Din Syamsuddin: Rejimisasi Agama Langgar Konstitusi

Guru Besar FISIP UIN Jakarta, M. Din Syamsuddin. (Foto : FNN/Dokumen pribadi).

Jakarta, FNN - Gejala perejiman (rejimisasi) agama yang disinyalir oleh Muhammadiyah merupakan fenomena memprihatinkan. Bahkan kecenderungan itu, apalagi jika negara terlibat, dapat dipandang sebagai melanggar Konstitusi.

"UUD 1945 Pasal 29 menegaskan bahwa negara menjamin kebebasan beragama dan kebebasan menjalankan ibadah sesuai agama dan kepercayaannya. Maka pemaksaan suatu agama atau paham keagamaan tertentu kepada pihak lain adalah bentuk pelanggaran konstitusi," kata   mantan Ketua Umum MUI (Majelis Ulama Indonesia) dan Ketua Dewan Pertimbangan MUI, M. Din Syamsuddin dalam siaran persnya yang diterima FNN, di Jakarta, Selasa, 8 November 2022 malam.

Din Syamsuddin setuju masalah itu dibahas dan dijernihkan. Sebab,  kalau menguat sangat potensial mengganggu kerukunan antar umat beragama, dan intra umat beragama.

Din mengatakan,  rejimisasi paham keagamaan nyata adanya, seperti tampak pada desakan sementara kalangan akan paham tertentu sebagai kebenaran tunggal, dan menyalahkan paham lain, bahkan meminta negara  meniadakannya. Atau, negara mendukung paham tertentu dalam penetapan hal keagamaan tertentu dan mengabaikan paham lain.

Sikap demikian menurut Din  adalah  egois, arogan, dan otoriter. Sikap demikian tampak pada kecenderungan mengklaim kebenaran, padahal belum tentu benar, bahkan acapkali melakukan persekusi terhadap pihak lain yang tidak disetujuinya.

Jika terjadi di kalangan umat Islam,  maka dapat dikatakan kelompok itu tidak mengamalkan wawasan wasatiyat Islam yang antara lain mengedepankan tasamuh (toleransi). "Jelas itu buka sikap moderat, tetapi bentuk ekstrimitas," ujarnya menegaskan.

Maka negara harus menolaknya, karena negara harus berada di atas dan untuk semua kelompok. Negara tidak boleh kalah oleh kelompok yang memaksakan kehendak dan mengklaim kebenaran secara sepihak, serta mendesak negara untuk mendukungnya.

Paham keagamaan terutama dalam masyarakat majemuk termasuk di kalangan Umat Islam, menurut Guru Besar FISIP UIN (Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri) Jakarta ini, sangat beragam lantaran ada perbedaan ayat atau hadist yang menjadi acuan dan perbedaan penafsiran terhadap keduanya. Seyogyanya, semua kelompok mengedepankan syura dan berdiskusi mencari kebenaran, karena pendapat tertentu walau diklaim dianut oleh mayoritas belum tentu benar atau lebih baik.

Tasamuh (toleransi) dan syura (bermusyawarah) adalah dua watak Ummatan Wasathan atau Jalan Tengah Islam (Wasatiyyat Islam). Kepada kelompok yang menjadi korban atau sasaran persekusi tidak perlu bereaksi karena hanya akan menggoyahkan sendi-sendi ukhuwah Islamiyah. Terhadap mereka, kita cukup mengelus dada betapa sering terjadi ucap dan laku tidak sama. (Anw).

410

Related Post