OPINI
Rakyat Melarat vs Konglomerat Keparat
Oleh M Rizal Fadillah | Pemerhati Politik dan Kebangsaan Proyek PIK 2 sebagai kelanjutan dari PIK 1 sangat menyakitkan rakyat. Berkedok sebagai obyek wisata yang diajukan statusnya sebagai PSN oleh Menteri Pariwisata saat itu Sandiaga Uno. Menko Perekonomian \"pesakitan\" Airlangga Hartato menetapkan PIK 2 sebagai PSN. Proyek di Teluk Naga itu naga-naganya bakal terus menuai masalah dan potensial menimbulkan konflik sosial. Sementara itu Presiden Prabowo tidak bersuara atau sibuk dengan omon-omon sendiri seperti tidak peduli dengan nasib rakyat yang semakin melarat dibantai konglomerat. Semestinya cepat ia bersikap dengan mencabut PSN untuk PIK 2 dan evaluasi izin-izin PIK 2. Bila betul Prabowo ingin berbuat demi rakyat sebagaimana isi pidatonya, maka segera batalkan PIK 2. Konglomerat pemilik Agung Sedayu Group A guan dan Salim Group Anthony Salim merasa jumawa sukses melobi Jokowi untuk mendapat fasilitas PSN. Perlu pemeriksaan seksama dugaan tejadinya kolusi antara kedua pengusaha naga itu dengan Uno, Airlangga dan Jokowi. Adakah suap atau bentuk korupsi lainnya ? Peristiwa pembakaran truk dan perlawanan kepada aparat, meski diawali insiden, merupakan wujud dari kemarahan rakyat atas kesewenang-wenangan konglomerat. Pembuatan tembok hingga penutupan akses adalah cermin dari arogansi patung naga tinggi dan panjang. Kompleks pecinan yang mengindikasi betapa dalamnya kesenjangan yang terjadi. Perilaku ekslusif dapat berakibat kebencian bahkan kemarahan. Nampaknya Jokowi mencanangkan jalur pesisir pantai utara untuk kawasan pecinan. Betapa bahayanya penggusuran tanah-tanah rakyat secara paksa lewat pembelian harga murah. Konglomerat akan beruntung banyak. Rakyat melarat terus diperas oleh konglomerat keparat yang dibantu pejabat. PIK 2 mengancam disintegrasi sosial dan nasional. Rakyat Banten yang gelisah akan terus marah. Sulit meredam perlawanan. PSN yang memihak konglomerat adalah sumbu ledak dari kekesalan dan kemarahan. Ketidakadilan membuat rakyat berani bahkan nekad. Tidak peduli dengan aparat. Kasus terlindas truk bocah telah membuat tunggang langgang aparat akibat lemparan batu. Intifadah rakyat Banten. Konglomerat di PIK 1, PIK 2, BSD, Rempang dan PIK lain memang semakin keparat. Mereka seenaknya berbuat tanpa peduli bahwa ada warga lain yang teraniaya. Konglomerat itu bukan sekedar mencari keuntungan ekonomis tetapi berusaha mengendalikan para pejabat. Aparat pun membekingi. Kekayaan telah berhasil mengatur kebijakan dan mengendalikan kekuasaan. PIK 2 adalah bentuk kepercayaan diri konglomerat etnik China untuk membangun apapun tanpa takut reaksi baik resolusi, petisi, maupun demonstrasi. Bacalah kondisi di seluruh Indonesia betapa mengerikannya keadaan. Hampir semua kompleks perumahan menengah ke atas apalagi perumahan elit dihuni oleh mayoritas etnis China. Ada diskriminasi alami akibat \"keuangan yang berkuasa\". Fakta ini patut untuk menjadi perhatian bagi para pengambil kebijakan baik tingkat pusat maupun daerah.Rakyat pribumi jangan dibiarkan melarat akibat lahan-lahan miliknya hilang dimakan naga-naga kecil dan besar. Jika kebijakan tetap dalam status quo dan kesenjangan sosial semakin tajam maka hukum dialektika akan berlaku yakni tesis berhadapan dengan antitesis. Keadaan yang mungkin terjadi itu adalah rakyat melarat akan berhadapan dengan konglomerat keparat. PIK 2 mengajarkan serangan intifada yang bakal sulit untuk dikalahkan. (*)
Tak Ada Alasan PIK 2 Berstatus Proyek Strategis Nasional
Oleh Anthony Budiawan | Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Proyek Strategis Nasional (PSN) PIK2 PSN lainnya secara jelas dan nyata telah melanggar beberapa peraturan perundang-undangan. Penetapan PSN harus ada prosedur dan persyaratannya. Pertama, ada penyelundupan hukum, bahwa proyek strategis nasional seolah-olah bukan untuk kepentingan umum, sehingga tidak perlu ada kajian strategis dalam hal pengalihan fungsi lahan. (Pasal 19 dan Pasal 44.) Kalau proyek strategis nasional bukan untuk kepentingan umum, jadi untuk siapa, apakah untuk orang perorangan? Kalau bukan untuk kepentingan umum, kenapa harus ada “strategis”, dan ada “nasional”, dan kenapa harus diberi label proyek strategis nasional, yang digunakan untuk mengusir rakyat dari tempat tinggal yang sudah turun menurun sejak nenek moyang mereka? Pasal 173 UU Cipta Kerja tidak menyebut, PSN bisa diselenggarakan oleh badan usaha swasta. Melainkan Pasal 173 ayat (1) secara eksplisit mengatakan, ….. PSN bagi proyek strategis nasional dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, badan usaha milik negara, atau badan usaha milik daerah. Pasal ini menutup kemungkinan PSN diberikan kepada swasta. Pengaturan teknis UU Cipta Kerja diatur dengan Peraturan Pemerintah tentang Kemudahan Proyek Strategis Nasional. Pasal 2 ayat (2) PP tersebut memasukkan unsur Badan Usaha bisa mendapat fasilitas Kemudahan Proyek Strategis Nasional, yang berarti telah menyimpang dari Pasal 173 UU Cipta Kerja tersebut, yang dilakukan secara sadar dan sengaja. Kemudian Pasal 2 ayat (4) mengatur, hanya Kementerian / Lembaga dan Pemerintah Daerah saja yang mendapat Kemudahan Pengadaan: Badan Usaha tidak mendapat Kemudahan Pengadaan. Pasal 2 ayat (4):_Selain fasilitas Kemudahan pada tahapan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), kementerian/lembaga dan Pemerintah Daerah dalam pelaksanaan Proyek Strategis Nasional mendapatkan kemudahan pengadaan. Pasal 2 ayat (5) mangatakan, menteri mengkoordinasikan fasilitas Kemudahan PSN. Untuk PSN PIK2, menteri mana yang koordinasi? Pasal 3 ayat (2) mewajibkan, status PSN hanya bisa ditetapkan berdasarkan pengajuan usulan, baik oleh menteri/kepala lembaga/kepala daerah atau badan usaha, kepada Menteri, dan Menteri wajib melakukan evaluasi. (2) Menteri/kepala lembaga/kepala daerah dan Badan Usaha mengajukan usulan Proyek Strategis Nasional kepada Menteri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.(3) Menteri melakukan evaluasi atas daftar Proyek Strategis Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau usulan Proyek Strategis Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Pertanyaannya: siapa yang mengajukan status PSN PIK2 (dan juga BSD), kepada menteri mana, dan apakah sudah ada hasil evaluasinya? Terakhir, pengusiran warga dari tempat tinggalnya dengan mengatasnamakan PSN, dan pemaksaan warga untuk menjual rumah dan lahan tempat tinggalnya, melanggar Hak Asasi Manusia seperti diatur di Pasal 28H ayat (4), yang berbunyi: Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun. (*)
Tembok China Changcheng
Oleh M Rizal Fadillah | Koordinator Kajian Politik Merah Putih Tembok besar China atau Great Wall of China dibangun di masa dinasti Ming berfungsi sebagai benteng pertahanan dari serangan Mongol. Berfungsi pula sebagai kontrol perbatasan dan imigrasi. Dikenal sebagai tembok panjang atau Changcheng. Panjang keseluruhan 13.171 Mil. Salah satu keajaiban dunia ini kini menjadi destinasi wisata yang sangat menarik. Di Indonesia kini mulai ada kehebohan soal tembok yang membatasi sebuah kompleks perumahan dan kawasan wisata di pantai utara Tangerang, namanya Pantai Indah Kapuk 2 atau PIK 2. Pemiliknya A guan atau Sugianto Kusuma atau Guo Zaiyuan, salah seorang \"naga\" konglomerat penentu ekonomi Indonesia. Pemberian status Proyek Strategis Nasional (PSN) sangat menyakiti rakyat. Tembok PIK 2 mengingatkan tembok China. Ada kedigjayaan, pertahanan, bahkan keangkeran di sana. Berasumsi bangsa di luar tembok adalah barbar. PIK 2 dibuat seperti negara dalam negara, negara China yang ada di Indonesia. Simbol Naga besar berdiri di gerbang seakan abai pada lambang negara Garuda. Naga telah menggusur bahkan menggigit Garuda. Kasus pelaporan ke Kepolisian Said Didu atas sikap kritisnya oleh seorang Kades di Tangerang ternyata membuka borok proyek dan meningkatkan perlawanan rakyat. Isu suap Aguan 50 milyar kepada anggota DPR dalam program reklamasi terangkat kembali. KPK harus bergerak serius. Said Didu potensial menjadi martir gerakan perlawanan masif. Bukan sebatas bermuara pada Jokowi tetapi bakal membuat belepotan Prabowo. Presiden pewaris dosa. Tembok China berhasil ditembus Genghis Khan dan merontokkan Dinasti Song yang dilanda perpecahan. Kendali atas tembok besar hilang, bahkan problema internal cukup menggelisahkan ada suap menyuap yang merupakan skandal dan melemahkan kekuatan. Akhirnya Mongol mampu menjebol tembok dan menguasai China. Tembok China PIK 2 adalah simbol eksklusivitas, pamer kemewahan, pengukuh kesenjangan, membangun \"forbidden city\" atau kota terlarang, serta sumber pendapatan pejabat dan penistaan pribumi. Penjajahan berbasis etnis. Rakyat dilarang bersikap diskriminatif atas dasar etnis, tetapi etnis China bersikap diskriminatif kepada kaum pribumi. Ada tembok panjang Changcheng di bangun yang membatasi Kerajaan China PIK 2. Saatnya evaluasi kebijakan diskriminatif pemerintah yang menggusur dan \"merampas\" tanah rakyat Indonesia untuk kepentingan orang-orang kaya etnis China. Jangan berteriak-teriak diskriminasi padahal kebijakan sendiri diskriminatif. PIK 2 adalah diskriminasi yang nyata. Ada tembok pemisah yang memilukan. Pembauran warga hanya ceritra tragedi yang terjadi adalah negara dalam negara. Tembok diskriminasi harus dijebol. Pengusaha China jangan berperilaku seperti Zionis yang menggusur dan menindas warga Palestina. PIK 2 tidak berguna bagi rakyat dan bangsa Indonesia. Hanya tontonan dari kemewahan sang penjajah. Percuma mengkriminalisasi Said Didu, Banten bisa membara. (*)
Siapa yang Antek Asing?
Oleh Tata Kesantra | Ketua Umum FTA Saya dapat pesan pendek melalui WA dari sahabat dan teman diskusi, wartawan senior Hersubeno Arief, pada Jumat malam sekitar pukul 21.00 waktu New York. Katanya \"wuihh ada apa nih kok anda jadi trending nomor 2 di X (twitter) dalam beberapa jam terakhir?\". Saya cukup kaget karena saya tidak punya akun di X dan lebih kaget lagi karena saya jadi trending karena di anggap sebagai antek asing, anti pancasila dan provokator. Saya bertanya-tanya agenda apalagi ya?, pengalihan isu?, tapi masak iya. Ini pasti kerjaan buzzer yang buat heboh agar dana mereka bisa dicairkan. Sejak pembubaran acara \"Silaturahmi Kebangsaan FTA\" di Hotel Grand Kemang, Jakarta Selatan, bulan September 2024 lalu, memang nama saya dan FTA kerap dikait-kaitkan sebagai antek-antek asing/antek Amerika dan punya agenda mengekspor demokrasi liberal ke Indonesia. Apa yang jadi dasar pemikiran semua label-label tersebut? Apakah karena saya sebagai diaspora yang sudah cukup lama menetap di New York sehingga dianggap tidak punya lagi rasa memiliki (sense of belonging) terhadap tanah air sehingga dilabel sebagai antek asing?. Ataukah FTA yang hampir 5 tahun belakangan ini banyak mengkritisi penguasa, dan kebetulan saya adalah pendiri dan ketua umumnya, dianggap mengganggu kepentingan orang-orang tertentu? Apapun alasannya, saya pastikan pihak- pihak yang membuat tuduhan terhadap saya sebagai diaspora, lupa akan sejarah perjuangan serta peran mahasiswa dan warga Indonesia yang hidup di luar negeri, baik sebelum kemerdekaan maupun setelah kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Artinya kita tidak bisa mengecilkan peran para diaspora dalam perjuangan meraih dan mengisi kemerdekaan. Bagaimana perjuangan diaspora pelajar di Mesir yang tergabung dalam Perhimpunan Indonesia Raya di bawah pimpinan Prof. Abdulkahar Muzakkir, mereka berjuang dengan menulis pada majalah-majalah, seperti Seruan Al-Azhar, Pilihan Timur, Merdeka, dan Usaha Pemuda. Karena terlihat membangkitkan semangat perlawanan berlebih, maka Belanda dan Inggris sebagai negeri yang berkuasa pun melarang peredarannya di Indonesia. Demikian juga dengan Persatuan Pemuda Indonesia Malaya (Perpindom) di Mesir yang mengutus ketuanya Janan Thaib ke Belanda untuk menemui Ketua Perhimpunan Indonesia Mohammad Hatta dalam rangka koordinasi perjuangan Indonesia di luar negeri. Selain Hatta, pemuda yang tampil dalam organisasi Perhimpunan Indonesia tersebut antara lain adalah Sutan Sjahrir, Ali Sastroamidjojo dan Sukiman Wirjosandjojo. Merekalah yang kelak memimpin jalannya laju negara Indonesia selepas merdeka. Hal ini menunjukkan bahwa perjuangan diaspora para pelajar Indonesia sudah bersatu meski terbentang jarak ribuan kilometer dan tinggal jauh dari tanah air. Bahwa sebagai anak bangsa yang ingin melihat kehidupan saudara saudaranya di tanah air menjadi lebih baik, lebih sejahtera, lebih makmur dan lebih adil, maka sebagai wujud kepedulian dan menunjukkan rasa kebersamaan dari diaspora terhadap situasi dan kondisi di tanah air adalah mengangkat issu dan permasalahan yang dihadapi oleh saudara saudaranya ke forum internasional. Perjuangan dan suara warga negara Indonesia di luar negeri atau lebih dikenal dengan sebutan diaspora, yang sekalipun hidupnya jauh dan taraf sosial ekonomi diatas rata rata saudara saudaranya di tanah air, masih memberi perhatian dan konsen dengan keadaan di tanah air, mestinya dilihat sebagai hal yang positif dari dalam negeri, bukannya malah di cibir dan dilabel sebagai antek antek asing. Demikian halnya dengan keberadaan Forum Tanah Air. Suatu forum diskusi aktivis diaspora bersama aktivis di tanah air mesti dilihat sebagai salah satu wadah perjuangan untuk menyuarakan keadaan di tanah air serta mencari solusi dari situasi dan kondisi yang terjadi dengan memberi ide, gagasan dan pikiran alternatif yang di perlukan guna lebih memaksimalkan upaya upaya perbaikannya. Selama sekitar 3 tahun sejak lahirnya di bulan Februari 2020, FTA telah melakukan dialog dan diskusi dengan berbagai pihak, baik tokoh, pakar, akademisi, praktisi, politisi dan juga aktivis untuk memetakan permasalahan di tanah air yang dirasa perlu untuk diperbaiki. Akhirnya awal tahun 2023, FTA mengeluarkan Manifesto Politik yang berisi 10 tuntutan yang perlu mendapat perhatian untuk dibenahi demi terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur di semua strata sosial. Bukan suatu kebetulan bila beberapa waktu belakangan ini, tuntutan tuntutan dalam Manifesto Politik mulai mendapat perhatian dari elite dan lembaga terkait di tanah air. Beberapa diantaranya adalah soal ambang batas 20% untuk pencalonan kepala daerah. Ambang batas pencalonan kepala daerah yang tadinya perlu dukungan minimal 20% dari kursi partai politik atau koalisi partai politik akhirnya diturunkan berkisar pada 6.5% hingga 10%, disesuaikan dengan jumlah penduduk di masing masing daerah tersebut. Para pengamat dan ahli hukum tata negara melihat perubahan ambang batas untuk kepala daerah bisa membuka jalan bagi penghapusan atau setidaknya penurunan ambang batas pencalonan presiden (PT20%) yang sejauh ini sudah di mintakan Judicial Review ke MK oleh berbagai elemen masyarakat, termasuk FTA, namun di tolak oleh hakim MK. PT20% memberi peluang bagi partai2 politik untuk bermain diantara mereka dan menjadi pintu masuk politik uang dari oligarki. Tuntutan lainnya adalah memisahkan POLRI dari Presiden, yang berpotensi penguasa di eksekutif (presiden) berpeluang melakukan penyalahgunaan kekuasaan dengan memanfaatkan polisi. Melalui Perpres no.139 tahun 2024, POLRI tidak lagi berada dibawah presiden dan kedudukannya sejajar dengan TNI. Tuntutan untuk merevisi UUMD3 khususnya tentang hak P.A.W. (Pergantian Antar Waktu) bagi anggota DPR oleh partai politik. Wacana untuk merevisi UUMD3 sudah masuk dalam agenda Program Legislasi Nasional DPR, sekalipun belum jelas urgensi dan ketentuan apa dalam undang undang tersebut yang akan diubah. Mengembalikan naskah UUD 1945 asli yang merupakan hasil kompromi para pendiri bangsa dari hasil 4X amandemen, sehingga hasil karya, cita cita, tujuan dan kesepakatan para pendiri bangsa tetap lestari. Adapun hal hal yang belum diatur dalam UUD 1945 yang asli akan dibuatkan dalam bentuk amandemen/adendum yang disesuaikan dengan kebutuhan serta situasi dan kondisi bangsa dan negara selama tidak menyimpang dari naskah asli UUD 1945. Sejauh ini upaya tokoh dan aktivis untuk kembali ke UUD 1945 menemui kesulitan karena gerakan kembali ke UUD 1945 masih berjalan sendiri-sendiri. Belakangan para tokoh dan aktivis sepakat untuk mengesampingkan perbedaan-perbedaan pandangan dan bersama sama, bersatu padu memperjuangkan gerakan kembali ke UUD 1945. Para tokoh dan aktivis bersepakat untuk membuat Kelompok Kerja (Pokja) untuk mempercepat realisasi kembali ke UUD 1945. FTA ikut aktif mengambil bagian dalam Pokja tersebut. Saya sendiri masuk sebagai salah satu dari Dewan Penasihat. Mungkin terlalu berlebihan kalau dikatakan bahwa adanya beberapa perubahan dan upaya memperbaiki situasi dan kondisi bangsa adalah buah dari hasil tuntutan FTA dalam Manifesto Politik. Namun satu hal yang tidak bisa di nafikan serta dipungkiri bahwa upaya dan perubahan sistem untuk memperbaiki situasi dan kondisi bangsa sudah di suarakan dan tertuang dalam Manifesto Politik FTA yang di luncurkan di awal tahun 2023. Dengan demikian bila ada pihak yang melabeli saya dan/atau FTA kelak, maka wajib di tanyakan kepada mereka sejauh mana mereka tahu tentang FTA dan perjuangannya selama ini. Apakah mereka sudah pernah membaca dengan seksama Manifesto Politik FTA?. Jangan jangan merekalah yang antek antek asing. Salam perjuangan dari New York. (*)
Politik dalam Swasembada Pangan
Oleh : Dr Vitri Aryant SP MM | Analis Kebijakan Kementerian Pertanian BAHASA swasembada pangan sudah dibunyikan sejak pidato Proklamator Bung Karno sekitar 72 tahun lalu . Bung Karno mengusung “pangan dengan mati dan hidupnya suatu bangsa”. Bagi bangsa kita, pangan merupakan sumber kehidupan, sekaligus sumber penghidupan sebagian besar warga masyarakat. Itu sebabnya, Pemerintah penting untuk menanganinyq secara serius. Terdapat empat komponen dalam pembangunan pangan, yakni swasembada, ketahanan, kemandirian dan kedaulatan pangan. Swasembada pangan dianggap sebagai kata kunci terwujudnya ketahanan, kenandirian dan kedaulatan pangan. Tanpa terwujud swasembada pangan lebih dulu, omong kosong kita akan meraih ketahanan, kemandirian dan kedaulatan pangan. Gambaran ini, masuk dalam Asta cita Pemerintahan Prabowo/Gibran dalam visi yang diusung adalah ketahanan pangan dan swasembada pangan dengan dimulai dari makan gratis dan susu gratis. Bahkan Presiden Prabowo menegaskan agar dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, semua ditantang untuk dapat membuktikannya dan diminta untuk saling berkolaborasi membentuk orkestra harmonis dengan nada indah menuju lumbung pangan dunia 2045. Namun begitu, patut disadari hasrat untuk mewujudkan swasembada pangan dalam suasana kekinian, bukanlah hal mudah untuk dicapai. Menggapai swasembada pangan, benar tidak segampang anak-anak membolak-balik telapak tangan bermain \"hom pim pah\". Swasembada pangan adalah proses panjang yang butuh perjuangan untuk meraihnya. Swasembada pangan di awal pemerintahan Prabowo menyedot perhatian publik untuk ikut menyikapinya dengan seksama. Banyak kritikus dan pengamat yang optimis, cita-cita swasembada pangan bukanlah hal yang tidak mungkin untuk diwujudkan. Tapi, di sisi lain ada juga pihak-pihak yang meragukannya. Perbedaan cara pandang seperti ini wajar terjadi. Pro kontra dalam menyikapi suatu kemauan politik juga sangat dihalalkan dalam iklim demokrasi. Tinggal sekarang, bagaimana kemanpuan kita untuk mengolahnya, sehingga diperoleh solusi cerdas yang diharapkan. Kita ingin swasembada pangan, bukan sekedar \"bahasa politis\", namun menjadi \"bahasa realitas\". Ketika seorang Presiden bicara soal swasembada pangan, tentu respon publik akan sangat berbeda jika yang bicara itu seorang Guru Besar Pangan dari Universitas. Yang disampaikan Presiden cenderung akan dianggap sebagai \"bahasa politis\", sedangkan di sisi lain, yang diutarakan Guru Besar, umumnya akan dinilai sebagai \"bahasa teknokratik\". Merupakan tugas bersama untuk \"menyandingkan\" kedua bahasa diatas menjadi satu kesatuan cara pandang dalam mewujudkan kemauan politik tersebut menjadi sebuah fakta dalam kehidupan. Dalam bahasa lain, kita perlu segera mengejawanrahkan dari bahasa politis menjadi bahasa realitas. Atau bisa juga ditegaskan merubah wacana menjadi kenyataan. Dalam rumusan Badan Pangan Dunia (FAO), tentang hakekat swasembada, maka persyaratan pokoknya, 90 % dari produksi yang dihasilkan diraih oleh para petani di dalam negeri. Sisanya yang 10 %, boleh saja kita impor. Jadi, kalau kita mau swasembada beras, 90 % kebutuhan dalam negeri harus dihasilkan oleh produksi dalam negeri.Ketika Pemerintah dalam tahun ini merencanakan impor beras sebesar 5 juta ton, dapat dipastikan, kita kehilangan atribut swasembada beras. Mengapa ? Sebab, angka 5 juta ton, jelas sudah diatas 10%. Produksi beras dalam negeri sendiri hanya sekitar 31 juta ton. Mestinya, impor beras yang dilakukan, masimal 3,1 juta ton, jika predikat swasembada beras masih ingin digenggam. Terlepas dari beratnya tantangan yang harus dijawab, swasembada pangan sebagai bahasa politik Presiden, tentu harus dapat diamankan dan dilaksanakan. Sebagai bangsa yang pernah menggapai swasembada beras di era 1984, mestinya pengalaman kisah sukses swasembada beras dapat ditularkan kepada upaya mencapai swasembada pangan. Kendalanya adalah apakah Pemerintah saat ini mau dan ikhlas untuk belajar terhadap pengalaman Pemerintahan Orde Baru dalam kegemilangannya meraih swasembada beras ? Atau, apakah masih ada diantara kita yang berpandangan semua produk Pemerintahan Orde Baru itu jelek semua, sehingga tidak ada satu pun program yang pantas untuk ditiru dan diteladani ? Untuk itu, saatnya kita sebagai bangsa dituntut untuk \"legowo\" dalam menyikapi perjalanan pembangunan yang diarungi. Swasembada beras 1984 adalah proses monumental yang mendunia. Kisah sukses swasembada beras, telah tercatat dengan tinta emas dalam peta bumi pembangunan psngan dunia. Semua warga dunia sepakat, apa yang diraih Indonesia adalah prestasi berkelas internasional. Akhir kata perlu diingatkan upaya menggeser makna swasembada pangan dari bahasa politis menjadi bahasa realitas, tentu sangat membutuhkan kerja keras dan kerja cerdas segenap komponen bangsa. Pertanyaan kritisnya adalah apakah kita siap untuk melakoninya? Sebagai bangsa pejuang, jawaban yang disampaikan harusnya (VA)
Otorisasi Politik Percepat Swasembada Pangan
Oleh : Dr Vitri Aryanti SP MM | Analis Kebijakan Ekopol/Program Doktoral Universitas Nasional Jakarta Koordinasi antar-wewenang politik utama terkait otorisasi antar-kementerian berimplikasi pada harmonisasi orkestra seluruh potensi sektor pertanian secara komprehensif. Orkestra ini memudahkan pemerintah memonitor dan mengevaluasi berbagai upaya pencapaian swasembada pangan. Orkestra yang dikoordinasikan oleh Menteri Koordinator Pangan, Zulkifli Hasan, Jakarta, Rabu (6/11/2024) dapat mengeksekusi akselerasi upaya bersama mencapai swamsembada pangan. Berkoordinasi dengan 1.500 Kepala Desa dalam acara pencanangan Gerakan Nasional Pangan Merah Putih Menuju Swasembada Pangan Berkelanjutan di Kementerian Pertanian. Keterlibatan Kepala Desa diharapkan dapat lebih mendorong petani untuk akselerasi produksi pangan. UU No 18 tahun 2012 menyebutkan kewajiban negara untuk menyediakan pangan bagi seluruh rakyat Indonesia. Sejak era Republik Indonesia berdiri, kiprah politik telah ada, dimulai dari deklarasi pembangunan pertanian yang merupakan komitmen segenap komponen bangsa. Kemauan politik dan keberpihakan negara menjadi salah satu penentu berhasilnya pembangunan pertanian. Kejayaan pertanian menguatkan ekonomi bangsa. Sejarah pembangunan pertanian berawal pada masa orde baru. Pada awal masa orde baru pemerintahan menerima beban berat dari buruknya perekonomian orde lama. Tahun 1966-1968 merupakan tahun untuk rehabilitasi ekonomi. Pemerintah orde baru berusaha keras untuk menurunkan inflasi dan menstabilkan harga. Dengan dikendalikannya inflasi, stabilitas politik tercapai yang berpengaruh terhadap bantuan luar negeri yang mulai terjamin dengan adanya IGGI. Maka sejak tahun 1969, Indonesia dapat memulai membentuk rancangan pembangunan yang disebut Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA). Memasuki era globalisasi yang dicirikan oleh persaingan perdagangan internasional yang sangat ketat dan bebas, pembangunan pertanian semakin dideregulasi melalui pengurangan subsidi, dukungan harga dan berbagai proteksi lainnya.Pengurangan subsidi terjadi utamanya di sektor pangan sebagai implikasi dari kompromi pemerintah dengan IMF dan ini berakibat pada limbungnya berbagai sektor yang biasa mendapakan subsidi termasuk salah satunya sektor pangan. Persoalan pembangunan pertanian sangat erat kaitannya dengan peningkatan kapasitas petani sebagai pelaku pembangunan. Peningkatan kapasitas petani tidak hanya dibatasi peningkatan produktivitas petani, namun juga peningkatan keterlibatan petani untuk lebih berperan dalam proses pembangunan. Persoalan krusial dalam peningkatan kapasitas SDM adalah rendahnya partisipasi petani dalam pengambilan keputusan pembangunan pertanian. Hal ini antara lain disebabkan oleh tidak adanya suatu organisasi petani yang utuh mempunyai kekuatan politik untuk memperjuangkan kepentingan petani di forum nasional. Peningkatan petani diarahkan pada peningkatan partisipasi politik petani dalam setiap proses pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan petani utamanya terkait kiprah petani dalam politik pembangunan pertanian. Pemberian ruang partisipasi dan kebebasan petani untuk mengekpresikan kepentingannya juga sangat urgen. Masih menjadi mimpi panjang sebagaimana petani melalui organisasi petani menjadi kekuatan yang hebat yang mampu menyuarakan dan membela kepentingan warganya seperti yang dilakukan di Jepang dan negara-negara Eropa. Melalui partisipasi politik petani, dapat menjadikan orchestra otoritasi politik yang harmonis. Tidak bisa dipungkiri, pertanian adalah jenis pekerjaan yang penuh dengan resiko. Petani butuh saling menguatkan dalam suatu organisasi politik agakr petani tidak dibuat pusing dengan berbagai kebijakan yang tidak meyertakan suara petani di dalamnya. Di Eropa, melalui Komisi Eropa mellaui Kebijakan Pertanian Bersama (Inggris – Common Agricultural Policy, disingkat CAP). CAP merupakan seperangkat Undang-undang yang ditetapkan berupa kebijakan seragam dan terpadu di bidang pertanian dengan prioritas produksi pangan berkelanjutan, pengelolaan sumber daya alam dan pembangunan perdesaan yang berimbang di seluruh Uni Eropa. Kebijakan Pertanian Bersama merupakan kombinasi antara subsidi-subsidi pertanian dan kebijakan pembangunan pertanian lainnya, yang sejak awal bertujuan untuk menjamin keamanan pangan di Eropa setelah Perang Dunia II. Kebijakan ini mempunyai tujuan yang ditetapkan sejak 1958 sampai sekarang. (VA)
Aguan Blunder Jadikan Said Didu Martir
Oleh M Rizal Fadillah | Pemerhati Politik dan Kebangsaan Siapapun yang melaporkan mantan Staf Khusus BUMN Said Didu, termasuk Kades Maskota, ke pihak Kepolisian maka ia adalah pembela boss Agung Sedayu Group Aguan. PIK 2 yang menjadi perhatian publik adalah proyek penjajahan. Penjajahan ekonomi berupa dominasi konglomerat atas rakyat, penjajahan politik pejabat negara yang tidak berkutik, serta penjajahan budaya penguasaan etnis China atas pribumi. Pribumi yang digusur untuk membangun Pecinan. Aguan yang membiarkan pelaporan patut diduga terlibat sebagai pihak yang diuntungkan. Ia bisa saja menjadi penyuruh, pembujuk atau pembantu. Potensinya ada pada kemampuan biaya. Dalam hal menjadi bagian dari keterlibatan pelapor, maka Aguan beserta perusahaannya dapat memancing publik bereaksi lebih keras. PIK bukan proyek biasa, rakyat melihat ini sebagai sinyal dari bahaya negara. Dukungan atas perjuangan Said Didu akan terus menggumpal dan menguat. Rakyat Banten sendiri sudah berteriak. Semangat Sultan Ageng Tirtayasa melawan VOC seolah bangkit kembali. PIK-2, Aguan, China, oligarki dan PSN mulai digugat dan dimasalahkan serius. Magnet perjuangan rakyat semakin terbentuk. Proses hukum yang berlanjut akan menjadi blunder penguasa. Semua membaca bahwa hal ini bukan murni hukum tetapi kriminalisasi yang sarat dengan kepentingan politik. Demi melindungi proyek penguasaan lahan rakyat oleh konglomerat yang berkolusi dengan pejabat. Said Didu menjadi martir gerakan. Setelah HRS dan 6 Syuhada belum mampu menjadi martir perubahan demikian juga dengan Gus Nur dan Bambang Tri soal ijazah palsu, Anies Baswedan korban Pilpres dan Pilgub, maka Said Didu potensial menjadi martir. Perlawanan atas keserakahan pengusaha, penyimpangan penguasa, serta pembelaan rakyat tergusur menjadi paket perjuangan bersama kasus IKN, Rempang, OBOR maupun Joint Commitment Xi Jinping-Prabowo. A guan atau Sugianto Kusuma semestinya mencegah Apdesi atau Kepala Desa pelapor untuk melakukan pemaksaan langkah hukum. Sikap kritis dan protes Said Didu bukan saja wajar tetapi sudah seharusnya. PIK 2 yang diberi status PSN dapat bergeser menjadi proyek musuh rakyat. A guan sendiri kini berkolaborasi dengan Menteri Perumahan Rakyat dalam program 3 juta rumah. Ara atau Maruarar Sirait adalah mantan anak buah A guan. Said Didu tidak sendiri, perjuangan melawan PIK 2 mendapat dukungan berbagai elemen dan aktivis. Membungkam Said Didu tidak akan menyelesaikan masalah, PIK 2 memiliki problema soal fundamental bangsa. Ada kedaulatan negara, kesenjangan, serta dominasi etnik. Eksklusivitas menjadi suatu keniscayaan. Hentikan kriminalisasi untuk membungkam kritik. Jika terus arogansi dikedepankan, maka dipastikan perlawanan berubah menjadi pemberontakan, kemudian api membara. Rakyat jangan disakiti dan perampok jangan dilindungi. Mungkin Said Didu hanya mengingatkan, ia sedang menjaga tanah dari penguasaan penjahat. You are robbers, i\'m just reminding the people. (*)
Tolak Semua Proyek PSN - Usir Taipan dan TKA Cina dari Bumi Indonesia
Oleh Sutoyo Abadi | Koordinator Kajian Politik Merah Putih Etnolog Belanda Profesor Veth pernah mencela rakyat negeri ini seperti “rakyat kambing yang semangat harimaunya sudah dijinakkan sampai ke kutu-kutunya, karena bekerjanya obat tidur penjajahan” Lemahnya mentalitas bangsa ini yang mudah dipecah-belah berdasarkan pendapat-pendapat ilmuwan mereka yang berkesimpulan kita adalah “bangsa yang paling lunak di dunia” . Sun Yat Sen mengatakan : bangsa Indonesia adalah bangsa yang tidak punya keinginan untuk membebaskan diri dari penindasan ibarat “a sheet of loose sand”. Bagaikan pasir yang meluruk dan rapuh. Tiada keteguhan, sehingga mudah ditiup ke mana-mana Berawal dari Proyek Strategis Nasional (PSN) pada masa pemerintahan Jokowi ternyata itu tipuan yang sebenarnya Proyek Strategis Oligarki (PSO) bukan untuk kesejahteraan rakyat tetapi untuk menerkam, menindas dan menjajah rakyat Indonesia. Peristiwa penindasan oleh PSO sudah sampai pada menjual kedaulatan negara. Betapa dahsyatnya mantra Oligarki sehingga rakyat meskipun berkali-kali tertipu dan terperosok di lubang yang sama. Rela mengorbankan dirinya sebagai budaknya dan menjalankan perintah majikannya sekalipun harus menghabisi dan memangsa temannya sendiri sesama pribumi. Penindasan tidak muncul secara fisik dari kekuatan figur personal tuan tuan Taipan tetapi dimunculkan dari penguasa / para pejabat pemerintahan yang sudah menjadi budak atau piaraan mereka. Penguasa di Indonesia sesungguhnya adalah para kapitalis oligarki. Merekalah mengendalikan politik dan ekonomi negara. Otomatis mereka menguasai semua jaringan penyelenggara dan pengelola negara. Kekuasaan Oligarki makin gila dan tak terkendali mampu menyatukan bersatunya Bandit - Bandar dan Badut Politik organik dengan Bandit, Bandar dan Badut politik non-organik, adalah gambaran peta perselingkuhan dan pelacuran politik yang luar biasa dahsyat melibat semua jejaring kekuasaan masuk dalam kolam yang sama. Rezim ini lumpuh total dipengaruhi dan dikuasai oleh kapitalis yang merupakan persekongkolan (conspiracy), para Taipan, korporatokrasi (penghancur lingkungan alam dan sosial ), sembilan barongsai, oligarki, gorilla betina merah, dan neo kolonialisme. Mereka bersekongkol utk berkuasa secara absolut, bagi kehancuran bangsa dan NKRI. Meluluh lantakan peran dan fungsi hampir di semua institusi dan lembaga negara dalam satu kekuasaan dan genggaman Oligarki. The Faunding Fathers membentengi kaum pribumi dengan UUD 45 dan Pancasila karena sadar betul, adanya kesepakatan kaum pribumi di kenal dengan nama TRILOGI PRIBUMISME untuk mencapai Bonum Pubicumm (kemakmuran bersama), berisi : \"Pribumi Pendiri Negara, Pribumi Pemilik Negara dan Pribumi Penguasa Negara\" Kaum pribumi harus sadar penjajah saat ini lebih kejam dari penjajah kolonial.. bangkit - bangkit dan bangkitlah melawan. Tolak semua proyek PSN (PIK 1 dan 2 dll) usir para Taipan dan TKA Cina dari bumi Indonesia. “Kita bangsa besar, kita bukan bangsa tempe. Kita tidak akan mengemis, kita tidak akan minta-minta, apalagi jika bantuan-bantuan itu diembel-embeli dengan syarat ini syarat itu! Lebih baik makan gaplek tetapi merdeka, daripada makan bestik tapi budak.” (Soekarno). (*)
Bajingan Politik dan Idealisme Akademik
Oleh Hafid Abbas | Mantan Ketua Komnas HAM RI dan Promotor Dr HC Nelson Mandela dari UNHAS 2005 SEMOGA gelora perlawanan intelektual dan kebebasan berpendapat tidak akan pernah redup di dunia akademik hingga kapan pun. Istilah “Bajingan Tolol” pertama kali diungkapkan oleh Rocky Gerung di awal Agustus 2023, sebagai satu ungkapan untuk mengkritik satu kebijakan yang dinilai merugikan negara dan menyengsarakan rakyat. Kritikan yang dilontarkan itu terjadi ketika ada kebijakan yang hendak memberikan hak penguasaan lahan IKN selama 190 tahun kepada investor asing. Kritikan yang sama, juga muncul ketika terdapat kebijakan penggusuran paksa warga di Pulau Rempang yang sudah menghuni pulau itu selama berabad-abad. Alasannya, warga pulau itu tidak memiliki bukti kepemilihan yang sah hak atas tanah yang dihuninya meski mereka sudah berada di pulau itu secara turun temurun dari abad ke abad. Namun, mengapa pemerintah hendak memperuntukkan Pulau Rempang bagi orang China yang hendak membangun pabrik kaca. Tentu saja warga China juga tidak memiliki bukti kepemilikan yang sah atas tanah di Pulau itu. Kebijakan seperti itu dalam pandangan Rocky adalah “kebijakan tolol” dan pengambil kebijakan yang nyata-nyata menyengsarakan rakyat disebut Rocky “bajingan”. Kembali kepada istilah “Bajingan.” Suatu hari saya bersama Daoed Joesoef sebagai pembicara di satu acara Diskusi Ilmiah yang diinisiasi oleh Kompas-Gramedia (Juni 2011). Beliau bercerita ketika ia dipercaya menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (1978-1983) oleh Presiden Soeharto atas rekomendasi Bung Hatta. Lalu, Daoed bercerita lagi tentang Bung Hatta, mengapa ia terpilih menjadi Wakil Presiden padahal beliau tidak begitu aktif di organisasi politik seperti halnya Bung Karno. Jawabannya ternyata karena Bung Hatta selalu aktif menulis di media terutama tentang arah perjuangan Indonesia Merdeka. Meski Bung Hatta tinggal dan belajar di Belanda selama lebih sepuluh tahun (1921-1932), dan hidup di pengasingan Belanda di Digul dan Banda Naira (1932-1941) ketika kembali ke Indonesia, tetapi ia tidak pernah berhenti menulis di koran-koran yang memperluas cakrawala pembacanya, seperti: pertarungan kekuasaan di kawasan Pasifik, Indonesia Merdeka haruslah mendayung di antara dua karang, tidak mendekat ke blok sosialis atau ke blok kapitalis, dst. Pikiran-pikiran Hatta ternyata telah mendasari arah perjuangan para tokoh pejuang kemerdekaan. Tidak lama setelah bersama Daoed Joesoef, saya membaca artikelnya yang muncul di kolom Opini Kompas, “Politikus di Zaman Edan” yang terbit pada 2 Juli 2011. Pada bagian awal artikel itu, Daoed mengangkat situasi pasca pasukan Italia menaklukkan pasukan Etiopia. Dikemukakan bahwa “setelah angkatan perang Italia berhasil menduduki Etiopia pada 1935, tokoh- tokoh negeri Afrika Timur itu— yang telah membantu kemenangan—diundang Benito Mussolini naik ke pesawat terbang (joy flight). Mereka menerima undangan itu karena menganggapnya sebagai bukti penghargaan atas jasa mereka bagi kemenangan dan kejayaan Italia. Setelah terbang di atas Laut Merah, Mussolini memerintahkan supaya semua tokoh Etiopia itu dibuang keluar pesawat tanpa parasut. Atas pertanyaan para jenderalnya, mengapa Generalisimo berbuat demikian, sang diktator fasis menjawab, Kepada negerinya sendiri mereka berkhianat, apalagi kelak kepada Italia. Sekali orang berjiwa pengkhianat, dia akan terus menjadi pengkhianat seumur hidupnya.” Daoed Joesoef selanjutnya mengungkapkan bahwa, sekarang, praktik kepemimpinan politik kita di tingkat lokal dan nasional malah cenderung mengembangkan jiwa pengkhianatan itu. Sebagai ilustrasi, menjelang Pemilu atau Pilkada, begitu banyak tokoh-tokoh politik yang begitu nyata berkhianat tanpa rasa malu meninggalkan partai lama yang telah membesarkannya dan berpindah ke partai baru yang diimpikan untuk membesarkannya. Daoed Joesoef di artikelnya menganologikan tokoh-tokoh seperti itu bagai “Bajing Loncat” dengan menyingkirkan dan menyerang kawan lama yang telah membantunya memenangkan ambisi politinya di masa lalu, dan melompat ke zona kekuasaan politik baru. Pengkhianat seperti itu disebut “Bajingan” seperti pengkhianat Etiopia yang layak dibuang satu per satu ke laut seperti yang dilakukan oleh Benito Mossalini pada 1935. Dunia politik praktis seperti itu tentu berbeda dengan iklim kehidupan akademik di Kampus yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran ilmiah dan hubungan kesejawatan yang kondusif. Idealisme Akademik Ada satu kesan di satu acara kenegaraan, saya ditugasi memberikan orasi ilmiah di hadapan Presiden Abdurrahman Wahid, bersama seluruh anggota kabinetnya, yang juga dihadiri oleh para korps diplomatik dari sejumlah perwakilan negara-negara sahabat dan Badan PBB dan puluhan ribu orang di Istiqlal pada 5 November 1999. Pada orasi itu, ada kutipan saya dari Mahatma Gandhi: “We must remember that truth has many sides and it is ever changing. What appear to be true today may not be true tomorrow. Or what appears to be truth to us does not necessarily appear to be the truth to others. We cannot therefore say that we possess the truth and that our understanding on truth is the right one.” Kebenaran sesungguhnya memiliki banyak sisi, dan sisi-sisi kebenaran itu bisa saja berubah setiap saat sesuai dengan sudut pandang. Apa yang kita anggap benar hari ini belum tentu benar di hari esok. Karenanya, akademisi haruslah mampu menilai beragam sisi kebenaran itu, sehingga muncul toleransi bahwa pandangannya bisa saja keliru jika dilihat dari sudut pandang berbeda. Dengan kaidah-kaidah itu, seorang akademisi akan lebih rendah hati dan lebih toleran terhadap perbedaan-perbedaan. Namun yang tidak boleh berubah adalah akademisi harus tetap berpijak di pelataran kebenaran faktual (evident based). Jika terdapat pandangan-pandangan yang berisi kebohongan, maka etika akademik harus ditegakkan. Di dunia kedokteran, seorang dokter dalam melakukan diagnosa satu penyakit, ia tetap saja terbuka jika ada diagnosa dokter lain (differential diagnosis), atau melakukan diagnosa ulang tentang penyakit itu. Karenanya, warga Kampus dalam menyuarakan pandangan-pandangan ilmiahnya, UNESCO memberi panduan pada publikasinya “Policy Paper for Change and Development in Higher Education”, (Paris: UNESCO, 1995, p. 42):University is a community whose members, being fully committed to the principles of academic freedom, are engaged in the pursuit of truth …..” Ketika Soedjatmoko, Rektor Universitas PBB Tokyo (1980-1987), baru kembali ke tanah air, saya dua kali mendampingi Conny R Semiawan, (Rekor IKIP Jakarta ketika itu) ke kediamaan Soedjatmoko yang disapanya Bung Koko. Ada dua hal yang menarik dari dialog dengan Koko. Pertama, Koko melihat sumber persoalan besar satu bangsa ketika para ilmuwannya larut dalam budaya konformitas (culture of conformity). Mereka tidak lagi kritis menyuarakan nurani intelektualnya untuk kepentingan bangsanya. Jika ini terjadi maka bangsa itu cenderung bergerak ke arah otoritarian karena tertutup dari pandangan-pandangan kritis. Dampak lainnya, bangsa itu tidak akan maju karena dasar pengambilan kebijakan-kebijakan strategisnya bermutu rendah, tidak berasal dari kajian ilmiah. Karenanya, Koko berpesan agar kampus tetaplah kritis menyuarakan pandangan keilmuannya meski harus berbeda dengan suara penguasa. Ciri kehidupan akademik memang selalu dinamis karena menghendaki perubahan yang lebih baik. Sedangkan ciri kekuasaan eksekutif sebaliknya karena mempertahankan comfort zone dan stabilitas, takut kalau kursi empuk kekuasaannya hilang. Koko mengapresiasi Emil Salim karena meski ia berada di lingkaran kekuasaan, tetapi ia tetap tegar menyuarakan pandangan intelektualnya. Kedua, Koko melihat semakin melebarnya kesenjangan sosial di banyak negara di Asia. Ia mencontohkan India, ilmuwannya terlihat menjauh dari persoalan bangsanya, seperti persoalan kemiskinan. Pemerintahnya menikmati kenyamanan kekuasaan, tetapi masyarakatnya dibiarkan hidup sengsara di alam keterbelakangannya. Ini berbeda dengan Jepang yang dinilai Koko, para ilmuwannya dan pemerintahnya selalu bergandengan tangan. Kampus bagai otaknya negara yang selalu memberi masukan berharga kepada politisinya dalam setiap pengambilan kebijakan bagi kemajuan bangsanya. Jepang juga menjunjung tinggi etika dan “budaya malu.” Karenanya tidak mengherankan jika pada 1 Maret 2021, Reuter memberitakan kalau Juru Bicara Perdana Menteri Jepang, Makiko Yamada, mantan Menteri Dalam Negeri mengundurkan diri karena malu ketahuan telah ditraktir makan malam di satu restoran mahal oleh seorang pengusaha. Bagi orang Jepang, lebih baik mundur atau bunuh diri daripada hidup dengan rasa malu. Sebagai figur akademisi, senang mengenang ketokohan Deliar Noer, Winarno Surakhmad dan Conny R Semiawan yang pernah memimpin IKIP Jakarta pada eranya masing-masing. Mereka tetap bersuara kritis pada setiap pengambilan kebijakan politik pemerintah jika kebijakan itu dinilai tidak tepat. Pada Juni 1974, Deliar Noer diberhentikan sebagai Rektor karena bersuara kritis terhadap tindakan represif pemerintah dalam penanganan Peristiwa Malari. Setelah dilarang mengajar di seluruh Indonesia, ia menerima tawaran Universitas Nasional Australia dan dosen tamu di Universitas Griffith. Bahkan, Deliar pernah memilih berseberangan dengan Soeharto dan mendukung Petisi 50. Semoga gelora perlawanan intelektual dan kebebasan berpendapat tidak akan pernah redup di dunia akademik hingga kapan pun. (*).
Periksa Kekayaan Jokowi
Oleh M Rizal Fadillah | Pemerhati Politik dan Kebangsaan SELALU muncul pertanyaan dari korupsi menteri-menteri adakah dana yang masuk ke kantong Jokowi, atau hebatkah Presiden sehingga bersih dari aliran dana haram, baik dari menteri maupun pengusaha yang dibantu ruang usaha oleh Jokowi ? Adakah 9 naga yang menguasai ekonomi bangsa tidak pernah memberi santunan kepada Presiden yang menjadi pelindung bagi kenyamanan berbisnis mereka ? Uang ratusan trilyun yang menguap pada instansinya Sri Mulyani hingga kini tidak jelas. Satgas bentukan Mahfud MD ternyata menghilang tanpa laporan hasil kerja. Kemana aliran pencucian uang ? Sementara Mulyani diangkat kembali menjadi Menkeu. Karena sukses sebagai Menkeu ? Belum tentu, mungkin karena mampu memendam rahasia dari aroma korupsi. Sri Mulyani adalah titipan Jokowi untuk Prabowo. Mulyani membuat aturan hadiah negara sampai 1,2 hektar rumah Jokowi di Solo. Undang-undang ditafsirkan oleh Peraturan Menteri untuk memberi kekayaan dan kemewahan kepada Jokowi. Diberi 9.000 M2 seenaknya menjadi 12.000 M2. Pantas jika ada aksi emak-emak yang menyegel pembangunan sebagai bentuk protes keras dari rakyat. Bau korupsi menyengat dan jurang tajam kesenjangan sosial dari hadiah negara ini. Secara formal laporan resmi LHKPN harta Jokowi 2014 saat menjabat 33,47 Milyar dan saat akhir 2024 nilainya bertambah 186 % menjadi 95,82 Milyar. Rakyat ragu kebenaran kekayaan Jokowi hanya 95,82 sebab hadiah tanah dan bangunan \"pensiun\" di Solo saja bernilai ratusan milyar. Belum lagi dari ratusan trilyun dana IKN apakah tidak ada serupiahpun yang mengalir ke Jokowi? Bahlil sang menteri izin-izin tambang adalah peliharaan Jokowi. Sukses dipaksakan menjadi Ketum Partai Golkar adalah hasil kerja Jokowi dengan menyandera Airlangga. Hampir mustahil Bahlil Lahadalia tidak setor ke majikan yang ditakutinya itu \"jangan main dengan Raja Jawa\". Menteri menteri yang belum di bui tapi masih dalam \"perlindungan\" kekuasaan dan pengaruh Jokowi patut diduga juga menjadi pintu penggendutan rekening. Gibran dan Kaesang \"politisi pedagang\" pantas untuk menjadi tempat strategis bagi pencucian uang atau penyimpanan dana boss mafia. Tentu ditambah dengan anggota dinasti lainnya. Jokowi terlihat serius untuk menggoalkan anggota dinasti agar menjadi pejabat publik dan tidak peduli dengan ocehan atau sorotan rakyat. Ada harta karun yang harus disimpan dan dilindungi bersama. Penetapan BSD dan PIK 2 sebagai PSN adalah kebijakan gila. Berkedok proyek strategis kebijakan ini menguntungkan pengusaha Sinar Mas, Agung Sedayu Group dan Salim Group. Tidak ada makan siang gratis. Makan siang gratis Prabowo saja harus berkolaborasi dengan China. Pasti hal itu bukan sedekahan. Nah, kebijakan kolusif Jokowi memendam peluang terjadinya korupsi. Rakyat boleh yakin Jokowi korupsi. Membersihkan tuduhan rakyat bahwa rekening Jokowi itu gendut, tidak hanya 95,82 Milyar bukan dengan klarifikasi omong tetapi harus dengan pemeriksaan atau audit yang transparan dan bertanggungjawab. Pemerintahan baru Prabowo tidak boleh memendam rahasia pendahulu. Tanpa transparansi kelak Prabowo juga akan menuai akibat dari kecurigaan atas perilaku korup dari para pejabat tinggi atau tertinggi. Pilihan dan tuntutan rakyat jelas, periksa kekayaan Jokowi atau Prabowo dinilai tidak konsisten dalam memberantas korupsi. Rezim Jokowi sama saja dengan rezim Prabowo. Jangan-jangan Jokowi butuh 10 tahun sedangkan Prabowo cukup 100 hari. Ironi jika demikian. (*)