OPINI

Buka Nalar Kita Penolongmu Ada di Depanmu

Oleh Sutoyo Abadi | Koordinator Kajian Merah Putih  PRESIDEN akan digantikan oleh Wakil Presiden jika mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya. Ia akan digantikan Wakil Presiden hingga masa jabatannya selesai (Pasal 8 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945). Pada Pilpres 2024 semua pasangan calon memiliki peluang yang sama untuk menang. Termasuk pasangannya calon Prabowo Subianto ( PS ) dan Gibran Rakabuming Raka. (GRR). Usia manusia itu tidak ada yang tahu di mana ajal akan tiba. Kalau PS menang dan terpilih menjadi Presiden dalam perjalanannya yang baru dia bertugas meninggal dunia ( tentu kita berdoa umur panjang Naiklah wakilnya menjadi presiden sebagai seorang presiden. Kalau ini terjadi maka dari sinilah bunyi sirine meraung sinyal ada bahaya. GRR harus mengendalikan penduduk Indonesia diproyeksikan sebanyak 278,8 juta jiwa pada 2023, merupakan penduduk muslim  dan demokrasi terbesar di dunia.  GRR akan dipaksa  masuk pada pergaulan dan pergulatan kekuatan global  baik untuk forum  politik dan ekonomi dunia  Presiden sebagai kepala negara harus memimpin banyak kunjungan dan pertemuan dengan berbagai pemimpin dunia. Didalam negeri presiden akan memimpin 5 ( lima ) jenderal bintang 4. Satu Panglima satu Kapolri 3 ( tiga ) kepala staf dari 3 ( tiga) angkatan yang merupakan manusia terlatih dan terbaik, baik Polri dan TNI. Macam macam urusan negara , termasuk harus berhadapan dengan partai politik, DPR/MPR yang sangat rumit dan liar di era UUD 2002, yang telah menciptakan negara kapitalis liberal dengan segala konsekuensi, resiko dan akibatnya  Dapatkah dibayangkan keadaan  di masa dan saat itu. Indonesia dibawah kendali presiden hasil rekaya politik yang dipaksakan, hanya karena ambisi politik horor dan angkaramurka. Bisa kah dia menghandle semua itu, mampukah, kuat kah.  Jokowi sedang berjuang membuat negara dinasti dan telah berhasil MK melahirkan NEPO Baby. Itu akan  menjadi aib sejarah pasca reformasi, now and forever sejarah akan mencatat. Presiden langsuny tinggal menghitung hari. Siapa Presiden yang akan bisa membawa Indonesia menjadi lebih baik menjadi tanpa hutang menjadi tanpa ketergantungan asing menjadi berdaulat, serta Indonesia bisa keluar dari era kalabendu (masa kekacuan atau chaos ) menjadi zaman kalasuba (zaman keemasan dengan pemulihan dan pencerahan) Semua ada pilihan rakyat Indonesia, buka nalar kita, di depanmu ada bahaya, penolongmu ada didepanmu  \"Selamatkan Indonesia\"**

Anies, Prabowo, dan Tanah Untuk Rakyat

Oleh Dr. Syahganda Nainggolan | Sabang Merauke Circle PASKA debat pilpres ke-3, Prabowo menyerang Anies di hadapan pendukungnya di Riau kemarin. Prabowo mengatakan dua hal, pertama, ketololan Anies soal tanah, karena Anies tidak mengerti bahwa tanah Prabowo itu bukan hak milik melainkan hak guna usaha. Kedua, data Anies salah, tanah yang dimiliki Prabowo lebih luas dari yang disebut Anies. Anies menyebut 340.000 Hektar, Prabowo mengatakan sesungguhnya dia memiliki 500.000 Hektar. Persoalan tanah Prabowo ini muncul dalam debat capres ketiga karena pertanyaan soal Geo-spatial. Anies menarik soal ini pada isu etik seorang pemimpin yang memiliki tanah yang kontras dengan rakyatnya. Anies memang membandingkan dengan prajurit. Namun, kalau dibandingkan dengan petani yang rerata hanya memiliki 0,17 HA (lihat Bayu Krisnamurti dalam  \"Mantan Wamentan: Pendapatan Petani Indonesia Rata-rata Rp 1 Juta, Masih di Bawah UMP\", Kompas, 23/11/23), tanah Prabowo sama banyaknya dengan tanah hampir 3 juta jiwa petani. Urusan tanah Prabowo ini sesungguhnya disinggung pertama sekali oleh Presiden Jokowi pada debat pilpres 2019. Jokowi yang rajin membagi-bagikan sertifikat tanah, mempersoalkan kepemilikan tanah Prabowo saat itu. Pembagian tanah, yang dicita-citakan Jokowi dalam salah satu poin utama Nawacita, memang terkendala karena sesungguhnya nyaris semua tanah-tanah di Indonesia ini, sekitar 70 juta Hektar non hutan, sudah di miliki oleh berbagai oligarki, baik elit-elit nasional maupun internasional. Meski Prabowo mengklaim itu punya perusahaan dan berupa Hak Guna Usaha, namun ukuran ketimpangan kepemilikan lahan sejatinya melihat soal kepemilikannya, bukan sekedar status hak. Menurut Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), telah terjadi ketimpangan dengan 1% korporasi memiliki 68% tanah di Indonesia (cnn Indonesia online, 13/9/21). Dalam siaran persnya, KPA secara terus menerus menyoroti ketimpangan kepemilikan yang semakin dalam. Bahkan, semakin hari semakin meningkat konflik dan kekerasan dalam kasus sengketa lahan. Rakyat tergusur semakin banyak. Sementara itu,  Shohibuddin, 2/3/19, peneliti dari Institut Pertanian Bogor (IPB), dalam, \"Meluruskan Narasi Ketimpangan Agraria \" (psa.ipb.ac.id, 2/3/2019), kondisi ketimpangan ini telah mengkhianati Bung Karno dan pendiri bangsa. Menurutnya, UU Pokok Agraria hasil revolusi besar konsep Bangsa Indonesia melawan Belanda mengamanatkan pertama, semua tanah untuk kemakmuran petani, kedua, kepemilikan tanah lebih ditujukan pada kolektivisas petani, bukan korporasi besar. Kegagalan Nawacita Isu pembagian tanah untuk rakyat sebenarnya sudah dicanangkan Joyo Winoto, kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN), era SBY jilid satu. Joyo, yang memetakan adanya potensi 9 juta lahan non hutan, akan memulai pembagian dari Blitar. Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), secara lembaga atau individual, berada dibalik upaya ini. Upaya ini mereka sebut sebagai Landreform.  Namun, upaya ini gagal. Sumber saya di lingkungan istana era itu menyebutkan adanya ketakutan pemerintah masuk dalam tema Landreform tersebut, karena di masa lalu bagi-bagi tanah untuk rakyat miskin dianggap Komunis. Pada era Jokowi, rencana itu kembali dimunculkan. Nawacita Jokowi memasukkan poin Landreform. Namun, faktanya nyaris tidak ada Landreform, yang ada lebih pada kebijakan sertifikasi lahan dan pinjam pakai lahan hutan. Sebagaimana saya sebutkan di atas, upaya Landreform sesungguhnya mengalami kegagalan sejak ide itu dimaklumatkan Bung Karno sebagai amanat revolusi. Dengan dibuatnya UU Pokok Agraria, 1960, Bung Karno berusaha melakukan redistribusi tanah agar seluruh rakyat, khususnya petani, makmur. Sayangnya, upaya ini ditentang oleh kelas atas yang memiliki tanah. Sehingga, sejak UU itu ada, rencana negara melakukan redistribusi tanah secara adil, tidak bisa tercapai.  Belakang ini rencana itu akan semakin sulit, karena orang-orang yang berkuasa kebanyakan adalah pemilik lahan besar. Meskipun mereka sering mewakili organisasi tani dan sejenisnya, namun, mengharapkan mereka memikirkan pembagian tanah secara adil sangatlah sulit Penutup Anies telah berkali-kali mengatakan bahwa tidak ada gunanya Indonesia Merdeka jika kita tidak bisa memberikan tanah untuk rakyat. Tanah adalah kapital penting untuk membuat rakyat sejahtera. Prabowo Subianto sendiri, ketika diserang Jokowi tentang kepemilikan tanah yang sangat luas, pada debat 2019, membalas jawaban serupa seperti pada kasus Anies. \"Saya mengelola ini lebih baik dari pada dikasih asing\", katanya. Padahal soal ketimpangan kepemilikan tanah merupakan jantung persoalan keadilan bangsa kita sejak merdeka. Bagaimana Prabowo memikirkan tanah untuk rakyat jika dia sendiri memiliki \"konflik of interest\" soal ini.  Akhirnya terserah rakyat miskin di Indonesia ini, apakah soal ketimpangan kepemilikan tanah ini harus diselesaikan segera, atau berlanjut. Disini kita harus melihat bahwa Anies tidak memiliki kepentingan pribadi dan \"konflik of interest\" untuk menyelesaikan ketimpangan kepemilikan tanah di Indonesia. (*)

Bayangan Suram Putaran Kedua tanpa Prabowo

Oleh Laksma TNI Pur Ir Fitri Hadi S, M.A.P | Analis Kebijakan Publik DEBAT capres kedua tanggal 7 Januari 2024 selesai, dengan tema pertahanan, keamanan, hubungan internasional, dan geopolitik. Tema ini, khususnya pertahanan dan keamanan seharusnya menjadi kekuatan Prabowo dalam mempresentasikannya dan beradu argumen dengan capres lainnya, namun justru kedodoran di tema tersebut. Capres Anies dan Ganjar mengeroyoknya. Pada sesi wawancara usai debat, Prabowo mengawali katanya dalam konferensi pers tersebut dengan kata “Saya kecewa”. Capres Prabowo menyatakan bahwa narasi paslon lain datanya banyak yang salahlah, keliru, kedua masalah pertahanan mau dipakai sebagai poin politik. Menurutnya untuk negarawan hal itu tidak boleh. Lebih lanjut  capres  Prabowo menyatakan masalah pertahanan adalah hal yang sakral dan  rahasia. Pernyataan capres Prabowo dapat dikatakan keliru besar, blunder besar dengan  menyalahkan capres lain karena tema pertahanan adalah tema yang telah  ditetapkan oleh KPU, mereka para capres dan orang-orang yang terlibat dalam kegiatan tersebut bertanya dan menyawab serta berkomentar sesuai alur yang diatur dalam tema tersebut. Jadi apabila pernyataan capres Prabowo itu benar seharusnya yang paling patut disalahkan adalah KPU, karena KPU yang telah menetapkan pertahanan sebagai tema materi debat kala itu. Lebih jauh lagi materi pertanyaan dibuat oleh 11 (sebelas) panelis dengan profesi yang tidak sembarangan. Mereka adalah para Guru Besar dari perguruan tinggi ternama di Indonesia, mereka salah satunya adalah Ketua Dewan Guru Besar Universitas Pertahanan dan KSAL 2012-2014, Laksamana TNI (Purnawirawan) Marsetio. Tentu banyak orang tahu, tidak semua yang menyangkut pertahanan bisa disebut rahasia apalagi disebut sakral dan capres Prabowo tidak pula menjelaskan  hal yang mana dalam debat tersebut bersifat rahasia dan sakral. Menyalahkan pihak lain dengan alasan yang tidak jelas dan tidak masuk akal justru  menunjukkan bukan sifat satria dan keperwiraan  yang mau mengakui atau menerima kekalahan, tapi malah menyalahkan orang lain, apalagi dengan menyebut bukan negarawan. Apabila debat ke 3 ini disebut suatu kekalahan, masih ada debat ke 4 dan 5 untuk memperbaiki keadaan, apalagi capres Prabowo sendiri pernah mengatakan biarlah rakyat yang menilai, jadi tidak perlu gusar. Namun bila sikap emosional yang dikembangkan lalu menyalahkan pihak lain, tentu kita masih ingat kejadian Pemilu tahun 2019 lalu, ketika Prabowo mengalami kekalahan atas Jokowi waktu itu. Protespun dilayangkan dan demo menghasilkan bentrok fisik antara pendemo dengan aparat. Darahpun tumpah. Bila dalam Pemilu presiden ini capres Prabowo kembali kalah dan di putaran pertama pula, siapakah yang dapat menjamin Pemilu damai dapat terus berlangsung sampai usai?  Capres Prabowo kali ini didampingi oleh cawapres Gibran yang tidak lain putra sulung Presiden Jokowi, ditambah pula dengan cawe cawe Jokowi, sehingga dapat dikatakan pasangan  Prabowo Gibran adalah pasangan petahana atau incumbent adalah kekuatan yang besar. Bila kekuatan besar ini merasa dicurangi, merasa pasangan lain melakukan kesalahan sehingga Prabowo Gibran kalah siapakah yang mampu menghadapi kekuatan besar tersebut. Apalagi bila wujud kekuatan besar itu dengan tujuan presiden  3 periode atau perpanjangan masa jabatan presiden, capres Prabowo hanyalah alat.  Siapakah yang mampu melawan? Inilah bayangan suram Pemilu Presiden 2024, akankah demo berdarah kembali tergelar di tengah Pemilu yang belum usai? Akankah senapan aparan kembali menyalak? Akankah Pemilu kali ini menang jadi arang kalah jadi abu? Semoga tidak. Semoga Pemilu 2024 berjalan damai jujur adil dan bebas dari intervensi manapun. Aamiin. (*)

Mahfud MD: Hak Rakyat untuk Memakzulkan Jokowi

Oleh M Rizal Fadillah | Pemerhati Politik dan Kebangsaan BERSAMA dengan kelompok aspirasi lain termasuk perwakilan akademisi, Petisi 100 menyampaikan aspirasi kepada Mahfud MD beserta jajaran Kemenpolhukam di Jakarta. Pada pokoknya aspirasi itu berkenaan keprihatinan atas proses Pemilu 2024 khususnya Pilpres yang ditengarai sarat dengan berbagai kecurangan. Mahfud MD telah membentuk Satgas Pelanggaran Pemilu 2024. Rombongan berjumlah 21 orang yang diterima Menkopolhukam itu dipimpin oleh aktivis 98 Faizal Assegaf. Dalam kata pembukanya Faizal menyatakan bahwa masyarakat yang peduli pada Pemilu yang bersih, jujur dan adil sangat mendukung pembentukan Satgas Pelanggaran Pemilu 2024 tersebut.  Para tokoh menyampaikan pandangan yang substansinya menyangkut tiga hal, yaitu  : Pertama, situasi politik dirasakan semakin memanas menjelang Pemilu dengan indikasi kecurangan yang semakin terang benderang baik penggelembungan DPT, pengerahan aparat, intimidasi maupun kartu suara yang telah tercoblos.  Kedua, Presiden Jokowi menunjukkan sikap yang tidak netral. Sangat memihak pada pasangan calon Presiden tertentu, memproteksi kepentingan anak, serta terindikasi menyalahgunakan fasilitas negara.  Pemilu tanpa Jokowi merupakan solusi terbaik. Ketiga, semangat pemakzulan Jokowi semakin menguat. Terbaca bahwa sumber kecurangan Pemilu adalah Jokowi. Rakyat sudah ingin agar Jokowi segera berhenti. Proses pemakzulan memiliki landasan konstitusional. Jokowi telah memenuhi syarat untuk dimakzulkan.  Pencegahan kecurangan harus dilakukan serius sebab rakyat sudah sangat jengkel dengan perilaku politik menyimpang penguasa. Curang berarti perang, demikian slogan bermunculan. Tercetus pula opsi revolusi. Pembusukan (decaying) telah mencapai titik kulminasi. Rezim Jokowi sulit untuk dipercaya lagi.  Mahfud MD menyatakan bahwa pemakzulan Jokowi adalah hak rakyat. Bahkan revolusi sekalipun. Hanya selama masih ada kekuatan untuk mencegah, hal itu harus diupayakan. KPU dan Bawaslu dituntut independen dan fungsional. TNI Polri agar netral dan profesional.  Petisi 100 akan terus berjuang untuk memulihkan kedaulatan rakyat. Oligarki bahkan monarki harus ditumpas. Kekuasaan Jokowi berbasis keluarga adalah ancaman yang membahayakan bangsa dan negara. Nepotisme itu kriminal.  Mewakili Petisi 100 dalam pertemuan dengan Menkopolhukam tersebut adalah Letjen (purn) Mar Soeharto, DR Marwan Batubara, Dindin S Maolani, SH, Ir. Syafril Sjofyan, Mayjen (Purn) Deddy S Budiman, KH Syukri Fadholi dan M Rizal Fadillah, SH.  Bandung, 9 Januari 2024. (*)

Memaknai Anies Manusia Biasa (Cinta Perspektif Sufistik)

Oleh: Ady Amar | Kolumnis PERNAH tidak melihat Anies Baswedan ditanya sebuah pertanyaan, dan ia tak mampu menjawab. Rasanya sekalipun tak pernah. Bahkan yang ada justru sebaliknya, Anies mampu menjawab pertanyaan apa pun yang ditanyakan dengan jawaban terukur. Sepertinya Anies tahu semuanya, dan karenanya ia mampu menjawab dengan tidak asal menjawab. Seorang kawan penggagum Anies--masuk kategori militan-entah sebab apa melontarkan satu tanya, yang sebenarnya lebih sebagai keinginan tak biasa. Begini lebih kurang narasi keinginan yang dibalut tanya terlontar dari mulutnya, ia ingin Anies sesekali tak mampu menjawab apa yang ditanyakan padanya. Sungguh keinginan out of the box dari kawan pengagum Anies. Bisa jadi hanya ia seorang yang berharap demikian. Sedang pengagum lain berharap sebaliknya, Anies selalu mampu menjawab semua hal yang ditanyakan. Keinginan kawan itu boleh jika disebut tak lumrah. Tanpa perlu ditanya sang kawan tadi menjelaskan, itu agar Anies tampak sebagai manusia biasa, yang juga bisa tak mampu menjawab pertanyaan yang diajukan. Tambahnya, agar kultus pada Anies tak lalu bebas menyergap pikiranku. Sebagai penegas atas keinginannya itu, ia lirih berucap, agar Anies pun tak tersandung masuk dalam perangkap ujub--meski sikap itu jauh dari tabiat Anies--yang tidak mustahil mampu melenakan. Itulah keinginan sufistik dari seorang kawan yang acap melontarkan pikiran langit, yang memang sulit bisa dinalar. Aya-aya wae kawan satu itu, jika dilihat dalam pandangan umum yang tak ingin orang yang dikaguminya terpeleset pada apa saja, termasuk tergagap saat ditanya sesuatu, dan tak mampu menjawab. Namun kawan satu itu lebih melihat Anies dari sudut lain, dan itu bentuk kecintaan dalam perspektif sufistik. Memang sulit dinalar. Dan, itu lebih ingin Anies tak tergelincir. Ia pun tak berharap agar nalar umum memahaminya. Ia menyadari pikirannya itu pikiran tak biasa Anies bagi mereka yang tak berada \"satu gerbong\" dengannya--pada pilihan politik Pilpres 2024--jika sedikit mau jujur akan muncul pengakuan, bahwa Anies memang punya kemampuan komunikasi mumpuni, dan pengetahuan memadai. Karenanya, ia mampu menjawab apa yang ditanyakan dengan memuaskan. Apalagi dalam pandangan pengagumnya, Anies bak jagoan yang nyaris tanpa lawan yang mampu disanding-tandingkan. Maka, ketakutan kawan tadi pada apa yang dicintainya menjadi relevan, jika menilik alasan yang dipaparkannya. Bentuk kecintaan yang dipilih meski dalam sudut tidak biasa. Dan, kita pun terpaksa mencerna bentuk kecintaannya, syukur jika memahami, dan tak mengapa juga jika tak memahami. Tapi mengapa mesti terbangun argumen tak biasa, agar Anies sesekali tak mampu menjawab apa yang ditanyakan, jika hanya ingin melihat Anies (seperti) manusia biasa. Mengapa tidak pada argumen lain diajukan, yang lebih bisa diterima, yang bisa melihat Anies sebagai manusia biasa seutuhnya. Tapi biarlah kawan tadi dengan permintaan tak biasa, bagian dari kecintaannya, yang meski tetap sulit dipahami lewat pikiran orang kebanyakan. Jika saja kita melihat Anies sebagaimana sang kawan tadi melihat dalam perspektif yang sama--perspektif sufistik--melihat Anies dengan kacamata tak biasa, itu sebenarnya lebih pada metafor yang terbangun tak sebenarnya. Tak sungguh-sungguh berharap Anies tak mampu menjawab pertanyaan yang diajukan, meski hanya sekali-kalinya. Sejatinya lebih pada \"pemberontakan\" pikiran sufistiknya dalam melawan logikanya sendiri, agar tak terjerembab pada kultus dan sejenisnya. Saya dan pun teman lainnya  yang mendengar harapan tak biasa, itu \"dipaksa\" setidaknya sedikit banyak belajar alam pikir sufisme, yang memang sulit dinalar orang kebanyakan. Tapi tetap saja masih menyisakan ruang kosong tanya yang belum selesai, mengapa mesti berharap agar Anies tak mampu menjawab pertanyaan yang ditanyakan, meski hanya sekali-kalinya. Inti dari semuanya itu lebih pada kecintaan pada Anies, agar tak jatuh setelah sorak-sorai pengagum \"perubahan\" yang sulit bisa dibendung, yang itu mampu melenakan. Lalu muncul tanya berupa keinginan, agar Anies sesekali tak mampu menjawab tanya yang diajukan, itu agar ujub tak sempat muncul. Itu saja sih sebenarnya.**

Gemoy Hancur Berantakan dalam Semalam, Citra Prabowo Nyungsep

Oleh M Rizal Fadillah | Pemerhati Politik dan Kebangsaan DEBAT Capres malam tadi menarik. Ada adu pandangan, adu tampilan, bahkan adu data. Nampak Prabowo menjadi musuh bersama Capres lain Anies dan Ganjar. Prabowo menjadi tidak fokus menghadapi \"serangan\" dari dua kubu. Tergambar Prabowo merepresentasi \"status quo\" sedang Anies Baswedan \"perubahan\" dan Ganjar Pranowo mencoba menjadi \"penyeimbang\". Namun fakta dari debat adalah Anies dan Ganjar \"bersekutu\" menyerang Prabowo.  Masing-masing melakukan konperensi pers sebelum pulang. Ganjar-Mahfud mengawali tanpa pengantar menjawab beberapa pertanyaan wartawan dengan menekankan pada tantangan data atas Prabowo. Menolak ajakan \"buka-buka\" untuk waktu lain. Bagi Ganjar data harus tuntas saat debat.  Anies-Muhaimin setelah memberi pernyataan pengantar lalu menjawab pertanyaan. Menekankan etik, pergaulan global, dan efisiensi penjelasan. Sebagaimana Ganjar, Anies menolak ajakan \"ngopi-ngopi\" Prabowo. \"Ini bukan persoalan pribadi, tetapi keselamatan bangsa\", serunya.  Prabowo-Gibran terakhir melakukan konperensi pers. Diawali dengan kalimat \"Saya kecewa\". Menyoroti kedua lawan debatnya. Sadar dirinya diserang oleh Ganjar dan Anies. Ia berkilah pada bidang pertahanan yang harus \"rahasia\", mengulang makna \"barang bekas\" serta tetap menyalahkan data lawan.  Prabowo tidak membuka ruang pertanyaan kepada wartawan, sederet tim inti turut menyertai dan tepat di belakang Prabowo ada Yusril Ihza Mahendra yang berwajah \"muram\". Rombongan tampak mengantar Prabowo ke mobil. Gibran merunduk mencium tangan Prabowo. Pasangan gemoy porak poranda dan tidak ceria. Tanpa memberi penilaian siapa pemenang atau unggul, yang jelas dalam debat kali ini yang kalah adalah Prabowo. Kalah telak. Di tema yang menjadi bidang kerja kesehariannya, Prabowo gagal tampil meyakinkan. Tetap emosional dan kurang komunikatif. Dua isu \" food estate\" dan \"kesejahteraan tentara\" tidak terjawab. Tidak ada gagasan solutif untuk konflik Laut China Selatan.  Sebagai pasangan \"status quo\" dan kepanjangan tangan Jokowi, Prabowo-Gibran pantas menjadi musuh bersama. Istana yang mendukung secara vulgar membuat rakyat muak. Kompetisi dipastikan tidak akan sehat akibat rekayasa kecurangan. Bukti bermunculan dari penggelembungan DPT hingga surat suara luar negeri yang sudah tercoblos. Pengerahan aparat hingga desa menjadi berita biasa.  Anies dan Ganjar harus \"berkoalisi\" melawan Prabowo. Kecurangan harus dilawan bersama. Debat semalam adalah peta mini dari pertunjukan tragedi Prabowo yang \"nelongso\". Ganjar memberi nilai 5 untuk kinerja Menhan. Anies lebih parah 11 dari 100. Prabowo Gibran yang berkoar menang satu putaran sedang berada di dunia fantasi. Dukungan istana jadi andalan. Mungkin istana kebohongan.  Berlindung di jaringan Jokowi sama dengan berlindung pada sarang laba-laba, seperti kuat padahal lemah. Agama menyebut \"selemah-lemah rumah adalah sarang laba-laba\". Prabowo-Gibran seolah menjadi pasangan terkuat padahal terlemah. Kebohongan memang bisa dibayar dengan mahal tapi kebenaran yang akan menang.  Sebagaimana semalam ada ungkapan Prabowo \"Saya kecewa\", maka kelak kekecewaan akan berkelanjutan. Bukan semata karena \"diserang\" oleh Anies dan Ganjar akan tetapi akibat hukuman rakyat.  Rakyat yang akan memberi sanksi kepada pemimpin yang curang, culas, culun dan cuplis.  (*)

Gemoy Semakin Letoy

Oleh Yusuf Blegur | Ketua Umum BroNies  Dua kali debat capres, hanya mengumbar amarah  dan penjelasan yang tak berdasar data dan fakta di lapangan.  Terperosok kubangan sejarah hitam, ia sedang mempermalukan dirinya sendiri sembari mengumumkan ke publik, bahwa kegagalan dan mungkin penyimpangan kewenangan telah menjadi kesehariannya. Debat Capres ke-2 seperti menampilkan seorang pemimpin yang sarat kecerdasan sedang berhadapan dengan orang yang identik dengan kemarahan. Ditonton ratusan juta rakyat, untuk kali kedua ada capres yang begitu emosional. Merasa dipermalukan di hadapan publik, sikap temperamen ditunjukkan sebagai kontemplasi dari ketidakmampuan berdebat. Bukan karena tidak punya kemapuan bicara di depan banyak orang, tapi memang tak lagi bisa membantah fakta-fakta yang ada hanya dengan sekedar retorika. Rekam jejak yang buruk, menempatkan sosoknya sebagai capres yang dianggap tidak punya kapasitas dan integritas. Terlebih ketika terpojok saat capres lainnya mengangkat soal nilai-nilai dan etika kepemimpinan. Alhasil, rasa malu, serba salah dan akhirnya perilaku reaksioner yang muncul. Menahan kegeraman dan rasa kesal hingga terkesan ada murka di wajahnya. Seketika branding gemoy yang susah payah dibangun dan dipaksakan akhirnya runtuh dalam panggung debat capres. Tak ada lagi  joget-joget, tak ada lagi pasang kuda-kuda dan tak ada lagi ajakan sorak-sorai yang provokatif. Boleh jadi sudah kehilangan semangat dan perlahan mulai muncul  sikap optimis yang  kian tipis. Capres itu justru malah terlihat semakin tak terkendali, hanya emosi dan sekali lagi emosi dalam jiwanya. Kasihan capres yang lanjut usia dan kesehatannya semakin terus menurun. Keadaan mental dan fisiknya tak lagi mampu mengikuti ritme dinamika pilpres 2024. Konstelasi dan konfigurasi politik yang begitu tinggi  dalam kontestasi capres, sungguh sangat menyiksa pikiran dan jiwa  capres langganan gagal itu. Tekanan dan ambisi saling menyalip seiring syahwat kekuasaan, namun sayang yang terjadi justru figurnya semakin hancur saat usia  menjelang uzur. Gemoy tal lagi ceria, Gemoy tak lagi gembira dan bahkan gemoy tak tahu harus berbuat apalagi. Tua dan renta  yang didesain menggunakan tagline Milenial, kini telah berhadapan dengan situasi yang aral. Tak bisa lepas dari perilaku emosional, performansnya di debat capres terlanjur didapuk khalayak seperti seorang pembual dan pandai memainkan  peran antagonis dalam sebuah panggung politik teatrikal. Kasihan, ia tersiksa diperbudak ambisinya sendiri. Membidik suara potensial gen-z hingga rela memainkan peran Gemoy, namun apadaya kontradiksi yang didapat. Si Gemoy energinya terkuras habis oleh  cengkeraman kejahatan HAM dan kejahatan lingkungan melalui proyek tanam singkong panen jagung. Lebih miris lagi langganan capres ini  terus diterjang pelbagai proyek pembelian barang bekas , kepemilikan ratusan ribu hektar tanah serta penghianatan terhadap pengorbanan rakyat karena tak tahan menjadi oposisi, seperti pernah diungkit capres lainnya.  Gemoy kini hanya bisa pasrah, hanya bisa berharap beruntung mendapat kompensasi kegagalan capresnya. Entah jabatan, entah fasilitas atau bahkan gelontoran uang panas hasil berjudi capres. Ya hanya capres itu dan Tuhan yang tahu. Rakyat hanya bisa tertawa dan tersenyum tersipu, menyaksikan Gemoy penampilannya kini semakin letoy. (*)

Politik Jokowi Hidup atau Mati

Oleh Sutoyo Abadi | Koordinator Kajian Merah Putih  Menteri Pertahanan (Menhan) sekaligus calon presiden (capres) nomor urut 2, Prabowo Subianto mengunggah foto dirinya tengah makan malam berdua dengan Presiden Joko Widodo atau Jokowi, Jumat 5 Januari 2024. Keduanya makan malam di salah satu restoran di kawasan Jakarta Pusat. \"Selamat berakhir pekan,\" tulis Prabowo dikutip dari akun Instagramnya @prabowo, Sabtu (6/1/2024). Pesan hanya berakhir pekan dan alasan lainnya itu basa politik biasa untuk masyarakat awam, tentu sangat peka dan berbeda bagi sebagian analis dan pengamat politik. Itu sinyal ada masalah sangat serius untuk target kemenangan tidak boleh gagal. Tercium info kegelisahan  Jokowi dan Prabowo. Bagi Jokowi kekalahan dalam pilpres mendatang adalah bencana bagi diri dan keluarga, Oligarki dan kroni kroninya. Tidak bisa lepas dari resiko tanggung jawab Jokowi patut diduga telah menerima bantuan khusus untuk kemenangan calon Capres sebagai bonekanya dan tidak boleh gagal. Skenario pertemuan tersebut sengaja dipertontonkan ke masyarakat luas bahwa penguasa full mendukung paslon Prabowo - Gibran harus menang dengan cara apapun dan resiko apapun yang harus ditanggungnya. Boleh jadi, ini adalah wujud kongkrit kegalauan dan ketakutan Jokowi yang makin akut. Karena, semakin hari keyakinan akan kekalahan Prabowo-Gibran. Akibat serbuan media sosial dan dukungan untuk Anies Baswedan dan Muhaimin yang minim segala fasilitasnya justru makin militan dan membesar. Rekayasa politik penguasa melalui bantuan sebaran  survey dan media sosial tentang PS dan GRR bisa  menang dalam satu putaran makin berantakan karena masyarakat luas justru menangkap semua itu hanya mombastis dan akan bulus seorang yang telah menyandang ng sebagai penipu , boneka dan pembohong. Gempuran  dahsyat hampir semua rekayasa kecurangan dalam bentuk apapun terekam oleh kecanggihan teknologi yang terus membuntuti dan merekamnya. Baik kecurangan yang telah, sedang dan akan terjadi sudah tidak akan bisa bersembunyi. Jokowi tinggal ada dua pilihan menyerah tidak boleh campur tangan dan hentikan semua rekayasa kecurangannya ( pilihan ini mustahil terjadi). Atau pilihan nekad dengan cara sembunyi atau terang terangan memaksakan diri harus dan harus menang  dengan cara apapun. Ini beresiko negara akan masuk pada kekacauan berkepanjangan. Kalau itu terjadi inilah awal people power dan revolusi dipastikan akan terjadi. Resiko hukum dan politik Jokowi sangat besar dan berat sekali, pilihannya seperti hanya hidup atau mati, sekalipun telah lengser dari kekuasaannya. Dampak politiknya akan berimbas menerpa PS yang sejak awal telah ada peringatan dari para aktifis dan pengamat politik untuk keluar dr zona nyaman dan hindari rekayasa politik Jokowi, sayang diabaikan. ***

Apa yang Kau Cari Jokowi?

Oleh M Rizal Fadillah | Pemerhati Politik dan Kebangsaan DALAM film Asrul Sani \"Apa Jang Kau Tjari, Palupi ?\" produksi tahun 1969 diceritakan bahwa Palupi tidak tahan hidup apa adanya dengan Haidar suaminya, pengarang idealis. Berkat teman Haidar bernama Chalil jadilah Palupi artis film. Akibat terayu Sugito, Palupi lepas dari Haidar dan jatuh ke pelukan Sugito, seorang pengusaha kaya. Palupi menikmati kesenangan duniawi. Kecewa atas nasib Palupi, Chalil hanya bisa bertanya \"Apa jang kau tjari, Palupi ?\". Haidar masih sempat menilai mantan istrinya yang hanya mencari kesenangan sekarang. Gumamnya \"ia begitu gelisah seolah-olah ingin berlomba-lomba dengan bayang-bayangnya sendiri\". Palupi berucap \"Aduh, gelap betul disini\". Chalil berujar \" Yah, di dalam dunia angan-angan, yang terang bisa kelihatan gelap\". Membuat rumah yang tidak pernah ada, bagai dalam mimpi buruk. Sebuah kesenangan dalam kegelisahan.  Jokowi yang tidak bisa hidup apa adanya seusai berkuasa memang gelisah dan ingin tetap  berada di ruang kesenangan panjang. Ia lepas dari Megawati dan mencoba hidup bersama Prabowo. Memasuki ruang angan-angan yang sebenarnya gelap.  Ketika tiga periode tidak berhasil didapat, ia menjual Gibran dengan tukaran harga diri. Ketidakpedulian atas penilaian orang banyak. Pantas jika kolega bertanya \"apa yang kau cari, Jokowi  ?\". Sugito mengobrol dengan Cholil tentang kehidupan di ruang pesta. Menurut Sugito tamu-tamunya ada tiga model, yaitu : Pertama, \"sesama pengusaha\" yang selalu \"senyum profesional\" memuji-muji sambil mencari kesempatan untuk \"menggorok leher saya\". Kedua, \" pembesar pemerintahan dan orang politik\". Mereka \"kembang semusim\" disayang-sayang dan dipuji-puji selama masih berkuasa. Ongkosnya mahal.  Ketiga, para \"benalu\" yang selalu berkantor di kantong saku. Mungkin para punakawan, petugas bayaran yang tingkat kesetiaannya tergantung sisipan isi kantong.  Istana adalah ruang pesta yang berkilau cahaya. Tetapi diisi oleh orang-orang yang gelap mata dan gelap hati. Pemburu fatamorgana kekuasaan palsu. Berkeliling para benalu yang memuji bertalu-talu. Politisi bermulut bau dan pengusaha penggorok berkumpul disitu. Jokowi di masa akhir jabatan super sibuk menggalang dukungan untuk sang anak. Dikira itu bisa memperpanjang umur kekuasaan. Panjang angan-angan adalah ciri dari hati gelap. Ciri lain adalah perut yang terlalu kenyang, bergaul dengan orang zalim, serta banyak dosa tanpa penyesalan. Demikian sahabat Ibnu Mas\'ud menyatakan.  Para petani yang berteriak \"wuuuu.. \" saat Jokowi pidato membual tentang hubungan kelangkaan pupuk dengan perang Rusia Ukraina dan kaburnya peserta mobilisasi baik kepala desa atau petani adalah pertanda bahwa rakyat sudah muak padanya. Banyak omong yang bukan hanya tak bermutu tetapi juga tipu-tipu.  Bekerja untuk kesejahteraan diri, famili dan kroni membuat Jokowi nir prestasi. Melakukan pelemahan KPK, membumbungkan harga pangan dan BBM, swasembada hutang, serta membenturkan aparat dengan rakyat dalam konflik agraria. Menurut Majalah Time prestasi Jokowi adalah memundurkan demokrasi, memaksakan IKN dan menyuburkan politik dinasti.  Palupi adalah perempuan yang merasa diri cantik dan mampu menarik laki-laki tetapi selalu gelisah akan usia yang semakin tua. Ia menyuap petugas agar memalsukan KTP, usia diubah dari 32 menjadi 26. Akhir cerita, Palupi pulang duduk di atas mobil sampah dan berhenti di rumah pesta bersama dengan para pemabuk. Ia tidak bisa keluar karena pagar terkunci.  Adakah akhir cerita dari kekuasaan Jokowi seperti dalam film \"Apa Jang Kau Tjari, Palupi  ?\" Entahlah, yang jelas usia kekuasaan semakin pendek, penuh dengan palsu-palsu, duduk di atas mobil sampah, serta berpesta dalam penjara yang berpagar terkunci.  Palupi pernah berseru \"Aduh, gelap betul disini\". Itulah kematian dan kehidupan di alam kubur nanti. Penjara bagi orang-orang rakus, khianat dan zalim.  Lalu, \" Apa yang kau cari, Jokowi?\"

"Desak Anies" Komunikasi Genuine Tanpa Sekat

Oleh: Ady Amar | Kolumnis Saya tidak pernah memandang mereka yang terlibat dalam dialog kritis sebagai musuh. Mereka adalah sahabat, orang-orang yang peduli dengan Indonesia--Anies Baswedan. Anies Baswedan menjadikan politik dalam alam demokrasi tidak kaku sebagaimana yang dikesankan selama ini. Tidak seperti di tangan rezim yang menuju otoritarian, demokrasi seperti tak dapat ruang gerak sebebasnya. Sekat-sekat dibuat. Suara boleh disampaikan sampai tahap tertentu yang dimungkinkan. Jika lewat dari kesepakatan yang dibuat \"diam-diam\", dibuat sekenanya, sanksi akan dijatuhkan. Mudah dicarikan delik, meski absurd. Tapi di tangan calon presiden (capres) Anies Baswedan--berpasangan dengan Muhaimin Iskandar, yang maju dalam Pilpres 2024--demokrasi menjadi sesuatu yang tanpa sekat. Tidak lagi dibuat berjarak. Demokrasi menjadi asyik-riang gembira. Setidaknya Anies menunjukkan itu dalam komunikasi yang dibangunnya, yang mampu menyasar seluruh elemen masyarakat. \"Desak Anies\", namanya. Itulah bentuk komunikasi Anies dengan semua elemen masyarakat. Anies seperti tengah mengajarkan sebuah pelajaran politik. Semua elemen disasarnya. Anies jemput bola mendatangi berbagai elemen masyarakat. Mulai mahasiswa, aktivis pemuda dan buruh, bahkan petani, nelayan, itu dimediasi dalam dialog Desak Anies. Dialog dengan tak dibatasi topik tertentu. Tidak pula untuk kalangan tertentu. Bahkan hatters pun boleh datang bertanya dan menyerangnya dengan pertanyaan tajam sekalipun. Ada ungkapan menarik dari Anies, yang sejatinya bisa memotret tentangnya, \"Saya tidak pernah memandang mereka yang terlibat dalam dialog kritis sebagai musuh. Mereka adalah sahabat, orang-orang yang peduli dengan Indonesia\". Anies menghadirkan berpolitik santun dengan komunikasi cair memikat. Didesak dengan pertanyaan tajam sekalipun, tak ada yang tak dijawabnya. Dijawab tetap dengan standar seorang Anies, yang serius tapi santai dalam menjawab. Terkadang muncul keriangan gelak tawa. Meski si penanya mendesak dengan pertanyaan nakal menjebak, dan sikap atraktif ngeselin, Anies meladeni dengan kesabaran tingkat tinggi.    Pilihan komunikasi \"nekat\" ala Anies ini tidak terlepas dari kemampuannya dalam berkomunikasi yang di atas rata-rata. Penguasaan hampir semua materi yang ditanya didesak-kan, seperti tak ada yang tak dijawabnya. Dan penguasaan emosi seorang Anies yang seperti tak ada batas kesabarannya. Ya, tak ada pertanyaan tajam sekalipun yang tak dijawabnya. Anies tampak menguasai seluruh persoalan yang membelit negeri ini. Mendengar pertanyaan mahasiswa dan aktivis, pertanyaan yang seperti diniatkan memancing, berharap Anies tak mampu menjawab. Atau setidaknya menjawab sekenanya, jika mungkin--ini yang paling diharapkan--Anies menjawab dengan lepas kontrol, jebol pertahanan penguasaan emosinya. Desak Anies dicobakan pertama kali di Jakarta, Agustus 2023, lalu berlanjut ke banyak kota/kabupaten lainnya. Terakhir Desak Anies, Episode 11, di Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat, Selasa (03 Januari). Seperti biasanya Anies meladeni setiap pertanyaan, meski pertanyaan menjebak dengan jawaban berkelas yang itu di luar yang kita bayangkan. Anies seakan menegaskan, bahwa ia datang sebagai capres dengan membawa solusi. Jika nantinya terpilih diamanahi memimpin negeri ini, ia tahu prioritas mana saja yang perlu disegerakan untuk dieksekusi. Desak Anies bisa disebut komunikasi genuine, yang pertama kali ada, bahkan belum pernah ada sebelumnya di manca negara sekalipun. Belum ada calon pemimpin yang berkontestasi di tingkat apa saja melakukan gaya komunikasi semacam Desak Anies, di mana yang hadir dari kelompok beragam. Pantas jika komunikasi Desak Anies ini mulai disorot media asing. Adalah Channel News Asia (CSA), sebuah portal media yang bermarkas di Singapura, menyorot Desak Anies dengan apresiatif. Menurutnya, ini strategi Anies dalam menggaet suara pemilih muda. Disebutnya, Desak Anies ini satu cara Anies meyakinkan kaum muda, bahwa ia calon pemimpin yang bersedia membuka pintu dialog dengan siapa saja. Sekaligus menegaskan, ia bukanlah pemimpin yang  anti kritik. Komunikasi yang tidak berjarak dalam Desak Anies, itu sepertinya sulit bisa dilakukan oleh capres lainnya. Desak Anies dibuat seolah hanya untuk Anies seorang, yang dengan kemampuan komunikasi memukau, bekal pengetahuan memadai, pemahaman akan persoalan carut marut yang dihadapi negeri ini, dan cara mengatasinya. Makin didesak makin terlihat kapasitasnya: Anies itu bagai air sumur yang tak habis airnya ditimba. Subhanallah**