EDITORIAL

Saat Utang Luar Negeri Sudah Over Borrowing

POSISI utang luar negeri (ULN) Indonesia dinilai telah mengalami over borrowing, kelebihan pasok dibandingkan kemampuan bayar. Itu sebabnya perlu manajemen utang yang lebih hati-hati dan terstruktur. Hal itu paling tidak dengan ancang-ancang Menkeu Sri Mulyani Indrawati yang akan meminta konsultasi ke Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund--IMF) dan Bank Dunia (World Bank). Hal senada dikemukakan anggota Komisi XI DPR RI Kamrussamad menanggapi rilis Bank Indonesia (BI) tentang posisi utang luar negeri per akhir Februari 2021. BI menyebut, utang luar negeri pada akhir Februari 2021 telah mencapai US$422,6 miliar atau tumbuh 4,0% (yoy). Lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan pada bulan sebelumnya sebesar 2,7% (yoy). Peningkatan pertumbuhan ULN tersebut didorong oleh ULN Pemerintah dan ULN swasta. Meski meningkat, BI masih menilai posisi ULN relatif aman dan terkendali karena sebagian besar didominasi utang berjangka panjang. Benarkah ULN kita masih aman? Paking tidak ada tiga instrumen untuk mengukur utang suatu negara masuk kategori over borrowing atau lower borrowing. Yaitu, pertama, DSR (Debt Service Ratio), rasio pembayaran bunga dan cicilan utang terhadap penerimaan ekspor dengan batas aman sebesar 20%. Kedua, DER (Debt Export Ratio), rasio total ULN dengan penerimaan ekspor dengan batas aman sebesar 200%. Ketiga, DGDP (Debt to GDP Ratio), rasio antara total ULN terhadap PDB dengan batas aman 40%. Jika mengacu pada data ULN Februari 2021, nilai DGDP ratio Indonesia sebesar 39,7%, sedangkan data mengenai DSR dan DER masing-masing sebesar 27,86% dan 215.4% pada IV-2020. Itu menunjukkan bahwa Indonesia mengalami over borrowing dilihat dari indikator DSR dan DER. Sedangkan dengan indikator DGDP, nilainya hampir melampaui batas aman sehingga diperlukan manajemen utang dengan hati-hati dan terstruktur. Itu yang menjadi alasan mengapa pemerintah melakukan manajemen utan seperti mencari sumber pendanaan yang berbiaya murah, meminimalkan risiko terkait portofolio utang dan mendukung pengembangan pasar. “Kurangi pinjaman valas secara gradual dan terencana, fokus pada pinjaman domestik dengan jatuh tempo jangka menengah dan panjang, dan fokus pada suku bunga tetap untuk pinjaman baru,” saran Kamarussamad. Kamrussamad menyarankan, penerbitan SPN (Treasury bills dengan jatuh tempo 12 bulan) hanya untuk manajemen kas dan tidak untuk menutup defisit atau refinancing utang yang masih ada. “Obligasi internasional hanya diterbitkan untuk membiayai kewajiban dalam valas, memperkuat cadangan devisa, dan menghindari crowding out pasar obligasi domestik,” tambah dia. Anggota DPR itu memahami utang merupakan konsekuensi belanja negara yang ekspansif. Apalagi di tengah pandemi Covid-19 dimana pemerintah terpaksa harus pengeluaran untuk mempercepat pemulihan ekonomi nasional. Ia enggan terlibat adu argumen terkait perbandingan besaran utang negara. Yang perlu diperhatikan adalah bagaimana strategi efektif agar ekonomi dapat lekas pulih kembali, bukan malah perang argumentasi yang dapat memicu hambatnya pemulihan ekonomi. Dan yang penting bagaimana kita sebagai negara yang bebas aktif dalam pergaulan internasional, tapi mandiri secara ekonomi dan berkarakted dalam budaya. Sudah saatnya mengembalikan kewibawaan NKRI lewat pengelolaan utang yang bertanggung jawab. Tabik!

Ibarat Menghadapi Orang Gila Yang Menghunus Golok

KEKUASAAN yang cenderung dilaksanakan secara otoriter dan serba “error” sekarang ini, membuat rakyat tercekam tapi tak bisa berbuat apa-apa. Tidak ada ruang untuk memprotes apalagi melawan. Apa saja yang dilakukan oleh para penguasa, terpaksa harus diterima. Situasi yang berlangsung mirip dengan drama penyanderaan yang dilakukan gerombolan orang yang tak waras. Orang-orang gila. Seramnya, kepada gerombolan itu telah diserahkan semua senjata yang tadinya dipegang oleh rakyat yang kini menjadi sandera. Mereka gila tapi memegang senjata lengkap dan siap digunakan. Salah bergerak, banyak korban nyawa. Berteriak sedikit, senapan mesin para penyandera akan memuntahkan ribuan peluru. Ada yang coba-coba melakukan manuver yang mencurigakan, bakal mati kena granat. Tak ubah seperti orang gila yang memegang golok dan berada di tengah keramaian. Pastilah semua orang senyap. Tak berani memancing perhatian orang gila itu. Semua tiarap. Begitulah sekarang rakyat Indonesia di bawah kekuasaan otoriter yang dikendalikan oleh orang-orang “error”. Bagaikan sedang berlayar di samudera, kapal NV Indonesia bisa hancur dan tenggelam kalau ada yang coba-coba melawan. Pada mulanya rakyat merasa senang karena mereka menyerahkan kendali dan persenjataan kepada orang-orang waras yang kelihatan baik dan akan membela yang lemah. Ternyata, rakyat tertipu. Para penguasa adalah orang-orang yang pandai bersandiwara ketika ingin mendapatkan mandat dan senjata lengkap. Malangnya nasib, para penguasa bukannya bertindak melindungi dan menyenangkan rakyat. Mereka sebaliknya menodongkan senjata kepada rakyat dan membebani rakyat dengan segala macam kecerobohan. Para penguasa juga berlaku semena-mena. Sewenang-wenang. Untuk saat ini, rakyat tidak punya pilihan lain. Mereka harus sangat berhati-hati menghadapi para penguasa yang setiap waktu mengacungkan senjata. Salah langkah bisa berujung tragis atau mendekam di penjara. Sejak awal, rakyat percaya orang-orang ini akan bertindak untuk melindungi dan menjaga keselamatan mereka dan hak milik mereka. Rakyat juga yakin orang-orang yang diberi sejata lengkap itu akan mengusahakan kemakmuran dan kesejahteraan. Semua itu tak terjadi. Janji menjaga rakyat berubah menjadi persekusi. Janji perlindungan jiwa dan hak milik, berubah menjadi pengejaran dan prosekusi. Para penyandera sibuk merampok dan menumpuk kekayaan di atas kapal NV Indonesia. Sebagian besar awak kapal mencari kesempatan dalam kesempitan. Sementara para penyandera sibuk berpesta pora dan menyantap yang enak-enak, para awak kapal yang jahat ikut hura-hura. Kini, para penumpang kapal harus rela menjalani kesewenangan para penyandera. Mereka tetap memilih hidup meskipun di bawah todongan senjat. Para penyamun yang berasal dari rakyat kini semakin mengganas. Rakyat hanya bisa menunggu para penyandera mabuk setelah pesta. Menunggu mereka lelah dan tertidur. Barangkali saja senjata dapat direbut kembali. Dan pada waktu itu nanti para penyandera bisa dilumpuhkan. Namun, sejauh ini belum lagi terlihat tanda-tanda ke arah itu. Para penyandera masih sangat kuat. Mungkin karena dibantu oleh orang-orang yang sudah malang-melintang di dunia rampok-merampok. Tidak ada pilihan lain. Rakyat harus terus bersabar. Bersabar sampai, barangkali, muncul seseorang yang sangat kuat dan memiliki kapasitas untuk menekuk gerombolan orang gila yang terlanjur menguasai senjata lengkap itu.

Industri Otomotif Bangkit. Mimpi Siang Bolong Presiden Jokowi

PRESIDEN Jokowi menyampaikan kabar mengejutkan. Industri otomotif Indonesia sudah bangkit kembali. “Saya dapat laporan dari Menteri Perindustrian, ada kenaikan untuk purchase order-nya 190 persen. Artinya harus inden. Artinya yang memproduksi ini kewalahan, artinya lagi, industri otomotif sudah bangkit kembali,” kata Jokowi, dalam pembukaan Indonesia International Motor Show (IIMS) Hybrid 2021 di Istana Negara, Jakarta, Kamis 15 April 2021. Bagi yang belum kenal, dan hafal dengan retorika Presiden Jokowi, apa yang disampaikan merupakan kabar yang sangat baik dan menggembirakan. Namun meminjam olok-olok yang sering digunakan oleh netizen, “sayangnya kabar baik itu yang menyampaikan Jokowi.” Begitulah public distrust yang sudah sangat meluas di kalangan masyarakat. Apapun yang disampaikan oleh pemerintah, khususnya Presiden, publik telanjur apriori. Tidak mempercayainya. Agar tak terjebak dalam sikap apriori. Sikap buruk sangka terhadap Jokowi, mari kita cek datanya. Benarkah dengan kenaikan pemesanan naik 190 persen, berarti industri otomotif sudah bangkit kembali? Berdasarkan data yang dirilis oleh Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) penjualan mobil tahun 2020 merosot sangat tajam. Pada 2020, total volume wholesales anjlok 48,3 persen dari tahun sebelumnya, sedangkan ritel minus 44,5 persen. Distribusi mobil baru dari pabrik ke diler (wholesales) selama periode tersebut hanya mencapai 532.027 unit. Sementara dari sisi ritel, capaiannya terhenti di angka 578.327 unit. Titik terendah pada kuartal II/2020 atau April-Juni. Saat itu, pasar otomotif nasional hanya tersisa sekitar 10 persen dari keadaan normal Trend penurunan itu terus berlanjut pada awal tahun 2021. Gaikindo mencatat penjualan wholesales Januari 2021 berjumlah 52.910 unit. Angka itu turun 8,7 persen dibanding Desember 2020. Sementara dibandingkan Januari 2020 penurunan mencapai 52 persen. Untuk penjualan retail, penurunan lebih dalam. Penjualan Januari 2021 turun 28 persen dibanding Desember 2020. Sementara dibanding angka Januari 2020, penurunan retail mencapai 50,1 persen. Pada bulan Februari 2020 angkanya kembali turun, 15 persen dari penjualan bulan Januari. Angka penjualan mana yang digunakan oleh Jokowi sebagai pembanding. Tahun 2020, atau 2021? Kalau menggunakan angka tahun 2020, ada penurunan hampir 50 persen dibandingkan dengan tahun 2019 sebelum Covid. Sementara angka penjualan pada bulan Januari dan Februari turun di atas 50 persen dibandingkan tahun 2020. Atau angka penjualan bulan April-Juni 2020? Saat angka penjualan tinggal 10 persen? Pak Jokowi barangkali lupa. Atau jangan-jangan tidak tahu menahu, mulai bulan Maret 2021 pemerintah secara mengejutkan memberikan stimulus gila-gilaan untuk industri otomotif. Untuk pembelian mobil baru di bawah 1.500 CC diberi insentif PPnBM (Pajak Penjualan atas Barang Mewah) sampai 100 persen. Pembebasan pajak sampai 100 persen berlaku selama tiga bulan. Kemudian secara bertahap turun 50 dan 25 persen pada tiga bulan berikutnya. Insentif pajak itu diajukan oleh Menteri Perindustrian. Namun pada bulan Oktober 2020 ditolak Menkeu Sri Mulyani. Alasannya akan memberatkan ekonomi, karena berdampak terhadap penurunan pendapatan negara. Sri Mulyani kala itu lebih memilih memberi stimulus fiskal yang bisa dinikmati oleh semua golongan. Bukan hanya industri otomotif. Namun tiba-tiba pada bulan Februari 2021 pemerintah memutuskan memberi insentif pajak untuk industri otomotif. Tidak hanya berhenti sampai disitu. Pada bulan Maret pemerintah memperluas insentif PPnBM. Jika semula hanya berlaku untuk kendaraan di bawah 1.500 cc 4X2, termasuk sedan dengan kandungan lokal 70 persen. Sekarang diperluas dengan kendaraan di bawah 2.500 cc 4X4 dengan kandungan lokal 60 persen. Dengan fakta ini sudah bisa diduga penjualan mobil baru pasti sangat menggiurkan. Pembeli bela-belain membobol tabungan, mumpung ada obral pajak besar-besaran. Apakah eforia pembelian mobil itu akan terus berlanjut ketika insentif dicabut? Tidak usah menunggu sampai habis masa pemberian insentif. Setelah insentif turun menjadi 50, apalagi 25 persen, dipastikan penjualan akan anjlok kembali. Tidak perlu kaget bila kebijakan pemerintah akan kembali berubah. Insentif PPnBM 100 persen diberikan sepanjang tahun. Demi mendongkrak penjualan otomotif. Jadi sesungguhnya klaim Jokowi bahwa industri otomotif telah bangkit kembali, bisa dipastikan adalah MIMPI DI SIANG BOLONG. Yang terjadi justu pendapatan negara kian tergerus, karena membeli stimulus industri otomotif. Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan, pemerintah mengalokasikan anggaran sebesar Rp 2,99 triliun untuk penghapusan PPnBM mobil baru. Kebijakan insentif PPnBM mobil baru ini sekali lagi menunjukkan, betapa pemerintah sangat berpihak pada korporasi, termasuk korporasi multinasional. Dengan membeli mobil baru, maka sebenarnya dana tabungan masyarakat tersedot dan terbang ke pabrikan mobil asing. Sementara rakyat kembali coba dininabobokkan bahwa industri otomotif nasional sudah kembali bangkit. Mohon maaf Pak Jokowi. Kami sudah hafal dengan retorika semu semacam itu. Kami tak akan terlena. End

Ada “Malin Kundang” di Tlatah Pakuan

TIDAK ada satu manusia di belahan dunia mana pun yang diperlakukan sekasar Habib Rizieq Shihab (HRS). Ia terus dikuntit rezim untuk menyerah dan mengalah atas pelanggaran ringan protokol kesehatan Covid-19. Siapa pun yang menyimak persidangan HRS dalam kasus tes swab di RS Ummi Bogor, membuat dada tiba-tiba tersesak. Sidang pelanggaran prokes yang auranya mirip dengan sidang kasus terorisme itu menghadirkan saksi Wali Kota Bogor, Bima Arya Sugiarto. Sidang yang cukup melelahkan itu mendalami keterangan saksi yang berubah-ubah. Saksi yang awalnya mau mencabut laporan kepolisian tiba-tiba batal, lantaran, kata Bima ada perintah dari Kapolda Jawa Barat untuk tetap memproses kasus ecek-ecek tersebut. Oleh karena itu, HRS menyebut Bima Arya pembohong. HRS tentu saja kecewa terhadap sikap Bima Arya yang tidak konsisten, apalagi sebelumnya hubungan Bima-HRS cukup harmonis. Di persidangan ini terbongkar sisi lain Bima Arya. Alih-alih mau menjadi saksi memberatkan bagi HRS, yang terjadi justru masa lalu Bima saat mencalonkan diri menjadi wali kota juga terbongkar. Tahun 2013 Bima Arya bukan siapa-siapa. Ia hanya pengamat politik dari lembaga riset Charta Politika. Atas desakan teman-teman dekatnya ia didapuk untuk coba-coba ikut Pilkada Kota Bogor. Ketika itu tingkat popularitas Bima cuma 8 persen, jauh di bawah angka petahana. Maka strategi disusun, pencitraan dikemas, dan pasukan buzzer dikerahkan. Tema pun dikumandangkan, BIMA (Bageur, Pinter, Idaman, Sadaya). Atas saran teman-teman Bima yang memang ahli komunikasi, calon wali kota yang tampak polos itu patuh dan mengikuti kemauan konsultan politiknya. Bima disetting seperti Jokowi saat mau jadi presiden. Pada kumpulan ibu-ibu majelis taklim ia memerankan orang yang hormat dan takzim kepada perempuan. Di kalangan pedagang kaki lima ia tampil sebagai rakyat bawah dengan makan bubur ayam di emper toko. Di kalangan seniman ia juga dipaksa lincah ngibing ala Sunda. Memakai sandal jepit adalah salah satu ritual yang Bima tunaikan. Upaya merebut hati masyarakat Kota Bogor mulai menampakkan hasil. Dua bulan kampanye, survei menunjukkan popularitas dia semakin naik menjadi 15 persen. Akan tetapi, kenaikan ini belum mampu mengalahkan rivalnya yang cukup kuat. Bima kemudian diarahkan untuk mendekati ulama. Maka adegan berikutnya pun ia lakukan dengan penuh semangat dan total. Ia berkunjung ke ulama- ulama sepuh di Kota Bogor. Tak lupa pakai kopiah hitam dan adegan cium tangan pun diviralkan. Belakangan diketahui ulama-ulama yang diminta Bima Arya untuk mendukungnya adalah guru Habib Rizieq Shihab. Ini terungkap saat Bima menjadi saki bagi HRS di PN Jakarta Timur, Rabu (14/04/2021). Habib menyinggung soal restunya kepada Bima Arya saat ingin menjadi Wali Kota Bogor, pada awal 2014. Habib Rizieq mempertegas peran dirinya dalam mendukung Bima Arya menjadi Wali Kota Bogor. Habib Rizieq tahu bahwa Habib Mahdi Assegaf sangat dekat dengan Bima bahkan menjadi pendukung utama Bima. Ketika itu Habib Rizieq sebagai guru, merestuinya. Selain Habib Mahdi Assegaf, Habib Rizieq juga menyinggung bahwa Bima dekat dengan ulama Muhammad Husni Thamrin. "Itu juga pendukung Anda luar biasa. Habib Tham itu orang tua saya. Kalau Anda dekati Habib Tham, (kemudian) Habib Tham suruh saya temui Anda, jangankan saya lagi sehat, lagi sakit pun saya akan datang ke kantor Anda," kata Habib Rizieq. Singkatnya, atas dukungan ulama dan habiblah, Bima Arya Sugiarto akhirnya menjadi Wali Kota Bogor pada 2014. Namun, ibarat cerita Malin Kundang di Sumatera Barat, ada anak durhaka kepada orang tuanya yang kemudian dikutuk menjadi batu. Ini terjadi Bumi Pakuan, tepatnya di Kota Bogor. Orang yang telah berjasa mendukung menjadi wali kota, malah dijebloskan ke penjara. Dimasukkannya HRS ke penjara salah satunya karena ada laporan kepolisian yang dibuat oleh sang wali kota dalam kasus pelanggaran protokol kesehatan covid-19 di wilayah Bogor. Habib mempertanyakan mengapa Bima tak menggunakan cara-cara kekeluargaan ketika menyelesaikan persoalan tes swab di RS Ummi Kota Bogor. Ia menyayangkan Bima yang langsung melaporkan polemik tersebut ke pihak berwajib. Padahal, hubungan HRS – Bima selama ini begitu baik. Bima tak hanya menyakiti Habib Rizieq Shihab. Teman-teman dekatnya yang dulu all out mendukungnya pun banyak yang kecewa. Belum genap satu tahun memimpin Bogor, ia terlibat korupsi lahan di Pasar Jambu Dua. Empat orang sudah dipenjara, tetapi dia selamat, padahal namanya sudah disebut dalam dakwaan jaksa sebagai orang yang melakukan (pleger). Kasus lain adalah soal pembangunan Hotel Ammarrossa yang menyalahi tata ruang. Di bawah kepemimpinannya, kemiskinan meningkat, dan kemacetan yang tak pernah terurai. Kota Bogor hanya terkesan indah di seputar Istana Kepresiden dan Kebun Raya. Bima dianggap kacang lupa kulitnya. Bima memang pernah menyesal atas dijebloskannya HRS dan menantunya, Habib Hanif ke penjara. “Saya sesalkan kenapa bisa menyeret nama Habib Rizieq Shihab dan Habib Hanif. Padahal, yang dilaporkan adalah RS UMMI Bogor,” ujar Bima Arya seperti yang disampaikan oleh Penasihat Hukum HRS, Aziz Yanuar. Tapi, apakah penyesalan itu ada manfaatnya? HRS hanya minta Bima menggunakan hati nuraninya dalam memimpin kota Bogor. Tes Swab di RS Ummi Bogor adalah kasus hukum dagelan karena ada ribuan orang di belahan republik ini yang tak melakukan tes swab. HRS juga menyesalkan sikap Bima yang tak berdaya mencabut laporan polisi, padahal diperbolehkan secara hukum. Ini membuat HRS sangat terpukul. Yang lebih menyebalkan lagi, tidak ada jejak penularan Corona pasca HRS dirawat di rumah sakit tersebut. Jadi, kalau dikatakan Bima berkewajiban memutus mata rantai Covid-19, rantai mana yang akan diputus? Pengadilan ini adalah contoh nyata ketidakadilan. Para penegak hukum seyogyanya menggunakan hati nurani dan moralitas dalam mengadili HRS. Keadilan macam apa yang bakal diraih. Penegakan hukum macam apa yang bakal diperjuangkan. Penghentian penularan Covid-19 macam apa yang hendak disetop. Ingat, apa yang dituduhkan kepada HRS sesungguhnya dilakukan pula oleh orang lain. Bahkan presiden dan para pejabat tinggi lainnya melakukan hal yang sama. Di mana letak equality before the law? Lebih menohok lagi ada biduan muda yang sengaja mengadakan acara pernikahan mewah malah dihadiri tiga pejabat negara yakni presiden, menhan dan Ketua MPR. Toh tidak dipenjara. Oleh karena itu, penegak hukum siuman dan sadarlah. Apakah proses persidangan HRS ini semata-mata untuk menegakkan hukum dan mencari keadilan atau memenuhi target mengurung HRS hingga tahun 2026 sebagaimana Twitter yang diduga milik Diaz Hendropriyono?

Kunci Surga Dipegang Gubernur Kalimantan Timur?

MILITANSI dan totalitas pendukung Jokowi layak untuk diacungi jempol. Ada saja ide untuk menempatkan junjungannya di posisi terbaik dan teratas. Ibarat tangga lagu pilihan pendengar, posisi lagunya harus tetap populer dan berada di puncak tangga dalam beberapa bulan. Demikiam juga dengan Jokowi, para pendukungnya terus berupaya agar dia berada di tangga paling atas. Apalagi belakangan ini, ada hasrat dan keinginan kuat yang tersembunyi agar kurun waktu sekarang tetap berada di puncak tangga lebih lama hingga tiga periode. Bahkan bisa jadi seumur hidup. Makanya segala ikhtiar selalu dilakukan tanpa jeda. Mungkinkah itu terjadi? Apa sih yang tidak mungkin di Republik “Emang Gue Pikirin” ini? Adalah Isran Noor, Gubernur Kalimantan Timur yang pagi-pagi sudah ikhlas menjadi bemper kepada Jokowi. Irsan kumandangkan woro-woro ke seluruh jagat Nusantara bahwa Jokowi adalah manusia paling layak masuk surga tanpa beribadah, karena “berhasil” memindahkan ibu kota Negara dari Jakarta ke Kalimantan Timur. “Mas Jokowi, Bapak Presiden, Bapak itu pasti masuk surga. Tidak usah lagi Bapak itu beramal ibadah,” kata Isran dalam Kuliah Umum terkait potensi dan keberlanjutan Ibu Kota Negara di kampus Universitas Indonesia yang dilakukan secara daring Rabu (07/04/2021). Pernyataan Isran ini sungguh mengagetkan. Kapan Irsan punya hak privilese untuk menentukan seseorang masuk surga atau neraka. Yang lebih mengagetkan lagi, sepertinya Irsan juga memegang kunci surga. Kunci yang kapan saja bisa digembok atau dibuka pintu surga. Ironis dengan kenyataan di lapangan. Perihal kunci surga ini seringkali dilontarkan oleh species pembenci Islam terhadap umat yang mencoba mengamalkan ajaran agama Islam secara konsekuen. Mereka kerap menyebut Kadrun (Kadal Gurun) sebagai pemegang gembok dan penentu kavling surga. Tuduhan yang tak berdasar dan tak bernalar. Kata Rocky Gerung dungu dan dongo. Eh, ternyata yang memegang kunci surga adalah Isran Noor. Entah kapan Isran berdiskusi dengan Tuhan, kok bisa tahu nasib Jokowi? Apakah Isran juga Kadrun? Entahlah. Isran bukanlah satu-satunya orang yang mengagumi Jokowi, sehingga menyentuh langit batas atas. Bukan kali ini saja Jokowi dipuja setinggi Planet Pluto. Sebelumnya pada tahun 2018, Jokowi diibaratkan Khalifah Ustman bin Affan oleh Prof. Dr. Rokhmin Dahuri. Ilmuwan dari Institut Pertanian Bogor (IPB), University itu terpesona pada kesederhanaan Jokowi. Rokhmin lantas menjulukinya Ustman Bin Affan karena selalu dekat dengan rakyat. Oleh penggemarnya, sifat-sifat Jokowi disamakan dengan sifat khalifah penerus Nabi. Jokowi lembut mirip Abu Bakar Asshiddiq. Kepemimpinannya tegas mirip Umar Bin Khattab. Sosoknya dermawan mirip Ustman Bin Affan. Otaknya cerdik mirip Ali Bin Abi Tholib. Menurut Rokhmin, gaya kepemimpinan Jokowi memberi pengaruh positif. Kata Rokhmin, rakyat sudah jatuh hati pada Jokowi. Jauh sebelum itu Jokowi juga dianggap ratu adil yang bakal paripurna mengatasi segala keruwetan hidup bangsa. Sosiolog Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Musni Umar dalam buku yang berjudul 'Bang Jokowi dan Bang Ahok Bangun Jakarta Baru' menyatakan kehadiran Jokowi dan Ahok layaknya Satrio Piningit untuk kota Jakarta. Musni Umar menyatakan, Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta pada 2012 lalu dapat dikatakan telah memunculkan Satrio Piningit. Pemimpin yang berjiwa luhur, membela kebenaran. Peduli kepada masyarakat bawah, serta mengedepankan negara dan bangsanya. Setidaknya ada lima tanda-tanda Jokowi menjadi Satrio Piningit versi Sosiolog Musni Umar. Misalnya, Jokowi mampu mangatasi macet, mengatasi banjir, membangun rumah susun, membikin pasar tradisional, dan menangani masalah sosial. Isu tentang Satrio Piningit ini sering muncul ketika keadaan masyarakat sedang kacau, resah, tertekan, dan krisis kepemimpinan. Masyarakat mengharapkan sekali sosok pemimpin yang ideal, yakni pemimpin yang adil, jujur, merakyat, bersahaja dqan tidak zolim. Gaya, dan praktik memimpinnya pun dilakukan dengan tulus ikhlas, apa adanya, tanpa pencitraan sehingga melahirkan kedamaian, ketentraman, dan kesejahteraan. Masyarakat yang mentalnya gersang dan kehidupannya sulit akan girang sekali jika mendengar Satrio Piningit bakal turun gunung, karena mereka berharap kesengsaraannya bakal segera berakhir. Nyatanya puluhan kali ganti rezim puluhan kali pula sosok Satrio Piningit dipasarkan. Namun hasilnya toh sama saja. Tak ada buktinya. Kriteria pemimpin ideal, hanya ada dalam dongeng. Dongeng itu diduga sekarang sedang diperankan oleh Jokowi. Maka alur ceritanya perlu dirawat agar masyarakat kecanduan Satrio Piningit terus-menerus sepanjang masa. Namun aneh, nyatanya, di era Satrio Piningit asli Solo ini, keadaan masyarakat justru semakin waswas, resah, gelisah, dan dalam ketidakpastian. Adu-domba, fitnah, dan pertengkaran selalu terjadi. Masyarakat dibikin penuh prasangka, saling hujat, dan perang dingin. Keadaan makin memburuk saat ekonomi terpuruk, cari makan makin sulit. Pengangguran meningkat, keadilan mati suri, dan utang negara menggunung. Satrio Piningit ternyata tidak memberikan ketentraman, kedamaian, dan keamanan. Tidak punya solusi. Jokowi malah sibuk membuat episode pencitraan demi pencitraan. Tampaknya para pemuja Jokowi salah menafsirkan Satrio Piningit. Jokowi juga mendapatkan pemujaan yang berlebihan. Semakin jauh dari fair dan realistis. Keberhasilannya diangkat setinggi langit, kegagalannya dibenamkan ke dasar lautan. Anehnya, Jokowi pun seperti menikmati posisi ini. Akibatnya banyak hal di luar dugaan Jokowi yang diketahui belakang ini. Tidak mengherankan kalau Jokowi sering bilang',"Saya kaget". Mereka juga kurang tepat menyematkan falsafah Mikul Dhuwur Mendhem Jero pada sosok Jokowi. Konsep Jawa ini sesungguhnya diberikan kepada orang yang sudah meninggal. Untuk mengurangi muatan fitnah, masyarakat Jawa diharap tidak membicarakan kejelekan orang yang sudah meninggal. Masyarakat diperintahkan untuk membicarakan kebaikan yang sudah meninggal. Mikul dhuwur itu artinya mengangkat tinggi-tinggi jejak kebaikannya. Sementara mendhem jero itu artinya mengubur dalam-dalam keburukan orang yang sudah meninggal. Konsep agung ini diaplikasikan dengan salah oleh pengikut Jokowi. Jokowi belum meninggal. Jejak langkahnya masih berproses. Itupun selalu ada pro-kontra dalam kebijakannya. Bahkan lebih banyak kontranya. Jokowi belum saatnya untuk menerima ganjaran surga. Surga atau neraka itu otoritas Tuhan bukan rekomendasi Isran Noor. Kalaupun ada kelebihan Jokowi, itu kreativitas buzzer semata dalam menyulap informasi. Membela membabi-buta, ugal-ugalan. Memlintir fakta. Tidak elok memuja-muja Jokowi setinggi galaksi. Sementara banyak pihak yang menyoal sepak terjangnya. Belum saatnya Jokowi memanen hasil, apalagi menyiapkan surga. Jangan terlampau boros memberikan pujian buat Jokowi. Ingat, aksara Jawa kalau dipangku pasti akan mati. Itu artinya menurut keyakinan orang Jawa, seseorang tidak boleh terlalu tinggi disanjung dan dipuja. Sanjungan yang melampaui batas akan membunuh yang disanjungnya. Coba saja.

Jokowi Jilat Ludah Sendiri

TIDAK ada anggaran. Itu menjadi kenyataan, sehingga program Bantuan Sosial Tunai (BST) berakhir pada April 2021. BST yang nilainya Rp 300.000 per kepala keluarga merupakan program yang diluncurkan Presiden Joko Widodo pada 4 April 2021. Total penerimanya mencapai 10 juta kepala keluarga. Jumlah anggaran yang disiapkan selama empat bulan (Januari sampai April) Rp 12 triliun. Tidak ada angin, tiba-tiba Menteri Sosial Tri Rismaharani mengumunkan penghentian BST. Tidak jelas, apakah pengumuman Risma itu sebagai trik agar Kementerian Keuangan iba kepadanya. Tidak hanya trik, tetapi hal itu merupakan manuvernya, sehingga pada akhirnya jika ada masalah, presiden langsung turun tangan. BST merupakan salah satu program yang diluncurkan presiden pada 4 Januari 2021. Lainnya adalah Program Keluarga Harapan (PKH) dan Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT). Rencana awal, bantuan hanya disiapkan Rp 200.000 per keluarga selama enam bulan (Januari sampai Juni 2021). Dengan berbagai pertimbangan, BST menjadi Rp 300.000 per kepala keluarga, atau sama dengan nilai yang diterima pada 2020. Hanya saja, jangka waktu diperpendek menjadi Januari sampai April 2021. Sangat ironis dan menyedihkan jika BST berakhir karena alasan anggaran tidak ada. Irinos, karena hal yang sangat dibutuhkan rakyat diiadakan, sementara Jokowi masih jor-joran membangun infrastruktur yang anggarannya jauh berlipat-lipat dibandingkan BST. Apalagi, nafsunya meneruskan pembangunan ibu kota negara, di Kalimantan Timur. Dananya, ratusan triliun. Padahal, pemindahan itu tidak begitu mendesak karena Jakarta masih layak sebagai Ibu Kota Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Ironis, karena pemerintahan Jokowi justru terkesan lebih memanjakan pengusaha besar dan orang-orang kaya, terutama konglomerat aseng. Buktinya, lihat saja anggaran yang disiapkan pemerintah melalui program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) tahun 2021 yang mencapai Rp 700 triliun. Coba ditelusuri ke mana saja dana itu mengalir. Menyedihkan, karena Dana PEN begitu besar, tetapi sedikit yang ke rakyat. Jika hanya Rp 12 triliun untuk empat bulan pertama, maka selama 2021 ini cukup dianggarkan Rp 36 triliun atau maksimal Rp 40 triliun. Menyedihkan, karena keberpihakan kepada rakyat yang membutuhkan, semakin jauh. Padahal, April 2021 merupakan bulan yang semakin berat, terutama dalam menghadapi Puasa Ramadhan, dan Hari Raya Idul Fitri 1442 Hijriyah yang jatuh pada 13 Mei 2021. Kebutuhan masyarakat tentu meningkat. Seandainya pun masyarakat melakukan penghematan, pengeluaran tetap naik akibat melonjaknya harga sejumlah kebutuhan pokok. Seminggu menjelang puasa, harga berbagai jenis kebutuhan pokok naik. Misalnya, harga telur, harga ayam potong naik, dan harga daging. Harga telur rata-rata Rp 25.000 per kg. Padahal, dua pekan sebelum puasa, harganya masih berkisar Rp 22.000 sampai Rp 23.000 per kg. Harga daging naik dari Rp 120.000 menjadi Rp 130.000 sampai Rp 140.000 per kg. Dalam waktu yang hampir bersamaan, tahun ajaran baru dimulai. Ada anak yang baru mau masuk TK, SD, SMP, SLTA dan SMK. Ada yang naik kelas. Ada yang mau masuk perguruan tinggi. Semua membutuhkan biaya. Okelah, untuk SD dan SMP (Negeri), tidak ada uang pangkal, SPP, dan bahkan buku pelajaran gratis semua. "Gratis, tapi mahal," demikian kalimat yang terekam dari kalangan orang tua murid, terutama yang kurang, apalagi yang tidak mampu. Apalagi, anak yang masuk sekolah swasta, lebih berat lagi. Sebab, orang tua dibebani biaya membeli pakaian seragam, sepatu dan tas. Nilainya cukup mahal. Apalagi, jika dalam satu rumah tangga ada tiga anak yang sama-sama membutuhkan. Untuk DKI Jakarta, tidak masalah karena mereka memiliki Kartu Jakarta Pintar (KJP) yang bisa ditukar dengan pakaian seragam sekolah. Akan tetapi, daerah lainnya tidak seperti Jakarta. Nah, kembali ke BST. Apakah pemerintah benar-benar sudah tidak memiliki anggaran atau sekedar gertak sambal dari Rismawati? Atau jangan-jangan ini pencitraan lagi. Caranya, di saat genting atau menjelang batas waktu, Joko Widodo akan tampil menyatakan dana BST tetap ada. Biar sesulit apa pun harus ada. Terserah dananya dari mana. Mau utang atau apa pun namanya, harus ada. Akan tetapi, jika Jokowo memaksakan dana BST harus ada di tengah minimnya anggaran, tentu hal tersebut menjadi bahan cemoohan. Sebab, semua orang juga ingat dan tahu tentang ucapannya sewaktu masih menjabat Gubernur DKI Jakarta. Saat itu, ia menegaskan tidak setuju terhadap semua progran bantuan tunai.sebagai bentuk kompensasi kenaikan harga bahan bakar.minyak (BBM). Ia tidak setuju dengan Bantuan Langsung Tunai (BLT) maupun progran Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM). Alasannya, tidak.mendidik masyarakat. Sebenarnya, tidak hanya BLT, BLSM, BST yang tidak mendidik masyarakat. Bantuan-bantuan lainnya juga tidak mendidik rakyat. Apalagi, Bantuan Lempar Langsung (BLL) yang sering dipertontonkan Jokowi dari.mobil dinas Presiden, saat berkunjung ke daerah. BLT berubah nama menjadi BST. BST pun menjadi BLL. Ya, Jokowi sering tidak konsisten dengan perkataannya. Jika merujuk pada ucapannya pada Juni 2013, saat masih Gubernur DKI Jakarta, Jokowi telah menjilat ludahnya sendiri. Sebab, ia tidak setuju BLT, tetapi menggantinya menjadi BST.

Arogansi Polisi Bisa Diberitakan, Alhamdulillah Kapolri Waras (Bagian -2)

Tranparansi berkeadilan merupakan realisasi dari prinsip, cara berpikir dan sistem yang terbuka, akuntabel, dan humanis. Kami terbuka untuk diawasi, sehingga pelaksanaan tugas-tugas Kepolisian akan dapat menjamin keamanan dan rasa keadilan masyarakat. Polri tidak boleh menjadi alat kekuasaan, karena sejatinya Polri adalah alat negara. Oleh karena itu, setiap tindakan Polri harus ditujukan untuk mendukung memajukan Indonesia dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. (Calon Kapolri Komisaris Jendral Polisi Listyo Sigit Prabowo di Depan Komisi III DPR). PRESISI itu bukan dengan cara mempidanakan orang yang menyerukan atau mengajak orang lain hadir pada peringatan Maulid Nabi Muhammad Sallallahu Alaihi Wasallam. Sejak kapan perayaan Maulid Nabi Muhammad Sallallahu Alaihi Wasallam itu dinyatakan oleh hukum positif Indonesia sebagai kejahatan? Sejak kapan itu Pak Kapolri? Hukum apa yang mengatur soal itu Pak Kapolri? PRESISI ko seruan kepada orang untuk datang menghadiri perayaan Maulid Nabi Muhammad Sallallhu Alaihi Wasallam dinyatakan sebagai “hasutan” Pak Kapolri? Ah, itu konyol sekali. Sebaiknya jangan yang seperti begitulah. Sebab pasti disebut masyarakat sebagai arogansi kekuasaan dari institusi kepolisian. Bukan lagi disebut sebagai arogansi anggota atau oknum polisi semata. Kapolri Yang Berkelas PRESISI, tetapi apakah menyedot dan menyadap data pribadinya Jumhur Hidayat secara diam-diam itu dibenarkan oleh hukum? Pastinya itu tindakan ngaco dan ngawur? Kebijakan itu pakai hukum atau UU dari planet mana ya Pak Kapolri? Kalau tidak salah ingat, kebijakan penyedotan dan penyadapan data pribadinya Jumhur Hidayat tersebut dilakukan saat Pak Sigit masih menjabat sebagai Kapala Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri. Kapan dan pada UU apa polisi diberi wewenang untuk menyedot serta menyadap data pribadi warga negara? Ini pasti bukan pekerjaan polisi yang PRESISI Pak Kapolri. Perbuatan ini pasti arogansi namanya. Dibilang arogansi karena tidak ada UU yang memberi kewenangan kepada polisi untuk menyadap dan menyedot data pribadi dan percakapan pribadi orang. Meskipun tidak menggunakan alat canggih penyadapan dan penyedotan, namun pekerjaan yang arogan dan sewenang-wenang dengan mengabaikan UU seperti ini hanya ada pada eranya Polisi GESTAPO Nazi Hitler dulu. Pasti itu bukan pekerjaan polisi yang PRESISI. Itu memalukan betul Pak Kapolri. Masa hari gini polisi bekerja tanpa panduan UU? Masih ada aparatur negara yang berpikir menyembunyikan tingkah lakunya? Kekerasan aparat ko mau disembunyikan? Arogansi aparat ko mau diumpetin? Waraskah itu? Jelas saja itu tidak waras. Untung saja hari ini kita punya Kapolri yang waras. Sehingga TR yang hendak membatasi kebebasan pers memberitakan prilaku arogansi polisi itu dicabut. Hanya dalam kurun waktu kurang dari 24 jam TR yang abal-abal tersebut dicabut Kapolri. Terima kasih Pak Kapolri Sigit. Anda memang Kapolri yang hebat, berkelas, top-markotop dan mengagumkan. Pak Kapolri Sigit sangat responsip dan prediktif terhadap keresahan dan kegalauan masyarakat Pers. Itu baru namanya sikap dan kebijakan yang PRESISI. Sekali lagi, terima kasih Pak Kapolri Sigit. Anda telah menunjukan dengan sangat jelas kelas dan kaulitas anda sebagai Kapolri yang PRESISI. Pastinya tidak ada aparat yang bukan hamba-Nya Allah Subhanau Wata’ala. Sebagai hamba Allah Subhanahu Wata’ala tidak ada satupun tindakan aparatur yang berada di luar penglihatan rekaman Allah Subhanahu Wata’ala, Robb yang Haq. Secanggih apapun kekerasan dan arogansi itu diumpetin, tetap saja terekam dengan utuh oleh Allah Subhanahu Wata’ala. Kalian boleh saja lolos di dunia. Tetapi tidak di alam Allah Azza wa Jallah. Allah Subhanahu Wata’ala yang maha tau setiap napas hamba-Nya pasti berada dalam genggaman-Nya. Pak Sigit, saran kami, berhentilah untuk mengurus hal-hal yang tidak menjadi tugas pokok anda sebagai Kapolri. Tidak usahlah anda ikut cawe-cawe, mengambil prakarsa sendiri atau apapun namanya menangani urusan-urusan pemerintahan yang menjadi tugas pokok kementerian tertentu. Anda hanya perlu menggunakan semua energi yang serba terbatas, untuk membangun Kepolisian. Itu sudah cukup. Tata Ulang Polisi Benahi saja kultur Kepolisian. Itu jauh lebih penting daripada anda harus menggunakan energi kesana-kemari menangani hal-hal yang telah menjadi tugas Kementerian lain. Kalau anda mencintai kepolisian, sama dengan cinta kami kepada kepolisian. Anda harus tahu juga, kalau arogansi yang terlembagakan dan menjadi kultur suatu organisasi, kelak akan melahirkan energi antipasti. Energi antipati itu akan bertransformasi menjadi undangan dan kebutuhan politik kepada bangsa ini, melakukan “Tata Ulang Kepolisian”. Sebab kalau terus-terusan arogan, dan dinilai polisi selalu andal sebagai tukang pukul politik Presiden, maka tampilan praktis polisi ditengah bangsa ini kelak akan dibuka oleh masyarakat. Akan dicerna dan dievaluasi semua prilaku polisi dengan deteilnya. Bisa dibayangkan kalau semua data itu menyuguhkan kenyataan bahwa polisi selalu saja begitu, yaitu “menjadi tukang pukul politik Presiden”. Selalu mengandalkan hukum di sepanjang sejarah bangsa ini untuk memukul lawan politik. Setidaknya sejak tahun 1959 lalu, sehingga kebutuhan untuk melakukan “Tata Ulang Kepolisian” bakal sulit terhindarkan. Bila data sejarah perilaku arogansi Polisi hadir secara detail di benak warga negara yang membiayai polisi, maka kenyataan itu bisa menghadirkan “Tata Ulang Kepolisian”. Tata ulang sebagai pilihan paling rasional dan mutlak. Itu yang harus diingat-ingat oleh Pak Kapolri. Belajarlah dari sejarah kelam masa lalu TNI yang “menjedi tukang pukul politik terhebat Presiden”. Jangan ulangi lagi kekeliruan TNI itu. Pak Kapolri tidak bileh lupa dengan celah konstitusi terlalu besar untuk bangsa ini memilih pilihan “Tata Ulang Kepolisian”. Coba lihat dan pelajari lagi UUD 1945. Hubungkan kemungkinan “Tata Ulang Kepolisan” itu dengan pasal 30 ayat (4) UUD 1945. Esensi dari pasal 28I ayat (5) UUD 45 itu sangat sangat dan sangat jelas. Tidak ada penegakan hukum, yang dengan alasan apapun, membatasi hak asasi warga negara atau pribadi orang. Negara hukum mengharuskan pembatasan itu dilakukan, bukan hanya berdasarkan hukum ansich. Tetapi hukum yang selaras dengan panduan etika, moral, kaidah sosial dan politik yang masuk dalam timbangan akal sehat. Bagaimana dengan pasal 30 ayat (4), yang bicara tentang Kepolisian. Pasal ini menyediakan kaidah konstitusional untuk membatasi organisasi Kepolisian. Kadiah “menegakan hukum” itu tidak bersensi “menyelidik dan menyidik” mutlak hanya menjadi fungsi Polisi. Fungsi ini bisa dilakukan oleh organ lain negara di luar Kepolisian. Itu yang mungkin perlu diingat-ingat oleh Pak Kapolri Sigit. Dalam rangka memastikan pelaksanaan fungsi konstitusional Kepolisian menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, melindungi dan mengayomi serta melayani masyarakat, maka diperlukan organ lain sebagai transformasi konstitusional 28I ayat (5) UUD 1945 itu. Organ ini mutlak disifatkan sebagai organ yang independen. Organ di luar polisi. Namu bukan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas). Sekedar saran, Pak Kapolri perlu mengasah kepekaan terhadap lingkungan politik. Kapolri harus pastikan lingkungan politik tidak boleh mengkristal pada kebutuhan untuk “Tata Ulang Kepolisian”. Polisi boleh saja dikenal hebat dan terlatih dalam lobi-lobi politik khusus. Tetapi politik punya cara kerja sendiri yang terkadang aneh-aneh. Sulit untuk diprediksi. Maka belajarlah yang banyak dari kekeliruan saudara tua. Prinsipnya anggota polisi jangan mengorbankan institusi polisi. Misalnya, dengan berusaha berlindung dibalik institusi polisi. Namun sebaliknya, institusi polisi jangan juga sampai digunakan untuk melindungi anggota yang jelas-jelas bersalah dan tidak PRESISI. Sebab kalau keadaan masyarakat menghendaki perubahan, maka dipastikan politisi-politisi akan mengubah haluan. Kalau perubahan itu ada depan mata, maka para politisi akan memilih untuk berlabuh di pelabuhan rakyat. Mereka akan bernyanyi dalam nada dan dan irama yang bersama-sama dengan rakyat. Itu pasti terjadi. Begitu cara politisi mencari jalan dan perahu untuk menyelamatkan diri. Tidak ada jalan yang bisa dipakai untuk dilewati politisi. Ketika itu, semua jalan menjadi buntu dan tertutup. Terimak Pak Kapolri yang sudah bertindak cepat mencabut TR abal-abal itu. Arogansi Polisi akhirnya bisa diberitakan lagi oleh Pers. Jelas sudah kalau Pak Kapolri Sigit menghendaki tampilan polisi yang humanis. Bukan polisi yang arogansi. Bersamaan dengan itu, Pak Kapolri harus pastikan bahwa pencabutan TR abal-abal itu menjadi akhir arogansi Polisi pada semua aspek penegakan hukum negeri ini. Semoga saja. (selesai).

Arogansi Polisi Bisa Diberitakan, Alhamdulillaah Kapolri Waras (Bagian-1)

SOAL kebebasan Pers dan Hak Asasi Manusia menjadi ganjalan utama 13 Negara Bagian untuk pertama kalinya tidak mau bergabung dengan negara Amerika Serikat pada konvensi Philedevia (konvensi pembentuan Negara Amerika Serikat) tahun 1787. Empat tahun kemudian, padaamandemen pertama UUD Amerika Serikat tahun 1791, setelah soal kebebasan Pers dan HAM masuk dalam konstitusi, barulah 13 Negara Bagian menyatakan mau bergabung dengan Amerika Serikat. Hasil amandemen pertama UUD Amerika Serikat tahun 1791 itu, berbunyi begini, “Presiden dan Kongres Amerika Serikat dilarang untuk membuat Rancangan Undang-Undang yang membatasi kebebasan Pers. Baru mulai berfikir untuk membatasi kebebasan Pers saja sudah dilarang oleh konstitusi Amerika Serikat. Betapa pentingnya kebebasan Pers ini untuk mendirikan negara baru seperti Amerika Serikat. Sebagai “the four of state democration”, secara moral Pers diberikan tugas oleh rakyat untuk menguliti dan menelanjangi prilaku aneh dari semua penyelanggara negara yang dibayar gajinya dari pajak rakyat. Prilaku penyelenggara negara yang tidak memihak kepada rakyat. Prilaku penyelenggara negara yang tidak untuk menyukseskan cita-cita dan tujuan bernegara. Sebaliknya, malah menyeserakan rakyat. Polisi GESTAPO Nazi Hitler Alhamdulillah, Polri mengatakan pencabutan surat telegram Kapolri Nomor ST/750/IV/HUM.3.4.5./2021 terkait larangan media menampilkan “kekerasan aparat” (tanda petik dari kami) lantaran muncul banyak tafsir di masyarakat. Kapolri Pak Jendral Polisi Listyo Sigit Prabowo, akhirnya menyampaikan permintaan maaf atas terbitnya Telegram Rahasia (TR) larangan media. TR itu kemudian menimbulkan multitafsir di masyarakat yang diartikan media dilarang meliput upaya dan tindakan arogansi anggota polisi. Kapolri dalam keterangan tertulisnya, beredar di Jakarta, Selasa (6/4) malam, mengatakan dicabutnya TR tentang larangan media tersebut sebagai wujud Polri tidak antikritik. Polri bersedia mendengar dan menerima masukan dari masyarakat. "Dan sekali lagi mohon maaf atas terjadinya salah penafsiran yang membuat ketidaknyamanan teman-teman media. Sekali lagi kami selalu butuh koreksi dari teman-teman media dan eksternal untuk perbaikan insititusi Polri agar bisa jadi lebih baik," kata Kapolri. Bagus, hebat, berkelas dan top markotop. Sebab Kapolrinya waras. Punya akal sehat. Sebab untuk dan dengan alasan apapun, pembatasan pemberitaan pers memberitakan hal-ihwal perilaku Polisi, itu jelas arogan. Polisi yang tak bisa dikiritik itu hanya Polisi Gestapo di zaman Nazi Adolf Hitler dulu. Polisi Gestapo itu arogannya minta ampun. Arogannya tak ketulungan. Polisi Gestapo Nazi Hitler itu bisa menguping, mengintersep, menyadap seenak udel mereka terhadap siapa saja yang berbicara di luar garis politik Hitler. Seperti itulah kelakuannya Polisi Gestapo. Polisi itu punya senjata berpeluru tajam. Polisi juga punya senjata hukum. Dua senjata itu membuat mereka menjadi sangat super power. Karena kedua-duanya sama-sama mematikan. Polisi bisa saja menggunakan senjata berpeluru tajam yang mematikan setiap orang hanya dengan alasan-alasan yang direkayasa. Itulah yang terjadi di kilometer 50 tol Jakarta-Cikampek (Japek). Kapolda Metro Jaya Irjen Polisi Fadil Imran mengatakan mereka melawan dan membahayakan petugas. Belum lama ini, Nurhadi yang sudah mempelihatkan diri sebagai wartawan Tempo dianiaya Polisi. Nurhadi dianiaya saat berupaya mencari informasi tentang mantan Direktur Pemeriksaan Direktorat Jenderal Pajak, Angin Prayitno Aji. Orang ini diduga terlibat kasus suap pemeriksaan pajak pada Sabtu, 27 Maret 2021 yang lagi disidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Nurhadi dianiaya di Gedung Graha Samudera Bumimoro, kompleks Komando Pembinaan Doktrin Pendidikan dan Latihan TNI Angkatan Laut Surabaya. Meski sudah menunjukkan identitasnya sebagai jurnalis, Nurhadi tetap dipukul, dipiting dan sempat disekap selama beberapa jam di hotel. Apakah Pak Kapolri telah mengambil tindakan terhadap ariogansi anak buah yang menganiaya Nurhadi? Apa penanganan kasus ini mau dilambat-lambatkan lagi seperti penanganan kasus pembunuhan laskar FPI di kilometer 50 tol Japek? Kalau memiliki nuansa yang sama dengan kasus kilometer 50 tol Japek, maka sulit untuk menilai bahwa Pak Kapolri punya hasrat menghentikan prilaku arogansi anak buahnya. Kapolri Mengerti UUD 45? Polisi di bawah kepemimpin Pak Kapolri Sigit saat ini, tentu tak mau negara ini diplesetkan menjadi Negara Kepolisian Republik Indonesia (NKRI). Kalaupun mau jadikan Indonesia negara Polisi, maka bukan Polisi yang menentukan arah itu. Pak Kapolri dan jajarannya kan tahu bahwa Polisi itu baru ada setelah negeri ini merdeka. Polisi baru ada setelah dibentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR). Pak Kapolri dan jajarannya pasti tahu bahwa BKR dibentuk tidak untuk “melakukan kekerasan dan arogan” kepada rakyat. BKR itu dibentuk untuk melindungi rakyat dari tindak-tanduk bejat tentara sekutu dan KNIL, tentara Kerajaan Belanda itu. Makanya menjadi tidak logis kalau polisi yang arogan terhadap rakyat. Rakyat itu pemilik bangsa ini. Bukan milik Polisi. Kapolri harus mengerti juga UUD 1945. Rakyat itu bukan musuh polisi. Polisi juga bukan tukang pukul politik dari Presiden. Kapolri harus diberitahu pembatasan pers memberitakan perilaku arogansi polisi dalam menjalankan tugasnya, sama hukumnya dengan membatasi hak warga negara untuk mendapat informasi. Pembatasan hak warga negara hanya sah kalau diatur dengan UU. Begitulah UUD 1945 menggariskannya kepada bangsa ini. Bukan pakai TR kalau membatasi hak warga negara. Terima kasih Pak Kapolri atas pencabutan TR yang abal-abal itu. TR yang sebagian isinya melarang pemberitaan kekerasan dan arogansi aparat polisi. Jangan hanya kejahatan orang saja yang mau diusut. Tetapi giliran kekerasan dan arogansi aparat polisi mau disembunyikan. Ini cara berpikir yang abal-abal, kaleng-kaleng, odong-odong dan beleng-belang. Mendekorasi jalan menuju kursi Kapolri dengan konsep “PRESISI” itu hebat, kerkalas, top markotop dan sangat mengagumkan. Tetapi kekerasan dan arogansi aparat polisi mau disembunyikan, jelas itu konyol. Sebab PRESISI itu bukan profesional yang sembunyikan kekerasan dan arogansi polisi. PRESISI itu bukan pula profesional berprilaku menyadap atau menyedot data pribadi orang, seperti data pribadinya Jumhur Hidayat, yang disedot secara diam-diam. PRESISI itu bukan memperlakukan hukum yang berbeda pada kasus yang sama. Kerumunan yang dihadiri oleh Presiden, dianggap benar. Tetapi giliran orang lain, misalnya Habib Rizieq Shihab, malah dijadikan tersangka dan dipenjarakan. Itu bukan presisi. Ini namanya arogansi. Cara dan pola seperti itu pernah dipakai oleh Polisi GESTAPO Nazi Hiler dulu. PRESISI, tetapi berbulan-bulan baru menemukan tiga tersangka dalam kasus pembunuhan di kilometer 50 tol Japek? Sudah begitu wajah tiga orang tersangka tidak pernah ditampilkan. Ujug-ujug sudah ada tersangka yang meninggal, karena tabrakan tunggal? Beda betul dengan perlakukan terhadap Habib Rizieq Shihab, Dr Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat dan Anton Permana yang diperlihatkan kepada publik dengan baju warna oranye dan tangan diborgol. Nyawa anak bangsa, enam anggota Laskar FPI ternyata lebih rendah dari kritik terhadap Presiden. Tersangka pembunuh enam laskar FPI diumpetin. Tetapi mereka yang mengeritik terhadap Presiden dan DPR yang sedang membahas RUU Omnibus Law Cipta Kerja malah ditampilkan secara demonstratif kepada publik. Betul-betul itu prilaku yang arogan. Dimana itu PRESISI diumpetin? (bersambung).

Musim Reshuffle, Menristek Pamit di Kunjungan Daerah Terakhir

KONSEKUENSI disetujuinya usulan Presiden Jokowi terkait penggabungan Kemendikbud dan Kemenristek yang telah disetujui oleh DPR RI, membuat Menristek Bambang Brodjonegoro merasa harus pamit dari kabinet. Ya, asumsinya yang akan dipakai adalah Mendikbud Nadiem Makarim yang akan duduk menjadi menteri hasil penggabungan dua kementerian tersebut. Tak ayal membuat Menristek merasa dirinya sudah tak lagi dibutuhkan, padahal bisa saja Bambang Brodjo yang dijadikan Mendikbud atau setidaknya Wakil Mendikbud. Saat meresmikan Science Techno Park Universitas Hasanuddin (Unhas) di Makassar, Sulawesi Selatan, Bambang mengatakan kegiatannya hari itu merupakan kunjungan kerjanya yang terakhir sebagai Menristek. "Kunjungan daerah pertama saya sebagai Menristek itu adalah ke Unhas. Waktu itu saya membuka joint working group meeting Indonesia-Prancis dalam bidang penelitian didampingi Rektor, dan hari ini mungkin kunjungan saya yang terakhir ke daerah sebagai Menristek," kata Bambang saat meresmikan Science Techno Park Universitas Hasanuddin, Jumat (9/4). Alasannya, sesuai dengan rapat paripurna DPR RI, maka tak ada lagi Kemenristek. Karena sesuai dengan hasil sidang paripurna DPR tadi, Kemenristek akan dilebur ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Jadi artinya tak ada lagi Kemenristek dan tak ada lagi kunjungan daerah dari Menristek ke mana pun. Bambang menjabat sebagai Menristek/Kepala BRIN sejak 20 Oktober 2019. Sebelumnya, ia menjabat sebagai Menteri PPN/Kepala Bappenas sejak 27 Juli 2016 sampai 20 Oktober 2019. Ia juga pernah menjabat sebagai Menteri Keuangan periode 27 Oktober 2014-27 Juli 2016. Dengan demikian, jabatan Bambang telah berganti sebanyak tiga kali selama pemerintahan Jokowi. Penggabungan Kemenristek ke Kemendikbud yang telah disetujui DPR RI disampaikan oleh Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad kemarin. Sesuai hasil rapat konsultasi pengganti rapat Bamus 8 April 2021 yang telah bahas surat Presiden Nomor R-14/Pres/03/2021 perihal Pertimbangan Pengubahan Kementerian dan menyepakati penggabungan sebagian tugas dan fungsi Kemenristek ke Kemendikbud sehingga menjadi Kemendikbud dan Ristek, pembentukan Kementerian Investasi untuk meningkatkan investasi dan penciptaan lapangan pekerjaan dilanjutkan dengan pengambilan keputusan. Rupanya, hasil keputusan rapat Bamus pengganti rapat konsultasi terhadap pertimbangan penggabungan dan pembentukan kementerian disetujui Rapat Paripurna. Untuk memperkuat kebijakannya, Presiden Jokowi pun menyambangi kediaman Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri. Seperti biasa, PDIP pun menyambut baik usulan penggabungan Kemendikbud dan Kementistek. Satu lagi usulan yang mencuat adalah disetujuinya keberadaan Menteri Investasi. Selama ini urusan investasi ditangani oleh Badan Kooordinasi Penanaman Modal (BKPM) yang diketuai oleh Bahlil Lahadalia. Memang agak aneh ada Menko Kemaritiman dan Investasi tapi tidak ada Menteri Investasi, bisa saja Bahlil naik menjadi menterinya. Tapi melihat kinerja investasi yang di bawah target, boleh jadi akan ada figur baru yang akan menduduki jabatan itu. Ada figur seperti Sandiaga Salahudin Uno, ada Gita Wirjawan, ada juga Yuliot Tanjung, ada Mahendra Siregar, Ignasius Jonan, Silmy Karim, hingga Ito Warsito. Pendek kata, musim reshuffle mekar kembali. Ada kekhawatiran, ada harapan. Tapi jangan sampai ini adalah bagian dari pengalihan isu, karena masalah sesungguhnya adalah utang yang menggunung, pengangguran bertambah, korupsi yang merajalela, dan demokrasi yang sedang terhempas. Kalau sudah begini yang diperlukan bukan sekadar reshuffle kabinet, melainkan reshuffle presiden.

Rakyat Wajib Konstitusional Penguasa Boleh Seenaknya

YANG menjadi masalah besar di negeri ini ialah rakyat senantiasa wajib konstitusional dalam bertindak, baik itu dalam memprotes sesuatu atau ingin melawan kezaliman. Di pihak lain, para penguasa bertindak sesuka hati, seenaknya saja. Mereka terangan-terangan mengakali rakyat dengan bertopengkan langkah-langkah yang kelihatan konstitusional, tetapi sesungguhkan dikatorial. Inilah yang telah berlangsung selama bertahun-tahun hingga hari ini. Semakin blak-blakan. Para penguasa tidak segan-segan melakukan segala macam muslihat untuk memperkuat dan mempertahankan kekuasaan. Mereka “pintar” sekali. Pintar mencari dukungan politik dari para elit. Dari semua elit: elit politik, elit sosial-budaya, dan terutama dari elit bisnis. Akal-akalan dalam penetapan ‘presidential threshold’ (PT) 20% adalah salah satu contoh tindakan semena-mena penguasa yang diloloskan sebagai langkah konstitusional. Padahal, semua orang paham bahwa PT digulirkan, dibahas, dan disahkan oleh parlemen melalui tekanan, penyanderaan, iming-iming atau cara-cara kotor lainnya. Revisi UU tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah contoh yang faktual tentang “playing with constitutional look like maneuvers” (bermain dengan manuver yang mirip konstitusional). Pemerintah bersama DPR menyetujui revisi (perubahan). Perubahan UU KPK antara lain menetapkan bahwa para pegawai KPK tidak independen lagi. Mereka menjadi bagian dari organ pemerintah. Bukan penegak hukum lagi. Lain lagi penambahan organ KPK berupa Dewan Pengawas (Dewas). Kehadiran Dewas membuat KPK tidak bisa lagi bebas melakukan OTT (Operasi Tangkap Tangan). Revisi ini juga menetapkan bahwa KPK boleh menghentikan penyidikan. Mereka bisa mengeluarkan SP3 untuk kasus-kasus lama. Belum lama ini, KPK langsung menggunakan hak SP3 itu. Sjamsul Nursalim dan istrinya yang selama ini menjadi buron, adalah tersangka pertama yang mendapat “berkah” dari revisi UU KPK. Koruptor besar yang menyalahgunakan BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) semasa krisis moneter 1997-1998 itu, kini dihentikan penyidikan kasusnya. Mereka sekarang bisa bebas lagi masuk ke Indonesia dari luar negeri. Revisi UU KPK adalah proses yang terlihat berlangsung secara konstitusional, padahal tidak. Semua itu berlangsung dalam kerangka kerjasama busuk antara orang-orang yang ingin terus melakukan kejahatan, menggerogoti uang negara. Revisi tersebut didukung oleh mayoritas anggota DPR. Disambut baik oleh pemerintah. Revisi ini sesungguhnya adalah pengkhianatan terhadap rakyat. Begitu juga dengan pemberlakuan secara paksa Omnibus Law UU Ciptaker Nomor 11 tahun 2020 oleh pemerintah bersama DPR. Seluruh proses, mulai dari penyerapan aspirasi rakyat, perumusan pasal-pasal, pembahasan hingga penetapan, berlangsung dengan banyak kejanggalan. Tetapi, dengan kekuasaan yang mereka miliki, proses ini bisa kelihatan konstitusional. Padahal, ada sejumlah tindakan yang melanggar peraturan. Misalnya saja, setelah Presiden Jokowi menandatangani Omnibus Law itu, berbagai perbaikan dilakukan. Ada yang ditambah, ada yang dikurangi. Bahkan ada halaman yang hilang atau disisipkan. Namun, karena kekuasaan lagi-lagi ada di tangan para elit politik yang sangat menentukan, UU Ciptaker itu pun seolah diproduksi secara konstitusional. Dalam penegakan hukum pun, manuver-manuver mirip konstitusional juga dilakukan. Misalnya, operasi kepolisian dan intelijen yang ditujukan kepada kegiatan terbuka yang dilakukan oleh Habib Rzieq Syihab (HRS) dan FPI (Front Pembela Islam). Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM) menyimpulkan bahwa ada pembunuhan melawan hukum (unlawful killing) terhadap 6 pengawal HRS. Dalam temuan lain, Komnas meminta agar diungkap identias dua mobil yang tidak diakui oleh kepolisian dalam operasi mereka terhadap rombongan HRS pada 7 Desember 2020. Begitu juga keberadaan mobil Land Cruiser yang diduga kuat ikut mengatur operasi yang diyakini ingin menghabisi HRS itu. Ada pula tindakan penguasa yang patut diduga sebagai upaya untuk menghilangkan barang bukti. Yaitu, penghancuran komplek ‘rest area’ di KM-50 Jalak Tol Jakarta-Cilkampek. Sekarang ini, pelanggaran-pelanggaran yang terkait dengan operasi terhadap HRS, seolah akan dibuat sebagai tindakan yang konstitusional. Ada usaha penguasa untuk menggiring opini publik bahwa tindakan tim operasi yang melakukan kejahatan pidana itu merupakan langkah untuk menjaga keamanan dan ketertiban. Sangat menyolok adalah tindakan hukum terhadap HRS dengan tuduhan menimbulkan kerumunan. Bahkan ditambah dengan tuduhan penghasutan untuk berkerumun. HRS sudah membayar denda kerumunan sesuai aturan. Sehingga, banyak orang berpendapat bahwa langkah hukum yang diberlakukan terhadap HRS saat ini bertentangan dengan konstitusi. Tetapi, ada saja cara para penguasa untuk menjelaskan bahwa yang mereka lakukan itu adalah langkah yang sesuai konstitusi. Jadi, sekali lagi, yang berlangsung saat ini adalah bahwa rakyat wajib senantiasa konstitusional sedangkan para penguasa bisa seenak mereka saja.