yang terjadi sebelumnya dan hampir bersamaan, juga memberikan dampak ketidakmampuan mengelola bisnis LNG nasional dengan baik. Sehingga mitigasi resiko terhadap pengadaan LNG juga tidak tertangani secara optimal, termasuk juga ikut memicu sikap manajemen/board Pertamina pada saat harga turun. Akibatnya management risiko dalam mengatasi supply/demand sering menjadikan manajemen sebelumnya dianggap telah berbuat kesalahan, termasuk dikaitkan dengan dugaan korupsi. Permasalahan manajemen resiko seperti disebut di atas juga dialami oleh BUMN/PLN dalam proyek listrik 35 GW. Poyek ini berasal dari kebijakan pemerintah dan dianggap sebagai proyek yang tepat dan wajar dijalankan. Namun belakangan proyek bermasalah, terjadi over capacity, BPP listrik naik, dan lain-lain. Maka tampaknya PLN harus menanggung beban dan kesalahan tersebut sendirian, seolah-olah kebijakan 35 GW itu adalah produk PLN dan PLN harus bertanggungjawab. Pemicu lain yang tak kalah penting adalah perseteruan pada high level management Pertamina yang membawa pengadaan LNG ke aparat penegak hukum. Situasi dan kondisi ini berpotensi menimbulkan kendala bisnis LNG dikemudian hari, dan menurunkan kepercayaan pelaku bisnis LNG Global bermitra dengan Pertamina. Sehingga ke depan, hal ini dapat berdampak buruk pada keamanan pasokan energi berkelanjutan dan ketahanan energi nasional. Seperti disampaikan di atas, impor LNG Cheniere dan Mozambique dilakukan untuk mengantisipasi terjadinya gas shortage. Impor juga dilakukan mengacu pada dokumen resmi pemerintah, yakni Neraca Gas Nasional yang rutin diterbitkan oleh Kementrian ESDM. Banjir pasokan migas dan pandemi Covid-19 telah membuat harga migas anjlok. Jika kebijakan impor dilakukan melalui proses yang pruden dan sesuai prinsip GCG, maka sangat tidak relevan mempersalahkan pihak-pihak yang terlibat dalam pengambilan keputusan karena kerugian akibat harga anjlok tersebut. Melihat fakta bahwa saat ini harga pasar LNG melambung jauh melampui harga kontrak (LNG Cheniere dan Mozambique), karena bisa menjual LNG tersebut ke pasar, maka Pertamina kini justru untung berlipat. Secara matematis, merujuk harga pembelian LNG dalam kontrak, maka harga pasar saat ini memberi keuntungan sekitar $80 juta per kargo atau sekitar $900 juta per tahun. Dan keuntungan tersebut akan dinikmati juga oleh Direksi dan Dekom, termasuk Ahok, dalam bentuk bonus/tantiem. Kalau sudah begini, alasan untuk menyalahkan menjadi tidak relevan. Maka, mungkin perlu dicari “peluru” lain untuk membidik target! [] *) Direktur Eksekutif IRESS

PLN Resmi Akuisisi EMI Dukung Pengembangan Energi Baru Terbarukan

Jakarta, FNN - PT PLN (Persero) resmi mengakuisisi PT Energy Manajement Indonesia (EMI) menjadi anak usahanya sebagai perusahaan jasa energi yang bertujuan mendukung pengembangan energi baru terbarukan dan dekarbonisasi. "Kami menempatkan target pengembangan EMI sebagai Energy Service Company nasional pilihan konsumen se-Asia Tenggara," kata Direktur Utama PLN Zulkifli Zaini dalam konferensi pers yang dipantau di Jakarta, Jumat. Integrasi PLN dengan EMI telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2021 tentang Penambahan Penyertaan Modal Negara ke dalam Modal Saham Perseroan PLN. Pada 9 September 2021, Kementerian Hukum dan HAM telah menerbitkan keputusan terkait perubahan anggaran dasar EMI, sehingga secara legal menjadi anak perusahaan PLN. Zulkifli menjelaskan bahwa EMI akan mendukung inisiatif dekarbonisasi menuju ekonomi hijau di Indonesia sekaligus merealisasikan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) yang telah ditetapkan pemerintah. PLN memiliki target dekarbonisasi sebesar 117 juta ton karbon dioksida sampai tahun 2025. Perseroan berkomitmen untuk mencapai target tersebut melalui pembangunan pembangkit energi baru terbarukan sebesar 5 GW pada 2024, peningkatan co-firing biomassa pada PLTU dengan target 1,8 GW tahun 2025, dan penggantian pembangkit diesel dengan energi terbarukan sebesar 0,6 GW. Dalam pelaksanaan dekarbonisasi tersebut, EMI akan turut dan berkontribusi sebesar 3,29 juta ton karbon dioksida. Selain itu, EMI akan berperan dalam dekarbonisasi 4,19 juta ton karbon dioksida di luar PLN. "Sebagai Energy Service Company, EMI akan berperan membantu pemerintah pusat dan daerah, BUMN, pengusaha swasta, UMKM maupun masyarakat," ujar Zulkifli. EMI akan bertugas dalam menyusun kebijakan dan master plan, menyusun solusi engineering untuk konservasi, mengembangkan energi baru terbarukan skala kecil, dan perencanaan serta implementasi solusi terkini infrastruktur bisnis dan ritel yang ramah lingkungan. Dengan bergabungnya EMI sebagai anak perusahaan PLN, Zulkifli berharap bahwa akan tercapai empat sasaran utama, yaitu energi EMI dengan PLN, peningkatan kapasitas dan kapabilitas, ekspansi bisnis konservasi ke pasar eksternal, dan penciptaan nilai keseluruhan ekosistem energi nasional. PLN memproyeksikan EMI akan memperoleh pendapatan sebesar Rp8 triliun pada 2025 atau secara akumulatif sevesar Rp13 triliun dengan keberhasilan transformasi sebagai perusahaan jasa energi terkemuka di Indonesia. "Kami sampaikan permohonan dukungan dari seluruh stakeholder bagi EMI untuk mewujudkan visi zebagai Energy Service Company nasional dan pilihan konsumen Asia Tenggara untuk mempercepat program dekarbonisasi nasional menuju ekonomi hijau Indonesia," ucap Zulkifli. (mth)

Pemerintah Targetkan Produksi Blok Rokan 200.000 Barel/Hari Tahun 2023

Pekanbaru, FNN- Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) RI, Arifin Tasrif mengharapkan hasil produksi minyak Pertamina Hulu Rokan (PHR) bisa meningkat menjadi 200.000 barel per hari pada tahun 2023. "Caranya adalah dengan banyak melakukan pengeboran sumur baru, dan ini akan terus ditingkatkan kedepannya," kata Arifin saat melakukan kunjungan kerja (kunker) di wilayah kerja PHR area Minas Kabupaten Siak, Riau, Kamis. Menurut dia, upaya lainnya dalam mencapai target ditetapkan itu adalah menggunakan teknologi baru sebagai salah satu sistem monitoring yang diterapkan yang bisa menghemat waktu dan menghemat biaya. Teknologi baru tersebut, katanya diharapkan bisa mendeteksi masalah yang terjadi di lapangan sehingga langkah-langkah perbaikan bisa dilakukan. "Tekhnologi ini menggunakan teknologi informasi yang paling baru," katanya. Di hadapan Menteri ESDM, Arifin Tasrif, Gubernur Riau, Syamsuar menyemangati pekerja Pertamina Hulu Rokan (PHR) agar terus memberikan yang terbaik untuk meningkatkan produksi minyak di wilayah kerja Blok Rokan. "Kami mensupport adanya peningkatan-peningkatan produksitivitas yang terkait dengan migas ini," kata Syamsuar. "Dengan datangnya Menteri ESDM saat ini, kami harap para pekerja PHR dapat termotivasi untuk terus bersemangat," katanya. Selain itu, kepada Menteri ESDM Gubri memaparkan, bahwa saat ini pengganti Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis B30 campuran biodiesel berbasis kelapa sawit sudah ada di Riau sejak tahun 2019. "Saat ini pengolahan pengganti BBM itu sebenarnya sudah ada di Riau sejak tahun 2019. Diresmikan di Pertamina Dumai. Ini akan dikembangkan menjadi B50 sampai B100, seperti yang diharapkan oleh Presiden Joko Widodo," kata Syamsuar. B30 adalah energi alternatif pengganti BBM untuk meningkatkan ketahanan dan kemandirian energi. Selain itu untuk meningkatkan nilai tambah industri kelapa sawit dan mengurangi konsumsi dan impor BBM, serta mengurangi emisi gas rumah kaca. (mth)

ESDM Catat Ada 2.741 Lokasi Tambang Tanpa Izin

Jakarta, FNN - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mencatat ada 2.741 lokasi pertambangan tanpa izin atau PETI yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Menteri ESDM Arifin Tasrif mengatakan terdapat 96 lokasi PETI batu bara yang tersebar di Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Bengkulu, dan Sumatera Selatan, serta 2.645 lokasi PETI mineral yang tersebar hampir di seluruh provinsi. "Melibatkan sekitar 3,7 juta orang pekerja PETI dengan rincian kira-kira 480 lokasi berada di luar wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) serta 133 lokasi di dalam WIUP, dan 2.128 lokasi belum diketahui berada di dalam atau di luar WIUP yang akan diidentifikasi," ujarnya dalam sebuah webinar di Jakarta, Rabu. Menteri Arifin menyampaikan kegiatan pertambangan tanpa izin memiliki banyak dampak yang dapat merusak kegiatan usaha bagi pemegang izin resmi. Tak hanya itu, PETI juga membahayakan keselamatan karena tidak mengikuti kaidah-kaidah pengertian penambangan yang memadai serta berpotensi terjadi kerusakan lingkungan hidup, antara lain banjir, longsor, dan mengurangi kesuburan tanah. Aktivitas pertambangan tanpa izin juga berpotensi menimbulkan masalah sosial, gangguan keamanan, dan kerusakan hutan. "Kemudian potensi lain adalah merugikan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) serta penerimaan pajak daerah," kata Arifin. Nilai kerugian negara yang ditimbulkan akibat kegiatan pertambangan tanpa izin kurang lebih hampir sama dengan setengah PNBP Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM. "Kegiatan menambang yang tanpa dilengkapi dengan perizinan yang sah merupakan suatu tindakan kejahatan atau tindakan pidana," tegas Arifin. (ant, sws)

Indonesia Andalan China Saat Impor Batu Bara Australia Ditangguhkan

Beijing, FNN - Indonesia menjadi andalan China sebagai pemasok utama batu bara sejak negara Tirai Bambu itu menangguhkan impor dari Australia. Selama periode Januari-Agustus 2021, Indonesia menjadi pemasok batu bara terbesar China dengan kenaikan 19 persen dibandingkan periode yang sama tahun 2020, demikian data kepabeanan setempat, Jumat. Volume impor batu bara dari Indonesia dan Rusia ke China sudah mengungguli impor dari Australia. Beberapa provinsi di China mendesak pemerintah pusat lebih banyak mengimpor batu bara dari Indonesia, Rusia, dan Kazakhstan. "Sebagian besar cadangan batu bara Rusia berada di dekat wilayah timur laut China sehingga impor dari Rusia mampu menghemat biaya transportasi," kata Direktur China Center for Energy Economics Research di Xiamen, Lin Boqiang. Sejumlah provinsi seperti Heilongjiang, Jilin, dan Zhejiang sangat membutuhkan pasokan batu bara dari Indonesia, Rusia, Mongolia, dan Kazakhstan. "Justru sejak penangguhan batu bara dari Australia, kesenjangan pasar di China bisa diatasi oleh Indonesia, Rusia, dan produk lokal," kata Lin seperti dikutip Global Times. Menurut dia, impor batu bara dari Rusia tidak sebanyak dari Indonesia. "China memiliki sumber pasokan yang beragam termasuk Indonesia dan Rusia, yang merupakan pengekspor sumber daya alam teratas sampai saat ini," ujar Lin. Namun di masa mendatang, China akan membatasi penggunaan batu bara karena akan memanfaatkan pembangkit listrik tenaga surya, angin, dan nuklir untuk mengurangi emisi karbon. (mth)

Batalkan Rencana Privatisasi Anak Usaha BUMN Pro Oligarki!

Surat Terbuka untuk Presiden Jokowi Oleh Marwan Batubara, IRESS MAHKAMAH Konstitusi (MK) telah menolak gugatan uji materi (judicial review, JR) Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB atas Pasal 77 Huruf c dan d UU BUMN No.19/2003 terhadap Pasal 33 Ayat (2) dan (3) UUD 1945. Uji materi dengan nomor perkara 61/PUU-XVIII/2021 diajukan pada 15 Juli 2020 dan diputuskan MK pada 29 September 2021. Esensi putusan MK: menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya. IRESS ikut mendukung dan memberi masukan kepada FSPPB atas JR di atas, terutama karena Pasal 77 huruf c dan d UU No.19/2003 tidak cukup jelas mengatur bahwa anak/cucu perusahaan Pertamina termasuk dalam kategori badan usaha dalam lingkup sebuah BUMN yang dilarang diprivatisasi sesuai konstitusi. Di sisi lain, rencana privatsiasi anak usaha BUMN telah dinyatakan secara terbuka, baik oleh Menteri BUMN Erick Thohir maupun Dirut Pertamina Nicke Widyawati (12/6/2020). Dengan putusan Perkara No.61/2020 pada 29 September 2021, maka rencana privatisasi atau rencana penjualan anak/cucu usaha BUMN akan berlangsung mulus. Pemerintah Jokowi akan leluasa meliberalisasi sektor menyangkut hajat hidup rakyat tanpa peduli konstitusi. Privatisasi melalui initial public offering (IPO) anak usaha (sub-holding) BUMN jelas akan merugikan negara, BUMN dan rakyat secara ekonomi, keuangan, sosial, politik, ketahanan dan kemandirian energi. Karena itu, Putusan MK atas Perkara No.61/2020 harus ditolak dan rencana privatisasi subholding BUMN, terutama Pertamina dan PLN harus dihentikan. *Motif di Balik IPO Sub-Holding BUMN* Sebelum membahas argumentasi mengapa kita harus menolak IPO sub-holding BUMN, perlu dikemukakan hal-hal yang menjadi motif di balik kebijakan. Motif utama adalah keinginan para investor, baik asing maupun domestik (baca: oligarki, taipan dan para pemburu rente) untuk mengambil manfaat dan mengeruk untung sebesar-besarnya dari pengelolaan SDA dan sektor strategis publik yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Motif tersebut dapat ditelusuri ke belakang, saat Indonesia mengalami krisis moneter 1997/1998. Saat itu, guna mendapat “bantuan” keuangan dai IMF dan Bank Dunia (BD), Pemerintah RI antara lain dipaksa melakukan berbagai langkah restrukturisasi kebijakan/UU dan privatisasi sejumlah BUMN strategis. Jika syarat-syarat tidak dipernuhi, maka pinjaman tidak turun. Sebagian pejabat pemerintah berkolaborasi mensukseskan agenda asing tersebut. Modus “penjajahan” oligarkis ini ternyata masih dilanjutkan pemerintahan Jokowi melalui berbagai kebijakan dan program bernuansa liberal berupa rencana IPO sub-holding BUMN. Sebelumnya, kita telah mencatat “prestasi” liberalisasi kebijakan/UU pemerintahan Jokowi berupa penyerahan aset minerba negara bernilai ribuan triliun Rp kepada pengusaha oligarkis melalui UU Mineba No.3/2020, penetapan UU Cipta Kerja, dll. Karena motifnya berburu rente besar, tak heran yang jadi sasaran adalah sektor-sekor bernilai kapital besar, yakni minerba, migas, kelistrikan, telekomunikasi, pangan, dll. Penguasaan negara atas SDA dan sektor strategis menyangkut hajat hidup rakyat menurut Pasal 33 UUD 1945 diwujudkan melalui pembuatan kebijakan, pengurusan, pengaturan, pengawasan dan pengelolaan oleh negara melalui DPR dan Pemerintah. Khusus pengelolaan, mandat konstitusi tersebut dijalankan BUMN dengan memperoleh berbagai privilege. Menurut MK dalam Putusan JR UU Migas (No.36/2012) dan UU Sumber Daya Air (No.85/2013), Pasal 33 UUD 1945 menghendaki penguasaan negara harus berdampak pada sebesar-besar kemakmuran rakyat. Frasa “dikuasai negara” tidak dapat dipisahkan dengan makna “untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Oleh sebab itu penguasaan negara melalui pengelolaan SDA dan menyangkut hajat hidup rakyat, harus berdampak pada sebesar-besar kemakmuran rakyat, dan hal ini diperoleh melalui keuntungan maksimal oleh BUMN. Amanat penguasaan Pasal 33 UUD 1945 telah diejawantahkan dalam Pasal 77 UU No.19/2003. Ketentuan lain, Pasal 28 ayat (9) dan (10) PP Hulu Migas No.35/2004 yang berbunyi: (9) Pertamina dapat mengajukan permohonan kepada Menteri mengelola Wilayah Kerja habis Kontrak; dan (10) Menteri dapat menyetujui permohonan dimaksud, dengan menilai kemampuan teknis dan keuangan, sepanjang saham Pertamina 100% dimiliki Negara. Gabungan ketentuan Pasal 77 UU BUMN No.19/2003 dan ketentuan Pasal 28 ayat 9 & 10 PP No.35/2004 menyatakan, sepanjang menyangkut hajat hidup orang banyak dan pengelolaan SDA, maka pelaksananya mutlak hanya BUMN. Hak istimewa pengelolaan SDA diberikan negara kepada BUMN hanya karena saham pemerintah di BUMN masih utuh 100%. Jika saham pemerintah di BUMN kurang dari 100%, maka privilege otomatis hilang. Dengan ketentuan UU/peraturan di atas Pertamina dapat memperoleh hak mengelola Blok Rokan atau Blok Mahakam. Jika kurang dari 100%, jangankan anak usaha atau sub-holding, Pertamina sebagai BUMN induk pun tidak eligible. Jelas, tujuan ketentuan di atas adalah agar manfaat finansial terbesar blok migas terjamin dapat dinikmati rakyat. Jika sebagian saham dijual, maka manfaat bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat berkurang. Hal ini jelas melanggar prinsip penguasaan negara seseuai Pasal 33 UUD 1945. Kementrian BUMN (KBUMN) telah memilah dan mengelompokkan berbagai lini bisnis BUMN ke dalam sejumlah sub-holding. Sub-sub holding dibentuk melalui proses cherry picking, memilih mata rantai bisnis yang menguntungkan (cream de la cream) agar siap di-IPO. Pemilahan terutama ditujukan pada lini bisnis yang sesuai keinginan para investor asing kapitalis-liberal dan oligarki agar mereka dapat meraih untung maksimal, seperti dipaksakan saat Indonesia mengalami kriris ekonomi/moneter 1997/1998. *Privatisasi Subholding BUMN Melawan Akal Sehat: Harus Ditolak* Rencana IPO sub-holding BUMN telah “didukung” MK melalui Putusan No.61/2020 dan “di-endorse” pula oleh sejumlah guru besar. Pihak asing tidak perlu lagi memaksa. Pemerintah telah “bekerja otomatis” sesuai keinginan kapitalis-oligarkis. Rencana Pemerintahan Jokowi ini harus dihentikan karena banyak hal seperti diuraikan berikut. *Pertama,* sesuai amanat Pasal 33 UUD 1945, melanggar prinsip “penguasaan negara” dan “sebesar-besar kemakmuran rakyat”, terutama karena jika sebagian sahamnya dijual, maka keuntungan BUMN tidak maksimal, tetapi sebagian jatuh kepada investor dan oligarki. Menurut logika akal sehat: *penguasaan negara menjadi absurd jika tidak diiringi perolehan untung maksimal!* *Kedua*, karena profit BUMN turun, maka kemampuan tugas perintisan dan pembangunan daerah pun ikut berkurang. Pada prinsipnya, karena sebagian saham anak-anak usaha BUMN yang profitbale telah dijual, induk holding BUMN hanya tinggal mengelola anak usaha dan lini bisnis yang kurang menguntungkan atau malah yang merugi. Kondisi ini jelas mengurangi kemampuan BUMN untuk melakukan cross subsidy dan pembangunan daerah. *Ketiga*, pemisahan berbagai lini bisnis BUMN menjadi subholding merupakan bentuk kebijakan pengelolaan public utilities berdasarkan pola unbundling. Pola ini merupakan modus yang dipakai negara-negara maju/kapitalis guna menjajah dan menghisap ekonomi negara-negara berkembang. Bukannya menangkal penjajahan asing/liberal, pemerintah Indonesia malah aktif mendukung agenda asing tersebut, dan sejumlah oknum-oknum pejabat yang tergabung oligarki kekuasaan ikut pula berburu rente dalam proses privatisasi tersebut. *Keempat*, proses unbundling pelayanan public utilities di negara-negara maju/liberal telah berdampak pada naiknya tarif energi. Teori ekonomi dan bisnis telah mengkonfirmasi dampak negatif tersebut. Inggris sebagai pionir pola privatisasi/unbundling saat PM Margareth Tatcher berkuasa, saat ini menjadi negara bertarif listrik tertinggi di Eropa. Tercatat konsumen energi di Jerman, Belanda, Belgia dan New Zealand telah memprotes penerapan pola unbundling akibat tarif tinggi. Jika IPO subholding BUMN pola unbundling dilanjutkan, rakyat Indonesia harus siap mengalami hal yang sama! Namun harap dicatat, di tengah penderitaan konsumen energi, pola unbundling justru memberi keuntungan besar bagi para kapitalis-liberal (di Indonesia: keuntungan termasuk dinikmati anggota oligarki). *Kelima*, pernyataan Menteri BUMN Erick Thohir (12/6/2020) bahwa IPO subholding BUMN bertujuan mencari dana murah adalah manipulasi informasi tendensius. Faktanya Pertamina telah memperoleh kredit dengan tingkat bunga rendah *tanpa IPO.* Sejak 2011 hingga awal 2021 total obligasi Pertamina sekitar US$ 12,99 miliar dengan tingkat bunga (kupon) 1,4% - 6,5% (weighted average: sekitar 4,60%). Nilai kupon tersebut ternyata lebih rendah dibanding kupon PGN yang telah IPO, yakni 5,125% (US$ 1,35 miliar, 5/2014). Kupon rata-rata obligasi Pertamina (4,60%) yang tidak go public justru lebih rendah atau hampir sama dengan kupon obligasi sejumlah *BUMN go public.* Misalnya kupon-kupon obligasi Bank Mandiri 4,7% (US$ 2,4 miliar, 4/2020), BNI 8% (Rp 3 triliun, 11/2017), dan Jasa Marga 8% (US$ 300 juta, 12/2017). Ini menujukkan meski tidak go public, Pertamina mampu memperoleh “dana murah” dengan tingkat kupon lebih rendah disbanding kupon BUMN yang sudah IPO. *Keenam,* peringkat utang BUMN malah bisa lebih baik (kupon lebih rendah) jika obligasi dijamin pemerintah. Karena saham negara di Pertamina atau PLN masih 100%, jaminan pemerintah terhadap Pertamina dan PLN otomatis melekat. Dengan jaminan pemerintah, tanpa IPO BUMN justru dapat mengkases dana lebih murah. Bahkan BUMN sering memperoleh hibah atau pijaman bunga 0%, hal yang tidak akan diperoleh oleh BUMN yang sudah go public. *Ketujuh*, pernyataan Erick tentang manfaat IPO subholding guna meningkatkan GCG (30/7/2020) tidak sepenuhnya benar dan cenderung manipulatif. Sebagian besar masalah kinerja BUMN justru berasal dari pemerintah, seperti menempatkan tim sukses menjadi pengurus BUMN, menunggak beban subsidi, memaksakan public service obligation (PSO) tanpa kompensasi atau menjadikan BUMN sebagai sapi perah. Cara terbaik memperbaiki GCG BUMN, pemegang privilege konstitusi seperti Pertamina dan PLN, adalah merubah statusnya menjadi non-listed public company (NLPC), terdaftar di BEI tanpa harus menjual saham. *Kedelapan,* dengan proses unbundling dan cherry picking, maka keuntungan BUMN akan berkurang dan beralih kepada pemegang saham publik. Penurunan untung ini jelas tidak sesuai dengan target yang dijanjikan dalam prospektus saat BUMN menerbitkan obligasi. Hal ini dapat menyebabkan kredibilitas BUMN menurun dan peringkat utangnya akan memburuk (nilai kupon lebih tinggi). Saat ini menurut Moody’s, S&P dan Fitch peringkat investment grade Pertamina masing-masing pada level baa2, BBB, dan BBB. Sebagai kesimpulan, memilih mata rantai bisnis BUMN menguntungkan, dikelompokkan dalam sejumlah subholding, lalu sebagian sahamnya dijual kepada asing dan oligarki atas nama “mencari dana murah” dan “meningkatkan GCG”, merupakan modus penghisapan dan penjajahan kapitalis liberal/oligarki yang harus dihentikan. Dana murah, atau bahkan hibah, terbukti dapat diperoleh Pertamina dan PLN tanpa IPO. GCG dapat ditingkatkan dengan menghentikan intervensi pemerintah dan menjadikan BUMN sebagai non-listed public company. Karena itu, rencana IPO subholding yang anti Pancasila, inkonstitusional dan merugikan rakyat tersebut harus segera dihentikan. Kata Erick Thohir: "BUMN bukan Badan Usaha Milik Nenek Moyang lu”. Presiden Jokowi dan Erick Thohir perlu konsisten dan tidak hipokrit dengan pernyataan ini![] Jakarta, 6 Oktober 2021

PON Papua - Terangi Bumi Cendrawasih dengan Energi Hijau

Jakarta, FNN - Siapa sangka wilayah paling timur Indonesia menyimpan potensi energi hijau teramat besar yang dapat dimanfaatkan masyarakat setempat untuk mencapai kemandirian energi. Di saat dunia internasional berlomba-lomba mengejar target penurunan emisi karbon demi membuat bumi tetap sejuk, Indonesia pun menyatakan komitmennya untuk menggarap energi hijau dengan meningkatkan kapasitas listrik berbasis energi baru terbarukan (EBT). Kabupaten Merauke, Papua dapat menjadi contoh kecil di mana masyarakatnya ternyata telah menikmati terang lampu yang berasal dari energi hijau dan bersih. Sekitar 15 persen listrik di calon ibukota provinsi pemekaran Papua Selatan tersebut ternyata telah menggunakan energi baru terbarukan yang berasal dari pembangkit listrik tenaga biomassa milik PT Medco Energi. Pewarta ANTARA diundang mengunjungi PLTBm Merauke ketika pembangkit yang dikelola oleh PT Merauke Narada Energi itu berkomitmen mendukung pelaksanaan Pekan Olahraga Nasional XX Papua klaster Merauke dengan pasokan energi baru terbarukan. "Kami berkomitmen akan mendukung kegiatan PON ini 100 persen dengan menjaga keandalan pembangkit kami agar listrik tetap terjaga," kata General Manager PT Merauke Narada Energi R.A. Satryo M.R kepada ANTARA saat ditemui di Merauke. PLTBm Merauke telah beroperasi sejak 2020 dan berlokasi di Wapeko, sekitar dua jam perjalanan dari Merauke. Keberadaan pembangkit dengan nilai investasi sebesar Rp140 miliar yang berasal dari dana pinjaman SMI dan PBDLH itu terlihat dari tower dan cerobong yang menjulang tinggi di balik pepohonan hutan industri dalam perjalanan menuju lokasi. Tiba di lokasi pembangkit, gelondongan kayu-kayu akasia dan eucalyptus sebagai bahan bakar utama PLTBm memenuhi log yard, bukan pemandangan familiar untuk suatu fasilitas penghasil listrik. Kemudian Satryo menjelaskan secara singkat alur produksi listrik di PLTBm yang telah memasok listrik ke kurang lebih 9.688 pelanggan di Merauke itu. Kayu yang dipanen dari Hutan Tanaman Industri milik Medco Papua Group itu harus dicacah terlebih dahulu menjadi woodchip sebelum masuk ruang bakar. Kurang lebih sekitar 120-140 ton woodchip dibutuhkan perhari sebagai bahan bakar pembangkit berkapasitas 3,5MW itu. Operator PLTBm juga sedang memanfaatkan limbah pertanian seperti sekam sebagai 26 persen campuran bahan bakar pembangkit. Woodchip dan sekam yang ditampung di shelter diangkut conveyor belt menuju ke boiler, kemudian ke silo, sebelum masuk ruang bakar. Lalu ruang bakar menghasilkan asap yang dikirim ke turbin dan generator untuk menghasilkan listrik yang akan disalurkan ke pelanggan lewat gardu PLN. Satryo mengungkapkan keberadaan PLTBm Wapeko, yang menggunakan kayu dari hutan industri sebagai sumber daya biomassa utamanya, dapat membantu mengurangi konsumsi BBM solar sebesar 27 juta liter per lima tahun serta mengurangi emisi karbon mencapai 76.300 ton dalam periode yang sama. Sementara konsesi area seluas 230.000 hektar yang dipegang Medco saat ini berpotensi untuk mengembangkan PLTBm sebesar 150-200 MW. Dan berbicara soal emisi PLTBm itu sendiri, Satryo mengatakan asap hasil pembakaran yang keluar dari cerobong telah dimurnikan dari partikel-partikel berbahaya menggunakan teknologi Cyclone. "Cyclone berfungsi menyerap zat-zat berbahaya, jadi yang keluar sudah berupa asap," kata Satryo. Sementara abu hasil pembakaran yang ditangkap dan ditampung ke tempat penampungan dapat digunakan sebagai pupuk, berfungsi kurang lebih serupa dengan media tanam sekam yang dibakar, yang digunakan kembali di nursery pembibitan di lahan konsesi hutan. Pun terpaksa dibuang, limbah tersebut bisa terurai karena bersifat organik. "Tentunya harapan kami dengan adanya energi bersih di PLTBm ini dapat menjadi contoh daerah-daerah lainnya," ujar Satryo. "Dalam menghasilkan listrik di Merauke ini, paling tidak kami sudah mereduksi ketergantungan kita terhadap bahan bakar solar, kemudian juga bahan bakar biomassa yang berasal dari sumber daya alam di sini sehingga kemandirian energi bisa kita laksanakan," tambahnya. Medco berencana untuk meningkatkan kapasitas PLTBm dengan penambahan pembangkit baru berkapasitas 10 MW, dan hal itu memungkinkan 50 persen pasokan listrik yang ada di Merauke berasal dari energi bersih dan hijau. Akan tetapi, masalah utama dalam menjalankan PLTBm adalah sisi keberlanjutannya. Satryo mengatakan tak sedikit PLTBm terkendala dengan pasokan sumber utama bahan bakar mereka. Oleh karena itu untuk mendukung aspek keberlanjutan, saat ini terdapat 3.000 hektar lahan yang telah dikembangkan bersama 300 masyarakat sekitar dengan menanam, merawat, serta menjaga tanaman eucalyptus dan acacia sebagai sumber penggerak PLTBm Merauke. Sementara itu Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan Dan Konservasi Energi, Kementerian Energi Dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Dadan Kusdiana lewat pernyataan resmi mengatakan pemerintah berencana meningkatkan kapasitas pembangkit listrik ramah lingkungan berbasis biomassa di Kabupaten Merauke, Papua. Peningkatan kapasitas listrik berbasis Energi Baru Terbarukan (EBT) tersebut akan dituangkan dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) tahun 2021-2030. Dadan melihat PLTBm yang dikembangkan PT Medco memanfaatkan sumber daya setempat sudah tepat untuk Papua dan seharusnya dapat dikembangkan di wilayah lain yang memiliki kondisi serupa dengan Papua serta melihat potensi yang ada di wilayah untuk meningkatkan kapasitas pembangkit tersebut. "Terkait dengan yang tadi disampaikan masih ada potensi 50 MW, kami sudah coba untuk berikutnya ditingkatkan menjadi 10 MW itu sudah kami alokasikan, kita akan melihat nanti Merauke bisa 50% listriknya berbasis EBT," jelas Dadan. (mth)

Komisi VII DPR: RUU EBT Ditargetkan Selesai Akhir 2021

Jakarta, FNN - Ketua Komisi VII DPR Sugeng Suparwoto mengatakan Rancangan Undang-Undang tentang Energi Baru dan Terbarukan (RUU EBT) ditargetkan selesai pada akhir 2021. "Ini akan menjadi legacy yang baik sekali karena kita memasuki abad climate change. Maka, energi kita akan mengarah ke green and renewable energy," ujarnya saat kunjungan kerja Komisi VII DPR RI ke Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Poso, Sulawesi Tengah, Jumat. Dia menerangkan bahwa energi hijau dan terbarukan merupakan sebuah keharusan sebagai upaya pengembangan energi dan bukan pilihan. Menurut Sugeng, energi fosil sudah menjadi permasalahan seperti dari sisi keterbatasan jumlah dan juga polutif. Lebih lanjut, ia ingin memastikan bahwa Indonesia cukup memiliki keandalan energi dan renewable energy yang bersih. Sugeng menyebut bahwa potensi EBT di Indonesia mencapai 420 GW. "Cepat atau lambat, fosil kita akan kurangi signifikan," katanya. Di sisi lain, dia mengapresiasi pembangunan PLTA Poso I dan II oleh PT Poso Energy, yang dibangun dengan investasi lebih dari Rp15 triliun dan juga mengandalkan pekerja dalam negeri. Tak dipungkiri juga terdapat sebagian kecil pekerja asing yang terlibat dalam teknis pembuatan turbin. Biasanya, tutur Sugeng, berbagai PLTA dibangun oleh pihak asing seperti dari Jepang dan Prancis. Adanya PLTA Poso, menurut dia, dianggap sebagai karya anak bangsa dan menunjukkan bahwa Indonesia mampu mengembangkan potensi EBT secara mandiri. (mth)

Minyak Naik Dipicu Pasokan yang Ketat, Brent Dekati 80 Dolar per Barel

New York, FNN - Harga minyak naik untuk hari kelima berturut-turut pada akhir perdagangan Senin (Selasa pagi WIB), dengan Brent berada di level tertinggi sejak Oktober 2018 dan menuju 80 dolar AS per barel, karena investor khawatir tentang pasokan yang lebih ketat di tengah meningkatnya permintaan di beberapa bagian dunia. Minyak mentah berjangka Brent untuk pengiriman November bertambah 1,44 dolar AS atau 1,8 persen, menjadi menetap di 79,53 dolar AS per barel, setelah membukukan kenaikan tiga minggu berturut-turut. Minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) AS untuk pengiriman November terangkat 1,47 dolar AS atau 2,0 persen, menjadi ditutup di 75,45 dolar AS per barel, tertinggi sejak Juli, setelah naik selama lima minggu berturut-turut. Goldman Sachs menaikkan perkiraan akhir tahun sebesar 10 dolar AS untuk minyak mentah Brent menjadi 90 dolar AS per barel. Pasokan global telah mengetat karena pemulihan cepat permintaan bahan bakar dari merebaknya varian Delta dari virus corona serta Badai Ida yang menghantam produksi AS. “Sementara kami telah lama mempertahankan pandangan minyak bullish, defisit pasokan-permintaan global saat ini lebih besar dari yang kami harapkan, dengan pemulihan permintaan global dari dampak Delta bahkan lebih cepat dari perkiraan kami di atas konsensus dan dan dengan pasokan global masih kurang dari perkiraan di bawah konsensus kami,” kata Goldman. Terperangkap oleh rebound permintaan, anggota Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak dan sekutu mereka, yang dikenal sebagai OPEC+, mengalami kesulitan meningkatkan produksi karena kurangnya investasi atau penundaan pemeliharaan akibat pandemi. “Kenaikan harga minyak terus berlanjut melampaui apa yang sebagian besar pedagang perkirakan bullish dan diimpikan beberapa bulan lalu, dan Brent meluncur menuju ambang batas 80 dolar AS per barel mencerminkan pasar minyak mentah yang sangat ketat,” kata Louise Dickson, analis pasar minyak senior di Rystad Energi. "Kendala pasokan AS akan terus memberikan sisi positif pada harga minyak, karena pemadaman terkait badai Ida masih akan memengaruhi pasokan AS pada kuartal pertama 2022.” Permintaan minyak global diperkirakan akan mencapai tingkat pra-pandemi pada awal tahun depan karena ekonomi pulih, meskipun kapasitas penyulingan cadangan dapat membebani prospek, kata produsen dan pedagang pada konferensi industri. Permintaan global diperkirakan meningkat menjadi 100 juta barel per hari pada akhir 2021 atau pada kuartal pertama 2022, kata Presiden Hess Corp, Greg Hill. Dunia mengonsumsi 99,7 juta barel per hari minyak pada 2019, menurut IEA, sebelum pandemi COVID-19 menghantam kegiatan ekonomi dan permintaan bahan bakar. Di India, impor minyak mencapai puncak tiga bulan pada Agustus, rebound dari posisi terendah hampir satu tahun yang disentuh pada Juli, karena penyulingan di importir minyak mentah terbesar kedua dunia itu menimbun untuk mengantisipasi permintaan yang lebih tinggi. Abu Dhabi National Oil Company (ADNOC) telah merencanakan untuk memasok volume penuh dari semua kadar minyak mentah ke pelanggan berjangka di Asia pada Desember, beberapa sumber yang mengetahui masalah tersebut mengatakan pada Senin (27/9). Ini akan menjadi pertama kalinya sejak jatuhnya harga minyak pada kuartal kedua tahun lalu ketika pandemi COVID-19 menghancurkan permintaan bahwa ADNOC tidak menerapkan pemotongan pasokan, kata mereka. (mth)

PLN Sebut Rasio Elektrifikasi di Bengkulu Capai 99,93 Persen

Jakarta, FNN - PT PLN (Persero) menyebutkan angka rasio elektrifikasi di Bengkulu telah mencapai 99,93 persen yang diharapkan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi dan mendongkrak kesejahteraan masyarakat di wilayah tersebut. Direktur Bisnis Regional Sumatera dan Kalimantan PLN Ikbal Nur mengatakan pihaknya berkomitmen akan menerangi seluruh desa di Bengkulu hingga 100 persen pada 2022. "Kami berharap jaringan listrik yang telah dibangun dapat dijaga dengan baik," kata Ikbal dalam keterangannya di Jakarta, Kamis. Pada 7 September 2021, PLN telah mengalirkan listrik ke Desa Langgar Jaya, Kepahiang, Bengkulu, yang memiliki 400 kepala keluarga. Perseroan membangun jaringan tegangan menengah sepanjang 10,2 kilometer sirkuit (kms), jaringan tegangan rendah 4,2 kms, dan empat gardu distribusi dengan total investasi Rp2,12 miliar. Selain menyambungkan listrik ke Desa Langgar Jaya, PLN juga menyerahkan bantuan berupa Alat Penyalur Daya Listrik (APDAL) bagi warga Desa Lebong Tandai, Kabupaten Bengkulu Utara. Alat itu akan meningkatkan kualitas listrik warga Lebong Tandai yang sebelumnya hanya memanfaatkan listrik sebagai penerangan dari Lampu Tenaga Surya Hemat Energi (LTSHE). Ikbal menjelaskan bahwa APDAL di Lebong Tandai menyediakan daya listrik bagi rumah yang tidak bisa dijangkau jaringan listrik karena berada di dataran tinggi yang masih diselimuti hutan. Pengisian daya listrik dilakukan melalui Stasiun Pengisian Energi Listrik (SPEL) yang dibangun dengan memanfaatkan energi baru terbarukan lokal bertenaga air yang bersumber dari Sungai Lusang. Program PLN Peduli senilai Rp380 juta direalisasikan dalam bentuk perbaikan dan penambahan unit pembangkit listrik tenaga air berkapasitas 4x15 kilowatt yang mampu menyuplai tenaga listrik untuk 150 rumah. Sebanyak 30 unit APDAL berdaya masing-masing 500 watt diberikan kepada warga yang rumahnya tidak terjangkau jaringan listrik dari pembangkit listrik tersebut. PLN juga memberikan bantuan penambahan dan perbaikan dua unit Motor Lori Ekspress (Molek) yang menjadi sarana transportasi masyarakat Desa Lebong Tandai menuju Desa Air Tenang di Kecamatan Napal Putih. Gurbernur Bengkulu Rohidin Mersyah menyampaikan pembangunan jaringan listrik dan program PLN Peduli, serta didukung komitmen pemerintah daerah dalam meningkatkan prasarana jalan akan menggerakkan ekonomi masyarakat. Menurutnya, sinergitas antara institusi, perusahaan, dan masyarakat akan menciptakan suasana harmonis serta kondusif yang dapat meningkatkan kehidupan sosial dan ekonomi di Bengkulu. (mth)