ENERGI

Ilmu Oplosan Pertamax RON 92 Belajar Dari Mafia Batubara

Oleh Kisman Latumakulita/Wartawan Senior FNN PRESIDEN Prabowo memang hebat dan top makotop. Presiden yang suka mengirim pesan-pesan khusus dan sayang kepada para konglomerat dan oligarki. Pesan itu melalui kebijakan dan tindakan nyata. Misalnya, belum lama ini Presiden Prabowo kirim pesan yang terbilang yang serius kepada pemilik perumahan Pantai Indah Kapuk (PIK) 1 dan PIK 2 Sugianto Kusuma alias Aguan dan Anthony Salim.  Pesanya itu Presiden Prabowo memerintahkan TNI Angkatan Laut segera membongkar pagar laut di proyek pantai utara Kabupaten Tangerang sepanjang 30 kilometer lebih milik PIK 2. Padahal pagar yang terbuat dari bambu itu sebenarnya bisa saja dibongkar oleh Syahbandar, KPLP (Kesatuan Penjaga Laut dan Pantai) Ditjen Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan dibantu Dinas atau Kementerian Pekerjaan Umum. Dinas atau Kementerian Pekerjaan Umum punya keahlian untuk pekerjaan yang seperti bongkar pasar ini. Faktanya Presiden Prabowo merasa penting untuk perintahkan TNI Angkatan Luat untuk membongkar pagar laut. Kalau sudah begini, pastinya bukan hanya pesan yang bisa-biasa saja. Patut diduga mungkin ada pesan sangat khusus yang dikirimkan Presiden Prabowo kepada Aguan dan Anthony Salim.     Sekarang pesan yang hampir sama juga dikirimkan Presiden Prabowo kepada pemain utama yang diduga mafia minyak nomor satu di Indonesia Muhammad Reza Chalid. Mungkin isi pesannya itu begini “jangan coba-coba bermain-main dengan pemerintahan Prabowo. Pemerintah sekarang ini lagi berjuang keras melepaskan rakyat Indonesia dari kemiskinan dan keterbalakangan.  Mungkin saja harta dan reziki yang diberikan negera kepada para konglomerat dan oligarki sudah lebih dari cukup. Bahkan mungkin malah sudah muntah. Sampai dengan sembilan keturunan sekalipun, harta mereka tidak bakal habis-habisnya. Untuk itu, sebaiknya ikut serta membantu pemerintah. Namun kalau tidak mau ikut membantu pemerintah, ya sebaiknya jangan bikin gaduh. Jangan rampok dan maling uang negara. Kalau yang sudah terlanjur merampok atau maling uang rakyat, dihimbau untuk bisa dikembalikan dengan baik-baik. Bersedia untuk mengembalikan karena kesadaran sendiri. Bisa lewat pintu depan. Namun bisa juga lewat pintu belakang atau samping. Semua pintu bisa dilewati untuk sudah terlanjur merampok uang rakyat. Asal saja jangan pernah terlitas sedikitpun untuk berpikir seakan-seakan Presiden Prabowo tak paham atau tidak mengetahui prilaku kalian. Sudah lama ko jadi orang Indonesia  Kalau beranggapan Pak Prabowo tidak mengetahui prilaku konglomerat dan oligarki yang merapok uang rakyat, jelas itu salah besar. Anggapan itu dampaknya bisa bikin cilaka. Paling kurang panjang urusan, karena tidak perduli dengan penderitaan rakyat. Tidak mau ikut prihatin dengan kesusahan rakyat. Nasib kalian konglomerat dan oligarki bisa sama atau mirip-mirip dengan Muhammad Reza Chalid dan Aguan.       Awal puasa ramadhan tahun 2025 kali ini lain dari biasanya. Publik Indonesia, bahkan mungkin juga dunia dibuat terkaget-kaget atau terheran-heran oleh jajaran Kejaksaan Agung. Muhammad Kerry Adrianto Riza, anak Muhammad Riza Chalid diciduk, lalu berikutnya ditetapkan sebagai tersangka. Kerry ditetapkan sebagai tersangka karena menjadi pelaku korupsi oplosan minyak pertalite RON 90 menjadi Pertamax RON 92.  Nilai korupsinya tidak tanggung-taunggung. Sangat pantastis dan jumbo. Menurut keterangan resmi dari Kejaksaan Agung, nilainya mencapai Rp 193,7 triliun. Hampir saja mendekati Rp 200 tirliun. Mungkin nilai terbesar kedua setelah kasus korupsi timah dengan nilai Rp 300 triliun. Koprusi timah ini yang menyeret Harvey Moes yang telah divonis 20 tahun penjara oleh Pengadilan Tinggi Jakarta.  Untuk kasus oplosan minyak Pertamax RON 92 ini, Muhammad Kerry Adrianto Riza tidak sendirian. Skandal yang terjadi di tahun 2023 tersebut, melibatkan direksi dari dua anak perusahaan PT. Pertamina holding, yaitu PT. Patra Niaga dan PT Pertamina Internasional Seving. Nilai korupsi sebesar Rp 193,7 triliun itu belum termasuk yang terjadi pada tahun-tahun sebelum 2023, atau kejadian tahun 2024 kemarin.  Keberanian Kejaksaan Agung menetapkan Kerry sebagai tersangka patut diberi pujian jempol dua jari. Kejaksaan dan Presiden Prabowo telah menabrak kesaktian Muhammad Reza Chalid, yang disapa dengan sebutan MOHRE atau MRC sejak puluhan tahun silam. Sejak 30 tahun lebih MOHRE terkenal sakti di dunia perminyakan Indonesia. Kesaktian yang sama sekali tidak tergoyahkan sejak Orde Baru berkuasa. Sejak Orde Baru, tidak ada Presiden Indonesia yang mampu atau berani untuk memberi status tersangka kepada MOHRE atau anak dan keluarnya. Pada masa Orde Baru itulah, MOHRE begitu digjaya, sakti dan berkuasa. Diduga MOHRE menguasai hampir semua kegiatan lini bisnis anak perusahaan PT. Pertaminan yang berkedudukan di Singapura PT. Pertamina Energi Treding Limited, atau yang biasa disebut PT. PETRAL.  PT. PETRAL ini anak perusaaan PT. Pertamina holding yang dibetuk dengan tugas khusus. Tugasnya mencari minyak murah yang berkualitas untuk dibawa masuk ke Indonesia. Sayangnya tugas mencari minyak murah ini konon tidak pernah terealisasi. Justru yang terjadi malah babaliknya. Minyak mahal dengan dengan kualitas buruk yang berhasil dibawa PT PETRAL masuk ke Indonesia. Tragis memang nasib negeri ini.    Walaupun sudah menjadi tokoh sentral dunia perminyakan Indonesia sejak Orde Baru, namun MOHRE belum paham cara merampok uang rakyat dari oplosan atau bleding minyak RON 90. Dunia perminyakan juga belum paham dan mengenal istilah oplosan atau blending minyak. Sebutan oplosan atau blending minyak ini baru mulai dikenalkan di awal tahun 2020 silam. Sejak para mafia batubara mulai ikutan cawe-cawe di dunia perminyakan Indonesia. Para mafia batubara terbiasa mengoplos batubara kalori rendah dengan batubara kalori tinggi. Langkah untuk menghaindari pembayaran pajak dan royalty batubara kepada pemerintah. Akibatnya batubara yang diekspor harganya di bawah U$ 70 dollar per metrik ton. Kalau batubara berkalori tinggi, maka harganya di atas U$ 70 dollar per metrik ton. Sedangkan kalau di bawah U$ 70 dollar per metrik ton, maka para mafia batubara bebas dari pembayaran pajak dan royalti. Hebat kan?   Sekarang para mafia oplosan batubara ini masuk mengatur perminyakan. Diduga para mafia batubara ini kiprahnya didukung full oleh Menteri BUMN Erick Thohir. Akibatnya, mereka diduga ikut cawe-cawe mangatur dann merekayasa oplosain minyak pertalite RON 90 menjadi Pertamax RON 92. Kalau bukan karena temuan Kejaksaan Agung, maka peredaran Partamax RON 92 oplosan masih beredar sampai hari. Luar biasa kekuatan mereka.  Mau lihat buktinya lagi? Bukti itu sejak adanya proyek gasipikasi batubara yang ditangani oleh PT. Pertamina, dengan nilai Rp 210 triliun. Fakta ini sebagai gambaran tentang kuatnya cengkraman mafia oplosan atau blending di dalam tubuh Pertamina. Mereka berasal dari pemain dan mafia batubara negeri ini. Proyek gasifikasi batubara ini diduga juga bermasalah. Ada rampok-rampokan juga. (cerita proyek gasifikasi batubara yang melibatkan mafia batubara akan menjadi tulisasn tersendiri berikutnya).  Belakangan ini beredar video di laman media sosial “tiktok” tentang keterlibatan tokoh-tokoh utama dibalik skandal korupsi oplosan minyak Pertamax RON 92 senilai Rp 193,7 triliun tersebut. Cerita di video tiktok ini semakin meyakinkan publik tentang peran dan keterlibatan para pemain batubara dibalik kasus yang menghebokan dan meramaikan suasana puasa Ramadhan. (bersambung).  

Riva Siahaan Maling Berdarah Dingin

Oplos. Inilah kata dan perbuatan yang sering kita jumpai di dunia kriminal. Dari pelaku kriminal kelas teri hingga  kelas kakap. Warung-warung kecil mengoplos minuman keras dengan paracetamol, menghasilkan ramuan yang mudah on, mabuk, lalu pingsan bahkan meninggal dunia.  Ada juga pelaku kriminal yang mengoplos tabung gas melon dengan oksigen, sehingga isi LPG bercampur udara. Atau isi tabung gas 3 kg dimasukkan ke dalam tabung 15 dijual dengan harga mahal. Di luar itu ada lagi pelaku kejahatan oplos beras. Beras premium dioplos dengan raskin, beras berjamur dan berkutu. Pengoplos menjualnya dengan harga kualitas nomor satu. Di kelas kakap, gerombolan petinggi Pertamina juga melakukan tindakan oplos mengoplos. Praktek kotor ini muncul dengan terbongkarnya skandal korupsi besar di perusahaan milik negara tersebut. Setidaknya ada tujuh orang resmi ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung dalam kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina, Subholding, dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) periode 2018-2023. Salah satu nama yang paling disorot adalah Riva Siahaan, Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga. Ia ditetapkan sebagai tersangka bersama anak dari raja minyak Indonesia, Muhammad Kerry Andrianto Riza yang merupakan putra dari Mohammad Riza Chalid bos Petral yang pernah tersangkut hukum. Kasus ini disebut merugikan negara hingga Rp 193,7 triliun, menjadikannya salah satu skandal korupsi terbesar dalam sejarah industri minyak Indonesia. Modusnya, tak hanya mengurangi takaran, Riva menyulap komposisi dan kandungan BBM Pertalite dengan bahan lain dan dijual dengan harga mahal.Riva mengoplos minyak RON 90 (Pertalite) diblending dengan bahan lainnya sehingga mirip RON 92 (Pertamax). Untungnya berlipat lipat. Riva juga merekayasa jalur distribusi impor minyak. Ia tak pedulikan di berbagai daerah banyak masyarakat yang antri BBM berhari-hari. Kalaupun dapat minyak, harganya mahal. Siahaan juga tutup mata atas banyaknya konsumen Pertamax, mobilnya cepat rusak. Seharusnya ini tidak terjadi jika Riva dan komplotannya bekerja jujur, amanah, dan bertanggungjawab. Sungguh jahat dan berdarah dingin. Jabatan Siahaan boleh direktur, tetapi kelakuan seperti orang menganggur. Pengangguran biasanya gemar mengkhayal, jika tidak, ia akan melakukan tindakan kriminal.  Sederet pendidikan yang mentereng tak membuat Riva Siahaan berperilaku baik dan terpuji. Ia malah mencontoh cara-cara kriminal maling gas dan beras. Korupsi kini menjadi hal yang sangat biasa,  meskipun angkanya mencapai ratusan triliun. Dulu ketika Edy Tanzil korupsi 1,3 triliun,  seluruh Indonesia Raya heboh dan mengutuk. Sekarang korupsi makin banyak dan berkualitas. Nilainya hampir mencapai seribu triliun, anehnya publik diam saja. Mungkin lelah, frustasi, atau malah sibuk dengan michat dan judol. Kondisi ini sangat menguntungkan para koruptor. Begitulah gen korup bangsa ini. Jangan harap ada perubahan, jangan mimpi ada keadilan, dan jangan membayangkan hidup sejahtera, jika gen korup tidak disingkirkan atau dibinasakan.  Selama kelompok mereka masih bercokol, maka korupsi, kolusi dan nepotisme akan terus tumbuh dan berkembang. Rakyat harus puas dengan hidup serba kekurangan. Rakyat harus rajin menengandah dan menerima dengan ikhlas cipratan hasil korupsi mereka dengan kedok subsidi. Kenyang dulu berbagi kemudian. Inilah mentalitas pemimpin kita: tamak, serakah, dan rakus. Pertamina Patra Niaga baru saja menerima 12 medali emas penghargaan Proper. Puja puji keberhasilan baru saja dikumandangkan. Ritual keberhasilan baru saja digelar, dengan meriah. Diiringi dengan doa dan rasa syukur  yang khusuk. Tak tahunya jeroannya busuk. Sungguh memalukan dan menjijikkan. Amoral, jahat, dan tak beradab. Pengoplos BBM lebih rendah dari pelaku pengoplos pil koplo. Hukuman mati bagi pelaku dan miskinkan keluarganya, itu baru adil. (Editorial).

Bahlil Tampak Nyata Bahlulnya

Oleh: Anthony Budiawan | Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) SEMAKIN membela diri, semakin terlihat motif sebenarnya. Semakin telanjang. Bahlil mengaku, kebijakan elpiji 3 kg yang menguasai hajat hidup orang banyak miskin, diberlakukan tanpa koordinasi sama sekali, dan bukan merupakan instruksi Presiden Prabowo. Memang nekat ini orang! Yang mengejutkan, Bahlil mengaku, kebijakan ini diambil hanya berdasarkan audit dari BPK yang mengatakan ada penyalahgunaan oknum pengecer. Alasan Bahlil sangat tidak masuk akal. Mengada-ada. Mencari alibi. Pertama, tindak lanjut temuan BPK harus dilaksanakan oleh atau harus mendapat persetujuan dari Presiden sebagai penanggung jawab utama penyelenggaraan keuangan negara (APBN).  Menteri tidak boleh bertindak tanpa instruksi atau persetujuan dari Presiden, apalagi untuk hal yang sangat penting dan genting seperti distribusi gas elpiji 3 kg yang melibatkan masyarakat miskin. Kedua, kalau Bahlil mau menindak lanjuti temuan BPK sejak 2023 terkait distribusi gas elpiji 3kg ini, kenapa tidak dilakukan di masa pemerintahan Jokowi tahun 2024? Kenapa kebijakan kisruh yang menghebohkan ini dilakukan pada 100 hari pemerintahan Prabowo, tanpa koordinasi, dan tanpa instruksi dari Presiden Prabowo. Oleh karena itu, kesimpulannya tidak bisa lain, ini merupakan sabotase, Bahlil dengan bos dia yang sebenarnya di Solo, Jokowi.  https://m.tribunnews.com/amp/nasional/2025/02/04/kata-bahlil-soal-hapus-pengecer-elpiji-3-kg-bukan-instruksi-prabowo-pengaturan-penjualan-sejak-2023

Drama Pembangunan Ekonomi, Omong Kosong Industrialisasi dan Jatuhnya Kelas Menengah

Oleh Faisal S Sallatalohy | Mahasiswa Doktor Universitas Trisakti Di ujung masa pemerintahan Jokowi, terkuak, upaya keras yang ditunjukkan selama hampir 10 tahun atas nama pembangunan ekonomi masyarakat, ternyata hanya sandiwara, drama yg justru melahirkan hasil negatif, makin memperburuk masa depan masyarakat.  Kebijakan industrialiasasi, hilirisasi, masifnya pembangunan infrastruktur berbasis utang dan investasi, justru melahirkan gejala deindustrialisasi, terutama terpukul jatuhnya sektor manufaktur dan pengolahan yang menjadi prime mover perekonomian nasional.  Bukti deindustrialisasi terlihat pada jatuhnya kontribusi manufaktur terhadap PDB. Di tahun 1995, share manufaktur terhadap PDB 41,8%, turun menjadi 38,5% di 2005, terus turun tajam ke level 28,9% di akhir 2023.  Artinya, 10 tahun Jokowi berkuasa, berbagai kebijakan pembangunan ekonomi bukannya memperkuat industrialisasi, menaikkan kinerja manufaktur, tapi malah semakin memperburuk.  Hal ini sekaligus menegaskan, bahwa upaya penguatan transformasi struktural dari sektor pertanian dan jasa bernilai rendah ke sektor manufaktur demi memperkuat proses industrialisasi yang dibangga-banggakan, justru berjalan secara prematur, hanya sebatas janji-janji politik.  Salah satu hal yang paling ingin saya \"maki\" adalah sandiwara penguatan kinerja industri, terutama manufaktur lewat kebijakan hilirisasi, khususnya hilirisasi di sektor pertambangan. Bahwa dengan bukti kegagalan industrialisasi, menunjukkan hilirisasi hanyalah omong kosong belaka. Faktanya, bahan mentah masih menjadi komoditi prioritas yang diekspor pemerintah dan industri yang berfokus di sektor pengumpulan hasil alam. Dilakukan secara ugal-ugalan bahkan cenderung ilegal.  Dampaknya, untuk melangsungkan produksi, industri manufaktur harus bergantung tinggi terhadap bahan baku impor yang dibandrol harga global sangat tinggi. Inilah yang menjadi penyebab utama tertekannya kinerja manufaktur.  Buktinya sederhana, Kemenperin mencatat, memasuki awal 2024, dari total impor Indonesia, bahan baku dan penolong mengambil porsi terbesar 67,70%. Ditegaskan dengan baik, mayoritas impor ditujukan untuk memenuhi kebutuhan sektor manufaktur.  Ketergantungan manufaktur terhadap barang impor sangat tinggi. Bahwa saat ini, 90% bahan baku yang digunakan sektor manufaktur berasal dari barang impor.  Menariknya, 30% dari total 90% bahan baku impor yang digunakan sektor manufaktur didatangkan dari Cina.  Miris. Indonesia kaya akan sumber daya alam, artinya kaya bahan baku, tapi sektor manufakturnya bergantung 90% terhadap bahan baku impor untuk melangsungkan kegiatan produksi.  Pemerintahan korup, bermental uang, bahan bakunya diekspor murah. Sebaliknya, untuk memenuhi kebutuhan bahan baku untuk menunjang produksi sektor manufaktur justru bergantung pada barang impor.  Fakta memilukan ini memukul saraf sadar kita, bahwa hilirisasi dan kebijakan Domestic Market Obligation, hanyalah sandiwara, drama depan layar pemerintah. Di belakang, justru memprioritaskan ekspor bahan baku secara ugal-ugalan.  Jatuhnya kinerja manufaktur akibat tingginya impor bahan baku, berdampak secara multy player effect. Bukan saja menjatuhkan share manufaktur terhadap PDB dan melemahkan kontribusi manufaktur terhadap penguatan kinerja ekonomi nasional. Melainkan juga berdampak terhadap jatuhnya kelas menengah, menambah jumlah angka rentan miskin dan kemiskinan.  Kelas menengah dalam rentang 2019-2024 jatuh drastis dari 57,3 juta menjadi 47,85 juta. Artinya berkurang sebanyak 9,45 juta.  Dapat dipahami, manufaktur merupakan tumpuan utama kelas menengah. Ketika manufaktur jatuh, perusahan terpaksa melakukan efisiensi dan PHK sehingga berujung pada pengurangan kelas menengah di sektor ini.  BPS mencatat, kelas menengah yang bekerja di sektor manufaktur terus berkurang dari 21,45% di 2019 menjadi 17,13 di 2024. Artinya, 82,7% pekerja kelas menengah, saat ini beralih dan bekerja di sektor informal. Angka itu lebih buruk dibanding tahun 2013 yang hanya 72,6%. Mayoritasnya bekerja di industri jasa dan pertanian dengan nilai tambah yang sangat rendah, dengan pendapatan dan kesejahteraan yang buruk.   Secara teoritis, kelas menengah merupakan bantalan utama perekonomian suatu negara. Di Indonesia, dari total angkatan kerja nasional, 75% berasal dari kelas menengah. Artinya, kelas menengah menjadi kata kunci utama yang menentukan data kesejahteraan masyarakat Indonesia.  Pemerintah harus bisa menjamin peningkatan mobilisasi dan penempatan kelas menengah ke sektor pekerjaan formal yang produktif, semisal manufaktur yg punya nilai tambah tinggi. Jika manufakturnya lemah dan terjadi PHK, maka data kesejahteraan masyarakat juga akan memburuk.  Dengan adanya kegagalan industrialisasi, terutama kejatuhan manufaktur adalah alaram bahaya terjadinya goncangan dan kegagalan penyerapan lapangan kerja di sektor formal. PHK dan efisensi industri akibat perlambatan, mengakibatkan banyak pekerja kehilangan pekerjaan sehingga mayoritasnya beralih ke sektor informal yang sangat rentan. Misalnya, sektor jasa bernilai tambah rendah seperti e-commerce, kurir ojek online dengan besaran penghasilan yang tidak pasti, banyak yg tidak dilindungi asuransi dan pasti akan kesulitan mencari akses keuangan untuk modal ataupun mengajukan kredit lainnya.  Dampaknya, banyak yang jatuh ke level aspiring middle class atau kelas menengah rentan yang menunjukkan peningkatan dari 128,85 juta jiwa pada 2019 menjadi 137,5 juta jiwa pada tahun 2024.  Jika deindustrialisasi terus berlanjut, maka 137,5 juta jiwa rakya Indonesia kategori rentan miskin tersebut, bisa saja turun dan jatuh ke level miskin.  Gejala tersebut telah nampak. BPS mencatat, pelan-pelan, seiring makin buruknya gejala deindustrialisasi, Jumlah rentan miskin yang jatuh ke level miskin pun meningkat menjadi 25,22 juta jiwa di 2024, dari 25,14 juta jiwa pada 2019.  Kenyataan ini, memukul saraf sadar kita tentang drama, sandiwara pembangunan ekonomi Jokowi hampir 10 tahun. Janji industrialisasi, hilirisasi, penciptaan lapangan kerja formal, kenaikan pendapatan perkapita masyarakat, hanyalah omong kosong.  Sikap konyol pemerintah tidak berhenti di situ. Di tengah situasi jatuhnya kelas menengah, turunnya pendapatan, pengangguran, rentan miskin dan kemiskinan meningkat, pemerintah justru makin memperburuk situasi lewat kebijakan pemanggkasan subsidi dan kenaikan PPN yang makin memperlemah daya beli rakyat.  Tentu saja akan makin memperburuk ancaman perekonomian. Daya beli yg makin tertekan akan terus menjatuhkan kontribusi konsumsi masyarakat sebagai salah satu penggerak utama perekonomian nasional. Sandiwara rezim Jokowi ini sangat keterlaluan. Sangat miris, untuk suksesi drama pembangunan ekonomi dan omong kosong industrialisasi, Jokowi membenarkan dirinya Ambil utang pada periode pertama Rp 2.170,5 triliun, periode kedua sampai April lalu Rp 3.551,85 triliun.  Artinya total utang yang dicetak Jokowi untuk suksesi sandiwara pembangunannya capai Rp 5.692,35 triliun. Dimana besarnya utang itu sangat rendah manfaatnya terhadap pembangunan ekonomi. Terbukti lewat rasio utang pemerintah terhadap pendapatan negara selama era Jokowi, meningkat dari 168,27 pada 2014 menjadi 315,81 di 2024 ini.  Sedehananya, peningkatan utang berjalan lebih cepat daripada pendapatan negara. Utang tidak produktif, mayoritasnya justru bocor untuk membiayai kebutuhan lain di luar pembangunan ekonomi. (*)

Terobosan Brilian Bahlil Jual 5000 Sumur Minyak Idle Well ke Kontraktor Asing

Oleh Faisal Sallatalohy | Mahasiswa Hukum Trisakti  BARU lebih seminggu dilantik jadi menteri ESDM, Bahlil Lahadalia memberi terobosan fenomenal demi menggenjot produksi minyak nasional dalam rangka mengurangi impor dan beban keuangan negara.  Berkaca pada target produksi minyak dalam asumsi dasar makro ekonomi APBN 2024, memang sangat tragis, hanya 630.000 barel/hari.  Bahkan lebih tragis lagi ketika melihat kenyataan realisasi produksi lapangan. SKK Migas menyebut, produksi harian (crude + oil) hanya bergerak di angka 610.000-613.000 barel/hari, lebih rendah dari target yg ditetapkan.  Rendahnya target produksi minyak ini sejalan dengan laporan SKK Migas di Akhir tahun 2023 lalu. Dalam setahun produksi lapangan minyak nasional hanya mencapai 221 juta barel/tahun : 360 hari = 613.000 barel/hari.  Rendahnya produksi minyak nasional tidak sebanding dengan tingginya angka konsumsi. SKK Migas mencatat, konsumsi minyak nasional 505 juta barel/tahun. Paling banyak terserap ke sektor transportasi 248 juta, industri 171 juta barel dan ketanagalistrikan 38,5 jita barel.  Kalau total produksi dalam setahun 221 juta barel secara aple to aple dipakai untuk membayar konsumsi 505 juta barel, maka ada selisih kurang sebesar 284 juta barel.  Satu-satunya cara yg dipakai pemerintah untuk menambal kekurangan tersebut adalah IMPOR.  Kementrian ESDM mencatat, impor indonesia sepanjang 2013 capai 297 juta barel. Terdiri 129 juta barel untuk crude dan 124 juta barel untuk oil atau produk.  Bayangkan seberapa buruk status net importer oil Indonesia. Impor 297 juta/tahun barel, jauh lebih tinggi dari produksi yg hanya 221 juta barel/tahun  Untuk mendatangkan minyak impor, pemerintah harus melepaskan cadangan devisa sebesar Rp 396 triliun dalam setahun.  Maka menurut Bahlil ini adalah bentuk pemborosan yg nyata. Harus ada upaya alternatif tingkatkan produksi nasional untuk mengeluarkan Indonesia dari jurang net importir oil dengan tanggungan biaya yg sangat besar.  Bahlil mengusung terobosan fenomenal untuk menjual 5.000 sumur minyak kategori \"idle well\" (nganggur-tidak lagi produksi) kepada swasta, terutama asing untuk reaktivasi kembali produktifitasnya untuk genjot produksi.  Saat ini, secara nasional ada sekitar 44.985 sumur minyak. Hanya 16.990 yg produksi. Sementara 16.250 sumur masuk kategori menganggur atau berhenti produksi.  Tidak semua sumur nganggur bisa direaktivasi kembali mengingat tidak adanya potensi subsurface, keekonomian yg tidak terpenuhi karena high cost rectivation, serta faktor HSE dan non teknikal lainnya.  Setelah diverifikasi kementrian ESDM, Bahlil menyatakan ada sekitar 5.000 sumur yg bisa direaktivasi kembali, dilepas ke sawsta.  Jadi untuk genjot produksi, cara Bahlil adalah reaktivasi kembali produktifitas sumur nganggur dengan cara dijual-dilepas kepada swasat, mayoritasnya asing.  Otak dangkal, malas dan tidak kreatif. Enjoy the power. Power an Glory !!!  Ada seribu satu cara yg bisa dilakukan tanpa harus melepas sumur-sumur idle well kepada kontraktor swasta asing.  Saya kasih contoh salah satu cara yg bisa dipakai. Kalau memang masalah pemerintah adalah soal teknologi yg butuh banyak anggaran di luar kesanggupan produksi, cara mengatasinya sederhana sekali: Bahlil harus berani melenyapkan inefisiensi dan korupsi di sektor hulu migas yg marak dilakukan para elit dan kontraktor swasta.  Salah satunya adalah indikasi inefisiensi, murk-up, perampokan cost recovery atau biaya pengganti produksi dari pemerintah ke kontraktor swasta.  Contohnya sederhana:  Pada 2018 lalu, biaya produksi atau cost recovery ditetapkan US$ 10,1 miliar. Naik jadi US$ 13,9 miliar di 2024. Artinya kenaikannya hampir mencapai 38% ((US$ 13,9 miliar - US$ 10,1 miliar) / US$ 10,1 miliar x 100 = 37,6%, dibulatkan jadi 38%)  Di saat yg sama produksi nasional justru menurun tajam dari dari 808.000 barel/hari di 2018 jadi 610.000-615.000 per/hari di 2024. Artinya penurunannya mencapai 24% ((615.000 barel - 808.000 barel)/808.000 barel x 100 = 23,8%, dibulatkan jadi 24%.  Bayangkan biaya produksi pada APBN naik ugal-ugalan capai 38% tapi produksinya justru justru turun 24%.  Kenyataan ini sesungguhnga membuktikan, tingginya inefiesni sektor hulu migas, menjadi \"benalu\" utama turunnya produksi dan Indonesia harus bergantung tinggi terhadap minyak impor.  Pertanyaannya, kenapa bisa, biaya produksi naik sangat tinggi tapi produskinya malah turun tajam ?  Salah satu penyebabnya adalah maraknya praktik korupsi dan murk-up yg antara pejabat pemerintahan, komisi VII DPR RI, pihak SKK Migas dan kontraktor swasta. Tidak perlu saya bicara panjang lebar untuk buktikan, lihat saja kasus OTT nya Rudy Rubiandini, Kepala SKK Migas, Jero Wacik Mantan Men ESDM dan Sutan Batogana fraksi Demokrat di komisi VII.  Bagaimana praktik korupsi dan murk-up itu bisa terjadi. Peluangnya muncul di SKK Migas mulai dari perancangan, pengajuan hingga pelaksanaan Work Program and Budget (WP&B). Katakanlah di 2024 ini, biaya produksi diajukan dan realisasinya berpotensi lebih dari US$ 13,9 miliar.  Anggaran sebesar itu, sepenuhnya dikelolah oleh SKK Migas tanpa ada pengawasan majelis wali amanat.  Status SKK Migas selaku BHMN itu derajatnya seperti kampus-kampus negeri milik negara. Diatas rektor ada majelis wali amanat yg mengontrol rektor kelolah uang kampus. Setahun kampus kelola uang tidak lebih besar dibandingka  tanggungan APBN untuk biaya pengganti produksi minyak ke kontraktor.  Sementara SKK Migas, kelola uang negara US$ 13,9 miliar, tidak ada yg mengontrol, mengawasi. Ini keadaan nyaman yg memberi peluang bagi pejabat pemerintahan, politisi dan kontraktor murk-up, bergerombol merampok uang negara.  Perkara kotor ini, masih berlangsung subur sampai saat ini !!!  Seandainya perkara kotor inefisiensi ini di lenyapkan, maka negara bisa menghemat sekitar Rp 60,8 triliun/ tahun (CR 2024 US$ 13,9 miliar - CR 2018 US$ 10,1 miliar = US$ 3,8 miliar x kurs 16.000 = 60,8 triliun. Hasil pengematan tentu saja bisa digunakan pemerintah menghidupkan kembali beberapa sumur idle well untuk mengurangi ketergantungan teehadap kontraktor asing.  Penghematan ini juga lebih dari cukup untuk menggenjot produksi dengan cara membangun kilang. Cukup dengan biaya US$ 50 juta sampai US$150 juta, pemerintah bisa bangun kilang kapasitas 6.000 sampai 18.000 barel per hari. Dengan membangun 10 kilang mini misalnya, bisa mendapatkan kapasitas hampir 100.000 sampai 200.000 barrel per hari.  Ingat, ini baru salah satu model penghematan inefisiensi di sektor migas. Masih banyak celah inefisiensi yg perlu dilenyapkan. Jika semua berjalan baik, maka kebocoran anggaran negara bisa teratasi. Indonesia pelan-pelan bisa membangun ketahanan migas tanpa perlu bergantung terhadap modal asing.  Tapi apa punya niat dan berani bahlil lenyapkan perkara kotor yg jadi ladang perampokan uang negara para elit dan kolega oligarkinya ?  Boro-boro. Ini malah usung terobosan jual, lepas 16.250 sumur minyak idle well keapa swasta, terutama asing. Otak dangkal, mental penjajah. Maka mampuslah rakyat Indonesia. (*)

Rakyat Harus Melawan, Batalkan Izin Tambang Ormas Segera

Oleh  Marwan Batubara | IRESS Gonjang-ganjing pemberian izin pengelolaan tambang (Izin Usaha Pertambangn Khusus, IUPK) untuk ormas keagamaan terus mengemuka 4 bulan terakhir. Setelah PBNU (memulai pengajuan permohonan izin pada Maret 2024) menerima “hadiah” dari rezim oligarki-nepotis pada bulan Mei (25/5/2024), maka minggu lalu PP Muhammadiyah pun resmi menerima izin yang dapat dianggap sebagai suap politik tersebut (25/7/2024). Banyak alasan absurd rezim oligarkis guna menjustifikasi kebijakan zolim dan bermasalah ini. Misalnya Bahlil bilang, pemberian izin adalah imbalan atas andil besar ormas dalam mempertahankan kemerdekaan, membantu pemerintah menyelesaikan masalah masyarakat dan keummatan, serta kerap terlibat program pendidikan, kesehatan, sosial (7/6/2024). Apakah sekian banyak ormas lain dianggap tidak berjasa dan tidak berkontribusi? Sedangkan Jokowi mengatakan pemberian IUPK: \"Banyak komplain kepada saya, \'Pak, kenapa tambang-tambang itu hanya diberikan kepada yang gede-gede, perusahaan besar… Kami pun kalau diberikan konsesi itu juga sanggup kok’. Itu lah yang mendorong kita membuat regulasi agar ormas keagamaan diberi peluang mengelola tambang”. Kata Jokowi: “Kita ini kan ingin memeratakan ekonomi. Kita ingin keadilan ekonomi” (26/7/2024).  Apakah komplain ormas tersebut relevan? Apakah pemerataan dan keadilan akan tercapai dengan kebijakan tersebut? Publik ditipu dan tertipu. Sebaliknya, mereka anggap SDA milik negara dan rakyat tersebut seakan milik sendiri. Meminjam istilah Erick Thohir, SDA minerba seakan milik nenek moyang penguasa.  Bahlil dan Jokowi bisa membuat berbagai alasan guna menjustifikasi kebijakan. Namun, apapun itu tersebut, esensinya adalah nonsense, omon-omon dan omong kosong! Maka, kita perlu memahami dua hal penting: pertama, motif di balik kebijakan; kedua, landasan legal-konstitusional yang menjadi dasar kebijakan.  Motif Kebijakan Ada beberapa motif bernuansa moral hazard di balik kebijakan IUPK ormas. Salah satu yang sangat bermasalah adalah *suap politik* guna menjaga kelanjutan kekuasaan, pemenangan Pilpres 2024 dan ucapan terima kasih atas kemenangan sang putra Gibran. Hal lain, langkah antisipatif untuk pengamanan posisi Gibran dari gugatan publik/hukum, karena lolos jadi wapres melalui pidana nepotisme dan mengakal-akali hukum secara inkonstitusional.  Saat memberi sambutan pada Muktamar NU ke-34 Jokowi mengatakan: “Saya juga menyiapkan konsesi minerba, yang ingin bergerak di usaha-usaha nikel misalnya, usaha-usaha batubara, bauksit dan tembaga, silakan” (22/12/2021). Pernyataan Jokowi tersebut diyakini merupakan janji politik untuk pemenangan pemilu. Di sisi lain, Joko “merasa” punya kuasa membagi-bagikan aset SDA negara tersebut sesuka hati. Beberapa minggu kemudian, Jokowi menerbitkan Kepres No.1/2022 tentang Satgas Penataan Penggunaan Lahan dan Penataan Investasi (20/1/2022). Jokowi menunjuk Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia sebagai pemimpin satgas. Hasilnya, sekitar 2600 izin tambang swasta dicabut. Kadar kalori batubara tambang-tambang ini umumnya rendah.   Ternyata, lahan tambang yang akan “dibagi-bagikan” rezim bukan hanya dari tambang milik swasta yang tidak beroperasi, tetapi juga dari penciutan lahan tambang milik sejumlah pengusaha besar. Sesuai UU Minerba, jika ingin memperoleh kelanjutan kontrak/operasi, lahan para penambang besar (kontrak PKP2B dan IUP) harus dikurangi agar tidak melebihi luas maksimum. Dari KPC di Kaltim yang sebagian sahamnya milik Grup Bakrie, hasil penciutan menghasilkan lahan sekitar 20.000 ha. Kadar kalori batubara tambang ini cukup tinggi.  Penciutan lahan PT Arutmin di Kalsel, juga mengandung batubara kadar tinggi, diperolah lahan sekitar 30.000 ha. Selain itu, sepanjang ketentuan UU Minerba No.2/2020 konsisten dijalankan, masih tersedia lahan-lahan tambang lain hasil penciutan luas lahan Tanito Harum, Multi Harapan Utama (MHU), Adaro, Kideco Jaya Agung dan PT Berau Coal, serta sejumlah pemegang IUP/IUPK. Menurut Pasal 33 UUD 1945, hasil penciutan lahan tersebut harusnya dikelola BUMN, sehingga akan memberi manfaat bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat.   Aspek Legal-Konstitusional Selama pemerintahan Jokowi, manfaat SDA minerba bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat semakin utopis, terutama karena terjadinya penyelewengan terhadap Pancasila, UUD 1945 dan UU. Pancasila mengamanatkan agar prisnsip-prinsip moral, agama, kemanusiaan dan keadilan harus jadi dasar utama pembuatan kebijakan. Ternyata karena moral hazard, KKN dan sikap politik penghalalan segala cara, rezim Jokowi mengangkangi prinsip-prinsip bernegara tsb. Menurut Pasal 33 UUD 1945, seluruh SDA adalah milik bangsa dan rakyat yang harus dikuasai negara, sehingga memberi manfaat terbesar bagi rakyat. Sebagaimana tertuang dalam Putusan MK No.36/2012, penguasaan negara meliputi hak-hak yang melekat pada negara dalam aspek: 1) membuat kebijakan; 2) menerbitkan izin; 3) membuat peraturan/UU; 4) mengawasi; dan 5) mengelola. Khusus aspek pengelolaan, Putusan MK No.36 juga meneyebut tentang BUMN sebagai satu-satunya pemegang hak pengelolaan SDA. Sebagai turunan Pasal 33 UUD 1945, UU Minerba No.4/2009, juga telah memuat privilege BUMN mengelola SDA. Namun, kesempatan tersebut ditunda rezim Jokowi dengan terbitnya UU Minerba No.3/2020. Meskipun memuat ketentuan privilege BUMN, UU No.3/2020 ini memperpanjang dominasi swasta atau konglomerat oligarkis menguasai SDA minerba kita. Dampaknya, terjadi perampokan aset batubara negara yang bernilai sekitar Rp 7000 hingga Rp 10.000 triliun (tergantung harga global batubara dan status cadangan terbukti atau potensial). Jika diurut dari status tertinggi, dasar hukum kita berawal dari Pancasila, UUD 1945 (Pasal 33), UU Minerba No.3/2020 hingga PP diurutan terbawah. Ternyata, guna memenuhi ambisi politik kekuasaan dan menjalankan agenda oligarki nepotis, Jokowi nekat menerbitkan PP yang justru bertentangan dengan konstitusi dan UU No.3/2020. PP tersebut adalah PP No.25/2024 tentang Perubahan atas PP Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Pembangkangn terjadi dengan penyisipan Pasal 83A, berbunyi: \"Dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat, WIUPK dapat dilakukan penawaran secara prioritas kepada Badan Usaha yang dimiliki organisasi kemasyarakatan keagamaan\". Dengan demikian privilege BUMN/BUMD, artinya hak dan kepentingan seluruh rakyat, dengan otoriter dan seenaknya telah dihilangkan rezim Jokowi. Penyisipan Pasal 83A ini melanggar konstitusi dan sekaligus mengangkangi hak DPR dalam pembentukan ketentuan dalam UU. Joko berdalih pemberian IUPK ormas untuk pemerataan dan kesejahteraan masyarakat. Namun faktanya *hak sebagian besar masyarakat lain dirampas*. Jika merujuk pada Pancasila, hanya terkait aspek keadilan saja, Jokowi telah mengangkangi Sila ke-2 dan ke-5. Kebijakan Jokowi pun dapat memicu persatuan bangsa, Sila-2, karena perlakuan yang zolim. Kebijakan sarat moral hazard dan *suap politik* sempit tersebut jelas mengabaikan Sila-1 Pancasila. Sila-4 Pancasila sangat jelas dikangkangi, karena ketentuan sangat prinsip berupa Pasal 83A PP No.25/2024 ditetapkan tanpa persetujuan DPR/wakil rakyat. Rakyat mau diam saja?? Ormas & Rakyat Mau Apa? Dibanding alasan-alasan manipulatif dan sarat omong-kosong, diyakini motif-motif kekuasaan, kooptasi aspirasi, perburuan rente, pengendalian suara dan upaya pecah-belah lebih dominan di balik terbitnya PP izin tambang ormas. Setelah berhasil mengendalikan dan menyandera partai-partai, maka giliran ormas besar dan terpandang digarap. Memang ada ormas yang menagih atau menerima imbalan karena telah berjasa mendukung kemenangan sang Putra Mahkota, Gibran. Tapi demi keamanan kekuasaan oligarki nepotis ke depan, termasuk prospek gugatan hukum atas dugaan KKN dan berbagai pengkhianatan konstitusi, maka tampaknya Jokowi perlu mendapat pengamanan dan perlindungan ormas-ormas. Sekarang, ormas-ormas ini mau apa? Berpihak pada rakyat, Pancasila, UUD 1945 dan amanat reformasi atau kepada rezim? Demi tegaknya moral dan hukum di bumi pertiwi, rakyat sudah gagal memperoleh dukungan DPR, karena Sebagian besar pimpinan partainya pesakitan yang tersandera dan disandera. Jika ormas keagamaan, yang harusnya fokus dan dominan menjaga moral bangsa, sebagai benteng tegaknya Pancasila, justeru menerima suap politik dan terkooptasi rezim oligarki nepotis, maka rakyat bisa berharap kepada siapa lagi? Ketua Muhammadiyah berkoar-koar akan mengelola tambang tanpa kerusakan lingkungan dan bebas konflik sosial. Pak Kyai Haedar Nashir, isu utamanya bukan soal lingkungan dan konflik! Tetapi yang pokok adalah: pengelolaan tambang oleh ormas itu bertentangan dengan Pancasila, Pasal 33 UUD 1945 dan UU No.3/2020! Muhammadiyah, NU dan ormas-ormas keagamaan lain tidak berhak mengelola tambang SDA tersebut. Bagaimana bisa, ormas-ormas keagamaan, yang pimpinannya harus menjadi panutan moral rakyat, justru memberi contoh buruk dan dapat pula diduga terlibat KKN? Wajar jika anggota ormas menggulingkan pimpinan ormas tersebut. Spekulasi pun berkembang, karena nilai rente besar, bisa terjadi persekongkolan oligarkis yang memanfaatkan ormas keagamaan sebagai “pengelola” tambang hasil penciutan lahan milik kontraktor PKP2B. Tujuannya agar manfaat terbesar rente tambang tetap dinikmati oligarki, setelah berbagi “alakadarnya” dengan perusahaan “tameng” milik ormas. Konon dari 20.000 hektar lahan hasil penciutan area tambang KPC, terkandung 150 juta ton batubara. Jika diasumsikan harga batubara US$ 100/ton dan kurs US$/Rp= 16.000, maka nilai bruto cadangan batubara tersebut adalah Rp 240 triliun. Cukup mengambil Rp 1 – 2 triliun dari Rp 240 triliun tersebut, maka bayangkanlah betapa banyak hal bisa terjadi di NKRI. Tidak tertutup kemungkinan bahwa lahan hasil penciutan area tambang milik kontraktor oligarkis PKP2B dan pemegang IUP oligarkis, sebagiannya tetap saja dikelola oleh pemilik semula/lama. Hal ini bisa terjadi karena kebijakan bernuansa KKN dan moral hazard sesama anggota rezim oligarki belakang ini merupakan hal lumrah. Padahal menurut Pasal 33 UUD dan Putusan MK No.36/2012, lahan-lahan hasil penciutan harusnya dikelola BUMN agar manfaatnya dapat dinikmati seluruh rayat. Rakyat harus menuntut transparansi masalah lahan ini. Sudah banyak aktivis, tokoh, ormas, LSM, BEM dan berbagai kalangan masyarakat yang menolak kebijakan izin tambang ormas. *Kepada pihak mana pun yang terkait dan berkepentingan, to whom it really concern,* terutama rezim yang dipimpin Jokowi, kami menuntut agar segera membatalkan pemberian IUPK tambang kepada ormas keagamaan! Kepada para pimpinan ormas, berhentilah mengkhianati konstitusi dan rakyat, serta menerima suap politik. Masih ada waktu untuk bertobat. Para penyelenggara negara, terutama rezim Jokowi dan DPR tampaknya sudah tidak merasa perlu melindungi dan memperjuangkan hak seluruh rakyat. Ormas keagamaan pun akhirnya bisa ditaklukkan oleh dan bergabung dengan rezim oligarki nepotis. Maka tampaknya rakyat yang haknya dijamin konstitusi untuk bersikap dan menyatakan pendapat (terutama Pasal 28 dan 28E UUD 1945), sudah waktunya bangkit melawan secara bersama, masif dan berkelanjutan.  (*).

Muhammadiyah Hindari Fitnah Tambang

Oleh M Rizal Fadillah | Pemerhati Politik dan Kebangsaan Rakornas Muhammadiyah 27-28 Juli 2024 strategis untuk pengambilan keputusan tetang terima atau tidak tawaran pengelolaan izin tambang. Muhammadiyah semoga tidak menempatkan diri dalam \"makan buah simalakama\" atau berada di persimpangan jalan.  Persoalan pengelolaan tambang adalah \"masalah kecil\" bagi Muhammadiyah tetapi jika salah langkah dapat menjadi guncangan besar atau sekurang-kurangnya memancing fitnah bagi Ormas Keagamaan sebesar Muhammadiyah. Pro-kontra internal warga persyarikatan akan semakin tajam. Kecaman publik menguat. Banyak kalangan umat Islam khawatir Muhammadiyah akan menerima tawaran Pemerintah untuk mengelola tambang khususnya pada lahan eks PKP2B. Sangat menyayangkan jika Muhammadiyah menjadi terpaksa menerima, menyerah pada penyanderaan atau tergiur pada keuntungan dunia.  Akan rontok kebanggaan atas sikap istiqomah Muhammadiyah yang selama ini berhasil ditunjukkan. Muhammadiyah biasa menjadi guru bagi kemampuan mengatasi cobaan dan tekanan rezim apapun. Menjadi pelayan kesehatan yang menyembuhkan sakit bangsa akibat virus pragmatisme dan hedonisme. Muhammadiyah yang selalu berusaha untuk memahami perasaan dan kemauan masyarakat.  Pengelolaan tambang tawaran Pemerintah minim manfaat bagi umat dan masyarakat. Lebih pada manfaat pengelola sendiri. Masalahnya adalah tambang ini dapat menguntungkan atau mencelakakan. Muhammadiyah semestinya mengambil keputusan dalam ruang yang tidak meragukan. \"da\' maa yariibuka ilaa maa laa yariibuka\"  Tinggalkan apa yang meragukan kepada apa-apa yang tidak meragukan (HR Tirmidzi dan Nasa\'i). Mengelola tambang bagi swasta tentu menantang meski Konstitusi mengingatkan asas penguasaan negara dan manfaat bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat. Perlu idealisme dan kemampuan teknis yang memadai untuk menjalankannya. Ormas keagamaan jangan ditempatkan sebagai medium politis untuk keuntungan sebesar-besar kemakmuran kapitalis. Semata formalitas sebagai pemilik izin apalagi ditambah  dengan  melanggar ketentuan perundang-undangan. Bukankah Izin Usaha Pertambangan diberikan semestinya bukan berdasar penunjukan langsung ? Fitnah adalah keputusan kontroversial yang menyebabkan terjadinya kegaduhan, kecaman bahkan serangan dari berbagai pihak. Fitnah merusak citra organisasi yang sebenarnya  tidak perlu terjadi. Benar bahwa keputusan selalu berisiko pro dan kontra, akan tetapi jika fitnah sudah terprediksi maka keputusan haruslah bijak. Muhammadiyah mesti menghindari fitnah atas tawaran pengelolaan tambang. Artinya menolak adalah jalan terbaik. Di samping banyak faktor mudharat dari usaha pertambangan yang dikelola oleh Ormas Keagamaan termasuk Muhammadiyah, maka potensi friksi internal dan berbagai fitnah menjadi terbuka.  Sebagai organisasi da\'wah Muhammadiyah harus menyingkirkan berbagai hal yang dapat mengganggu konsentrasi dari da\'wahnya. Pengusahaan tambang yang rawan perusakan lingkungan dan konflik sosial bukan tempat yang tepat untuk menunaikan missi da\'wah itu. Apalagi kebijakan ini diambil di penghujung masa Pemerintahan Jokowi yang terindikasi kental bernuansa politik. Mencoba menyelami cara pandang tokoh Muhammadiyah sekelas Ki Bagus Hadikusumo, Kyai Mas Mansur, Prof Kahar Mudzakir, Buya Hamka dan lainnya maka demi menjaga marwah Muhammadiyah yang berjiwa juang Kyai Ahmad Dahlan maka tawaran pengelolaan tambang model Bahlil harus ditolak.  Mata hati Ilahiah akan didahulukan ketimbang ketakutan atau keuntungan dunyawiyah.  Lambang Muhammadiyah adalah matahari yang bersinar, bukan tambang yang mengikat apalagi menjerat. Muhammadiyah adalah harapan dan cahaya umat.Perjuangannya tidak berorientasi pada keuntungan pendek, keserakahan atau tekanan dan keterpaksaan.  Selamat melaksanakan Rakornas Muhammadiyah di Yogyakarta. Semoga keputusannya bermanfaat bagi persyarikatan, masyarakat, bangsa dan negara. (*)

Mengecewakan, Elite Muhammadiyah Memilih Batubara Daripada Energi Surya

Jakarta | FNN - “Sangat pantas,  bila umat Islam dan seluruh masyarakat Indonesia yang memiliki kesadaran ekologi kecewa terhadap elite Muhammadiyah karena telah memilih menjerumuskan organisasi itu untuk terlibat mengelola industri kotor batubara,” ujar Indonesia Team Lead Interim 350.org, “Seharusnya Muhammadiyah memilih mengelola energi surya, seperti simbol organisasinya.” Seperti diberitakan di berbagai media massa pada Kamis, 25 Juli 2024, Ketua PP Muhammadiyah Anwar Abbas blak-blakan mengungkapkan akhirnya organisasi massa Islam terbesar kedua setelah Nahdlatul Ulama itu memutuskan menerima izin tambang. Padahal sebelumnya suara dari generasi muda Muhammadiyah menginginkan bahwa elite di organisasi itu membuka mata dan hatinya terkait dampak buruk batubara terhadap lingkungan hidup di tingkat lokal maupun di tingkat global, krisis iklim. Muhammadiyah, menurut Firdaus Cahyadi, memiliki kader-kader yang cerdas. “Mereka pasti mengetahui bahwa industri batubara bukan hanya membuat kerusakan di muka bumi, namun juga tidak memiliki masa depan secara ekonomi,” ujarnya, “Bank-bank internasional sudah tidak mau lagi mendanai bisnis batubara, beberapa bank di Indonesia pun sudah mulai membatasi pendanaan ke batubara.” Seharusnya, lanjut Firdaus Cahyadi, Muhammadiyah menunjukan kepemimpinannya untuk mengelola energi terbarukan di semua unit amal usahanya. “Berdasarkan penelitian Celios dan 350.org Indonesia, energi terbarukan berbasis komunitas mampu menurunkan angka kemiskinan hingga lebih dari 16 juta orang,” ungkapnya, “Dari sisi ketenagakerjaan, terdapat peluang kesempatan kerja sebesar 96 juta orang di berbagai sektor tidak sebatas pada energi, namun industri pengolahan dan perdagangan juga ikut terungkit.” Ironisnya, ungkap Firdaus Cahyadi, saat ini elite Muhammadiyah lebih memilih bisnis energi kotor batubara. “Elite organisasi keagamaan seperti Muhammadiyah harusnya lebih arif dan bijaksana dalam mengambil keputusan berdasarkan nurani dan akal sehat, bukan kepentingan jangka pendek,” jelasnya, “Elite organisasi keagamaan yang diharapkan mampu menjadi cahaya di tengah kegelapan justru mematikan cahayanya sendiri dengan menjerumuskan organisasi dalam kubangan batubara.” Menurut Firdaus Cahyadi, bila elite organisasi Muhammadiyah ingin berbisnis energi kotor batubara seharusnya tidak mengatasnamakan organisasi. “Muhammadiyah terlalu besar bila harus tenggelam hanya karena batubara,” tegasnya, “Kekecewaan umat kepada elite Muhammadiyah bisa jadi akan merugikan seluruh amal usaha Muhammadiyah yang sudah besar itu.” (*)

Muhammadiyah Harus Tolak Tambang

Oleh M Rizal Fadillah | Pemerhati Politik dan Kebangsaan BERITA beberapa media bahwa Muhammadiyah menerima tawaran pengelolaan tambang berdasar PP No 25 tahun 2024 cukup mengejutkan. Menurut KH Anwar Abbas itu sudah putusan Pleno dengan penerimaan bersyarat seperti menjaga lingkungan dan hubungan baik dengan masyarakat. Sebelumnya meski belum secara resmi memutuskan, Muhammadiyah sudah dikelompokkan sebagai Ormas Keagamaan yang menolak usaha pengelolaan tambang tersebut.  Masyarakat mengapresiasi sikap penolakan Muhammadiyah sebagai bentuk kewaspadaan atas jebakan Pemerintah kepada Ormas Keagamaan untuk  memasuki dunia \"remang-remang\" yang  bukan bidang pokok dari tugas dan kegiatan Ormas Keagamaan. Ejekan pun muncul pada Ormas Keagamaan yang menerima sebagai \"mata duitan\", \"bisnis syubhat\" atau \"leher yang terjerat\". Akal-akalan Pemerintah Jokowi untuk menyandera dan mengendalikan Ormas Keagamaan. Ketika muncul berita Muhammadiyah ikut menerima, cibiran mulai bermunculan seperti \"sama saja\", \"oh ini ujungnya\", \"enggak kuat ?\" dan lainnya. Untung kemudian muncul pula berita dengan subyek H. Dahlan Rais yang menyatakan PP Muhammadiyah belum menerima tawaran usaha pengelolaan tambang. Keputusan resmi setelah dibawa dalam agenda Konsolidasi Nasional 27-28 Juli 2024 di Yogyakarta. Dengan menghadirkan Daerah dan Organisasi Otonom. Suara daerah atau bawah perlu didengar jangan semata putusan Pimpinan Pusat sendiri. Ini karena masalah Izin Usaha Pertambangan untuk Ormas Keagamaan ini telah menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Dampak bagi citra dan nama baik Muhammadiyah harus dijaga. Dalam Konsolidasi Nasional tentu PP Muhammadiyah bukan sekedar menyampaikan keinginan lalu minta persetujuan tetapi benar-benar secara terbuka mendengar masukan dan pandangan daerah. Ada keyakinan jika suara daerah benar-benar didengarkan dan didalami, maka Muhammadiyah tidak akan mudah tergiur oleh program usaha pertambangan yang ditawarkan Pemerintah. Banyak masalah yang akan dihadapi baik dikte kontraktor atau investor, kerusakan lingkungan, konflik sosial, mafia tambang, serta terbukanya ruang-ruang  korupsi dan kolusi. Muhammadiyah tidak perlu coba-coba untuk hal yang berada di luar \"core bisnis\" nya. Usaha tambang akan menambah masalah yang mungkin akan mengganggu konsentrasi kegiatan da\'wah Muhammadiyah.  Muhammadiyah adalah gerakan Islam, gerakan da\'wah dan gerakan tajdid. Kiprahnya harus benar-benar dirasakan oleh masyarakat.Usaha pertambangan berbau kapitalistik jauh dari manfaat bagi masyarakat, sebagian justru merusak lingkungan dan harmoni. Konteks aktualnya adalah \"hidden agenda\" kepentingan politik di balik tawaran usaha pertambangan bagi Ormas Keagamaan tersebut. Sebagai kader yang tidak akan ikut dalam undangan Konsolidasi Nasional nanti, maka hanya bisa titipkan yang diyakini sebagai aspirasi  mayoritas umat Islam dan anggota Muhammadyah seluruh Indonesia yaitu Muhammadiyah harus menolak tawaran untuk ikut dalam usaha pertambangan sebagaimana PP 25 tahun 2024. Mudhorotnya lebih besar dari manfaatnya.  Semoga PP Muhammadiyah tidak mencoreng wajah KH Ahmad Dahlan. Sabar dan kuatlah berjuang di jalan-Nya. Rizki itu dari Allah bukan dari tambang. (*)

The Golden Rule Dalam SDA Kita      

Darwin Zahedi Saleh l Menteri ESDM Era SBY                              Apa betul negeri kita kaya? Memang iya. Setidaknya, inilah negeri ke 6 di dunia yang terbanyak kekayaan sumber daya geologinya  (data  Badan Geologi-KESDM, 2020). Ada bahan galian logam, non logam, batuan dan batubara serta radio aktif. Untuk nikel, yang sedang heboh dengan hilirisasinya, Indonesia ada di peringkat 1, dengan sumber daya terbesar di dunia. Melihat itu, semestinya rakyat kita sejahtera. Lebih dari cukup, sumber daya mineral itu untuk negeri berpopulasi ke 4 terbanyak di dunia ini. Tetapi, keberlimpahan SDA itu dapat berubah jadi kutukan bila lengah dan salah kelola. Jangan sampai habis dan lenyap begitu saja. Mesti ada semacam prinsip utama —golden rule— dalam mendayagunakan SDA yang tak-terbarukan agar berganti menjadi modal pembangunan yang baru dan berkelanjutan. Secara lebih teknis, harus dapat dirumuskan jumlah dan jenis infrastruktur pengganti yang layak (new capital) guna mengimbangi kecepatan pengurasan sumber daya alam yang strategis (old capital) dimaksud. Prinsip-prinsip itu dikemukakan oleh ekonom J.M Hartwick (1977) —menindaklanjuti pemikiran Robert Solow, pemenang Nobel, 1974– intinya menekankan perlunya mempertimbangkan kepentingan antar-generasi. Bagi kita di Indonesia, golden rule yang demikian seakan menerjemahkan secara lebih konkret perintah pasal 33 UUD 1945 , agar SDA kita dipergunakan  sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Rakyat dimaksud logisnya bukanlah rakyat yang hidup di masa ini saja, tetapi juga anak keturunan. Menjadi relevan di sini mengapa bumi, air termasuk  mineral Indonesia hingga cabang industri yang mengolahnya mesti dikuasai Negara (pemerintah dan rakyat) guna memastikan perintah konstitusi itu terselenggarakan dengan baik. Belakangan ini, perhatian kita di Indonesia banyak mengarah pada penggalian besar-besaran nikel. Tentulah kita semua berkepentingan untuk tahu, apa manfaat dan mudharat dari program hilirisasi rezim Jokowi dengan membuka pintu lebar-lebar pada investor untuk membangun smelter nikel. Ternyata, pembangunan smelter-smelter besar-besaran, guna meningkatkan nilai tambah nikel itu, membuat kritis jumlah cadangan nikel kita. Sejumlah pihak (DPR, ahli pertambangan dan asosiasi pengusaha) sudah mengeluhkan hal tersebut. Jenis nikel saprolit —yang produk akhirnya untuk bahan pembuatan stainless steel— segera habis dalam waktu 7 tahun lagi; untuk jenis nikel limonit —dengan produk akhirnya berupa katoda untuk pembuatan batere litium— dalam 33 tahun akan habis. Mungkin, jumlah cadangan nikel masih terkesan berlimpah, yakni 5 milyaran untuk bijih nikel dan hampir 60 juta ton logam nikel (Kepmen ESDM 2022). Tetapi, itu akan terkuras dengan cepat, diserap oleh sedemikian banyak smelter ( 136 smelter, mayoritas adalah perusahaan asal Tiongkok) bila semua selesai di 2025, dengan kebutuhan bijih nikel sekitar 460 juta ton pertahun. Program peningkatan nilai tambah nikel semestinya memperhitungkan prinsip konservasi, sebagaimana diamanatkan undang-undang Minerba. Sesungguhnya bisa diawasi dan dikendalikan dengan memfungsikan Neraca Sumber Daya dan peta digital Zonasi Pertambangan. Pemerintahan SBY, di tahun 2014, mulai melarang ekspor bijih nikel dan mewajibkan kepada pemegang Izin Usaha Pertambangan untuk mendirikan smelter, 5 tahun setelah masa tenggat yang ditetapkan UU Minerba (4/2009). Awalnya tidak banyak peminat. Di masa rezim Jokowi, di tahun 2018, ketetapan pelarangan itu direlaksasi, akan diberlakukan lagi di tahun 2022. Mendadak, ada perubahan di tahun 2019: batas waktu larangan ekspor itu dipercepat ke tahun 2020. Boleh jadi dipengaruhi faktor eksternal — transisi energi transportasi di dunia yang kian mengandalkan tenaga listrik dengan batere litium yang berunsur nikel— maka tahun 2018-2019 berjamuran investor Tiongkok yang mendirikan smelter nikel. Nilai tambah dari hilirisasi nikel memang sangat menjanjikan. Bijih nikel jenis saprolit yang diolah menjadi feronikel akan naik berlipat nilainya 7x, bila diteruskan menjadi slab stainless steel 12x; HRC afau CRC 14x; hingga stainless steel  105x. Untuk nikel jenis limonit, dengan diolah jadi nikel sulphat nilainya meningkat 11x, bila diteruskan jadi precursor 19x, menjadi katoda 37x, bahkan 68 x bila jadi cell batere litium , yakni hingga di rantai nilai paling hilir. Sebelum smelter banyak berdiri (2014), nilai ekspor nikel Indonesia masih di bawah $ 1 milyar. Kini, setelah 50-an smelter beroperasi (2023), nilai ekspor nikel dan produk turunannya meningkat cepat, mencapai $ 35 milyar lebih, nilainya berlipat 30-an x. Nikel dan produk turunan yang diekspor itu bukan lagi bijih (ore) nikel, melainkan sudah berupa olahan dan pemurnian misalnya feronikel, slab hingga HRC dan CRC (ketiganya bahan setengah jadi dalam menghasilkan stainless steel); ataupun nickle matte, nickle sulfat hingga precursor katoda (ketiganya bahan setenga jadi untuk industri batere litium). Konsep peningkatan nilai tambah bukanlah sekadar teori di ruang vacuum, melainkan mesti tercermin dalam perluasan lapangan kerja, pajak ataupun  PNBP royalti bila itu menyangkut hasil pertambangan. Apa yang kita dapat; apa yang dirasakan rakyat? Patut dicermati, para investor smelter asing itu tidak wajib bayar royalti (10%). Royalti cuma wajib bagi penambang nikel. Mayoritas pengusaha smelter itu tidak menambang, tetapi membeli bijih dari  penambang (perusahaan lokal). Bila pengusaha smelter itu juga menambang nikel, akan kena royalti 2% dari nilai final produk smelternya. Peluang bagi Indonesia — yakni APBN kita — tinggal lagi berupa hasil pajak atas nilai tambah yang berlipat ganda dari hasil pengolahan dan pemurnian nikel di atas.Tetapi, para  investor smelter diberi tax-holiday (5 sd 20 tahun), bebas pajak selama jangka waktu itu, bergantung besaran nilai investasinya. Meski kabarnya hanya 2 dari 130-an smelter yang bebas pajak selama 20 tahun, ini perlu terus dicermati. Walhasil, penggalian dan pengolahan nikel besar-besaran itu bisa-bisa hanya memberi hasil “nol” besar -menurut kritik ekonom Faisal Basri. Mesti diakui, hilirisasi nikel yang sedang marak di Indonesia telah memperkuat neraca perdagangan Indonesia. Dengan Tiongkok pun, Indonesia kini surplus neraca dagangnya. Tetapi itu sementara. Di mata para ekonom yang cermat, nilai ekspor nikel dan produk turunannya yang menembus  $ 30 milyar itu adalah nilai ekspor menurut konsep perhitungan PDB (Produk Domestika Bruto) Indonesia. Tetapi, bukan ekspor menurut konsep PNB (Produk Nasional Bruto) Indonesia. Jadi, memang nilai tambah itu terjadi di wilayah Indonesia, namun klaim nilai tambah itu bergantung pada siapa yang memiliki smelter—dalam hal ini mayoritas investor Tiongkok. Devisa hasil ekspor itu pada hakikatnya punya Tiongkok, bebas dibawanya pulang karena Indonesia menerapkan rezim devisa bebas. Penggalian dan pemanfaatan SDA kita harus mengikuti rambu-rambu dalam pasal 33 Konstitusi kita. Penerapannya mesti mengindahkan akal sehat, setidaknya gagasan Golden Rule-nya Hartwick-Solow. Indonesia masih punya sejumlah sumber daya geologi yang bernilai strategis dan berlimpah. Sudah waktunya kita hentikan debat kusir seputar manfaat nettonya. Lebih baik dievaluasi secara akademis menggunakan model Input-Output Table yang lazim dalam mengukur efek multplikasi suatu proyek pada sektor tertentu, terhadap kegiatan dan sektor-sektor lainnya. Siapa yang create value dan siapa yang capture value, jangan kita cuma gigit jari. Rezim pemerintahan yang diamanahi rakyat mesti diawasi, demi menjaga keberlangsungan pembangunan yang dapat dipertanggungjawabkan. Siapa pengawasnya? Wakil rakyat di DPR, para aktivis, asosiasi atau kaum profesional di bidang terkait? Bagaimana bisa “berbunyi” bila para ketua umum partai duduk di kabinet, para ahli atau aktivis itu duduk di kursi komisaris perusahaan BUMN? Mungkin sudah semestinya rencana dan penyelenggaraan pemerintahan dalam koridor GBHN, yang ditetapkan rakyat (melalui musyawarah wakil rakyat, utusan daerah dan golongan) di MPR. Tetapi, kehendak rakyat di MPR itu seakan tidak ada lagi pintu masuknya. MPR dalam UUD1945 yang di amandemenen sudah tidak ampuh.