Saat Utang Luar Negeri Sudah Over Borrowing

POSISI utang luar negeri (ULN) Indonesia dinilai telah mengalami over borrowing, kelebihan pasok dibandingkan kemampuan bayar. Itu sebabnya perlu manajemen utang yang lebih hati-hati dan terstruktur.

Hal itu paling tidak dengan ancang-ancang Menkeu Sri Mulyani Indrawati yang akan meminta konsultasi ke Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund--IMF) dan Bank Dunia (World Bank).

Hal senada dikemukakan anggota Komisi XI DPR RI Kamrussamad menanggapi rilis Bank Indonesia (BI) tentang posisi utang luar negeri per akhir Februari 2021.

BI menyebut, utang luar negeri pada akhir Februari 2021 telah mencapai US$422,6 miliar atau tumbuh 4,0% (yoy). Lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan pada bulan sebelumnya sebesar 2,7% (yoy).

Peningkatan pertumbuhan ULN tersebut didorong oleh ULN Pemerintah dan ULN swasta. Meski meningkat, BI masih menilai posisi ULN relatif aman dan terkendali karena sebagian besar didominasi utang berjangka panjang. Benarkah ULN kita masih aman?

Paking tidak ada tiga instrumen untuk mengukur utang suatu negara masuk kategori over borrowing atau lower borrowing. Yaitu, pertama, DSR (Debt Service Ratio), rasio pembayaran bunga dan cicilan utang terhadap penerimaan ekspor dengan batas aman sebesar 20%.

Kedua, DER (Debt Export Ratio), rasio total ULN dengan penerimaan ekspor dengan batas aman sebesar 200%.

Ketiga, DGDP (Debt to GDP Ratio), rasio antara total ULN terhadap PDB dengan batas aman 40%.

Jika mengacu pada data ULN Februari 2021, nilai DGDP ratio Indonesia sebesar 39,7%, sedangkan data mengenai DSR dan DER masing-masing sebesar 27,86% dan 215.4% pada IV-2020.

Itu menunjukkan bahwa Indonesia mengalami over borrowing dilihat dari indikator DSR dan DER. Sedangkan dengan indikator DGDP, nilainya hampir melampaui batas aman sehingga diperlukan manajemen utang dengan hati-hati dan terstruktur.

Itu yang menjadi alasan mengapa pemerintah melakukan manajemen utan seperti mencari sumber pendanaan yang berbiaya murah, meminimalkan risiko terkait portofolio utang dan mendukung pengembangan pasar.

“Kurangi pinjaman valas secara gradual dan terencana, fokus pada pinjaman domestik dengan jatuh tempo jangka menengah dan panjang, dan fokus pada suku bunga tetap untuk pinjaman baru,” saran Kamarussamad.

Kamrussamad menyarankan, penerbitan SPN (Treasury bills dengan jatuh tempo 12 bulan) hanya untuk manajemen kas dan tidak untuk menutup defisit atau refinancing utang yang masih ada.

“Obligasi internasional hanya diterbitkan untuk membiayai kewajiban dalam valas, memperkuat cadangan devisa, dan menghindari crowding out pasar obligasi domestik,” tambah dia.

Anggota DPR itu memahami utang merupakan konsekuensi belanja negara yang ekspansif. Apalagi di tengah pandemi Covid-19 dimana pemerintah terpaksa harus pengeluaran untuk mempercepat pemulihan ekonomi nasional. Ia enggan terlibat adu argumen terkait perbandingan besaran utang negara.

Yang perlu diperhatikan adalah bagaimana strategi efektif agar ekonomi dapat lekas pulih kembali, bukan malah perang argumentasi yang dapat memicu hambatnya pemulihan ekonomi.

Dan yang penting bagaimana kita sebagai negara yang bebas aktif dalam pergaulan internasional, tapi mandiri secara ekonomi dan berkarakted dalam budaya. Sudah saatnya mengembalikan kewibawaan NKRI lewat pengelolaan utang yang bertanggung jawab. Tabik!

761

Related Post