OPINI
Bahlil Menghina Raja Jawa
Oleh Sutoyo Abadi | Koordinator Kajian Politik Merah Putih BAHLIL layaknya seperti demit suruhan boneka Oligarki setelah berhasil mengkudeta Golkar, saat dikukuhkan sebagai ketua umum partai Golkar pidato dleming tanpa pakem yang jelas asal cuap cuap soal Raja Jawa. Penampilannya dekil, hitam pecicilan seperti demit yang baru nyangsang di pohon beringin. Pernyataan Bahlil Lahadalia soal Raja Jawa turut menyedot perhatian Raja Keraton Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono X. Sri Sultan HB X dengan bijak mengaku tidak tahu maksud pernyataan sosok yang baru ditunjuk sebagai Ketua Umum Partai Golkar pada gelaran Munas XI Golkar, urusannya apa (soal Raja Jawa), tutur Sri Sultan yang juga Gubernur DIY ini ( Rabu kemarin (21/8). Tidak perlu basa basi yang di maksud Raja Jawa oleh Bahlil adalah Jokowi yang selama ini dikenal sebagai boneka Taipan Oligarki. Kebodohan Bahlil adalah gambaran dalam otaknya tentang Raja Jawa (Jokowi) mempunyai kekuatan dan kekuasaan yang bisa dipakai untuk menundukkan siapapun yang tidak patuh. Bahkan bisa mengerahkan kekuatan aparat hukum untuk memenjarakan siapapun yang melawannya. Tanpa rasa bersalah menggambarkan Raja Jawa itu representasi figur tertentu yang punya power, jabatan yang bisa menghukum atau melakukan tindakan kejam, bengis memenjarakan yang tidak mengikutinya. Kader-kader Golkar agar hati-hati kalau tidak nurut bahaya, ngeri loh. Sudah banyak yang masuk penjara. Bahkan mewanti-wanti agar pengurus Partai Golkar tak bermain-main dengan sosok yang ia sebut sebagai Raja Jawa. Menurutnya Raja Jawa merupakan sosok yang ngeri-ngeri sedap. Bahlil seperti demit kurang sajen mengancam para kader di Partai Golkar agar tidak berbuat macam-macam yang tidak disenangi sang Raja Jawa. Apa urusannya Golkar dengan hayalan Raja Jawa (Jokowi) yang sebentar lagi akan lengser dengan resiko hukum yang sangat berat harus di pertanggung jawabkan. Apalagi dalam nasab kehidupannya tidak memiliki trah darah biru (Raja). Beraninya mendikte Prabowo akan meneruskan kepemimpinan Jokowi bahwa pemerintahan Prabowo-Gibran dinilai merupakan kelanjutan dari pemerintahan saat ini yang dipimpin Presiden Jokowi. Celakalah Golkar yang akan di pimpin demit yang sempit wawasan politik sebagai negarawan bahkan tercermin dengan jelas kedangkalan politik Bahlil yang sering disebut sebagai penjilat. Ucapan Bahlil sebenarnya menggambarkan ketakutan Bahlil yang tidak berkutik dipimpin Jokowi yang lalim dan bengis saat bersamaan harus menerima tugas sebagai demit begal politik pohon beringin. Pidato Bahlil tidak bisa hanya dianggap kelakar politik tetapi merupakan penghinaan terhadap eksistensi Raja Jawa, karena ketololannya sebagai penjilat. (*)
Revolusi Tanpa PKS?
Oleh Dr. Syahganda Nainggolan | Sabang Merauke Circle KELIHATANNYA perlawanan rakyat Indonesia selama sepuluh tahun ini mengalami persimpangan jalan dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Dua bulan sebelum rezim Jokowi berakhir, PKS, ternyata menunjukkan militansinya membela Jokowi dan keluarga Jokowi. Baik ditunjukkan dalam beberapa event pertemuan dengan Kaesang maupun militansinya menolak keputusan Mahkamah Konstitusi 60 dan 70 terbaru. Walhasil, PKS menjadi bagian dari rezim Jokowi, yang selama ini dilawannya. Perlawanan rakyat semesta atas rezim Jokowi, terkait dengan penolakan DPR atas keputusan MK yang menganulir peluang pencalonan Kaesang dan memberikan peluang pencalonan Anies Baswedan dalam pilkada, terjadi massif saat ini. Perlawanan itu dilakukan dalam spektrum luas, mulai dengan para Dewan Guru Besar berbagai Universitas, mahasiswa, kaum buruh, parpol progresif, pendukung Anies sampai para artis-artis. Dan hasilnya hari ini DPR gagal memutuskan UU Pilkada baru versi keinginan rezim Jokowi itu. Sejatinya perlawanan ini untuk mempertahankan demokrasi kita. Hilangnya PKS dalam peta perlawanan rakyat tentu saja dapat dilihat sebagai kemurnian perjuangan Bangsa Indonesia. Sebab, selama ini peta perjuangan militan yang didalamnya ada PKS selalu menjadi kecurigaan barat, karena PKS seringkali dianggap bagian dari perjuangan PAN Islamisme, seperti Ikhwanul Muslimin. Di Bangladesh, misalnya, gerakan mahasiswa yang menjatuhkan rezim Syaikh Hasina, bulan lalu, dituduh India (protector rezim Syaikh Hasina) ditunggangi Jemaat Ala Islami, sebuah organisasi Pan Islamisme berpusat di Pakistan dan sangat berhubungan dengan Ikhwanul Muslimin. Kerugiannya bagi para kelompok perlawanan adalah kehilangan massa militan. Sebab, PKS merupakan satu-satunya partai Islam ideologis yang mempunyai basis massa jutaan. Apakah massa militan PDIP, yang baru bergabung dalam kelompok perlawanan, dapat menggantikan peran PKS? Apakah massa Anies bisa menjadi massa Islam militan, menggantikan PKS? Ini sebuah pertanyaan besar. Sebab, massa PDIP selama 10 tahun ini justru menjadi kelompok pelindung rezim Jokowi, sebelum Jokowi \"menghina\" keberadaan PDIP dan Megawati. Tanpa adanya massa militan, memang susah untuk mewujudkan adanya sebuah revolusi. Padahal revolusi sosial itu diinginkan rakyat kita untuk menganulir keinginan Jokowi membangun politik dinasti. Kita berharap jika revolusi tidak terjadi, tentunya pemberontakan sosial harus tetap ada, sampai elit-elit yang berkuasa kembali menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi, konstitusi dan pengabdian pada bangsa. Setidaknya, kita berharap dua bulan kurang sisa rezim Jokowi, perlawanan tetap ada. Dan berharap rezim Prabowo nantinya kembali pada spirit bernegara yang benar. (*)
Pembangkangan Konstitusi oleh Badan Legislasi DPR Tidak Bisa Ditoleransi
Oleh Anthony Budiawan | Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) MHKAMAH Konstitusi memutus tiga hal terkait uji materi tentang pemilihan kepala daerah (pilkada) pada 20 Agustus 2024. Pertama, partai politik bisa turut mencalonkan kepala daerah, termasuk gubernur dan wakil gubernur, meskipun tidak memperoleh kursi di DPRD. Putusan ini sangat penting bagi tonggak demokrasi dan kedaulatan rakyat, serta untuk memenuhi asas demokrasi seperti dimaksud Pasal 18 ayat (4) UUD: “…kepala pemerintah daerah …. dipilih secara demokratis.” Karena, suara rakyat yang diberikan kepada partai politik, tetapi tidak mendapat kursi di parlemen (daerah), tidak boleh diabaikan atau dihilangkan begitu saja dalam pencalonan kepala daerah. Kedua, ambang batas pencalonan kepala daerah diubah dari 25 persen perolehan suara atau 20 persen perolehan kursi di DPRD menjadi antara 6,5 sampai 10 persen perolehan suara, tergantung dari jumlah pemilih. Putusan MK ini sebagai konsekuensi dari Putusan pertama, agar partai politik yang tidak mendapat kursi dapat berpartisipasi dalam pemilihan kepala daerah, sehingga ambang batas perolehan kursi menjadi tidak relevan, dan ambang batas perolehan suara tidak terlalu jauh berbeda atau diskriminatif dibandingkan dengan pencalonan kepala daerah dari jalur perseorangan (independen) yaitu antara 3 sampai 6,5 persen dari dukungan rakyat. Putusan MK ini sesuai prinsip kesetaraan hukum seperti bunyi Konstitusi Pasal 27 ayat (1): “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan …”, dan kepastian hukum yang adil dan setara bagi semua pihak, seperti bunyi Pasal 38D ayat (1): “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.” Ketiga, MK menegaskan batas usia kepala daerah untuk tingkat provinsi paling rendah 30 tahun pada saat penetapan calon, sesuai dan konsisten dengan penyelenggaraan pilkada sebelum-sebelumnya. Konsistensi batas usia minimum ini sangat penting untuk memberi kepastian hukum, seperti perintah Konstitusi, Pasal 28D ayat (1). Putusan MK tersebut bersifat final dan mengikat bagi semua pihak, termasuk wajib ditaati oleh DPR dan Presiden, sesuai bunyi Konstitusi Pasal 24C ayat (1): “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, …..” Mahkamah Konstitusi diberi wewenang oleh Konstitusi untuk mengadili dan menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Dalam hal ini, wewenang Mahkamah Konstitusi tersebut harus dimaknai bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi merupakan bagian dari Konstitusi. Karena itu, bersifat final dan mengikat. Bagi pihak yang tidak setuju dengan Putusan Mahkamah Konstitusi hanya bisa minta Mahkamah Konstitusi menguji kembali Putusannya yang sudah menjadi undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Tetapi, Badan Legislasi (Baleg) DPR kemudian mempertontonkan manuver yang sangat nyata-nyata masuk kategori pembangkangan terhadap Putusan MK, pembangkangan terhadap konstitusi, demokrasi dan kedaulatan rakyat. Manuver pembangkangan konstitusi oleh Baleg ini tidak bisa ditoleransi karena akan menghancurkan masa depan bangsa Indonesia. https://nasional.tempo.co/amp/1906712/mkmk-sebut-baleg-lakukan-pembangkangan-konstitusi/ Baleg merumuskan, ambang batas pencalonan kepala daerah antara 6,5 sampai 10 persen dari jumlah pemilih hanya berlaku bagi partai politik yang tidak mempunyai kursi di DPRD. Sedangkan untuk partai politik yang mempunyai kursi di DPRD tetap 25 persen dari perolehan suara atau 20 persen dari jumlah kursi di DPRD. Rumusan Baleg ini bukan saja melanggar Putusan MK yang bersifat final dan mengikat seperti bunyi Konstitusi Pasal 24C ayat (1), tetapi juga melanggar Konstitusi secara nyata dan brutal, melanggar Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1). Rumusan Baleg tersebut secara telanjang mata melakukan diskriminasi terang-terangan terhadap partai politik (yang mempunyai kursi dan non-kursi), serta melanggar Hak Asasi Manusia, termasuk di dalamnya adalah partai politik. Oleh karena itu, rumusan Baleg tersebut tidak ada pijakan hukum sehingga wajib batal. Semua pihak yang terlibat dalam perumusan pembangkangan konstitusi tersebut wajib diusut dan dapat dituduh sebagai pengkhianat negara. Kemudian Baleg juga merumuskan batas usia calon gubernur dan wakil gubernur minimal 30 tahun pada saat pelantikan. Baleg DPR menggunakan pertimbangan hukum dari Mahkamah Agung (MA), yang memerintahkan Peraturan KPU untuk menetapkan batas usia minimum pada saat pelantikan. Tetapi, Putusan MK yang menegaskan bahwa batas usia calon gubernur dan wakil gubernur minimal 30 tahun pada saat pendaftaran telah menggugurkan interpretasi UU oleh MA, dan dengan sendirinya juga menggugurkan Putusan MA terkait batas usia minimum pencalonan kepala daerah tersebut. Perlu dipertegas, MA hanya mengadili peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang. MA bisa mengadili Peraturan KPU tentang pilkada terhadap UU pilkada. Tetapi, MA tidak bisa mengadili atau mengubah undang-undang (pilkada). MA mengartikan, batas usia calon gubernur dan wakil gubernur minimal 30 tahun pada saat pelantikan karena di dalam UU pilkada tidak disebut secara eksplisit bahwa batas usia minimum dimaksud pada saat pendaftaran, sehingga MA bisa mengartikan seenaknya atau sesuai orderan. Karena faktanya MA tidak mempertimbangkan norma umum dan praktek-praktek sebelumnya bahwa batas usia pada umumnya ditetapkan pada saat pendaftaran. Ketika ada Putusan MK yang mempertegas batas usia minimum calon kepala daerah ditetapkan pada saat pendaftaran, maka tidak ada interpretasi lain lagi, bahwa batas usia calon gubernur dan wakil gubernur minimal 30 tahun pada saat pendaftaran. Sebagai konsekuensi hukum, Putusan MA terkait batas usia pencalonan kepala daerah pada saat pelantikan menjadi gugur dan batal demi hukum. Rumusan Baleg yang menetapkan batas usia minimum calon kepala daerah pada saat pelantikan, dengan menggunakan dasar hukum Putusan MA yang secara hukum sudah tidak sah, secara otomatis juga menjadi tidak sah, dan melanggar Putusan MK, melanggar Konstitusi Pasal 24C ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) terkait kepastian hukum. Maka dari itu, rumusan Baleg terkait UU pilkada tersebut merupakan pembangkangan konstitusi, pelanggaran konstitusi, pengamputasian demokrasi dan kedaulatan rakyat, yang tidak bisa ditoleransi, karena akan membawa Indonesia menjadi negara kekuasaan dan otoritarian yang akan menghancurkan bangsa Indonesia. —- 000 —-
Indonesia Akan Diterpa Guncangan
Oleh Sutoyo Abadi | Koordinator Kajian Politik Merah Putih KERATON Surakarta dikenal sebagai Keraton Kasunanan Surakarta, adalah istana resmi dan tempat tinggal keluarga kerajaan Surakarta atau yang sering disebut dengan istilah Kasunanan Surakarta. Bangunan keraton ini memiliki arsitektur tradisional Jawa dan juga ada sebuah bangunan yang mempunyai cerita mistis zaman dahulu. Di dalam keraton tersebut terdapat sebuah bangunan Panggung Sanggabuwono tempat pertemuan Raja Kasunanan Surakarta dengan Kanjeng Ratu penguasa Pantai Selatan yang terletak di Keraton Wetan. Sedangkan Bandengan adalah tempat para Raja Kasunanan Surakarta bertapa mohon petunjuk Allah untuk kesejahteraan dan ketenteraman serta kedamaian para kawula di seluruh Nusantara. Panggung Sangga Buwana berasal dari kata panggung yang memiliki arti panggung atau bangunan yang tinggi, lalu “sangga” yang berarti diangkat atau ditahan dari bawah, dan “buwana” yang berarti jagat atau dunia alam semesta. Di tempat inilah seorang abdi dalem rutin melakukan meditasi pada hari hari yang sudah ditentukan. Di awal tahun 2023 mendapatkan sinyal untuk meditasi cukup panjang. Tiba waktunya pada sepertiga malam dalam meditasinya datanglah sosok yang mengaku Suharto (mantan presiden RI kedua) memberi tahu bahwa \"Jokowi akan menerima \"karma nya\" karenanya akibat dalam mengelola negara telah keluar dari pakem seorang Raja adil yang harus menciptakan keadilan, ketenangan, kerukunan dan kemakmuran rakyatnya. Abdi dalem sudah paham sesuai ajaran Islam diyakini yang menemuinya bukan Suharto yang telah meninggal dunia tetapi \"Jin Qorin nya\" (mahluk gaib yang mendampingi manusia selama hidupnya). Qorin dipercaya memiliki wujud, sifat, kepribadian, dan bahkan hobi serupa dengan manusia yang menjadi objeknya. Makna karma pun dipahami dengan wajar segala perbuatan yang dilakukan baik atau buruk akan memiliki akibat pada pelaku di masa selanjutnya (di dunia atau di ahirat). Kejadian ini cukup lama dirahasiakan karena kebenarannya hanya milik Allah SWT, dan karena tidak ingin info tersebut menjadi polemik di masyarakat yang harus tetap tenang dalam kehidupannya. Dalam rentang waktu cukup lama, barusan petinggi kerajaan sekadar napak tilas ke Gumuk Pasir Parang Kusumo (Parangtritis). Siapapun yang sudah terbiasa dan paham sekalipun tempat tersebut agak jauh dari gelombang laut. Ada sinyal air laut akan datang pada tempat tersebut, dan benar gelombang air datang pada tempat tersebut, membuat semua basah kuyup diterpa gelombang air tersebut. Sebagai petinggi keraton sangat paham langsung semedi secukupnya untuk mengetahui ada info apa. Tertangkap sinyal ghaib bahwa negara dalam kondisi tidak baik, segala kemungkinan akan terjadi. Tidak perlu ditafsirkan macam macam tetapi fakta Jokowi sebagai kepala negara dalam mengelola negara yang menyimpang dari pakem seorang raja yang semestinya bersifat dan berperilaku adil mengayomi rakyatnya, seperti info dari Jin Qorin sebelumnya. Lepas kebenaran info tersebut akan menjadi tanggung jawab Jokowi sendiri untuk menerima akibatnya di saat akan mengakhiri jabatannya. Dan tidak terjadi petaka dan guncangan yang akan menelan korban yang masyarakat yang tidak berdosa Selebihnya hanya pada kuasa Allah SWT yang mengetahuinya Wallaahu\'alam. (*)
Perppu Keluar, Rakyat Berontak "Jakarta Lautan Api"
Oleh M Rizal Fadillah | Pemerhati Politik dan Kebangsaan TELAH diputus dan berkekuatan tetap \"final and binding\" Putusan MK No 60/PUU-XXII/2024 sebagai kejutan politik di penghujung masa jabatan Jokowi dan di hari-hari menuju pendaftaran Pilkada. Pintu demokrasi mulai dibuka. Sungguh spektakuler karena threshold 20 % yang sudah lama di masalahkan rakyat, kini bobol di ruang Pilkada. Meski belum 0 %. Bravo MK. Ini hadiah kemerdekaan untuk proses demokrasi di daerah, khususnya Jakarta. Jakarta sedang menjadi sorotan atas ambivalensi rezim Jokowi. Katanya pindah Ibu Kota Negara tetapi Jakarta harus dipegang juga. Dasar kampret. Melalui KIM Plus telah dideklarasikan dukungan 12 partai politik kepada Ridwan Kamil-Suswono. Anies dibungkam bahkan dibunuh hak politiknya. Musuh Kamil-Suswono (KASUS) hanya pasangan Independen \"boneka\" atau kotak kosong. Kamil-Suswono di atas angin sudah menang sebagai Gubernur Wakil Gubernur DK Jakarta. Lawan beratnya Anies Baswedan sudah \"masuk kotak\". Makar oligarki sepertinya berjalan mulus, lancar bebas hambatan. Jokowi tentu senang bukan kepalang. Tinggal Jawa Tengah bersiap untuk menyongsong sukses Kaesang. Makar Allah terjadi, MK yang sepertinya lolos dari pengawalan, berhasil bermain sendiri dan memutus hukum dengan obyektif. Sorak kemenangan pasukan KIM Jakarta terhenti sesaat, demikian juga nasib Kaesang di Jawa Tengah ikut goyah. Batas usia Kaesang dengan Putusan MK No 70/PUU-XXII/2024 menjadi tidak memenuhi syarat. Jokowi dan partai-partai politik geram atas putusan tak terduga ini. Jokowi bisa mempersiapkan Perppu, sedang partai politik bersekutu di DPR dengan merancang revisi UU pilkada yang esensinya menganulir Putusan MK 60. Skenario kolaborasinya adalah Perppu Presiden bermuatan Pilkada \"anulir\" MK dan langsung disetujui DPR. Perppu tanpa negara dalam keadaan genting dan memaksa (staatsnood) melanggar konstitusi. Sebagaimana biasa hampir semua Perppu yang dikeluarkan Jokowi melanggar dan menginjak-injak konstitusi. Jika sekarang atas Putusan MK 60 Jokowi menyempurnakan pelanggarannya dengan menerbitkan Perppu, maka rakyat tidak bisa dan tidak boleh membiarkan. Rakyat wajar jika melakukan perlawanan dan pemberontakan atas rezim Jokowi. Rakyat berbondong-bondong datang ke Jakarta untuk merebut kembali Ibu Kota yang ditinggalkan Jokowi ke Kalimantan. Begitu juga Istana Negara telah dikosongkan oleh Jokowi yang punya Istana baru yang \"tidak berbau kolonial\". Rakyat bergerak memerdekakan dan menduduki \"Istana kolonial\" Jakarta. Protes keras dan aksi besar-besaran atas penginjak-injakan konstitusi oleh Perppu oligarki pimpinan Jokowi. Rakyat marah dan berontak. Potensial menjadi api revolusi. Jika Jokowi berfikir jernih dan menghormati perasaan rakyat, maka instruksinya adalah laksanakan Putusan MK, akan tetapi jika sudah buta dan linglung ia nekad terbitkan Perppu diktatorial. Akhirnya Perppu keluar dan rakyat pun berontak. Jakarta menjadi saksi sejarah atas peristiwa \"Jakarta lautan api\". Sejarah tragis menggores. Jokowi bersama rezimnya dipaksa turun dan harus menerima hukuman rakyat. Sejarah selalu berulang.L\'histoire se repete..! (*)
DPR dan Presiden Wajib Taat pada Putusan MK yang Bersifat Final, Mengikat dan Berlaku Seketika
Oleh: Anthony Budiawan – Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) PUTUSAN Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), No 60 dan No 70, cukup mengguncang gravitasi politik Indonesia. Pertama, MK memutuskan partai politik yang tidak memperoleh kursi di DPRD dapat ikut mengusung calon pasangan Kepala Daerah (Gubernur, Bupati, Walikoeta). Kedua, MK juga menurunkan threshold atau ambang batas pencalonan kepala daerah dari 25 persen perolehan suara atau 20 persen jumlah kursi di DPRD menjadi persentase degresif tergantung dari jumlah pemilih daerah: semakin besar jumlah pemilih, semakin rendah persentase ambang batas pencalonan. Untuk pemilihan kepala daerah Provinsi Jakarta, ambang batas pencalonan cukup 7,5 persen dari perolehan suara. Ketiga, MK juga putuskan batas usia calon gubernur dan wakil gubernur tetap 30 tahun pada saat penetapan calon. Putusan MK tersebut dibacakan atau diputus pada 20 Agustus 2024. Putusan MK ini sangat baik bagi demokrasi Indonesia, karena meminimalisir kemungkinan kartel politik yang akan membawa Indonesia menjadi negara tirani yang dikuasai partai politik. Putusan MK ini lebih sesuai dengan amanat Konstitusi Pasal 18 ayat (4), bahwa kepala daerah dipilih secara demokratis: semakin rendah ambang batas pencalonan kepala daerah, maka semakin baik tingkat demokrasi. Tampaknya, Putusan MK yang pro demokrasi dan kedaulatan rakyat tersebut disikapi berbeda oleh sekelompok masyarakat, khususnya elit politik istana dan kroninya. Tersiar berita, Presiden Jokowi dan kroninya di DPR akan melakukan “perlawanan” terhadap Putusan MK tersebut. Berita liar ini tidak mempunyai dasar hukum, alias bertentangan dengan konstitusi. Berita liar pertama, Presiden Jokowi akan mengeluarkan PERPPU untuk menganulir Putusan MK tentang ambang batas Pilkada tersebut. Tentu saja manuver ini tidak mungkin bisa dilakukan secara hukum. Karena, PERPPU yang setara UU tidak bisa menganulir Putusan MK, karena kedudukan hierarki PERPPU (dan UU) berada di bawah Putusan MK yang wajib dimaknai sebagai bagian dari Konstitusi. Sebaliknya, MK bisa menganulir UU atau pasal dalam undang-undang yang dianggapnya bertentangan dengan Konstitusi, seperti Putusan MK No 60 ini yang mengubah atau menganulir Pasal 40 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UU Pilkada terkait ambang batas pencalonan kepala daerah. Artinya, kalau Jokowi nekat menerbitkan PERPPU yang bertentangan dengan Putusan MK tersebut, apalagi mengembalikan UU atau pasal dalam UU yang inkonstitusional dan sudah dikoreksi oleh MK, maka secara nyata-nyata Jokowi melanggar Putusan MK dan artinya melanggar Konstitusi. Untuk itu, Jokowi bisa seketika itu juga dimakzulkan, seperti diatur di dalam Konstitusi. Berita liar kedua, DPR akan membuat UU Pilkada baru secara kilat, untuk menganulir Putusan MK. Berita ini juga hanya ilusi, dan secara hukum tidak dimungkinkan. Berdasarkan UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan No 12 Tahun 2011, pembentukan UU harus melewati beberapa tahapan yang tidak mungkin bisa selesai hanya dalam satu minggu. Selain itu, materi muatan UU Pilkada baru tidak boleh bertentangan dengan Putusan MK. Dalam hal ini, ambang batas untuk pencalonan gubernur dan wakil gubernur Pilkada Jakarta, misalnya, tidak boleh lebih dari 7,5 persen dari perolehan suara. Apabila dipaksakan proses pembuatan UU Pilkada baru tersebut dibuat super cepat, melanggar UU NO 12/2011, dan materinya bertentangan dengan Putusan MK, maka DPR secara nyata melakukan pelanggaran konstitusi, atau lebih tepatnya makar konstitusi. Berita liar ketiga, DPR akan menafsirkan Putusan MK tersebut berlaku untuk Pilkada berikutnya, yaitu 2029. Hal ini tidak benar secara hukum dan konstitusi. Apabila KPU tidak menerima pendaftaran pencalonan kepala daerah sesuai Putusan MK, maka Pilkada akan menjadi tidak sah, karena melanggar Putusan MK dan karena itu melanggar Konstitusi. Dalam hal ini, KPU secara nyata melakukan makar konstitusi. Alasannya, pertama, Putusan MK berlaku final dan mengikat, dan berlaku seketika (pada saat dibacakan, pada 20 Agustus 2024), kecuali dinyatakan lain secara eksplisit di dalam Putusan MK tentang masa berlakunya. Karena, pada dasarnya, Konstitusi wajib berlaku seketika untuk memberi kepastian hukum. Dengan kata lain, UU atau Pasal dalam UU yang bertentangan dengan konstitusi wajib batal seketika pada saat dinyatakan inkonstitusional atau direvisi oleh MK. Hal ini sudah terbukti dan sudah ada yuris prudensinya ketika MK memutus batas usia minimum capres dan cawapres 40 tahun atau pernah menjabat sebagai Kepala Daerah, yang kemudian membuat Gibran bisa dicalonkan sebagai wakil presiden, meskipun Peraturan KPU belum diubah, dan masih menggunakan Peraturan KPU lama, dengan batas usia minimum 40 tahun. Artinya, Putusan MK No 90 tersebut berlaku seketika, dan menganulir semua peraturan dan UU yang bertentangan dengan Putusan MK. Karena, Putusan MK lebih tinggi dari Peraturan KPU atau UU yang direvisinya. Kalau KPU tidak merevisi Peraturan KPU sesuai Putusan MK, maka KPU melanggar kode etik seperti tercermin dari Putusan DKPP, tetapi tidak membatalkan pencalonan yang sesuai Putusan MK. Oleh karena itu, tidak ada cara lain bagi DPR atau Presiden selain taat dan tunduk pada Putusan MK. Apabila DPR atau Presiden nekat melawan Putusan MK, maka berarti DPR atau Presiden melanggar Konstitusi, atau melakukan perbuatan makar Konstitusi. Hal ini pasti akan memicu chaos, dan mengundang amarah rakyat yang sudah muak melihat demokrasi dan kedaulatan rakyat diinjak-injak segelintir orang. Sudah menjadi hak dan kewajiban rakyat untuk melindungi konstitusi dan merebut kedaulatan rakyat, dengan cara apapun. John Locke: Revolt is the right of people. —- 000 —-
Bubarkan DPR RI
Oleh Sutrisno Pangaribuan | Presidium Kongres Rakyat Nasional (Kornas), Inisiator Reformasi Jilid Terakhir REAKSI cepat dari Badan Legislasi (Baleg) DPR RI melakukan revisi UU Pilkada, membuatnya kehilangan legitimasi moral sebagai perwakilan rakyat. Sehari pasca putusan MK dibacakan, DPR RI yang mayoritas berasal dari partai politik yang tersandera membahas revisi UU Pilkada secara kilat dengan pemerintah. DPR RI melakukan pemufakatan jahat bersama pemerintah melakukan revisi UU Pilkada, melawan putusan MK. pembangkangan konstitusi dan penyesatan hukum dilakukan secara bersama dan sengaja oleh DPR RI dan pemerintah. Bersama Pemerintah, DPR RI mengubah UU Pilkada pasca putusan MK nomor 60/PUU-XXII/2024 dan putusan MK Nomor 70/PUU-XXII/2024 dibacakan. Putusan MK nomor 60/PUU-XXII/2024 tentang ambang batas atau threshold calon kepala daerah. Sedangkan putusan MK nomor 70/PUU-XXII/2024 terkait batas usia calon kepala atau wakil kepala daerah yakni hitungan umur 30 tahun dilakukan saat penetapan calon kepala dan wakil kepala daerah. Konsekuensi putusan tersebut harusnya mutlak bahwa partai yang memiliki threshold di bawah 20 persen dapat mengajukan calon kepala daerahnya. Di DKI Jakarta, misalnya, PDIP yang hanya memiliki 15 kursi atau setara 14% dari total kursi di DPRD DKI Jakarta sebanyak 106. Sesuai dengan putusan MK, untuk mengajukan calon di Pilkada dengan jumlah pemilih tetap di 6 juta-12 juta cukup memiliki 7,5% kursi di DPRD. Dengan putusan MK tersebut, maka PDIP memiliki peluang besar untuk mengusung calonnya sendiri pada Pilkada 2024. Sementara putusan 70/PUU-XXII/2024 justru berdampak kepada putra bungsu Presiden Jokowi, Kaesang Pangarep, Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Kaesang terancam tidak dapat menyalurkan ambisi politiknya, untuk maju sebagai calon wakil gubernur (Cawagub) Jawa Tengah maupun DK Jakarta. Namun bagi DPR RI dan pemerintah, semua hal dapat dilakukan demi kepentingan politik Jokowi dan keluarga. Akhirnya putusan MK ditafsir sendiri oleh DPR RI dan pemerintah meski putusan MK tidak butuh tafsir, tetapi harus dipatuhi dan dijalankan. Terkait ambang batas minimum yang diputuskan oleh MK kepada semua Parpol, oleh DPR RI ditafsir hanya kepada Parpol non parlemen. Sedang terkait usia minimum sebagai syarat pendaftaran, DPR RI dan pemerintah mengabaikan putusan MK, lalu menggunakan putusan MA sebagai rujukan. Maka terkait tindakan DPR RI dan pemerintah yang melakukan pembelokan hukum, pembangkangan konstitusi, kami menyatakan sikap sebagai berikut: Pertama, bahwa tidak terdapat hal ikhwal kegentingan yang memaksa untuk melakukan revisi UU Pilkada. Maka kami menolak perubahan UU Pilkada, baik sebagian maupun keseluruhan. Kedua, bahwa putusan MK final dan mengikat semua, baik negara, lembaga negara dan warga. Sehingga putusan MK harus dijadikan rujukan bagi pasal- pasal yang terkait treshold dan batas usia calon di Pilkada serentak 2024. Ketiga, bahwa perubahan terhadap pasal- pasal yang telah diuji dan diputuskan oleh MK tidak lagi dapat dikoreksi atau diubah oleh lembaga negara mana pun, baik MA maupun DPR RI. Keempat, bahwa DPR RI sama sekali tidak pernah secara kilat melakukan revisi UU kecuali untuk kepentingan kekuasaan politik. Tidak ada UU tentang kepentingan dan kebutuhan rakyat yang dibahas secara kilat seperti UU Pemilu, UU MD3, dan UU Pilkada. Kelima, bahwa saat MK mengubah pasal syarat usia dalam UU Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, DPR RI bersama pemerintah tidak melakukan revisi UU. Putusan MK serta merta berlaku karena calon yang semula tidak memenuhi syarat akhirnya lolos sebagai calon dan kemudian terpilih. Revisi perlu dilakukan jika UU tidak memenuhi kepentingan politik dan sebaliknya. Keenam, bahwa melakukan perubahan UU Pilkada tanpa memasukkan putusan MK secara utuh dalam perubahan adalah pembelokan hukum, pembangkangan konstitusi. Tindakan tersebut masuk kategori kejahatan negara, dan termasuk perbuatan melawan hukum. Ketujuh, bahwa demi dan atas nama negara, perbuatan pembelokan hukum dan pembangkangan konstitusi yang dilakukan oleh DPR RI harus diberi sanksi hukum berupa pembatalan revisi UU Pilkada yang dibahas pasca putusan MK. Konsekuensi hukum dan politik berikut adalah “Bubarkan DPR RI periode 2019- 2024, segera diganti DPR RI hasil Pemilu 2024”. Kedelapan, bahwa pembelokan hukum dan pembangkangan konstitusi akan dilawan oleh pembangkangan sipil. Rakyat dan mahasiswa akan merebut kedaulatannya akibat pembelokan cita- cita reformasi yang dilakukan oleh elit politik, dan penguasa. Indonesia sebagai negara hukum harus menjadikan hukum sebagai panglima. Maka seluruh upaya pembelokan hukum dan pembangkangan konstitusi harus berhadapan dengan pengadilan rakyat sebagai hukum tertinggi. (*)
Surya Paloh Tersandra, Sebaiknya Pensiun Dari Ketua Umum Partai Nasdem
Oleh Kisman Latumakulita/Pendiri Partai Nasdem PARTAI Nasdem melaksanakan Kongres ke III tanggal 25-27 Agustus nanti di Jakarta. Salah satu agenda kongres adalah mendengar aspirasi dari 38 Pengurus Wilayah atau Provinsi tentang calon Ketua Umum Partai Nasdem lima tahun ke depan. Apakah masih tetap dijabat oleh Surya Paloh atau ada aspirasi kandidat Ketua Umum lain. Hampir dipastikan Kaka Surya Paloh kembali terpilih bakal sebagai Ketua Umum Partai Nasdem untuk lima tahun (2024-2029) ke depan. Tidak hambatan berarti, baik dari internal maupun eksternal. Hambatan untuk kembali menjadi Ketua Umum Partai Nasdem hanya datang dari Kaka Surya Paloh sendiri. Itu kalau tidak lagi bersedia. Walaupun demikian, sebaiknya Kaka Surya Paloh pertimbangkan lagi keinginan untuk kembali menjabat Ketua Umum Partai Nasdem. Untuk masa jabatan lima tahun ke depan. Apalagi usia Kaka Surya Paloh sekarang yang tidak lagi mudah. Selain itu, bargaining position politik Kaka Surya Paloh tidak lagi seelastis sembilan tahun terakhir. Posisi Kaka Surya Paloh sekarang seperti sandara politik. Para penyandra terlihat sengaja membiarkan sandranya leluasa di ruang bebas. Namun harus ikut apa maunya para penyanda. Kalau melawan, maka ancaman dan tekanan siap bereaksi. Jadi serba salah Kaka Surya Paloh, karena harus manut sana dan manut sini. Kasian juga Sebagai Ketua Umum, Kaka Surya Paloh tidak lagi kebal terhadap setiap tekanan dan ancaman yang datang kapan saja. Akibatnya, Partai Nasdem terkesan seperti keluar dari jati dirinya. Padahal Partai Nasdem adalah satu-satunya partai politik di negeri ini yang mengusung tagline “Gerakan Restorasi”. Kondisi Kaka Surya Paloh saat ini seperti terkena komorbid politik dan hukum yang tiada akhir. Bersikap begini salah, namun begono salah. Mau begitu juga lebih salah lagi. Jadinya serba salah. Akibatnya, “Gerakan Restorasi” seperti tersandra di lorong-lorong gelap. Restorasi mulai lapuk, karena digerogoti rayap pragmatisme politik. Tampilan Partai Nasdem terkesan seperti hanya milik para pengurusnya. Baik itu pengurus yang di Pusat, Provinsi maupun Kabupaten-Kota. Rakyat banyak dan para simpatisan “Gerakan Restorasi” sebagai pemilik dan pemegang saham utama Partai Nasdem, dibiarkan berjalan di rute dan lintasan sendiri menjaga “tujuan bernegara” yang tertulis jelas di Pebukaan UUD 1945. Bau harum maupun bau amis politik pragmatisme, matrialime, perkoncoan, dan puja-puji begitu subur, bak jamur di musim hujan. Politik yang menjauhkan Partai Nasdem dari “Gerakan Perubahan” berkembang biak dengan cepat di markas besar “Gerakan Restorasi”, kawasan Gondangdia. Entah kapan berakhirnya? Wallaahu alam bishawab. Hanya Kaka Surya Paloh yang paham dan khatam cara untuk kembali ke pangkuan dan citra-cita awal manipesto “Gerakan Restorasi”. Kaka Surya Paloh sangat bisa untuk belajar dari kearifan, ketokohan, kematangan dan kehebatan politik Airlangga Hartarto, mantan Ketua Umum Partai Golkar. Airlangga Hartarto rela mengorbankan ambisi dan ego pribadinya untuk keselamatan dan kebesaran Partai Golkar. Arilangga mundur demi menjaga marwah dan martabat Partai Golkar sebagai salah satu kekuatan politik bangsa. Kalau Kaka Surya Paloh pensiun, maka itu sebagai keputusan hebat, top markotop, berkelas dan sangat mengagungkan. Apalagi Partai Nasdem punya banyak kader-kader hebat, matang dan mumpuni sebagai Ketua Umum. Kaka Surya Paloh bisa mendorong Kaka Prananda Paloh, Kaka Victor Leikodat, Kaka Rahmat Gobel, Kaka Sugeng Sparwoto, Kaka Ahmad Ali, Kaka Wally Aditiya dan Kaka Ahmad Sahroni sebagau Ketua Umum Partai Nasdem. Semoga bermanfaat.
Peringatan Darurat
Oleh Faisal S Sallatalohy | Mahasiswa Hukum Trisakti SULIT menemukan kata-kata yang pas untuk menggambarkan dinamika politik nasional jelang pilkada serentak. Kecepatan akrobatik, anomali, manuver para elit serta kejutan demi kejutan yang muncul, melampui batas rasional, mendistorsi akal sehat. Baru saja kemarin siang MK keluarkan putusan terkait penurunan ambang batas jadi 7,5% dan penetapan usia calon kepala daerah. Siang ini, keputusan itu, secara politik dianulir, dibatalkan Baleg DPR lewat pembahasa dan revisi UU Pilkada. Dalam rapat kilat yang berlangsung kurang dari 4 jam, ambang batas pencalonan kepala daerah yg tadinya sudah diturunkan MK jadi 7,5%, dikembalikan lagi oleh Baleg sesuai ketentuan awal 20%. Perubahan tersebut tampak pada proses revisi pasal 40 ayat (1) UU Pilkada yang menyatakan, bahwa partai politik dan gabungan partai politik yang memiliki kursi di DPRD, tetap harus memenuhi syarat suara 20% dalam mengusung calon kepala daerah. Sementara pasal 41 ayat (2), Baleg menambahkan nomenklatur baru, bahwa untuk partai dan koalisi partai yang tidak memiliki kursi di DPRD, bisa mengusung calon kepala daerah, salah satunya dengan ketentuan 7,5%. Hasil tersebut menunjukkan, bahwa Baleg DPR melawan keputusan MK dengan mengakalinya lewat pelonggran pengaturan ambang batas. Bahwa, penurunan ambang batas jadi 7,5% tidak dilenyapkan sepenuhnya, melainkan khusus diperuntukkan bagi parpol atau koalisi parpol yang tidak memiliki kursi di DPRD. Sementara parpol atau koalisi parpol yang memiliki kursi, tetap wajib memenuhi syarat awal, yakni 20% suara di DPRD. Ditarik relasi hasil pembahasan dan perubahan UU Pilkada kedalam Pilkada Jakarta, jelas kembali memukul PDIP sebagai satu-satunya partai opoisisi di luar kubu KIM+. Dengan kembalinya ambang batas 20%, dipastikan PDIP tidak punya cukup suara untuk mengusung calon kepala daerah. Jelas ini manuver yang sangat keji. Baru saja kemarin PDIP dikejutkan kabar gembira lewat keputusan MK. Kurang dari 24 jam, PDIP dibuat terinjak, kembali dilempar masuk ke dalam jurang penjegalan. Tak ada lagi parpol tersisa bagi PDIP untuk berkoalisi di Pilkada Jakarta. Cita-cita untuk mengusung Anies kini berubah jadi mimpi buruk. Betapa Baleg telah menjadi alat politik Jokowi-Prabowo mempermainkan, mempermalukan PDIP, Megawati dan Anies sebelum akhirnya dibanting masuk ke dasar jurang dalam waktu yang sangat cepat. Hampir bisa dipastikan, hanya Ridwan Kamil dan Dharma Kun yang berpeluang maju sebagai calon independen Boneka Jokowi-Prabowo. Hasilnya sudah bisa ditebak. Selain itu, Baleg juga melawan keputusan MK terkait syarat usia pencalonan kepala daerah. MK menetapkan syarat usia calon pada saat mendaftar minimal 30 tahun. Baleg malah membuat narasi baru, syarat usia calon 30 tahun pada saat dilantik. Hal ini merupakan bagian dari skenario Jokowi meloloskan Kaesang sebagai Cawagub Jawa Tengah. Kaesang lahir pada 25 Desember 1994. Belum cukup usia 30 pada saat mendaftar sebagai calon kepala daerah di Agustus ini. Tapi akan cukup 30 tahun pada saat pelantikan di awal 2025 nanti. Artinya, hasil pembahasan dan revisi UU Pilkada oleh Baleg bukan menguatkan putusan MK, malah memperlemah, mempecundangi, melawan, menganulir, membangkang dan bertujuan membatalkan pelaksanaan keputusan MK. Terlihat terang, betapa skenario licik itu dipertontonkan secara terbuka. Semua berjalan secara terang-terangan, ugal-ugalan. Jokowi-Prabowo mempermainkan hukum dan lembaga negara layaknya aset milik pribadi. DPR dan MK dibuat layaknya kacung. DPR mempertegas jati dirinya sebagai pelayan kekuasaan. MK dipermalukan, konstitusi dirobek-robek, kedaulatan hukum dilenyapkan, konstitusi dimampuskan. Hati-hati saja bermain, ini sudah melampui batas maksimal. Rakyat punya ujung kesabaran. Sudah terlalu muak, terlalu sakit hati rakyat melihat tingkah licik, munafik para elit. Jangan biarkan Jokowi-Prabowo dan segelintr elite partai yang berkuasa bertindak makin brutal dan semena-mena atas hak kedaulatan politik rakyat. Kejahatan tersebut harus dihentikan. Indonesia darurat total. Rakyat sampai kapan diam. Lawan !!!
Lawan Gerakan Pengunduran Pilkada Serentak 2024
Oleh Sutrisno Pangaribuan | Presidium Kongres Rakyat Nasional (Kornas), Presidium Satgas Anti Kecurangan Pilkada BELUM lama berselang Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan penting terkait Pilkada. Putusan yang mewakili rasa adil bagi partai politik non parlemen (kecil), serta putusan terkait batas minimum usia pendaftaran dan penetapan calon kepala daerah. Semula MA telah mengubah PKPU tentang syarat usia pendaftaran calon menjadi syarat batas usia minumum saat pelantikan. Namun MK mengembalikan kewarasan hukum dengan mengubah UU Pilkada dengan syarat batas usia minimum penetapan calon, bukan penetapan hasil. Atas dasar putusan MK tersebut, DPR reaktif dengan menggelar Rapat Kerja Badan Legislasi DPR RI bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Hukum dan HAM, , Menteri Keuangan, dan DPD RI, hari ini, Rabu (21/8/2024), pukul 10.00 WIB. Rapat tersebut membahas agenda: Pembahasan RUU tentang Perubahan Keempat atas UU No.1 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Perppu No.1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang- Undang. Maka terkait langkah reaktif rapat kerja tersebut kami menduga hal- hal sebagai berikut: Pertama, bahwa terkait ambang batas pengajuan calon sesuai putusan MK tidak akan dilakukan perubahan. DPR dan Pemerintah tidak akan mengambil risiko berhadap-hadapan dengan Parpol non parlemen (kecil) dan rakyat. Kedua, bahwa akan ada upaya menunda (pengunduran) pendaftaran pasangan calon di Pilkada serentak 2024. Pendaftaran calon akan dimulai akhir Desember 2024, (setelah 25/12/2024) demi terpenuhinya batas usia minimum 30 tahun bagi calon yang dikehendaki. Ketiga, bahwa tidak ada hal ikhwal kegentingan yang memaksa bagi DPR dan Pemerintah untuk melakukan revisi UJ Pilkada, namun ada kepentingan dan kebutuhan mengakomodasi kepentingan pihak tertentu. Maka terkait langkah reaktif DPR dan Pemerintah, kami menyatakan sikap sebagai berikut: Pertama, bahwa putusan MK final dan mengikat, dan berlaku sejak putusan dibacakan ke publik. Maka KPU wajib memedomani putusan MK dalam PKPU terkait batas minimum dukungan Parpol bagi pasangan calon dan batas usia minimum calon saat ditetapkan. Kedua, bahwa tidak dibutuhkan revisi UU Pilkada untuk mengakomodasi putusan MK. MK dalam posisi negative legislative serta merta dapat merubah pasal demi pasal UU yang bertentangan dengan konstitusi. Ketiga, bahwa kami menolak rencana reaktif DPR dan Pemerintah melakukan revisi UU Pilkada terutama dengan misi membangun rasionalisasi penundaan Pilkada. Keempat, bahwa penundaan Pilkada tanpa hal ikhwal kegentingan yang memaksa, tanpa keadaan bencana alam maupun bencana kemanusiaan adalah tindakan merusak demokrasi dan para pelakunya dapat dijerat dengan pasal makar atau penghianat bangsa. Semua pelakunya dapat dijadikan musuh negara. Kelima, bahwa kami akan melawan setiap upaya penundaan Pilkada Serentak 2024 yang semula dijadwalkan Rabu (27/11/2024). Kami tidak akan menerima pengunduran jadwal Pilkada meski hanya 1 hari. Keenam, bahwa seluruh Parpol, Ormas, OKP, Ormawa, dan kelompok masyarakat harus bersatu melawan rencana jahat penundaan atau pengunduran jadwal Pilkada Serentak 2024. Ketujuh, bahwa kami muak dengan aksi pengelabuan hukum yang dilakukan para pihak demi pelanggengan kekuasaan pihak tertentu. Saatnya kita mengakhiri tindakan para perusak demokrasi yang kita raih dengan darah dan air mata. (*)