BERITA TERBARU
POLITIK
Oleh Joko Sumpeno | Jurnalis Senior KONFLIK internal Keraton Kasunanan Surakarta dalam sepuluh hari terakhir tampaknya mengerucut pada tiga figur. Mereka adalah Pangeran Purboyo, Gusti Hangabehi dengan gelar KGPAA Mangkubumi, dan KGPA Tejowulan. Ketegangan memuncak setelah terbit surat Menteri Kebudayaan Fadlizon bernomor 10596/MK.L/KB.1003/2025 yang ditujukan kepada Pengageng Sasana Wilopo dan Lembaga Dewan Adat Keraton. Dalam surat tersebut, pemerintah menegaskan bahwa pengelolaan dan kepemimpinan Keraton Surakarta berada di tangan Pakubuwono XIII bersama Maha Menteri KGPA Tejowulan. Untuk urusan suksesi, pemerintah meminta agar musyawarah melibatkan Tejowulan. Surat itu dikirim sebagai respons atas permintaan resmi Lembaga Dewan Adat yang dipimpin GKR Wandansari. Tembusan juga diberikan kepada Menteri Dalam Negeri, Gubernur Jawa Tengah, dan Wali Kota Surakarta. Posisi Tejowulan sebagai pejabat ad interim merujuk pada SK Mendagri Nomor 430-2933 Tahun 2017, yang menetapkannya sebagai pendamping PB XIII sejak 2017. Setelah PB XIII wafat, ia menjalankan fungsi sementara sampai proses penetapan PB XIV diselesaikan. Berdasarkan alasan itu, Tejowulan tidak hadir dalam dua deklarasi penting pada 5 dan 10 November 2025: penobatan Pangeran Purboyo dan pengukuhan Gusti Hangabehi sebagai KGPAA Mangkubumi. Ia meminta seluruh pihak menahan diri dari tindakan penobatan sepihak. Seruan ini tidak diindahkan. Dua penobatan tetap dilakukan dan memperjelas pembelahan internal. Situasi ini memunculkan dugaan bahwa Tejowulan turut memiliki peluang untuk menjadi PB XIV melalui kedudukannya sebagai pejabat sementara. Penolakan terhadap posisi Tejowulan juga mencuat dari kubu Pangeran Purboyo. Pangeran Benowo, adik PB XIII, mempertanyakan legitimasi Tejowulan. “Lho yang didampingi Tejowulan kan sudah meninggal, lalu dia mendampingi siapa?” begitu pandangannya yang beredar di media sosial. Surat Menteri Kebudayaan turut memantik polemik baru karena menyinggung status Keraton Surakarta sebagai cagar budaya. Sebagian kerabat menolak, sebab status cagar budaya dinilai membuat keraton masuk ke dalam kendali pemerintah. Mereka menilai hal itu berpotensi membatasi ruang gerak internal, bahkan untuk urusan sederhana. Pertanyaan lain muncul: mengapa Keraton Yogyakarta tidak diperlakukan sama? Perdebatan semakin melebar ketika Pangeran Purboyo bergerak cepat. Pada 15 November 2025 ia di-jumeneng-kan sebagai PB XIV tanpa kehadiran KGPAA Mangkubumi maupun Tejowulan. Momentum itu mempertegas garis pembelahan yang sudah terbentuk. Di sisi lain, langkah Tejowulan melalui jalur pejabat ad interim menimbulkan pertanyaan tersendiri. Ada dugaan bahwa proses ini tidak sepenuhnya steril dari dinamika politik pemerintah. Namun persoalan utamanya tetap bertumpu pada kegelisahan internal keraton dalam merespons perkembangan zaman. Konflik berkepanjangan ini justru membawa Keraton Surakarta mendekati fase sandyakala, jauh dari peran idealnya sebagai pusat kebudayaan Jawa. (*)
READ MOREHUKUM
BOGOR, FNN | Di lingkungan pemerintahan Kabupaten Bogor, komputer seolah menjadi barang paling penting. Setiap tahun kembali dibeli, spesifikasinya tinggi, dan harganya kerap memancing tanda tanya. Center for Budget Analysis (CBA) menyebut pola itu bukan kebetulan. November 2023, Yunita Mustika Putri dilantik menjadi Sekretaris Dewan DPRD Kabupaten Bogor. Belum lama menduduki posisi itu, menurut CBA, Sekretariat DPRD memborong 45 unit komputer senilai Rp1,1 miliar. Bila dirata-rata, satu unit PC seharga Rp25,7 juta—harga yang dinilai CBA “terlalu mewah” untuk kantor pemerintah daerah. Ketika itu Ketua DPRD dijabat politikus Gerindra, Rudy Susmanto. Keduanya kini kembali disebut karena pola pengadaan yang, menurut CBA, berulang tanpa penjelasan publik yang memadai. Pada 2024, anggaran serupa muncul lagi. Nilai total Rp1,1 miliar lebih, tetapi jumlah unit dan harga satuannya tak dipublikasikan secara transparan. “Itu membuat publik bertanya ada apa dengan pengadaan komputer ini,” kata Direktur Eksekutif CBA, Uchok Sky Khadafi. Jejak anggaran itu terus menempel mengikuti rotasi jabatan. Pada 2025, Yunita mulai bertugas di BKPSDM. Kepindahan itu belum mengubah kebiasaan: BKPSDM tercatat belanja laptop dan tablet PC sebesar Rp567 juta pada November 2025, lalu menambah Rp232 juta untuk perangkat lain berlayar kecil dengan spesifikasi tinggi. CBA menyebut fenomena ini sebagai pola: pengadaan rutin, nilai besar, tetapi urgensi dan spesifikasi teknis tidak pernah dipaparkan jelas. Dalam pandangan Uchok, “Ada potensi pemborosan. Karena itu harus diperiksa aparat penegak hukum.” Desakan ini mempertemukan kembali nama Yunita dan Rudy dalam sorotan publik. CBA meminta Kejaksaan Agung memanggil keduanya untuk menjelaskan keperluan anggaran perangkat itu dan memastikan harga sesuai nilai pasar. CBA mengingatkan, pengadaan teknologi informasi selalu menjadi titik rawan penyimpangan belanja pemerintah. Sementara aparatur dan pelayanan publik di Bogor masih berhadapan dengan keluhan klasik: sistem lemot hingga peralatan berbasis digital yang tak benar-benar dipakai. Hingga laporan ini diturunkan, Yunita Mustika Putri dan Rudy Susmanto belum memberikan respons terbuka atas permintaan klarifikasi dari CBA. Kejaksaan pun belum mengumumkan sikap. Yang jelas, deretan komputer itu kini bukan hanya alat kerja, melainkan juga deretan angka yang menunggu pembuktian: keperluan atau kemewahan? (DH)
READ MOREEKONOMI
Oleh: Noor Fajar Asa | Kader Muhammadiyah DALAM Sidang Paripurna 8 September 2025, mayoritas fraksi DPRD DKI Jakarta menyetujui perubahan status PAM Jaya menjadi Perseroda. Keputusan itu membuka ruang lebih besar bagi logika bisnis dalam pengelolaan air, meski sejak awal air ditempatkan sebagai bagian dari hak asasi manusia. Di tengah posisi strategis Muhammadiyah dalam isu-isu pelayanan publik dan advokasi sosial, organisasinya belum terlihat hadir di ruang perdebatan ini. Hak atas air telah ditegaskan dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Instrumen itu menempatkan negara sebagai penjamin akses air minum yang aman, terjangkau, non-diskriminatif, serta bebas dari gangguan. Hak tersebut juga mencakup partisipasi masyarakat dalam perumusan kebijakan air. Pendekatan itu tidak mengenal ruang bagi komodifikasi yang menempatkan air sebagai barang privat. Karena itu, ketika negara mengalihkan sebagian penguasaan air kepada pihak swasta, timbul pertanyaan tentang kesetiaan pada prinsip hak asasi dan mandat konstitusi. Konstitusi Indonesia menyatakan bahwa bumi, air, dan seluruh kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Ketentuan ini selaras dengan gagasan bahwa air adalah barang publik. Privatisasi menempatkan air dalam relasi pasar dan harga, bukan kebutuhan dasar yang harus dijamin. Jakarta memiliki sejarah panjang privatisasi air. Pada 1997, PAM Jaya menandatangani dua kontrak konsesi: Palyja untuk wilayah barat dan Thames PAM Jaya—yang kemudian menjadi Aetra—untuk wilayah timur. Setelah itu, keluarga miskin kota mengalami hambatan besar dalam mengakses air karena tidak memiliki sertifikat hak milik sebagai syarat sambungan. Mereka akhirnya membeli air dengan harga yang jauh lebih tinggi daripada tarif resmi. Kebijakan yang semula diklaim akan meningkatkan efisiensi berubah menjadi praktik eksklusi sistemik. Dampak privatisasi itu dapat dirasakan bahkan pada lingkungan yang dekat dengan jejaring Muhammadiyah. Warga yang menuju Kampus UHAMKA Pasar Rebo dari arah Kramat Jati akan melewati Gudang Air Pasar Rebo—penampungan air yang mulai beroperasi pada 1922. Bangunan bersejarah itu kini berada dalam pengelolaan Aetra. Lokasi tersebut menjadi pengingat bahwa infrastruktur air di Jakarta dibangun dengan orientasi pelayanan publik sejak era Batavia, sebelum berubah bentuk dalam skema kemitraan yang membuat banyak warga kesulitan mendapatkan air dengan harga wajar. Persetujuan DPRD DKI atas perubahan badan hukum PAM Jaya menjadi Perseroda, langsung mengarah pada kebijakan. Perseroda membuka kemungkinan ekspansi skema bisnis, dan bagi sebagian kalangan, keputusan itu menunjukkan abainya wakil rakyat terhadap penolakan publik yang telah disuarakan sejak lama. Pada momen ini, absennya suara ormas-ormas Islam—termasuk Muhammadiyah—menjadi tanda tanya. Muhammadiyah memiliki tradisi kuat dalam isu sosial kemasyarakatan. Organisasi ini mengelola sekolah, rumah sakit, dan kampus yang hadir untuk publik tanpa menempatkan pelayanan dasar sebagai komoditas. Karena itu, sikapnya terhadap privatisasi air memiliki bobot moral dan politik yang besar. Diamnya organisasi sebesar Muhammadiyah membuat ruang diskusi publik kehilangan salah satu penopang penting. Privatisasi air bukan isu teknis. Ia bersentuhan dengan hak hidup warga, terutama mereka yang paling rentan. Ketika air semakin tunduk pada logika pasar, risiko eksklusi kembali mengemuka. Jakarta telah mengalami itu sejak 1997, dan sejarah tersebut seharusnya menjadi rambu peringatan. Debat tentang air hari ini adalah debat tentang peran negara dalam memenuhi hak warganya. Muhammadiyah, dengan jejaring dan basis moralnya, memiliki posisi untuk turut mengarahkan diskusi. Publik menunggu apakah organisasi ini akan kembali hadir sebagai penyambung suara kelompok yang terdampak dan sebagai penegas bahwa air adalah hak, bukan komoditas. (*)
READ MORENASIONAL
JAKARTA, FNN | Sekretariat Daerah (Setda) Kota Tangerang, Banten dalam tiga tahun terakhir, tercatat rutin membeli perangkat komputer dan laptop dengan nilai anggaran yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Center for Budget Analysis (CBA) menilai pola belanja tersebut janggal dan berpotensi menimbulkan kecurigaan adanya praktik pemborosan hingga dugaan mark up. Misalnya saja, pada Desember 2023, Setda Kota Tangerang menggelontorkan anggaran sebesar Rp132 juta untuk pengadaan tablet android. Kemudian pada tahun berikutnya, tepatnya November 2024, dilakukan dua kali pengadaan laptop/komputer dengan nilai cukup besar. Pertama, belanja Rp112 juta untuk pengadaan laptop atau komputer. Kedua, pengadaan serupa melalui Anggaran Biaya Tambahan (ABT) dengan nilai Rp273,6 juta untuk 16 unit laptop. Direktur Eksekutif CBA, Uchok Sky Khadafi, mengungkapkan belanja tahun 2025 bahkan jauh lebih fantastis dibanding dua tahun sebelumnya. Menurutnya, Setda Kota Tangerang pada tahun ini menghabiskan anggaran hingga Rp560.057.200 hanya untuk kembali memborong laptop. “Setiap tahun beli laptop itu mubazir. Ini justru menimbulkan kecurigaan masyarakat Kota Tangerang terhadap Walikota Drs. H. H. Sachrudin,” tegas Uchok Sky, di Jakarta, Selasa (18/11/2025). Atas indikasi pola belanja berulang dan tidak wajar tersebut, CBA mendesak Kejaksaan Agung (Kejagung) untuk melakukan penyelidikan terhadap Setda Kota Tangerang. Uchok meminta agar auditor negara dilibatkan guna menelusuri siapa saja penerima perangkat, memastikan tidak ada mark up, serta mengecek apakah barang yang dibeli benar-benar ada atau hanya fiktif. “Kejagung harus menggandeng auditor negara untuk melihat siapa saja yang mendapat laptop, menelusuri dugaan mark up, dan memastikan laptop yang dibeli benar-benar ada, bukan fiktif,” tutup Uchok Sky.
READ MOREINTERNASIONAL
Oleh Aaat Surya Safaat/Wartawan Senior Forum News Network (FNN)- Setelah melakukan kunjungan singkat ke Jepang, Presiden Prabowo Subianto tiba di New York Amerika Serikat pada 21 September 2025 untuk menghadiri Sidang Tahunan Majelis Umum ke-80 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Kehadiran Presiden Prabowo di Markas Besar PBB tersebut menjadi momen “historis”. Pasalnya, sudah lebih dari sepuluh tahun Presiden Republik Indonesia absen di forum internasional itu. Presiden Prabowo mendapat kehormatan untuk berbicara sebagai pembicara ketiga. Setelah Presiden Brasil Luiz Inácio Lula da Silva dan Presiden Amerika Serikat Donald Trump pada 23 September 2025. Sidang ke-80 Majelis Umum PBB 2025 kali ini dengan tema “Better together: 80 years and more for peace, development, and human rights”. Sidang yang memang digelar secara tahunan oleh Majelis Umum PBB (UN General Assembly) yang merupakan salah satu utama PBB. Sejak dilantik sebagai Presiden Republik Indonesia pada 20 Oktober 2024, Presiden Prabowo nampaknya segera menghidupkan kembali peran Indonesia di panggung Internasional. Semangat lama yang pernah membawa Indonesia disegani di panggung dunia dengan berpegang pada prinsip-prinsip politik luar negeri yang bebas aktif. Doktrin politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif dipegang secara konsisten. Politik Bebas Akrif yang dipilih Indonesia itu, kini diyakini telah hadir kembali dalam bentuk yang berbeda di era kepemimpinan Presiden Prabowo. Tidak dapat dipungkiri, kehadiran Presiden Prabowo di Majelis Umum PBB dan di berbagai ajang internasional lain, serta kunjungan kenegaraan ke berbagai negara sahabat memberi kesan bahwa pemerintahannya disambut baik dunia internasional. Dalam waktu yang relatif singkat, arah diplomasi luar negeri Indonesia berubah wajah. Dari pendekatan yang cenderung pasif dan reaktif, menjadi aktif, aspiratif. Sekaligus lebih tegas dengan tetap berkomitmen menerapkan politik luar negeri bebas aktif. Politik luar negeri itu sendiri adalah komponen dari kebijakan politik nasional yang ditujukan ke luar. Dengan kata lain, politik luar negeri merupakan pencerminan dari kepentingan nasional yang ditujukan ke luar. Juga merupakan bagian dari keseluruhan kebijakan untuk mencapai tujuan-tujuan nasional. Secara historis, politik luar negeri bebas-aktif merupakan pengejawantahan dari buah pemikiran Bung Hatta yang terangkum dalam karya legendarisnya dengan judul “Mendayung di antara dua karang”. Secara harfiah memiliki makna dasar sebagai suatu kondisi bebas dan tidak terikat. Namun tetap bersikap aktif dalam konteks hubungan antar-bangsa, baik di tingkat regional maupun internasional. Tantangan yang dihadapi Presiden Prabowo dalam menjalankan politik luar negeri bebas aktif cukup berat. Namun Prabowo memiliki kemampuan untuk memperbesar kontribusi dan kepemimpinan Indonesia dalam forum internasional, Presiden memiliki keterampilan dalam bernegosiasi serta mempunyai jaringan luas di dunia internasional. Presiden Prabowo memposisikan Indonesia secara nyata sebagai salah satu pemain kunci dalam arena global. Peran yang sesuai dengan visinya untuk mengembalikan peran aktif Indonesia di fora internasional. Prabowo menegaskan, Indonesia tidak akan sekadar menjadi “penonton”. Indonesia akan berperan sebagai salah satu penentu dalam menjaga perdamaian, baik di tingkat regional maupun global. Prabowo berperan sebagai “Komandan Diplomasi Indonesia” yang tidak hanya aktif di berbagai forum internasional. Lebih dari itu, berkomitmen mengejar perintah Konstitusi. Harus menghapuskan segala bentuk penjajahan di atas dunia, terutama dengan memberikan dukungan penuh bagi kemerdekaan Palestina. Prabowo dikenal memiliki jaringan luas di kancah internasional. Sebagai putera dari ahli ekonomi terkemuka, Prof. Dr. Soemitro Djojohadikusumo (almarhum), Prabowo pernah menempuh pendidikan di Sekolah Para Komando Fort Bragg, Amerika Serikat, dengan prestasi terbaik di antara mahasiswa asing, bersama Raja Yordania Abdullah II. Setelah pensiun dari dinas militer, Prabowo menghabiskan waktu di Yordania dan beberapa negara Eropa sebelum kembali ke Indonesia untuk berkecimpung di dunia bisnis, mengikuti jejak adiknya, Hashim Djojohadikusumo, seorang konglomerat, dan kemudian terjun ke dunia politik sebagai Ketua Umum Partai Gerindra. Keahlian dalam berkomunikasi dan jaringan internasional yang dimiliki Prabowo, seperti yang terlihat saat menjabat sebagai Menteri Pertahanan merupakan keuntungan besar bagi Indonesia. Apalagi saat ini Prabowo didukung oleh Menteri Luar Negeri Sugiono yang diyakini memiliki pemahaman yang baik tentang diplomasi dan prinsip politik luar negeri bebas-aktif. Kementerian Luar Negeri di bawah kepemimpinan Menlu Sugiono juga secara jelas menunjukkan keseriusannya dalam perlindungan WNI di luar negeri. Presiden Prabowo juga tampaknya ingin membangun citra di dunia internasional bahwa Indonesia peduli dengan masalah-masalah global. Aktif berupaya ikut menanganinya. Namun situasi internasional yang kompleks dan masalah ekonomi domestik yang tidak ringan menjadi tantangan serius bagi Prabowo ke depan. Presiden Prabowo dituntut untuk terus menjalankan politik luar negeri bebas-aktif secara konsisten. melakukan diplomasi yang fleksibel tanpa mengabaikan kepentingan nasional Indonesia. Salah satu fokus kebijakan luar negeri Indonesia yang krusial ke depan adalah keberlanjutan diplomasi Indonesia dengan dua raksasa ekonomi, yakni China dan Amerika Serikat. Meski kondisi AS dan China masih terlibat perang dagang, Indonesia tidak boleh timpang dengan memprioritaskan satu negara saja. Politik luar negeri Indonesia harus diwujudkan dalam kebijakan yang terus menjaga hubungan baik dengan semua pihak. Terutama tetap menjalin hubungan baik dengan China sebagai negara besar di Asia dan AS sebagai negara adidaya di dunia. Termasuk tentu dengan negara-negara sahabat di lingkungan Perhimpunan Negara-negara Asia Tenggara (ASEAN). Kehadiran Presiden Prabowo di Majelis Umum PBB September 2025 ini merupakan langkah strategis untuk menguatkan posisi Indonesia di kancah global. Selain itu, penguatan sistem pertahanan dengan kenaikan anggaran setiap tahun perlu menjadi salah satu kebijakan yang harus diambil Presiden Prabowo. Disamping terus membangun kedaulatan maritim yang tangguh agar angkatan bersenjata Indonesia selalu siap siaga dan disegani negara-negara lain. Kiranya tepat adagium atau lebih tepatnya peribahasa Latin yang menyatakan, “Si vis pacem para bellum” . Artinya \"jika mendambakan perdamaian, bersiap-siaplah menghadapi perang\". Penulis adalah Kepala Biro Kantor Berita ANTARA di New York tahun 1993-1998 dan Direktur Pemberitaan ANTARA tahun 2016. Saat ini Mendapat Amanah Sebagai Direktur Uji Kompetensi Wartawan (UKW) PWI.
READ MOREDAERAH
BOGOR, FNN | Di lingkungan pemerintahan Kabupaten Bogor, komputer seolah menjadi barang paling penting. Setiap tahun kembali dibeli, spesifikasinya tinggi, dan harganya kerap memancing tanda tanya. Center for Budget Analysis (CBA) menyebut pola itu bukan kebetulan. November 2023, Yunita Mustika Putri dilantik menjadi Sekretaris Dewan DPRD Kabupaten Bogor. Belum lama menduduki posisi itu, menurut CBA, Sekretariat DPRD memborong 45 unit komputer senilai Rp1,1 miliar. Bila dirata-rata, satu unit PC seharga Rp25,7 juta—harga yang dinilai CBA “terlalu mewah” untuk kantor pemerintah daerah. Ketika itu Ketua DPRD dijabat politikus Gerindra, Rudy Susmanto. Keduanya kini kembali disebut karena pola pengadaan yang, menurut CBA, berulang tanpa penjelasan publik yang memadai. Pada 2024, anggaran serupa muncul lagi. Nilai total Rp1,1 miliar lebih, tetapi jumlah unit dan harga satuannya tak dipublikasikan secara transparan. “Itu membuat publik bertanya ada apa dengan pengadaan komputer ini,” kata Direktur Eksekutif CBA, Uchok Sky Khadafi. Jejak anggaran itu terus menempel mengikuti rotasi jabatan. Pada 2025, Yunita mulai bertugas di BKPSDM. Kepindahan itu belum mengubah kebiasaan: BKPSDM tercatat belanja laptop dan tablet PC sebesar Rp567 juta pada November 2025, lalu menambah Rp232 juta untuk perangkat lain berlayar kecil dengan spesifikasi tinggi. CBA menyebut fenomena ini sebagai pola: pengadaan rutin, nilai besar, tetapi urgensi dan spesifikasi teknis tidak pernah dipaparkan jelas. Dalam pandangan Uchok, “Ada potensi pemborosan. Karena itu harus diperiksa aparat penegak hukum.” Desakan ini mempertemukan kembali nama Yunita dan Rudy dalam sorotan publik. CBA meminta Kejaksaan Agung memanggil keduanya untuk menjelaskan keperluan anggaran perangkat itu dan memastikan harga sesuai nilai pasar. CBA mengingatkan, pengadaan teknologi informasi selalu menjadi titik rawan penyimpangan belanja pemerintah. Sementara aparatur dan pelayanan publik di Bogor masih berhadapan dengan keluhan klasik: sistem lemot hingga peralatan berbasis digital yang tak benar-benar dipakai. Hingga laporan ini diturunkan, Yunita Mustika Putri dan Rudy Susmanto belum memberikan respons terbuka atas permintaan klarifikasi dari CBA. Kejaksaan pun belum mengumumkan sikap. Yang jelas, deretan komputer itu kini bukan hanya alat kerja, melainkan juga deretan angka yang menunggu pembuktian: keperluan atau kemewahan? (DH)
READ MORELINGKUNGAN
OPINI
Pemerintah dan DPR Sudah Tak Bisa Dipercaya, Rakyat Harus Bergerak Adili Jokowi dan Makzulkan Gibran
Oleh Sholihin MS | Pemerhati Sosial dan Politik Suhu politik Indonesia semakin tidak menentu, suram, dan sangat mengkhawatirkan. Prabowo selaku Presiden tidak mampu mengendalikan situasi sama sekali. Pihak kepolisian pun sepertinya lebih suka jadi herder pengawal Jokowi. Jokowi yang seluruh hidupnya penuh kejahatan dan ingin menghancurkan Indonesia justru terus dibiarkan mengendalikan negara. Seluruh kejahatan Jokowi yang sudah sangat keterlaluan belum bisa tersentuh hukum sama sekali. Berbagai kejahatan Jokowi bukan perkara remeh temeh, tapi termasuk kaliber kelas berat. Mulai dari kejahatan ijazah palsu, korupsi ribuan triliun, pembantaian 6 laskar FPI, pembunuhan 894 petugas KPPS, diduga sebagai aktor pembunuhan para ulama, ustadz dan pejuang kebenaran dan keadilan, kehancuran seluruh tatanan bernegara, rusaknya seluruh aturan hukum dan undang-undang, hancurnya moral seluruh pejabat negara baik yang di eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, bangkitnya ideologi komunis melalui gerakan komunis gaya baru, dan hukum di Indonesia yang sudah menjadi alat penguasa. Negara dalam keadaan porak poranda, tapi para elit pejabat negara sibuk dengan urusan bisnis dan mengeruk kekayaan demi keuntungan dan menyelamatkan diri sendiri, tidak ada niat dan tekad untuk menyelamatkan bangsa dan negara. DPR saat ini hanya berisi gerombolan pecundang yang tidak punya jiwa juang untuk membeka bangsa dan negara. Mereka sangat takut dengan para bajingan pengkhianat negara yang terus menggarong uang rakyat dan negara, baik dari kelompok Jokowi maupun oligarki taipan. Para penegak hukum saat ini pun tersandera dengan kekuatan Jokowi, mungkin karena sudah terlibat dengan berbagai korupsi atau dikendalikan para taipan. Mereka sudah tidak punya nyali untuk menegakkan hukum secara jujur, adil dan tidak pandang bulu. Di Pemerintahan pun tidak kurang loyonya. Prabowo tidak bisa bertindak tegas, bisanya cuma omon-omon. Taring (macan) Prabowo sudah hampir rontok semua, sekarang (macannya) bisanya cuma mengaum untuk menakut-nakuti, tapi sudah tidak bisa menggigit apalagi mencengkeram. Negara tanpa cahaya dan harapan. Rakyat harus bangkit melawan kedzaliman dan ketidakadilan. Jangan sampai kekuasaan jatuh ke tangab manusia idiot, otak kosong yang selalu Palanga plongo, tidak kompeten, jangankan untuk mengelola negara, bicara pun selalu gagap. Relakah negara kita yang sangat besar ini akan dipimpin manusia idiot tanpa lulus SMA sekalipun? Rakyat bersatu negara bakal terselamatkan! Bergeraklah!!! Bandung, 25 J. Awwal 1447.
Korupsi di Era Kini: Demokrasi yang Disandera Oligarki
Reformasi menjanjikan keterbukaan dan akuntabilitas, tapi dua dekade setelahnya, korupsi justru menjelma lebih cair dan sistemik. Dari pusat hingga daerah, dari parlemen hingga BUMN, praktik rasuah kini menjalar dalam tubuh demokrasi. Ketika uang menjadi bahasa kekuasaan, moral bangsa perlahan digadaikan. Oleh: Miftah H. Yusufpati | Pemimpin Umum FNN KETIKA Mahfud MD menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan sempat berujar bahwa korupsi di era sekarang “lebih meluas dan masif dibandingkan masa Orde Baru”. Sejatinya, lewat pernyataan itu, Mahfud sedang menyingkap paradoks besar demokrasi Indonesia. Reformasi 1998 yang menjanjikan keterbukaan, akuntabilitas, dan supremasi hukum, justru melahirkan bentuk baru korupsi yang lebih kompleks: bukan lagi sentralistik, melainkan terdistribusi dalam jaringan kekuasaan yang cair—menyebar dari pusat hingga daerah, dari legislatif hingga lembaga korporasi pelat merah. Pada masa Orde Baru, seperti dicatat Robert Cribb dalam The Indonesian Killings (2001) dan Harold Crouch dalam The Army and Politics in Indonesia (1988), korupsi terkonsentrasi di lingkar kekuasaan militer-birokrasi yang terkoordinasi. Korupsi adalah “kebijakan negara yang tak tertulis,” diatur dan dikontrol oleh elite pusat untuk menjaga stabilitas politik. Namun, setelah reformasi, ketika sistem politik menjadi lebih demokratis dan desentralisasi diberlakukan melalui UU No. 22/1999, peluang korupsi justru berlipat. Sebagaimana diungkapkan Edward Aspinall dan Greg Fealy dalam Local Power and Politics in Indonesia: Decentralisation and Democratisation (2003), desentralisasi memperbanyak “titik bocor” baru. Korupsi tak lagi milik pejabat pusat, tapi juga kepala daerah, anggota DPRD, dan elite lokal yang kini memegang kendali anggaran. Akibatnya, seperti dikatakan Mahfud, korupsi “bisa dilakukan bahkan sebelum anggaran disahkan.” Klasemen Liga Korupsi Indonesia: Sebuah Potret Ironi Hingga 2025, Indonesia seakan memiliki “liga” sendiri—Klasemen Liga Korupsi Indonesia. Di puncaknya, kasus Pertamina dengan dugaan kerugian Rp968,5 triliun, disusul PT Timah Rp300 triliun, dan BLBI Rp138 triliun. Jika dijumlahkan, seluruh kasus besar ini menembus Rp1.588 triliun—angka yang nyaris tak terbayangkan. Menurut Transparency International (Corruption Perception Index 2024), skor Indonesia turun menjadi 34/100, peringkat 115 dunia, menandakan memburuknya persepsi publik terhadap integritas birokrasi. Angka ini selaras dengan data Indonesia Corruption Watch (ICW) yang mencatat lebih dari 700 kasus korupsi sepanjang 2023 dengan kerugian negara mencapai Rp120 triliun. Namun kini, korupsi bukan lagi sekadar pencurian uang negara, melainkan sistem yang menopang patronase politik. Seperti dijelaskan Vedi R. Hadiz dalam Localising Power in Post-Authoritarian Indonesia (2010), oligarki ekonomi dan politik yang dulu bersembunyi di balik kekuasaan Soeharto kini bertransformasi melalui partai politik dan bisnis negara. Mereka menggunakan mekanisme demokrasi—pemilu, tender, APBN—sebagai instrumen untuk menyalurkan rente kekuasaan. Demokrasi Tanpa Etika: Korupsi sebagai Kultur Samuel Huntington dalam Political Order in Changing Societies (1968) pernah mengingatkan bahwa korupsi sering tumbuh subur dalam masa transisi politik. Ketika lembaga demokrasi belum mapan, tetapi akses kekuasaan terbuka, korupsi menjadi pelumas sistem. Inilah yang terjadi di Indonesia. Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsuddin Haris (2015) menyebut fenomena ini sebagai “korupsi elektoral”: praktik uang politik, jual-beli proyek, dan politik balas jasa yang dilembagakan. Partai membutuhkan biaya besar untuk memenangkan pemilu, pejabat membayar “mahar politik” untuk mencalonkan diri, dan kompensasinya dibayar melalui proyek negara. Maka, korupsi bukan lagi penyimpangan, tetapi bagian dari “rantai ekosistem kekuasaan.” Jika dikonversi, Rp1.588 triliun cukup untuk membiayai seluruh pendidikan dasar hingga perguruan tinggi bagi 52 juta anak Indonesia selama satu dekade, seperti dihitung dalam World Bank Education Report (2022). Atau, bisa memberi layanan kesehatan BPJS gratis bagi seluruh warga selama 11 tahun. Namun uang itu lenyap dalam pusaran kerakusan. Sebagaimana dikatakan Mahfud MD, “Dulu uangnya tersedia baru dikorupsi. Sekarang, uangnya belum ada, sudah dikorupsi.” Pernyataan ini menggambarkan transformasi moral bangsa yang kian tergerus: dari korupsi yang bersifat administratif menjadi korupsi yang bersifat imajiner—mencuri bahkan dari anggaran yang belum lahir. Menuju Etika Publik Baru Upaya pemberantasan korupsi tidak cukup dengan regulasi. Seperti dikemukakan oleh Robert Klitgaard dalam Controlling Corruption (1988), korupsi adalah hasil dari “monopoli kekuasaan + diskresi tanpa akuntabilitas – transparansi.” Karena itu, solusinya harus struktural dan kultural sekaligus. Pertama, sistem politik perlu direformasi agar pembiayaan partai lebih transparan. Kedua, penguatan *whistleblower protection* harus diprioritaskan agar pelapor kasus korupsi tidak dibungkam. Ketiga, reformasi birokrasi digital perlu dijalankan secara menyeluruh untuk meminimalkan kontak langsung antara pejabat dan pengusaha. Namun lebih dari itu, bangsa ini membutuhkan moral recovery—pemulihan etika publik yang berpijak pada kesadaran bahwa setiap rupiah dari pajak rakyat adalah darah kehidupan bangsa. Dalam kerangka itulah, gagasan Corruption as a Human Rights Violation (UNCAC, 2019) menjadi relevan: korupsi bukan sekadar kejahatan keuangan, melainkan pelanggaran terhadap hak-hak sosial rakyat miskin yang dirampas masa depannya. Indonesia hari ini bukanlah negara miskin, tetapi negara yang “dimiskinkan.” Demokrasi yang semestinya menjadi pagar moral kini berubah menjadi panggung transaksi. Bila uang rakyat terus dijadikan bahan bakar kekuasaan, bukan pembangunan, maka pernyataan Mahfud MD hanyalah epitaf: bahwa reformasi telah gagal menyehatkan moral bangsa. Korupsi bukan lagi soal siapa yang mencuri, tetapi soal siapa yang diam. Dan selama diam dianggap aman, maka 1,6 kuadriliun rupiah berikutnya hanyalah soal waktu. (*)
Presiden Prabowo Kembalikan Marwah Indonesia di Fora Internasional
Oleh Aaat Surya Safaat/Wartawan Senior Forum News Network (FNN)- Setelah melakukan kunjungan singkat ke Jepang, Presiden Prabowo Subianto tiba di New York Amerika Serikat pada 21 September 2025 untuk menghadiri Sidang Tahunan Majelis Umum ke-80 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Kehadiran Presiden Prabowo di Markas Besar PBB tersebut menjadi momen “historis”. Pasalnya, sudah lebih dari sepuluh tahun Presiden Republik Indonesia absen di forum internasional itu. Presiden Prabowo mendapat kehormatan untuk berbicara sebagai pembicara ketiga. Setelah Presiden Brasil Luiz Inácio Lula da Silva dan Presiden Amerika Serikat Donald Trump pada 23 September 2025. Sidang ke-80 Majelis Umum PBB 2025 kali ini dengan tema “Better together: 80 years and more for peace, development, and human rights”. Sidang yang memang digelar secara tahunan oleh Majelis Umum PBB (UN General Assembly) yang merupakan salah satu utama PBB. Sejak dilantik sebagai Presiden Republik Indonesia pada 20 Oktober 2024, Presiden Prabowo nampaknya segera menghidupkan kembali peran Indonesia di panggung Internasional. Semangat lama yang pernah membawa Indonesia disegani di panggung dunia dengan berpegang pada prinsip-prinsip politik luar negeri yang bebas aktif. Doktrin politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif dipegang secara konsisten. Politik Bebas Akrif yang dipilih Indonesia itu, kini diyakini telah hadir kembali dalam bentuk yang berbeda di era kepemimpinan Presiden Prabowo. Tidak dapat dipungkiri, kehadiran Presiden Prabowo di Majelis Umum PBB dan di berbagai ajang internasional lain, serta kunjungan kenegaraan ke berbagai negara sahabat memberi kesan bahwa pemerintahannya disambut baik dunia internasional. Dalam waktu yang relatif singkat, arah diplomasi luar negeri Indonesia berubah wajah. Dari pendekatan yang cenderung pasif dan reaktif, menjadi aktif, aspiratif. Sekaligus lebih tegas dengan tetap berkomitmen menerapkan politik luar negeri bebas aktif. Politik luar negeri itu sendiri adalah komponen dari kebijakan politik nasional yang ditujukan ke luar. Dengan kata lain, politik luar negeri merupakan pencerminan dari kepentingan nasional yang ditujukan ke luar. Juga merupakan bagian dari keseluruhan kebijakan untuk mencapai tujuan-tujuan nasional. Secara historis, politik luar negeri bebas-aktif merupakan pengejawantahan dari buah pemikiran Bung Hatta yang terangkum dalam karya legendarisnya dengan judul “Mendayung di antara dua karang”. Secara harfiah memiliki makna dasar sebagai suatu kondisi bebas dan tidak terikat. Namun tetap bersikap aktif dalam konteks hubungan antar-bangsa, baik di tingkat regional maupun internasional. Tantangan yang dihadapi Presiden Prabowo dalam menjalankan politik luar negeri bebas aktif cukup berat. Namun Prabowo memiliki kemampuan untuk memperbesar kontribusi dan kepemimpinan Indonesia dalam forum internasional, Presiden memiliki keterampilan dalam bernegosiasi serta mempunyai jaringan luas di dunia internasional. Presiden Prabowo memposisikan Indonesia secara nyata sebagai salah satu pemain kunci dalam arena global. Peran yang sesuai dengan visinya untuk mengembalikan peran aktif Indonesia di fora internasional. Prabowo menegaskan, Indonesia tidak akan sekadar menjadi “penonton”. Indonesia akan berperan sebagai salah satu penentu dalam menjaga perdamaian, baik di tingkat regional maupun global. Prabowo berperan sebagai “Komandan Diplomasi Indonesia” yang tidak hanya aktif di berbagai forum internasional. Lebih dari itu, berkomitmen mengejar perintah Konstitusi. Harus menghapuskan segala bentuk penjajahan di atas dunia, terutama dengan memberikan dukungan penuh bagi kemerdekaan Palestina. Prabowo dikenal memiliki jaringan luas di kancah internasional. Sebagai putera dari ahli ekonomi terkemuka, Prof. Dr. Soemitro Djojohadikusumo (almarhum), Prabowo pernah menempuh pendidikan di Sekolah Para Komando Fort Bragg, Amerika Serikat, dengan prestasi terbaik di antara mahasiswa asing, bersama Raja Yordania Abdullah II. Setelah pensiun dari dinas militer, Prabowo menghabiskan waktu di Yordania dan beberapa negara Eropa sebelum kembali ke Indonesia untuk berkecimpung di dunia bisnis, mengikuti jejak adiknya, Hashim Djojohadikusumo, seorang konglomerat, dan kemudian terjun ke dunia politik sebagai Ketua Umum Partai Gerindra. Keahlian dalam berkomunikasi dan jaringan internasional yang dimiliki Prabowo, seperti yang terlihat saat menjabat sebagai Menteri Pertahanan merupakan keuntungan besar bagi Indonesia. Apalagi saat ini Prabowo didukung oleh Menteri Luar Negeri Sugiono yang diyakini memiliki pemahaman yang baik tentang diplomasi dan prinsip politik luar negeri bebas-aktif. Kementerian Luar Negeri di bawah kepemimpinan Menlu Sugiono juga secara jelas menunjukkan keseriusannya dalam perlindungan WNI di luar negeri. Presiden Prabowo juga tampaknya ingin membangun citra di dunia internasional bahwa Indonesia peduli dengan masalah-masalah global. Aktif berupaya ikut menanganinya. Namun situasi internasional yang kompleks dan masalah ekonomi domestik yang tidak ringan menjadi tantangan serius bagi Prabowo ke depan. Presiden Prabowo dituntut untuk terus menjalankan politik luar negeri bebas-aktif secara konsisten. melakukan diplomasi yang fleksibel tanpa mengabaikan kepentingan nasional Indonesia. Salah satu fokus kebijakan luar negeri Indonesia yang krusial ke depan adalah keberlanjutan diplomasi Indonesia dengan dua raksasa ekonomi, yakni China dan Amerika Serikat. Meski kondisi AS dan China masih terlibat perang dagang, Indonesia tidak boleh timpang dengan memprioritaskan satu negara saja. Politik luar negeri Indonesia harus diwujudkan dalam kebijakan yang terus menjaga hubungan baik dengan semua pihak. Terutama tetap menjalin hubungan baik dengan China sebagai negara besar di Asia dan AS sebagai negara adidaya di dunia. Termasuk tentu dengan negara-negara sahabat di lingkungan Perhimpunan Negara-negara Asia Tenggara (ASEAN). Kehadiran Presiden Prabowo di Majelis Umum PBB September 2025 ini merupakan langkah strategis untuk menguatkan posisi Indonesia di kancah global. Selain itu, penguatan sistem pertahanan dengan kenaikan anggaran setiap tahun perlu menjadi salah satu kebijakan yang harus diambil Presiden Prabowo. Disamping terus membangun kedaulatan maritim yang tangguh agar angkatan bersenjata Indonesia selalu siap siaga dan disegani negara-negara lain. Kiranya tepat adagium atau lebih tepatnya peribahasa Latin yang menyatakan, “Si vis pacem para bellum” . Artinya \"jika mendambakan perdamaian, bersiap-siaplah menghadapi perang\". Penulis adalah Kepala Biro Kantor Berita ANTARA di New York tahun 1993-1998 dan Direktur Pemberitaan ANTARA tahun 2016. Saat ini Mendapat Amanah Sebagai Direktur Uji Kompetensi Wartawan (UKW) PWI.
Kopdes, Kepentingan Poliitik atau Memberdayakan Ekonomi Desa?
by Dr. Agung Sudjatmiko/Ketua Harian Dekopin RI dan Mantan Ketua Koperasi Pemuda Indonesia MENARIK menyimak tulusan Bung Syahganda Nainggolan tentang \"diplomasi sayur lodeh\", maka bersama ini saya memberikan tanggapan sebagai berikut. Bahwa Indonesia butuh pemimpin negarawan yang berintegritas, komit, bersih dan jujur. Mempunyai akal sehat yang waras untuk menyelesaikan semua masalah kebangsaan di atas nasionalisme dan kepentingan rakyat. Ukurannya dibuat sederhana saja. Dimana semua kebijakan memberikan kejelasan dan kemudahan lapangan kerja. Harga sembilan bahan pokok (sembako) yang terjangkau. Ketersediaan pangan. Adanya ketersediaan sandang dan papan bagi semua rakyat pada golongan kelas sosial ekonominya masing-masing. Eksistensi sejati peran pemerintah adalah membuat akses ekonomi, sosial, politik yang adil dan merata. Kelas sosial ekonomi di masyarakat, baik yang miskin maupun kaya tersenyum bahagia. Tersenyum karena adanya kebijakan dan akses pembangunan pemerintah di segala bidang. Empat bulan pemerintahan Probowo belum ada kebijakan fundamental yang dirasakan positif oleh rakyat. Label omon-omon menjadi olok-olokan pengamat dan orang-orang berpendidikan. Saat ini yang terjadi adalah antitesa terhadap janji presiden. Pajak naik, bahkan semua dipajaki. Sekolah masih bayar, dan kurs rupiah tidak terkendali. Kelas menengah turun, Pemutusasn Hubungan Kerja (PHK) terjadi dimana-mana. Pertumbuhan ekonomi stagnan. Akses usaha hanya untuk golongan tertentu saja. Masih banyak pekerjaan rumah janji presiden yang tak terwujud. Intinya masih banyak kebijakan pemerintah yang amburadul dan tidak berpihak ke rakyat. Kopdes, Alaah Mak Menyoal Koperasi Pedesaan (Kopdes), oleh kaum gemoy disanjung. Namun bagi saya yg sejak mahasiswa menggeluti koperasi ini antitesa karena presiden menjalankan paradoks dalam bukunya bukan menjalankan transformasi bangsa. Kenapa saya membuat label tersebut? Pertama, karena tidak ada konsep dan sejarah dunia dan nasional koperasi sukses di bangun dengan pendekatan top down. Koperasi gerakan sejati dari kepentingan dan kebutuhan rakyat anggota yang mendirikan. Koperasi gerakan sosial, ekonomi dan budaya. Bukan kepentingan konsolidasi sosial politik untuk kepentingan elektabilitas dan mempertahankan kekuasaan. Kedua, banyak fakta dan sejarah kegagalan koperasi yg dibentuk secara top down secara nasional, provinsi dan kabupaten-kota. Fakta yang menghamburkan dana triliunan rupiah dengan tingkat keberhasilan persentase kecil sekali. Program Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM), Koperasi Unit Desa (KUD), Koptan, BUMP, Bumdes, Kopwan di Jawa Timur, Koperasi RT/RW di beberapa Kabupaten-Kota yang kurang berhasil. Keberhasilanya tidak sebanding dengan uang negara yang di gelontorkan. Apakah ini akan diulangi lagi? Jangan sampai pendekar ekonomi pro rakyat seorang nasionalis presiden Prabowo mengulangi kesalahan yg sama. Bakal dicatat dalam sejarah seperti keledai yang terantuk batu berkali-kali. Ketiga, pertanyaannya adalah kanapa yang dibangun kekuatan itu dari kelembagaan yang sudah ada dan sudah sukses untuk implementasi program hilirisasi industri? Bukan kedaulatan pangan dan pemberdayaan ekonimi rakyat di pedesaan dan kelompok marginal? Jika program ini yang dipilih akan lebih cepat hasil jadinya, produktivitasnya, konsolidasi institusi dan budaya komunitas sudah terbentuk. Presiden masih punya waktu untuk melakukan perubahan kebijakan mengurungkan Kopdes Merah Puti. Memperkuat saja kelembagaan di pedesaan yang sudah ada. Lakukan pendekatan yang lebih intensif untuk mendampingi rakyat agar bisa berdikari secara ekonomi, social dan budaya. Catatan atas tulisan Bang Ganda ini untuk dibincangkan dalam perdebatan wacana. Perdebatan dalam merumuskan model pemberdayaan sosial ekonomi yang lebih menjamin keberhasilan. Tetapi kalau pemerintah tiddk mau menerima masukan ini karena gengsi birokratik politik, maka bangsa ini masuk kategori bangsa yang tidak demokratis. Bangsa yang pemimpinnya sok pintar dan paling hebat.
EDITORIAL
POLRI berdiri di simpang jalan sejarah. Mandat konstitusional untuk melindungi dan mengayomi rakyat kini terancam oleh budaya lama yang menutup diri, impunitas, serta orientasi kekuasaan. Reformasi kepolisian yang digulirkan sejak dua dekade lalu belum juga menyentuh akar persoalan. Yang muncul baru reformasi prosedural, bukan kultural. Kini saatnya langkah berani diambil: potong satu generasi untuk menyelamatkan masa depan Polri. Makna “memotong satu generasi” bukanlah ajakan untuk membinasakan, melainkan membersihkan. Generasi lama yang masih terjebak dalam pola pikir feodal dan militeristik mesti digantikan oleh kepemimpinan baru yang profesional, akuntabel, dan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Reformasi sejati tak mungkin lahir tanpa perombakan kepemimpinan. Sejarah menunjukkan, setiap lembaga yang gagal memperbarui dirinya akan tumbang di tangan zaman. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 sudah menegaskan posisi Polri sebagai alat negara penegak hukum yang mandiri dan terpisah dari militer. Namun, hukum di atas kertas tidak otomatis menjelma dalam tindakan. Amnesty International dalam Unfinished Business: Police Accountability in Indonesia (2009) mencatat lemahnya mekanisme akuntabilitas dan masih kuatnya budaya impunitas. Human Rights Watch pun menyoroti penggunaan kekerasan berlebihan terhadap warga sipil. Kelemahan ini tak hanya melukai publik, tetapi juga merusak kehormatan Polri itu sendiri. Reformasi tanpa pergantian generasi kepemimpinan hanya melahirkan “reformasi setengah hati”. Harold Crouch dalam Political Reform in Indonesia after Soeharto menegaskan bahwa perubahan sejati menuntut keberanian mengganti elit lama yang mengakar pada struktur lama. Muhamad Haripin dan Sarah Nuraini Siregar dalam kajian BRIN (The Defects of Police Reform in Indonesia) menyebut reformasi Polri gagal karena lebih menitikberatkan pada instrumen birokrasi, bukan transformasi budaya. Langkah radikal diperlukan. Pertama, audit etik dan kinerja terhadap perwira menengah dan tinggi harus dilakukan melalui mekanisme vetting terbuka. Mereka yang terindikasi menutup pelanggaran atau melakukan penyalahgunaan kekuasaan mesti dipensiunkan dini secara terhormat. Kedua, perkuat lembaga pengawas eksternal yang benar-benar independen. Komnas HAM dan Ombudsman harus memiliki akses penuh terhadap penyelidikan kasus pelanggaran. Ketiga, Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) mesti direformasi total agar tidak menjadi “polisi di antara polisi” yang kehilangan objektivitas. Keempat, pendidikan ulang dengan kurikulum baru berbasis HAM, community policing, dan de-eskalasi konflik wajib diterapkan. Seperti ditegaskan dalam Handbook on Police Accountability, Oversight and Integrity terbitan UNODC, integritas hanya tumbuh melalui sistem pendidikan dan penghargaan yang konsisten. Kofi Annan pernah berkata, “Tanpa keadilan, tak akan ada perdamaian yang abadi.” Pesan itu relevan bagi Indonesia. Tanpa akuntabilitas yang nyata atas pelanggaran aparat, reformasi Polri hanya menjadi jargon. Rakyat membutuhkan tindakan nyata, bukan pernyataan normatif. Proses hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu, agar rasa percaya publik dapat tumbuh kembali. Tentu, langkah ini tidak mudah. Akan ada resistensi dari dalam tubuh kepolisian sendiri. Namun, keberanian untuk berubah adalah ukuran sejati profesionalisme. Seperti halnya bangsa-bangsa lain yang sukses menata ulang lembaga kepolisiannya—Jepang pasca-Perang Dunia II, atau Georgia pasca-revolusi mawar—reformasi menyakitkan pada awalnya, tetapi menyelamatkan di kemudian hari. Reformasi Polri bukan semata proyek kelembagaan, melainkan fondasi bagi masa depan demokrasi Indonesia. Polisi adalah wajah pertama negara di mata rakyat. Bila wajah itu keras dan tak ramah, maka kepercayaan publik akan lenyap. Sebaliknya, bila Polri menegakkan hukum dengan nurani dan akal sehat, rakyat akan kembali percaya bahwa negara berpihak pada keadilan. Kini pilihan di tangan pemerintah dan pimpinan Polri: mempertahankan status quo atau memotong satu generasi demi lahirnya kepolisian baru yang profesional, humanis, dan bersih. Reformasi Polri bukan opsi—ia adalah keniscayaan sejarah. (*)
READ MOREPOPULER
BERITA TERKINI