IDEOLOGI

Erdogan: Bukan Sekadar Jual Politik Identitas

Erdogan tampil sebagai dirinya sendiri: seorang politisi yang kuat di kawasan, dan di panggung global. Oleh: Dimas Huda -- Wartawan Senior FNN  Recep Tayyip Erdogan memenangkan Pemilu Turki, mengalahkan rivalnya, Kemal Kilicdaroglu, dengan 52,1% berbanding 44,%. Erdogan memenangkan putaran kedua pemilihan Presiden Turki dengan daya tariknya yang kuat terhadap kesalehan Islam.  “Saya akan berada di sini sampai saya berada di liang kubur,” ujar Erdogan ketika berbicara kepada para pendukungnya dari sebuah bus beratap terbuka di Istanbul. Erdogan pantas sesumbar. Kemenangannya memang mengejutkan. Pada saat pemilu akan digelar, ekonomi Turki kurang bersahabat. Inflasi meroket dan nilai mata uang anjlok. Akibatnya, biaya hidup yang ditanggung rakyat makin tinggi.  Alam pun tak mendukung. Gempa bumi melanda Turki menewaskan sekitar 50.000 orang.  Ekonom memperkirakan biaya dampak gempa mencapai US$100 miliar dan memangkas satu hingga dua poin persentase dari produk domestik bruto (PDB) negara tersebut. Kondisi muram ini terekam dalam survey yang mengalahkan Presiden Recep Tayyip Erdoğan. Nyatanya, politik Turki menjungkirbalikkan dugaan dan survey itu. Rakyat Turki punya nalar politik sendiri. Erdogan memenangkan Pilpres 28 Mei 2023. Ia memperpanjang masa jabatannya 5 tahun lagi. “Kami telah menulis kisah sukses yang unik ini, yang telah meninggalkan jejaknya selama 21 tahun terakhir,” ujar Erdogan mengingatkan kisah sukses selama dia menjabat dan mengajak dunia usaha berkerja sama setelah ia memenangkan pilpres.  Pada hari hasil pilpres diumumkan, Erdogan tidak menyampaikan pidato di depan pendukungnya. Dia malah mendendangkan lagu cinta populer Duyanlara Duymayanlara berjudul \"Untuk Mereka yang Tidak Dapat Mendengar\". Ini adalah lagu yang sering ia nyanyikan selama kampanye. Namun pada malam tanggal 28 Mei itu, lagu tersebut membawa pesan yang jauh lebih kuat dan tajam. Erdogan jauh dari kehilangan kontak dengan pendukungnya. Dia menyadari bahwa ketika keadaan menjadi sulit, menarik hati dan pikiran Turki melalui lagu-lagu cinta bisa lebih efektif daripada berpidato.  Erdogan memang dikenal ahli dalam menyusun strategi komunikasi untuk menarik emosi individu dan zeitgeist  atau jiwa nasional. Tidak hanya di Turki tetapi di seluruh wilayah yang lebih luas. Ia menggembar-gemborkan \"model Turki\" dari demokrasi Islam, atau mengutuk Israel karena menyerang armada bantuan Turki ke Gaza pada tahun 2010. Dia tidak pernah gagal memosisikan dirinya sebagai pemimpin kaum tertindas. Erdogan juga memosisikan dirinya sebagai penantang imperialisme barat. Pidatonya yang penuh semangat di PBB pada tahun 2016 di mana dia menyatakan \"Dunia lebih besar dari lima\" sekarang menjadi mantra yang sering diulang karena Ankara menolak tekanan untuk sejalan dengan perintah dari lima anggota tetap Dewan Keamanan PBB. Jantung Politik Turki Ian Linden, Profesor Tamu di St Marys University London, menyebut perang budaya telah menjadi jantung politik Turki. Setelah runtuhnya Kekaisaran Ottoman Kemal Atatürk mendirikan negara sekuler Turki modern pada tahun 1923.  \"Ia dipengaruhi oleh laicite Prancis, sebuah komitmen ideologis untuk menjauhkan agama dari domain publik, dan mencapai pemisahan total dari negara,\" kata Ian Linden  yang juga mantan penasihat masalah Eropa dan Keadilan dan Perdamaian untuk Departemen Urusan Internasional Konferensi Waligereja Katolik di Inggris dan Wales.  Bagi banyak orang, ini dinyatakan sebagai penolakan penuh semangat terhadap Islam demi konstitusi sekuler Turki tahun 1928, yang secara tradisional didukung oleh militer. \"Bagi yang lain tidak ada komitmen agama yang kurang bergairah tetapi pada konservatisme Islam yang moderat dan saleh,\" tambah penulis buku \"Global Catholicism\" tersebut. Konsep politik awal Ottomanisme, Turkisme, dan Islamisme dapat membantu dalam memahami dinamika ini. Risalah 1904 Yusuf Akcura Tiga Jenis Kebijakan - sebuah literatur politik klasik Turki, sebanding dengan Manifesto Komunisme untuk komunisme dalam hal dampaknya terhadap perkembangan Turkisme - mengedepankan konsep Turkisme sebagai alternatif dari Ottomanisme dan Islamisme untuk keselamatan dari Kekaisaran Ottoman. Kebijakan Utsmaniyah yang dijalankan oleh Mahmud II dan Utsmaniyah Muda selama abad ke-19 terbukti tidak berhasil karena munculnya gerakan nasionalis dan independen di antara kelompok-kelompok non-Muslim bersamaan dengan meningkatnya dominasi demografis populasi Muslim di dalam kekaisaran. Akibatnya, Abdul Hamid II mengadopsi kebijakan Islam yang bertujuan untuk memperkuat peran Kekhalifahan Utsmaniyah di kesultanan. Akcura menyatakan bahwa kebijakan ini akan gagal, dan satu-satunya jalan ke depan adalah melalui Turkisme. Gagasan nasionalis Turki terutama berakar setelah berdirinya Turki modern pada tahun 1923. Ide-ide Akcura sangat mempengaruhi pendirian Turki modern dan dia juga berperan aktif di negara itu sebagai politikus dan intelektual. Argumen intinya telah melampaui era mereka dan tetap relevan dengan perkembangan kontemporer, bahkan membentuk hasil pemilu. Erdogan mengubah semuanya. Pemilih Muslim pun menyambutnya. Seorang orator berbakat dan ahli strategi politik, Erdogan telah turun dalam sejarah sebagai pemimpin yang menghancurkan hegemoni sekuler Kemalisme atas politik Turki. “Erdogan menang terutama karena dia sekali lagi mampu mengalihkan fokus dari masalah sosial-ekonomi ke masalah identitas,” kata Ozgur Unluhisarcikli, direktur biro Ankara the German Marshall Fund’s. Konservatif dan Nasionalis Lain lagi pendapat Murat Aslan, Peneliti Pertahanan dan Keamanan di Yayasan SETA Turki dan anggota Fakultas di Universitas Hasan Kalyoncu. Ia mengatakan, orang mungkin mempertimbangkan citra yang diproyeksikannya kepada konstituennya. Erdogan tampil sebagai dirinya sendiri. Dia adalah seorang politisi dengan gravitasi di kawasan, dan di panggung global. Mahir sebagai orator. Ini sebagian karena pendidikan agamanya di sekolah Imam-Hatip.  Erdogan menyampaikan pidatonya secara efektif, menyesuaikan nada dan bahasanya untuk setiap audiens. Memilih musik rakyat Turki untuk leitmotif atau tema kampanyenya. Erdogan dengan cekatan menarik hati kaum konservatif dan nasionalis. Murat Aslan mengatakan mempertahankan citranya kepada \"setiap orang\" bukanlah hal yang mudah bagi Erdogan. Ia harus menolak tuduhan serius dari pihak oposisi bahwa pemerintahannya terlalu lambat dalam menangani gempa bumi.  Tidak diragukan lagi, manajemen reputasi dan persepsi jauh lebih berbahaya bagi petahana setelah tragedi skala besar dan krisis ekonomi. Sedangkan bagi penantang, itu adalah peluang. Sementara itu, Kilicdaroglu berusaha menampilkan dirinya sebagai orang biasa yang rendah hati. Hal ini ditegaskan oleh video kampanye awalnya yang direkam dari meja dapur - upaya yang jelas untuk menunjukkan solidaritas dengan warga yang menghadapi kesulitan ekonomi dan kenaikan harga pangan. Dia tampaknya telah mengambil satu halaman dari buku pedoman Bill Clinton selama pemilu AS tahun 1992. Pada tahun 1991, Presiden George HW Bush mendapat peringkat persetujuan yang hampir belum pernah terjadi sebelumnya sebesar 89% pada saat Operasi Badai Gurun berakhir, yang dianggap sebagai kemenangan militer yang signifikan bagi pasukan AS. Namun pada akhirnya Bill Clinton memenangkan pemilihan dengan memusatkan perhatian pada masalah meja dapur yang terangkum dalam slogannya yang terkenal: \"Ini ekonomi, bodoh!\" Hanya saja, Kilicdaroglu bukanlah Bill Clinton. Dan Erdogan-lah yang memiliki kemampuan yang sama dengan Clinton untuk berbicara kepada rakyat. Erdogan berhasil menyalurkan nyanyian paman yang lebih tua dari semua orang di pesta pernikahan, sementara Kilicdaroglu gagal dalam kategori relatabilitas. Dia secara luas dianggap sebagai orang yang kering, \"kutu buku\", \"berbicara lembut\" dan kurang pesona dan kharisma. Dia bahkan dibandingkan dengan Gandhi dengan misi yang diakuinya untuk memperjuangkan cita-cita luhur demokrasi dan reformasi. Pendekatan Berbeda Tidak jarang para pemimpin petahana di seluruh dunia menikmati keuntungan elektoral. Apa yang disebut \"keuntungan petahana\" dan \"bonus jabatan\" bukanlah hal baru. Petahana menerima liputan sepanjang kampanye mereka hanya dengan kelayakan berita mereka. Erdogan memobilisasi sumber daya yang melampaui keunggulan khas petahana. Dia membuat penawaran mewah kepada para pemilih menggunakan kemurahan hati negara, terutama menjanjikan potongan harga gas selama setahun.  Tentang kebebasan pers, pengamat dari  the Organisation for Security and Co-operation in Europe atau Organisasi untuk Keamanan dan Kerjasama di Eropa menemukan selama kampanye bahwa jajak pendapat \"ditandai dengan lapangan permainan yang tidak adil\" bahkan jika mereka \"masih kompetitif\".  “Mengingat salah urus ekonomi Erdogan, keterampilan elektoralnya tidak akan berarti apa-apa tanpa komponen otoriter: kontrolnya atas 90% media, penggunaan pengadilan untuk membatasi oposisi, penggunaan sumber daya pemerintah untuk mendukung kampanyenya sendiri,” lanjut Eissenstat.  Seperti kata pepatah, \'hanya amatir yang mencoba mencuri pemilihan pada hari pemilihan\': Erdogan bukanlah amatir. “Hari pemilihan memiliki beberapa kejanggalan, tetapi tidak ada yang luar biasa. Erdogan mengendalikan setiap aspek bagaimana pemilu dijalankan dan itulah penjelasan utama mengapa dia menang,” tambahnya.  Namun dalam artikel tahun 2017 yang diterbitkan Washington Post, tiga peneliti menyimpulkan bahwa meskipun petahana biasanya mendominasi berita, hal itu tidak serta merta membantu kampanye mereka. Media berita kerap menyalahkan pemerintah atas masalah bangsa, membuat liputan lebih menjadi beban ketimbang bonus. Dan jelas bahwa perjalanan Erdogan tidak mudah. Media lokal tak tanggung-tanggung menggambarkan masalah ekonomi yang dihadapi rata-rata warga Turki, anjloknya nilai Lira Turki, inflasi tinggi, melonjaknya harga pangan, dan akibat gempa bumi dahsyat. Murat Yesiltas, Profesor Hubungan Internasional di Universitas Ilmu Sosial Ankara, mengatakan bahwa platform komunikasi Erdogan dibelokkan dari masalah ini, alih-alih berfokus pada kebijakan luar negeri, pertahanan, dan keamanan, sementara Kilicdaroglu saingannya berfokus pada ekonomi tanking negara dan hak-hak demokrasi. “Erdogan dengan cepat menanggapi janji Kilicdaroglu dengan menaikkan upah keluarga berpenghasilan rendah dan menengah dan memperkuat diskusi tentang berbagai reformasi yang dia mulai pada awal tahun 2000-an,” kata Yesiltas. Erdogan juga fokus pada masalah keamanan internal. Retorikanya yang berwawasan ke depan mencakup slogan-slogan seperti \"tidak ada konsesi untuk teror\", \"kepentingan dan kemerdekaan Turki\", dan \"migran akan kembali sesuai hukum dan kompromi\". Sebaliknya, strategi komunikasi Kilicdaroglu gagal karena fokus yang sempit dan tunggal dalam mengkritik pemerintahan Erdogan tanpa mengusulkan alternatif atau solusi. \"Dia mengidentifikasi masalah tapi tidak mengusulkan solusi,\" tambah Yesiltas. Berubah Drastis Kilicdaroglu memulai dengan menyerukan pembicaraan dengan Presiden Suriah Bashar al-Assad untuk memulangkan pengungsi Suriah. Kemudian dia mengumumkan bahwa dia dengan tegas berada di kubu pro-Barat dan, jika terpilih, dia akan berpaling dari Rusia. Dia juga menjanjikan perjalanan bebas visa ke Eropa untuk orang Turki dalam waktu tiga bulan setelah pemilihannya. Ketika Jerman menyangkal janjinya tentang pembebasan visa untuk Turki dan jelas bahwa Suriah tidak akan kembali ke rumah dalam waktu dekat, hal ini membuka celah dalam janji muluk Kilicdaroglu. Menurut Yesiltas, yang terpenting, nada suara Kilicdaroglu berubah drastis ke kanan sebelum putaran kedua dalam apa yang mungkin merupakan upaya untuk merayu 5% pemilih yang awalnya mendukung kandidat tempat ketiga ultra-nasionalis Sinan Ogan. Slogannya tentang orang Suriah - \"mereka akan pergi!\" - tidak memberikan kesan simpatik kepada calon presiden dan dia bahkan diberi label \"Nazi Kemal\". Sebaliknya, slogan-slogan Erdogan lebih inspiratif (namun, mungkin, kurang dapat dicapai) saat ia menyerukan \"Abad Turki\" dan \"terus bepergian dengan orang yang tepat!\". Hal yang juga menguntungkan Erdogan, tentu saja, adalah ketakutan publik terhadap orang tak dikenal dengan kebijakan yang belum teruji selama masa krisis. Pemilih biasanya menghindari risiko dan pihak oposisi tidak meyakinkan mereka bahwa prioritas kepresidenan Kilicdaroglu adalah untuk mengatasi masalah aktual, daripada kembali ke sistem parlementer. Beberapa orang akan berpendapat bahwa kemengan Edorgan tidak disengaja, atau kebetulan. Tetapi pemeriksaan yang cermat terhadap kampanye tersebut akan menunjukkan bahwa dia menang karena pemahamannya yang jelas tentang rakyatnya dan keahliannya berbicara kepada mereka. Dia secara efektif mengalihkan pembicaraan dari tantangan pemerintahannya saat ini dan menuju keberhasilannya. Murat Aslan mengatakan, yang terpenting lawan yang lemah, kurang charisma, platform, dan tidak menunjukkan visi apa pun kecuali \"mengalahkan Erdogan\" membawa kemenangan pemimpin Turki itu. Pemilihan demokratis di seluruh dunia telah melihat kesalahan dan peluang yang sama ini mengarah pada kekalahan petahana yang kuat, dengan Bush-Clinton pada tahun 1992 sebagai kasus yang paling banyak dipelajari.®

Ketua DPD RI Ingatkan 4 Konsekuensi Kenegaraan Terhadap Inpres Rehabilitasi Pegiat dan Pengikut PKI

JAKARTA,  FNN  - Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti mengingatkan ada empat Konsekuensi Kenegaraan yang harus dicermati oleh DPD RI terhadap lahirnya Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 2 Tahun 2023.  Hal itu disampaikan LaNyalla dalam Rapat Gabungan Pimpinan Alat Kelengkapan DPD RI yang membahas Inpres Nomor 2 Tahun 2023 Tentang Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat, di Ruang Majapahit, Gedung B DPD RI, Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (10/4/2023). Rapat gabungan menghadirkan dua narasumber yakni pengamat politik Ichsanudin Noorsy dan akademisi UI Dr Mulyadi, M.Si. Hadir juga Wakil Ketua DPD RI Nono Sampono, seluruh pimpinan alat kelengkapan dewan, Staf Khusus Ketua DPD RI Sefdin Syaifudin dan Togar M Nero, Sekjen DPD RI Rahman Hadi dan Deputi Administrasi DPD RI Lalu Niqman Zahir. \"Mengapa saya gunakan kata Konsekuensi Kenegaraan, karena memang isi dari Instruksi Presiden ini berdampak kepada Kenegaraan Indonesia. Sehingga yang perlu kita bedah, pelajari dan pahami di sini adalah seberapa jauh konsekuensi kenegaraan bagi Indonesia atas Inpres Nomor 2 tersebut?\" katanya. Menurut LaNyalla yang pertama perlu dicermati adalah Inpres tersebut memerintahkan kepada 19 institusi negara, yang terdiri dari Kementerian, Jaksa Agung, Panglima TNI dan Kapolri untuk melaksanakan rekomendasi Tim PP-HAM.  Di mana di dalam Diktum Pertama huruf (a) tertulis; memulihkan hak korban atas peristiwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat secara adil dan bijaksana;  \"Ini penting untuk kita gali, tentang seberapa luas makna kata memulihkan hak korban? Karena salah satu yang diperjuangkan PKI saat itu, dalam konteks peristiwa tahun 1965-1966 adalah menawarkan ideologi komunisme sebagai alat mencapai tujuan dan cita-cita kemerdekaan Indonesia,\" papar LaNyalla. Sementara, ditegaskan olehnya, bangsa ini telah bersepakat, bahwa Pancasila adalah satu-satunya jalan untuk mencapai tujuan berbangsa dan bernegara.  \"Bahkan, saya pribadi menilai bahwa kita masih harus memperjuangkan agar Pancasila dapat kembali menjadi norma hukum tertinggi dalam Konstitusi kita, yang telah mengalami perubahan di tahun 1999 hingga 2002 silam,\" lanjut dia.  Konsekuensi kedua dikatakan LaNyalla, dalam Inpres jelas menugaskan alat negara, yaitu TNI dan Polri untuk melaksanakan rekomendasi Tim PP-HAM. Sedangkan TNI sebagai alat negara di bidang pertahanan, dalam menjalankan tugasnya berdasarkan atas kebijakan dan keputusan politik negara.  \"Pertanyaannya, apakah Inpres sudah cukup sebagai konsideran atau payung hukum untuk sebuah kebijakan dan keputusan Politik Negara? Ini perlu kita kaji dengan jernih dan cermat,\" paparnya. Yang ketiga, Inpres No 2 tahun 2023 juga mengandung konsekuensi penggunaan uang negara melalui APBN. Sehingga juga harus dilakukan telaah atas output dan outcome terhadap penggunaan uang negara dalam koridor sosial benefit bagi negara ini,\" ucapnya.  Dan terakhir, kata LaNyalla, jika rekomendasi dari Tim PP-HAM dalam durasi masa lalu hanya berhenti di tahun 1965-1966, bagaimana dengan peristiwa-peristiwa sebelumnya? Termasuk peristiwa di dekade tahun 1948, yang juga menimbulkan korban tak sedikit di kalangan masyarakat sipil oleh aksi-aksi Komunisme.   \"Semoga dengan pembahasan ini, kita bisa melihat lebih jernih dan luas dalam perspektif kenegaraan, sebagai bagian dari upaya kita memperjuangkan Pancasila kembali kokoh sebagai grondslag dan staats fundamental norm bangsa ini,\" ujarnya. Seperti diketahui Inpres Nomor 2 Tahun 2023 didahului dengan lahirnya Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2022, tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat Masa Lalu, atau disingkat Tim PP-HAM.  Sejak lahirnya Keppres tahun 2022 tersebut, terjadi polemik di masyarakat. Mengingat salah satu rekomendasi dari Komnas HAM yang harus diselesaikan adalah peristiwa tahun 1965-1966. Dimana semua tahu bahwa pada saat itu terjadi upaya kudeta oleh Partai Komunis Indonesia terhadap negara ini.  Kemudian TNI Angkatan Darat mengambil langkah untuk melakukan operasi pemulihan keadaan melalui penangkapan tokoh-tokoh utama PKI yang diduga terlibat. Lalu diikuti terjadinya situasi konflik horizontal di kalangan sipil, antara pengikut dan pendukung PKI dengan Non-PKI. Konflik horizontal sipil tersebut juga dipicu oleh rangkaian sejarah panjang aksi-aksi kelompok Komunis di Indonesia yang terjadi jauh sebelum tahun 1965.  Sehingga bangsa ini masih belum dapat menerima secara hitam putih bahwa dalam peristiwa 1965-1966, seperti dinyatakan Komnas HAM, bahwa posisi korban adalah mereka yang terlibat atau pengikut PKI. Atau dengan kata lain, pegiat PKI dan keluarga pegiat PKI adalah korban pelanggaran HAM berat.(*)

Etnis Cina di Negeri Pancasila, Berkah atau Bencana?

Oleh Yusuf Blegur - Mantan Presidium GMNI  Keharmonisan dan keselarasan hidup berbangsa dan bernegara etnis Cina di Indonesia kian terusik dan mulai digugat. Tak lagi sekadar individu sebagai warga negara, peran dan pengaruh etnis Cina kini terus merambah merepresentasikan swasta, BUMN dan negara leluhurnya. Lebih dari sekedar investasi dan utang, dominasi dan hegemoni Cina mulai mengancam eksistensi dan kedaulatan NKRI. Terlebih negeri yang berazas komunis itu, dengan kekuatan 9 Naga telah kokoh menancapkan kukunya dan menguasai hajat hidup orang banyak di bumi Pancasila. Ada fakta yang tak terbantahkan tentang warga Cina yang hidup rukun dan sudah kawin-mawin di Indonesia. Mereka yang hidup di pelosok kota dan desa sudah lama membaur, akrab dan menyatu dengan pribumi. Warga Cina yang sudah menyatu dalam tumbuh-kembangnya negara, berhasil membangun kohesi sosial dengan seluruh rakyat Indonesia. Dalam pelbagai lapisan masyarakat, warga Cina terintegrasi dengan penduduk  pribumi tanpa tersekat oleh status kaya-miskin, minoritas-mayoritas dan kalangan istimewa-terpinggirkan. Tersebar dalam beragam profesi dan pelbagai aktifitas.  Sebagian besar tak lagi terkendala oleh kesan warga keturunan, orang Cina  hidup bergaul bercampur gaya hidup, hobi dan kebiasaan sehari-hari dengan warga asli Indonesia. Masyarakat Cina berhasil menjadikan budaya Cina berdampingan dengan budaya  nasional Indonesia tanpa menggerus eksistensi suku, agama, ras dan antar golongan yang ada dan sudah menjadi tradisi. Mulai dari film, makanan, bahasa, seni bela diri dan barongsai, dll., kerap dipakai dan digemari tidak sedikit oleh bangsa Indonesia. Rakyat tak bisa melupakan prestasi Rudi Hartono, Liem Swie King, pasangan Kevin Sanjaya-Marcus Gideon dll., di dunia olah raga bulutangkis yang telah mengharumkan nama negara bangsa Indonesia. Rakyat juga mengenal Soe Hok Gie aktifis pergerakan di masa lalu dan sederet nama seperti Kwik Kian Gie, Jaya Suprana, Anthoni Budiawan, Lius Sungkarisma, ustad Felix Siaw  dlsb., yang kritis dan tetap menunjukkan nasionalisme dan patriotismenya untuk negara Indonesia. Bangsa ini juga tak bisa mengabaikan peran orang-orang seperti Harry Tanoesudibyo dan masih banyak lagi yang berdedikasi tinggi ikut menopang dan menggerakkan roda ekonomi demi membantu pemerintah meluaskan lapangan pekerjaan dan mendorong pembangunan nasional. Mereka semua etnis Cina yang semangat dan jiwanya telah melekat kuat, menjadi bangga dan mencintai Indonesia. Dalam sejarah  perjalanan politik pemerintahan Indonesia, etnis Cina sering mengalami gelombang pasang surut. Sepanjang Orde Lama di bawah pemerintahan Soekarno, warga Cina sangat dibatasi dalam pergaulan politik, ekonomi dan hukum. Begitu diawasi dan dikontrol sangat ketat, Presiden Soekarno sampai mengeluarkan PP No.10 Tahun 1959 yang berisi melarang warga Cina melakukan kegiatan ekonomi masuk di pedesaan. Begitupun eksistensi keturunan Cina dalam politik dan pemerintahan, Soekarno tak memberi kesempatan dan panggung untuk mereka. Soekarno dengan pilihan politik gerakan non-blok, yang tidak berafiliasi kepada Blok Barat dan Blok Timur memberi sinyal tidak terlalu  akomodatif terhadap etnis Cina dalam pemerintahannya. Kebijakan Soekarno juga memarginalkan peran politik dan ekonomi etnis Cina. Warga Cina cenderung semakin dikekang usai peristiwa G30 S/PKI 1965 dengan Inpres No. 14 Tahun1967 tentang larangan kegiatan keagamaan, kepercayaan dan adat istiadat. Karena kebijakan Orde Baru, etnis Tionghoa ini juga dipaksa mengikuti aturan dalam Surat Edaran No. 06/Preskab/6/67  yang mengharuskan nama Indonesia bagi warga Cina. Bahkan pergerakan masyarakat Cina di Indonesia juga di kontrol melalui Badan Koordinasi Masalah Cina (BKMC) oleh Orde Baru. Warga Cina atau keturunan betapapun mendapat perlakuan diskriminasi dalam era Orde Baru, pada orang per orang atau kelompok tertentu  juga sering mendapatkan previllage atau kemudahan dari pemerintahan Soeharto. Terutama saat presiden Soeharto menjalankan kebijakan pembangunan yang mengusung konsep \" trickle dawn effect\". Presiden Soeharto mulai menghadirkan keleluasaan peran pengusaha Cina dalam negara,  melalui keberadaan konglomerasi dalam ekonomi politik nasional. Penguasaan ekonomi dengan memberi peluang permodalan besar dalam industri dan akses perbankan yang luas, kehadiran Taipan mulai terasa di era Soeharto. Di bawah kekuasaan pemerintahan Soeharto, pesat lahir konglomerat China yang kini dikenal sebagai oligarki korporasi. Biar bagaimanapun peran politik dan peran ekonomi etnis Cina dalam pemerintahan Seokarno dan Seharto berbeda. Bisa dikatakan baik Soekarno dan Soeharto  sama-sama masih membatasi warga Cina, baik dalam soal keagamaan, kepercayaan dan adat istiadat. Begitupun  dalam soal ekonomi dan politik, termasuk membatasi etnis Cina dalam wilayah pemerintahan. Soekarno maupun Soeharto masih menganggap, etnis Cina masih berorientasi pada negeri leluhurnya dan masih sulit mengikuti proses asimiliasi dalam kehidupan rakyat, negara dan bangsa Indonesia. Etnis Cina dianggap masih sangat eksklusif, primordial dan sektarian. Selain itu baik Orde Baru maupun Orde Lama,  menganggap etnis Cina merupakan masyarakat yang memiliki kultur agresif dan ofensif secara ekonomi dan politik. Sehingga itu menjadi kekhawatiran rezim pemerintahan keduanya yang ingin melakukan proteksi  masyarakat pribumi agar bisa lebih mandiri, maju dan lebih sejahtera. Etnis Cina di Indonesia mulai bisa bernapas lega dan merasakan kebebasan eksistensinya semenjak era kepemimpinan Abdurahman Wahid alias Gus Dur. Melalui Keppres No. 6 Tahun 2000 yang diterbitkan pada 17 Januari 2000, kebijakan Gus Dur menghilangkan apa yang disebut sebagai diskriminasi terhadap etnis Cina. Pelaksanaan keagamaan, kepercayaan dan adat istiadat bagi etnis Cina berlaku lagi, mencabut Inpres No. 14 Tahun 1967. Gus Dur bahkan mengeluarkan peraturan Konghucu  sebagai agama baru di Indonesia selain penetapan perayaan Hari imlek sebagai hari libur nasional dengan  kemeriahan Barongsai. Etnis Cina mulai merasakan zaman keemasannya, dalam sosial agama, sosial politik, sosial ekonomi dan sosial hukum dalam era Gus Dur yang justru menjadi awal era reformasi. Sebuah transisi kekuasaan yang menjadi babak baru yang ingin mengembalikan kedaulatan rakyat yang sesungguhnya berlandaskan Pancasila, UUD 1945 dan di bawah naungan NKRI. Wabah Cina di Negeri Pancasila Benar apa yang dikhawatirkan Soekarno dan Soeharto tentang pembatasan ruang gerak etnis Cina di Indonesia. Tak cukup terkait betapa kuatnya kesetiaan pada negara leluhurnya. Kehadiran etnis Cina di Indonesia mulai dari masa pergerakan kemerdekaan, pergolakan dan situasi genting NKRI dalam Orde Lama dan Orde Baru hingga 25 tahun era reformasi bergulir. Etnis Cina masih distigma sebagai negara bangsa  dengan kultur  yang suka membuat adu-domba, khianat dan menghalalkan segala cara. Koruptor, suap, judi, narkoba, traficking, pengemplang pajak, plagiator ulung, pembunuhan dan pelbagai kejahatan kemanusiaan lainnya. Semua catatan hitam yang historis dan empiris itu, cenderung semakin lekat dengan identifikasi sebagian besar etnis Cina. Pemimpin-pemimpin Indonesia terdahulu bangsa Indonesia masih menyimpan kekhawatiran dan keraguan terhadap nasionalisme dan patriotisme sebagian kebanyakan etnis Cina.  Bukan sekadar karakter agresif dan ofensif dalam aspek ekonomi politik, kecenderungan etnis Cina juga terlalu dominan dan hegemoni dalam banyak aspek kehidupan. Terlebih superioritas etnis Cina terhadap rakyat pribumi Indonesia, berhasil membonceng  ideologi dan kepentingan nasional bangsa Cina. Komunisme yang menjadi flatform negara Tirai Bambu itu, kini bukan hanya mengancam Indonesia sebagai negara berdaulat. Lebih dari itu, negara komunis Cina telah mewujud ancaman global. Keterpurukan kaum Muslim Uighur, Tibet, Sri Lanka, Zimbabwe, Nigeria, Uganda dll., menjadi contoh betapa berbahayanya monopoli, ekspansi dan tirani negara Cina baik secara ekonomi dan  politik maupun ideologi dan agama. Cina dalam pergaulan internasional telah menjadi imperium baru global. Di negeri Pancasila, etnis Cina yang minoritas berhasil menguasai rakyat mayoritas. Pada masa Orde Lama dan Orde Baru, etnis Cina berupaya cukup keras bergerilya dan berhasil menancapkan kukunya pada sektor ekonomi terutama pada perdagangan dan perbankan. Kini etnis Cina mulai merangsek dan menguasai jalur pemerintahan. Distribusi barang dan jasa, semakin diperkuat dengan intervensi dan bahkan menjadi \"inner circle\" kekuasaan penyelenggaraan negara. Etnis Cina, bahkan bisa mengendalikan pemerintah lewat individu maupun  komunitas oligarki. Spirit orang dan bangsa Cina yang menjadikan komunisme mengadopsi kapitalisme dalam percaturan global. Membuat etnis Cina menguasai Indonesia dalam faktor teknis dan strategis kepentingan publik di semua lini, dari sektor hulu hingga ke sektor hilir. Segelintir orang Cina pada era Orde Lama dan Orde Baru yang hanya fokus pada bidang ekonomi yang terbatas dan elitis, kekinian mulai merambah ke semua sektor yang menguasai hajat hidup rakyat Indonesia. Bisnisnya pun mulai mengamankan aparat dan undang-undang untuk mengembangkan gurita bisnisnya. Kekuatan kapitalistiknya mulai mengatur konstitusi dan demokrasi. Dunia usaha mewujud oligarki, terus terstruktur, sistematik dan masif mengendalikan pemerintah dan negara. Etnis Cina yang lebih senang disebut warga Tionghoa ini, semakin digdaya secara kualitatif dan kuantitatif dalam penyelenggaraan negara. Sumber daya manusia baik pejabat maupun rakyat serta sistem yang menghasilkan produk politik dan hukum, sempurna di kuasai etnis Cina dalam tataran individu, kelompok dan sebagai  irisan serta representasi  negara yang menjadikan komunis sebagai dasar, cara dan tujuan global. Menjadi negara komunis yang kapitalis, melakukan kolonialisme dan imperialisme modern. Tak puas dengan menguasai sumber daya alam meliputi minyak, emas, batubara hingga nikel. Etinis Cina juga merambah retail bisnis kecil seperti alfamart-indomart, properti, hingga mal dan super blok. Bisnis yang sudah merambah industri perkotaan sampai  ke pelosok desa, laut dan  pegunungan tak lagi menyisakan kekayaan bagi rakyat dan negara Indonesia. Hampir 80% lahan di Indonesia dikuasai 1% dari seluruh rakyat Indonesia, tak lebih dari 25 orang pengusaha. Hanya dalam 2 periode kepemimpinan rezim Jokowi, oligarki korporasi yang dipimpin etnis Cina seperti 9 Naga telah sempurna menguasai hajat hidup orang banyak. Ekonomi nasional terkapar, sementara institusi negara seperti partai politik, DPR-MPR, MA, Kejakgung, MK, TNI-POLRI hingga KPU, tak lepas dari pengaruh oligarki,  pemilik modal besar yang sudah terjun ke ranah politik. Bahkan pemilu dan pilpres 2024 sudah direkayasa sedemikuan rupa hasilnya meski belum dilaksanakan. Sungguh Dahsyat dan berbahayanya kekuatan oligarki yang ditopang segelintir etnis Cina. HIngga terorganisir bisa menentukan siapa presiden dan pemerintahannya,  yang bisa menjadi boneka dan ternak- ternak oligarki. Etnis Cina yang diragukan kontribusinya dalam menyumbang kemerdekaan RI, telah menjadi penguasa yang seolah-olah menjadi pemilik negeri ini. Konstitusi dan demokrasi bisa dibeli, bahkan semua politisi, birokrat hingga presiden tak bisa lepas dari keinginan etnis Cina yang bertransformasi  sebagai mafia oligarki. Pancasila, UUD 1945 dan NKRI, kini di ujung tanduk dan terancam diakuisisi oleh Etnis Cina yang sudah memobilisasi TKA. Tak sekadar modal besar dalam bentuk investasi mega proyek, negara Cina juga sudah melakukan migrasi penduduknya yang populasinya sudah mencapai miliaran. Kentara sekali berkedok investasi dan utang, Cina dengan korporasi dan etnisnya yang minoritas, ingin meningkatkan status mayoritasnya dan pada akhirnya melakukan kolonialisasi dan aneksasi terhadap NKRI. Sebuah bahaya dan  ancaman serius dari kekuatan kapital yang komunis yang ingin menguasai bumi nusantara. Serbuan TKA, jerat utang dan penguasaan ekonomi politik Cina, memberi tanda SOS bagi keberadaan dan keberlangsungan NKRI. Tragedi Morowali utara menjadi  indikator dari arogan, rakus dan bengisnya rezim komunis Cina berkedok investasi dan utang. Banjir TKA Cina yang tak berkuaitas tapi disambut karpet merah, perilaku  etnis Cina yang mulai sok kuasa dan berani berbuat aniaya terhadap rakyat pribumi bahkan kepada aparat, menjadi tanda-tanda ada upaya menjadikan Indonesia sebagai negeri jajahan Cina. Begitu kuat pengaruh dan peran etnis Cina di Indonesia, menjadi paralel dengan rendahnya integritas aparat birokrasi dan politisi di Indonesia. Dominasi dan hegemoni etnis Cina dalam ekonomi politik nasional menjadi cermin dari bobroknya mentalitas pemimpin dan pejabat di negeri ini. Perilaku menyimpang berupa korupsi, tradisi suap, dan upaya menghalalkan segala cara demi memenuhi ambisi dan tujuan meraih jabatan serta kekayaan telah menjadi konspirasi jahat antara etnis Cina yang menjadi oligarki dengan birokrasi. Rakyat pribumi harus terpinggirkan dalam selimut kemiskinan dan hidup menderita, sementara segelintir orang dan kelompok berpesta pora menikmati kekayaan dan fasilitas negara. Oligarki hitam yang  eksploitatif dimotori  pelaku bisnis dari etnis Cina, berselingkuh dengan para bejabat bermental bejad. Kekuasaan para pelacur dan penghianat-penghianat bangsa Indonesia ini, perlahan tapi pasti mengancam eksistensi Pancasila, UUD 1945 dan kedaulatan NKRI. UU Cipta Kerja, UU KUHP dll, menjadi bukti tak terbantahkan bahwa pemerintah dibawah kendali oligarki sebagai siasat mengebiri konstitusi, membungkam demokrasi dan membawa Indonesia ke dalam jurang kehancuran, Sepatutnya bangsa Indonesia sadar bahwa negerinya diambang kehancuran dalam genggaman negeri tirani Cina Komunis. Rakyat harus berani dan bangkit melakukan langkah-langkah dan tindakan revolusioner untuk menyelamatkan Pancasila, UUD 1945 dan NKRI. Seluruh rakyat dan pemimpin-pemimpin agama dan politik harus bersatu membangun kekuatan perubahan. Seperti kata Bung Karno, rakyat harus berani menjebol dan membangun, melakukan dekonstruksi dan rekonstruksi dari tatanan sistem yang sudah rusak yang  disebabkan oleh anasir kapitalisme dan komunisme global, termasuk  geliat predator Cina. Akankah rakyat Indonesia, memahami dan menyadari substansi realitas ekonomi  politik saat ini?. Terlebih, khususnya perspektif peran dan pengaruh etnis Cina di Indonesia, berkah atau bencana?. Mampukah rakyat Indonesia, setelah dihantam pandemi Covid-19 yang bersumber dari kota Wuhan, dengan cerdas dan tangkas dapat melakukan refleksi dan evaluasi?. Bahwa sejatinya begitu kuat wabah Cina di negeri Pancasila. *) Dari pinggiran catatan labirin kritis dan relung kesadaran perlawanan. Bekasi Kota Patriot, 23 Januari 2023/2 Rajab 1444 H.

Pemikiran Liberal di Indonesia Sudah Melembaga

Jakarta, FNN -- Ahli ilmu Tafsir dan Hadits,  Prof. Dr. H. Daud Rasyid MA, mengungkapkan saat ini pemikiran liberal di Indonesia sudah melembaga. Sudah menjadi institusi formal dimana mata kuliah hermeneutika sudah menjadi mata kuliah formal di sejumlah jurusan tafsir hadits di perguruan tinggi Islam.  “Jadi akar kekeliruan para pengagum Hermeneutika ini adalah mereka tidak meyakini bahwa Quran itu lafdzon wa maknan dari Allah. Sehingga mereka mengutak-atik makna  kitab suci mereka sesuai perkembangan zaman,” jelas Daud Rasyid pada acara pengukuhan dirinya sebagai Guru Besar Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah (STID) Mohammad Natsir, Rabu (29/6/2022).  Hermeneutika adalah salah satu jenis filsafat yang mempelajari tentang interpretasi makna. Nama hermeneutika diambil dari kata kerja dalam bahasa Yunani hermeneuein yang berarti, menafsirkan, memberi pemahaman, atau menerjemahkan.  Daud Rasyid  berharap dari STID Mohammad Natsir akan lahir para cendikiawan muslim dan peneliti andal. \"Jadi bukan hanya sekadar memegang ijazah, tapi siap bertarung di kancah pemikiran. Entah di jurnal, di forum diskusi atau buku ilmiah, itulah yang kita inginkan,” pungkasnya. Dalam acara itu, Daud Rasyid menyampaikan orasi ilmiah bertajuk “Melawan Arus Liberalisme dalam Kajian Tafsir dan Hadits”. Dia menggambarkan bagaimana liberalisme masuk dalam kajian disiplin ilmu tafsir dan hadits di Indonesia. Liberalisme, jelas Daud, masuk secara perlahan ke bidang tafsir dan hadits melalui hermeneutika. Walaupun, semerbaknya hanya di Indonesia, karena di Mesir harus berhadapan dengan para Profesor Mufasir dari Al azhar dan Darul Ulum. “Ketika Nasr Abu Zayd melontarkan hermeutika dalam tafsir, para ulama serempak menggugat, khususnya Profesor Abdushobur Syahin, sehingga Nasr Abu Zayd kabur dari Mesir ke Belanda,” ungkap Daud Rasyid.  Saat itu para ulama Azhar mengajukan gugatan ke pengadilan Mesir bahwa pemikiran Nasr yang ada di buku-bukunya sudah cukup membuat dia murtad. Sehingga pengadilan Mesir waktu itu memfasakh Nasr dengan istrinya. Ini peristiwa 20 tahunan yang lalu. “Jadi pagar benteng di sana sangat kuat, khususnya di Al Azhar dan Darul Ulum Universitas Kairo,” tegas Prof Daud Rasyid.  Kampus Terbaik Sementara itu Ketua Umum Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia, Dr. H. Adian Husaini, M.Si atas nama pimpinan Dewan Da’wah menyampaikan selamat atas penganugerahan Prof Dr Daud Rasyid MA sebagai Guru Besar STID Mohamad Natsir.  Adian berharap capaian yang diraih Prof. Daud Rasyid dapat memicu para kader dan dai muda Dewan Da’wah untuk lebih serius lagi belajar. Sehingga memiliki ilmu yang mumpuni untuk dakwah ilallah. “Kalau secara keilmuan kita sudah tidak meragukan beliau. Dari tahun 1992 beliau sudah mengkritik orientalisme dan liberalisme, dan kita tahu beliau sangat konsisten,” ungkap Adian. Penganugerahan gelar Guru Besar ini semakin memberikan semangat dan mengokohkan keyakinan bahwa STID Mohamad Natsir adalah kampus terbaik. “Karena setiap kita bercerita tentang STID kepada Syekh di Timur Tengah, mereka kagum. Sebabnya, salah satu kampus dakwah yang 100% lulusannya jadi dai ya STID ini,” tegas Adian.  Rektor STID Mohammad Natsir, Dr. Dwi Budiman Assiroji mengatakan gelar profesor yang diraih dapat memperkuat dan mengembangkan atmosfer keilmuan di kampus STID. Ia juga mengatakan, belakangan ini fenomena ghazwul fikri memang mungkin agak sedikit berkurang di bangku perdebatan, atau di buku-buku. “Namun ghazwul fikri sesungguhnya tidak pernah hilang, dia hanya berpindah tempat. Sekarang berpindah ke media sosial. Karena itu kedepan diperlukan kader dai yang mampu mengimbangi serangan pemikiran ini di media sosial,” katanya. (TG)

Selamat Ginting Ingatkan Andika, Komunis Itu Bahaya Laten

Jakarta, FNN – Keputusan kontroversial dalam rapat panitia penerimaan prajurit TNI tahun anggaran 2022 yang mencabut aturan larangan anak cucu Partai Komunis Indonesia (PKI) menjadi prajurit TNI, terus mendapatkan penolakan dari berbagai pihak. Pengamat komunikasi politik dan militer dari Universitas Nasional (Unas) Jakarta, Selamat Ginting mengingatkan Panglima TNI Andika Perkasa bahwa komunis menjadi musuh laten bagi TNI sepanjang masa. Demikian benang merah yang bisa disimpulkan dari perbincangan Selamat Ginting dengan wartawan FNN, Hersubeno Arief dalam kanal Hersubeno Point, Kamis, 31 Maret 2022. Ginting mengingatkan  bahwa TNI memiliki Sapta Marga, terutama marga pertama dan kedua. Marga pertama ‘Kami warga negara kesatuan Republik Indonesia yang bersendikan Pancasila’ lalu marga yang kedua ;Kami patriot Indnesia pendukung serta pembela ideologi negara yang bertanggungjawab dan tidak mengenal menyerah.’ “Jadi, ideologi TNI adalah Pancasila, tidak bisa menerima ideologi lain selain Pancasila. Bahkan, di marga kedua itu pembela ideologi, bertanggungjawab serta tidak mengenal menyerah. Jadi, TNI itu soldier never die, maka ketika pensiun pun tetap menjadi patriot pembela ideologi negara,” paparnya. Ginting menegaskan pentingnya terus waspada terhadap PKI, sebab sejarah telah membuktikan PKI berulangkali mencoba menguasai Indonesia dengan memusuhi TNI AD dan umat Islam. “Kita tahu TNI pernah menjadi musuh utama PKI. Musuh utama PKI ada dua yakni, TNI Angkatan Darat dan Islam. TNI juga selalu mengingatkan pada bangsa dan negara bahwa ada beberapa pemberontakan yang dilakukan  oleh PKI yakni tahun 1926, tahun 1948, dan tahun 1965,” paparnya. Ginting menyatakan bahwa pada tahun 1926 tokoh-tokoh PKI seperti Muso kabur ke Uni Soviet lalu tahun 1948 muncul lagi sehingga TNI mengingatkan bahwa, PKI tidak pernah terlibat dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia tahun 1945, karena tahun 1948 mereka baru balik ke Indonesia. Kemudian tahun 1965 terjadi Gerakan 30 September oleh PKI. “Jadi rentang 20 tahunan itu selalu terjadi, sampai kemudian, TNI mengindikasikan PKI bermain ketika era reformasi. Mereka bersembunyi melalui partai atau ormas dan segala macam kelompok. Jadi bagi TNI, komunis itu bahaya laten. Sampai sekarang tidak pernah dicabut itu,” paparnya paf. Menurut Ginting upaya menggusur Tap MPRS No. 25 tahun 1966 dulu juga sempat diwacanakan oleh Presiden Gus Dur. Mengetahui hal itu, TNI langsung bergerak melakukan penolakan, bahkan sampai Menkumham Yusril Ihza Mahendra melawan Gus Dur.  Kalau Gus Dur tetap ngotot maka bukan tidak mungkin TNI beserta kelompok Islam akan menggulingkannya, karena bahaya sekali. Tak hanya itu, pada 2003 ketika Megawati menjadi presiden, ada keinginan yang kuat dari PDIP untuk menghapus Tap MPRS No. 25 tahun 1966 ini, tetapi dia harus berhadapan dengan kelompok-kelompok yang menentangnya. Saat itu masih ada fraksi ABRI, fraksi Utusan Golongan, fraksi Golkar dan fraksi Reformasi termasuk fraksi PPP di DPR. Dan di sini dalam Panitia AdHoc-2, PDIP bahkan ngotot ingin melakukan voting. Upaya mencabut Tap MPRS ini sudah berulangkali dilakukan. “Sekarang repotnya TNI dan Polri tidak ada di Parlemen dan MPR seperti dulu.  Generasi TNI sekarang perlu menyimak bagaimana tahun 1960-1961 muncul organisasi SOKSI yang dipimpin oleh Brigjen Suhardiman, Kosgoro dipimpin oleh Brigjen Mas Isman lalu MKGR oleh Brigjen Sugandhi,” paparnya. Hal ini adalah upaya mereka ketika Soekarno sudah menggaungkan Nasakomisasi. “Jadi, TNI AD betul-betul melawan konsep Nasakom Bung Karno yang ujung tombaknya adalah komunis. Jadi bagi TNI AD, Soekarno sudah menyimpang dari Sapta Marga itu,” tegasnya. Ginting menegaskan, SOKSI memiliki beberapa organisasi underbow untuk melawan PKI karena pada waktu itu PKI berusaha untuk mempercepat Pemilu. “Mereka mendesak tahun 1963 pemerintah melakukan Pemilu, bahkan DN Aidit, Ketua CC PKI mengtakan oke soal Pancasila, Pancasila adalah pemersatu bangsa, tetapi kalau bangsa sudah bersatu Pancasila tidak diperlukan lagi,” tegasnya. Saat itu, katan Ginting,  ada kekhawatiran dari jenderal-jenderal Angkatan Darat untuk melawan PKI, sebab kalau Pemilu dilakukan pada 1963, maka PKI menjadi pemenang, karena beberapa partai sudah tercerai berai, lantaran ada konflik di internal sejumlah partai. Harus diingat bahwa Pemilu 1955 PKI menempati urutan keempat, setelah PNI 22 persen, Masyumi 20persen, NU 18 persen, dan PKI 16 persen. Padahal, tahun 1948 baru memberontok, 7 tahun kemudian sudah menempati urutuan keempat. Ini artinya PKI cepat sekali melakukan konsolidasi.   Kewaspadaan terhadap bahaya laten PKI dipantau terus oleh organisasi-organisasi underbow Golkar. “Tahun 1964 organisasi seperti SOKSI bersatu dalam Sekber Golkar untuk melawan PKI. Ini yang menjadi cikap bakal dari Golkar. Lahirnya Golkar tidak bisa dipisahkan dari TNI AD melawan PKI. Cerita ini yang seharusnya tetap muncul pada generasi TNI sekarang,” pesannya. Intinya, Ginting berpesan, TNI tidak boleh merekrut orang yang terpapar ideologi selain Pancasila. “Indonesia punya pengalaman bagaimana TNI menghadapi ideologi komunis, liberalis, Islam radikal DI/TII dan lainnya. TNI adalah institusi yang memegang ideologi Pancasila, berbeda dengan militer negara-negara lain. Makanya TNI AD sangat keras menentang Nasakomisasi. (ida, sws) 

Rahman Sabon: Pernyataan Panglima TNI Andika Perkasa Membahayakan Institusi TNI

Jakarta, FNN - Panglima TNI Jenderal TNI Andika Perkasa mengeluarkan kebijakan baru terkait seleksi penerimaan calon prajurit TNI. Jenderal Andika tak ingin anak keturunan anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) dilarang ikut seleksi calon prajurit TNI. Hal itu disampaikannya dalam rapat penerimaan prajurit TNI (Taruna Akademi TNI, Perwira Prajurit Karier TNI, Bintara Prajurit Karier TNI dan Tamtama Prajurit Karier TNI). Tahun Anggaran 2022. Momen rapat tersebut diunggah di kanal YouTube Jenderal TNI Andika Perkasa. Menanggapi mudahnya anak cucu PKI menjadi calon prajurit TNI, pengamat politik senior dan pemerhati masalah pertahanan dan keamanan, Rahman Sabon Nama memberikan komentar tegas dan keras. “Pernyataan Panglima TNI Andika Perkasa Membahayakan Institusi TNI,” katanya kepada FNN, Kamis, 31 Maret 2022 di Jakarta. Rahman kemudian menjelaskan sejarah lahirnya Tap MPRS No. 25 tahun 1966 yang isinya melarang PKI dan ajaran komunisme, Marxisme, dan Leninisme di Indonesia. “Lahirnya TAP MPRS No. 25 tahun 1966 bermula ketika TNI bersama Angkatan 66 melakukan koreksi atas penyimpangan jalannya pemerintahan Bung Karno melalui penyelamatan negara dari berbagai keresahan kebijakan pemerintah yang terjadi di tengah rakyat dan pemberontakan G30SPKI. Melalui gerakan rakyat dan Mahasiswa Angkatan 66 dengan dukungan TNI mengajukan Tritura yaitu: bubarkan PKI, bubarkan kabinet Dwikora dan turunkan harga,” tegasnya. Oleh karena itu lanjut Rahman,  Tap MPRS No. 25 thn 66   sebagai dasar hukum konstitusi negara untuk melembagakan usaha-usaha mengikikis habis sisa-sisa G3SPKI dan antek-anteknya. Rahman menegaskan, pernyataan  Panglima TNI Andika Perkasa atas kebijakan rekruitmen prajurit TNI tersebuy di atas, fatal bagi institusi TNI  tersusupi ideologi komunis. “PKI jelas bertentangan dengan konstitusi negara Tap MPRS No. 25 tahun 1966,” paparnya. Rahman mempertanyakan sikap Panglima yang sangat permisifi terhadap komunisme. “Saya bertanya, apakah karena Panglima TNI Jenderal Andika belum merasakan perjuangan seperti para pendahulunya?” tanyanya. PKI sampai hari ini terus berupaya untuk menguasai Indonesia dengan berbagai cara. Rahman mencontohkan beberapa upaya TNI dalam melawan PKI di berbagai wilayah di Indonesia.   “Peristiwa Pekalongan tahun 1945 TNI menyelamatkan pemerintahan Pekalongan setempat yang direbut paksa oleh PKI. Peristiwa 3 Juli 1946 di Yogjakarta, TNI menyelamatkan perebutan kekuasaan oleh PKI Tan Malaka dari Perdana Menteri Sutan Syahrir. Pada 1948 TNI bersama rakyat juga menumpas pemberontakan PKI Madiun,” pungkasnya. (sws)

BPIP Sempurnakan Materi PIP Hakim Dengan Libatkan Berbagai Narasumber

Jakarta, FNN - Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) senantiasa menyempurnakan materi pembinaan ideologi Pancasila (PIP) yang salah satunya melalui diskusi kelompok terpumpun dengan melibatkan beberapa narasumber.Diskusi yang diadakan BPIP melalui Direktorat Pengkajian Materi Pembinaan Ideologi Pancasila tersebut, berdasarkan keterangan yang diterima di Jakarta, Jumat, dilakukan secara hybrid di Jakarta, Kamis (24/2).\"Draf standar materi PIP bagi hakim yang telah diterima narasumber itu tidak hanya memuat pengetahuan tentang Pancasila yang bersifat kognitif, tetapi juga bersifat afektif, yakni aktualisasi tindakan para hakim dalam menerapkan Pancasila sebagai ideologi berbangsa dan bernegara serta memberikan referensi penegakan hukum di Indonesia berdasarkan nilai-nilai Pancasila,\" ujar Direktur Pengkajian Materi PIP Aris Heru Utomo saat membuka acara sekaligus memoderatori diskusi itu.Narasumber yang hadir adalah Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Satya Arinanto, Anggota DPD RI Jimly Asshiddiqie, dan Direktur Jenderal Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM Benny Riyanto.Lalu, ada pula Rektor Universitas Diponegoro Semarang Yos Johan Utama, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Adji Samekto, Panitera Muda Pidana Umum Mahkamah Agung Yanto, dan Dosen Ilmu Hukum Universitas Bina Nusantara Sidharta.Aris pun menyampaikan penyusunan materi PIP bagi hakim telah dilakukan sejak Mei 2021 dengan membentuk tim penyusun yang terdiri dari beberapa unsur. Mereka adalah BPIP, hakim Mahkamah Agung, dan akademisi dari berbagai perguruan tinggi. Penyempurnaan materi, kata Aris, terus dilakukan dengan melibat para pihak terkait.Pada kesempatan yang sama, Mahfud MD menyatakan dukungannya atas inisiatif BPIP menyusun materi PIP bagi Hakim.\"Saya sudah membaca (draf materi) dan kesimpulan umumnya, materi itu memang diperlukan. Saya hanya ingin menambahkan dan memberikan penekanan referensi terhadap materi yang sudah dibuat BPIP,\" ujar Mahfud MD.Menurutnya, materi tersebut bernilai penting bagi hakim agar dapat “berhukum” secara konsisten berdasarkan ideologi dan dasar negara Pancasila.\"Berhukum itu mencakup dua hal, yaitu membentuk atau membuat peraturan hukum yang sifatnya normatif dan melaksanakan aturan hukum. Salah satunya adalah penegakan hukum di pengadilan,\" jelas Mahfud.Secara spesifik, Mahfud mengemukakan peran-peran materi PIP. Pertama, kata dia, materi tersebut dibuat agar hakim memiliki kemampuan dan kesadaran untuk membuat putusan yang sesuai dengan Pancasila.Kedua, tambah dia, hakim pun bisa menjaga kejernihan dan kepekaannya terhadap nilai-nilai yang tumbuh, hidup, dan berkembang di masyarakat sehingga vonis yang dikeluarkan bernafaskan kebenaran dan keadilan.Selanjutnya, Jimly Asshiddiqie mengatakan materi PIP bagi hakim menjadi awal yang baik untuk menegakkan hukum berkeadilan yang sesuai Pancasila di Tanah Air.Di samping itu, Jimly pun menyarankan agar tim penulis materi PIP menghimpun semua referensi tentang kehidupan kehakiman. Lalu, tambah dia, perlu pula dipersiapkan instrumen hukum yang sesuai dengan pemberlakuan kebijakan pembinaan ideologi Pancasila untuk hakim.\"Dengan demikian, akan diperoleh peraturan yang cukup kuat mengikat secara hukum dalam pembinaan ideologi Pancasila bagi hakim,\" ujar Jimly. (mth)

Saling Puji Sukarno dan Nyoto

Jakarta, FNN - Pengamat komunikasi politik dan militer dari Universitas Nasional (Unas) Jakarta, Selamat Ginting mengungkapkan, Presiden Sukarno lebih menyukai anak muda daripada tokoh tua untuk membantunya. Baik di dalam Partai Nasional Indonesia (PNI) maupun pemerintahan. “Ia tidak puas dengan kerja pembantu utamanya Ruslan Abdulgani dan Subandrio dalam membuat teks pidatonya. Keduanya kemudian tidak dipakai lagi. Digantikan Nyoto, seorang anggota PKI (Partai Komunis Indonesia) tulen,” kata kandidat doktor ilmu politik dari Unas di Jakarta, Jumat (1/10). Dikemukakan, setelah sempat pingsan pada 4 Agustus 1965, Presiden Sukarno beristirahat di Istana Tampaksiring, Bali. Sukarno gelisah, karena menjelang Hari Kemerdekaan 17 Agustus 1965, belum menyiapkan pidato untuk hari besar nasional tersebut. Kemudian, lanjut Ginting, Sukarno meminta Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Mangil Martowidjojo (Komandan Detasemen Kawal Pribadi) untuk mencari Nyoto. Sukarno tidak lagi membutuhkan Subandrio maupun Ruslan Abdulgani untuk membuat konsep pidato hari kemerdekaan 17 Agustus 1945. "Jadi, Bung Karno merasa lebih cocok dengan gaya pidato yang disusun oleh Nyoto daripada Ruslan Abdulgani maupun Subandrio,” ungkap dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unas itu. Selamat Ginting menjelaskan, dalam riwayat hidupnya, Nyoto adalah PKI asli sejak awal terjun ke politik. Pernah menjadi Ketua Departemen Agitasi dan Propaganda PKI. Nyoto memang pandai memilih diksi yang dapat membakar massa. Lelaki dengan nama asli Koesoemo Digdojo, kemudian mengganti namanya menjadi lebih singkat agar mudah dihapal: Nyoto. “Sejak remaja Nyoto sudah menjadi aktivis PKI. Usai pemberontakan PKI di Madiun pada 1948, Nyoto bersama DN Aidit, dan MH Lukman, berhasil membangun dan membesarkan PKI,” ungkap Selamat Ginting yang lama menjadi wartawan politik di sejumlah media massa. Dikemukakan, Sukarno menyukai tipikal Nyoto, komunis yang ‘liberalis’, tidak dogmatis, dan pragmatis. Bahkan Nyoto pandai memainkan alat musik saksofon dan gemar berpesta lenso, seperti Sukarno. Sebagai menteri negara, Nyoto juga kerap menyanyi di istana untuk menghibur tamu-tamu paduka yang mulia. Bersama penyanyi top Ibukota, seperti Titiek Puspa maupun Rima Melati. Bung Karno, lanjut Ginting, pernah menjuluki Nyoto ‘Marhaenis sejati’. Sebuah ideologi kerakyatan yang dicetuskan Sukarno untuk PNI. Nyoto tak mau kalah. Ia orang pertama yang mengeluarkan istilah ‘Sukarnoisme’. Keduanya saling mengagumi. “Bagi Nyoto, Marxisme terlalu asing bagi petani dan borjuis kecil, garapan PKI. Sedangkan Sukarnoisme itu lebih jelas, dan orangnya juga masih hidup.” Sikap Nyoto ini, kata Ginting, membuat para pemimpin PKI kehilangan respek. Konflik antara Aidit dengan Nyoto akhirnya tak terhindarkan. Aidit pun memberikan skorsing terhadap Nyoto, dengan membuat alasan pribadi. Nyoto dituding terlibat hubungan gelap dengan seorang perempuan Uni Soviet. “Aidit minta Nyoto memutuskan hubungan tersebut. Aidit sangat antipoligami. Padahal Sukarno melakukan poligami dengan memiliki sejumlah istrinya,” kata Selamat Ginting. Pengamat politik itu mengungkapkan, buntut dari konflik antara Aidit dengan Nyoto, membuat Sukarno harus turun tangan. Bung Karno menyarankan Nyoto membuat partai baru dengan ideologi Sukarnoisme. Usulan nama partainya adalah Partai Rakyat Indonesia. “Bung Karno menganggap Sukarnoisme adalah penyempurnaan Marhaenisme. Tapi ide itu tak pernah kesampaian, karena situasi politik begitu cepat berubah usai pecahnya peristiwa G30S/PKI tahun 1965,” tutup Ginting. sws)

Mengapa Gatot Nurmantyo Meragukan Ideologi Prajurit TNI Saat Ini?

Jakarta, FNN -- Pengamat komunikasi politik dan militer dari Universitas Nasional (Unas) Selamat Ginting menjelaskan, Tentara Nasional Indonesia (TNI) merupakan benteng terakhir pengawal ideologi Pancasila. TNI menjadi salah satu profesi di Indonesia yang wajib memegang teguh ideologi Pancasila, bukan ideologi lainnya di luar Pancasila. "Jadi, TNI sudah belajar banyak dari pengkhianatan ideologi lain, termasuk penghianatan PKI (Partai Komunis Indonesia) pada tahun 1948 dan 1965. Sehingga TNI berusaha keras untuk tidak lagi disusupi ideologi lain, termasuk ideologi komunis," kata kandidat doktor ilmu politik Unas tersebut di Jakarta, Rabu (29/9). Dia mengemukakan hal tersebut terkait pernyataan mantan Panglima TNI Jenderal TNI (Purn) Gatot Nurmantyo yang mengindikasikan terjadinya penyusupan di tubuh TNI pada sebuah webinar bertema 'TNI vs PKI' di Jakarta pada Ahad (26/9) malam WIB. Gatot merespons soal hilangnya tiga patung penumpang PKI di Museum Darma Bakti Kostrad, Gambir, Jakarta Pusat. Patung itu adalah Jenderal AH Nasution, Mayjen Soeharto, dan Kolonel Sarwo Edhie Wibowo. "Jangankan komunis, ketika partai politik dan kelompok lainnya ragu-ragu menerima atau menolak ide Nasakom (Nasionalis, Agama, dan Komunis), (TNI) Angkatan Darat dengan tegas menolak Nasakom (yang dicetuskan Sukarno), karena bertentangan dengan Pancasila. Itu pula yang dimaksud politik TNI adalah politik negara," ungkap Ginting. Pimpinan TNI tahun 1962-1965, lanjut Ginting, terutama Menteri Koordinator (Menko) Kepala Staf Angkatan Bersenjata (KSAB) Jenderal TNI AH Nasution, serta Menteri/Panglima Angkatan Darat Letjen TNI Ahmad Yani dan kawan-kawan (dkk) menolak tegas nasakomisasi, ideologi komunis serta rencana pembentukan Angkatan Kelima, yakni buruh tani dipersenjatai. Mereka kemudian menjadi korban kebiadaban PKI. "Belajar dari pengalaman buruk pengkhianatan PKI tersebut, TNI tentu berusaha keras akan menolak ideologi lain. Sehingga menjadi tanda tanya besar jika ada yang meragukan ideologi prajurit TNI saat ini," kata dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unas itu. Ginting tidak sependapat dengan tudingan Gatot Nurmantyo. Alasannya, kata dia, ada dua hal. Pertama, para prajurit telah diikat dalam sumpah ketika dilantik menjadi prajurit TNI. Dalam sumpah dan janji pertamanya, dinyatakan akan setia kepada NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Kedua, para prajurit TNI diikat dengan tujuh jalan hidupnya yang disebut Sapta Marga. Di marga pertama dan kedua, jelas-jelas disebutkan tentang Pancasila. Di marga pertama, sebagai warga Negara Kesatuan Republik Indonesia yang bersendikan Pancasila. Kemudian di marga kedua, sebagai patriot Indonesia, pendukung serta pembela ideologi negara yang bertanggung jawab dan tidak mengenal menyerah. "Mengapa Gatot Nurmantyo tidak mengacu pada dua hal tersebut? Apalagi Gatot pernah menjadi Panglima Kostrad (Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat), KSAD (Kepala Staf Angkatan Darat) dan Panglima TNI. Mengapa dia meragukan penerusnya di TNI saat ini?" kata Ginting. Setelah peristiwa pemberontakan Gerakan 30 September 1965 (G30S)/PKI, menurut Ginting, dalam rekrutmen prajurit TNI, sangat ketat menyeleksi penilaian mental ideologi. Bahkan ditelusuri hingga garis keturunan orang tua dan kakek neneknya agar bersih diri dari ideologi lain, selain Pancasila. Dia menjelaskan, para perwira tinggi aktif saat ini, umumnya justru lahir setelah peristiwa kelam tahun 1965. Dia mencontohkan Panglima Kostrad Letjen TNI Dudung Abdurachman, misalnya. Kelahiran November 1965 dan dilahirkan dari keluarga besar TNI di Kodam Siliwangi. Kodam Siliwangi dikenal sebagai Kodam yang sangat antikomunis sejak bernama Divisi Siliwangi dipimpin Kolonel (Infanteri) AH Nasution. “Ingat, ujung tombak penumpasan pemberontakan PKI tahun 1948 di Madiun dan sekitarnya adalah Siliwangi,” kata Ginting yang malang melintang sebagai wartawan senior dalam liputan pertahanan keamanan negara itu. Selain itu, Kostrad dan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) menjadi ujung tombak penumpasan G30S/PKI tahun 1965. Cikal bakal RPKAD yang kini bernama Komando Pasukan Khusus (Kopassus) itu juga berasal dari Kodam Siliwangi. Sejumlah batalyon Kostrad di Jawa Barat, umumnya juga berasal dari Kodam Siliwangi yang dialihkan kepada Kostrad. Ginting menjelaskan, Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana TNI Yudo Margono, Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) Marsekal TNI Fadjar Prasetyo, seperti juga Letjen TNI Dudung Abdurachman merupakan kelahiran 1965, ketika TNI sedang menumpas pemberontakan PKI. Adapun Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto dan KSAD Jenderal TNI Andika Perkasa, tergolong masih bayi pada saat terjadinya pemberontakan PKI. Kedua perwira tinggi itu pun berasal dari keluarga besar TNI. Mereka lahir di mana tidak ada tempat bagi ideologi di luar Pancasila yang diterapkan sangat keras oleh pemerintahan Orde Baru. "Cita-cita awal Orde Baru adalah menjalankan Pancasila secara murni dan konsekuen. Itu nilai baik yang diterapkan Orde Baru setelah belajar dari kegagalan Demokrasi Terpimpin atau Orde Lama," ungkap Ginting. Dia menerangkan, Sapta Marga yang menjadi pedoman prajurit TNI dicetuskan pada 5 Oktober 1951, saat TNI merayakan ulang tahun yang keenam. Kode etik prajurit TNI tersebut, dimaksudkan untuk mencegah perpecahan di dalam tubuh TNI, terutama dari ideologi lain, selain Pancasila. (sws)

Idap ‘Skizofrenia’, BPIP Telah Kehilangan Arah yang Akut

Jakarta, FNN - Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) telah kehilangan arah yang akut dan cenderung mengidap ‘skizofrenia’, sejenis gangguan jiwa dalam proses berpikir terbelah yang halusinatif dan paranoia, dalam merespon isu-isu besar nasional. Sehingga, tidak tahu dan tak mengerti apa yang harus dilakukan. Peneliti senior Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA, Toto Izul Fatah, mengatakan hal itu kepada pers di Jakarta, Sabtu (14/8). Ia menanggapi lomba artikel yang digelar BPIP dengan tema, “Hormat Bendera Menurut Hukum Islam dan Menyanyikan Lagu Kebangsaan Menurut Hukum Islam”. Tujuannya, kata Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah BPIP, Benny Susetyo, untuk pemaknaan nilai-nilai keagamaan dalam memperkuat kebangsaan. Toto berpendapat, acara lomba yang digelar BPIP itu sama sekali tak menggambarkan kecerdasan, sensitivitas dan aktualitas tentang apa yang seharusnya dilakukan lembaga negara tersebut. Bahkan, lomba yang diadakannya justru berpotensi merusak spirit Pancasila, yang seharusnya menjadi misi luhur BPIP. Menurut Toto yang juga Direktur Eksekutif Citra Komunikasi LSI Denny JA ini, tema yang diusung dalam lomba tersebut terkesan sangat dipaksakan, karena isu tentang Hormat Bendera Merah Putih dan Menyanyikan Lagu Kebangsaan itu bukan isu mainstream umat dan bangsa saat ini. Kenapa? Karena umat Islam sudah ‘clear’ dengan isu itu sejak lama. “Mengangkat tema dengan isu tersebut sama saja dengan mengusik ketenangan umat Islam yang sudah tak lagi mempersoalkan itu. Hukumnya sudah jelas, kenapa masih harus dicari-cari lagi apa hukumnya dalam Islam. Ini sama saja dengan tak percaya kepada umat Islam. Masih banyak tema lain yang lebih aktual dengan kebutuhan bangsa saat ini,” Toto khawatir, acara lomba yang didasari pola pikir sesat dan menyesatkan seperti itu, akan mengundang tafsir liar tentang tuduhan adanya oknum petinggi BPIP yang mengidap Islamophobia. Tuduhan ini jelas akan makin menjauhkan BPIP dengan misi utamanya, sebagai badan pembinaan ideologi Pancasila. “Jangan sampai, Badan pembinaan ini pada saatnya menjadi badan yang harus dibina. Padahal, disitu berkumpul sejumlah tokoh besar yang harusnya memproduksi ide-ide dan program besar, bukan ecek-ecek yang mengerdilkan nama besar itu. Dan ini yang akhirnya membuat nama besar BPIP tak berbanding lurus dengan realita di lapangan,” kata Toto Terkait dengan itulah, Toto menilai perlu dilakukan evaluasi total terhadap keberadaan lembaga negara yang diberi tugas khusus dalam pembinaan Ideologi Pancasila ini. Apalagi, menyangkut anggaran yang tidak kecil buat menghidupi lembaga tersebut. Idealnya, lanjut Toto, ditengah negara dan bangsa yang sedang mengalami rentetan masalah besar saat ini, termasuk wabah covid-19, BPIP harusnya tampil dengan program besar, bukan ide kerdil dan dangkal. “Jangan biarkan rakyat menuduh BPIP bikin acara lomba artikel hanya untuk habiskan anggaran,” tegasnya. (sws)