Dinasti Politik: Bermula dari The Godfather Membagi-bagi Kekayaan Alam

Sistem oligarki pertama kali muncul di Indonesia pada tahun 1970 yang dibangun oleh Soeharto. Untuk memimpin sistem oligarki yang dibentuknya, Soeharto berlagak layaknya seorang The Godfather yang membagi-bagi kekayaan alam Indonesia pada kelompok-kelompok tertentu.

Oleh Dimas Huda | Jurnalis Senior FNN

Beberapa negara yang menganut sistem pemerintahan demokrasi terjebak oligarki dan menjadi akar bagi terciptanya oligarki, termasuk di Indonesia. Salah satu institusi yang turut berperan adalah partai politik.

Pertanyaan yang kemudian kerap mengusik adalah bagaimana sebuah institusi demokrasi seperti partai bisa terjebak dalam lingkaran oligarki? 

Kepala Puslit Politik LIPI, Firman Noo, menyebut di Indonesia keterjebakan itu disebabkan oleh beberapa hal antara lain. 

Pertama, Ketua Umum sebagai figur utama atau elite partai yang menjadi penentu. "Orang-orang kuat" ini muncul sebagai reprensentasi ideologis atau historis. 

Pada umumnya, di Indonesia saat ini,  partai tidak bersifat ideologis. Figuritas di kebanyakan partai disebabkan karena faktor sejarah terbentuknya partai atau sebuah "moment historis" yang menyebabkan seorang figur menjadi mencuat ke permukaan dan mendapat dukungan luas. Figur-figur memainkan peran kesejarahan partai itu menyebabkan penghormatan, yang akhirnya kerap berlebihan sehingga keberadaannya berikut inner circle di dalamnya sangat kokoh. 

Partai-partai yang sejak awal diinisiasi, dibentuk, dan dijalankan oleh tokoh penentu, yang biasanya kemudian sebagai pimpinan partai, cenderung berpotensi mengalami oligarkis.

Keberadaan figur ini, di satu sisi mampu menghadirkan stabilitas partai. Namun, di sisi lain juga berpotensi besar menghadirkan model pengaturan dan tata kelola partai yang sentralistik.

Kedua, aspek historis ataupun ideologis. Kehadiran para figur penentu yang melahirkan oligarki juga disebabkan adanya ketergantungan finansial partai pada sumber-sumber keuangan dimiliki figur. 

Colin Crouch (2004) menggunakan istilah "firma politik" untuk menggambarkan ketergantungan finansial dan merembet pada struktur pembentukan partai yang pada akhirnya bagaimana partai dikelola. 

Situasi ini diperkuat oleh kondisi pragmatisme semakin kental saat ini karena money talks yang menyebabkan figur-figur kuat secara finansial akan bisa berperan amat besar. Dulu almarhum Cak Nur atau Nurcholish Majid pernah menyinggung faktor ini dengan istilah kepemilikan "gizi". 

Situasi ini sangat terasa terutama pada partai-partai yang tidak berorientasi values

atau ideologi dalam aktivitasnya. Akibatnya, jaringan (networking ), konstelasi, ataupun kontestasi internal yang terbentuk saat ini lebih dipengaruhi oleh faktor kekuatan material-finansial.

Ketiga, pelembagaan partai yang belum sempurna. Pelembagaan partai itu sendiri singkatnya adalah sebuah kondisi ketika sistem yang dibangun partai dan segenap aturan main dihargai serta dijalankan secara konsisten selain terbangunnya pola sikap dan budaya dalam partai.

Namun, yang terjadi saat ini pelembagaan masih berjalan stagnan bahkan mengalami regresi. Sistem dan aturan kerap ditafsirkan untuk kemudian disesuaikan demi kepentingan elite dan jaringan oligarkinya. Dalam momen-momen tertentu, pelaksanaan musyawarah menjadi semu.

Keputusan partai kerap diambil sepihak. Sementara hukuman bagi mereka yang membangkang atau dianggap tidak loyal bisa diputuskan secara cepat, tanpa harus melalui tahapan-tahapan pemeriksaan.

Turunan dari lemahnya kelembagaan adalah proses kaderisasi yang mati suri. Pada akhirnya memungkinkan "figur-figur asing" untuk bisa langsung berada dalam lingkar kekuasaan, yang kiprahnya kebanyakan cenderung mengokohkan oligarki. 

Ketidakjelasan kaderisasi juga menyebabkan kader lebih terpicu untuk berlindung pada patron tertentu sehingga memuluskan pola hubungan patron-client, tentu saja mengganggu pembangunan demokrasi internal partai yang sehat.

Keempat, AD/ART partai juga memberikan landasan bagi penguatan peran elite. Studi mengenai kandidasi partai, menunjukkan dalam banyak hal, termasuk kandidasi, figure pimpinan partai menjadi demikian berkuasa, dan pada beberapa partai menjadi demikian absolut, karena aturan main internal memberi celah untuk itu. Kondisi ini tentu mendorong perluasan rekayasa penciptaan kepatuhan buta yang objektif. 

Kelima, faktor eksternal turut memengaruhi aturan main terkait kepartaian dan kepemiluan yang secara umum masih memberikan celah bagi partai-partai untuk membangun oligarki dalam dirinya. Setidaknya hingga kini keharusan kaderisasi, pengelolaan keuangan partai yang mampu menetralisasi peran oligarki belum diatur secara tegas dan komprehensif. 

Selain itu, syarat ambang batas presiden maupun pencalonan kepala daerah yang memberikan peluang elite partai untuk saling bermanuver membangun koalisi juga turut berkontribusi secara tidak langsung bagi pengokohan kekuasaan elite maupun ketergantungan kader pada manuver elite. 

Selain itu yang turut memberikan kenyamanan para oligarki adalah sikap kurang kritis masyarakat atau civil society pada kondisi internal partai-partai. Akibatnya, partai tidak merasa terusik apalagi terpicu memperbaiki diri agar bisa benar-benar menjadi lembaga demokrasi yang mampu bersikap dan berperilaku demokratis. 

Mengingat kompleksitas penyebab oligarki di atas, diperlukan pendekatan komprehensif mulai dari pembenahan internal partai, pengaderan partai yang reformer, dukungan aturan dukungan civil society. 

Pembenahan yang bersifat parsial dan tanpa dukungan komprehensif, jelas tidak akan membawa dampak signifikan bagi upaya pereduksian oligarki dalam partai politik. Kemudian menjawab pertanyaan ke dua yaitu bagaimana oligarki muncul di Indonesia?

Dua Dimensi

Jeffrey A. Winters dalam bukunya bertajuk Oligarchy menempatkan oligarki dalam dua dimensi. Dimensi pertama, oligarki dibangun atas dasar kekuatan modal kapital yang tidak terbatas, sehingga mampu menguasai dan mendominasi simpul-simpul kekuasaan. 

Dimensi kedua, oligarki beroperasi dalam kerangka kekuasaan yang menggurita secara sistemik. 

Menurut Winters, sistem oligarki pertama kali muncul di Indonesia pada tahun 1970 yang dibangun oleh Soeharto. Untuk memimpin sistem oligarki yang dibentuknya, Soeharto berlagak layaknya seorang The Godfather yang membagi-bagi kekayaan alam Indonesia pada kelompok-kelompok tertentu, seperti kelompok para jenderal, penguasa etnis Tionghoa dan kelompok pribumi. 

Setelah berkuasa, ancaman nyata Soeharto itu ada pada para Jenderal TNI, jadinya dia membagi-bagikan kekayaan misalnya dengan pengelolaan hutan di Kalimantan dan menyebut para Jenderal itu kaya karena dia. Soeharto itu seorang Godfather yang ekonomis dan politis. Sistem oligarki Soeharto mulai mengalami gangguan saat anak anak Soeharto menjadi dewasa dan mulai berbisnis. 

Kejatuhan Soeharto pada tahun 1998, karena para oligark di bawah Soeharto sudah tidak mau membela Soeharto karena tingkah laku anak-anaknya sudah tidak bisa dikendalikan, contohnya ketika LB Moerdani mengeluhkan anak-anak Soeharto dan akhirnya dia dipecat.

Pada saat ini di Indonesia, kekuatan oligark dikuasai oleh kalangan pribumi, karena mereka memiliki uang dan jabatan. Tetapi sebelumnya, di zaman Orde Baru, oligark dikuasai oleh pengusaha dari etnis Tionghoa, yang punya akses langsung ke Soeharto. Berbeda dengan era orde lama dan orde baru, pada masa reformasi ini bentuk demokrasinya berubah sejak pemilu tahun 1999. 

Hadirnya oligarki ini dimulai dari keberlangsungan sistem politik yang dipilih. Dalam sistem demokrasi tidak langsung seperti yang diterapkan di Indonesia, dalam skema penyelenggaraan pemilu didahului dengan pemilu legislatif, partai politik merupakan elemen penting. 

Partai politik memiliki peran strategis sekaligus vital, yakni menjadi pihak yang diberikan kepercayaan politik oleh rakyat melalui mekanisme keterwakilan di parlemen/DPR. Dengan melihat pada alur yang linier, partai politik tepat berada di tengah antara warganegara sebagai konstituen dengan negara sebagai pelaksana tertinggi pemerintahan. Dengan menggunakan mekanisme keterwakilan menuntut adanya individu-individu yang duduk di kursi parlemen/DPR. 

Partai politik, menjadi satu-satunya institusi yang berwenang melakukan rekrutmen menjaring wakil-wakil tersebut. Tugas ini pula yang kemudian mensyaratkan partai politik melakukan kaderisasi politik; menjaring individu-individu terbaik yang representatif untuk duduk di kursi parlemen/DPR. Jika melihat realitas yang menggejala dalam tubuh partai-partai politik di Indonesia, tampak betul bahwa oligarki seperti dalam tafsiran Winters merupakan penyakit yang sudah akut. 

Gurita Oligarki

Hampir semua partai di Indonesia sebenarnya dikuasai oleh segelintir elite yang memiliki -dalam istilah Pierre Bourdie- modal kapital dan sosial yang kuat. 

Gurita oligarki dalam partai politik menguatkan asumsi bahwa partai politik gagal dalam melakukan fungsinya sebagai agregator demokratisasi. Fungsi rekrutmen dan kaderisasi yang macet dan partai politik lebih suka menggelar karpet merah kepada pemburu kekuasaan bermodal uang miliaran rupiah. 

Pendidikan politik yang disajikan di masyarakat diringkas ke dalam materi-materi kampanye-kampanye yang gegap gempita, gaduh oleh berita bohong, menjatuhkan lawan dengan fitnah atau hoaks dan sama sekali tidak mencerahkan. Bahkan pada titik yang paling parah, partai politik menjadikan masyarakat sebagai konstituennya dianggap sebagai obyek politik semata lima tahunan yaitu mendekati rakyat ketika membutuhkan suara rakyat dalam pemilu. 

Sebagai subyek demokrasi, seharusnya masyarakat dituntut mendapatkan pendidikan politik dan memiliki pengetahuan politik. Tanpa pengetahuan politik, demokrasi hanya akan berjalan secara prosedural dan lupa pada esensinya. Namun dalam kenyataannya, praktik ideal partai politik tersebut lebih sering tidak terlaksana. 

Secara internal, partai politik bahkan kerapkali gagal mempraktikkan mekanisme demokrasi dan terjebak dalam budaya oligarki. Dalam konteks politik nasional, hal itu tampak jelas dalam mekanisme penjaringan calon anggota legislatif maupun kepala daerah oleh sejumlah partai. 

Tampak jelas bahwa seleksi calon legislatif dan kepala daerah justru dilakukan dengan cara-cara yang jauh dari nilai-nilai demokrasi. Sistem penjaringan cenderung tertutup, tidak transparan, dan tidak memungkinkan dipantau oleh publik. Belum lagi soal fenomena mahar politik yang selalu mengiringi proses penjaringan calon pemimpin daerah. 

Di tangan para elite itulah segala keputusan partai politik ditentukan melalui mekanisme hirarki yang kaku, alias dari atas ke bawah. 

Seorang ketua partai beserta orang-orang di lingkaran terdekatnya merupakan sosok-sosok superior yang memegang kewenangan penuh dalam ihwal decision making, termasuk menentukan siapa yang bakal diusung dalam pileg dan pilkada. 

Partai politik begitu kuat perannya dalam Negara, sehingga layak dikatagorikan sebagai monopolistik. Setelah lebih dari dua dekade, ternyata penguatan peran secara cepat (mendadak) yang tanpa dilandasi pendewasaan secara memadai itu, mengkondisikan partai menjadi rentan oleh jebakan hakikat kekuasaan berupa kecenderungan untuk membesar dan memusat. Maka tidaklah mengherankan, apabila dewasa ini semakin dikenali penguatan watak sistem kekuasaan oligarki dan bahkan aristokrasi di dalam partai politik. 

Sistem kekuasaan oligarki partai politik tampil melalui kecenderungan sentralisasi kekuasaan, dominasi elit partai, pragmatism berlebihan (opportunistic) dan kroniisme kepemimpinan (pengurus, yang secara keseluruhan dibungkus dengan pemandulan pelembagaan (institusionalisasi) partai. 

Dalam pada ini, gejala aristokratisasi partai terlihat dari kronilisasime elit atau penguasa partai yang mulai tergeser oleh nepotisme dan dinasti. (*)

392

Related Post