OPINI

Menakar Kesaktian Cawe-cawe Presiden

Oleh Dr. Anton Permana, SIP.,MH (Direktur Tanhanna Dharma Mangrva (TDM) Institute) Polarisasi tiga pasangan kandidat Pilpres hari sesungguhnya cukup surprise bagi banyak pihak. Yang sebelumnya teman jadi lawan, yang dulunya lawan menjadi teman. Artinya, pepatah tua tentang politik di Indonesia itu memang benar yaitu, “Tidak ada kawan yang abadi dalam politik, yang abadi hanya kepentingan”. Di pihak istana contohnya, yang merasa direndahkan dan sering dipermalukan di hadapan publik sebagai petugas partai politik, malah saat ini seakan memperlihatkan kepada kita semua bahwa dirinya adalah seorang king maker yang full power serta menakutkan bagi semua orang. Sedangkan di suatu sisi, kelompok merah menganggap pihak istana adalah anak durhaka, penghianat, karena lebih mengutamakan ambisi keluarga dan kelompok “elit minority”nya dari pada partai politik yang membesarkannya.  Makanya, dua kelompok ini saling melakukan manuver dan “gigit menggigit” sesuai dengan kemampuan dan kapasitas masing-masing. Pihak istana menggunakan infrastruktur kekuasaannya melalui aparat hukum dan intelligent menekan dan mempreteli kekuatan merah. Namun yang merah juga tak kalah sangar, perlahan dan pasti mulai “menguliti” topeng-topeng dan perilaku kelompok istana dalam upaya mendegradasi moral dan legitimasi sosial politik penguasa hari ini di mata rakyat. Namanya penguasa, tentu dengan kekuasaan “cawe-cawe”nya, mempunyai dampak penetrasi yang luar biasa. Walau ternyata tidak juga cawe-cawe tersebut berhasil semuanya. Sebagai contoh, upaya perpanjangan presiden, kontrol opini media, dan soliditas aparatur negara juga tidak 100 persen bisa dikendalikan. Memang untuk hasil putusan MK, aturan PKPU, dan isu pelibatan aparat keamanan dan intelligent dalam mobilisasi dan exsisting “kecurangan” sudah merebak menyebar cukup berhasil membuat “keder nyali” para tokoh dan politisi. Sehingga, banyak yang anggap Pilpres sebenarnya sudah selesai dan pemenangnya adalah pasangan nomor 02.  Namun sebaliknya, dengan banyak nya terjadi blunder politik yang dilakukan pihak istana sendiri, termasuk begitu masivenya upaya penguliti “borok-borok” istana di sosial media cukup memberikan efek kejut (deterrent effect) meruntuhkan wibawa penguasa. Pengakuan mantan ketua KPK, serta keterlibatan ibu negara dalam cawe-cawe suaminya dalam mengantarkan sang anak menjadi Cawapres, cukup berhasil menjadi gempa tsunami politik bagi pihak istana. Ditambah lagi, dalam beberapa dialog langsung dan terbuka dengan masyarakat, masing pasangan nomor 2 ini juga melakukan blunder memalukan. Baik ketika dialog dengan Kiyai kampung masalah stunting, maupun ketika keseleo “asam sulfat” bagi ibu hamil. Jadi kesimpulan yang bisa kita ambil dalam seberapa besar pengaruh kekuasaan cawe-cawe Presiden ini dalam mengontrol dan mengendalikan hasil Pilpres 2024 nanti adalah sebagai berikut  1. Ternyata tidak semua cawe-cawe Presiden itu ampuh dan berhasil sesuai keinginannya. Dengan catatan, pihak di luar istana mesti punya “nyali” dan effort yang kuat untuk melawannya. Ibarat tanding tinju, istana memang jago dalam memukul lawan, tetapi ternyata istana “sangat lemah” dalam bertahan ketika ada pukulan balasan yang dilakukan. Seperti contoh ; Istana hanya jago karena punya kekuasaan memerintahkan aparat keamanan untuk melakukan manuver dan penetrasi hukum kepada para lawan politiknya. Tetapi ketika ada serangan balik dari lawan politiknya seperti putusan MKMK yang mencopot ketua MK, serta tsunami opini politik membongkar dapur istana, ternyata pihak istana “keok” juga. 2. Saat ini, kekuatan cawe-cawe Presiden memang ada pada “otoritas kewenangannya” dalam memanfaatkan pisau kekuasaan melalui aparat hukum dan inteligent. Ditambah infrastruktur ASN, kementrian dan BUMN.  Namun, kekuasaan ini akan bisa terus memudar dan menipis. Karena lambat laun, para pihak aparatur ini tentu juga akan sadar dan melihat secara objective, bahwa massa kekuasaan istana saat ini ibarat “sunset” (matahari yang akan tenggelam). Hati nurani mereka juga pasti tak bisa bohong. Bahwa, cawe/cawe Presiden saat ini telah merusak dan meluluhlantakkan bangunan indah demokrasi bangsa ini. Konstitusi dikangkangi, tak ada lagi etika moral dan hukum dalam penyelengaraannya. Negara republik sudah bergeser menuju negara dinasti.  Artinya, kekuasaan cawe-cawe Presiden kalau kita semua objective adalah kekuasaan semu, ibarat kekuatan sihir yang lucunya, kekuatan tersebut adalah atas mandat dari rakyat itu sendiri.  Seharusnya, sangat mudah mandat kekuasaan itu diambil kembali oleh rakyat. Kalau para politisinya di partai politik itu punya nyali dan “otak”. Tapi sayangnya hampir semua elit parpol sudah kalah mental duluan terhadap istana. Ibarat kerbau dicucuk hidungnya oleh si gembala. Padahal sekali kibas, si kerbau itu bisa membuat si gembala terpelanting dengan mudah.  3. Kekuatan utama cawe-cawe Presiden tentu juga ada pada logistik uang. Karena menguasai sumber/ resource dan juga bisa memanfaatkan anggaran pemerintah seenaknya. Apakah melalui BLT dan bantuan Sembako atas nama Presiden.  Sedangkan di sisi lain, sesuai pengakuan salah satu Paslon Anies Baswedan, selalu ada penjegalan dan intimidasi terhadap para pengusaha yang ingin berikan donasi. Kesimpulannya adalah. Dari tiga analisis kesaktian cawe-cawe Presiden tersebut hanya bisa dilawan kalau rakyat dan para komponen kekuatan civil society bersatu. Baik itu partai politik, ormas, tokoh agama-adat-nasional. Termasuk para mahasiswa dan akademisi. Wabil khusus para apartur negara dan TNI/POLRI. Bagaimana mempunyai kesadaran kolektif, integritas moral dan nyali keberanian untuk bersama melawan segala bentuk cawe-cawe Presiden saat ini dalam upaya membangun ambisi politik dinasti keluarganya. Jangan korbankan harga diri, dan kehormatan institusi hanya demi “menjilat” pada pengusa yang toh sebentar lagi akan habis masa jabatannya. Terlalu beresiko apabila kalian kalah dan di-roasting masyarakat. Apagunanya lagi pangkat jabatan, kalau akibat prilaku kejahatan berdemokrasi kalian di Pilpres mendapat sanksi sosial dan hukuman sosial dari rakyat. Karena, tidak selamanya kalian menjabat. Suatu saat pasti akan pensiun juga dan kembali kepada rakyat menjadi rakyat biasa. Dan yang paling substansial lagi adalah : Sebagai manusia beriman dan beragama, bagaimana pertanggungjawaban kita nanti di akhirat apabila berkhianat pada rakyat dan melanggar sumpah jabatan ?? Jabatan dunia ini hanya sementara, sedangkan akhirat itu kekal dan nyata. Dimana prilaku, kebaikan, dosa dan pahala kita sendiri yang akan menjadi hakim di akhirat kelak. Wallahu’alam.

Buat Gibran Apa pun Bisa-Boleh, Ini Sekelumit Kisahnya (Saat Ambisi Dibalut Kemarahan)

Gibran lelaki yang berpenampilan lugu itu \"dipaksa\" menantang ketakberdayaan diri sendiri, sebelum menantang cemoohan keras publik yang tak menghendaki munculnya politik dinasti. Oleh: Ady Amar | Kolumnis Tidak tahu persis apakah sejak lahir Gibran Rakabuming Raka itu bermasalah. Sepertinya tidak. Saat lahir dipastikan ia tidak bermasalah. Normal layaknya bayi lainnya. Mulai bermasalah, itu saat upaya \"paksa\" menjadikannya Wali Kota Solo. Itu awal pangkal masalahnya. Gibran dipersiapkan (seakan) \"pangeran\", yang pada saatnya akan menggantikan sang bapak. Dipoles dengan mulai berkarir sebagai Wali Kota Solo. Itu jalan yang dilakoni  sang bapak, bahkan sampai 2 periode. Takdir lalu membawa sang bapak menjadi Gubernur DKI Jakarta, cukup dijalani 2,5 tahunan. Lalu, melompat bak bajing jadi presiden, itu pun sampai 2 periode. Berharap bisa lebih lama lagi, seperti Soekarno dan Soeharto, tapi konstitusi membatasi. Skenario semula untuk Gibran dibuat ikut rute sang bapak, menjadi gubernur dan lanjut presiden. Tapi agaknya skenario itu perlu dikoreksi dengan secepatnya. Jalan cerita dibuat berubah, tapi tetap dengan lakon yang sama. Gibran tidak perlu mengikuti jejak sang bapak berlama-lama sebagai Wali Kota Solo, apalagi sampai 2 periode. Tidak perlu juga mesti \"magang\" jadi Gubernur DKI.  Kesuwen kalau mesti pakai langgam sang bapak. Bahkan tidak perlu ia nuntaskan sebagai Wali Kota. Gibran diminta lompat lebih tinggi lagi. Langsung dipersiapkan ikut kontestasi jadi cawapres. Jika berhasil, ia akan jadi wakil presiden. Inilah pangkal masalah berikutnya. Ini pula yang menjadikan Gibran jadi cemoohan khalayak luas. Tentu ada pula yang masih membelanya, yaitu mereka yang selama ini setia \"bekerja\" untuk sang bapak. Gibran seperti korban ambisi dari entah siapa--sebut saja dengan \"mereka\"-- yang ingin menjadikannya seperti sang bapak. Gibran lelaki yang berpenampilan lugu itu \"dipaksa\" menantang ketakberdayaan diri sendiri, sebelum menantang cemoohan keras publik yang tak menghendaki munculnya politik dinasti. Nalar tak mampu membayangkan betapa kesulitan yang dialaminya, saat ia mesti memerankan peran sulit yang tak ia kuasai, dan itu mustahil bisa dipelajari dengan cara instan. Analisa dan spekulasi, bahkan \"bocor alus\" pun memberitakan dengan dramatik. Publik pun punya suguhan berbagai versi  mengapa ini bisa dan mesti terjadi. Dimunculkan aktor di seputar Gibran lewat penelusuran jurnalisme investigative, siapa di balik keinginan menjadikan Gibran yang tak cukup umur itu dibuat tak lagi jadi persoalan. Semua perangkat keras \"penghalang\" sudah dilunakkan dengan dicarikan dalil pembenar. Pokoknya semua bisa diatur, setelah semua piranti penghalang dilunakkan--legislatif dan yudikatif--dibuat tak berdaya, tanpa bisa berbuat dan mengoreksi selayaknya. Rakyat pun cuma dibuat terngaga bengong antara yang memilih biasa-biasa saja bahkan ada pula yang membela seakan menerabas aturan hukum itu tak masalah, dan publik yang marah itu cuma mampu berteriak sekadarnya tanda protes. Maka, jalan cerita dimunculkan sampai menyenggol nama Iriana, yang tidak lain adalah ibu dari Gibran. Ada juga yang menyebutnya dengan Ibu Suri. Konon, Iriana merasa jengah dengan perlakuan Megawati Sukarnoputri, Ketua Umum PDIP, yang menyebut Jokowi dengan sebutan \"petugas partai\". Jangan tanya mengapa baru sekarang \"pemberontakan\" Iriana atas gelar yang disandangkan pada sang suami, yang tidak mengenakkannya itu muncul belakangan saat sang suami mesti turun tahta. Tak ada yang mampu mengukur, lebih tepatnya \"kemarahan\" Iriana, itu seberapa dalamnya. Bisa jadi itu disimpannya dari tahun ke tahun. Dari saat sang suami mengenyam dari satu jabatan ke jabatan lain di pemerintahan, sampai jabatan tertinggi menjadi presiden 2 periode. Dan, lalu meledak saat waktunya dianggap tepat. Iriana melawan dengan menjadikan Gibran sebagai \"tameng\" perlawanan, meski orang lain bisa melihatnya sebagai \"korban\" guna melampiaskan kemarahan yang tertunda. Jalan cerita seolah dibuat simpel, itu merangsang publik menganalisanya lebih dalam lagi. Tidak berhenti di situ, meski drama pertunjukan ingin cepat diakhiri dengan sekadar kemarahan. Tapi lebih pada ambisi yang diselimuti kemarahan, itu sebenarnya kisah yang muncul di benak publik. Ambisi mengerek sang anak tinggi-tinggi, itu justru lebih argumentatif rasional dibanding menonjolkan sisi \"kemarahan\" yang tertunda. Jika benar itu \"ambisi\" Iriana semata, maka bisa dipastikan karenanya seorang Jokowi bisa melenggang mencapai karir politiknya, meski dengan kemampuan seadanya, ada tangan Iriana berperan besar di sana. Meski tetap saja muncul julukan Pak Lurah, umpatan \"protes\" publik saat tidak mendapatkan rasa selayaknya presiden pada diri Jokowi. Soal-soal beginian, bahkan julukan yang lebih tak mengenakkan lagi yang disematkan pada sang suami, Iriana tak perlu sampai mesti melampiaskan kemarahannya. Baginya, publik bukanlah Megawati yang bisa jadi argumen guna menutup ambisi yang dibungkus dengan kemarahan. Gibran sudah diputuskan maju sebagai cawapres dari Prabowo Subianto. Semua penghalang yang ada sudah diselesaikan satu per satu. Soal persyaratan umur yang belum akil baligh menjadi capres/cawapres sudah diputus MK dengan redaksinya diubah sedikit, dan Gibran pun lolos. Sampai menuju Pilpres, 14 Februari 2024, akan banyak peraturan KPU yang disesuaikan dengan kenyamanan Gibran dalam berkontestasi. Terbaru, KPU meniadakan debat antarcawapres, seperti sebelum-sebelumnya. Debat 5 kali, dan semuanya diikuti oleh paslon capres-cawapres. Padahal publik perlu tahu kapasitas cawapres masing-masing paslon dalam menjawab persoalan yang diajukan panelis. Dengan dihilangkannya debat cawapres, itu sama dengan merampas hak publik untuk mengetahui kemampuan cawapres dalam menjawab dengan argumentasi terukur. Karena Gibran semua aturan dan bahkan peraturan bisa diubah semaunya, dan publik dibuat terus terngaga tanpa bisa berbuat apa-apa. Sepertinya semua kekuatan untuk pemenangan Gibran akan dikerahkan, aromanya sudah tercium. Mendekati pilpres bisa jadi aroma itu akan semakin menyengat. Dan, itu yang dikhawatirkan, hasil kontestasi pilpres akan tidak berkualitas.**

Pasangan Rongsokan dan Karbitan

Oleh Yusuf Blegur | Mantan Presidium GMNI  CAPRESNYA ibarat barang rongsokan, cawapresnya  bagaikan barang karbitan. Sebuah pasangan yang struktur identitasnya dibangun dari ornamen murni KKN dan ketiadaan kemaluan. Sialnya NKRI, selalu dipimpin oleh orang-orang yang menjauhkan rakyat dari cita-cita kemerdekaan. Terlebih selama satu dekade ini, dimana konstitusi dan demokrasi dibajak hanya untuk merubah penjahat menjadi pejabat. Tampil seolah-olah terhormat dan bermartabat, namun sesungguhnya bermental dan berperilaku  bejad. Kapitalisme dan transaksional yang menghidupi politik, nyata-nyata berhasil mematikan nurani dan akal sehat. Nilai-nilai tergusur oleh syahwat kekuasaan. Elit dan sebagian besar rakyat lebih memilih mengejar harta dan jabatan ketimbang keberadaban. Serba permisif, terus membiarkan yang menyimpang menjadi kesepakatan dan pasrah mengabaikan aturan. Negara sebesar Indonesia menjadi miris dan ironis, saat dikelola pemimpin berjiwa kerdil. Kekayaan alam yang berlimpah, dirampok pengelola negara yang korup, sebagian lainnya dihibahkan kepada negara dan bangsa asing melalui Undang-Undang yang direkayasa, juga tak luput atas nama investasi dan utang. Rakyat semakin dieksploitasi, diperas dan direndahkan kemanusiaannya. Menjaga kesinambungan kekuasaan yang distortuf dan destruktif, rezim berusaha menjadi diktator berbalut demokratis. Tak peduli KKN yang begitu masif dan masa bodoh dengan kesengsaraan rakyat di sana-sini. Pemerintahan terburuk dan dzolim sepanjang republik berdiri, merekayasa konstitusi dengan tangan besi. Pemilu dan pilpres menjadi pintu masuk menuju kekuasaan  politik dinasti dan hegemoni oligarki.  Dari negara demokrasi menuju monarki, dari religi menuju liberalisasi dan sekulerisasi. Apapun istilahnya, faktanya negeri ini dikuasai rezim dinasti dan oligarki. Politik, hukum, ekonomi dan semua aspek-aspek kehidupan  yang menguasai hajat hidup orang banyak, kini ditangani pemilik modal dan aparat. Memperkaya segelintir orang dan kelompok sembari memiskinkan rakyat, menjadi watak pemerintahan yang mengedepankan  pola-pola intimidasi, teror dan represif. Pilpres 2024 yang harusnya menjadi momentum sekaligus tonggak sejarah kebangkitan bangsa dari gejala kehancuran, tetap tak luput dari anasir rezim hipokrit dan sakit. Seolah-olah menjaga kesinambungan pembangunan, sesungguhnya memelihara kekuasaan yang berkepanjangan. Tiada kewarasan, tanpa kehormatan bahkan dengan cara-cara penuh kebiadaban, pilpres 2024 dibangun dengan konstruksi kecurangan. KPU dan MK telah menjadi alat taktis dan strategis kepentingan rezim kekuasaan yang bulus dan picik. Sebagian partai politik, birokrat dan politisi, menjadi ternak-ternak oligarki. Institusi-institusi negara dan orang-orang pilihan yang dirancang menjadi mulia,  pada akhirnya hanya menjadi tempat dan kumpulan manusia haram jadah. Pilpres 2024 yang diharapkan menjadi  proses berlangsungnya kedaulatan rakyat yang prosedural dan konstitusional, kini dibayangi setan dan monster berwujud aparatur penyelenggara negara.  Kontestasi pilpres 2024 yang idealnya menampilkan figur-figur pemimpin bersih dan tanpa cacat moral, serta merta diikuti oleh capres-cawapres yang tidak memiliki kelayakan baik dari segi kapasitas maupun integritas. Hanya ada satu pasangan yang memiliki rekam jejak, rekam karya dan rekam prestasi yang mengusung perubahan. Lainnya dipastikan bermasalah dan sangat tidak memiliki kepantasan, terlibat KKN dan kejahatan HAM. Pasangan capres dan cawapres lain yang bermasalah itu, melenggang tanpa rasa malu, muka tembok dan menjadi simbol kebobrokan penyelenggaraan negara. Lebih menghina dan merendahkan  lagi terutama kepada para pendiri bangsa dan semangat cita-cita proklamasi kemerdekaan Indonesia serta konstitusi. Ada capres dan cawapres yang tidak mengundurkan diri dari jabatan pemerintahan yang didudukinya. Namun jauh lebih menghina dan merendahkan lagi, ketika ada capres-cawapres  yang seluruh citra dan faktanya, bagian dari kebusukan rezim yang gagal meski berusaha setengah  mati dan setengah gila, dengan memaksakan KKN, serampangan dan membabi buta. Salah satu capres-cawapres warisan rezim KKN yang mulus merekayasa konstitusi dan moral bernegara, adalah pasangan rongsokan dan karbitan. Rongsokan karena ambisi dan haus kekuasaan meski berulang-ulang mengikuti kontestasi capres namun tidak pernah mendapatkan mandat rakyat. Rakyat mungkin dudah tahu belangnya, dari yang mengaku-ngaku macan Asia itu.  Mungkin juga rakyat tidak pernah percaya, semacam sudah skeptis dan apriori begitu terhadap capres permanen yang identik dengan kejahatan HAM dan terkenal sebagai penjilat ulung itu. Pasangan cawapresnya, tidak lebih sebagai “anak mami”, kasihan dia karena terlalu dipaksakan dan menjadi korban ambisi sekaligus  syahwat kekuasaan bapak ibunya. Kasihan cawapres yang masih bau kencur politik, betapa berat beban hidupnya karena kedzoliman orang tuanya, sampai-sampai salah menyebut asam folat menjadi asam sulfat. Ya begitu memprihatinkan seraya tertawa geli, ada pasangan rongsokan dan karbitan bisa mengikuti kontestasi capres-cawapres dalam pilpres 2024. Tapi dengan bangga dan tanpa dosa,  capres-cawapres  ibarat pasangan kakek dan cucu ini, mengampanyekan kebaikan untuk rakyat, negara dan bangsa Indonesia. Seperti maling teriak maling, bagaikan berkaca pada cermin retak, begitulah adanya kontestasi pilpres 2024 menyembul pasangan rongsokan dan karbitan. Astagfirullahaladzim, ingat umur tak selamanya permanen, jangan turuti kemauan duniawi. Berani malu, berani asusila  dan berani amoral terkadang diperlukan untuk tampil di negara yang sakit yang sebagian juga karena ulahnya. (*)

Jokowi Makin Sadis, Rakyat Makin Bengis

Oleh Sutoyo Abadi | Koordinator Kajian Merah Putih  \"Apa yang di gambarkan Toffler, koalisi rezim dan para bandit politik/kapitalis untuk mempertahankan kekuasaannya hanya akan bisa diatasi dengan cara bengis persis pola pemerintahan gaya komunis\" Toffler tokoh media global, menyimpulkan, bahwa yang berlangsung saat ini “bukanlah kekuasan media semata, melainkan perpaduan kekuasaan media yang akan membidik wajah ke kekuasaan yang sedang terjadi. Wajah kekuasaan Jokowi yang semakin sadis tidak lagi akan bisa disembunyikan dengan cara atau rekayasa apapun. Rakyat akan melihat, merekam, dan akan bertindak sebagai respon pantulan atas sikap, tindakan, ucapan dan tindakannya. Jokowi praktis sudah terkepung media di diahir masa jabatannya terus memburuk, semua terpantau  konsekuensi dari  media yang sudah dengan jelas terbuka tanpa atap lagi. Eskalasi politik untuk memakzulkan Jokowi makin nyata. Wajar rezim blingsatan harus mencari cara lain untuk mengamankan kekuasaan dengan cara akan menutup perlawanan dari masyarakat. Mereka, para bandit politik dan kapitalis sebenarnya mengetahui rekayasanya akan sia-sia tetapi tampaknya sudah menemui jalan buntu selain harus tetap melakukan rekayasa politik tolol dan sontoloyo. Siapa sebenarnya yang berkuasa di Indonesia saat ini. “Apakah Presiden Jokowi berkuasa?. Tidak. Semua kekuasaan berada diluar kuasa dan kendalinya. Sinyal politik  Jokowi sebagai boneka kekuasaan Oligargi sudah pada garis finis. Dalam suasana panik dan terdesak Jokowi memaksakan diri memunculkan Gibran maju Pilpres sebagai Cawapres dengan proses yang sungsang justru akan membuat Jokowi semakin terdesak dan berbahaya. Kekuasaan yang akan tampil memaksakan wajah semakin sadis, bengis, represif dan otoriter.  Apa yang di gambarkan Toffler, koalisi rezim dengan para bandit politik/kapitalis untuk mempertahankan kekuasaannya hanya akan bisa diatasi oleh perlawanan rakyat dengan cara lebih bengis . Keadaan ini akan memunculkan dua kemungkinan. Rakyat menjadi lemah dan terpuruk sehingga menerima nasibnya karena tidak lagi mampu melawan kekuasaan yang sadis. Kemungkinan lainnya, justru akan mempercepat lahirnya perlawanan rakyat dalam bentuk People Power yang menemukan momentumnya. Kalau alternatif kedua yang muncul Jokowi akan jatuh berantakan. Halusinasi akan memenangkan Gibran  dengan cara curang atau coba coba masih bisa mencuri atau memanipulasi suara untuk kemenangannya pasti akan sia sia. Perlawanan rakyat akan sangat keras dan bengis untuk rezim yang semakin sadis dan membabi buta.***

Dua Satu Dua dan Tiga Jihad

Oleh M Rizal Fadillah | Pemerhati Politik dan Kebangsaan  DALAM rangka 212--dua satu dua, diadakan agenda \"munajat kubro\" untuk keselamatan NKRI dan Palestina. Acara yang dimulai jam 03.00 itu menjadi penting karena di samping sebagai ajang silaturahmi sesama kaum muslimin yang berjuang demi agama, bangsa dan negara, juga untuk \"mengetuk pintu langit\" agar menyelamatkan bangsa Indonesia dan bangsa Palestina.   Penguatan semangat juang berbasis agama tidak lain adalah untuk memperkokoh \"jihad fi sabililah\" baik di Indonesia maupun Palestina. Berjihad dalam spektrum luas yang berakar sama yakni melawan kemungkaran, kezaliman dan ketidakadilan. Munajat adalah jalan untuk mencapai kemenangan dengan tawakal dan yakin akan pertolongan Allah \"nashrun minallah wa fathun qorib\". Allah Yang Maha Kuasa.  Tiga amanat jihad dari silaturahmi dua satu dua adalah : Pertama, momentum untuk turut berjihad bersama bangsa Palestina. Saudara kita yang sedang berjuang melawan kebiadaban Zionis Israel. Sebagian besar rakyat teraniaya oleh pembantaian dan penjagalan yang tidak lain adalah genosida. Tenaga, harta dan do\'a kontribusikan untuk berjihad bersama.  Kedua, berjihad melawan agen-agen Zionis yang ada di Indonesia. Kasus penyerangan muslim yang sedang mengadakan aksi solidaritas di Bitung oleh pasukan Kristen Manguni yang berbendera dan beratribut Zionis Israel adalah bukti ancaman nyata. Minoritas arogan itu berlindung di balik kekuasaan sekuler berbaju pluralisme. Kelompok teroris ini harus dilawan dan dibasmi oleh umat.  Ketiga, berjihad melawan rezim yang tidak berpihak pada umat. Rezim yang mendahulukan kepentingan famili, kroni dan oligarki. Rezim berbau korupsi, kolusi dan nepotisme. Fir\'aunisme merasa benar sendiri. Buta tuli pada suara kebenaran dan kejujuran. Namrudisme membungkam lawan yang berargumen sehat. Semata memelihara kebodohan. Jokowisme menjadi isme baru lokal yang berindikasi pada perbudakan kaum elit tersandera.  Munajat harus diawali dengan taubat dan berniat berbuat untuk memperkuat umat. Menangis itu penting sebagai bukti kita dekat. Akan tetapi kesiapan untuk mengorbankan jiwa dengan tetesan darah merupakan tuntutan jihad. Nabi  mencontohkan dan diikuti oleh para Sahabat.  Dua satu dua (212) bukan semata angka tapi api perjuangan untuk berkhidmat pada agama, bangsa dan negara. Berjalan dan berlari dengan gagah perkasa. Tidak goyah oleh rayuan dan tidak takut pada ancaman atau tekanan.  Umat perlu menjawab pertanyaan Allah \"Hal adullukum alaa tijaarotin tunjiikum min adzaabin aliim \"--Apakah ingin Aku tunjukan transaksi yang dapat menyelamatkanmu dari adzab yang pedih ? Jawabannya adalah \"Iman kepada Allah dan kepada Rosul-Nya serta berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwa\". Allah SWT menegaskan \"dzaalikum khoirulakum in kuntum ta\'lamuun\"--itu yang terbaik bagimu, jika engkau mengetahui.  Nah, selamat bermunajat dan berjihad wahai umat pejuang, engkau bukan pecundang. Saatnya untuk bergerak, bukan hanya menggertak atau berteriak. Cukup sudah terdengar isak dan suara serak. Kini kesempatan untuk menerjang terjang di medan perang.  Allahu Akbar-Allahu Akbar. Ahadun ahad?

UGM Terlambat Hadir dan Mikir

Oleh Sutoyo Abadi - Koordinator Kajian Merah Putih  Setelah UGM tidur panjang, terasa hadir kembali bermula dari beredarnya hasil sebuah diskusi di Fakultas Hukum UGM, disimpulkan ada lima mitos palsu yang harus dibongkar di era pemerintahan Jokowi. Yakni: satu, Jokowi adalah orang baik. Kedua, setiap orang punya kesempatan yang sama untuk memegang jabatan publik. Ketiga, mitos pemimpin muda. Keempat, perlunya pemimpin tegas, sekaligus “gemoy” untuk menarik pemilih dari generasi Z. Kelima, Presiden netral dalam Pilpres dan Pileg 2024. Senin 27 November 2023 menanggapi hasil diskusi di Fakultas Hukum UGM. Memantik komentar dari kerinduan keberanian UGM yang selama ini terkesan, tidur dan  diam tak berkutik dibawah tekanan dan pengaruh rezim Jokowi. Prof Daniel M Rosyid guru besar dari ITS Surabaya, bergumam bahwa  Universitas Gajah Muda  terlambat lagi, lebih dari 10 tahun. Banyak kampus negeri hanya menjadi kaki tangan penguasa, gagal menjadi _whistle blower_ atau  simpul peringatan dini deformasi kehidupan berbangsa dan bernegara, tidak saja sejak reformasi, bahkan sejak Orde Lama. Sudah sepuluh tahun terakhir ini, politik praktis makin merasuki kampus.  Senat Akademik makin _losing touch_ dengan dunia etika. Majelis Wali Amanah makin _losing grip_ dengan amanat penderitaan rakyat. Gaung bersambut DR. Sri Bintang Pamungkas aktifis kawakan sepanjang masa, tak kuasa menahan nalar analisa kritiknya yang biasa muncul tepat pada momentumnya bahwa Selain terlambat 10 tahun, Gajah Mada sebagai sumber ilmuan kok baru bisa bikin analisis seperti ini. Bahkan lebih tajam mengatakan analisis ini miskin pandangan dan dasar berpikir. Sebab salah memilih pemimpin tidak hanya terjadi dimasa Jokowi tetapi pada masa masa sebelumnya. Semua kesalahan yang terjadi adalah kesalahan kita semua bangsa Indonesia yaitu : Pada saat saat genting kita terlalu permisif , gampang memaafkan bahkan lebih fatal sering menghindar dari masalah yang sedang membelit dan membahayakan \"biarin saja - usah ikut ikutan, kita netral saja.\" Takut kepada penguasa sekalipun dzalim, bego, bodoh dan ugal ugalan, jangan melawan, takut resiko tidak kebagian, resiko benturan dan akibat tekanan lainnya. Bahkan berdalih agama cepat menyerah bahwa semua kejadian telah menjadi takdirnya. Sebagai kawulo alit ( rakyat kecil ) harus manut mituhu ( taat total ) kepada penguasa. Analisa diatas mengingatkan kita peringatan lama bahwa sebagian bangsa Indonesia masih berjiwa terjajah persis seperti yang dikatakan Gubernur Jenderal De Jonge di tahun 1930-an masih juga berkata, Belanda akan menjajah 300 tahun lagi. Lemahnya mentalitas bangsa ini yang mudah dipecah-belah  adalah “bangsa yang paling lunak di dunia”  Sun Yat Sen mengatakan  Indonesia adalah bangsa yang tidak punya keinginan untuk membebaskan diri dari penindasan ibarat “a sheet of loose sand”. Bagaikan pasir yang meluruk dan rapuh. Tiada keteguhan, sehingga mudah ditiup ke mana-mana. Apaka Bangsa Indonesia adalah bangsa yang tidak punya keinginan untuk membebaskan diri dari penindasan ibarat _\"A sheet of looses sand\"_ . Saat ini anehnya mental penindas justru muncul muncul penguasa yang bermental  jongos dan budak dan boneka Oligargi dan kekuasaan besar dari luar dirinya. Pemunculan pikiran dari UGM yang mulai berani mengkritik pemerintah sekalipun selama ini terkesan terlambat hadir dan mikir, semoga menjadi awal kebangkitan perubahan di Indonesia **

Perpanjangan Izin Usaha (IUPK) Freeport Sampai 2061 Melanggar Hukum dan Konstitusi

Oleh: Anthony Budiawan – Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Di tengah kunjungannya ke Amerika Serikat, Jokowi menjamu Chairman dan CEO Freeport-McMoran Inc., Richard Adkerson, di hotel Waldorf Astoria, Washington DC. Entah apa yang dibicarakan. Yang pasti, patut diduga keras, salah satunya terkait perpanjangan izin usaha PT Freeport Indonesia (Freeport), yang masa berlakunya baru akan berakhir pada 30 Desember 2041. Masih 18 tahun lagi. Masih sangat lama. Tetapi, Jokowi berniat memperpanjang izin usaha Freeport tersebut secepatnya, mungkin dipaksakan pada tahun ini juga, untuk 20 tahun ke depan sampai 2061. Kalau benar terjadi, perpanjangan izin usaha Freeport tersebut melanggar hukum, dan juga melanggar konstitusi. Alasannya sebagai berikut. Pertama, perpanjangan izin usaha (IUPK) Freeport melanggar Peraturan Pemerintah (PP) No 96 tahun 2021 yang mengatakan, perpanjangan IUPK hanya bisa dilakukan paling cepat 5 (lima) tahun atau paling lambat 1 (satu) tahun sebelum masa berlaku izin usaha berakhir. Sehingga, memperpanjang masa berlaku izin usaha Freeport, yang baru akan berakhir 18 tahun lagi, 30 Desember 2041, jelas melanggar Pasal 109 ayat (4) PP dimaksud. Kedua, berdasarkan PP tersebut, izin usaha Freeport baru bisa diperpanjang paling cepat 30 Desember 2036, oleh Presiden pada saat itu, yaitu Presiden periode 2034-2039. Oleh karena itu, apabila Jokowi memperpanjang izin usaha Freeport yang seharusnya dilakukan oleh Presiden periode 2034-2039, maka Jokowi melangggar, dan merampas, wewenang Presiden yang akan datang. Artinya, Jokowi melanggar Pasal 7 UUD yang menyatakan “Presiden memegang jabatan selama lima tahun”. Dalam hal ini, Jabatan Jokowi hanya sampai 20 Oktober 2024. Karena itu, tidak boleh merampas wewenang Presiden periode 2034-2039. Ketiga, perpanjangan izin usaha pertambangan (IUPK) hanya boleh dilakukan 2 (dua) kali, masing-masing 10 (sepuluh) tahun. Sehingga, memperpanjang IUPK sekaligus 20 (dua puluh) tahun, dari 2041 sampai 2061, jelas melanggar Pasal 109 ayat (1) huruf a PP No 96/2021, dan juga Pasal 83 huruf f UU No 3/2020 tentang Minerba. Pasal 109 ayat (1) huruf a PP No 96/2021 menjelaskan “Jangka waktu kegiatan Operasi Produksi …. dapat diberikan perpanjangan dengan ketentuan untuk Pertambangan Mineral logam sebanyak 2 (dua) kali masing-masing 10 (sepuluh) tahun.” Pasal 83 huruf f UU No 3/2020: Persyaratan luas wilayah dan jangka waktu sesuai dengan kelompok Usaha Pertambangan yang berlaku bagi pemegang IUPK meliputi “jangka waktu kegiatan Operasi Produksi Mineral logam … dapat diberikan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan dijamin memperoleh perpanjangan 2 (dua) kali masing-masing 10 (sepuluh) tahun …. Keempat, izin usaha Freeport sudah dikonversi dari Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) pada 17 Februari 2017, yang akan berakhir pada 30 Desember 2021 (sesuai sisa masa berlaku KK). Freeport kemudian sudah mendapat perpanjangan izin usaha selama 20 tahun, dari 2021 sampai 2041, pada 21 Desember 2018. Tentu saja, perpanjangan izin usaha Freeport selama 20 tahun ini juga melanggar peraturan dan undang-undang, karena perpanjangan hanya dapat diberikan maksimal 2 (dua) kali masing-masing 10 (sepuluh) tahun. Pasal 83 huruf g UU No 23/2009 yang berlaku ketika itu berbunyi, “jangka waktu IUPK Operasi Produksi mineral logam …. dapat diberikan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 10 (sepuluh) tahun. Setelah mendapat perpanjangan 2 (dua) kali, atau maksimal 20 tahun, IUPK tidak bisa diperpanjang lagi dan wajib dikembalikan kepada pemerintah. Pasal 72 ayat (6) PP No 23/2010 berbunyi “Pemegang IUPK Operasi Produksi yang telah memperoleh perpanjangan IUPK Operasi Produksi sebanyak 2 (dua) kali, wajib mengembalikan WIUPK Operasi Produksi kepada Menteri berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Freeport sudah mendapat perpanjangan izin usaha selama 20 tahun, dari 2021 sam pai 2041. Oleh karena itu, izin usaha Freeport tidak bisa diperpanjang lagi, dan wajib dikembalikan kepada pemerintah. Karena itu, memperpanjang IUPK Freeport sampai 2061 melanggar UU, dan sekaligus merugikan keuangan negara. https://www.liputan6.com/amp/3854290/dikuasai-indonesia-kontrak-freeport-diperpanjang-hingga-2041 Jokowi berdalih, perpanjangan IUPK Freeport, dibarter dengan penambahan kepemilikan saham pemerintah di Freeport sebesar 10 persen, sehingga total saham pemerintah menjadi 61 persen terhitung 2041, seolah-olah menguntungkan pihak Indonesia. Padahal sebaliknya, sangat merugikan. Karena seluruh daerah pertambangan Freeport pada 2041 seharusnya kembali menjadi milik Indonesia 100 persen. Bukan 61 persen. Apakah Jokowi tidak mengerti, atau memang berniat berbohong? Bisa saja, perpanjangan IUPK Freeport ini untuk menutupi potensi kerugian pengambilalihan saham freeport pada 2018 menjadi 51 persen, dengan nilai akusisi 3,85 miliar dolar AS. Selain itu, Jokowi seharusnya juga tidak berwenang memperpanjang izin usaha Freeport sampai 2041 pada 2018 yang lalu. Karena menurut peraturan yang berlaku ketika itu, perpanjangan IUPK hanya boleh dilakukan paling cepat 2 tahun dan paling lambat 6 bulan sebelum masa berlaku IUPK berakhir. Dalam hal ini, perpanjangan izin usaha Freeport paling cepat dilakukan pada 30 Desembetr 2019. Sedangkan, jabatan Jokowi ketika itu akan berakhir pada 20 Oktober 2019. Kalau Jokowi tidak terpilih lagi pada pilpres 2019, maka wewenang memperpanjang IUPK Freeport yang akan berakhir pada 30 Desember 2021 ada di Presiden berikutnya, periode 2019-2024. Tetapi, wewenang ini diambil Jokowi dengan menetapkan PP No 1/2017 yang mempercepat perpanjangan IUPK, dari paling cepat 2 tahun dan paling lambat 6 bulan menjadi paling cepat 5 tahun dan paling lambat 1 tahun, sehingga memungkinkan Jokowi bisa memperpanjang izin usaha Freeport pada Desember 2018. Percepatan perpanjangan izin usaha tersebut pada hakekatnya mengambil wewenang Presiden berikutnya, dan termasuk kebijakan bersifat koruptif karena menguntungkan pihak Freeport. Karena itu, DPR wajib menyelidiki apa motif Jokowi yang sebenarnya terkait penetapan PP No 1/2017, yang pada intinya memaksakan agar Jokowi dapat memperpanjang  izin usaha Freeport, yang sebenarnya bukan wewenangnya sebagai Presiden periode 2014-2019? (*)

Menggugat Mitos Penguasa Selalu Benar

Oleh Dr. Anton Permana, SIP.,MH | Direktur Tanhanna Dharma Mangrva (TDM Institute) Ada 4 (empat) syarat pembentukan sebuah negara menurut Hans Kelsen dalam bukunya “Teori Negara” yaitu ; Ada rakyat, wilayah, pemerintahan, dan hukum. Karena dalam pembentukan negara butuh kesepakatan, konsensus dan pengakuan baik dari dalam diri organisasi (struktur negara)nya, maupun dari pengakuan negara lain (dunia internasional). (Hans Kelsen. “Teori Negara”. Buku Kesatu. 1980). Di era kontemporer saat ini sistem kekaisaran, imperium dan kekhalifahan tidak ada lagi. Dalam konsepsi “Nation State” (negara bangsa) yang “dimodernisasi kembali” dan diprakarsai oleh seorang tokoh Yahudi bernama Theodre Hezle, menyatakan bahwa masing-masing negara saat ini dibedakan berdasarkan bentuk pemerintahannya. Ada yang berbentuk Monarki Absolute (tunggal), Monarki Konstitusi, Republik, dan Protectorat Country. Demikian juga dalam dalam rekruitman kepemimpinan nasional negaranya. Ada yang berdasarkan garis keturunan raja (Monarki Absolute) untuk kepala negaranya dan ada juga yang melalui pemilihan umum untuk negara yang menganut paham demokrasi. Baik itu untuk pemilihan kepala negaranya maupun kepala pemerintahannya.  Pertanyaannya, kenapa setelah ribuan tahun dunia ini dipayungi oleh sistem pemerintahan berbentuk kekaisaran, raja, dan kekhalifahan, banyak berubah total menjadi bagian-bagian kecil negara berbasis kebangsaan? Salah satu jawabannya itu adalah agar terjadi pembahagian kekuasaan dalam pengelolaan pemerintahan organisasi bernama negara. Dimana rakyat tidak saja hanya menjadi objek kekuasaan, tetapi juga mempunyai kedaulatan (khidmad) dalam memperoleh hak dan dan kewajibannya secara berkeadilan. Karena di dalam sistem Monarki (di era sebelumnya) rakyat harus dan wajib tunduk kepada seorang Raja, dan sulit untuk mendapatkan hak-hak serta perlindungan dirinya ketika Sang Raja berkonspirasi (jahat) sekalipun. Untuk itulah lahir konsepsi negara dengan sistem demokrasi sebagai salah satu alternatif dimana suara rakyat adalah suara Tuhan (Voc Populi Vox dei), dengan proses perekrutan kepemimpinan nasionalnya melalui pemilihan umum (suara pilihan rakyat). Ada juga pendapat lain yang menyatakan bahwa, konsepsi “nation state” ini adalah bentuk taktik strategi kelompok elit global yahudi dalam “mempreteli” konsepsi kekuasaan yang terintegrasi berbasis keagamaan seperti imperium, kekaisaran, dan ke khilafahan. Karena, elit global juga punya agenda untuk mendirikan konsepsi “The new world order” (sebuah tatanan baru dunia), yang tunduk dalam satu tatanan yang mereka buat, dan mengenyampingkan agama dari kekuasaan. Konsepsi ini juga yang mempengaruhi terbentuknya negara kita Indonesia. Dimana dahulunya sebelum negara ini terbentuk, nusantara ini selama ribuan tahun lamanya juga hidup dalam suasana kerajaan-kerajaan. Yang diperintah oleh seorang Sulthan dan Raja.  Jadi wajar, dalam perilaku sosial kadang kala baik rakyat dan pemimpinnya, secara genetis dan psikologis budaya masih bersifat feodalistik ala kerajaan. Padahal, negeri ini sudah 78 tahun berubah menjadi negara Republik. Akar budaya feodalistik ini juga yang sesuai judul kita di atas, kadang kala dimanfaatkan oleh kelompok elit politik untuk memanipulasi kekuasaannya agar tetap terus eksis mendapatkan legitimasi untuk melakukan apa saja dengan instrumen kekuasaannya. Dengan mengatasnamakan “Pemerintahan yang sah”, namun bukan berarti pemerintahan yang benar? Padahal, di dalam negara demokrasi itu, kedaulatan tertinggi itu berada di tangan rakyat. Owner dan komisaris dari negara ini adalah rakyat. Karena juga secara sejarah, Indonesia adalah satu-satunya negara di dunia yang diperjuangkan, dan didirikan sendiri oleh rakyatnya melalui perang dan senjata. Meskipun dengan mengorbankan harta dan nyawa dari pada pendahulu kita. Indonesia sebagai negara yang telah menobatkan dirinya sebagai negara Demokrasi, seharusnya sudah jauh dari perilaku kuno pemerintahan yang anti kritik, anti perbedaan, diskriminatif, sifat otoritanisme yang selalu menggunakan tangan aparat keamanan untuk melindungi kepentingan penguasanya. Bahkan, di dalam demokrasi itu, salah satu kemewahan rakyat itu adalah dapat mengkoreksi langsung pemimpinnya yang dianggap gagal dan tidak becus menjalankan amanah pemerintahannya. Dalam konteks Indonesia, semua itu sudah dilindungi dalam UUD 1945 pasal 28 dan UU HAM Tahun 1999. Namun faktanya hari ini, apalagi semenjak era Joko Widodo ini jadi presiden periode kedua. Semua tatanan demokrasi itu dirusak dan dihancurkan dari segala lini. Tak ada lagi pembahagian kekuasaan (Trias Politika) di negara kita. Karena semuanya sudah “berselingkuh” dengan kekuasaan. Padahal, Trias Politika itu adalah instrumen utama dari pemerintahan negara demokrasi. Demokrasi yang sedang berjalan di Indonesia adalah demokrasi manipulatif. Demokrasi semu administratif prosedural saja. Memang ada Pemilu dan Pilpres, namun kualitas kejujurannya sangat jauh dari harapan. Karena penuh dengan hawa dan bau kecurangan dan kejahatan demokrasi. Memang dalam tampilannya Joko Widodo ini begitu sangat sederhana, merakyat, ndeso dan penuh puja puji media. Namun faktanya, hampir semua kebijakan strategis yang diambil lebih banyak menguntungkan kelompok coorporate oligarkhi, elit politik kelompoknya. Lahirnya UU Minerba, UU Omnibus Law, dan UU tentang IKN adalah fakta konkritnya.  Keberhasilan Joko Widodo tak lebih dari sikapnya yang mampu mengkonsolidasikan instrumen kekuasaan untuk kepentingan diri dan keluarganya. Bahkan PDIP yang menjadi partai politik pengusung utamanya pun saat ini “gigit jari” ditinggalkan. Maka jadilah hari ini, seorang Joko Widodo menjelma menjadi seorang Presiden dengan kekuasaan full power. Seolah tanpa batas. Sebuah basis kekuasaan yang di bangun atas dasar “populis otoritarianisme”.  Namun di sinilah letak kekeliruan Joko Widodo dan juga “kenaifan” masyarakat Indonesia. Karena kita lupa bahwa, kekuasaan yang saat ini ada di tangan Joko Widodo itu adalah “pinjaman”, yang bersifat sementara sesuai dengan jangka waktu masa jabatannya. Oktober tahun depan, kekuasaan Joko Widodo harus segera di kembalikan kepada rakyat, dan pemenang Pilpres. Artinya, kekuasaan Joko Widodo tidak absolute seperti tahta kerajaan. Bahkan, kalau seorang Joko Widodo apabila melanggar konstitusi dan melakukan perbuatan tercela, maka kekuasaannya bisa ambil kembali. Sesuai dengan pasal 7 UUD 1945. Kenapa semua itu bisa terjadi, salah satunya adalah karena secara genetis DNA, budaya kultural feodal masyarakat kita masih sangat tinggi. Budaya kultural era kerajaan Majapahit masih melekat dalam psikologi prilaku budayanya. Yaitu : Menganggap penguasa (raja/presiden) itu selalu benar, manusia setengah dewa, yang “pasti baik” dan wajib dita’ati. Atau dengan istilah sandiko Prabu.  Ditambah lagi pengaruh spritualitas keagamaan yang mayoritas Islam, dimana di dalam ajaran Islam juga ditekankan adanya ke ta’atan terhadap pemimpin (ummaroh) dan imam. Atau dengan istilah “sami’na wa atokna”. Apalagi mesti kita akui bersama, kepiawaian seorang Joko Widodo memainkan pencitraan media, dengan konsepsi logical fallacy. Sehingga, masih banyak masyarakat dan elit pemimpin begitu “tunduk” dan malah takut pada sosok Joko Widodo. Sedangkan keta’atan, ketunduk-an yang di maksud dalam Islam itu adalah, selagi seorang pemimpin itu tidak melakukan ke ingkaran dan melakukan kerusakan akidah secara terang/terangan. Ada batas dan nilai yang mengaturnya. Padahal juga, di dalam dunia politik bernegara. Mitos penguasa selalu benar itu sungguh sangat “naif” sekali. Karena, kepemimpinan di dalam negara demokrasi itu diperoleh melalui prosedur politik. Yang di dalamnya penuh dengan trik intrik manipulatif, yang tidak peduli nilai, norma dan moralitas.  Pemimpin dalam negara demokrasi, sejatinya antitesa dari potensi konspirasi negara monarki. Namun jangan salah, meskipun sudah menjadi negara demokrasi, potensi konspirasi yang dilakukan oleh sekelompok oligarkhi juga bisa terjadi. Toh di dalam dunia pencitraan, semuanya bisa disulap. Melalui ilmu logical fallacy, kebenaran objective bisa dikalahkan oleh prasangka keyakinan subjective. Orang baik bisa disulap menjadi orang jahat, dan orang jahat bisa disulap jadi orang baik bak malaikat. Hal ini yang mesti disadari masyarakat Indonesia adalah masyarakat harus kritis, logis, realitis dalam melihat fenomena yang terjadi di tubuh pemerintahan. Khususnya pada aparatur negara, TNI/POLRI, dan pegawai BUMN. Pahami hal ini dengan baik dan benar. Karena saat ini kita sudah menjadi negara moderen bukan era kolonialisasi dan kerajaan lagi. Yang harus menjilat-jilat pada atasan asal dapat jabatan, namun rela mengenyampingkan integritas dan harga diri kepada kekuasaan sesa’at. Akhirnya rakyatlah yang kembali bisa mengawasi langsung, mempelototi setiap gerik pemerintahan ketika fungsi-fungsi trias politika dilumpuhkan. Rakyat sebagai kekuatan “civil society” harus mempunyai keberanian, literasi, ghiroh, dan kesadaran kolektif untuk mengkoreksi penguasa hari ini. Penguasa yang setiap lima tahun di pergilirkan melalui Pemilu. Sebagai negara demokrasi, kepentingan rakyat harus di atas segalanya. Pemerintah adalah pelayan rakyat. Penguasa hari ini seperti Joko Widodo juga akan berakhir masa jabatannya. Tak ada yang abadi. Matahari pun akan tenggelam menuju malam. Itulah indahnya demokrasi, karena ada selalu jangka waktu pergantian kekuasaan. Agar, ketika ada penguasa yang menyalahgunakan kekuasaannya maka tidak akan bisa bertahan lama. Rakyat bisa menggantinya baik dalam pilihan atau, melakukan perlawanan bahkan pembangkangan kalau penguasa hari ini melanggar konstitusi.  Di dalam negara demokrasi (negara moderen) ini, kuncinya ada pada kekuatan civil society. Kalau rakyatnya sendiri rapuh, berpecah belah, maka anasir anasir jahat elit koorporasi (oligarkhi) pasti akan memanfaatkan momentum ini untuk terus menancapkan hegemoni kekuasaanya melalui proxy-proxy nya yang sudah dibentuk. Artinya, mitos seolah penguasa itu selalu benar, harus ditinggalkan. Karena itu adalah cara berpikir “jadul” dan feodalistik. Itu sama saja kita mundur jauh kebelakang. Karena yang benar itu adalah, terikat dengan nilai (Value) bukan dengan figur sosok maupun jabatan. InsyaAllah. (*)

Pemenang Pilpres dengan Angka Palsu Hasil Kloning

Oleh Sutoyo Abadi | Koordinator Kajian Merah Putih  AI adalah kecerdasan buatan, yaitu Artificial Intelligence ( AI )  di bidang ilmu komputer yang dikhususkan untuk memecahkan masalah kognitif yang umumnya terkait dengan kecerdasan manusia, seperti, pemecahan masalah, dan pengenalan pola. Dengan robotika atau adegan futuristik, Kecerdasan Buatan (AI) mengungguli robot fiksi ilmiah, ke dalam non-fiksi ilmu komputer canggih modern Terkait dengan pilpres bahwa alat kecerdasan buatan yang murah dan kuat akan segera memungkinkan siapa pun membuat gambar, video, dan audio palsu yang cukup realistis untuk menipu pemilih dan mungkin mempengaruhi pemilihan.  Ancaman yang ditimbulkan oleh AI  adalah digunakan untuk membuat foto, audio, video hoak, yang cukup meyakinkan. Dibuat menggunakan dua algoritma AI yang saling bertentangan: satunya disebut generator yang lain disebut diskriminatif. AI generatif yang canggih kini dapat membuat suara manusia yang dikloning dengan gambar, video, dan audio hiper-realistis dalam hitungan detik, dengan biaya minimal.  Ketika diikat ke algoritme media sosial yang kuat, konten palsu dan dibuat secara digital ini dapat menyebar jauh dan cepat dan menargetkan audiens yang sangat spesifik, berpotensi melakukan trik kotor kampanye AI generatif tidak hanya dapat menghasilkan email, teks, atau video kampanye yang ditargetkan dengan cepat, tetapi juga dapat digunakan untuk menyesatkan pemilih, meniru identitas kandidat, dan melemahkan lawan dalam skala dan waktu tertentu, dengan skala besar, dan mendistribusikannya di platform sosial, itu akan berdampak besar. AI generatif juga sering digunakan untuk membuat media sintetik dengan tujuan memfitnah kandidat, atau bahkan menghasut demi kepentingan capres tertentu. Pesan robocall otomatis, dengan suara kandidat, bisa menginstruksikan pemilih untuk memberikan suara pada Capres yang telah di tentukan. Menampilkan gambar palsu yang dirancang agar terlihat seperti  berita benar dan menawarkan kampanye sekilas tentang masa depan yang dimanipulasi secara digital ini. Menyerang dengan iklan online, tentang siapa yang harus dipilih termasuk kampanye politik jahat .  Dengan media sintetik bisa digunakan untuk mengikis kepercayaan salah satu capres. Penggunaan _\"deepfake\"_ lewat AI bisa digunakan untuk membuat foto, audio, video hoak dengan tampilan yang seolah olah benar dan meyakinkan. Daalam iklan politik, menyebutnya \"penipuan\" dengan \"tidak ada tempat dalam kampanye etis yang sah\".  Kecerdasan buatan lainnya membuat  fitur kampanye politik, menggunakan data dan algoritme untuk mengotomatis kan tugas seperti menargetkan pemilih di media sosial. Menebar informasi bohong dan memanipulasi informasi palsu, kepada masyarakat luas. Kejahatan paling buruk adalah memanipulasi angka hasil pemilihan presiden  dengan angka palsu hasil kloning angka rekayasa curiannya .  Ini paling berbahaya  bahwa angka kemenangan salah satu capres 2024 jauh hari sudah dipersiapkannya menggunakan data dan algoritma untuk mengotomatisasi kan tugas seperti menargetkan angka kemenangan salah satu Capres. Bisa terjadi KPU tinggal menyesuaikan dan kerja sama dengan surveyor untuk menjaga  ritme angka hasil kloning selama masa kampanye atau sebelumnya dan saat ini sedang terjadi.****

Balas Dendam di Tanah Suci

Operasi Badai al Aqsha yang dilancarkan pejuang Palestina, Hamas, pada pada 7 Oktober 2023 lalu, bukan sekadar balas dendam. Ada proyek besar yang diinginkan Para Mujahid ini. Apa itu? Oleh: Dimas Huda | Jurnalis Senior FNN  HARI itu, Senin 2 Oktober 2023 adalah hari raya Sukkot. Ratusan pemukim Yahudi yang dikawal polisi Israel  tiba-tiba memaksa masuk ke kompleks Masjid Al-Aqsa. Mereka ingin menggelar ritual Talmud di situs suci Umat Islam itu.  Hari raya Sukkot adalah hari libur selama sepekan, yang dimulai pada tanggal 29 September dan akan berlanjut hingga 6 Oktober, mengakhiri musim hari raya Yahudi yang dimulai dengan merayakan hari raya Rosh Hashanah (Tahun Baru) pada tanggal 15 September. “Para pemukim melakukan tur ke halaman masjid dan berusaha melakukan ritual Talmud,” kata pejabat setempat sebagaimana dilansir Anadolu Agency.  Sebelumnya, pada hari Ahad, Departemen Wakaf Islam mengatakan bahwa hampir 860 pemukim menyerbu Masjid Al-Aqsa. Polisi Israel mulai mengizinkan pemukim memasuki kompleks Masjid Al-Aqsa pada tahun 2003, meskipun ada kecaman berulang kali dari warga Palestina.  Masjid Al-Aqsa adalah situs tersuci ketiga di dunia bagi umat Islam. Orang-orang Yahudi menyebut daerah itu sebagai \"Gunung Bait Suci\", dan mengklaim bahwa tempat itu adalah situs dua kuil Yahudi di zaman kuno. Dan sudah berkali-kali para pemukim Yahudi itu melakukan penghinaan terhadap tempat suci umat Islam tersebut. Sudah barang tentu tindakan itu membuat umat Islam terusik, termasuk Hamas. Pada 7 Oktober 2023, bertepatan dengan hari raya Yahudi Simchat Torah, Hamas melancarkan serangan bertajuk Operasi Badai Al-Aqsa. Serangan di pagi hari itu membunuh 1.400 nyawa warga Israel dan menahan ratusan orang Yahudi. Israel pun gelap mata. Negeri itu melancarkan serangan balasan dari udara dan darat secara membabi buta. Kementerian Keuangan Israel, Senin 13 November 2023 melaporkan telah mengeduk utang sekitar 30 miliar shekel atau US$7,8 miliar setara setara Rp120,9 triliun sejak dimulainya perang dengan Hamas.  Hasilnya, 14.500 orang warga Palestina syahid, mayoritas dari mereka adalah anak-anak dan perempuan. Bangunan masjid, rumah sakit, dan rumah-rumah penduduk warga Gaza berubah menjadi puiang-puing. Kota indah Gaza tinggal kenangan. Tembok Ratapan Sejak Israel menduduki Baitul Maqdis, situs suci Islam itu sangat mengenaskan dan sangat menyakitkan. Provokasi mobilisasi Yahudi oleh Israel tampak jelas dan terang-terangan ke arah ini sejak tahun 1920-an.  Pada mulanya orang-orang Yahudi memfokuskan tuntutannya pada sisi barat tembok masjid al Aqsha \'Tembok Buraq\' yang mereka namakan dengan \' tembok ratapan \'. \"Tembok dan daerah sekitarnya pada hakikatnya adalah tanah wakaf Islam tetap yang memiliki nota dan dokumen, dan itu diakui bahkan oleh tim investigasi internasional,\" tulis Dr Muhsin Muhammad Shaleh dalam bukunya berjudul \"Ardhu Filistin wa Sya’buha\" yang diterjemahkan Warsito, Lc menjadi \"Tanah Palestina dan Rakyatnya\".  Beberapa hari setelah pendudukan al Quds, Zionis Yahudi menghancurkan kampung al Mugharabah yang berhadapan dengan tembok barat Masjid al Aqsha. Di sini terdapat Tembok Buraq itu. Kampung al Mugharabah terdiri dari 135 rumah dan dua masjid. Kala itu, kampung ini dihabisi, rata dengan tanah.  Selanjutnya dijadikan area terbuka yang digunakan orang-orang untuk ibadah mereka, meskipun tanah ini adalah wakaf Islam.  Sejak itu mulailah Yahudi melancarkan operasi penggalian di bawah masjid al Aqsha dan daerah sekitarnya. \"Mereka memfokuskan operasi ini di daerah barat dan selatan masjid, sebagai upaya untuk mewujudkan bukti apapun bagi haikal yang mereka klaim,\" ujar Muhsin Muhammad Shaleh. Kala itu, yang mereka dapatkan justru sebagian besar adalah peninggalan-peninggalan Islam yang mendukung kedudukan dan identitas keislaman al Quds. Sejak tahun 1967 hingga tahun 2000 operasi penggalian ini telah melewati 10 periode (tahap), yang dilakukan dengan giat namun tenang dan diam-diam.  Selama itu mereka memfokuskan penggalian pada sisi barat dan selatan masjid al Aqsha, untuk itu pula mereka melakukan penggusuran dan penghancuran banyak masjid bangunan-bangunan bersejarah Islam. Misalnya, pada 14 – 20 Juni 1969 mereka menghancurkan 31 bangunan bersejarah Islam dan mengusir warganya, serta penggalian terowongan di bawah masjid al Aqsha.  Akan tetapi yang mereka dapatkan adalah peninggalan Islam yang mendukung kedudukan dan identitas keislaman al Quds, hal ini semakin menambah kedengkian dan hasad mereka.  Penggalian ini mencapai tahap yang sangat membahayakan ketika mereka mengosongkan tanah dan batu dari bawah masjid al Aqsha dan masjid Qubatus Shakhra’.  Mereka menggunakan bahan kimia untuk meleburkan batu-batu tersebut, yang menjadikan masjid al Aqsha siap runtuh kapan saja oleh topan yang kuat atau dengan gempa ringan (baik itu buatan atau alami). Yahudi juga kerap melakukan serangan-serangan permusuhan terhadap masjid al Aqsha. Selama tahun 1967 – 1990 telah terjadi 40 kali serangan. Berbagai kompromi damai dan perjanjian Oslo tidak juga dapat menghentikan penyerangan-penyerangan yang mereka lakukan. Bahkan selama tahun 1993 – 1998 tercatat ada 72 kali aksi serangan. Sebuah data yang menunjukkan meningkatnya aksi-aksi biadab mereka terhadap salah satu tempat suci kaum muslimin. Serangan yang paling menonjol adalah aksi pembakaran masjid al Aqsha pada 21 Agustus 1869 dengan tertuduh seorang Nasrani fanatik bernama Denis Mikel Rohan yang berafiliasi ke Gereja Allah.  Akibat aksi ini api membakar seluruh isi dan tembok masjid, juga membakar mimbar agung masjid yang dibuat oleh Nuruddin Zinki dan diletakkan oleh Shalahuddin Al Ayyubi di dalam masjid pasca pembebasan al Aqsha dari tangan Kaum Salib pada tahun 1187.  Setelah dilakukan pengadilan simbolik, Zionis Yahudi membebaskan Rohan dengan vonis dia tidak bertanggung jawab melakukan tindak pidana karena dia gila. Kala itu pihak rezim penjajah Israel sengaja terlambat memberikan bantuan untuk memadamkan kebakaran, bahkan menghalangi upaya ribuan kaum muslimin yang berbondong-bondong memadamkan api. Kota Suci Al Quds Pada mulanya, Israel menduduki wilayah al Quds Barat pada perang tahun 1948. Luas wilayah ini sekitar 84,1 persen dari keseluruhan luas wilayah al Quds atau Yerusalem. Selanjutnya mereka melakukan yahudisasi terhadap wilayah ini, padahal kala itu, 85% pemiliknya adalah orang Arab Palestina.  Mereka membangun kompleks-kompleks perkampungan Yahudi di atas tanah al Quds Barat dan tanah-tanah yang mereka gusur di sekitarnya. Desa Lafna di atasnya dibangun kantor parlemen Israel Knesset dan sejumlah kantor departemen Israel. Kemudian desa Ain Karim, Deir Yasin, Maliha dan yang lainnya.  Pada tahun 1967 penjajah Zionis Israel menyempurnakan penjajahannya terhadap kota suci al Quds dengan menduduki wilayah al Quds Timur, yang juga merupakan bagian dari wilayah Tepi Barat sungai Yordan dan di dalamnya adalah bangunan suci umat Islam masjid al Aqsha yang diberkati. Sejak saat itu mulailah serangan yahudisasi yang menghancurkan wilayah al Quds Timur. Maka dimaklumatkan penyatuan dua wilayah al Quds, yakni al Quds Barat dan al Quds Timur, di bawah administrasi “Israel” pada 27 Juni 1967.  Kemudian dimaklumatkan secara resmi pada 20 Juli 1980 bahwa al Quds adalah ibukota abadi tunggal untuk entitas Israel.  Sentralisasi di al Quds adalah masalah utama dalam pemikiran Zionis Yahudi, sebagai realisasi tujuan-tujuan agama dan sejarah. Bahkan 50 tahun sebelum pendirian entitas negara “Israel”, pendiri organisasi Zionisme internasional Theodore Hertzel sudah mengatakan:  “Jika kita berhasil mendapatkan kota suci al Quds sedang saya masih hidup dan mampu melakukan sesuatu, maka saya akan menghapus segala sesuatu yang tidak suci bagi Yahudi di dalamnya. Dan saya akan membakar semua peninggalan yang telah berlalu berabad-abad.”  Sedang pendiri entitas negara Yahudi dan sekaligus perdana menteri pertama bagi entitas Yahudi di Palestina David Ben Gurion mengatakan: “Bahwasanya tidak ada artinya bagi Israel tanpa al Quds dan tidak ada artinya bagi al Quds tanpa Haikal.”  Secara bertahap entitas Zionis Yahudi melakukan perluasan kota al Quds, agar berhasil mencaplok lebih wilayah-wilayah Tepi Barat secara total ke dalam wilayahnya, dan agar dapat melakukan aktivitas yahudisasi al Quds secara sistematis dan ekspansif. Maka diperluaslah wilayah kota al Quds dari 6,5 kilometer persegi pada tahun 1967 menjadi 123 kilometer persegi pada tahun 1990. Halangan Utama Paul Findley dalam bukunya berjudul “Deliberate Deceptions: Facing the Facts about the U.S. - Israeli Relationship” yang diterjemahkan Rahmani Astuti menjadi “Mengungkap Fakta Hubungan AS-Israel” (Mizan, 1995) menulis halangan utama dalam mencapai perdamaian adalah perjuangan status Yerusalem atau al Quds.  Kenyataan bahwa Yerusalem disucikan oleh orang-orang Kristen, Yahudi, dan Muslim mengandung arti bahwa statusnya berkaitan dengan masyarakat internasional. Rencana Pembagian PBB tahun 1947 menyadari adanya kepentingan seluruh dunia atas Yerusalem dengan menetapkan kota itu sebagai corpus separatum, sebuah kota yang terpisah dan tidak boleh dikuasai baik oleh bangsa Arab maupun Yahudi melainkan oleh suatu rezim internasional di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa atau PBB.  Israel menerima pengaturan ini ketika ia menerima rencana pembagian dan juga ketika ia diterima menjadi anggota PBB pada 1949. Namun, Israel secara konsisten selalu bertindak sebaliknya, dengan menyatakan bahwa Yerusalem merupakan ibukota abadi bangsa Yahudi. Sejak 1967, Israel telah menguasai seluruh Yerusalem. Pada 10 Juli 1980, ia secara resmi mencaplok kota itu dan menyatakan bahwa \"Seluruh Yerusalem adalah ibukota Israel.\" Negeri Yahudi tersebut terus mempertahankan pendapat itu hingga sekarang. \"Yerusalem Yahudi merupakan bagian organik dan tak terpisahkan dari Negara Israel,\" ujar Perdana Menteri Israel pertama, David Ben-Gurion. Pada 16 Desember, Ben-Gurion menantang masyarakat dunia dengan memindahkan kantor perdana menteri ke Yerusalem. Dia menyatakan awal tahun baru 1950 sebagai hari perpindahan semua kantor pemerintah ke Yerusalem kecuali kementerian luar negeri dan kementerian pertahanan serta markas besar polisi nasional.  Pemindahan kantor-kantor pemerintah Israel ke Yerusalem tetap tak terbendung oleh tuntutan Dewan Perwalian PBB pada 20 Desember agar Israel memindahkan kantor-kantor itu dari Yerusalem karena tidak sesuai dengan janji-janjinya pada Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pada 31 Desember, Israel secara resmi memberitahu dewan itu bahwa ia tidak akan memindahkan pemerintahan dari Yerusalem. Tentangan Israel terhadap PBB terbukti berhasil. Sejak Desember 1949 dan seterusnya, Israel telah bertindak seakan-akan ibukotanya yang sah dan diakui adalah Yerusalem. Pada akhir Perang 1967, Israel bergerak cepat untuk memperluas batas-batas kota dan mencaplok seluruh Yerusalem sebagai \"ibukota abadi.\" Hingga 1967, Jerusalem terdiri atas Kota Tua dengan tembok bersejarahnya, yang terbagi menjadi wilayah-wilayah Armenia, Kristen, Yahudi, dan Muslim, dan kota yang mengelilinginya, yang dibagi untuk orang-orang Arab di sebelah timur dan orang-orang Israel di sebelah barat. Dalam kegelapan dinihari tanggal 11 Juni, hari setelah berakhirnya pertempuran, pasukan Israel memberi peringatan tiga jam untuk mengosongkan rumah-rumah kepada orang-orang Palestina yang tinggal di seksi Mughrabi dari Kota Tua Jerusalem, di sebelah Tembok (Ratapan) Barat dari Temple Mount/Haram Al-Syarif. Lalu buldoser-buldoser Israel menghancurkan tempat-tempat tinggal dan dua masjid, membuat 135 keluarga --650 pria, wanita, dan anak-anak-- menjadi tunawisma. Itu merupakan penyitaan pertama atas hak milik Palestina setelah perang. Seminggu kemudian, pada 18 Juni, para serdadu Israel mulai memerintahkan orang-orang Palestina untuk meninggalkan wilayah Yahudi di Kota Tua. Pada mulanya, pengusiran itu hanya menimpa beberapa ratus orang saja, namun dalam tahun-tahun selanjutnya menimpa pula seluruh penduduk Palestina di wilayah tersebut yang berjumlah kira-kira 6.500 orang. Orang-orang Yahudi mulai pindah ke wilayah itu sejak Oktober 1967. Israel bergerak dengan yakin untuk menguatkan cengkeramannya atas Yerusalem Timur Arab dua minggu setelah perang dengan diloloskannya dua ordonansi dasar oleh Knesset pada 27 Juni: Ordonansi Hukum dan Administrasi dan Ordonansi Korporasi Kotapraja.  Hukum korporasi itu memungkinkan menteri dalam negeri untuk mengubah Batas-Batas Jerusalem, dan ordonansi administrasi memungkinkannya untuk memberlakukan hukum Israel ke wilayah kotapraja yang diperluas itu. Menteri dalam negeri melakukan kedua-duanya satu hari kemudian, pada 28 Juni. Dia lebih dari sekadar menggandakan ukuran Yerusalem dengan jalan memperluas batas-batas ke utara sembilan mil dan ke selatan sepuluh mil, meningkatkan batas-batas kotapraja Yerusalem dari 40 kilometer persegi menjadi 10 km persegi. Batas-batas baru Yerusalem secara hati-hati ditetapkan untuk memastikan, sebagaimana dilaporkan Wakil Walikota Meron Benvenisti di kemudian hari, \"mayoritas Yahudi yang melimpah\" di dalam batas-batas yang baru itu. Daerah-daerah dengan penduduk Palestina yang padat dihapuskan sementara tanah yang berbatasan dengan desa-desa Arab disatukan ke dalam kota yang diperluas itu. Akibatnya batas-batas kota Yerusalem yang diperluas itu kini menampung 197.000 orang Yahudi dan 68.000 orang Palestina --suatu perubahan dramatis dari masa-masa pra-pembagian tahun 1947 ketika ada sekitar 105.000 orang Palestina dan 100.000 orang Yahudi di Jerusalem Besar. Di dalam batas-batas kota dari kekotaprajaan lama proporsinya kini adalah 60.000 orang Palestina dan 100.000 orang Yahudi. Majelis Umum PBB pada 14 Juli 1967 menyesalkan penolakan Israel untuk mematuhi resolusi Majelis tanggal 4 Juli, yang memerintahkan Israel untuk membatalkan semua upaya untuk mengubah status Jerusalem dan menganggap semua upaya itu tidak sah. Majelis juga meminta sekretaris jenderal untuk melaporkan tentang situasi di Yerusalem. Duta Besar Ernesto Thalmann dari Swiss dipilih sebagai wakil khusus sekretaris jenderal. Dia melaporkan bahwa \"dijelaskan tanpa keraguan sama sekali bahwa Israel tengah mengambil setiap langkah untuk menempatkan bagian-bagian kota yang tidak dikontrol oleh Israel sebelum Juni 1967 di bawah kekuasaannya... Para pejabat Israel menyatakan secara tegas bahwa proses integrasi tidak dapat diubah dan tidak dapat dirundingkan.\" Meskipun Menteri Luar Negeri Israel Abba Eban meyakinkan PBB tidak mencaplok Yerusalem Timur Arab, pencaplokan merupakan akibat praktis dari aksi-aksinya. Untuk selanjutnya, Yerusalem Timur Arab dihubungkan dengan pasokan air Israel dan, seluruh kota dianggap oleh Israel seakan-akan bagian integral dari negara Yahudi. Baru setelah 30 Juli 1980 Israel secara resmi dan terbuka mencaplok seluruh Yerusalem dengan menyatakan bahwa \"Seluruh Yerusalem adalah ibukota Israel.\" Dengan menetapkan ordonansi itu sebagai \"hukum dasar,\" Knesset memberinya peringkat konstitusional-semu. Tindakan itu diambil satu hari setelah Majelis Umum PBB mengadakan pemungutan suara bagi Palestina dan penarikan mundur Israel dari seluruh wilayah pendudukan, termasuk Yerusalem Timur Arab. Pencaplokan itu merupakan patok yang menandai perjuangan panjang oleh Israel melawan tentangan masyarakat dunia atas dikuasainya seluruh kota Yerusalem oleh Israel. Meskipun pencaplokan itu menimbulkan kegemparan internasional, Israel tetap menolak untuk mundur dan mempertahankan cengkeramannya atas Kota Suci itu. Proyek Al Quds Tak berhenti di sini. Israel juga berambisi membangun Al Quds Raya dengan menganggarkan dana sebesar 4 miliar shekel atau setara dengan Rp15,7 triliun (1 shekel setara dengan Rp3.915) selama lima tahun sejak 2022.  Israel berencana membangun Al Quds Raya seluas 840 kilometer persegi atau sekitar 15% dari total wilayah Tepi Barat. Di zona area kota timur Al Quds, Zionis Yahudi membangun kendali berupa 11 perkampungan Yahudi yang dihuni 190 ribu Yahudi di seputar kota Baldah Qadimah di mana masjid al Aqsha berada.  Kendali yang lebih besar lagi juga dibangun di seputar al Quds berupa 17 kompleks permukiman Yahudi, sebagai upaya untuk memutus al Quds dari wilayah Arab Islam sekitarnya. \"Untuk selanjutnya memutus jalan apapun untuk kompromi damai yang memungkinkan mengembalikan al Quds atau wilayah timur al Quds kepada Palestina,\" kata Muhsin Muhammad Shaleh.  Menurut kalkulasi pada tahun 2000, wilayah Al Quds dihuni sekitar 650 ribu jiwa. Mereka terdiri 450 ribu orang Yahudi dan 200 ribu Arab Palestina yang hampir seluruhnya tinggal di al Quds Timur. Lantaran aktivitas penggusuran dan pemaksaan, Zionis Yahudi menguasai 86% wilayah al Quds dan hanya 4% saja yang tersisa bagi orang Arab Palestina, sedang yang 10% sisanya orang-orang Palestina dilarang menggunakannya karena disediakan untuk proyek-proyek Yahudi.  \"Data ini mengisyaratkan betapa bahayanya proyek yahudisasi terhadap kota al Quds. Padahal pada awal penjajahan Inggris di Palestina pada tahun 1918 orang-orang Palestina memiliki 90% wilayah al Quds,\" ujar Muhsin Muhammad Shaleh.  Pada tahun lalu, Kegubernuran Al-Quds melaporkan bahwa otoritas Israel telah menyetujui 32 rencana permukiman baru di Kota Suci tersebut, selama paruh pertama tahun 2022. Rencana tersebut termasuk proyek untuk mengubah fitur perumahan di Al-Quds dengan mengalokasikan anggaran untuk rencana lima tahun sebesar 4 miliar shekel.  Selain itu, rencana juga mencakup sebuah proyek kawasan Tembok Al-Buraq senilai 35 juta dolar dan kawasan Bab Al-Khalil dengan 40 juta shekel. Kegubernuran menunjukkan bahwa jumlah anggaran diperkirakan sebesar 514 juta shekel. Anggaran tersebut juga mereka alokasikan untuk memperkuat cengkraman Israel pada sektor pendidikan di Al-Quds Timur.  Di samping itu, mereka juga menyetujui pembangunan sekitar 22.000 unit permukiman baru di banyak permukiman di dalam dan pinggiran Al-Quds. Laporan menunjukkan bahwa otoritas Israel, selama paruh pertama tahun 2022, terus bergerak maju melanjutkan penyelesaian tanah kota Al-Quds. Rencana diperkirakan akan berakhir pada 2025 dengan tujuan merebut tanah ibukota Palestina.  Sejalan dengan itu, otoritas Israel juga sedang melanjutkan penggalian di sekitar masjid Al-Aqsa. Retakan dan batu-batu terus berjatuhan di berbagai bagian masjid Al-Aqsa. Penggalian merupakan proyek pembangunan untuk empat terowongan yang Israel gali di bawah pemukiman Bukit Prancis, di Gunung Scopus, Al-Quds.  Terowongan yang mereka bangun menggunakan alat mekanis atau ledakan terkontrol ini akan menghubungkan pemukiman Israel yang terletak di Lembah Yordan dan Ma’ale Adumim dengan barat kota, kemudian dari sana ke Tel Aviv melalui jalan pintas 443. Sejak lebih dari 2021 yang lalu, otoritas Israel memulai pembangunan terowongan ini dan berharap akan selesai pada tahun 2024. Empat terowongan ini mencakup total panjang sekitar 4,4 km dan kedalaman sekitar 40 meter.  Bassam Bahr, seorang spesialis dalam urusan pemukiman, mengatakan bahwa pembangunan terowongan bertujuan untuk melayani pasukan dan pemukim Israel. Bukan untuk membebaskan warga Palestina, seperti yang Israel klaim, tetapi untuk memisahkan orang Palestina dari pemukim Israel. Menurut surat kabar Ibrani, Kol Ha’er, proyek tersebut adalah salah satu proyek transportasi dengan anggaran terbesar yang Israel laksanakan di Al-Quds (Yerusalem) dalam beberapa tahun terakhir. Adapun biaya proyek terowongan ini yaitu sekitar 1,2 miliar shekel.  Pemerintah Israel di kota setempat menjelaskan bahwa proyek tersebut sedang mereka laksanakan di salah satu persimpangan pusat dan tersibuk di Al-Quds (Yerusalem), yang merupakan persimpangan dengan puluhan ribu kendaraan lalu-lalang setiap hari. Pada 30 Juni 2022 lalu, otoritas Israel juga mengumumkan pendirian pusat olahraga besar di tanah Beit Hanina, utara Al-Quds. Pusat olahraga tersebut dibangun di atas lahan seluas 5.000 meter persegi, dengan biaya US$20 juta. Saat ini, masih banyak lagi proyek yang sedang Israel gencarkan. Proyek pembangunan ini dilakukan dengan cara merusak, menghancurkan rumah, dan mengusir orang Palestina. Dunia seakan diam menyaksikan tingkah Israel ini. Inilah yang membuat Hamas mencari perhatian, kendati harus dibayar mahal rakyat Palestina di Gaza.  Para pemimpin tinggi Hamas justru menginginkan perang permanen dengan Israel untuk menopang perjuangan Palestina yang hingga kini masih diduduki. Anggota badan pimpinan tertinggi Hamas, Khalil al-Hayya, mengungkap misi perang dengan Israel sekarang ini adalah mengangkat masalah Palestina, yang menurutnya mulai dilupakan oleh dunia internasional.   “Kami berhasil membawa kembali masalah Palestina ke meja perundingan, dan sekarang tidak ada seorang pun di kawasan ini yang merasa tenang,” katanya, yang berbicara dari Qatar sebagaimana dilaporkan New York Times. Para petinggi Hamas juga menyatakan sedikit keinginannya untuk memerintah Gaza atau menyediakan layanan penting bagi rakyatnya. “Saya berharap keadaan perang dengan Israel akan menjadi permanen di seluruh perbatasan dan dunia Arab akan mendukung kami,” kata Taher El-Nounou, penasihat media Hamas.  Dia menambahkan bahwa tujuannya bukan untuk menjalankan Gaza, melainkan untuk menyediakan air, listrik, dan sejenisnya. “Hamas, Qassam, dan kelompok perlawanan membangunkan dunia dari tidur nyenyaknya dan menunjukkan bahwa masalah ini harus tetap didiskusikan,” katanya. “Pertempuran ini bukan karena kami menginginkan bahan bakar atau pekerja. Pertempuran ini tidak bertujuan untuk memperbaiki situasi di Gaza. Pertempuran ini bertujuan untuk menggulingkan situasi sepenuhnya.” @