OPINI

Dinasti Politik Jokowi Menjadi Sejarah Kelam Bangsa Indonesia

Oleh: Anthony Budiawan - Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Menarik! Setelah Boy Thohir sesumbar menyatakan, penguasa satu per tiga ekonomi Indonesia akan memenangkan Prabowo-Gibran satu putaran beberapa waktu yang lalu, kini keluar pernyataan tandingan dari konglomerat lainnya, Sofjan Wanandi, yang mendukung pasangan calon presiden Ganjar-Mahfud. https://www.idntimes.com/news/indonesia/amp/sunariyah/sofjan-wanandi-dukung-paslon-nomor-3-ganjar-mahfud-di-pilpres-2024 Pernyataan Sofjan Wanandi dapat dimaknai sebagai sangkalan keras terhadap pernyataan Boy Thohir, bahwa penguasa satu per tiga ekonomi Indonesia mendukung Prabowo-Gibran. Bahkan sebelumnya, beberapa kelompok konglomerat yang disebut Boy Thohir, antara lain Djarum Group, Sampoerna Group, Adaro Group, juga menyangkal pernyataan Boy Thohir terkait dukungan kepada Prabowo-Gibran. Mereka mengatakan, upaya pemenangan satu putaran Prabowo-Gibran adalah pendapat Boy Thohir pribadi. Tidak mewakilkan kelompok group manapun. Pernyataan Sofjan Wanandi tersebut juga tidak bisa dianggap remeh. Sofjan Wanandi adalah sosok konglomerat yang sudah lama malang melintang di dalam perekonomian Indonesia.  Sofjan Wanandi dikenal sebagai “juru bicara” para konglomerat di era Soeharto, yang juga dikenal dengan kelompok Prasetiya Mulya, atau kelompok Jimbaran. Mereka adalah para konglomerat kelas kakap yang diminta Presiden Soeharto mendirikan universitas Prasetiya Mulya. Oleh karena itu, pernyataan Sofjan Wanandi yang mendukung Ganjar dapat dimaknai sebagai pernyataan sikap, bahwa sebagian konglomerat menolak dan melawan Joko Widodo. Sebagai catatan, Sofjan Wanandi juga pernah menolak permintaan Soeharto terkait pengalihan sebagian saham konglomerat kepada koperasi milik rakyat.  Pernyataan Sofjan Wanandi juga menandai perpecahan dan pertempuran sesama konglomerat dalam menyikapi pilpres 2024 ini: pertempuran konglomerat pendukung 02 melawan konglomerat pendukung 03. Lalu bagaimana posisi 01 AMIN, Anies-Cak Imin? Apakah AMIN akan menjadi pelanduk, yang akan mati di antara pertarungan dua gajah: Dua gajah bertarung, pelanduk mati di tengah-tengah? Melihat popularitas Anies-Imin, dan antusiasme masyarakat yang hadir pada  setiap kesempatan kampanye, atau pada setiap pertemuan Anies-Imin dengan masyarakat, terlihat jelas Anies-Imin didukung oleh kekuatan massa riil yang sangat besar, massa militan yang menginginkan perubahan, massa militan yang melawan Joko Widodo dan dinasti politik, yang bersumpah, Joko Widodo sudah cukup. Melihat popularitas Anies-Imin tersebut, tidak terlepas kemungkinan bahwa ada konglomerat poros ketiga, the silent majority, yang juga merapat ke 01. Kontestasi pilpres 2024 semakin seru. Perlawanan masyarakat dan pengusaha kepada Jokowi semakin terbuka. Joko Widodo semakin terpojok dan melemah. Dinasti politik Joko Widodo akan menjadi bagian sejarah kelam bangsa Indonesia. —- 000 —-

Politik Gentong Babi Rezim Jokowi dan Hancurnya Revolusi Mental

Oleh Dr. Syahganda Nainggolan | Sabang Merauke Circle)  POLITIK Gentong Babi (PGB) atau \"Pork Barrel Politics\" telah menjadi persoalan serius di Indonesia. PGB ini adalah menyuap rakyat dengan bansos dan berbagai program sosial serta asuransi sosial yang didesain untuk mendulang suara pada pemilihan umum. (Lihat Koran Tempo dalam Apa Itu Politik Gentong Babi?, 6/1/24). Untuk memperkuat pemahaman kita tentang PGB ini beberapa berita berikut perlu dicermati, yakni \"Kenapa Bansos Hanya Untuk Satu Kubu\" (Tempo, 27/1/24), \"Hati-hati Politik Gentong Babi\" (Kumparan, 21/12/23), dan \"Politik Gentong Babi Menjelang Pemilu\" (seknasfitra.org, 9/1/24). Modus operandi politik kotor ini adalah membuat berbagai program dan bantuan sosial yang dipertukarkan dengan kewajiban pemilih untuk mendukung pemberi bansos, dalam hal ini pemerintah berkuasa. Seknas Fitra, sebuah NGO yang mengkritisi anggaran negara, mencium aroma politik kotor ini mulai dimainkan oleh rezim Jokowi. Aroma bansos dan sejenisnya saat ini, dalam politik kotor, dapat kita saksikan dengan adanya program pemerintah seperti 1,2 juta ton beras, bantuan uang 600 ribu pada bulan depan, yang rappel 3 bulan, (Februari adalah bulan pencoblosan suara), program PKH (Keluarga Harapan), program Indonesia pintar, dan lain sebagainya.  (lihat: \"5 Bansos Jokowi Cair Awal 2024, Ini Daftarnya\", CNBC Indonesia, 21/1/24). Mengapa jadi bagian politik kotor?  karena pada saat bersamaan, Jokowi mengumumkan dia berpihak. Dia tidak lagi netral sebagai negarawan. Akibatnya adalah penyalahgunaan bantuan sosial berpotensi sangat besar diarahkan pada kepentingan suara  pasangan 02, di mana anaknya ada di sana. Rakyat Miskin dan Revolusi Mental Jokowi, dahulu ketika maju sebagai capres, berjanji akan membebaskan Bangsa Indonesia dari mentalitas budak dan ketertindasan. (Revolusi Mental, Kompas,10/5/2014). Ini adalah cita-cita mulia. Namun, membuat rakyat tergantung dengan bantuan sosial, seperti saat ini, adalah kejahatan besar. Makruf Amin, Wakil Presiden, mengatakan hal itu adalah praktek-praktek melanggengkan kemiskinan. Ketergantungan itu akan semakin jahat jika pemerintah memanipulasi image bahwa bantuan itu adalah tanda pertolongan presiden kepada rakyat susah. Indikasi ke arah itu tentunya jelas terlihat, seperti adanya viral bansos bertanda 02, temuan lembaga survei Indopol bahwa masyarakat takut di survei karena takut tidak diberi bansos, dan terakhir pernyataan Zulkifli Hasan dalam kampanyenya di Kendal. Pernyataan Zulkifli Hasan yakni dia bertanya \"yang kasih bansos sama BLT siapa?\", disini bukti dia  mengasosiasikan pemberian bansos dengan Jokowi dan meminta rakyat miskin dukung Gibran. (CNBC Indonesia, 4/1/24). Bagaimana Bansos di Belanda? Politik Gentong Babi telah ditinggalkan negara-negara eropa ratusan tahun silam. Sejak kebangkitan humanisme di barat, manusia tidak lagi dianggap sebagai budak. Barter kepentingan antara rakyat dan kapitalis, tidak lagi terikat pada tataran mirip binatang. Melainkan perjanjian upah, pendidikan dan kesejahteraan. Saat ini selain kesejahteraan, rakyat meminta \"green life\", yang menunjang \"Leisure\" mereka. Pada tahun 1990an, di Belanda, misalnya, kaum tak mampu mendapatkan bantuan pemerintah sebesar 1200 Gulden perbulan. Bantuan itu langsung ditransfer setiap bulan ke rekening penerima. Caranya memperoleh bantuan mudah sekali. Penerima cukup mendaftarkan di dinas sosial setempat.  Setiap orang kurang mampu akan ditransfer langsung, saat itu, minimum 1200 Gulden. Jika mempunyai anak akan mendapatkan tunjangan anak, tunjangan pendidikan anak, tunjangan kesehatan dan juga tunjangan untuk pergi berlibur (vacantiegeld). Bantuan tidak ada berupa beras maupun barang lainnya. Tidak ada pertemuan antara pemberi maupun penerima. Semuanya transfer bank. Bantuan ini akan dihentikan pada saat inkom penerima sudah mencapai basis sejahtera, ketika kemudian mereka mendapatkan pekerjaan. Sebab, semua orang harus mendaftar di biro tenaga kerja (uitzendbureau) untuk segera mendapatkan pekerjaan. Selain itu setiap orang harus terdaftar di dinas pajak dan dinas sosial. Karena  setiap pekerja nantinya dianggap sebagai pembayar pajak (tax payer), yang menunjukkan dia sebagai \"stake holder\" dalam bernegara.  Dalam mencari kerja juga tidak perlu mengemis-ngemis atau tidak butuh \"ordal\". Karena sistem \"supply-demand\" tenaga kerja direncanakan secara sistematis oleh negara. Terakhir yang perlu dicatat adalah setiap pekerja mempunyai hak-hak yang sama tinggi dengan pemberi kerja. Penerima bantuan sosial tidak perlu membalas budi kepada pemerintah yang berkuasa. Tugas presiden hanya menjadi penyalur saja, tidak lebih. Hal yang sama dalam urusan bansos seperti di Belanda itu, harusnya sudah terjadi di era Jokowi. Sebagaimana maksud Jokowi dengan \"Revolusi Mental\" nya. Di barat, sejak Welfare State diterapkan secara luas, sebagaimana diinginkan Proklamator Muhammad Hatta, kemiskinan bukan pula dijadikan komoditas politik. Pemerintah hanyalah alat untuk menjalankan fungsi negara, yakni melindungi rakyatnya. Sehingga, pemberian bansos itu, sekali lagi, seperti kata Hadist, \"Jika tangan kanan memberi, pastikan tangan kiri tidak tahu\". Jika mengumbar Bansos sebagai pemberian Jokowi, maka dipastikan itu sebagai penghinaan dan pembohongan terhadap rakyat. Penutup Anies, Ganjar, Ma\'ruf Amin dan lainnya, serta tokoh-tokoh NGO (LSM) mengecam politik gentong babi. Sementara Jokowi dan rezim pendukung 02 semakin semangat mempolitisasi bansos. Padahal Jokowi berjanji Revolusi Mental adalah membebaskan manusia dari perbudakan dan penindasan. Rakyat sudah seharusnya menjadi pemilik sah negeri ini. Jika pemerintah membagi adil hasil pajak dan pengerukan  sumberdaya alam kita, maka pembagian bansos itu adalah keharusan negara. Di era Anies dan Muhaimin ke depan, maka pelayanan bansos akan disempurnakan menjadi BANSOSPLUS, artinya negara hanya menjadi pelayan terbaik bagi rakyat penerima bansos. Istilah bansos juga sebaiknya dirubah namanya menjadi, seperti di Belanda,  tunjangan sosial, tunjangan pendidikan, tunjangan kesehatan, tunjangan liburan dan lainnya, bukan bantuan.  Jika politik Gentong Babi terus berjalan,  Saatnya bagi segenap rakyat melawan. Ambil bansosnya, jangan pilih Prabowo-Gibran! .

Timang-timang Anakku Gibran, Kampanye Jokowi

Oleh Laksma TNI Pur Ir Fitri Hadi S, M.A.P. | Analis Kebijakan Publik Timang timang anakku sayang, buah hati ayahanda seorang, implementasinya bisa bermacam macam apalagi bila  menyangkut anak Presiden atau “Timang-timang anakku Gibran”, maka ini bisa menggoyangkan seluruh anggota kabinet Jokowi. Mengapa tidak, sejak awal Jokowi sudah mengatakan akan cawe cawe pada Pemilu 2024 ini.  Timang timang anakku Gibran , melanggangkan Gibran sebagai calon wakil presiden dengan mengorbankan pamannya Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman karena melakukan pelanggaran sebagaimana tertuang dalam Sapta Karsa Hutama Prinsip Ketakberpihakan, Prinsip Integritas, Prinsip Kecakapan dan Kesetaraan, Prinsip Independensi, dan Prinsip Kepantasan dan Kesopanan. sehingga, MKMK memberhentikan Hakim Konstitusi Anwar Usman dari jabatan Ketua MK.  Anjing menggonggong, kafilah berlalu. Walau dianggap naiknya  Gibran menjadi calon wakil presiden sebagai produk KKN, tapi jalan terus, Prabowo dan partai partai koalisinya mengabaikan semua cemooh dan tanggapan negatif atas segala keputusannya. Partai partai besar seperti Gerindra, Golkar, PAN, Partai Demokrat yang menjadi koalisinya seperti tidak punya kader lain Sehinga mengiyakan keinginan Jokowi untuk menjadikan anaknya Gibran sebagai wakil presiden. Sesuai UU Gibran belum cukup umur untuk dicalonkan sebagai wakil presiden. Pertimbangan penunjukan Gibran sebagai cawapres pasangan no 2 bagi Prabowo dimungkinkan oleh pengalaman kekalahan Prabowo pada 2 (dua) kali pemilu sebelumnya yaitu 2014 dan 2019. Pada dua kali kontestasi presiden tersebut selalu diikuti dengan gugatan pemilu curang, terutama pada pemilu tahun 2019 yang banyak menelan korban jiwa manusia. Di sini Publik dan bahkan Prabowo menyakini kekalahannya selama ini adalah akibat kecurangan maka musuh besarnya dalam pemilu adalah kecurangan. Belajar dari pengalaman tersebut Prabowo tentu tidak mau kembali dicurangi, apalagi pemilu 2024 ini ada upaya untuk melanggangkan kekuasaan Jokowi. Dalam bebagai kesempatan Jokowi sering menunjukkan keberpihakannya pada salah satu calon Presiden namun  Jokowi belum secara tegas menunjukan pada siapa Jokowi berpihak. hal inilah kemungkinan  yang tidak disukai oleh Prabowo, bila Jokowi tidak berpihak kepadanya maka kemungkinannya adalah Prabowo akan kembali kalah akibat kecurangan. Keadan ini membuat Prabowo merasa tidak aman,  merasa tidak percaya diri (inferiority), takut, cemas (anxiety) dan lainnya pada pengalaman buruknya dalam mengikuti pemilu presiden. Prabowo dihantui  akan terulang kembali kecurangan pada dirinya, Prabowo kuatir gagal lagi. Di sisi lain hubungan Jokowi dengan PDIP semakin memburuk akibat PDIP tidak menginginkan Presiden 3 periode atau perpanjangan masa jabatan presiden dengan alasan melanggar konstitusi. Momentum ini dimanfaatkan, Gibran Rakabumi Raka kata kuncinya. Di satu sisi Gibran dapat menjadi boneka Jokowi karena Gibran adalah anaknya, jadilah timang-timang anakku Gibran dan gayungpun bersambut, dengan menggandeng Gibran sebagai calon wakil presiden maka Prabowo tidak akan dicurangi lagi, kalaupun terjadi kecurangan semuanya akan menguntungkan Prabowo karena kecurang tersebut demi memenangankan Gibran. Maka jadilah Prabowo Subianto dan Gibran Rakabumi Raka sebagai pasangan calon no 2. Semua upaya sudah dilakukan, termasuk pelanggaran etika naiknya Gibran sebagai calon wakil presiden mereka acuhkan, maka kemungkinannya kecuranganpun akan mereka jalankan. Menaruh harapan yang begitu besar terhadap Gibran dengan memanfaatkan nama besar bapaknya, akan mampu menaikan elektabilitas pasangan Prabowo Gibran di tengah issue negative yang melekat pada diri Prabowo seperti  penggaran HAM, gagalnya Food Estate bahkan dianggap kejahatan terhadap lingkungan, pengadaan alut sista bekas yang lebih mahal dibanding negara lain. Namun kenyataannya hasil survey tidak menunjukkan naiknya elektabilitas pasangan no 2 tersebut bahkan sangat dimungkinkan akan mengerek turun hasil survei sebelumnya. Hal ini terjadi akibat blunder politik yang dilakukan Gibran saat debat cawapres Ahad 21 Januari yang lalu yang dinilai tidak beretika bahkan mengolok olok lawan debatnya. Target menang 1 (satu) putaranpun mulai goyah. Tidak  bergerak naiknya elektabilitas Prabowo Gibran untuk memperoleh angkat diatas 51% guna menang 1 putaran tampaknya dan dianggap para pengamat membuat Jokowi resah atau panik. Panik karena bagi mereka kemenangan Prabowo Gibran merupakan harga mati dan menyangkut keselamatannya pasca lengser sebagai presiden Jokowi.  Kini keadaannya semakin menegangkan dan membahayakan. Keinginan Jokowi untuk menjadikan anaknya sebagai wapres terindikasi dengan ketidak netralan  dan cawe cawe Jokowi  bahkan diduga Jokowi akan turun gunung ikut berkampanye dalam pemilu kali ini padahal dia bukan incumbent (petahana). Bila hal tersebut benar benar dilakukanya dan ditengah bermunculan laporan pemilu curang maka langkah yang dapat dikatakan langkah membabi buta ini dapat merusak demokrasi yang telah dibangun oleh pendahulu pendahulunya. Keberlangsungan demokrasi di Indonesia kini semakin di ujung tanduk. Reaksi negative masyarakat atas tindakan Jokowi ini bermunculan, Majelis Hukum dan HAM (MHH) Pimpinan Pusat Muhammadiyah telah mendesak Presiden Jokowi mencabut pernyataannya soal Presiden boleh berpihak dan berkampanye di Pilpres. Pernyataan  ini ditandatangani oleh Ketua MHH Muhammadiyah Trisno Raharjo dan Sekretaris Muhammad Alfian. \"Mendesak Presiden Joko Widodo untuk mencabut semua pernyataannya yang menjurus pada ketidaknetralan institusi kepresidenan, terlebih soal pernyataan bahwa presiden boleh kampanye dan boleh berpihak,\" demikian keterangan tertulis MHH Muhammadiyah. MHH Muhammadiyah berpendapat bahwa presiden merupakan kepala negara yang menjadi pemimpin seluruh rakyat. Sehingga, ada tanggung jawab moral dan hukum dalam segala aspek kehidupan bernegara. Timang timang anakku Gibran adalah cara memenang pemilu 2024, etika telah dilanggar, akankah sadar lalu surut melangkah atau terus berjalan? Bukan cuma hukum, tapi moral atau etika ukuranya dan keselamatan bangsa adalah taruhannya, tapi bila nafsu kekuasaan lebih mewarnai, maka segala cara adalah cara memenangkan kontestasi. Waspadalah, semua itu mungkin. Probolinggo, Januari 2024

Pak Luhut Itu Sangat Rasional, Tapi Kenapa Tidak Dukung Anies?

Oleh Asyari Usman | Jurnalis Senior BELIAU sangat rasional dalam segala hal. Melihat dan mengevaluasi sesuatu selalu rasional. Membuat keputusan berdasarkan pertimbangan rasional. Dan, oleh karena itu, memilih pemimpin negara pun seharusnya rasional juga. Begitulah orang mengenal Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan (LBP). Tetapi, mengapa faktanya untuk urusan pemimpin negara Pak Luhut kelihatannya tidak rasional? Untuk pilpres 2024 ini Pak Menko sudah tahu Anies Baswedan luar-dalam. Tidak ada yang disembunyikan. Integritas, kapabilitas, kapasitas, moralitas, akseptabilitas, semuanya komplit dimiliki Pak Anies. Di masa kampanye ini, dan jauh sebelumnya, Anies menyediakan diri untuk diroasting atau dikuliti oleh berbagai acara televisi maupun panggung komedi. Anies juga memenuhi undangan semua diskusi terbuka yang melibatkan kalangan akademisi maupun orang biasa. Ada acara “Uji Publik” di sejumlah kampus dan “Desak Anies” di tempat-tempat umum. Acara-acara itu tidak hanya dihadiri oleh pendukung Anies. Bahkan yang bukan pendukung capres 01 ini pun ikut mencecar dengan pertanyaan yang sifatnya random dan instan. Tanpa pengaturan. Orangnya tidak diatur, begitu juga pertanyaannya. Semua disampaikan bebas. Tentang apa saja. Alhamdulillah, Anies bisa menjawab ratusan atau mungkin ribuan pertanyaan acak yang diajukan kepadanya. Kita bisa melihat orang-orang yang hadir merasa puas dengan jawaban atau penjelasan Anies. Jawaban-jawaban Anies selalu rasional. Bagaimana membuktikannya? Lihat saja kontinuitas “Desak Anies” itu. Ada saja yang ingin menyelenggarakannya. Laris sekali. Demand melebihi suplai. Masyarakat senang karena mereka bisa membongkar habis pikiran Anies. Warga bisa mengetahui gagasan Capres 01 ini untuk masa depan Indonesia. Bahkan, masyarakat pun bisa mengetahui kepribadian beliau. Semua transparan di depan umum. Dan semuanya rasional. Satu hal, Pak Luhut. Acara-acara ini dinilai mencerdaskan. Sekaligus mengasah rasionalitas. Dalam arti, Anies tidak hanya menjawab pertanyaan tetapi juga mampu memberikan berbagai perspektif baru kepada mereka yang hadir. Intinya, Anies menjadi stimulan untuk belajar rasional. Dia piawai namun tidak menggurui lawan-lawan bicaranya agar menggunakan sikap rasional dalam semua urusan. Anies selalu mengajak siapa saja yang dijumpainya agar rasional dalam setiap langkah. Sekarang kita tanya langsung Pak Menko: mengapa Anda mendukung Prabowo-Gibran? Apakah paslon 02 ini cocok dengan rasionalitas Anda, Pak? Apakah benar-benar rasional ketika Pak Luhut memberikan dukungan atau menjatuhkan pilihan kepada Prabowo-Gibran? Rasional bermakna memperbandingkan pilihan-pilihan yang ada berdasarkan “ratio”. Nah, apakah Pak Luhut jujur bahwa memilih paslon 02 itu sudah rasional? Dan masuk akal? Bahwa Prabowo-Gibran itulah yang terbaik? Sebagai tokoh panutan, Pak Luhut berkewajiban untuk menunjukkan siapa orang yang terbaik untuk dipilih menjadi presiden Indonesia? Siapakah pilihan yang rasional itu? Beberapa hari yang lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan kepada jajarannya tentang bahaya pemimpin yang gampang emosional. Beliau tidak menyebut nama tetapi suasana kontestasi hari ini membuat kita paham siapa yang dimaksudkan Bu Menteri. Lebih nyerempet lagi, Bu Sri mengisyaratkan bahwa pilihan Pak Luhut atas Prabowo-Gibran sama sekali tidak rasional. Apa pun “bench-mark” atau patokannya. Sebaliknya, Bu Menteri secara tersirat menyimpulkan Anies Baswedan adalah pilihan yang rasional. Persoalannya, kalau Pak Luhut memang senantiasa rasional, mengapa tidak mendukung Anies?[]

Jokowi Makin Nekad, Kalap dan Brutal

Oleh Sutoyo Abadi | Koordinator Kajian Merah Putih  JOKOWI terlihat ada gangguan psikologis. Endorsement power    Jokowi sudah selesai, kekuatan endorsenya  telah berkurang atau melemah namun dirinya seolah masih ingin mengatur dan berkuasa. Hal tersebut menandakan bahwa Jokowi mengalami delusi,  kondisi dimana penderitanya tidak lagi dapat membedakan antara realita dan hanya bayangan. Orang yang mengalami gangguan delusi akan menganggap apa yang telah dialami dan terjadi sukses kemenangan Pilpres 2019 dengan segala cara diyakini dan menjadi bayangan bisa diulang kembali, untuk kemenangan Capres dan Cawapresnya. Tidak sadar keadaan dan sikon politik masyarakat sudah berubah, rakyat pada posisi kesadaran tertinggi bahwa kecurangan pilpres 2019 yang telah membawa petaka tidak boleh terjadi lagi.  Pelaksana Pilpres yang tinggal menghitung hari perkembangan dan fenomena politik licik oleh Jokowi dengan semua kekuatan dan kekuasaannya makin menggila, semua aturan diterabas, asal bisa menenangkan Calon Presiden dan wakilnya. Pasangan Calon  Capres / Cawapres Anies Baswedan - Muhaimin dan Ganjar Pranowo - Machfud MD dalam ancaman serius akan di patahkan dan dirusak oleh rezim Jokowi  ditengah jalan, dengan macam macam rekayasa politik busuk, kotor dan licik. Khususnya Pasangan Capres Anies Baswedan dan Muhaimin  dengan semangat perubahan yang makin membesarkan di semua daerah dan hampir pasti bisa menenggelamkan Pasangan Prabowo Subianto dan Gibran harus bisa di hancurkan dengan segala cara. Delusi yang terbaca dengan kuat, ketika Gibran dalam ancaman maka hanya dengan cara curang ( memanipulasi suara ) adalah satu satunya cara dan jalan terakhir bagi Jokowi. Menghadapi protes rakyat, Jokowi sudah menyiapkan  semua perangkat keamanan negara, KPU, Panwas dan Mahkamah Konstitusi sebagai benteng terakhir sengketa pemilu semua sudah dalam siaga tinggi. Dalam kondisi seperti ini Pasangan Calon Capres / Cawapres Anies Baswedan - Muhaimin dan Ganjar Pranowo - Machfud MD bersama masa pendukungnya harus siaga tinggi melawan, menghadang dan menghadapi begal politik yang sedang berjalan, kecurangan yang pasti akan terjadi. \"Mengharapkan Pilpres jujur dan adil sudah tipis harapan karena Presiden Jokowi sepertinya sudah benar benar nekad, kalap, bruta dan membabi buta akan merusak proses Pilpres berjalan dengan normal sesuai demokrasi yang wajar dan normal.\" Pesan politik rakyat mutlak harus di hidupku dan di kobarkan ke seluruh penjuru negeri, apabila Jokowi tetap nekar, kalap, brutal dan membabi buta akan memenangkan Capres / Cawapresnya dengan segala cara sama saja membuka front terjadinya kerusuhan nasional. Strategi  kekuatan rakyat melawan para begundal demokrasi, dari rakyat akan muncul sebagai kekuatan yang tidak mungkin bisa dilawan oleh kekuatan apapun. Rezim penguasa harus diberi sinyal dan peringatan tegas dan keras bahwa kerusuhan nasional bisa membawa negara pada perang saudara akan terjadi.***

Air Mata dan Nyawa Rakyat Jelata

Oleh Ubedilah Badrun | Analis Sosial Politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Di tengah hiruk-pikuk Pemilu 2024 yang penuh gimmick dan dramaturgi ada baiknya beri ruang dan sedikit waktu untuk merenung. Sebab sesunguhnya merenung adalah jendela batin untuk memetakan problem, anomali dan paradox dalam kehidupan sosial kita, dalam kehidupan kebangsaan kita. Ada banyak problem sosial yang menggambarkan fenomena paradox, misalnya ada entitas sosial yang serba kecukupan dan berlebihan, di saat yang sama ada entitas sosial lainya yang hidup serba kekurangan. Dalam situasi itu kita memerlukan kepekaan untuk merespon dan peduli, apalagi ketika institusi negara telah abai terhadap mereka yang menderita, mereka yang kesepian. Derita dan Kematian dalam Sepi Hidup dalam situasi sosial ekonomi yang terbatas, bukan karena tidak mau bekerja tetapi karena pekerjaan tak bisa memberi kesejahteraan, bahkan seringkali diputus sepihak oleh mereka yang berkuasa. Tidak lagi berada dalam keramaian bisingnya mesin pabrik, dan hiruk pikuk para pekerja, dia telah menjadi sepi. Seperti tIdak ada lagi harapan. Tak ada tempat sesama untuk bergantung. Baik kepada keluarga, atau saudara yang kondisinya ternyata juga tak jauh berbeda. Tidak ada jalan lain kecuali jalan sunyi, sepi dan air mata. Dalam situasi beban ekonomi yang berat dan hidup sosial yang sepi, seringkali menjadi faktor untuk memilih jalan pintas mengakhiri hidup atau bunuh diri. Tidak banyak di antara kita yang membuka ruang batin untuk melihat data dan fakta sosial tentang semakin banyaknya masyarakat yang memilih mengakhiri hidup secara tragis itu. Faktanya  data angka bunuh diri di Indonesia dalam tiga tahun terakhir ini jumlahnya melonjak naik sangat drastis. Pada tahun 2021 ada 629 kasus bunuh diri, tahun 2022 terdapat 902 kasus bunuh diri, dan tahun 2023 ada 1.214 kasus bunuh diri (Puskinas Polri, 2023). Grafiknya naik. Mayoritas kasus bunuh diri dilakukan karena beban ekonomi yang berat. Fakta Menyayat Hati Mungkin anda dan kita semua masih ingat dengan Kristianto Billy (27 tahun), pemuda Kasongan-Kalimantan Tengah yang gantung diri di kamar rumahnya pada malam (2022), dua tahun setelah rame-rame UU Omnibus Law Ciptaker diprotes dan disahkan secara terburu-buru oleh DPR saat itu (2020). Kisahnya mengiris hati sebab dia bunuh diri karena tidak terima dirinya terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) atau diberhentikan dari pekerjaannya secara sepihak. Padahal pagi harinya baru saja dia bercerita kepada pamannya tentang kondisi ekonominya yang berat karena telah di PHK.  Sehari kemudian di daerah dan tahun yang sama, kisah menyayat hati itu terjadi lagi, namanya Leno B Jinu (49 tahun) yang setiap pagi bekerja menjala ikan ditemukan gantung diri dipinggir sungai. Ia bunuh diri ditengah kondisi ekonominya yang sulit sembari merawat istrinya yang terkena kanker kista. Tragedi bunuh diri juga terjadi lagi, kali ini satu keluarga di Malang, Jawa Timur  terjadi pada 2023. Dalam insiden tersebut, seorang ayah tewas bersama istri dan satu anaknya yang berusia 13 tahun. Sebelum mengakhiri hidup, sang Ayah yang menghadapi masalah ekonomi dan banyak utang menulis pesan  \"Kakak jaga diri. Papa, mama, adik pergi dulu. Nurut uti, kung, tante, dan om. Belajar yang baik. Love you kakak,\" pesan sang Ayah bernama Wahab kepada anak pertamanya yang masih hidup, dengan derai air mata sang anak membacanya. Tragedi kematian keluarga terjadi kembali. Empat anak usia dini di sebuah rumah kontrakan yang terletak di Gang Roman, Kelurahan Jagakarsa, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan, pada Desember 2023 juga telah meninggalkan duka mendalam. Bermula ketika sang Ayah (P) dan istrinya (D) tidak lagi bekerja, hingga mengalami problem ekonomi serius. Sejak itu, sejumlah permasalahan muncul hingga berujung kematian 4 anaknya yang berusia 6 tahun,4 tahun ,3 tahun dan 1 tahun. Beban ekonomi yang berat dan problem keluarga membuatnya kehilangan rasionalitas hingga mengakhiri hidup anak - anaknya yang masih balita. Awal Januari 2024, MJ (31), warga Musi Banyuasin, Sumatera Selatan ditemukan gantung diri tepat di tempat pencucian mobil sekitar pukul 07.00 WIB. Anak muda itu diketahui baru saja sehari bekerja di bengkel cucian mobil (car wash) di Kota Jambi. DIa bunuh diri karena beban ekonomi yang juga berat disusul kemudian masalah rumah tangganya. Faktor Ekonomi dan Tiadanya Solidaritas Organik Sosiolog Emile Durkheim (1858-1917) dalam bukunya berjudul Suicide (1897) mengemukakan bahwa salah satu tipe bunuh diri adalah bunuh diri Anomik, yaitu suatu praktik bunuh diri akibat kegagalan pembangunan ekonomi dan pembagian kerja yang tak mampu menghasilkan solidaritas organik. Kesenjangan sosial ekonomi yang tinggi antara kaya dan miskin, banyaknya kelompok ekonomi rentan dan runtuhnya norma-norma sosial yang mengatur perilaku, oleh Emile Durkheim (1897) keadaan ini disebut anomie. Dari keadaan anomie inilah muncul segala bentuk perilaku menyimpang, dan yang paling menonjol adalah tindakan bunuh diri. Faktanya di Indonesia,  kesenjangan sosial ekonomi masih terus menganga, kelas menengah rentan  (aspiring middle class) angkanya mencapai lebih dari 115 juta (World Bank, 2023). Secara sistemik ini bisa dilihat sebagai fakta persoalan serius pembangunan di Indonesia. Situasi rentan ini dampak sosialnya sampai ke ranah psikologi sosial yang  berat di derita masyarakat. Ada penderitaan sosial ekonomi yang berat yang menyebabkan seseorang mengakhiri hidupnya. Episode Besar dan Air Mata Darah Kisah tragis Kristisnto Billy dan Leno B Jinu di Kalimantan, keluarga Wahab di Malang, Keluarga Panca di Jakarta Selatan, kisah  MJ di Jambi dan kisah derita lainya yang tak bisa diceritakan, adalah air mata dan nyawa rakyat jelata yang menjerit ditengah keramaian elit berebut kekuasaan, keramaian elit mengabaikan moralitas dan konstitusi.  Bahkan ada yang berpesta menumpuk kekayaan karena privilage sebagai keluarga penguasa. Ya..Air Mata dan Nyawa  Rakyat Jelata masih sering diabaikan dalam hiruk pikuk politik. Rakyat jelata masih terus menjerit berharap ada episode besar yang membawanya pada kemakmuran. Di manakah tuan episode besar itu? Apakah harus menunggu air mata darah kembali menetes? ....

Akar Rumput Sudah Kering

Oleh M Rizal Fadillah | Pemerhati Politik dan Kebangsaan MELIHAT tayangan video pidato Letjen Mar (Purn) Suharto yang ditayangkan RH Channel membuat kita merenung dan meyakini pernyataan itu ada benarnya. Mantan DanKormar saat peristiwa 1998 dan Ijen Dephankam dahulu ini menegaskan bahwa akar rumput (grassroot) sudah kering, jika ada yang menyulutnya pasti terbakar hebat.  Pengelolaan negara rezim Jokowi yang berantakan telah membuat kering akar rumput.  Anggota Petisi 100 Letjen Mar (Purn) Suharto mengktitisi perilaku Jokowi dan rezimnya. Mulai dari ketidakjelasan ijazah hingga kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat dan melanggar konstitusi. Baginya pemakzulan Jokowi menjadi bahasa dan upaya yang terlalu lunak bahkan rumit, menurutnya Jokowi harus segera digulingkan \"Meski sudah tua, saya siap memakai helm lagi, pakai senapan serbu kembali untuk merubah ini\", serunya.  Survey kepuasan yang tinggi kepada Jokowi adalah palsu dan bisa diuji di lapangan bagaimana yang sesungguhnya. Rakyat saat ini memendam rasa jengkel dan sudah muak pada perilaku politik Jokowi dan rezimnya. Kehidupan semakin berat di tengah lapangan kerja yang sempit dan sulit. Harga kebutuhan pokok terus naik sementara gaya hidup para pejabat tetap mewah, boros, dan hedonis.  Ada lima hal yang dapat membakar akar rumput kering ini, yaitu  :  Pertama, urusan perut rakyat yang sudah berat untuk mengisinya. Sembako yang dibagikan dan diserbu adalah gambaran itu. Politik sembako untuk penggiringan, suatu saat akan membakar diri sendiri. Ada ketidakadilan, pelecehan dan unjuk kemiskinan disana.  Kedua, kesenjangan antara kaya miskin termasuk arogansi komunitas warga negara keturunan Cina terhadap pribumi. Sekali ada insiden dapat menyulut kerusuhan dan penjarahan. Kemandegan pembauran menciptakan atmosfir yang rentan konflik.  Ketiga, korupsi khususnya suap menyuap yang semakin merajalela. Menyerang nilai-nilai moral bangsa. Sudah terbentuk stempel bahwa pemerintahan Jokowi adalah rezim korup. Korupsi kini lebih dahsyat dibanding masa Orde Baru. Lembaga anti korupsi sengaja dibuat mandul dan menjadi alat kepentingan politik.  Keempat, politik dinasti yang merupakan sentimen dan musuh rakyat. Sangat terang-terangan Jokowi membangun kekuasaan keluarga. Gibran telah menjadi racun demokrasi dan ragi monarki. Gerakan rakyat akan menguat untuk menumpas keserakahan penguasa. Gerakan anti politik dinasti.  Kelima, agama yang dipinggirkan dan umat beragama yang dipecah belah. Sementara penodaan agama diabaikan dan tidak bersanksi keras. Pelecehan terhadap nilai-nilai dan antribut keagamaan adalah pembakar rumput kering yang paling efektif dan cepat.  Sikap merasa bahwa kekuasaan dapat menentukan segalanya serta menginjak-injak martabat rakyat dapat menjadi bensin pembakar akar rumput kering pula. Pilpres 2024 dengan nafsu besar memenangkan Prabowo-Gibran dengan segala cara juga menjadi pembakar. Slogan curang berarti perang sudah terdengar di mana-mana.  Menang curang bukan akhir dari permainan akan tetapi menjadi permulaan dari permainan yang sebenarnya.  Rakyat akan menunjukkan kekuatan aslinya. Akar rumput Itu sudah kering.  Letjen Mar (Purn) Suharto menggelorakan semangat, khususnya untuk kaum muda :  \"Meski sudah tua, saya siap memakai helm lagi, pakai senapan serbu kembali untuk merubah ini\".  Akar rumput sudah kering. Bangkit atau punah.  Bandung,  29 Januari 2024

Pemilu 2024, Perang Penentu Masa Depan Indonesia

Oleh: Syaiful Bahri Rurai | Anggota DPR RI Periode 2014-2019 PEMILU  kali ini, terlihat menguatnya pertarungan gerakan di bawah permukaan, bukan sekadar pada WA Group dan medsos, namun operasi daratlah yang menentukan akhir kemenangan dari sebuah perang. Walaupun perang via medsos, hanyalah operasi udara di dunia maya semata, yang bisa saja mempengaruhi persepsi publik.  Namun operasi darat, adalah pasukan infanteri di lapangan yang menentukan akhir sebuah pertempuran dan perang, makanya infanteri adalah queen of the battle. Tentu saja pasukan darat tersebut harus pula mendapat bantuan tembakan dari pasukan artileri medan, dan juga kavaleri, agar tidak banyak jatuh korban yang berjatuhan.  Dengan turun tangannya sang raja ke medan laga, itu berarti indikasi kuat bahwa kontestasi pemilu 2024 semakin kencang dan kompetitif. Intinya seluruh operasi dalam sebuah perang, tetap saja bertumpu pada operasi intelijen sebagai tulang punggungnya.  Makanya Hadist Nabi menyebut \"Al-harbu khid\'ah\" karena politik, adalah perang tanpa darah, dan perang adalah politik dengan darah, kata Mao Tze Tung, juga Carl von Clauzewits. Mao Tse Tung menyebut kemenangan perang bertumpu pada operasi gerilya, dengan strategi desa mengepung kota.  Strategi mana telah berhasil melumpuhkan pihak Kuo Min Tang dibawah pimpinan Chiang Kai Sek pada 1948. Mao pun akhirnya berhasil menguasai China daratan sepenuhnya. Kuo Min Tang pun akhirnya memilih mundur ke Taiwan. Gerilya pun terbagi dua, ada total gerilya, dan ada hit and run.  Dalam sejarah Indonesia, sesaat setelah kemerdekaan 17 Agustus 1945, kita pun tak luput dari intervensi asing. Indonesia pernah diserbu sekian Divisi Pasukan Inggris, dengan melibatkan detasemen Gurkha yang terkenal tangguh di segala medan tersebut.  Inggris sebagai pemenang Perang Dunia II, memiliki alutsista lengkap, darat, laut dan udara, namun mereka kalah di Surabaya, karena ada spirit pada rakyat yang melawan secara kolektif dan solid berjibaku, walau hanya dengan bermodalkan *Resolusi Jihad* Para Kyai (KH Hasyim Ashari dan KH Chasbullah Wahab), yang ikut membentuk lasykar² perlawanan seperti Hizbullah dll untuk bangkit melawan sampai titik darah penghabisan.  Tercatat dua orang Brigadir Jenderal Inggris tewas, di Morokrembangan dan Jembatan Merah, Surabaya, ditangan milisi sipil yang justeru tidak terlatih dengan baik secara militer tersebut. Mereka dengan gagah berani menghadang militer Inggris, walau hanya dipimpin seorang anak muda Bung Tomo, dengan modal retorika yang menggema: *Allahu Akbar* dan *Merdeka atau Mati* lewat siaran Radio Pemberontak. Hingga 3 orang tukang becak jalan Tunjungan Surabaya, dengan gagah berani menaiki puncak menara Hotel Yamato (eks Hotel Oranye, sekarang: Hotel Majapahit), untuk merobek bendera Belanda menjadi Merah Putih, walau tewas ditembus peluru Belanda.  Lalu pada tahun 1947 dan 1948, Indonesia secara resmi diserbu Militer Belanda pada Agresi I dan II, dengan mengerahkan 200,000 pasukan militernya. Belanda secara sepihak membatalkan Perjanjian Renville yang ditanda tangani diatas kapal perang AS USS Renville tersebut. Namun perlawanan gerilya \"hit and run\" dari Panglima Besar Sudirman, yang sementara sakit paru² berat, beserta rakyat, berhasil melumpuhkan militer Belanda.  Bahkan panglima pasukan KNIL, Jenderal Simon Hendrik Spoor pun tewas tertembak oleh pasukan gerilya pimpinan Kapten Maraden Panggabean di Sumatera Timur (Sumut sekarang), walau versi Belanda menyebutnya tewas diracun oleh operasi telik sandi gerilya Indonesia, karena saking malunya Belanda untuk mengakui sang jenderalnya tewas ditangan pasukan TNI..Nakh, sekarang pemilu juga adalah tak lepas dari campur tangan kepentingan asing dan aseng.  Karena posisi geostrategis, dan SDA Indonesia yang sangat kaya dan melimpah, begitu menjanjikan baginsiapapun yang menguasainya...Nusantara memang telah lama di incar, bahkan sejak era Kediri dibawah Raden Wijaya dan Kertanegara, telah di invasi oleh Pasukan Kubilai Khan sebanyak dua kali, namun 30,000 Prajurit Mongol yang sangat kesohor dan ditakuti tersebut, justeru kucar-kacir di tanah Jawadwipa pada 1293.  Bahkan Komandannya Meng Khi, dipotong hidungnya oleh pendekar-pendekar pribumi yang tak rela tunduk kepada asing dan aseng. Prinsip lama Sun Tze seakan berlaku abadi: \"kenalilah musuhmu, maka engkau akan memenangkan 1000 pertempuran.\" Indonesia kali ini butuh pemimpin baru, yang benar-benar memahami akan perubahan geopolitik, baik regional maupun global dewasa ini. Karena dunia sedang tidak dalam kondisi baik-baik  saja.  Disekeliling kita, ada eskalasi di Laut China Selatan (LCS) dengan kencangnya klaim China melalui Ten Dash Lines nya, di selatan kita telah ada Pakta AUKUS antara Australia, AS dan Inggris, yang mengantisipasi kehadiran China di Pasifik Selatan, dan  di Pasifik ada juga Aliansi QUAD.  Ini seakan memutar memori kita kembali pada era Cold War. Namun kali ini *Cold War Going Hot* nampaknya. Dan Pemilu 2024 ini, adalah penentuan seperti apa nantinya wajah dan eksistensi Indonesia dimasa depan. Mengutip Gandhi: *the future depends on what we do today.*_

Politik Semakin Acakadut

Oleh M Rizal Fadillah | Pemerhati Politik dan Kebangsaan SETELAH deklarasi Jokowi yang siap memihak dan beralasan itu adalah hak warga negara, maka iklim politik terasa semakin acakadut. Di belakang Jokowi berdiri bak \"ajudan\" Prabowo Subianto. Halim menjadi tempat \"deklarasi\" politik acakadut yang mengingatkan bahwa tempat ini dahulu pernah menjadi \"pangkalan\" PKI, tempat penyiksaan Jenderal dan Lubang Buaya.  Deklarasi Halim ternyata dikritisi banyak pihak, bagaimana bisa seorang Presiden secara vulgar memihak dan mendukung satu paslon dengan alasan sebagai hak politik. Ia lupa ketika menjadi Presiden maka ia adalah Presiden Republik Indonesia. Pemimpin semua rakyat termasuk pemimpin ketiga Capres. Bukan Presiden Capres Cawapres nomor urut 2. Apalagi cuma Presidennya si Gibran sang anak.  Bila mau bebas berpolitik, mendukung, memihak, menjilat atau merangkul bahkan merekayasa dan memelintir, maka tanggalkan dulu baju Presidennya. Menjadi warga negara biasa yang bebas dan berada dalam semau-mau kubu atau kutub. Jika berbaju Presiden maka Jokowi tidak bisa berbuat seenaknya. Ada moral, etika dan hukum yang membatasi dan mengatur.  Presiden yang bebas memihak dan berkampanye disusul pernyataan bahwa Menteri juga boleh, maka lanjutannya adalah Kepala Daerah hingga Kepala Desa, ASN, Polisi dan TNI bebas pula. Betapa acakadut nya negara pimpinan Jokowi ini. Fasilitas negara digunakan untuk kepentingan pribadi. Membuka peluang untuk terjadinya desintegrasi dan kerusuhan politik.  Main bola tanpa wasit akan membuat pemain saling sikut dan tendang, penonton bebas turun mendukung. Memukul dan ikut menendang pula. Sepakbola acakadut.  Politik acakadut tidak boleh terjadi. Jokowi harus dihentikan. Jokowi itu biang dari kekacauan. Tidak menghargai moral, etika dan hukum. Apa beda Jokowi dengan Fir\'aun, Hitler, Mussolini, Lenin dan Mao Tse Tung ? Jika ia tetap nekad untuk seenaknya dalam memimpin negara, maka Jokowi berada dalam rumpun yang sama.  Awalnya Jokowi bilang akan netral eh ujungnya terjun langsung dukung anak. Dalam agama itu munafik namanya. Pagi dan sore beda. Dalam Hadits Bukhori, tiga ciri munafik nampaknya ada pada Jokowi, yaitu bila ngomong pasti bohong (idza hadatsa kadzab), jika berjanji maka ingkar (idza wa\'ada akhlaf) dan jika diberi amanat khianat (idza tu-mina khoona). Pemimpin munafik tidak boleh ditoleransi. Stop sampai sini.  Kepemimpinan di bawah perilaku munafik akan kacau alias acakadut. Esensinya adalah rakyat yang selalu dibohongi atau ditipu oleh pemimpin. Jokowi menjadi contoh penipu dan pembohong. Setelah berbohong soal putera yang tidak tertarik politik, kemudian menipu rakyat dengan Putusan MK berstempel \"sayang anak\",  mengkhianati sumpah, serta berwajah \"negara adalah aku\", maka perlawanan harus dilakukan lebih masif dan massal.  Pembangkangan sosial, politik, budaya dan keagamaan dapat menjadi penekan sekaligus penyelamatan atas penyanderaan birokrasi, TNI dan Polisi, politisi dan akademisi oleh Jokowi. Jokowi sudah melanggar sekurangnya Tap MPR No VI tahun 2001, Pasal 7A UUD 1945 dan Pasal 9 ayat (1) UUD 1945.  Pelanggaran fatal ini menjadi dasar Jokowi harus segera dimakzulkan. Menunda berarti membiarkan terjadinya pembusukan dan peracunan demokrasi. Indonesia terus menerus berantakan atau acakadut berada di bawah sepatu Jokowi.  Cuma omon-omon atau cuap-cuap saja Pemilu itu bersih, jujur dan adil selama masih ada Jokowi.  Bandung, 27 Januari 2024.

Hipokritnya Seorang Presiden

Oleh Syafril Sjofyan | Pemerhati Kebijakan Publik TANGGAL Satu November 2023 sewaktu meresmikan proyek, Presiden Jokowi menyatakan bahwa pemerintah pusat, pemerintah daerah, pemerintah provinsi, kabupaten dan kota, ASN, TNI & POLRI semua harus netral.   Kemudian pada kesempatan lain tanggal 24 Januari 2024 Presiden  Joko Widodo menyampaikan tentang hak demokrasi hak setiap orang, Presiden dan Menteri boleh berkampanye, boleh berpihak. Entah siapa yang “membisikkan”, sehingga dalam tempo dua bulan pernyataan berbalik menjadi hipokrisi.  Presiden Joko Widodo, sepertinya “tidak bisa membedakan” antara dirinya sebagai personal dan jabatannya sebagai Presiden. Sebagai pribadi Jokowi punya hak politik boleh berpihak. Tapi sebagai Presiden dia terikat sumpah jabatan dengan atas nama Allah. Tentunya lebih tinggi dari aturan. Akan berbuat seadil-adilnya. Pertanyaannya Sumpah Jabatan Presiden ini mau dimasukkan ke keranjang sampah. Astagfirullah. Analisis kesatu hipokritnya Presiden, bersumber atas ketakutan kehilangan kekuasaan sehingga lupa diri. Sudah diketahui umum bahwa Presiden Joko Widodo ingin memperpanjang masa jabatannya menjadi 3 periode. Partai Pendukung utama yang menjadikan dirinya dia jadi Presiden dua periode (yakni PDI Perjuangan) sangat tidak setuju. Begitu juga dengan keinginan menambah jabatan 2 tahun juga gagal. Rupanya dari kegagalan tersebut Anwar Usman sang Ketua MK, adik Ipar dari Joko Widodo, paman dari Gibran “menghalalkan segala cara” melakukan Pelanggaran Etika Berat dengan membuat Keputusan MK meloloskan keponakannya Gibran menjadi cawapres. Menurut Tempo anak haram konstitusi. Selain melanggar Etika Berat, Joko Widodo sekeluarga (Anwar Usman, Gibran, Iriana) juga melakukan  dugaan tindakan kriminal berat karena tuntutan hukumannya maksimal 12 tahun, yakni melanggar Pasal 1 angka 5, UU No.28 Tahun 1999 menyatakan: “Nepotisme adalah setiap perbuatan penyelenggara negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara”.  Mengenai dugaan tindakan nepotisme tersebut  oleh Petisi 100 bersama Forum Alumni Perguruan Tinggi Bandung Berijazah Asli (FORASLI) dengan memberikan kuasa kepada 20 orang pengacara telah menyampaikan pelaporan kepada Bareskrim POLRI, sudah diterima oleh Kabareskrim dengan nomor agenda PM 499  tertanggal 22 Januari 2024. Analisis kedua, kekuatiran terhadap kekalahan sang putera mahkotanya Gibran pada pilpres yang akan berlangsung pada tanggal 14 Februari 2024. Walaupun sudah dikondisikan dengan mengumpulkan sejumlah surveyor maupun influencer untuk membentuk opini bahwa Parbowo Gibran menang satu putaran. Kenyataannya berat karena angkanya stag. Sementara pasangan lain seperti  AMIN malah trendnya menaik. Semula rezim Joko Widodo (Jokowi) telah berusaha dengan segala cara untuk menggagalkan  Anies Baswedan sebagai calon presiden. Ini pengakuan Prof. Mahfud MD sebagai Menkopolhukam. Dia tidak setuju dan berusaha agar Anies tetap bisa jadi capres. Skenario rezim gagal.  Dalam perjalanan kampanye Anies selalu \"dihambat” dengan berbagai cara, mencabut ijin gedung untuk acara secara dadakan.  Yang heboh adalah hilangannya videotron Anies yang diluncurkan oleh kreativitas Gen Z. Ini jelas kontraproduktif bagi pasangan Prabowo Gibran. Termasuk dalam empat kali debat yang diadakan oleh KPU.  Dalam debat dan setelah debat Capres Prabowo kelihatan emosi, terkesan marah-marah mulu. Menurut Sri Mulyani, Menkeu jangan pilih pemimpin yang tidak bisa mengendalikan emosi. Gibran dalam debat terlalu banyak gaya dengan gimick lupa dengan kesantunan. Rakyat Indonesia dikenal dengan kesantunannya.  Apalagi bagi orang Jawa, Sunda dan suku lainnya, sangat menjaga sopan santun ketimuran. Sehingga bagi Prabowo dan Gibran debat menjadi kontra produktif. Buntutnya Presiden Joko Widodo “marah”, sempat meminta agar tata cara debat diubah. Untung KPU menolak. Dari kedua analisis tersebut Presiden Jokowi menjadi gelap mata lagi. Bagaimana caranya untuk memenangkan puteranya Gibran. Untuk memperpanjang kekuasaanya terhadap pemerintahan ke depan.  Satu satunya cara yaitu melupakan sumpah jabatannya atas nama Allah untuk berlaku adil. Sah jika dinyatakan kalau Presiden Joko Widodo hipokrit. Telah ikut terlibat bukan sebagai pribadi Jokowi, tetapi sebagai Jabatan Presiden. Melalui  pernyataan bahwa Presiden boleh kampanye boleh berpihak. Serta melupakan penyataan sebelumnya  yang belum seumur jagung untuk netral. Inilah hipokritnya seorang Presiden. Berbahaya bahwa Presiden dengan jabatannya dan kekuasaannya bisa menggerakkan semua institusi yang berada di bawah kekuasaannya, baik secara langsung melalui perintah baik lisan atau tulisan, maupun secara tidak langsung melalui tangan-tangan kekuasaan lainnya untuk berpihak kepada puteranya. Saat ini sudan banyak terjadi.  Sehingga keadilan sebagaimana yang di nyatakan dalam sumpah jabatan tidak akan terjadi. Artinya Presiden Joko Widodo melanggar sumpah jabatan.  Sudah banyak tuntutan masyarakat dari berbagai pihak tokoh nasional, ulama dan purnawirawan termasuk dari Petisi 100 agar Presiden Jokowi di makzulkan agar Pemilu terlaksana dengan jujur dan adil.  Tentu jika Presiden  melanggar sumpah Jabatan yang merupakan perbuatan tercela. Wajar masyarakat akan bergerak untuk menghentikan ketidak adilan tersebut. Bandung, 25 Januari 2024.