Okky Setiawan Minta Dirut PLN Diganti: Gara-Gara Utang, Pemadaman, dan Krisis Kepercayaan
JAKARTA, FNN - Kinerja PLN di tengah monopoli dan fasilitas negara justru diperhadapkan pada dua beban besar: utang senilai Rp711,2 triliun pada 2024 dan pemadaman berjam-jam yang menimpa konsumen. Saat ini muncul tekanan kuat bagi pemerintahan untuk mengganti Dirut PLN demi “penyegaran” manajemen.
Perusahaan listrik milik negara ini menikmati hak monopoli distribusi listrik, juga mendapat akses ke fasilitas istimewa—penugasan subsidi pemerintah, penyertaan modal negara, dan regulasi khusus seperti domestic market obligation (DMO). Namun kenyataan keuangannya tak sejalan: data dari Center for Budget Analysis (CBA) menyebut total utang PLN melonjak dari sekitar Rp655 triliun pada 2023 menjadi Rp711,2 triliun pada 2024.
Analisis CBA menunjukkan bahwa utang jangka pendek naik dari Rp143,1 triliun menjadi sekitar Rp172 triliun, sementara utang jangka panjang naik dari Rp511,8 triliun menjadi Rp539,1 triliun.
Kenaikan utang yang signifikan ini memunculkan pertanyaan: bagaimana perusahaan yang mendapat berbagai kemudahan negara justru menghadapi “beban” keuangan yang cenderung melemahkan tata kelolanya?
Pemadaman yang “Tak Seharusnya Terjadi
Di luar angka keuangan, publik makin sensitif terhadap gangguan layanan. Contoh terbaru: sejak Senin (29/9/2025) sore hingga hingga Selasa malam, sebagian wilayah Banda Aceh dan Aceh Besar mengalami pemadaman listrik yang berlangsung hingga sekitar 20 jam. PLN menyebut penyebab utamanya adalah gangguan pembangkit dan interkoneksi transmisi di Sumatra jalur Bireuen–Arun.
Sementara itu, di Medan pada Selasa (30/9/2025) tercatat ada 14 lokasi yang mengalami pemadaman 5,5 jam dalam satu hari.
Pengamat menilai bahwa dalam era di mana infrastruktur listrik seharusnya sudah “matang”, pemadaman tersebut menunjukkan lemahnya manajemen krisis dan kesiapan operasional perusahaan listrik negara.
Desakan Ganti Dirut Meruncing
Di tengah situasi ini, pengamat BUMN Okky Setiawan mendesak pemerintah mengganti Direktur Utama PLN. “Direktur telah menjabat lima tahun. Perlu diganti untuk penyegaran dan meningkatkan performa,” tegasnya dalam keterangan di Jakarta, Jumat (24/10/2025).
Okky menunjuk kegagalan penanganan pemadaman dan utang mendekati triliunan rupiah sebagai indikator utama bahwa “manajemen lama” tak lagi efektif.
Di parlemen, anggota Komisi VI DPR RI Mufti Anam juga menyuarakan kritik keras. Menurutnya, kondisi keuangan PLN mencerminkan “kegagalan manajemen”, apalagi perusahaan tersebut “monopoli dengan akses penuh fasilitas negara, tapi keuangannya babak-belur.”
Kinerja Positif yang Tak Menutupi Kritik
Di sisi lain, PLN membeber capaian operasional: penjualan listrik semester I 2025 sebesar 155,62 terawatt-hour (TWh) atau tumbuh 4,36 % YoY dibanding 149,11 TWh tahun 2024.
Laba periode berjalan tercatat Rp6,64 triliun, naik 32,8 % dari Rp5 triliun tahun sebelumnya. Pendapatan per Juni 2025 sebesar Rp281,89 triliun, naik 7,57 % dibanding periode sama tahun lalu (Rp262,06 triliun).
Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengucapkan apresiasi atas dukungan pemerintah dan menyebut sinergi lintas lembaga sebagai kunci pencapaian di tengah ketidakpastian global.
Tapi data positif ini tak secara otomatis meredam keresahan publik yang melihat utang membengkak dan layanan tak stabil.
Kendala Tata Kelola dan Tantangan Masa Depan
Kondisi ini mencerminkan dua tantangan besar: manajemen risiko dan tata kelola perusahaan publik.
Dalam laporan terbaru, PLN mencatat utang hingga Rp734,26 triliun per Juni 2025, namun rasio utang terhadap aset masih di bawah 50% — secara teknis “masih sehat”. Namun, angka “teknis sehat” tidak serta-merta menjawab dimensi kepercayaan publik dan kualitas layanan.
Dalam konteks infrastruktur kritis seperti listrik, kegagalan operasional (pemadaman) dan keuangan (utang) saling berkaitan: pelayanan buruk bisa berdampak ekonomi luas, terlebih bagi usaha kecil yang bergantung pada listrik.
Akhir Babak atau Titik Turnaround?
Keputusan mengganti atau mempertahankan Dirut PLN bukan sekadar pilihan personal atau politik. Ini adalah cermin dari bagaimana negara mengelola aset strategis yang sangat terkait dengan kehidupan sehari-hari warga—listrik.
Jika keputusan diambil untuk mendorong transparansi, efisiensi, dan pelayanan publik yang lebih baik, publik akan memandangnya sebagai langkah perubahan. Namun jika hanya sekadar “berganti manajemen” tanpa perbaikan sistemik, maka kritik akan semakin membesar.
Seiring kebutuhan negara akan transformasi energi, pemerintahan harus memastikan bahwa perusahaan listrik negara tak hanya “berkinerja” secara angka, tetapi juga dipercaya secara publik. Karena pada akhirnya, listrik operasional dan utang yang terkendali tak cukup—kepercayaan warga yang harus dipulihkan. (DH)