Kemunculan Anies adalah Fenomena Kegagalan Partai Melakukan Kaderisasi
Jakarta, FNN - Anies Baswedan adalah fenomena politik yang selalu menarik untuk disoroti oleh siapa pun. Meski dicalonkan sebagai capres oleh Nasdem, tetapi Anies bukan datang dari tradisi partai politik karena beliau seorang akademisi. Ini yang menjadi hal menarik untuk didiskusikan terkait dengan pertanyaan mengapa banyak sekali partai politik yang gagal melakukan kaderisasi internal hingga kemudian dia harus melirik orang-orang di luar struktur partai. Untuk membahas hal ini, Hersubeno Arief, wartawan senior FNN, mendiskusikannya bersama Rocky Gerung dalam Kanal Youtube Rocky Gerung Official edisi Sabtu (03/12/22).
Fenomena politik seperti ini tidak hanya terjadi pada Anies Baswedan, tapi juga pada fenomena Ridwan Kamil di Jawa Barat. Bahkan, pada kasus yang lebih menarik, Nasdem juga sebelumnya memunculkan nama Ganjar Pranowo dan Andhika Perkasa. Kalau Andika mungkin sama posisinya dengan Anies (tidak berparta), tapi kalau Ganjar Pranowo dimunculkan oleh partai lain, agak mengherankan. Begitu juga dengan PSI yang lebih mencalonkan Ganjar. “Fenomena Anies ini menunjukkan bahwa partai-partai nggak punya kader atau gagal melakukan kaderisasi. Anies jelas dia bukan datang dari tradisi partai politi, dia akademisi. Lalu karena kemampuan teknologinya diundang masuk kabinet. Lalu, karena di dalam kabinet ternyata muncul semacam kefiguran atau ketokohan, maka Anies berubah menjadi manusia politik,” ujar Rocky.
Menurut Rocky, semula Anies hanya manusia akademis yang menganggap bahwa politik itu adalah wilayah untuk mengeksplisitkan metodologi di dalam kampus, yaitu konsep-konsep, narasi, teori. Tetapi, kemudian dalam satu peritiwa politik di mana tidak ada kader maka Anies dilirik.
“Jadi, sebetulnya partai-partai ini ditawan oleh ketiadaan kader dan itu menyebabkan kadernya harus di-outsource. Itu buruknya. Demokrasi kita tumbuh, tapi tidak ada kader partai politik,” lanjut Rocky. Menurut Rocky, partai politik sekadar membengkak, bukan bertumbuh. Jadi, kalau kita bayangkan bahwa rekrutmen calon pemimpin itu datang dari partai politik seperti yang seharusnya secara konvensional begitu caranya, ternyata tidak berhasil. Jadi semua hal berhenti karena soal kaderisasi. Dan yang kita sebut kader sekarang adalah mereka yang membawa uang. Mereka tidak paham idiologi partai. Akibat lebih jauh adalah bahwa seorang yang tadinya dianggap kader dia bisa keluar dari partai itu sesukanya saja. Padahal, kader itu artinya bertahan di dalam cuaca paling buruk dari partainya.
Akhirnya, kata Rocky, partai harus mengambil tokoh dari luar. Terpaksa Anies harus kehilangan semacam kemewahan dia sebagai akademisi, karena harus deal dengan transaksi politik di Nasdem dalam hal ini. Jadi mental Anies juga berubah, dari mental seorang pedagog dan sekarang mulai kemasukan juga sedikit demagok. Sebab menjadi partai itu isinya para demagog saja. Itulah pelajaran dari demokrasi kita yang sebetulnya kita tuntun dari awal reformasi supaya ada generasi di partai tidak terjadi. “Jadi, sekali lagi, bagian buruk dari pemerintahan Pak Jokowi adalah Pak Jokowi tidak berhasil menyelenggarakan pendidikan politik melalui sistem kepartaian,” tegas Rocky.
Namun, hal itu juga menjadi pengalaman pribadi Pak Jokowi dan bahkan diulang lagi dalam kasus Gibran. Pak Jokowi dan Gibran bukan kader PDIP dan akhirnya dipaksakan menjadi calon Walikota Solo, menyingkirkan kader-kader yang lebih dahulu berjuang bersama partai itu. Menurut Rocky, itu buruknya kalau feodalisme ada di dalam politik kita. Mungkin Gibran lebih cocok menjadi pengusaha daripada menjadi Walikota Solo. Itu artinya, institusionalisasi atau pelembagaan politik tidak berlangsung. Jadi, etik bahwa seseorang pernah jadi ketua partai atau anggota partai, tiba-tiba lenyap. Padahal, politik adalah pengetahuan tentang keadaan real masyarakat dan dialami sendiri, bukan sekadar diceritakan atau dibuat-buatkan ceritanya.
Selain Gibran, dari keluarga Pak Jokowi juga ada Boby Nasution yang saat ini menjadi Walikota Medan. Boby juga tiba-tiba saja dicalonkan oleh PDIP untuk menjadi calon walikota dan itu pasti menyingkirkan kader-kader partai yang sudah ada sebelumnya. Menurut Hersu ini memang praktik yang tidak sehat. Pendapat Hersu diiyakan oleh Rocky, “Ya, yang tidak sehat ini kayak lompat aja di situ tiba-tiba jadi seseorang. Juga demikian, dalam partai sendiri pun begitu. Ada tokoh, tapi karena kurang dekat dengan ketua umum, lalu nomor urutnya disingkirkan. Kan banyak kasus seperti itu.” Jadi, begitu sebetulnya, ketidakjujuran di dalam partai dan antar-partai. (ida)