EDITORIAL
Bank Emas Ala Mister Ndhas, Simpanan Rakyat Bisa Amblas
ADA ada saja ide Mister Ndhas. Seratus hari jadi presiden sudah banyak isi kepala yang dimuntahkan. Muntahannya langsung saja ditelan oleh anak buahnya, tanpa harus memfungsikan nalar kritisnya. Mereka tak peduli, apakah ide itu punya dampak buruk bagi rakyat atau tidak. Yang penting loyal. Setiap gagasan, selalu dijawab oke gas, oke gas. Maklum, mereka bukan ahli yang punya kemampuan lebih. Mereka hanyalah kaum hore yang bisanya tepuk tangan dan bersorak sorai. Modal mereka adalah masa lalu, di mana mereka berjasa memenangkannya dalam Pilpres. Maka ada saja perilaku pembantu Mister Ndhas yang aneh aneh. Terakhir ada menteri berpidato layaknya tukang obat. Gestur tubuhnya tak menarik dan sepanjang pidato baca teks. Ada pula pembantu yang selalu pasang tampang angker, sombong, dan arogan agar tampak pintar. Mister Ndhas baru saja meluncurkan lembaga pengumpulan dana bernama Danantara yang kelak bisa menjadi semacam dana abadi negara. Pro kontra belum usai, kini Mister Ndhas menelorkan program baru bernama Bank Emas. Potensi Bank Emas menurut Mister Ndhas cukup bagus, sebab produksi emas di Indonesia sudah naik dari 100 ton menjadi 160 ton dalam setahun. Oleh karena itu Mister Ndhas ingin memperbaiki ekosistem pelayanan untuk mengoptimalkan cadangan emas di negara ini. Indonesia yang kata Mister Ndhas punya cadangan emas keenam di dunia untuk pertama kali akan memiliki bank emas. Seluruh anak bangsa diminta bekerja keras untuk mencapai kesejahteraan. Ide Mister Ndhas langsung disambut Menteri BUMN Erick Thohir. Ia langsung cari muka dengan meminta seluruh masyarakat menampung emasnya di Bank Emas. Etho panggilan lain Wrick Thohir mengatakan potensi emas yang ada di tangan masyarakat 1.800 ton, ada yang di bawah bantal, ada di toilet, di balik batu bata, agar disimpan di Bank Emas. Etho pun langsung menugaskan PT Pegadaian dan PT Bank Syariah Indonesia untuk menjadi bank emas. Bersediakah masyarakat menyimpan emasnya di Bank Emas? Ada beberapa dampak buruk yang perlu dipertimbangkan antara lain: risiko kehilangan atau pencurian emas, biaya penyimpanan dan pengelolaan yang tinggi, risiko fluktuasi harga emas yang tidak stabil, kurangnya transparansi dan regulasi yang ketat, potensi penipuan atau skema ponzi. Publik pasti masih ingat kasus penipuan emas batangan di Antam berkedok reseller. Publik pasti belum lupa ada 152 kg emas di butik logam mulia. Jadi, di tengah reputasi yang buruk dan tingkat kepercayaan publik yang rendah terhadap masyarakat, apakah pola pola pengumpulan harta rakyat akan berhasil? Bagaimana mekanisme pengambilan jika pemilik emas ingin pakai untuk arisan, lebaran atau kawinan? Benarkah mudah dan bebas bea. Jangan jangan emas kita habis dan berubah jadi besi tua karena terkuras biaya penyimpanan. Jika emas kita sudah aman di balik bantal kenapa harus dititipkan ke negara? (Editorial).
Riva Siahaan Maling Berdarah Dingin
Oplos. Inilah kata dan perbuatan yang sering kita jumpai di dunia kriminal. Dari pelaku kriminal kelas teri hingga kelas kakap. Warung-warung kecil mengoplos minuman keras dengan paracetamol, menghasilkan ramuan yang mudah on, mabuk, lalu pingsan bahkan meninggal dunia. Ada juga pelaku kriminal yang mengoplos tabung gas melon dengan oksigen, sehingga isi LPG bercampur udara. Atau isi tabung gas 3 kg dimasukkan ke dalam tabung 15 dijual dengan harga mahal. Di luar itu ada lagi pelaku kejahatan oplos beras. Beras premium dioplos dengan raskin, beras berjamur dan berkutu. Pengoplos menjualnya dengan harga kualitas nomor satu. Di kelas kakap, gerombolan petinggi Pertamina juga melakukan tindakan oplos mengoplos. Praktek kotor ini muncul dengan terbongkarnya skandal korupsi besar di perusahaan milik negara tersebut. Setidaknya ada tujuh orang resmi ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung dalam kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina, Subholding, dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) periode 2018-2023. Salah satu nama yang paling disorot adalah Riva Siahaan, Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga. Ia ditetapkan sebagai tersangka bersama anak dari raja minyak Indonesia, Muhammad Kerry Andrianto Riza yang merupakan putra dari Mohammad Riza Chalid bos Petral yang pernah tersangkut hukum. Kasus ini disebut merugikan negara hingga Rp 193,7 triliun, menjadikannya salah satu skandal korupsi terbesar dalam sejarah industri minyak Indonesia. Modusnya, tak hanya mengurangi takaran, Riva menyulap komposisi dan kandungan BBM Pertalite dengan bahan lain dan dijual dengan harga mahal.Riva mengoplos minyak RON 90 (Pertalite) diblending dengan bahan lainnya sehingga mirip RON 92 (Pertamax). Untungnya berlipat lipat. Riva juga merekayasa jalur distribusi impor minyak. Ia tak pedulikan di berbagai daerah banyak masyarakat yang antri BBM berhari-hari. Kalaupun dapat minyak, harganya mahal. Siahaan juga tutup mata atas banyaknya konsumen Pertamax, mobilnya cepat rusak. Seharusnya ini tidak terjadi jika Riva dan komplotannya bekerja jujur, amanah, dan bertanggungjawab. Sungguh jahat dan berdarah dingin. Jabatan Siahaan boleh direktur, tetapi kelakuan seperti orang menganggur. Pengangguran biasanya gemar mengkhayal, jika tidak, ia akan melakukan tindakan kriminal. Sederet pendidikan yang mentereng tak membuat Riva Siahaan berperilaku baik dan terpuji. Ia malah mencontoh cara-cara kriminal maling gas dan beras. Korupsi kini menjadi hal yang sangat biasa, meskipun angkanya mencapai ratusan triliun. Dulu ketika Edy Tanzil korupsi 1,3 triliun, seluruh Indonesia Raya heboh dan mengutuk. Sekarang korupsi makin banyak dan berkualitas. Nilainya hampir mencapai seribu triliun, anehnya publik diam saja. Mungkin lelah, frustasi, atau malah sibuk dengan michat dan judol. Kondisi ini sangat menguntungkan para koruptor. Begitulah gen korup bangsa ini. Jangan harap ada perubahan, jangan mimpi ada keadilan, dan jangan membayangkan hidup sejahtera, jika gen korup tidak disingkirkan atau dibinasakan. Selama kelompok mereka masih bercokol, maka korupsi, kolusi dan nepotisme akan terus tumbuh dan berkembang. Rakyat harus puas dengan hidup serba kekurangan. Rakyat harus rajin menengandah dan menerima dengan ikhlas cipratan hasil korupsi mereka dengan kedok subsidi. Kenyang dulu berbagi kemudian. Inilah mentalitas pemimpin kita: tamak, serakah, dan rakus. Pertamina Patra Niaga baru saja menerima 12 medali emas penghargaan Proper. Puja puji keberhasilan baru saja dikumandangkan. Ritual keberhasilan baru saja digelar, dengan meriah. Diiringi dengan doa dan rasa syukur yang khusuk. Tak tahunya jeroannya busuk. Sungguh memalukan dan menjijikkan. Amoral, jahat, dan tak beradab. Pengoplos BBM lebih rendah dari pelaku pengoplos pil koplo. Hukuman mati bagi pelaku dan miskinkan keluarganya, itu baru adil. (Editorial).
Ketika Bung Bowo Merasa Mirip Bung Karno
BEBERAPA pekan ini jutaan masyarakat kaget dan tak menyangka. Presiden yang digadang-gadang mampu menyajikan perubahan, ternyata jauh lebih parah dari presiden sebelumnya. Kedok ini tersingkap saat sang presiden memekikkan kata \"Hidup Jokowi\". Teriakan yang sangat menyakitkan saat jutaan rakyat mendesak \"Adili Jokowi\". Rakyat kini sudah mati harapan dan masa depan. Bung Bowo memang pengagum Bung Karno. Kekaguman itu ia tampakkan dalam berbusana. Kaca mata hitam, jas warna krem dengan empat kantong besar-besar, adalah ciri khasnya. Bung Wowo berhasil menjiplaknya. Paling anyar ia meniru pidato Bunb Karno yang serak-serak menggelegar. Sayang sekali pidatonya bukan soal patriotisme, perjuangan dan harga diri, tetapi soal ikrar dan sumpah kesetiaan pada Jokowi. Sungguh memalukan. Patriotisme Prabowo nyungsep bersama kasus pagar laut. Ia tak punya nyali menghadapi Aguan. Ia malah masuk perangkap berdiri di barisan para pengkhianat. Penetapan Kepala Desa Kohod sebagai tersangka kasus pemagaran laut justru menimbulkan tanda tanya besar. Mengapa tidak langsung ditangkap dan ditahan. Mengapa pula hanya sebatas Kepala Desa, bukan otak intelektualnya. Padahal publik tahu bahwa inilah kasus pengkhianatan terbesar sepanjang republik berdiri. Aguan diduga melakukan subversi terselubung berkedok investasi. Tampak nyata polisi berbelit-belit menangani kasus ini. Nuansa tarik ulur dan kongkalingkong para penjilat Aguan menandakan bahwa ada sosok kuat yang menjadi bekingnya. Motif dan sang dalang harus mereka selamatkan. Jangan sampai terbongkar. Mimpi besar Prabowo menjadi Tokoh Asia yang disegani dan diperhitungkan, terganjal oleh para loyalis Jokowi. Maka jangan heran jika pidato Prabowo tidak sejalan dengan kebijakan yang dieksekusi oleh para menteri, penegak hukum baik KPK, kejaksaan, maupun kepolisian. Prabowo tidak menyadari bahwa Jokowi adalah makhluk yang paling licik di republik ini, mania terhadap kekuasaan, dan sadis terhadap rakyat kecil lewat kebijakan yang dipaksakan. Proyek Strategis Nasional adalah kedok untuk menggarong uang rakyat sebagaimana laporan PPATK dana PSN 36,68 persen mengalir ke kantong-kantong pribadi, pejabat, dan oligarki. Prabowo tidak sadar bahwa dengan mempertahankan kedekatannya dengan Jokowi, akan menggiringnya ke tepi jurang untuk dikubur hidup-hidup secara politik oleh kekuatan oligarki lewat pengaruh Jokowi. Pekik \"Hidup Jokowi\" saat rakyat berteriak \"Adili Jokowi\" seolah Kabinet Merah Putih sedang menantang gelombang perlawanan terhadap tuntutan rakyat untuk menyeretnya ke pengadilan. Sebagian rakyat dan para tokoh memang masih ada yang menganggap bahwa jilatan Prabowo terhadap Jokowi merupakan taktik untuk meninggalkan Jokowi tanpa harus bergesekan. Prabowo sedang berjuang dari dalam. Tapi publik yang waras menilai hal itu sebagai langkah konyol, mengingat Jokowi sudah terbukti menjadi satu satunya pemimpin yang ucapannya selalu bertolak belakang dengan perilakunya. Prabowo akan kehilangan momentum besar dan segera ditinggalkan rakyat jika penyerobotan laut tak diproses tuntas. Berdasarkan penelusuran media, Aguan diyakini berada di balik semua pelanggan PSN PIK 2. Negara akan semakin loyo menghadapi pengkhianat jika gembong kejahatan tidak ditangkap dan dihukum seberat-beratnya. Tindakan Aguan sudah melampaui batas kewajaran. Sebagai warga negara yang seharusnya taat, malah menjadikan penegak hukum sebagai alat untuk merampok negara. Penuntasan pagar laut dipastikan akan molor sambil menunggu masyarakat lupa dan pecah konsentrasi. Karakter psikologis rakyat Indonesia yang mudah lupa, gampang sekali dialihkan dengan memunculkan isu baru. Rakyat lupa terhadap masalah utama. Mereka tidak fokus pada masalah yang sebenarnya hingga akhirnya lenyap tak berbekas. Prabowo tak sadar saat ini ia sedang menari dan berdansa di atas genderang yang ditabuh Jokowi, sang psikopat yang menjadi sumber dari segala sumber masalah di negeri ini. (Editorial).
Lukisan, Tagar, dan Lagu yang Ditakuti Penguasa
BICARA Indonesia adalah bicara tentang utang yang menggunung, korupsi tak terbendung, dan pejabatnya yang suka mengaum. Bicara Indonesia adalah bicara tentang pemimpinnya yang tak punya kapasitas, kapabilitas, dan rasa malu. Bicara Indonesia adalah bicara tentang tokoh-tokohnya yang mudah marah, antikritik, dan tak mau belajar dari masa lalu. Kata orang, inilah kualitas pejabat di negeri Konoha. Mereka takut pada isu-isu yang tak substansial. Mereka resah dan gelisah pada karya seni, mereka gemetar pada tanda pagar, dan mereka frustasi pada lirik musisi. Karya seni lukisan Yos Suprapto menjadi korban pertama kepanikan penguasa. Hanya gara-gara lukisannya mirip Jokowi, presiden produsen utang terbanyak sepanjang sejarah, pamerannya di Galeri Nasional Jakarta harus dibatalkan. Penguasa tak kurang ide untuk memperkarakan masyarakat. Setelah penguasa membatalkan pameran lukisan, polah berikutnya menyoal tanda pagar #KaburAjaDulu. Tagar ini viral di media sosial hingga membuat penguasa alergi dan gatal. Hashtag anak-anak muda kreatif yang menyoroti mahalnya pendidikan dan sulitnya pekerjaan di dalam negeri, dihardik oleh penguasa yang kepanasan. Wakil Menteri Ketenagakerjaan, Immanuel Noel Ebenezer murka. Loyalis Jokowi Prabowo ini menyarankan orang orang yang pergi keluar negeri jangan balik lagi. Sungguh jungkir balik logika Noel. Belum pernah terdengar Noel menyoal para koruptor yang kabur keluar negeri menggondol duit rakyat. Ia lebih lincah mencibir anak muda yang ingin berkarir di negeri orang. Tuduhan sadis dimuntahkan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Bahlil Lahadalia. \"Abdi Dalem Raja Jawa\" ini menuduh pihak-pihak yang setuju dengan Tagar #KaburAjaDulu tidak punya jiwa nasionalisme. Lagi-lagi jalan pikirannya terseok-seok. Apakah Bahlil pernah mempertanyakan nasionalisme perusak lingkungan, backing judi online, dan bandar pinjol? Akrobat dua pejabat negara itu sungguh memiriskan bahkan memuakkan. Mereka bukannya mengoreksi kinerja Kementerian masing masing, tetapi malah mencari-cari perkara anak muda. Noel seharusnya memastikan tidak ada pengangguran di Indonesia, bukan mengusir anak-anak yang punya cita cita mulia. Noel seharusnya mengurangi ekspor tenaga kerja nonskill, bukan membenci anak-anak muda yang punya talenta. Demikian juga Bahlil, engkau seharusnya menuntaskan persoalan di kementerian ESDM, bukan mencari-cari perkara anak muda. Engkau ingin mencitrakan diri, seakan akan engkau bekerja. Ada berapa korupsi di sektor pertambangan yang bisa engkau tuntaskan wahai Bahlil? Ada berapa pelaku mafia migas dan tambang yang engkau bereskan, wahai Bahlil? Persoalan di internal kementrian jauh lebih urgen diselesaikan ketimbang selalu bikin ulah dan bikin perkara kepada generasi muda. Mengada-ada pula. Sulit berharap ada perubahan pada dua menteri yang tak paham urusan kenegaraan. Apalagi wakil presiden yang di setiap kunjungan selalu dijauhi rakyat. Paling anyar penguasa menyoal lagu berjudul Bayar Bayar Bayar milik kelompok musik Sukatani. Musisi asal Purbalingga itu dilarang muncul di semua platform musik karena lirik lagu mereka dianggap tidak pantas dan melanggar norma-norma sosial. Sukatani akhirnya meminta maaf, meski mungkin dengan sejuta paksa. Ini akibat dari ulah penguasa yang tak bisa kerja. Sungguh kebodohan itu ternyata menyebar dan menular. (Editorial).
Selamat Datang Pahlawan Kesiangan
PERLAHAN tapi pasti, perubahan itu akan terjadi. Tentu saja berubah ke arah yang lebih baik. Sebelumnya Jokowi telah menciptakan kelompok eksklusif rezim yang solid, rapat, antikritik, dan ketika terdesak mereka menyanyikan lagu yang sama, \"tenggelamkan oposisi\". Mudah saja memusuhi dan mengubur kaum kritis, sematkan saja pada mereka anti-NKRI, rasialis, dan barisan sakit hati. Para loyalis pun bersorak sorai. Kebencian langsung memuncak hingga ubun ubun. Sumpah serapah digelontorkan ke kelompok oposisi Sosok yang paling getol memusuhi rakyat adalah Luhut Binsar Panjaitan, mantan tentara yang dipercaya Jokowi menjadi loyalis buta tuli selama 10 tahun berturut turut. Setidaknya ada 57 jabatan strategis ada di pundak dan punggungnya. Ia hardik siapapun yang mengkritik Jokowi. Ia kumandangkan di depan umum, \"siapapun yang mengganggu pemerintah, akan dibuldoser\". Sebuah narasi yang mengandung permusuhan dan penghinaan. Jauh sebelum itu, saat awal-awal Jokowi merapat ke negeri komunis, saat publik mengingatkan agar tidak terlalu dekat dengan Cina, Luhut mengatakan \"Bisa apa kita di depan Cina,\". Inilah ungkapan rendah diri, inferior, tak berdaya, dan bermental jongos. Luhut juga pernah mengusir orang-orang kritis dengan narasi, \"Yang tidak suka pemerintah silahkan pergi ke negara lain.\" Sebuah ungkapan yang arogan dan sok kuasa. Sudah terbiasa, Luhut kalau ngomong ceplas ceplos, lugas, dan tanpa basa basi. Sebagian orang ada yang menyukainya. Akan tetapi sebagian besar yang lain mengaku muak. Apalagi ketika ucapan itu disampaikan tanpa adab yang baik, data dan fakta yang akurat, maka itu hanyalah nggedabrus, asal keras, asal berisik. Kini, sekuat kuat Jokowi, akhirnya tumbang juga. Meskipun terjungkalnya tidak seperti di Pakistan dan Korea Selatan. Yang penting Jokowi sudah tamat. Gerakan oposisi mulai mendapat tambahan energi. Makin banyak orang yang berani bersuara lantang tentang kejahatan Jokowi. Menggunungnya utang dan rekayasa hukum, adalah kelakuan Jokowi yang sulit dimaafkan. Meski Jokowi berusaha bangkit, akan tetapi Luhut tampaknya jeli melihat nasib Jokowi yang sulit tertolong. Kemarahan rakyat semakin membara setelah membaca dan melihat apa yang dilakukan Jokowi selama menjadi presiden. Jokowi bergumul dengan oligarki, bermesraan dengan China untuk memuluskan kepentingan keluarga dan kroninya. Rakyat disogok dengan sembako dan uang tunai. Pandangan mata rakyat, disamarkan dengan penampilan sederhana, ndeso, dan innocent. Tapi, kebenaran tetap kebenaran, meskipun ditutup dengan kepalsuan. Pengadilan rakyat atas kelakuan Jokowi, hanya soal waktu saja. Kejahatannya sudah melampaui batas. Luhut sadar. Ia harus berbenah dan menyelamatkan diri agar tidak tergulung kemarahan rakyat. Ia mulai membersihkan diri dengan menulis di medsos menyalahkan kebijakan rezim yang lalu, di mana ia ada di dalamnya. Ia mau cuci tangan dengan seakan akan kritis dan peduli. Ia sampaikan bahwa dana bansos tak tepat sasaran. Jumlah yang seharusnya disalurkan Rp500 triliun, kata Luhut, ada Rp250 triliun yang menguap. Luhut yang saat ini menjabat sebagai Ketua Dewan Ekonomi Nasional, dalam unggahan akun Instagram pribadinya, mengatakan dari total bansos Rp 500 triliun yang dikucurkan dalam lima tahun terakhir, hanya separuh yang benar-benar sampai ke tangan yang berhak. Katanya banyak masyarakat yang tidak memenuhi syarat, justru yang mendapatkan bansos. Demikian jalur evakuasi upaya penyelamatan diri Luhut. Ia tiba-tiba menjadi orang kritis, bijaksana, dan peduli pada penderitaan rakyat. Khotbah yang sungguh tak ada gunanya. Lagumu seperti pahlawan kesiangan saja, wahai Luhut. Engkau lupa, rakyat memantau gerak gerikmu. (*)
Berharap Banyak dari Super Holding Danantara
KABAR itu datang dari Senayan. DPR RI dan pemerintah resmi mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menjadi undang-undang atau UU BUMN. Salah satu poinnya adalah membentuk Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara). Sejatinya, UU baru ini merupakan hasil revisi ketiga dari UU BUMN. Melalui UU ini pemerintah akan mendirikan dua holding yaitu holding investasi dan holding operasional. Tugas holding investasi melakukan pengelolaan dividen dan/atau pemberdayaan aset BUMN. Sedangkan holding operasional mempunyai tugas melakukan pengawasan terhadap kegiatan operasional BUMN serta kegiatan usaha lainnya. Kegiatan dua holding itu nantinya akan dilakukan oleh Danantara. Holding investasi berfungsi menjalankan mandat agar Danantara dapat berperan strategis dalam melakukan proses investasi. Keberadaan holding juga akan membantu pembangunan sektor strategis yang diprioritaskan pemerintah seperti ketahanan energi, ketahanan pangan, dan lainnya. Caranya, Danantara bisa mengundang global investor untuk bersama-sama ikut serta dalam projek yang diusulkan, misalnya pembangunan new refinery (pemurnian) untuk kilang minyak. Sudah barang tentu, investor global sudi bergabung jika mereka yakin investor lokal alias Danantara punya kredibilitas yang baik dari sisi aset dan otoritas. Bahkan investor asing tidak segan untuk hadir jika terdapat berbagi risiko di projek tersebut. Dengan model seperti ini maka diharapkan foreign direct investment (FDI) bisa mengalir kencang dan bisa membantu target pertumbuhan ekonomi pemerintah 7% sampai 8%. Banyak kalangan memuji hadirnya Danantara hasil gagasan Pemerintah Prabowo Subianto ini. Danantara dianggap merupakan langkah strategis yang sangat dibutuhkan Indonesia. Danantara juga disebut sebagai inovasi dalam pengelolaan aset negara yang tidak hanya akan memastikan aset ini lebih produktif, tetapi juga akan memberikan dampak besar dalam meningkatkan daya saing ekonomi nasional. Dengan Danantara, kita bisa melihat investasi negara dikelola lebih strategis dan terukur. Jika kita cermati, model pengelolaan Danantara selaras dengan praktik terbaik global seperti Temasek di Singapura dan Khazanah di Malaysia. Dengan tata kelola yang kuat dan profesional, Danantara memiliki potensi besar untuk menarik lebih banyak investasi ke dalam negeri dan memperkuat posisi Indonesia di kancah global. Lebih jauh lagi, lembaga ini akan mampu mengoptimalisasi potensi kebermanfaatan aset negara yang dihasilkan BUMN di tengah kebutuhan untuk mengakselerasi perekonomian negara dan menjadikan Indonesia kebanggaan di kancah global. Kini, Indonesia telah memiliki instrumen baru untuk mengelola aset negara secara lebih optimal. Kendati demikian, keberhasilannya akan sangat bergantung pada penerapan tata kelola yang baik, dan manajemen risiko yang kuat. Semua mata kini tertuju pada Danantara sebagai simbol kekuatan ekonomi baru Indonesia.
Gibranku Sayang, Gibranku Malang
Bojonggede Bogor baru saja heboh menjadi buah bibir setiap orang. Musababnya adalah viralnya sebuah video yang berisi jeritan anak balita yang meronta minta makan kepada ibunya. Anak itu bernama Gibran. Gibran yang ini, bukan Gibran anak presiden yang baru saja direkayasa, menjadi wapres. Gibran yang ini, bukan Gibran yang hidupnya penuh kasih sayang, juga penuh uang. Gibran yang ini bukan Gibran yang bisa melakukan apa saja. Ingin jadi bos martabak, jadilah. Ingin jadi walikota, jadilah. Ingin jadi Samsul, jadilah. Ingin jadi wapres, jadilah. Gibran yang ini adalah Gibran yang belum beruntung. Tinggal di Bojong. Hidupnya penuh keterbatasan. Gibran Bojong jauh berbeda dengan Gibran Solo. Hanya untuk mengisi perut saja Gibran Bojong harus berjuang keras. Anak sekecil itu, harus berhadapan dengan judesnya sang mama. Ia harus menyiksa diri, guling guling di tanah, sambil terus berteriak meminta, memohon, dan meronta-ronta agar diberi makan. Namun sang ibu malah memarahinya bahkan menyiram air dengan botol bekas air mineral. Tampaknya Gibran mengalami kelaparan ekstrem. Maklum hari itu jarum jam sudah menunjukkan pukul 13.00 WIB, saat makan siang sudah lewat. Perut pasti sudah kosong lama. Apalagi, jika mengacu pengakuan para tetangga, Gibran sering kelaparan dan sering pula dibantu tetangga kiri kanannya. Ayah Gibran seorang tukang bangunan yang sedang bekerja di luar kota. Sebuah profesi yang tentu saja tak bisa diharapkan penghasilannya. Maka, jika tak ada kelembutan dan kasih sayang dari sikap sang ibu, bisa dimaklumi. Ia mudah marah dan emosi, manakala mendapat kesulitan. Kesulitan yang selalu berulang. Penghasilan suaminya tak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar. Peristiwa yang terjadi di Desa Rawapanjang, Kecamatan Bojonggede, Kabupaten Bogor ini pertama kali diungkap oleh Ahmad Saugi melalui akun tiktoknya. Ia memang bukan wartawan. Ia seorang pegawai PLN, namun kepeduliannya melebihi wartawan. Keputusan memviralkan kejadian ini membuat mata dunia terbuka, bahwa di desa yang panen penghargaan sebagai Kampung Ramah Lingkungan itu, justru terjadi anomali. Di gang sempit desanya, ada anak kelaparan. Saugi kemudian membawa anak itu makan di restoran cepat saji. Borok yang diungkap Ahmad Saugi telah membuat murka aparat setempat. Kepala Desa Rawapanjang, Muhammad Agus mengancam akan melaporkan ke polisi tindakan Ahmad Saugi. Saugi diminta mencabut videonya dan meminta maaf di kecamatan Bojonggede. Beginilah jika mentalitas aparat kita antikritik. Mereka tidak rela diungkap kelemahannya, maunya hanya disanjung dan dipuja. Apakah sanjungan itu bisa membuat kenyang ribuan orang yang sedang kelaparan? (*)
Darah Biru Jokowi
KEPITING, lobster, laba-laba, dan gurita semuanya memiliki darah biru. Tapi bukan itu yang hendak diperjuangkan Presiden Joko Widodo saat ini. Wong Solo ini ingin mengubah trah dirinya dari rakyat jelata menjadi bangsawan. Caranya, mewariskan jabatannya sebagai presiden kepada anaknya: Gibran Rakabuming Raka. Lantaran negeri ini bukan sebuah kerajaan yang dipimpin seorang raja, maka ditempuhlah cara-cara konstitusional yang terkadang minus etika. Ada puluhan indikasi yang mengarah ke sana. Sebut saja, bagaimana putra bungsu Jokowi, Kaesang Pangarep, tiba-tiba secara instan menduduki kursi Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia atau PSI. Banyak orang curiga, Jokowi telah menyiapkan PSI sebagai kapal pengangkut aspirasi keluarga besar dirinya nanti, setelah ia hengkang dari kandang banteng. Jokowi sudah bosan disebut sebagai petugas partai. Gibran yang masih belia dan tengah menyelesaikan tugasnya sebagai Wali Kota Solo tiba-tiba ditarik untuk duduk di RI-2, dengan cara-cara yang tidak beretika. Sang Paman yang duduk di MK melakukan pelanggaran etika saat menganulir pasal tentang usia calon wakil presiden. Jokowi juga menarik koleganya dari Solo ke pusat kekuasaan. Agus Subiyanto menjadi Panglima TNI, dengan cara instan juga. Hal ini dilakukan setelah sebelumnya Jenderal Polisi Drs Listyo Sigit Prabowo dijadikan Kapolri. Ada kesan, mereka berdua dan tentu saja dengan yang lain, disisiapkan untuk melindungi keluarga Jokowi dari musuh-musuh politiknya menjelang pemilu 2024. Jokowi dengan cerdik menggunakan infrastruktur negara sebagai mesin politik keluarganya. Jabatan tinggi ia bagi-bagi untuk menciptakan menteri-menteri yang loyal kepada dirinya. Dunia usaha ia rangkul dengan, antara lain, mancabut 3700 peraturan daerah, dengan dalih memperlancar investasi. Tak sedikit pula proyek-proyek daerah yang diresentralisasi. Kini, Jokowi telah menjadi imam bagi koalisi para trah paling bergengsi di negeri ini, macam Trah Soeharto, SBY, dan Soemitro Djojohadikoesoemo. Mereka adalah tokoh-tokoh berdarah biru. Pada tahab ini, Jokowi sukses merangkul lawan-lawan politiknya itu. Bisa jadi, setelah itu Jokowi akan benar-benar mengubah darahnya menjadi darah biru. Ini adalah istilah yang telah digunakan sejak tahun 1811 untuk menggambarkan keluarga kerajaan dan kaum bangsawan. Tentu saja maksudnya bukan darah biru orang yang terkena penyakit Methaemoglobinaemia macam keluarga Fugate atau “orang biru di Kentucky” AS. Bukan pula darah biru kepiting, lobster, laba-laba, dan gurita. Dia adalah darah biru keturunan Presiden Republik Indonesia. @
Dinasti Politik Mengancam Demokrasi
DINASTI politik dan politik dinasti adalah dua hal yang berbeda. Dinasti politik adalah sistem reproduksi kekuasaan yang primitif karena mengandalkan darah dan keturunan dari hanya beberapa orang. Politik dinasti adalah proses mengarahkan regenerasi kekuasaan bagi kepentingan golongan tertentu (contohnya keluarga elite) yang bertujuan mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan. Dinasti politik merupakan musuh demokrasi karena dalam demokrasi, rakyatlah yang memilih para pemimpinnya. Marcus Mietzner dalam paper yang berjudul Indonesia’s 2009 Elections: Populisme, Dynasties and the Consolidation of the Party System, menilai bahwa kecenderungan politik dinasti cukup menguat dalam politik kontemporer Indonesia. Praktik politik dinasti menurutnya tidak sehat bagi demokrasi, antara lain karena kontrol terhadap pemerintah yang diperlukan dalam demokrasi, misalnya checks and balances, menjadi lemah. Dinasti politik dalam dunia politik modern dikenal sebagai elit politik yang berbasiskan pertalian darah atau perkawinan sehingga sebagian pengamat politik menyebutnya sebagai oligarkhi politik. Dalam konteks Indonesia, kelompok elit adalah kelompok yang memiliki kemampuan untuk mempengaruhi proses pembuatan keputusan politik. Sehingga mereka relatif mudah menjangkau kekuasaan atau bertarung memperebutkan kekuasaan. Menguatnya jaringan politik yang dibangun oleh dinasti politik berdasarkan kedekatan politik keluarga menyebabkan tertutupnya rekrutmen politik bagi orang-orang di luar dinasti. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Turner bahwa suatu jaringan mempunyai pengaruh penting terhadap dinamika transisi kekuasaan politik yang bisa berdampak terhadap tertutupnya rekrutmen politik. Politik oligarki harus dihindari, karena bisa mengancam demokrasi Indonesia. Partai yang seharusnya mampu mengakomodir suara rakyat, bisa saja pada akhirnya hanya digunakan oleh kepentingan individu atau kelompok tertentu. ©
Ketika Orang Terkuat Merasa Terzolimi
Khutbah panjang Presiden Jokowi pada 16 Agustus 2023 di gedung DPR tak memberikan gambaran dan harapan yang adil bagi rakyat Indonesia. Di awal khutbahnya ia lebih senang mengeksploitasi penderitaan dirinya ketimbang merasa bersalah terhadap keputusan, peraturan, dan kebijakan yang diambil seorang Presiden. Tampaknya ia tak suka dianalogikan sebagai lurah. Ia orang hebat, tak sekelas lurah. Sebagaimana tahun lalu ia mengundang seorang anak ke istana untuk menyanyikan lagu \"Ojo Dibanding-bandingke\". Ini menyiratkan bahwa seorang presiden di Indonesia tak bisa dibandingkan dengan siapa pun, termasuk dengan pemimpin sebelumnya, apalagi dengan seorang lurah. Ingat kan, \"Tak ada visi menteri, yang ada visi presiden\". Produk hebat ini jangan dilombakan, sebab sudah pasti menang. Ia juga ingin mengingatkan bahwa semua pekerjaan adalah hasil pemikiran dan keputusannya, maka tak elok kalau ia disalahkan, digoblog-goblogkan, ditolol-tololkan, serta difiraunkan. Sungguh tak punya adab jika ada orang yang menghina dan mencaci presidennya. Presiden merasa sedih bahwa budaya santun budi pekerti luhur bangsa ini mulai hilang. Kebebasan dan demokrasi digunakan untuk melampiaskan kedengkian dan fitnah. Polusi di wilayah budaya ini sangat melukai keluhuran budi pekerti bangsa Indonesia. Tampaknya presiden lupa, siapa yang memelihara buzzer yang setiap hari menggonggong dan menyalak terhadap yang berbeda. Lolongan buzzernya jauh dari pekerti yang baik. Setelah mengeluh, presiden lalu membacakan pidatonya. Ritual tahunan itu lebih banyak memaparkan hasil pekerjaan selama setahun terakhir yang semu. Capaian-capaian yang diklaim, semuanya kontradiksi dengan yang ada di lapangan. Busung lapar masih tinggi, pengangguran merajalela, kriminalitas meningkat, korupsi meroket, dan banjir tenaga kerja asing Cina masih mewabah. Presiden seharusnya menjelaskan soal IKN yang kontroversial. Ini menyangkut masalah kedaulatan dan masa depan anak bangsa. Presiden seharusnya menjelaskan soal Kereta Cepat Bandung dan proyek raksasa lainnya. Ini menyangkut soal kelangsungan bisnis dan masa depan ekonomi Indonesia. Presiden seharusnya menjelaskan soal karpet merah tenaga kerja asing Cina di Indonesia agar buruh Indonesia tidak merasa dibuang. Ini menyangkut pembelaan dan perlindungan terhadap anak bangsa sendiri. Presiden dengan kekuasaannya yang absolut seharusnya bisa menghentikan buzzer buzzer kebal hukum dan tak beradab, tak beretika, dan tak punya budi pekerti yang baik. Inilah bibit perang saudara yang terus tumbuh bersemi. Presiden seharusnya minta maaf telah membiarkan tuduhan radikal, intoleran, dan antiNKRI tetap berlangsung pada umat Islam. Apakah Saudara Presiden - pemegang kekuasaan tertinggi dan terkuat - tidak melihat ini? Semua tak berkutik di depan presiden, kecuali oposisi. Para ketua partai hanya bisa tunduk dan patuh. Airlangga Hartarto yang berbadan besar dan punya partai besar kalah terhadap presiden yang berbadan kecil dan tak punya partai. Prabowo yang \"Macan Asia\" harus bertekuk lutut pada \"Kucing Boyolali\", Habib Rizieq yang pekik takbirnya menggelegar, kini suaranya pelan menghilang. Kurang kuat apalagi wahai presiden. Akhirnya kita harus mengakui sebagaimana dikatakan Gus Mus bahwa tipikal bangsa ini hanya ada dua: majikan dan jongos. Selama 350 tahun bangsa ini telah diperjongos oleh majikan. Setelah majikan berhasil kita usir, maka jongos yang berubah menjadi majikan, kejahatannya melebihi majikan yang terdahulu. Pemimpin seharusnya memberikan motivasi dan optimisme, bukan mengeluhkan sesuatu yang tak semestinya, apalagi tentang pribadi. Itu playing victim namanya. (*)