The Golden Rule Dalam SDA Kita
Darwin Zahedi Saleh l Menteri ESDM Era SBY
Apa betul negeri kita kaya? Memang iya. Setidaknya, inilah negeri ke 6 di dunia yang terbanyak kekayaan sumber daya geologinya (data Badan Geologi-KESDM, 2020). Ada bahan galian logam, non logam, batuan dan batubara serta radio aktif. Untuk nikel, yang sedang heboh dengan hilirisasinya, Indonesia ada di peringkat 1, dengan sumber daya terbesar di dunia. Melihat itu, semestinya rakyat kita sejahtera. Lebih dari cukup, sumber daya mineral itu untuk negeri berpopulasi ke 4 terbanyak di dunia ini.
Tetapi, keberlimpahan SDA itu dapat berubah jadi kutukan bila lengah dan salah kelola. Jangan sampai habis dan lenyap begitu saja. Mesti ada semacam prinsip utama —golden rule— dalam mendayagunakan SDA yang tak-terbarukan agar berganti menjadi modal pembangunan yang baru dan berkelanjutan. Secara lebih teknis, harus dapat dirumuskan jumlah dan jenis infrastruktur pengganti yang layak (new capital) guna mengimbangi kecepatan pengurasan sumber daya alam yang strategis (old capital) dimaksud. Prinsip-prinsip itu dikemukakan oleh ekonom J.M Hartwick (1977) —menindaklanjuti pemikiran Robert Solow, pemenang Nobel, 1974– intinya menekankan perlunya mempertimbangkan kepentingan antar-generasi.
Bagi kita di Indonesia, golden rule yang demikian seakan menerjemahkan secara lebih konkret perintah pasal 33 UUD 1945 , agar SDA kita dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Rakyat dimaksud logisnya bukanlah rakyat yang hidup di masa ini saja, tetapi juga anak keturunan. Menjadi relevan di sini mengapa bumi, air termasuk mineral Indonesia hingga cabang industri yang mengolahnya mesti dikuasai Negara (pemerintah dan rakyat) guna memastikan perintah konstitusi itu terselenggarakan dengan baik.
Belakangan ini, perhatian kita di Indonesia banyak mengarah pada penggalian besar-besaran nikel. Tentulah kita semua berkepentingan untuk tahu, apa manfaat dan mudharat dari program hilirisasi rezim Jokowi dengan membuka pintu lebar-lebar pada investor untuk membangun smelter nikel. Ternyata, pembangunan smelter-smelter besar-besaran, guna meningkatkan nilai tambah nikel itu, membuat kritis jumlah cadangan nikel kita. Sejumlah pihak (DPR, ahli pertambangan dan asosiasi pengusaha) sudah mengeluhkan hal tersebut. Jenis nikel saprolit —yang produk akhirnya untuk bahan pembuatan stainless steel— segera habis dalam waktu 7 tahun lagi; untuk jenis nikel limonit —dengan produk akhirnya berupa katoda untuk pembuatan batere litium— dalam 33 tahun akan habis.
Mungkin, jumlah cadangan nikel masih terkesan berlimpah, yakni 5 milyaran untuk bijih nikel dan hampir 60 juta ton logam nikel (Kepmen ESDM 2022). Tetapi, itu akan terkuras dengan cepat, diserap oleh sedemikian banyak smelter ( 136 smelter, mayoritas adalah perusahaan asal Tiongkok) bila semua selesai di 2025, dengan kebutuhan bijih nikel sekitar 460 juta ton pertahun. Program peningkatan nilai tambah nikel semestinya memperhitungkan prinsip konservasi, sebagaimana diamanatkan undang-undang Minerba. Sesungguhnya bisa diawasi dan dikendalikan dengan memfungsikan Neraca Sumber Daya dan peta digital Zonasi Pertambangan.
Pemerintahan SBY, di tahun 2014, mulai melarang ekspor bijih nikel dan mewajibkan kepada pemegang Izin Usaha Pertambangan untuk mendirikan smelter, 5 tahun setelah masa tenggat yang ditetapkan UU Minerba (4/2009). Awalnya tidak banyak peminat. Di masa rezim Jokowi, di tahun 2018, ketetapan pelarangan itu direlaksasi, akan diberlakukan lagi di tahun 2022. Mendadak, ada perubahan di tahun 2019: batas waktu larangan ekspor itu dipercepat ke tahun 2020. Boleh jadi dipengaruhi faktor eksternal — transisi energi transportasi di dunia yang kian mengandalkan tenaga listrik dengan batere litium yang berunsur nikel— maka tahun 2018-2019 berjamuran investor Tiongkok yang mendirikan smelter nikel.
Nilai tambah dari hilirisasi nikel memang sangat menjanjikan. Bijih nikel jenis saprolit yang diolah menjadi feronikel akan naik berlipat nilainya 7x, bila diteruskan menjadi slab stainless steel 12x; HRC afau CRC 14x; hingga stainless steel 105x. Untuk nikel jenis limonit, dengan diolah jadi nikel sulphat nilainya meningkat 11x, bila diteruskan jadi precursor 19x, menjadi katoda 37x, bahkan 68 x bila jadi cell batere litium , yakni hingga di rantai nilai paling hilir.
Sebelum smelter banyak berdiri (2014), nilai ekspor nikel Indonesia masih di bawah $ 1 milyar. Kini, setelah 50-an smelter beroperasi (2023), nilai ekspor nikel dan produk turunannya meningkat cepat, mencapai $ 35 milyar lebih, nilainya berlipat 30-an x. Nikel dan produk turunan yang diekspor itu bukan lagi bijih (ore) nikel, melainkan sudah berupa olahan dan pemurnian misalnya feronikel, slab hingga HRC dan CRC (ketiganya bahan setengah jadi dalam menghasilkan stainless steel); ataupun nickle matte, nickle sulfat hingga precursor katoda (ketiganya bahan setenga jadi untuk industri batere litium).
Konsep peningkatan nilai tambah bukanlah sekadar teori di ruang vacuum, melainkan mesti tercermin dalam perluasan lapangan kerja, pajak ataupun PNBP royalti bila itu menyangkut hasil pertambangan. Apa yang kita dapat; apa yang dirasakan rakyat?
Patut dicermati, para investor smelter asing itu tidak wajib bayar royalti (10%). Royalti cuma wajib bagi penambang nikel. Mayoritas pengusaha smelter itu tidak menambang, tetapi membeli bijih dari penambang (perusahaan lokal). Bila pengusaha smelter itu juga menambang nikel, akan kena royalti 2% dari nilai final produk smelternya. Peluang bagi Indonesia — yakni APBN kita — tinggal lagi berupa hasil pajak atas nilai tambah yang berlipat ganda dari hasil pengolahan dan pemurnian nikel di atas.Tetapi, para investor smelter diberi tax-holiday (5 sd 20 tahun), bebas pajak selama jangka waktu itu, bergantung besaran nilai investasinya. Meski kabarnya hanya 2 dari 130-an smelter yang bebas pajak selama 20 tahun, ini perlu terus dicermati. Walhasil, penggalian dan pengolahan nikel besar-besaran itu bisa-bisa hanya memberi hasil “nol” besar -menurut kritik ekonom Faisal Basri.
Mesti diakui, hilirisasi nikel yang sedang marak di Indonesia telah memperkuat neraca perdagangan Indonesia. Dengan Tiongkok pun, Indonesia kini surplus neraca dagangnya. Tetapi itu sementara. Di mata para ekonom yang cermat, nilai ekspor nikel dan produk turunannya yang menembus $ 30 milyar itu adalah nilai ekspor menurut konsep perhitungan PDB (Produk Domestika Bruto) Indonesia. Tetapi, bukan ekspor menurut konsep PNB (Produk Nasional Bruto) Indonesia. Jadi, memang nilai tambah itu terjadi di wilayah Indonesia, namun klaim nilai tambah itu bergantung pada siapa yang memiliki smelter—dalam hal ini mayoritas investor Tiongkok. Devisa hasil ekspor itu pada hakikatnya punya Tiongkok, bebas dibawanya pulang karena Indonesia menerapkan rezim devisa bebas.
Penggalian dan pemanfaatan SDA kita harus mengikuti rambu-rambu dalam pasal 33 Konstitusi kita. Penerapannya mesti mengindahkan akal sehat, setidaknya gagasan Golden Rule-nya Hartwick-Solow. Indonesia masih punya sejumlah sumber daya geologi yang bernilai strategis dan berlimpah. Sudah waktunya kita hentikan debat kusir seputar manfaat nettonya. Lebih baik dievaluasi secara akademis menggunakan model Input-Output Table yang lazim dalam mengukur efek multplikasi suatu proyek pada sektor tertentu, terhadap kegiatan dan sektor-sektor lainnya.
Siapa yang create value dan siapa yang capture value, jangan kita cuma gigit jari. Rezim pemerintahan yang diamanahi rakyat mesti diawasi, demi menjaga keberlangsungan pembangunan yang dapat dipertanggungjawabkan. Siapa pengawasnya? Wakil rakyat di DPR, para aktivis, asosiasi atau kaum profesional di bidang terkait? Bagaimana bisa “berbunyi” bila para ketua umum partai duduk di kabinet, para ahli atau aktivis itu duduk di kursi komisaris perusahaan BUMN?
Mungkin sudah semestinya rencana dan penyelenggaraan pemerintahan dalam koridor GBHN, yang ditetapkan rakyat (melalui musyawarah wakil rakyat, utusan daerah dan golongan) di MPR. Tetapi, kehendak rakyat di MPR itu seakan tidak ada lagi pintu masuknya. MPR dalam UUD1945 yang di amandemenen sudah tidak ampuh.