PENDIDIKAN

UMM Terima Hibah Program Kompetisi Kampus Merdeka Rp8,1 Miliar

Malang, FNN - Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) mendapatkan dana hibah Program Kompetisi Kampus Merdeka (PKKM) Rp2021 senilai Rp8,1 miliar dan menempatkan kampus itu berada di posisi 10 besar PTN-PTS penerima dana tersebut. Ketua Tim Gugus Tugas PKKM UMM Prof Dr Sujono di Malang, Jawa Timur, Ahad, menuturkan perolehan dana hibah sebesar Rp8,1 miliar itu juga menjadikan UMM menempati posisi teratas di antara perguruan tinggi swasta (PTS) penerima dana PKKM. “Kami juga berada di posisi pertama di antara 28 perguruan tinggi Muhammadiyah dan Aisyiyah yang memperoleh dana hibah ini,” kata Sujono. UMM menempati posisi 10 besar PTN-PTS penerima bantuan pemerintah PKKM 2021 bersama Universitas Gadjah Mada, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Universitas Brawiajaya, Universitas Indonesia, Institut Pertanian Bogor, Universitas Jember, Institut Teknologi Bandung, Universitas Negeri Malang, dan Universitas Tadulako. Sujono menjelaskan UMM yang digolongkan di Liga I itu berkompetisi dengan PTN-PTS dan meloloskan empat program studi (Prodi)-nya, yakni Teknik Mesin, Teknologi Pangan, Peternakan, dan Akuakultur. Sebelum diajukan, keempat prodi itu sudah melalui penilaian dari universitas, sehingga meningkatkan persentase lolos di tahap PKKM. “Sebenarnya ada lima prodi dan Institutional Support System yang sudah kami ajukan, namun hanya empat yang lolos dan didanai,” paparnya. Menurut Sujono, program ini memiliki tujuan yang terangkum dalam delapan indikator kinerja utama (IKU). Mulai dari kesiapan kerja lulusan, mahasiswa dan dosen di luar kampus, kualifikasi dan penerapan riset dosen. Selain itu, ada hal-hal yang terkait dengan kemitraan, pembelajaran dalam kelas hingga akreditasi internasional. Dosen Fakultas Peternakan yang juga Koordinator Asisten Rektor UMM itu berharap raihan ini bisa meningkatkan capaian akademik serta kualitas lulusan dosen dan pembelajaran yang ada di kampus tersebut. Ia juga ingin agar hal ini bisa dikembangkan di Prodi lain sebagai bentuk dukungan akan Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) yang digalakkan oleh pemerintah. Senada dengan Sujono, Wakil Rektor I UMM Prof Dr Syamsul Arifin menerangkan delapan IKU yang tercantum pada dasarnya menekankan pada tiga hal. Ketiganya adalah peningkatan kualitas lulusan, dosen dan pengajar, serta Prodi. “Tujuannya, melahirkan lulusan yang bisa mendapatkan pekerjaan dalam masa tunggu relatif tidak lama. Selain itu, mendorong lulusan mampu melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi. Hal ini bisa digapai melalui dosen yang berkualitas dan dibarengi dengan akreditasi yang bagus,” tegasnya. Syamsul mengaku bersyukur UMM bisa mendapatkan dana hibah ini, mengingat ada ribuan perguruan tinggi yang juga berusaha meraihnya. Ia mengapresiasi kinerja dari tim gugus tugas di tingkat universitas dan prodi yang sudah bekerja siang malam demi melancarkan proses program PKKM. Syamsul menegaskan UMM akan selalu trasnparan dan bertanggung jawab dalam menggelontorkan dana hibah terkait. Ia ingin hasil ini dapat menjadi momentum bagi UMM untuk melaksanakan aktivitas yang berfokus pada capaian kedelapan poin IKU. Tidak hanya bagi empat prodi yang lolos, tapi juga bisa ditularkan ke prodi-prodi lain di UMM. "IKU PKKM ini menjadi salah satu data yang ada di sistem PINDAI DIKTI. Data tersebut nantinya akan menjadi acuan pemerintah dalam menetapkan peringkat perguruan tinggi," ucapnya. (mth)

Nadiem: PTM Terbatas Tidak Sama dengan Sekolah Tatap Muka Normal

Jakarta, FNN - Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Anwar Makarim mengatakan Pembelajaran Tatap Muka (PTM) secara terbatas di tengah pandemi COVID-19 tidak sama dengan sekolah tatap muka sebagaimana dalam situasi normal. “Apa yang Bapak Presiden sampaikan pada Senin (7/6) lalu benar bahwa pembelajaran yang kita upayakan bersama adalah tatap muka terbatas. Sekali lagi terbatas,” ujarnya dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Rabu. Sebelumnya, Presiden Republik Indonesia Joko Widodo memberikan contoh praktik baik dalam melaksanakan PTM terbatas, di mana satuan pendidikan dapat mengatur satu kelas hanya diisi 25 persen dari total murid, kegiatan belajar mengajar hanya dua jam, dan satu minggu hanya dua kali pertemuan. “Contohnya seperti yg disampaikan oleh Bapak Presiden. Sekolah yang sudah atau dalam proses melakukan PTM terbatas dengan durasi belajar dan jumlah murid berbeda tetap diperbolehkan selama mengikuti protokol kesehatan dan di bawah batas maksimal yang tercantum dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) Empat Menteri tentang Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran di Masa Pandemi COVID-19,” tambah dia. Dia menambahkan tidak ada perubahan dalam SKB. SKB tersebut menuangkan aturan maksimal. Sekolah bisa menerapkan PTM terbatas dengan sedikit demi sedikit. Sebanyak 30 persen satuan pendidikan telah melakukan PTM terbatas sesuai situasi dan kondisi masing-masing. Sebagian baru memulai PTM terbatas beberapa bulan terakhir, ada pula yang sudah melakukan PTM terbatas sejak tahun lalu. “Seperti halnya para guru, orang tua, dan murid yang saya dengar langsung keluhannya dalam melakukan pembelajaran jarak jauh, Bapak Presiden juga menyampaikan kepeduliannya,” terang dia. Presiden menyampaikan bahwa pembelajaran jarak jauh pada kenyataannya menyulitkan anak, orang tua, dan guru. “Beliau menyampaikan, kita harus memiliki keberanian untuk mendorong PTM terbatas yang tentu saja disertai penerapan protokol kesehatan yang sangat ketat,” kata Nadiem. Sebelumnya, Kemendikbudristek dan Kementerian Agama (Kemenag) telah menerbitkan Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah (PAUD Dikdasmen) di Masa Pandemi COVID-19 yang dapat membantu kelancaran penyelenggaraan PTM terbatas. Panduan dapat diunduh di laman bersamahadapikorona.kemdikbud.go.id atau spab.kemdikbud.go.id. (mth)

Kemristekdikti Luruskan Pengertian Profesor

Jakarta, FNN - Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemristekdikti) menegaskan bahwa profesor bukan gelar akademik melainkan jabatan tertinggi yang diraih oleh dosen. "Profesor bukan gelar akademik melainkan jabatan tertinggi yang diraih oleh dosen. Jadi jika ada orang yang mendapatkan gelar profesor, maka itu tidak benar," ujar Direktur Jenderal Sumber Daya Iptek Dikti Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemristekdikti), Ali Ghufron Mukti, dikutip Antara di Jakarta, Kamis. Untuk bisa mendapatkan jabatan profesor, lanjut dia, seorang dosen harus mengajar selama 10 tahun atau meraih nilai kredit mencapai 1.000. Sayangnya, masih banyak masyarakat yang salah kaprah mengenai profesor tersebut. Sehingga tak jarang, yang rela merogoh kocek dalam-dalam hanya untuk mendapatkan profesor di depan namanya. "Oleh karena itu, kami mengadakan seminar yang membahas mengenai makna dan filosofi profesor. Tujuannya, agar masyarakat tak salah kaprah lagi menilai profesor," kata dia. Guru Besar Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada, Prof Dr Sofian Effendi, menegaskan bahwa pemberian gelar profesor kehormatan semestinya tidak ada. "Semestinya tidak ada. Kalau doktor honoris causa ada, namun profesor tidak ada. Seandainya ada dari luar negeri, pastinya bukan berasal dari perguruan tinggi ternama," kata Sofian. Saat ini, lanjut Sofian, terdapat kurang lebih 5.300 profesor di Tanah Air. Jumlah tersebut dinilai masih sangat kurang jika dibandingkan jumlah program studi yang mencapai 22.000. Hal itu menyebabkan banyak program studi yang tidak dikepalai oleh profesor. "Itu menjadi sebab mengapa pada perankingan internasional kita selalu peringkat bawah," tukas Sofian. (sws)

Pendaftaran PPDB Daring Diperpanjang Sehubungan Optimalisasi Sistem

Jakarta, FNN - Suku Dinas Pendidikan Jakarta Selatan kembali memperpanjang pendaftaran PPDB daring 2021 hingga 11 Juni 2021 sehubungan proses optimalisasi sistem. "Secara teknis lagi 'maintenance' karena 'crowded' kemarin, kami perpanjang (pendaftaran PPDB) sampai tanggal 11 Juni," kata Kepala Suku Dinas Pendidikan Jakarta Selatan 2 Abd Rachem di Jakarta, Selasa. Perpanjangan pendaftaran Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) daring hingga 11 Juni 2021 dilakukan hingga pukul 14.00 WIB. Sebelumnya, pada hari pertama PPDB daring pada Senin (7/6), Dinas Pendidikan DKI Jakarta memperpanjang waktu pendaftaran akun hingga 10 Juni 2021 pukul 14.00 WIB. PPDB DKI 2021 melalui akun twitter @PPDBDKI menginformasikan kembali penghentian sementara pengajuan akun pada Selasa (8/6) dari pukul 01.30 hingga 12.00 WIB dalam rangka optimalisasi sistem. "Apabila optimalisasi selesai maka pengajuan akun dapat dilakukan lagi," demikian tulis twitter @PPDBDKI. Sebelumnya, Pelaksana Tugas Wakil Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta Slamet tak menampik bahwa ada gangguan dalam sistem pendaftaran PPDB Tahun Ajaran 2021/2022 namun ia membantah sistem pendaftaran "down" atau mati. Slamet menjelaskan, arus pendaftaran PPDB Jakarta pada hari pertama terpantau tinggi. Alasannya, kata Slamet, pembukaan pendaftaran untuk tingkat SMP dan SMA dari jalur prestasi. "Karena jalur prestasi tidak mengenal zona, maka siapapun dari manapun, sepanjang itu warga DKI dan sudah terdaftar di dalam Sidanira ini melakukan pendaftaran hari ini," ujar pria yang juga menjabat sebagai Ketua Panitia PPDB itu. Slamet mengatakan timnya tengah berupaya mengatasi pelambatan di sistem pendaftaran tersebut. Beberapa upaya yang dilakukan, lanjut dia, seperti peningkatan kapasitas "bandwidth" dan kemampuan server pendaftaran PPDB.

Kemkominfo Akan Ubah STMM Yogyakarta Jadi Institut Digital Nasional

Jakarta, FNN - Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (Kemkominfo RI) akan mengembangkan Sekolah Tinggi Multi Media (STMM) Yogyakarta jadi Institut Digital Nasional pada 2022, kata Menkominfo Johnny Gerard Plate saat rapat kerja bersama DPR RI di Jakarta, Senin (07/06/21) Pengembangan itu bertujuan agar Institut Digital Nasional dapat memenuhi kebutuhan sumber daya terampil bidang teknologi digital di Indonesia, kata Johnny di hadapan anggota Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). “Inisiatif Kementerian Kominfo pada 2022 yaitu pengembangan Sekolah Tinggi Multi Media Yogyakarta jadi Institut Digital Nasional. (Pengembangan, Red) itu bertujuan mengatasi kebutuhan talenta digital di level hilir,” terang Menkominfo saat rapat kerja bersama Komisi I DPR RI. Kemkominfo, kata Johnny, berencana memperluas cakupan kurikulum STMM Yogyakarta agar tidak hanya sebatas multimedia, tetapi juga teknologi digital, komunikasi dan media digital, ekonomi digital, serta tata kelola dan kebijakan-kebijakan digital. “Kami berharap STMM tidak hanya terkait dengan kurikulum multimedia, tetapi juga dapat jadi pusat riset unggulan,” ujar dia menambahkan. Terkait rencana itu, STMM Yogyakarta belum dapat langsung dihubungi untuk diminta tanggapannya. Dalam rapat kerja yang sama, Menkominfo menegaskan transformasi digital akan jadi fokus yang melandasi berbagai program kerja Kemkominfo pada 2022. Program-program kerja itu sebagian besar akan melanjutkan program yang telah berjalan pada 2020 sampai 2021, antara lain penyediaan infrastruktur telekomunikasi, penguatan infrastruktur digital pemerintah, penguatan tata kelola data termasuk pertukaran data lintas batas, dan penguatan komunikasi publik termasuk platform digital, ujar Johnny menambahkan. Terkait penyediaan infrastruktur, Kemkominfo pada 2022 berencana membangun lebih banyak stasiun pemancar atau base transmission station (BTS). Sejauh ini, ada 1.682 BTS yang aktif beroperasi, dan pemerintah masih akan menyelesaikan 4.200 BTS pada 2021. Untuk 2022, Kemkominfo akan lanjut mendirikan 3.704 BTS sehingga diharapkan akan ada 9.586 pada akhir 2024. Di samping BTS, Kemkominfo juga masih akan membangun infrastruktur kabel untuk optimalisasi pemanfaatan satelit Palapa Ring, serta titik-titik akses Internet baru pada 2022. Tidak hanya menyampaikan soal program kerja, Menkominfo juga memaparkan rencana anggaran 2022. Kemkominfo mendapat pagu alokasi APBN sebanyak Rp16,96 triliun, sementara pagu indikatif pada tahun 2023 sebesar Rp21,76 triliun. "Dengan demikian, pagu pada tahun 2022 ada kenaikan sebesar Rp4,8 triliun atau 28,30 persen apabila dibandingkan dengan periode sebelumnya," ujar Menkominfo. (sws)

UKI Ingatkan Perlunya Civitas Akademika Bergotong Royong

Jakarta, FNN - Rektor Universitas Kristen Indonesia Dr Dhaniswara K Harjono mengingatkan civitas akademika UKI untuk saling bergotong-royong dalam menghadapi masalah bangsa. Dhaniswara K Harjono dalam keterangan persnya di Jakarta, Kamis, mengingatkan hal itu dalam rangka memperingati Hari lahir Pancasila. “Sebagai karakter dan kepribadian bangsa Indonesia, kita sudah buktikan bahwa dengan bergotong-royong, tidak ada yang tidak dapat kita selesaikan," kata dia. Dia juga meyakini upaya untuk keluar dari kesulitan akibat pandemi COVID-19 pun dapat berhasil dengan cara bergotong-royong. "Dengan semangat nilai UKI, yaitu, 'Berbagi dan Perduli', Pancasila sebagai dasar negara mengajarkan untuk peduli terhadap sesama, apapun latar belakangnya, dalam keberagaman, kita mampu berbagi dan melayani sesama,” kata Dr Dhaniswara K Harjono. Sebagai langkah nyata, civitas akademika Universitas Kristen Indonesia memberikan makanan gratis kepada masyarakat di area kampus UKI Cawang, Jakarta. Kegiatan itu digelar selama tiga bulan dengan memberikan 500 bungkus nasi, masker dan vitamin guna meringankan beban masyarakat di tengah situasi Pandemi COVID-19. Bantuan yang diberikan berupa 500 paket makan pagi, 500 masker dan 500 vitamin B dan C. “Dengan imbauan jaga jarak dan datang bergantian, aksi sosial ini akan dilaksanakan setiap hari," kata dia. Kemudian, lanjut Dhaniswara sasaran bantuan tersebut yaitu masyarakat yang secara ekonomi terdampak akibat pandemi COVID-19. "Misalnya, ojek online, pedagang kaki lima (PKL), warga sekitar, serta warga UKI seperti mahasiswa, satpam, hingga pramu kantor, juga menerima paket bantuan,” ucap Dhaniswara. Perguruan tinggi tersebut membentuk tim bernama Gugus Tugas UKI Peduli Dampak COVID-19, untuk meminimalkan dampak pandemi di civitas akademika dan masyarakat sekitar. "Bersama alumni, mahasiswa dan civitas akademika UKI, kami peduli dengan situasi pandemi COVID-19 yang melanda Indonesia saat ini,” kata Rektor UKI itu. Tim Gugus Tugas UKI Peduli Dampak COVID-19 membentuk dapur umum koinonia untuk menyediakan makanan sehat berupa 150 nasi bungkus untuk dibagikan secara gratis kepada mahasiswa UKI, terutama mahasiswa yang terdampak COVID-19 dan mahasiswa yang tinggal di kos sekitar UKI. Dapur umum bertempat di kantin UKI Cawang. Selain itu Tim Gugus Tugas UKI Peduli Dampak COVID-19 memberikan bantuan antara lain sembako untuk mahasiswa UKI, untuk petugas kebersihan dan petugas keamanan di UKI. Lebih lanjut, masker untuk mahasiswa, masyarakat sekitar Kelurahan Cawang, dan pulsa untuk mahasiswa UKI yang memerlukannya. Para dosen dan staf UKI menggalang dana untuk membantu pengadaan alat pelindung diri RS UKI dan untuk pembuatan hand sanitizer. Ketua Gugus Tugas UKI Peduli Dampak Covid 19, Hulman Panjaitan, menjelaskan gugus tugas membantu menyusun aturan dan persiapan kampus sehubungan dengan kondisi kenormalan baru di UKI. "Kegiatan perkuliahan dilakukan dengan metode online learning dan mahasiswa diimbau untuk tetap melaksanakan kegiatan sehari-hari dengan menerapkan pola hidup sehat dan bersih," ujarnya.

Kuat Dugaan Dirjenbud Hilmar Farid Ingin Memutihkan PKI?

by Asyari Usman Jakarta, FNN - Saat ini sedang viral soal nama KH Hasyim Asy’ari (pendiri NU) yang dihilangkan dari Kamus Sejarah Indonesia (KSI) Jilid 1 terbitan Kemendikbud. Dirjen Kebudayaan Kemendikbud Dr Hilmar Farid (HF) mengatakan bahwa itu terjadi karena kealpaan. Buka kesengajaan. Kalau dia alpa, maka itu berarti Hilman sangat khusyuk dengan nama-nama pentolan PKI yang dia cantumkan di KSI Jilid 1 yang kini ditarik dari peredaran. Skenario sengaja membuang nama KH Hasyim Asy’ari sangat masuk akal. Mengapa? Karena para ulama adalah musuh utama PKI. Sangat mungkin Hilmar tidak ingin generasi muda mengetahui perlawanan warga NU terhadap berbagai pemberontakan PKI di Indonesia. Ada video lama (2011) yang berjudul “Kaum Kiri dalam Historiography Orde Baru”. Bisa ditonton di Youtube. Di video ini, Hilman blak-blakan membela PKI. Video ini membuat saya tak percaya penghapusan nama Kiyai Hasyim Asy’ari itu tak disengaja. Setelah mencermati video berdurasi 5 menitan itu, tidaklah berlebihan kalau disimpulkan bahwa Hilmar ingin memutihkan PKI. Dan kalau Anda amati selama 15 tahun ini, sangat terang-terangan sekali upaya pemutihan atau rehabilitasi PKI yang diupayakan oleh banyak pihak. Masih di video 2011 itu, Hilmar mengatakan para penguasa Orde Baru merekayasa peristiwa sadis yang dilakukan oleh PKI pada 30 September 1965. Menurut Hilmar, landasan Orde Baru untuk berkuasa ialah dengan menginjak PKI. Meskipun sudah 10 tahun berlalu, video ini bagus untuk disimak agar Anda tahu persis tentang pikiran Hilmar Farid. Menurut hemat saya, dia punya agenda jangka panjang untuk membersihkan nama PKI dari perbuatan keji dan kejam yang mereka lakukan terhadap para jenderal AD dan para ulama serta umat Islam pada umumnya. Sekali lagi, saya yakin penghapusan nama KH Hasyim Asy’ari dari KSI Jillid 1 bukan kealpaan sebagaimana dikatakan oleh Hilmar. Tidak mungkin. Yang terjadi adalah penghapusan ketahuan, Hilmar pun membuat-buat alasan. Jadi, memang luar biasa dahsyat misi PKI untuk bangkit kembali. Didukung oleh banyak pihak. Ada parpol besar yang menampung dan menyokong mereka. Ada HF, sejawaran, yang juga mendukung. Sejak 2015, pria yang bernama lengkap Hilmar Farid Setiadi ini menjabat sebagai Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbud. Posisi ini sangat strategis. Sebab, Dirjenbud berwenang mengelola, mengolah, dan menerbitkan buku sejarah. KSI Jilid 1 termasuk dibidani oleh HF. Di bagian awal tadi, saya katakan bahwa Hilmar tak salah kalau disebut ingin memutihkan PKI. Nah, mengapa dia pantas disebut ingin memutihkan PKI? Salah satu indikasinya adalah tesis doktor (PhD) yang dia tulis di National University of Singapore (NUS), Mei 2014. Judul tesis itu “Rewriting the Nation: Pramoedya and the Politics of Decolonization”. Tanpa membaca tuntas isi tesis ini, judulnya jelas membela gerakan kiri Indonesia. “Rewriting the Nation” lebih kurang bermakna menuliskan kembali sejarah bangsa (Indonesia). Kemudian, “Pramoedya” adalah nama tokoh gerakan kiri yang dinisbatkan sebagai pendukung PKI. Dalam tesis ini, Hilmar menukilkan kekaguman dan pujiannya pada kemampuan Pramoedya Ananta Toer dalam menuliskan sejarah versi Indonesia, bukan versi Belanda. Bagi HF, tidak ada penulis Indonesia yang bisa melakukan itu sebaik Pramoedya. Di dalam tesis ini, Hilmar memuji kehebatan perlawanan intelektual orang-orang yang disebutnya dari pergerakan kiri terhadap penjajah Belanda. Dia sebut penulis pergerakan seperti Marco Kartodikromo (1890-1935), Semaoen (1899-1971), dan Muso (1897-1948). Hilmar tidak menyebutkan mereka anggota atau aktivis komunis (PKI). Dia hanya menyebut mereka itu bagian dari “penulis pergerakan radikal”. Tetapi, Hilmar Farid ada menyebutkan tentang Partai Komunis (tanpa kata “Indonesia” di belakangnya) yang membentuk komisi bahan bacaan. Yang menerbitkan tulisan-tulisan propaganda untuk melawan Balai Poestaka (BP). Waktu itu, BP memang menjadi mesin propaganda penjajah. Jadi, Hilmar bukan orang sembarangan. Dia adalah seorang ideolog kiri. Tepatnya ideolog kebudayaan. Kehadirannya di Kemendikbud bukan hadiah atas dukungannya untuk Jokowi. Meskipun sebelumnya dia sempat menjadi komisaris di PT Krakatau Steel. Dia bisa dipastikan sebagai bagian dari ‘design’ untuk mentransformasikan rakyat Indonesia menjadi penyembah kebudayaan. Dalam transkrip wawancara dengan BBC yang dimuat di situs “hilmar farid”, Hilmar menjelaskan impiannya tentang orang Indonesia yang hari-hari mengutamakan kebudayaan. Tidak ada satu kata pun yang menyinggung soal pembinaan relijiusitas (dakwah). Tak salah kalau ada yang menyimpulkan bahwa Hilmar tidak suka hal-hal yang berbasis keagamaan –terutama Islam. Semasa menjadi aktivis, HF mengakui kegiatannya untuk melestarikan kebudayaan selalu terbentur dana penyelenggaraan kegiatan. Dia menginginkan ada berbagai festival kebudayaan (kesenian) yang bisa berlangsung (berusia) panjang. Hilmar memuji “Indonesian Dance Festival” yang bisa berlangsung panjang. Juga ada “Art Summit” dan “Jiffest”. Di awal masa jabatannya sebagai Dirjenbud, Hilmar berpendapat acara-acara kebudayaan itu seharusnya bisa didukung oleh dana CSR dari BUMN atau swasta. Dibuatkan regulasinya atau dilakukan pendekatan kepada pimpinan perusahaan. Hilmar Farid adalah orang pertama dari luar jalur PNS yang menjabat sebagai Dirjenbud. Pria kelahiran Bonn, Jerman, ini adalah aktivis kiri yang banyak membentuk wadah perjuangan. Pada 1994, dia mendirikan Jaringan Kerja Budaya. Dia juga membentuk Media Kerja Budaya yang menerbitkan bacaan reguler anak-anak. Belum sempat melihat sendiri bahan bacaan anak-anak itu. Tapi, sudah bisa diduga kontennya seperti apa. Hilmar tidak segan-segan mengutarakan kekagumannya pada Jokowi. Dia mengaku mulai kenal Jokowi sejak menjadi walikota Solo. Dia senang ketika Jokowi yang didukungnya habis-habisan itu menang pilkada DKI 2012 dan kemudian pilpres 2014. Pada Maret 2012, Hilmar bersama sejumlah rekannya mendirikan Relawan Penggerak Jakarta Baru (RPJB). HF juga mendirikan Institut Sejarah Sosial Indonesia pada 2002. Kemudian, sejak 2012 Hilmar duduk sebagai ketua Perkumpulan Praxis. Hilmar memiliki kapasitas untuk menjadikan kebudayaan sebagai panutan dan amalan rakyat. Ini sejalan dengan keinginan ketum PDIP Megawati Soekarnoputri yang menghendaki agar rakyat Indonesia mengutamakan kebudayaan –bukan agama. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Kontroversi Nadiem Makarim Hapus Pendidikan Pancasila

by Asyari Usman Medan, FNN - Hari-hari ini sedang ribut soal Mendikbud Nadiem Makarim yang menghapus Pancasila dari daftar mata kuliah wajib. Bermunculan protes. Tak pelak lagi, Nadiem menjadi sasaran kecurigaan. Dia diduga tidak punya pemahaman tentang Pancasila, dlsb. Kontroversi ini muncul setelah PP Nomor 57/2021 yang meniadakan Pancasila sebagai mata pelajaran dan mata kuliah wajib. Setelah dikritik keras di sana-sini, akhirnya Menteri Nadiem merevisi PP ini. Pancasila dan bahasa Indonesia tetap wajib diajarkan di sekolah dan perguruan tinggi. Satu pertanyaan: apakah tuan-puan sekalian menyangka para pejabat, elit kekuasaan, elit politik, elit bisnis, dll, masih ada yang teringat dengan Pancasila? Yang masih mengamalkan Pancasila? Tentu Anda semua tahu jawabannya. Karena tahu jawabannya, pastilah Anda bisa paham mengapa Nadiem tidak peduli dengan Pancasila. Dia merevisi PP 57 itu tidak berarti hati dan pikirannya berisi nilai-nilai Pancasila. Bisa saja karena kontroversi penghapusan Pancasila itu ditentang keras oleh para ulama dan para tokoh bangsa serta pakar pendidikan yang mengkhawatirkan arah pembinaan spiritual bangsa. Tapi, apakah penghapusan itu salah Nadiem? Bukan. Itu kesalahan Presiden Jokowi yang berharap Nadiem bisa melakukan transformasi pendidikan supaya orang Indonesia bisa menjadi seperti Nadiem. Dia sukses dengan Gojek-nya. Jokowi kagum sekali dengan Nadiem yang bisa menjadi pengusaha hebat hanya bermodalkan aplikasi. Jadi, Jokowi ingin sekali anak-anak Indonesia ini menjadi inovatif seperti Nadiem. Tapi, Jokowi lupa bahwa inovasi Gojek dan sejenisnya hanya sebatas pengorganisasian penjualan jasa angkutan. Buka tidak penting. Penting juga. Cukup bagus organisasi Gojek itu. Namun, yang menjadi masalah krusial bagi Indonesia ini adalah inovasi produk yang berbasis riset. Semua produk. Baik itu produk pertanian, kelautan, elektronik, persenjataan, alat transportasi, dlsb. Ini kalau kita bicara soal inovasi yang diperlukan untuk mengangkat harkat ekonomi-bisnis rakyat. Bukan semata sukses bisnis aplikasi ala Nadiem itu saja. Kembali lagi kita ke soal Pancasila di mata Nadiem. Kelihatannya, dia tidak memikirkan aspek spiritual dalam menggapai sukses bisnis. Yang penting orang harus berpikir dan bertindak kapitalis. Menumpuk keuntungan sebanyak-banyaknya. Tidak ada istilah pemerataan. Tidak kenal keadilan ekonomi. Karena itu, nilai-nilai Pancasila hanya akan menggannggu gerak maju bisnis. Dari kalkulasi inilah Nadiem melihat mata pelajaran atau mata kuliah Pancasila tidak perlu diajarkan. Sebab, nilai-nilai Pancasila mengajarkan orang berbagi, peduli sesama, dan mengingatkan orang tentang kehidupan kekal yang hanya bisa dipahami melalui konsep Ketuhanan Yang Masa Esa. Sila pertama Pancasila ini bertentangan dengan prinsip cari duit sebanyak-banyaknya yang dipraktikkan Nadiem selama ini. Sekarang kita lihat apakah Nadiem masih layak duduk sebagai menteri pendidikan. Kalau Jokowi masih menganggap penting Ketuhanan Yang Maha Esa dengan segala nilai dan syariat yang membatasi ketamakan dan kerakusan, tentu saja Nadiem tidak cocok lagi mengemban tugas pendidikan. Sebaliknya, kalau Jokowi berpandangan sama dengan Nadiem, berarti pendidikan Pancasila tidak perlu ada. Dan itulah sesungguhnya yang ingin mereka lakukan ketika menerbitkan PP 57/2021. Revisi adalah sekadar reaksi ketika publik menjadi resah.[] Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

BRIN dan Kemenriatek Dipisah, Politis?

by Mochamad Toha Surabaya, FNN - Tak bisa dipungkiri. Keputusan Presiden Joko Widodo memisahkan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dari Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek) mencerminkan dominannya pertimbangan politik dalam strategi pengembangan ilmu pengetahuan di Indonesia. Editorial Koran Tempo, Kamis (8/4/2021), menulis Kisruh BRIN ini bermula dari keinginan PDIP untuk ikut mendesain lembaga yang dirancang menjadi payung semua kegiatan riset dan inovasi di Indonesia itu. Di Dewan Perwakilan Rakyat, Fraksi PDIP memang aktif mengawal pengesahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, peraturan yang menjadi dasar pendirian BRIN. Namun, desain BRIN ala Fraksi PDIP itu rupanya tak cocok dengan rencana yang disiapkan Menteri Riset dan Teknologi Bambang Brodjonegoro. Akibat silang pendapat itu, Peraturan Presiden Nomor 74 Tahun 2019 yang menjadi dasar bukum struktur Kemenristek tidak kunjung diperbaharui ketika masa berlakunya berakhir pada 30 Maret 2020. Koran Tempo menilai, penetapan BRIN sebagai lembaga otonom tak bakal serta-merta menjadi solusi atas mandeknya riset dan inovasi di negeri ini. Apalagi jika Kementerian Riset dan Teknologi justru dilebur dalam ementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Keputusan Jokowi itu malah bisa menjadi blunder besar bagi dunia penelitian kita. Rencana pemisahan BRIN dari Kemenristek ini jelas lebih didorong syahwat politik PDIP ketimbang motif memajukan dunia ilmu pengetahuan dan teknologi. Ditambah lagi rencana penghapusan Kemenristek dengan meleburkan fungsinya pada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ini, keduanya merupakan langkah mundur dalam desain dan strategi kebijakan riset nasional kita. Dalam Surat Presiden Nomor R-14/Pres/03/2021 yang dikirim ke DPR terkait pembubaran Kemenristek dan pembentukan Kementerian Investasi, disebutkan bahwa jika pembentukan kementerian baru itu adalah untuk meningkatkan investasi di Indonesia. Menurut Dipo Alam, jika untuk menaikkan investasi butuh dibentuk kementerian baru di Kabinet, mengapa untuk memajukan riset justru dilakukan dengan cara sebaliknya, yaitu menghapus Kemenristek yang sudah ada di Kabinet?! Peneliti Pusat Analisa Perkembangan Iptek LIPI (1990-1993) itu mengungkapkan, secara kelembagaan BRIN dengan BKPM kurang lebih setara, yaitu termasuk Lembaga Non-Struktural (LNS) dan Lembaga Pemerintah Non-Kementerian (LPNK). UU Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, yang menjadi dasar hukum pendirian BRIN, juga hanya memerintahkan pendirian BRIN saja, dan bukannya memerintahkan pembubaran Kemenristek. Jika pemerintah benar-benar ingin memajukan riset, sudah seharusnya BRIN tetap dibiarkan menginduk ke Kemenristek seperti yang sudah berjalan sejauh ini. Mendesain BRIN sebagai otonom di luar kementerian bisa membuat kabinet yang ada malah kehilangan efektivitasnya. Seperti disebut Koran Tempo, PDIP yang aktif mengawal pengesahan UU Nomor 11 Tahun 2019, menginginkan agar ketua umumnya didapuk menjadi Ketua Dewan Pengarah BRIN. Upaya untuk mendorong ke arah itu telah dilakukannya dengan menunggangi RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) yang tahun lalu sempat menjadi kontroversi. Memang sangat ganjil, naskah RUU yang seharusnya fokus pada bagaimana melembagakan nilai-nilai Pancasila, jika kita periksa dengan seksama, ternyata banyak sekali memuat soal BRIN. Dipo Alam melihat, ada 5 pasal dalam RUU HIP yang secara tegas menyebut BRIN, yaitu Pasal 35, 38, 45, 48 dan pasal 49. Misalnya, bunyi Pasal 35 Ayat (2): “Untuk menjamin terlaksananya HIP dalam sistem nasional ilmu pengetahuan dan teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk kementerian/badan riset dan inovasi nasional untuk menjalankan penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan, serta invensi dan inovasi yang terintegrasi.” Pasal itu cukup menjadi pertanyaan, mengingat perintah untuk mendirikan BRIN sebenarnya sudah tercantum dalam UU Nomor 11 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang telah diundangkan oleh Pemerintah sendiri sejak 13 Agustus 2019. Namun, hal yang sekilas menjadi pertanyaan itu masuk akal kalau kita menghubungkannya dengan Pasal 48 ayat (6) RUU HIP, yang berbunyi, “Ketua dewan pengarah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a menjabat ex officio ketua dewan pengarah di badan yang menyelenggarakan riset dan inovasi nasional.” Sebagai “ketua dewan pengarah” dalam RUU HIP: ketua dewan pengarah dari badan yang menyelenggarakan urusan di bidang pembinaan ideologi. Sekilas, model kelembagaan ristek seperti ini sangat mirip dengan yang dipraktikkan Partai Komunis China (PKC) di China. Mengapa sebuah undang-undang yang seharusnya hanya mengatur sebuah badan tentang pembinaan Pancasila, bisa mengatur badan lain yang mengurusi riset dan inovasi naqsional, sebuah bidang yang bersifat sangat praktis?! Tepatkah menempatkan lembaga yang berurusan dengan soal riset di bawah kontrol sebuah lembaga indoktrinasi, yang notabene dipimpin oleh seorang ketua umum partai politik? Berbagai pertanyaan di atas, kian memuncak jika membaca Pasal 45 ayat (1) dan (2) RUU HIP, yang memberikan wewenang sangat besar kepada ketua dewan pengarah dalam mengontrol dan mengatur badan riset dan inovasi nasional. Padahal, jika kita membaca Perpres Nomor 74 Tahun 2019 tentang Badan Riset dan Inovasi Nasional, yang diteken oleh Presiden Joko Widodo pada 24 Oktober 2019, sama sekali tidak disebutkan adanya posisi dewan pengarah. Semua kewenangan atas BRIN yang dimiliki oleh ketua dewan pengarah tadi, sebenarnya bertabrakan dengan tugas dan kewenangan pimpinan BRIN yang telah diatur dalam Perpres. Pimpinan BRIN sendiri terdiri dari Kepala, Sekretaris Utama, dan para Deputi. Badan Riset Prof. Widi A. Pratikto, guru besar ITS yang pernah menjadi Dirjen Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil (KP3K) semasa Prof. Rokhmin Dahuri sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan bercerita tentang peran Badan Riset dan Ketangguhan Kementerian. Prof. Rokhmin memberikan misi diantarannya: 1. Pengelolaan KP3K 2. Menbangun Jejaring untuk Pengelolaan 3. Melakukan Jejaring Nasional dan Internasional. Dalam Leadership sebagai Menteri, Prof. Rokhmin memberikan bingkai arahan dan support kepada mereka ini sebagai Pelaksana melakukan hal operasional. Secara Nasional rasanya bisa pula Presiden kepada Para Menko dan Menteri-menterinya. Dalam Giat Kelautan maka Symphoni menjadi menarik dan Ekonomi bergerak bila seluruh Komponen dan Anak Bangsa terlibat. Diagram berikut Skema Program Mitra Bahari (PMB). Dalam Kewilayahan Provinsi dan Kabupaten/Kota, maka Tupoksi Implementasi Operasional KKP terkait Laut dan Pesisir bisa di-support melalui PMB tersebut di atas. Badan Riset di Kementrian adalah Perlu dan Startegis. Banyak hal terkait Future Engagement dan Development maka Badan Riset sangat diperlukan Kementrian. Untuk KKP misalnya, akan menjadi paradigma baru berbagai Kegiatan Kerjasama di luar ZEE yang akan dikelola. Tantangan dan Perumusan terkait Food Security dan Energy, maka Badan Riset amat sangat diperlukan. Dalam Agenda Nasional maka Kemendikbud dan Kemenristek penjaga Future Development dan Competitive Ness Bangsa dan Negara selama dijaga oleh Menteri yang Profesional dan Berpengalaman. Efesiensi dan efektivitas dalam operasionalisasi perlu dicermati. Terutama dengan berlakunya UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda), maka peran Kementrian perlu dilihat dengan seksama. Inovasi dari Kemenristek dan Kemendikbud sangatlah erat. Dampak dari dua Kementrian ini dengan Stabilitas Perekonomian Negara amatlah besar. Pendidikan mengandung Investasi di mana Leadership sorang menteri diperlukan, demikian pula Kemenristek. Motivasi adalah perilaku Contoh. Dua Menteri tersebut di atas bukan sekedar Kepala Kantor namun Inspirator, Motivator, dan paham atas kualitas dari proses Pendidikan dan Penelitian. Bebantuan dan Peningkatan Peran Propinsi perlu dilakukan seirama dengan berlakunya UU Nomor 23 Tahun 2014. Kemendagri segyonya banyak berkonsentrasi dalam hal ini terutama terkait tantangan baru VUCA (Volatilitas, Unceryainty, Complexity, dan Uncertainty). Seyogyanya Ristek dan Dikbud itu harus diperkuat dan terdepan. Beberapa mata kuliah dari Dikdasmen dan Perguruan Tinggi harus disiapkan. Perubahan dua mata kuliah perlu dilakukan untuk mengantisipasi VUCA tersebut dalam berbagai peri kehidupan. Tugas kita melakukan konsolidasi dan penyiapan operasionalsasi dan membantu Daerah Provinsi dan Kabupaten Kota dalam Pendidikan, Riset, dan Teknologi menghadapi VUCA. Sehingga patut melihat bahwa Kreativitas – Innovasi terkait dengan Pendidikan, Riset, dan Teknologi dan bukan berarti digabung namun diberdayakan. Dan, penyiapan operasi ke Propinsi mesti di-support. VUCA sudah di sekitar kita. Prof. Widi mengingatkan, jangan coba dan mencoba sebelum berhitung atas konsekwensi dan resiko. Inilah perenungan nasib bangsa ke depan, untuk kembali ke lembaga-lembaga yang memiliki kadar mengawal sunatullah, kita untuk merubah ada akal melalui Pendidikan, Penelitian, dan Teknologi yang dilakukan dan dikerjakan. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Lembaga Ristek Dalam Bayang-Bayang Indoktrinasi

by Dipo Alam Jakarta, FNN - Setelah bereksperimen mengeluarkan Dirjen Pendidikan Tinggi dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) ke Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek) pada periode pertamanya dulu, sebuah eksperimen yang terbukti gagal dan kemudian dianulir sendiri setelah lima tahun; di periode keduanya ini Presiden Joko Widodo kembali bereksperimen dengan “membubarkan” Kemenristek dan meleburnya ke Kemendikbud. Memang butuh waktu untuk menilai apakah keputusan ini akan berhasil atau kembali membentur kegagalan. Namun, kita bisa langsung menilai jika dari kacamata kebijakan publik dan manajemen riset, keputusan untuk “membubarkan” Kemenristek adalah sebuah keputusan yang buruk. Ada tiga alasannya. Pertama, mengubah nomenklatur kementerian di tengah jalannya pemerintahan dengan jelas menunjukkan jika pemerintah tidak memiliki horison perencanaan jangka panjang. Kecuali perubahan pejabat kementerian, susunan lembaga kementerian seharusnya sudah selesai begitu Presiden mengumumkan susunan kabinet. Tidak heran jika publik, terutama yang berkecimpung di dunia riset dan akademik, sulit mempercayai kalau perubahan ini benar-benar dimaksudkan untuk memperbaiki kelembagaan riset dan inovasi teknologi di tanah air. Walaupun, ketika itu diharapkan universitas kita menuju kiat research university. Kedua, riset jenjangnya berbeda dan bahkan jauh lebih tinggi daripada universitas serta lembaga pendidikan lainnya. Itu sebabnya, sejak Kementerian Riset pertama kali dibentuk pada masa Kabinet Kerja III (1962), dan bertahan hingga Kabinet Dwikora II (1966), kementerian ini tidak pernah berada satu kompartemen dengan bidang pendidikan dan pengajaran. Begitu juga ketika pemerintahan Orde Baru memasukkan kembali Kementerian Riset ke dalam nomenklatur kabinet sejak Kabinet Pembangunan II (1973-1978), posisinya tidak pernah disatukan dengan kompartemen pendidikan. Sehingga, menyatukan dapur riset dengan dapur pendidikan dan pengajaran bukanlah sebuah langkah langkah baru yang menjanjikan berhasil-guna. Ketiga, “pembubaran” Kemenristek terjadi bersamaan dengan munculnya nomenklatur baru bernama Kementerian Investasi di dalam kabinet. Menurut saya, ini sangat tragis. Di satu sisi Pemerintah beralasan pembubaran Kemenristek adalah karena sekarang telah ada BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional). Tetapi di sisi lain, mereka malah memunculkan kementerian baru dalam bidang investasi, padahal kita sudah memiliki BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal). Dalam Surat Presiden (Surpres) No. R-14/Pres/03/2021 yang dikirim kepada DPR terkait pembubaran Kemenristek dan pembentukan Kementerian Investasi, disebutkan jika pembentukan kementerian baru itu adalah untuk meningkatkan investasi di Indonesia. Kita pun jadi bertanya-tanya. Jika untuk menaikkan investasi butuh dibentuk kementerian baru di kabinet, kenapa untuk memajukan riset justru dilakukan dengan cara sebaliknya, yaitu menghapus Kemenristek yang sudah ada di kabinet?! Sebagai catatan, secara kelembagaan BRIN dengan BKPM kurang lebih setara, yaitu termasuk Lembaga Non-Struktural (LNS) dan Lembaga Pemerintah Non-Kementerian (LPNK). UU No. 11/2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, yang menjadi dasar pendirian BRIN, juga hanya memerintahkan pendirian BRIN saja, dan bukannya memerintahkan pembubaran Kemenristek. Jika pemerintah benar-benar ingin memajukan riset, seharusnya BRIN tetap dibiarkan menginduk kepada Kemenristek seperti yang sudah berjalan sejauh ini. Mendesain BRIN sebagai organisasi otonom di luar kementerian dapat membuat kabinet yang ada malah kehilangan efektivitasnya. Bayang-bayang Indoktrinasi Ideologi Saya khawatir, keputusan Presiden untuk lebih memenangkan BRIN daripada Kemenristek ini lebih banyak didikte oleh kepentingan politik praktis daripada kepentingan untuk memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hari Kamis, 8 April 2021 kemarin, dalam tajuknya, Koran Tempo menulis jika PDI-P, yang aktif mengawal pengesahan UU No. 11/2019, menginginkan agar ketua umumnya didapuk menjadi Ketua Dewan Pengarah BRIN. Upaya untuk mendorong ke arah itu bahkan telah dilakukan dengan menunggangi RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) yang tahun lalu sempat menjadi kontroversi. Sangat ganjil, naskah RUU yang seharusnya fokus pada bagaimana melembagakan nilai-nilai Pancasila itu, jika kita periksa dengan seksama, ternyata banyak sekali memuat soal BRIN. Ada lima pasal dalam RUU HIP yang secara tegas menyebut BRIN, yaitu Pasal 35, 38, 45, 48 dan 49. Dalam Pasal 35 Ayat (2), misalnya, disebutkan, “Untuk menjamin terlaksananya Haluan Ideologi Pancasila dalam sistem nasional ilmu pengetahuan dan teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk kementerian/badan riset dan inovasi nasional untuk menjalankan penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan, serta invensi dan inovasi yang terintegrasi.” Pasal tersebut cukup menjadi pertanyaan, mengingat perintah untuk mendirikan BRIN sebenarnya sudah tercantum dalam UU No. 11/2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang telah diundangkan oleh Pemerintah sendiri sejak 13 Agustus 2019. Apa perlunya mengulangi hal itu, apalagi sampai mengandaikan jika perintah pendirian BRIN tersebut ada kaitannya dengan keinginan semacam “penataran” ideologi Pancasila? Namun, hal yang sekilas menjadi pertanyaan itu masuk akal kalau kita menghubungkannya dengan Pasal 48 ayat (6) RUU HIP, yang berbunyi, “Ketua dewan pengarah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a menjabat ex officio ketua dewan pengarah di badan yang menyelenggarakan riset dan inovasi nasional.” Yang dimaksud sebagai “ketua dewan pengarah” dalam RUU HIP adalah ketua dewan pengarah dari badan yang menyelenggarakan urusan di bidang pembinaan ideologi. Sekilas, model kelembagaan ristek seperti ini mirip dengan yang dipraktikkan Partai Komunis Cina (PKC) di Republik Rakyat Tiongkok. Sampai di sini muncul pertanyaan akhir: kenapa sebuah undang-undang yang seharusnya hanya mengatur sebuah badan tentang pembinaan Pancasila, bisa memiliki hasrat yang demikian besar untuk mengatur badan lain yang mengurusi soal riset dan inovasi nasional, sebuah bidang yang bersifat sangat praktikal?! Tepatkah menempatkan lembaga yang berurusan dengan soal riset di bawah kontrol sebuah lembaga indoktrinasi, yang notabene dipimpin oleh seorang ketua umum partai politik? Berbagai pertanyaan di atas, kian memuncak jika kita membaca Pasal 45 ayat (1) dan (2) RUU HIP, yang memberikan wewenang sangat besar kepada ketua dewan pengarah dalam mengontrol dan mengatur badan riset dan inovasi nasional. Padahal, jika kita membaca Perpres No. 74/2019 tentang Badan Riset dan Inovasi Nasional, yang diteken oleh Presiden Joko Widodo pada 24 Oktober 2019, sama sekali tidak disebutkan adanya posisi dewan pengarah. Selain itu, semua kewenangan atas BRIN yang dimiliki oleh ketua dewan pengarah menurut RUU HIP tadi, sebenarnya bertabrakan dengan tugas dan kewenangan pimpinan BRIN yang telah diatur dalam Perpres. Pimpinan BRIN sendiri terdiri dari Kepala, Sekretaris Utama, dan para Deputi. Saya kira, berbagai pertanyaan di atas perlu segera dijawab oleh Pemerintah, termasuk DPR yang telah menyetujui “pembubaran” Kemenristek. Jangan sampai kita mempertaruhkan masa depan riset dan pengembangan ilmu pengetahuan di tanah air untuk kepentingan yang tidak jelas. Kebijakan ristek yang tidak jelas orientasinya tersebut tentunya sangat memprihatinkan. Apalagi, dalam lima belas tahun terakhir kompetensi sains kita, terutama di level pelajar, bisa dikatakan berada pada level yang buruk. Kalau kita merujuk pada peringkat PISA (Programme for International Student Assessment), misalnya, peringkat kita sangat rendah. Untuk nilai kompetensi Membaca, misalnya, Indonesia berada di peringkat 72 dari 77 negara. Sementara, untuk nilai Matematika, kita berada di peringkat 72 dari 78 negara. Dan nilai Sains berada di peringkat 70 dari 78 negara. Peringkat kita konsisten buruk sejak penilaian tersebut pertama kali dirilis pada tahun 2000 silam. Bagaimana kompetensi sains kita akan meningkat, jika kebijakan riset dan pendidikan kita dibiarkan tambal sulam tak punya arah semacam itu? Penulis adalah Peneliti PAPIPTEK (Pusat Analisa Perkembangan Iptek) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (1990-1993)