OPINI

Kecurangan, Senjata Pamungkas Kekuasaan

Oleh Yusuf Blegur | Ketua Umum BroNies  Pasangan AMIN  itu sarat kapasitas dan integritas. Pasangan lainnya identik dengan isi tas. Mengalir dan seiring waktu, uang dan jabatan  yang menggerakan aparat untuk melakukan kecurangan, agar Pasangan Amin bisa dikalahkan. Apa yang dimiliki Pasangan AMIN, dipastikan tidak dimiliki capres-cawapres yang lain. Begitupun sebaliknya, yang tidak ada pada pasangan AMIN sudah pasti melekat pada kompetitornya. Lantas apa perbedaan yang prinsip dan substansi pada masing-masing paslon capres-cawapres dalam kontestasi pilpres 2024 itu? Publik menyadari, faktor kapasitas dan integritas yang membedakan Pasangan  AMIN dan dua pasang capres-cawapres lainnya. Keunggulan dan keistimewaan capres dan cawapres nomor urut satu tersebut, begitu kontradiktif dengan realitas dua pasang saingannya. Saking berjaraknya, Pasangan AMIN berusaha disalip dengan pelbagai cara oleh kedua paslon lainnya agar bisa dikalahkan.  Upaya penjegalan, mulai dari penyalahgunaan wewenang, aturan yang kebablasan hingga para buzzer dan survey yang menyesatkan, terus dilakukan aparat pemerintahan. Mengalahkan Pasangan AMIN, jika perlu dihancurkan hingga kematian menjadi cara sekaligus tujuan  dari rezim dalam upaya mempertahankan kekuasaan.  Tampak nyata, rekam jejak, rekam karya dan rekam prestasi pada Pasangan AMIN tak mungkin dikejar kompetitornya. Alih-alih mengimbangi kapasitas dan integritas Pasangan AMIN. Kedua paslon lainnya yang identik sebagai budak oligarki dan boneka pemerintahan, malah kental dihiasi KKN dan kejahatan kemanusiaan lainnya. Ditambah lagi tuna susila dan miskin etika,  menempel begitu  kuat pada kedua paslon yang menjadi rival Pasangan AMIN. Setelah uang dan jabatan, juga intimidasi, ancaman dan teror dari aparat yang berusaha menggagalkan pencalonan capres Anies khususnya dan pasangan AMIN memenangkan pilpres 2024 pada umumnya. Rezim kekuasaan terpaksa menggunakan senjata pamungkasnya, yakni menggunakan kecurangan. Semua sumber daya dan semua cara digunakan untuk menjadikan kecurangan bisa mengalahkan Pasangan AMIN.  Rezim kekuasaan yang membonceng oligarki, sepertinya sudah tidak punya pilihan. Bertarung habis-habisan, bagaikan perang hidup atau mati dalam menghadapi pilpres 2024. Keberlanjutan atau perubahan harus dimaknai kecurangan atau kejujuran. Jika terus memaksakan kecurangan dalam pilpres 2024. Rezim kekuasaan tinggal menunggu sedikit waktu,  kembali meneruskan kejayaan atau mengalami kehancuran?. Merasa nyaman berkuasa dengan konspirasi jahat atau tiba waktunya menjalani pengadilan rakyat?. Kejujuran maupun kecurangan akan sama-sama mendapatkan balasan yang setimpal. (*)

Gibran Kontroversi Cawapres

Oleh M Rizal Fadillah | Pemerhati Politik dan Kebangsaan Gibran adalah \"Nepo of the Year\" melengkapi gelar a Al Jazeera \"Nepo Baby\". Nepotisme merupakan tragedi sejarah bangsa Indonesia. Gibran menjadi ocehan masyarakat bukan konten prestasi atau harapan melainkan lecehan dan keprihatinan. Sulit berharap dari figur Gibran bagi kemajuan bangsa ke depan, apalagi untuk canangan 2045.  Gibran adalah anak muda, tetapi lebih tepat jika disebut anak Presiden. Sungguh tidak punya malu Jokowi memaksakan anak bergelar banyak itu sebagai Capres. Ada Samsul, Belimbing Sayur, Bocil, Anak Haram Konstitusi dan kini Nepo Baby. Nepo of the Year juga dapat disematkan padanya untuk wujud bangunan rezim keluarga yang gencar dan vulgar diperjuangkan selama tahun 2023.  Tidak ada benci pada pribadi, akan tetapi sebagai pejabat publik wajar mendapat penilaian kritis. Pada jabatan tingkat lokal Walikota misalnya, sentilan atau kritikan halus sudahlah cukup, akan tetapi untuk jabatan Wapres maka selayaknya mendapat sorotan yang lebih tajam. Sungguh negara Indonesia dipertaruhkan. Gibran belum cukup matang dan pantas menjadi  Wakil Presiden. Ketimbang jadi tuntunan akan lebih berpeluang jadi tontonan.  Gibran dan pasangannya bisa saja menang dengan bermodal kekuasaan ayahnya. Kelicikan dapat dilakukan. Ini yang dikhawatirkan pada Pilpres saat ayah berkepentingan untuk sukses anak. Kasus MK yang meloloskan Gibran menjadi bukti kuat bahwa kelicikan berhasil dan telah dimulai. Belum lagi Gibran yang baru 2 tahun lebih menjabat Walikota kemudian maju menjadi Cawapres tanpa melepaskan jabatan Walikota.  Tidak menyelesaikan jabatan lima tahun Walikota adalah lompat kodok (leapfrog). Cara kerja yang tidak bertanggungjawab bahkan tamak atau haus kekuasaan. Tidak ada kebaikan dari ketamakan. Bahkan agama Islam menggambarkan bahaya tamak pada kekuasaan. Dalam QS Muhammad 22-23 ditegaskan bahwa orang tamak pada kekuasaan itu akan melakukan kerusakan di muka bumi, hilang rasa kasih sayang dan buta tuli pada kebenaran. Mereka dilaknat Allah SWT.  Kita tidak bicara Prabowo-Gibran yang bisa dikalahkan, melainkan anggapan bahwa kecurangan atau menghalalkan segala cara berhasil memenangkan pasangan rentan itu. Apakah rakyat akan bisa menerima begitu saja ? Belum tentu. Perlawanan hukum skeptis karena akan diganjal sahabat dan keluarga MK. Perlawanan politik lebih memungkinkan. Bukan hanya pendukung Anies-Muhaimin yang mungkin bakal ngamuk tetapi juga  pendukung Ganjar-Mahfud. Slogan curang perang berkumandang.  Bisa saja bukan Prabowo magnet kecurangan itu akan tetapi Gibran. Meskipun demikian sebagai obyek kepentingan besar Jokowi, Prabowo tetap ikut andil atas peracunan demokrasi tersebut. Prabowo adalah katalisator.  Gibran disebut \"Nepo Baby\" oleh Jazeera dengan makna bersayap tetapi tetap negatif. Nepo Baby memang lucu atau imut-imut, tetapi ketika berada dalam asuhan \"elder or eldest family\" yang buas, maka ia bisa berubah menjadi Baby Shark, Baby Snake atau Baby Wolf. Dan ketika dewasa maka hewan itu pasti menjadi predator pemangsa sesama.  Gibran senang berada di kebon binatang sebagaimana saat debat. Berburu pajak.  Ketika orang tua senang pada kodok (Frog) maka  sang anak suka pula pada anak kodok (Baby Frog).  Es itu sedang menetes ke bawah. Indonesia dalam bahaya.  Kebodohan politik ada di depan mata. (*)

Kartelis dan Pluralis: Sebuah Perspektif Menjelang Pilpres 2024

Oleh Mego Widi Hakoso, S.IP, M.Si - Dosen FISIP UTA ’45 Jakarta / Kandidat Doktor Ilmu Politik Universitas Nasional PASCA-penetapan Gibran sebagai Cawapres pendamping Prabowo, muncul dua perspektif politik yang bisa dimanfaatkan sebagai penarikan asumsi. Pertama perspektif pluralis, yang memandang keluarga Jokowi sedangkan mengalami konflik dengan PDIP khususnya Ketum Megawati. Kedua perspektif kartelis, yang memandang Jokowi dan Megawati melakukan kesepakatan implisit untuk melakukan investasi kekuasaan dipihak oposisi.  Pespektif pluralis bersifat konflik terbuka karena beragam kepentingan, dalam perspektif ini konflik dan persaingan adalah kata kuncinya. Setiap petugas partai dengan tegas mengakui diri dan kelompoknya sedang berkonflik untuk memenangkan kontestasi pemilu, sehingga petugas partai dan simpatisan dengan tegas bisa memberikan gambaran perbedaan antara pihak dan pihak lain atau lawannya.  Perspektif  kartelis bersifat tertutup, dalam perspektif ini wajib untuk menaruh kecurigaan terhadap hasil keputusan elit – elit partai politik. Perspektif ini memang kesulitan mencari data empiris perilaku elit yang hanya ada di belakang layar atau panggung publik, tetapi perspektif ini bisa mengajukan pertanyaan kritis, terhadap kondisi – kondisi gejala kartelis. Pertanyaan yang bisa ajukan adalah, “mengapa elit partai PDIP tidak melakukan pemecatan terbuka terhadap Gibran?”  Kedua perspektif ini muncul di dalam argument petugas partai, simpatisan dan elit – elit partai dalam pertemuan-pertemuan diskusi terbuka. Perpsektif kartelis akan memandang konflik dalam rangka kontestasi demokrasi adalah semu, karena oligarki sukar diberantas dan telah hidup berdampingan dengan demokrasi Indonesia. Sedangkan perspektif pluralis akan memandang perspektif kartelis adalah kaum skeptis dan tidak optimis dengan demokrasi.     Dalam perspektif kartelis, sukar melihat perbedaan program dan ideologi antara pasangan Granjar Mahfud dengan Pasangan Prabowo Gibran. Karena keduanya sama-sama pro untuk melanjutkan nilai-nilai Jokowi dalam Pemerintahan. Kemudian pada tataran elit, Ketum PDIP Megawati masih menganggap Jokowi adalah kader terbaik, dan Ketum Gerindra Prabowo menganggap bahwa Jokowi adalah mentor politiknya pada 5 tahun belakangan ini yang akan terus menjadi mentor dan mitra politik pada kontestasi 2024.  Dalam perspektif pluralis,  selain perbedaan program terlihat dari masing-masing capres-cawapres, perspektif ini diperkuat oleh beberapa, figur politisi, salah dua diantaranya adalah Budiman Sujatmiko (di pihak Ganjar Mahfud) dan FX Rudy PDIP (di pihak Prabowo Gibran) sebagai figur yang tegas menyampaikan perbedaan-perbedaan dan menonjolkan keunggulan masing-masing pasangan. Perspektif pluralis juga meyakini bahwa kekuasaan tidak hanya dimiliki oleh PDIP dan partai – partai didalam koalisi Pemerintahan Jokowi memiliki hak untuk melawan PDIP.        Kedua perspektif ini bagaikan dua sisi mata uang yang benama politik Indonesia.

Jadilah Capres Pemberani bukan Pengecut

Oleh Sutoyo Abadi | Koordinator Kajian Merah Putih  CERITA lama, Thomas Hobbes adalah seorang filsuf Inggris yang beraliran empirisme. Pandangannya yang terkenal adalah konsep manusia dari sudut pandang empirisme - materialisme\" Demikian juga prinsip Machiavelli. \"Ia  dikenal sebagai politikus yang tak segan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan\" Itulah wajah Oligargi di Indonesia, mereka telah mendapatkan momentumnya  \"Indonesia Emas\" seperti ucapan para Capres di forum debatnya.  Tidak ada satupun Capres yang berani mengatakan Indonesia dalam guncangan hebat akibat negara sudah menggunakan UUD 2002 segala akibatnya . Dan Pancasila sudah di singkirkan. Tidak sadar bahwa Haluan Hobbesian dan Machiavellian, itu jalan tol para penguasa  bebas bergerak tidak lagi peduli sudah  salah arah dan makin keterlaluan setelah berhasil membangun sinergis dengan  kekuatan politik baru berupa _\"bandit dan bandar Oligarki\"_ , yakni sekelompok orang yang mencari suaka politik dan ekonomi di lingkaran kekuasaan dengan cara manipulasi, mobilisasi, hedonis, dan semua kesurupan . Indah sekali karena kedunguannya mereka mengatakan inilah  jalan menuju \"Indonesia Emas\"m Itulah yang muncul di layar kaca debat Capres seperti pahlawan bangsa, mereka memburu kekuasaan untuk metamorfosa menjadi despotis yaitu penguasa yang arah politiknya akan menganggap rakyat sebagai budak atau pembantu. Rakyat dianggap kambing congek tidak tahu apa-apa, yang siap digiring ke mana saja sesuai kehendak penguasa yang menganggap dirinya sebagai tuan atau majikan.  Praktik politik seperti inilah yang akhirnya menjelma menjadi diktator, dan melahirkan para bandit politik di negeri yang menganggap rakyatnya sebagai budak. Mengumbar janji janji kosong karena hanya mengejar menjadi penguasa abdi dalem korporasi oligarki ( para bandar dan bandit politik ) yang ada didepan matanya mereka pura pura tidak melihat bahkan tidak berani menyebut mereka adalah bangsat dan perusak  negara  Pilpres 2024, mutlak sempurna manjadi milik Oligargi . \"Para pemilik modal ( Oligargi ) dan para perampok  predator, menjadi pemegang kekuasaan dan pengendali Pilpres 2024,  Jangan berharap rakyat meminta keadilan, atau merengek agar Pilpres berjalan jujur, langsung, umum dan rahasia, tidak akan pernah terjadi. Langgam dan pengaruh oligarki ini tidak hanya di pusaran politik nasional, juga pusaran  politik lokal. Dengan jabatan Pelaksana   Tugas  Kepala Daerah yang diangkat oleh Mendagri cq Presiden. Diduga kuat akan menjelma  menjadi kelompok predatoris yang kuat mengendalikan kemenangan Pilpres calon boneka Oligargi. Rakyat  hanya dijadikan objek mobilisasi dan alat legitimasi hak kekuasaannya hanya selesai di bilik suara.  \"Para aktor politik  yang berkolaborasi dengan bandar politik itu mengatur irama permainan kekuasaan dalam setiap Pemilu dan Pilpres  2024! sebenarnya sudah selesai.  Oligarki akan berperan dominan dalam mengaktualisasikan permainannya dalam bentuk distribusi uang atau barang sebagai bentuk mobilisasi untuk mengelola dan menentukan pilihan politik masyarakat sesuai skenarionya.  Demi keselamatan bangsa dan negara seorang capres harus berani mengatakan negara dalam krisis konstitusi. Tidak hanya cuap cuap *Indonesia Emas* , tapi justru negara akan hancur berantakan.

Zulhas dari Penjual Panci menjadi Penista Agama

Oleh Abu Ihya | Pemerhati Politik Nasional \"Kacang lupa akan kulitnya\". Barangkali itulah yang pantas dikenakan kepada Menteri Perdagangan sekaligus Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN), Zulkifli Hasan (Zulhas). Betapa tidak, Zulhas dulunya hanyalah seorang penjual panci keliling yang tak jelas penghasilannya. Namun ketika Reformasi dan masuk ke PAN serta bertemu dengan Deklarator PAN Amien Rais bahkan sempat menjadi besannya, nasib Zulhas berubah menjadi orang nomor satu di PAN. Setelah itu ia sempat menjabat Menteri Kehutanan di bawah Presiden SBY dan sekarang Menteri Perdagangan di bawah Presiden Jokowi. Rupanya berbagai jabatan tersebut menjadikan Zulhas tak kuat memikulnya, sehingga dirinya takabur. Zulhas lupa akan jasa besar Amien Rais sebagai guru politiknya yang membesarkannya sekaligus besannya, sehingga sampai tega-teganya Amien Rais di-\"persona non-gratakan\" dari PAN serta dampaknya  menyebabkan anaknya (Futri Zulya Savitri) dan anak Amien Rais (Ahmad Mumtaz Rais) bercerai, meski sempat memiliki dua anak. Tidak hanya itu, 3 anak Amien Rais yakni Hanafi juga ikut \"dipersona non-gratakan\" dari DPR RI dan 2 adiknya dari DPRD DIY. Dalam istilah Jawanya: ditulung malah menthung. Tidak hanya sampai di situ, setelah sukses menendang Amien Rais dari PAN, ketakaburannya semakin menjadi-jadi. Terakhir dengan gagahnya Zulhas menistakan ibadah sholat dan Surat Al Fatihah sebagai bahan dagelan pada pembukaan Rakernas APPSI di Semarang (19/12/2023). Bayangkan, sholat adalah ibadah paling utama dalam Islam dan Surat Al Fatihah adalah surat pertama dalam Kitab Suci Al Qur\'an. Menghina Surat Al Fatihah berarti menghina Al Qur\'an, menghina Sholat berarti menghina Islam, naudzubillah min dzalik. Sholat tidak akan sah tanpa membaca Surat Al Fatihah. Sedangkan \"garis merah\" antara muslim dan kafir adalah mengerjakan sholat wajib lima waktu.  Penistaan agama yang dilakukan Zulhas ini jauh lebih dahsyat dari pada penistaan agama yang  dilakukan Ahok tahun 2016 lalu, sehingga menimbulkan gelombang demonstrasi berjilid-jilid dan terbesar di dunia yang pernah tercatat dalam sejarah. Seharusnya umat Islam protes lebih keras kepada Zulhas daripada Ahok.  Kalau Ahok sampai dilaporkan ke polisi dan diseret ke pengadilan dan dihukum 2 tahun, mengapa Zulhas adem ayem dan tenang-tenang saja sambil memikirkan dinasti politik yang sedang dibangunnya? Apa karena dalam menista sholat dan Surat Al Fatihah itu, Zulhas menyebut-nyebut nama Prabowo yang berpasangan dengan Gibran dan didukung Presiden Jokowi serta menjadi capres dari PAN? \"Kalau sholat Maghrib baca Al Fatihah, ada yang diam sekarang, saking cintanya sama pak Prabowo. Ada yang duduk Tahiyat Akhir dalam Sholat dengan menunjuk menggunakan 2 jari bukan 1 jari,\" kata Zulhas dengan takaburnya. Seperti Prabowo usai debat perdana dengan mengatakan \"Ndasmu Etik\" yang sengaja ditujukan kepada Anies silahkan, Anies hanya manusia biasa. Tetapi kalau  Zulhas ingin membebek Prabowo dengan menistakan dan melecehkan sholat dan Surat Al Fatihah di negara dengan jumlah umat Islam terbesar di dunia, maka dampaknya akan sangat besar dan luar biasa. Pertama, tidak menutup kemungkinan akan terjadi protes besar-besaran umat Islam dan Zulhas akan diseret ke pengadilan serta menjadi penghuni Hotel Prodeo sebagaimana Ahok. Kedua, sekarang sudah memasuki tahun politik dan Pemilu serta Pilpres tinggal menghitung hari. Meski setiap hari kampanye besar besaran dengan biaya sangat mahal di televisi, PAN suaranya diprediksi akan jeblok anjlok dan jutaan warga Muhammadiyah yang semula sebagai pemilih tradisionil PAN akan mengalihkan dukungannya kepada Partai Ummat yang didirikan Amien Rais yang juga mantan Ketum PP Muhammadiyah. Ketiga, kalau PAN sekarang menjadi partai parlemen ke 8 dengan 44 kursi (6,84 persen), maka pasca blunder Zulhas ini, PAN bisa menjadi partai non- parlemen dengan perolehan kursi dan suara dibawah PPP, Partai Ummat, Perindo dan PSI. Apalagi selama dipimpin Zulhas, perolehan kursi PAN paling sedikit jika dibandingkan dengan kepemimpinan Amien Rais, Sutrisno Bachir dan Hatta Rajasa. Jadi Zulhas telah gagal memimpin PAN. Keempat, Prabowo Gibran sebagai Capres Cawapres yang didukung PAN juga akan terkena dampaknya. Umat Islam ogah memilih Prabowo yang emosional dan Gibran yang karbitan demi melanggengkan Dinasti Politik Jokowi. Rakyat akan menolak bentuk Negara Kerajaan Republik Indonesia (NKRI) seperti Korea Utara (DPRK) yg saat ini dipimpin cucu Kim Ill Sung dan anak Kim Jong Ill, Kim Jong Un. Kelima, ribuan Caleg PAN dari DPRD Kota/Kabupaten, DPRD Provinsi dan DPR RI, juga akan terkena dampaknya akibat ketakaburan Ketumnya. Umat Islam terutama jutaan warga Muhammadiyah tidak akan mau mencoblos mereka meski digerojok sembako setiap kampanye selama Zulhas masih Ketum PAN.  Umat Islam dan warga Muhammadiyah akan beranggapan, kalau memilih Caleg PAN, berarti memilih partai yg dipimpin si penista agama, penghina Sholat, penghina Surat Al Fatihah dan penghina Al-Qur\'an. Maka satu-satunya jalan untuk menyelamatkan PAN mumpung masih ada waktu 2 bulan adalah digelarnya Kongres Luar Biasa (KLB) untuk mencopot Zulhas dari kursi Ketum  dan menggantinya dengan tokoh PAN yang bisa diterima warga Muhammadiyah dan umat Islam Indonesia.  Jika kursi Zulhas tetap dipertahankan, saya haqqul yaqin, PAN tidak akan lolos PT dan akan berubah dari partai menengah menjadi partai kecil. Maka akan tamatlah riwayat politik PAN. (*)

Zulhas Menambah Panik Jokowi

Oleh M Rizal Fadillah | Pemerhati Politik dan Kebangsaan Di luar dugaan Jokowi dan pendukung Prabowo, Ketum PAN yang sekaligus Mendag Zukifli Hasan atau Zulhas membuat blunder. Akibat pendewaan kepada Prabowo, candaan soal fatihah dan tahiyyat menimbulkan reaksi dahsyat. Zulhas dianggap menista agama. Pengaduan ke aparat penegak hukum pun dilakukan. Hal ini buruk bagi Zulhas, PAN, Prabowo dan tentu saja bagi Jokowi.  Sejak PAN masuk menjadi koalisi Pemerintah maka Zulhas menjadi bagian aliran darah Jokowi. Imbalan bagi Zulhas di samping terhindar dari status pasien rawat inap juga jatah Menteri didapat. PAN bersama Golkar dan Gerinda adalah pendukung utama Prabowo-Gibran. Zulhas ikut menjadi penari Gemoy. Serangan pada Zulhas atas kasus penistaan agama menjadi kepanikan baru Jokowi.  Sejak mengambil pilihan ikut campur terang terangan dalam Pilpres sebenarnya Jokowi mulai memasuki \"Panic Room\". Ruang dimana ketakutan menjadi kondisi diri. Melihat kamera ke luar akan gerak gerik dari pengancam yang mencarinya. Sebagaimana dalam film \"Panic Room\" ruangan itu sebenarnya terlindungi dengan sistem keamanan ekstensif berdinding beton dan baja, namun upaya-upaya untuk menerobos membuat Meg dan Sarah ketakutan hebat.  Sebelum mendeklarasikan \"cawe cawe\" Jokowi merasa telah kehilangan Ganjar yang tercuri di Batu Tulis. Dengan memegang Prabowo maka Jokowi mengambil risiko buruk. Megawati ngambek. Risiko buruk terberat adalah memaksa anaknya Gibran berpasangan dengan Prabowo. Kini musuh Jokowi bukan hanya PDIP dan Megawati tetapi juga oposisi dan rakyat yang anti KKN. Rakyat sudah muak dengan suguhan korupsi kekuasaan dan nepotisme.  Pasangan Ganjar-Mahfud yang \"berkoalisi\" dengan pasangan Anies-Muhaimin melawan Prabowo-Gibran tidak bisa dianggap enteng bagi Jokowi. Meskipun kecurangan telah dirancang. Sadar atau tidak Prabowo Gibran telah distempel menjadi pasangan yang \"paling menyebalkan\", \"paling mengada-ada\" dan \"paling tidak diharapkan\". Di samping terakhir kasus \"penistaan agama\" yang menimpa Zulhas,  ada lima isu dan masalah politik yang terus bakal membuat Jokowi panik, yaitu  :  Pertama, politik dinasti atau nepotisme. Ketika Jokowi, Gibran,  Kaesang,  Anwar Usman dan Bobby Nasution diserang sebagai keluarga musuh rakyat, maka beban sangatlah berat. Proteksi dan penyelamatan keluarga menjadi prioritas. Akibatnya hancur reputasi dan konsentrasi.  Kedua, pembuktian ijazah palsu yang sulit diantisipasi. Pengadilan sudah menjadi tontonan rakyat bahwa betapa berbelit dan sulit untuk menyembunyikan kebenaran. Ijazah Jokowi semakin lusuh dan sudah dekat untuk \"dirobek\" dan dibuang ke tempat sampah. Jokowi mulai melamun dan menangisi nasib.  Ketiga, gunjingan pada Gibran akan terus berlanjut dan menghebat. Kampanye buruk akibat kebodohan dan, meminjam istilah Rocky, kedunguan. Debat esok ditunggu. Kejutan apa yang terjadi ? Yang jelas upaya menghilangkan sesi debat telah gagal. Ayah bunda Jokowi dan Iriana panik. Anak jadi dagelan bergelar sarjana domestik \"bocil\", \"belimbing sayur\" dan \"samsul\". Keempat, Prabowo jagoan Jokowi semakin tidak berwibawa. Faktor emosi dan tingkah gemoy geboy menunjuk pada usia yang semakin senja. Soal \"endasmu etik\" telah menjadi etika baru dalam berpolitik jahiliyah. Sementara pak Ketum Zulhas mulai belepotan. Pendewaan Prabowo berakibat ketauhidan terganggu. Fatihah dan tahiyyat diobrak-abrik. Ahok barukah?  Kelima, kepanikan global menghadapi \"plototan\" China. Pengabdian total Jokowi tidak menghasilkan bukti. Rempang gagal, IKN masih taruhan, Prabowo Gibran bukan kekuatan. \"Gender\" Prabowo dipetanyakan antara China dan Amerika. China membawa pecut sanksi untuk Jokowi. Ini kepanikan hakiki yang dapat membuat frustrasi bahkan bunuh diri.  Menuju proses Pilpres ketenangan, kemantapan dan keyakinan akan kemenangan diragukan. Eep Fatah menyebut Prabowo Gibran dapat kalah dan Jokowi akan jatuh. Itu bukan mimpi apalagi halusinasi, tetapi mendekati realita atau kondisi nyata.  Panik Jokowi bukan karena akan selesai jabatan pada bulan Oktober 2024 tetapi Pilpres Februari 2024 hasil dan suasana yang dapat tidak sesuai dengan misi dan prediksi. Kepanikan Jokowi membuat langkah semakin membabi buta.  Akhirnya Pilpres 2024 justru tanpa keberadaan Jokowi. Jokowi lengser lebih dini. (*)

Waspada Pemaksaan Agenda Satu Putaran Pilpres

Oleh Dr. Anton Permana, S.IP.,MH | Direktur Tanhana Dharma Magrva (TDM) Institute. POLARISASI pemilih dalam Pilpres saat ini cukup rumit dan unik. Karena adanya tiga pasang kandidat yang terbentuk dari zig-zag garis politik yang terjadi satu dekade terakhir. Prabowo yang sebelumnya rival Joko Widodo, saat ini berpasangan dengan Gibran anak kandungnya Joko Widodo. Begitu juga dengan Ganjar Pranowo yang dicalonkan PDIP bersama Mahfud MD, adalah calon yang sebelumnya satu barisan bersama Joko Widodo sebagai kelompok pemerintah. Namun, saat ini Ganjar-Jokowi harus berseberangan dalam Pilpres. Bahkan Mahfud MD, pada Pilpres sebelumnya tahun 2014 adalah ketua tim suksesnya Prabowo. Begitu juga dengan pasangan Anies Baswedan dan Cak Imin (Muhaimin Iskandar), yang sebelum jadi Gubernur DKI Jakarta juga adalah salah satu Menterinya Joko Widodo dan Cak Imin juga  sebagai partai pendukung Joko Widodo dalam dua periode Pilpres. Cuma yang membedakannya dari tiga pasang kandidat ini adalah orientasinya saja. Ada yang pro status quo, ada yang membawa issue pro perubahan. Begitu juga dalam hal segmentasi psikografi politik. AMIN cenderung representasi kelompok kanan, Gemoy dari kelompok tengah, dan GAMA dari representasi kelompok kiri. Meskipun, batas antara segmentasi tersebut juga tidak terlalu ekstrim, kecuali antara kelompok kiri luar dari GAMA dan Kanan luarnya AMIN. Justru, kelompok tengahnya Gemoy yang akan jadi medan tempur perebutan suara pemilih. Karena meskipun secara quantitas, kelompok tengah ini paling besar dan dominan tetapi juga paling labil dan cair. Yaitu kelompok  mereka yang berasal dari kalangan nasionalis borjuis, grass root, dan abangan.  Artinya, secara kualitatif kita hampir dapat memastikan, kekuatan masing basis massa dan deposit pemilih ketiganya boleh dikatakan seimbang. AMIN dengan basis massa kanannya yang militan dan original mewakili symbol perlawanan kelompok Islam yang mayoritas di negeri ini, Gemoy sebagai kubu pemerintah yang mempunyai kekuatan logistik, infrastruktur kekuasaan dan basis massa tiga figur besar seperti Joko Widodo, SBY, dan sisa-sisa pendukung Prabowo pasca Pilpres 2019, lalu GAMA yang sudah 9 tahun ini melalui PDIP telah membangun secara massive jaringan politik sampai ke pedesaan yang solid dan juga militan. Ditambah figur Mahfud MD, figur tokoh Nahdlatul Ulama asal Madura yang juga secara jabatan politik mempunyai track record lengkap baik sebagai lejabat legislatif, yudikatif (ketua MK), dan Eksekutiif (pernah jadi MenHan dan sekarang Menkopolhukam). Jadi akan sangat “naif” sekali apabila ada pihak yang begitu ngotot seakan yakin bisa menang satu putaran di Pilpres nanti. Kalau itu hanya sebagai “psywar” wajar saja terjadi dalam dunia politik. Namun yang mesti diwaspadai adalah, kalau hal itu digunakan untuk membangun opini, justifikasi, dan legitimasi abortif. Agar memberikan daya efect sugesti kepada publik bahwa hal itu benar. Kesimpulannya adalah ada beberapa hal yang mesti diwaspadai secara bersama. Pertama, dari sudut teori manapun, tak akan mungkin Pilpres 2024 ini menjadi satu putaran. Mari kita jujur, transparan dan gentleman. Makanya mohon maaf, dalam tulisan ini sengaja tidak dimasukkan data quantitatif hasil survey-survey dari lembaga survey manapun. Karena di mata masyarakat, era lembaga survey ini sudah tamat. Publik sudah tahu, bahwa hasil-hasil survey yang marak selama ini sangat jauh dari fakta kebenaran ilmiah, objektif dan bertanggung jawab. Hasil survey saat ini, lebih banyak menjadi alat propaganda dan instrumentasi membangun opini kepentingan kelompok tertentu. Kedua, kita pasti sudah paham bahwasanya dengan statement Presiden akan ikut cawe-cawe dalam Pilpres lalu dilanjutkan dengan lahirnya Cawapres Gibran yang mengangkangi kehormatan Mahkamah Konstitusi, sudah cukup jelas dan tegas bagi kita semua bahwa, tak akan mungkin seorang Joko Widodo akan “fair” dalam Pilpres nanti. Karena aroma Politik Dinasti dan upaya penghalalan segala cara untuk kemenangan pasangan Gemoy pasti sudah disiapkan. Ketiga, prosesi Pilpres dan Pemilu saat ini adalah ibarat pertarungan antara kelompok Pro Demokrasi dan kelompok Pro otokrasi. Yang kelompok pro demokrasi adalah dari kelompok yang menginginkan adanya perubahan dan penolakan keras atas upaya politik dinasti yang dipaksakan melalui MK, versus kelompok otokrasi yang berasal  dari kelompok yang ingin “memaksakan kehendak” untuk kelompoknya terus berkuasa tak peduli moral, konstitusi dan “etika ndasmu”. Tanda-tanda upaya untuk melakukan kecurangan ini juga harus dilawan secara massive, serentak dan terbuka oleh masyarakat. Rakyat tidak boleh berdiam diri. Karena ini juga adalah  pertaruhan masa depan bangsa negara dan anak cucu kita semua.  Pemaksaan kehendak politik dinasti berbau otoritarianisme, sangat merusak dan menghancurkan sendi-sendi demokrasi kita yang seharusnya sudah tumbuh dengan sangat baik. Hari ini diluluhlantakkan oleh ambisi satu keluarga dan kelompok politiknya.  Rakyat dan seluruh elemen harus bangkit. Sebuah konspirasi hanya bisa di lawan dengan “people power. Caranya ?? Masyarakat dapat menggunakan HP dan jaringan sosial media sebagai senjata ampuh dalam membongkar dan memviralkan setiap kejadian-kejadian kecurangan, penggalangan, provokasi, yang dilakukan oleh kelompok penguasa hari ini.  Istilah:  “No Viral, No Justice” adalah salah satu senjata perlawanan semesta dari seluruh rakyat Indonesia untuk melawan setiap upaya kecurangan dalam Pemilu dan Pilpres nanti. Kalau perlu, adakan sayembara: siapa yang berani dan menemukan kecurangan lalu di -upload ke media massa, maka akan diberikan hadiah apresiasi bisa berupa uang dan bentuk lainnya. Agar seluruh rakyat Indonesia semakin termotivasi untuk membongkar setiap menemukan kejahatan dalam proses Pemilu-Pilpres. Sosialisasikan seyembara ini secara massive di tengah masyarakat baik online dan offline berupa spanduk dan banner. Kita ciptakan seolah mata rakyat siap mempelototi setiap upaya kecurangan dan kejahatan dalam Pemilu. Kalau ini bisa kompak terjadi ? Saya yakin pihak TNI/POLRI pun akan berada bersama rakyat. Meskipun beberapa pimpinannya disinyalir dekat dengan kekuasaan. Karena hanya dengan cara itu kita semua bisa melakukan perlawanan, terhadap kekuasaan yang sudah begitu sewenang-wenang menggunakan infrastruktur kekuasaan dalam mewujudkan kepentingannya. Dan ini sangatlah berbahaya kalau kita semua masih tetap diam. Maka jawaban terakhirnya itu adalah ; Pemilu Curang, Lawan ! Bangkit atau Punah ! Jakarta, 20 Desember 2023

Samsul pun Protes, tapi Tidak Belimbing Sayur

Oleh Ady Amar - Kolumnis Samsul di seantero negeri pun resah-gelisah. Muncul protes keras, baik oleh Samsul yang tinggal di kota maupun yang di pedesaan. Tak senang namanya digunakan dengan dipelesetkan sesukanya. Maka, semua nama yang menggunakan Samsul--bisa Samsul Arifin, Samsul Ma\'arif, Samsul Bahri, Samsul Hadi, dan Samsul lainnya--melakukan protes karena diserupakan seolah lambang kebodohan. Samsul yang bermakna indah: romantis, bersahabat, atau berterima kasih. Dibuat menjadi inisial merujuk pada  olok-olok, disebabkan ketakpahaman salah satu calon wakil presiden. Samsul lalu akrab dipelesetkan jadi singkatan Asam Sulfat. Gibran Rakabuming Raka Cawapres dari Prabowo Subianto (Paslon 02), yang dengan yakinnya memberi masukan pada remaja dan ibu muda, dalam suatu perhelatan kampanye. Katanya, jika hamil mesti dipastikan, di antaranya agar mengonsumsi Asam Sulfat yang cukup. Mestinya yang benar mengonsumsi Asam Folat. Tampaknya hafalan Gibran tergolong lemah, maka yang muncul di ingatan Asam Sulfat. Karenanya, Gibran jadi bahan olok-olok tertawaan. Dengan mengonsumsi Asam Sulfat, bisa dipastikan para ibu hamil bukannya sehat, tapi justru sebaliknya bisa menyebabkan kematian. Ngeri. Adalah politisi PDIP Masinton Pasaribu, yang lalu melabelkan nama Gibran itu dengan Samsul, singkatan dari Asam Sulfat. Tentulah itu olok-olok lebih memaknai sebagai stupid. Karenanya, para pemakai nama Samsul protes keras, agar nama yang bermakna baik tidak untuk bahan olok-olok penyebutan yang diserupakan dengan Gibran. Meski hanya dipakai sementara di tahun politik. Protes para Samsul agar nama Gibran tidak dipelesetkan menjadi \"Samsul\". Katanya, \"Silahkan cari singkatan lain untuk Asam Sulfat, tapi tidak dengan nama Samsul\". Meski sekadar dipakai tidak untuk melecehkan, tapi memakai guna mengesankan ada cawapres, dan itu Gibran, yang tak punya kapasitas bicara hal yang tak dikuasainya. Tak cukup  mengandalkan hafalan, yang itu sepertinya baru dihafal menjelang tampil, dan yang muncul kesalahan fatal.  Berawal oleh pengucapan Masinton, dan lalu menyebar para pihak yang akrab menyebut Gibran dengan sebutan Samsul. Gibran sebenarnya punya juga sebutan lain, yang populer lebih dulu, \"belimbing sayur\". Entah siapa yang mula-mula memberi julukan demikian, dan entah mengapa julukan itu seperti diserupakan dengan Gibran. Tidak paham mengapa Gibran lantas dipantaskan disebut dengan belimbing sayur. Belimbing sayur tentu takkan protes jika diserupakan dengan Gibran, yang tampaknya pun tak keberatan dengan julukan yang disandingkan untuknya itu. Sampai sekarang dia membiarkan saja julukan itu. Tidaklah jelas julukan itu membuatnya suka atau justru sebaliknya. Tapi satu hal yang pasti, belimbing sayur tak membuat protes keberatan. Tidak seperti para Samsul berkeberatan. Protes para Samsul yang namanya dipakai singkatan Asam Sulfat, dan itu identik dengan Gibran, sepertinya akan jadi protes yang makin membesar. Bisa jadi akan lebih besar dari protes mahasiswa, yang sampai saat ini berkeberatan hadirnya Gibran dalam kontestasi Pilpres 2024. Seru protes mahasiswa itu belum berakhir. Teriakan batalkan Gibran anak haram konstitusi terus bergema. Gibran sepertinya akan jadi bahan gunjingan dalam waktu yang panjang, baik gunjingan serius maupun sekadar olok-olok lebih sebagai dipaksakannya ia tampil, yang tak seharusnya itu boleh terjadi. Maka, julukan demi julukan akan menyertai perjalanan hidupnya. Seperti juga akan diikuti kreativitas yang tak kan ada keringnya tercipta guna mengoloknya. Previlage yang diberikan pada Gibran dilawan dengan pernyataan-pernyataan, bagian dari antitesa perlawanan. Maka muncul julukan belimbing sayur, Samsul dan lainnya, yang tak pantas disebutkan di sini. Julukan muncul karena kesalahan yang dibuat Gibran, atau sengaja dibuat disesuaikan dengan karakter pembawaannya. Tentu yang dapat mencipta tawa. Itulah konsekuensi seorang Gibran yang dipaksakan hadir sebelum saatnya, demi ambisi ortunya, yang sampai perlu menabrak konstitusi. Seperti tak boleh ada yang menghalangi. Para Samsul pun sepertinya tak kan berhenti protes, agar makna nama indahnya tak disangkutpautkan dengan Gibran. Para Samsul tidak berharap namanya tercatat pernah bersinggungan dengan Gibran. Hentikan penggunaan nama Samsul, suara protes itu. Tak ingin Samsul dipelesetkan jadi Asam Sulfat, yang itu merujuk pada Gibran. Protes itu bisa pula dimaknai, bahwa para Samsul pun tak hendak menjadi Gibran. Samsul ingin tetap menjadi Samsul dengan tambaham nama indah/bijak bersanding di belakang namanya. Dah, itu saja.**

Prabowo Memang Tak Bisa Legowo

Oleh Yusuf Blegur - Ketua Umum BroNies  “Saya tak butuh jabatan!”. “Ndasmu  etik!”. Bicaranya  apa, tindakannya apa. Ternyata bukan saja ada yang menjilat air ludahnya yang sudah dibuang. Boleh jadi ada orang yang memakan kotorannya sendiri. Satu kali cawapres dan dua kali capres, itupun gagal semua. Kini menjelang 2024, memaksakan diri menjadi capres untuk ketigakalinya. Prabowo seperti diperbudak oleh keinginan dan nafsu kekuasaannya. Bahkan ia tak lagi peduli pada usia lanjut dan kesehatannya yang semakin menurun. Idealnya, dengan pengalaman dan kondisi yang sedemikian rupa, Prabowo lebih bisa menghabiskan waktu untuk hidup santai, tenang dan nyaman. Apalagi yang masih dicari dalam hidupnya?. Malang melintang di dunia kemiliteran, bisnis dan politik, seharusnya bisa menjadikannya sebagai manusia yang matang, dewasa dan bijaksana. Tak selalu mengikuti ambisi dan menuruti semua perasaannya tentang duniawi. Menjadi seorang presiden tak cukup hanya berbekal keinginan hati. Harus realistis dan tak boleh memaksakan kehendak. Begitu banyak data dan fakta yang membuat Prabowo sulit menjadi presiden, malah bisa dibilang tak layak atau tak pantas. Rekam jejak, rekam karya dan rekam prestasi yang membanggakan, bisa dibilang tak pernah menghinggapi dirinya. Alih-alih prestasi, Prabowo justru dinilai publik tak memiliki kapasitas dan integritas. Selain didera pelaku kejahatan HAM berat yang membayanginya saban mengikuti kontastasi pilpres. Prabowo juga dituding melakukan kejahatan lingkungan pada proyek ‘Food Eastate’. Begitu naifnya pada kasus ini, karena sebagai menteri pertahanan  mengurus masalah pertanian dan pangan yang bukan tupoksinya, gagal pula. Begitupun sebagai menteri pertahanan, nyaris tak terdengar karya yang membanggakan, hanya seputar jual-beli alutsista yang dibekap kontroversi  dan ditenggarai bermotif proyek rente dan sekedar meraup komisi.  Tak cukup hanya kelemahan dan kekurangan itu, sebagai capres, Prabowo telah menjadi capres boneka dari Jokowi yang menjadi rezim gagal dan momok menakutkan bagi kehidupan demokrasi dan konstitusi. Sebagai orang dalam kekuasaan pemerintahan Jokowi, dengan distorsi kekuasaan yang begitu merusak, Prabowo cenderung menjadi ahli waris dari penghianatan dan kejahatan penyelenggaraan negara. Namun bagi Prabowo, semua itu bukan masalah dan menjadi sesuatu hal yang tak penting. Mungkin baginya, ini bukan soal etika  atau moral. Ini tentang bagaimana merebut kekuasaan meskipun dengan pelbagai cara.  KKN, menjual negara dan jika perlu menghilangkan nyawa anak bangsa  tak boleh menghentikan nafsu berkuasanya. Menjadikan kawan bagi siapapun yang seiring sejalan dan menjadikan musuh bagi siapapun yang menghalangi kepentingannya. Gemoy, imej santai dan lucu-lucuan baik oleh Prabowo dan pasangan capresnya Gibran. Sepertinya menjadi kontemplasi atau semacam pengalihan isu terhadap keterbatasan kapasitas dan integritas pasangan capres-cawapres yang diendors rezim dan oligarki. Gestur dan perangai panggung Prabowo, sesungguhnya juga merupakan upaya menutup-nutupi karakter emosional dan temperamen yang akut. Seperti dalam debat capres perdana yang disaksikan ratusan juta rakyat,  betapa Prabowo menahan kegeraman dan amarahnya, ketika tema  yang muncul menyudutkannya. Kasihan Prabowo, terlalu memaksakan kehendaknya. Kondisi kesehatannya yang tidak lagi prima, cenderung bisa memengaruhi kondisi mental dan  kejiwaannya. Dengan peran dan tanggungjawab yang kompleks serta dalam tekanan yang hebat, seorang Presiden itu mutlak harus memiliki kemampuan dan kecakapan. Bukan hanya pengetahuan dan skil kepemimpinan yang mumpuni, kesehatan lahir batin, mental dan jiwa juga menjadi faktor penting dan fundamental bagi siapapun yang ingin jadi presiden. Prabowo, langganan capres gagal dan  sekarang didampingi cawapres Gibran yang keras diduga proses pencalonannya cacat hukum. Pada substansinya  Prabowo sedang tidak menghadapi kontestasi pilpres 2024.  Ia sejatinya sedang bertarung menghadapi dirinya sendiri. Apakah Prabowo memiliki kesadaran krisis?, apakah Prabowo mempunyai kesadaran makna.?. Atau boleh jadi ada pertanyaan apakah Prabowo bisa memahami dirinya sendiri?. Tentang kekurangannya dan juga tentang keterbatasannya. Sepertinya rakyat Indonesia dan boleh jadi masyarakat internasional  bisa menilai siapa dan bagaimana Prabowo itu sesungguhnya. Biar waktu berjalan yang bisa menjelaskan siapa dan apapun tentang Prabowo yang sebenarnya. Namun dari gelagat dan perangainya, Prabowo tetap ngotot, maju terus pantang mundur. Kali ini lebih bernafsu lagi, kalau perlu terus nyapres seumur hidup. Tak ada yang tahu kecuali Tuhan, mungkin Prabowo akan menjadi capres walaupun sampai mati. Saya tak butuh jabatan, Ndasmu etik!, begitu ocehannya yang melegenda. Sekali lagi kasihan,  terlalu menyiksa diri, Prabowo memang tak bisa legowo. Ketika ambisi sudah menguasai diri, sangat sulit untuk seseorang bisa mengenal harga diri. (*)

Umat Islam Indonesia Bisa Tamat untuk Selamanya

Oleh Sutoyo Abadi | Koordinator Kajian Merah Putih  SELAMA Presiden Jokowi berkuasa, jejak kebijakan anti Islam akan menjadi bercak catatan sejarahnya. Jejak catatan tersebut bisa diketahui dengan gamblang dan jelas, Jokowi selama ini telah melakukan : De-Islamisasi (Islam diserang, de-Habisisasi (ulama terus diserang), de-Gantisasi (pejabat muslim dipinggikan), de-Chinanisasi (kiblat baru RRC), de-Komunisasi (tujuan akhir neo-communism) Analisa tersebut sudah muncul ditulis oleh Greg Fealy, dimuat di situs East Asia Forum pada 27 September 2020. Artikel ini berjudul, “Jokowi in the COVID-19 Era: Repressive Pluralism, Dynasticism and Over-Bearing State Greg Fealy, profesor dari Australian National University (ANU). Greg dikenal sebagai pengamat politik Indonesia yang mumpuni. Terang - terangan menuding Presiden Jokowi anti Islam. Ia mengevaluasi pemerintahan Presiden Jokowi dalam empat tahun ke belakang.  Artinya sejak ahir periode pertama  kekuasaannya dan masuk pada periode kedua Jokowi terus menyerang umat Islam. Sejak itu sudah muncul  survei-survei berulang kali menunjukkan bahwa banyak orang takut akan meningkatnya konservatisme dan militansi Islam Indonesia. Anehnya sebagian umat Islam menyadari atas kejadian tersebut tetapi sebagian tahu dan tidak peduli bahkan ikut larut dengan rezim. Bukan hanya bertengkar sesama umat Islam, bahkan saling menyerang. Kekuatan menyerang umat Islam tidak sendirian adalah bagian dari kekuatan global zionis, kolaborasi dengan komunis baik dari luar (RRC) dan dalam negeri  Puncak serangan itu ketika rezim membubarkan HTI, FPI, penangkapan ulama dan aktivis-aktivis Islam serta program anti radikalismenya yang menyasar ke mana-mana.  Ini sejalan dengan rencana besar untuk melemahkan Umat Islam dan kaum pribumi Indonesia. Waktu itu  menunggu Pilpres 2024 Jokowi akan lengser dengan lagawa, ternyata muncul fakta baru untuk tetap berkuasa dengan menempatkan anaknya sebagai Cawapres dan harus menang dengan cara apapun. Momentum Pilpres 2024 kalau Umat Islam tetap hanya sebagai objek kekuasaan boneka kaum liberal, kapitalis dan komunis. Umat Islam Indonesia / kaum pribumi akan tamat untuk selamanya . **