anis-matta

Selamat Hari Ayah

Padi-padi kuning yang dulu menyiur melambai, kini gugur satu per satu. Dunia kita telah menjelma menjadi tanah tandus yang retak, rumah-rumah kita menjadi sarang hantu yang begitu menyeramkan. Takkan pernah ada di antara mereka yang sanggup bertahan lama. Oleh : Anis Matta BETAPA menggetarkannya panggilan itu. Betapa mengharu-birukannya nada itu. Betapa menggairahkannya suara patah-patah itu. Selalu ada nuansa baru setiap kali empat huruf itu menguntai menjadi kata dan meluncur dari mulut kecil seorang bocah. Ayah! Betapa kata itu memberi saya, dan juga kamu, bahkan kita semua para ayah, gairah kehidupan yang senantiasa mendorong langkah kita melanjutkan perjalanan berat ini, merambah belantara dunia yang kadang tidak bersahabat, atau bahkan memecahkan seonggok karang besar di tengah samudera kehidupan. Setelah kata iman, tidak ada lagi kata dalam kamus kehidupan —selain kata ayah— yang mampu mengajari Anda tentang makna pertanggungjawaban yang paling hakiki. Sesuatu yang muncul dengan tulus saat Anda menangkap kesan ‘diharapkan’ di balik panggilan itu. Sesuatu yang muncul dengan kuat dan elegan ketika Anda merasa menjadi ‘benteng’ proteksi dan perlindungan bagi sejumlah anak manusia. Sesuatu yang dapat mengubah pemujaan Anda terhadap diri sendiri menjadi pengorbanan yang paling tulus ketika Anda harus menjadi perisai bagi beberapa jiwa manusia. Tiba-tiba saja Anda telah berada di situ, di depan kata ini: maut! Dan dua butir bola kecil yang membulir di celah pipi Anda takkan pernah membuatmu sedih, atau bahkan menyentuh perasaan yang begitu kuat menggelora dalam batin: kebanggaan. Ayah! Tetapi, kata itu adalah juga melodi yang paling harmoni dengan getaran obsesi kelaki-lakian kita. Beberapa bagian dari ’makna sosial’ kelaki-lakian kita takkan pernah terpenuhi sebelum kata itu mengganti nama saya, dan juga Anda, untuk kemudian menjadi panggilan sehari-hari. Mimpi-mimpi superioritas Anda sebagiannya menjelma jadi kenyataan di sini; ketika bocah-bocah kecil itu bergelendotan di lengan kekar Anda, atau ketika istri Anda melakukan sesuatu yang tidak Anda senangi dan Anda mengatakan, "Saya tidak suka ini!" Mungkin Anda bukan seorang penguasa negara, atau seorang jenderal dengan ribuan prajurit atau seorang manajer besar dengan ratusan bawahan. Mungkin sekali Anda hanya seorang prajurit biasa, atau seorang bawahan kecil, atau seorang pesuruh. Tetapi, rumah - walaupun hanya kontrak - tempat Anda setiap hari dipanggil ayah, adalah wilayah teritorial Anda. Dalam wilayah kecil itu, masih tersisa sesuatu yang bisa memberi Anda rasa berkuasa. Karena Anda adalah ayah. Karena Anda adalah qawwam. Mungkin posisi dalam pekerjaan Anda tidak menggoda orang banyak untuk selalu memberi Anda seuntai senyum manis di pagi hari. Bahkan sebaliknya, Andalah yang harus setiap saat mengobral senyum, memberi kesan hormat, untuk memuaskan rasa berkuasa atasan Anda, dan guna mempertahankan posisi Anda yang sebenarnya sudah sempit dan sumpek. Akan tetapi, di sini dalam wilayah teritorial Anda tadi, Anda berhak mendapat senyum Ayah! Dan ketika lelaki-lelaki modern enggan menjadi kata itu, maka kata itu juga enggan menjadi mereka. Ketika mereka menolak janji-janji kata itu, menganggapnya sebagai gerbang menuju neraka, menganggapnya sebagai pintu penjara, kata itu justru enggan membantu mereka melepaskan diri dari jeratan kesendirian, membasuh kulit mereka yang melepuh akibat sengatan matahari. Kata itu jadi enggan menyediakan dermaga tempat mereka menambat perahu hati, berlabuh dari galau kehidupan. Satu-satu laki-laki modern itu mati tertusuk sembilu sepi. Padi-padi kuning yang dulu menyiur melambai, kini gugur satu per satu. Dunia kita telah menjelma menjadi tanah tandus yang retak, rumah-rumah kita menjadi sarang hantu yang begitu menyeramkan. Takkan pernah ada di antara mereka yang sanggup bertahan lama. Setiap jengkal tanah yang kita lewati adalah mayat. Ketika mayat-mayat telah habis, kitalah yang akan menjadi jengkal tanah baru yang akan dilalui oleh mereka yang ditakdirkan hidup. Bumi kita bukan lagi firdaus. Ia telah menjelma menjadi kuburan tanpa batas. Di ujung jengkal tanah itu, ketika tidak lagi ada sisa mayat, ketika sebentar lagi ia akan menjadi sejengkal tanah, seorang lelaki tua dari tanah Egypt, aktor dunia yang kini bermukim di Perancis, berujar perlahan, ”Ambillah segenap kekayaan dan popularitasku, tetapi berikan aku seorang anak, biarkan tangisnya memecah sunyi dalam jiwaku. Aku ingin jadi ayah!”

Anis Matta: Persoalan Besar Pandemi Adalah Ketidakpastian Informasi

Jakarta, FNN - Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Anis Matta menilai persoalan paling besar yang sedang dihadapi bangsa Indonesia pada masa pandemi adalah ketidakpastian informasi tentang COVID-19 yang simpang siur daripada penyakit itu sendiri. "Kondisi ini membuat para pasien menghadapi psikologis yang sangat akut, para dokter juga menghadapi persoalan tingkat keyakinan mereka dalam memberikan rekomendasi bagi pasiennya," kata Anis Matta dalam keterangannya di Jakarta, Jumat. Menurut dia, itu terjadi akibat banyaknya informasi saintifik bercampur informasi hoaks yang begitu cepat menyebar di tengah masyarakat. Di lain pihak, pengetahuan dokter saat ini tentang masalah COVID-19 juga masih terbatas. Hal itu, kata Anis Matta, membuat ada serangan besar terhadap optimisme. Hal itu penting dalam pendekatan keagamaan karena agama adalah sumber optimisme, bukan sumber fatalisme. "Agama menjadi langkah awal untuk memahami persoalan COVID-19 dan dapat menjauhkan diri dari sikap fatalis. Agama harus jadi sumber optimisme dan otorisasi sains jadi referensi utama menghindarkan disinformasi publik," ujarnya. Anis mengutip dalil yang menyebutkan bahwa Allah Swt. tidak pernah menurunkan suatu penyakit, tetapi juga bersamanya menurunkan obatnya. Menurut dia, agama menyuruh manusia bergantung pada Sang Pencipta, termasuk mencari kesembuhan dan obat dari penyakit COVID-19 ini. "Kemudian mengikuti seluruh rekomendasi dokter dan para saintis yang berhubungan dengan penyakit itu. Jadi, makna tawakal tidak boleh jadi sumber fatalisme, tetapi justru menjadi sumber optimisme. Di sinilah kita melangkah untuk menghadapi persoalan ini," katanya. Menurut dia, persoalan paling besar yang dihadapi Indonesia pada dasarnya adalah bukan sekadar pada penyakit baru yang namanya COVID-19, melainkan karena tingkat ketidakpastian akibat begitu banyaknya informasi yang simpang siur. (mth)