OPINI

Jalan Terjal Berliku Menuju KPU: Perjalanan Anies dan Gus Imin Terobos Kemustahilan

Oleh Yarifai Mappeaty - Pemerhati Sosial Politik  AKHIRNYA, semua keraguan dan kecemasan dari puluhan juta pendukung di seluruh tanah air, sirna, begitu Anies dan Gus Imin keluar dari kantor KPU RI menemui massa pendukungnya. Disambut sujud syukur dan gemuruh hamdalah dari puluhan ribu massa yang memadat di sepanjang Jalan Imam Bonjol dan Taman Suropati.  Keberhasilan AMIN mendaftar di KPU siang itu, memunculkan eforia massa pendukung yang tak terbendung. Letupan emosi diekspresikan dalam beragam cara dan tingkah. Massa histeris tak henti-henti teriakkan kata, “Perubahan!” sembari mengacung-acungkan tinju di udara. Bahkan ada pula hanya diam menatap ke arah panggung dengan senyum sambil berurai air mata. Satu kata bagi semua kejadian itu adalah: “Orgasme.” Kecamuk perasaan campur-aduk yang tersimpan di dada selama ini atas perlakuan buruk terhadap Anies dan juga Gus Imim, mereka tumpahkan dengan sekali sentak, tanpa ada tersisa. Kualitas hubungan emosional yang demikian dalam antara AMIN dan massa pendukungnya, membuat saya bergidik sampai membayangkan hal yang tidak-tidak. “Oh Tuhan, jangan terjadi sesuatu yang buruk pada Anies dan Gus Imin. Sebab tak perlu lagi ada tragedi berdarah di negeri ini. Kita hanya perlu demokrasi riang-gembira, seperti harapan Gus Imin,” do’aku dalam hati. Dapat dimengerti mengapa mereka sampai terbawa perasaan sedemikian dahsyat. Hal itu tak lepas dari jalan terjal berliku yang dilalui Anies dan AMIN hingga bisa sampai di KPU. Semua perlakuan buruk terhadap Anies, khususnya, sungguh melukai perasaan mereka. Tak terkecuali sikap sinis seorang tukang survei yang songong bertaruh Alphard jika Anies sampai di KPU. Menjadi Bacapres bagi Anies memang tampak mustahil. Sebab partai mana yang mau mengusung? Di luar partai koalisi istana, hanya ada Partai Demokrat dan PKS, itu pun tidak cukup. Tetapi siapa sangka, Partai Nasdem nekad mengusung Anies. Manuver Surya Paloh di luar dugaan itu, bagi Anies dan pendukungnya adalah sebuah keajaiban.  Tak lama setelah Partai Nasdem memutuskan mencaprekan Anies, bergabung Partai Demokrat dan PKS, lalu bersama-sama membentuk koalisi bernama Koalisi Perubahan (Jild 1). Dengan terbentuknya koalisi tersebut, pendukung Anies di seluruh tanah air pun tersenyum lega, karena sudah cukup mengusung Anies sebagai Bacapres.  Tetapi apa yang terjadi kemudian? Terbentuknya koalisi itu, tak lantas membuat pendukung Anies tenang. Sebab semenjak itu, upaya untuk menjegal Anies dilakukan secara masif melalui dua skenario yang dijalankan secara simultan. Pertama, mentersangkakan Anies pada kasus Formula E. Kedua, mencopet salah satu partai dari tiga partai anggota Koalisi Perubahan. Skenario pertama dijalankan oleh Firli Bahuri, Ketua KPK.  Seperti diungkap oleh Koran Tempo bahwa Firli berkali-kali mengupayakan agar status hukum kasus Formula E dinaikkan ke tingkat penyidikan. Untungnya di tubuh Tim Penyelidik KPK, masih terdapat orang-orang yang berintegritas. Sebab, jika tidak, maka Anies dipastikan menjadi tersangka, dan Pilpres pun selamat tinggal. Skenario kedua sasarannya adalah Partai Demokrat dan Partai Nasdem. Partai Demokrat, meminjam istilah Deny Indrayana, coba dicopet oleh Moeldoko, namun ternyata gagal. Partai Nasdem pun coba diganggu dengan menekan Surya Paloh. Mula-mula, Bang Surya, begitu ia disapa, dikucilkan dari istana dan konon bisnisnya dibonsai. Dirayu tak tergoda, diancam tak mempan. Begitulah Bang Surya, tetap bergeming. Bahkan, tatkala JG Plate, Sekjen Partai Nasdem yang juga Menkominfo ditangkap oleh Kejagung, Bang Surya tak juga goyah sedikitpun.  “Abang ini, jangankan dipenjara, dibunuh pun tetap tidak akan berubah mendukung Anies Baswedan,” tegas lelaki dari Tanah Rencong itu menggetarkan. Justeru yang hampir menggagalkan Anies menjadi Bacapres adalah terjadinya perbedaan sikap yang tajam antara Partai Nasdem dan Partai Demokrat soal deklarasi Bacawapres. Partai Demokrat mendesak untuk dipercepat, sedangkan Partai Nasdem menolak karena masih menunggu opsi lain yang kira-kira bisa memenuhi kebutuhan koalisi.  Realitasnya, perbedaan itu tak juga bisa didamaikan. Sehingga sejak 27 Agustus 2023, Koalisi Perubahan Jilid 1 praktis sudah bubar, dan hampir 20 jam lamanya Anies tidak lagi berstatus sebagai Bacapres. Pada situasi itu, Bang Surya dengan insting politiknya yang tajam, diam-diam menghubungi Gus Imin tanpa sepengetahuan Anies dan PKS. Keajaiban kembali menghampiri Anies. Bak pucuk dicinta ulam tiba. Gus Imin yang dalam situasi sudah tak nyaman berkoalisi dengan Prabowo, langsung menyambar tawaran Bang Surya untuk berpasangan dengan Anies.  Malam hari 27 Agustus 2023, Koalisi Perubahan Jilid 2 pun terbentuk oleh Partai Nasdem dan PKB. Kartu Anies hidup kembali. Usai deklarasi di Hotel Majapahit Surabaya pada 2 September 2023, Anies Rasyid Baswedan dan Abdul Muhaimin Iskandar pun bermetamorfosa menjadi “AMIN”, akronim dari nama mereka berdua.  Apakah mereka sudah aman dan tinggal menunggu pendaftaran di KPU? Tidak. Malahan, massa pendukung AMIN masih dibuat sport jantung oleh KPK. Hanya berselang beberapa hari pasca deklarasi, KPK memanggil Gus Imin sebagai saksi pada kasus korupsi 12 tahun silam.   Semenjak itu, hampir setengah bulan lamanya, massa pendukung AMIN berada dalam bayang-bayang kecemasan. Cemas membayangkan saat jelang pendaftaran di KPU, Anies atau Gus Imin, tiba-tiba dijemput KPK dan tak keluar lagi hingga masa pendaftaran berlalu.  Dalam situasi seperti itu, tak ada lagi yang bisa dilakukan selain hanya menggedor pintu langit, memohon pertolonganNya. Sebab, seperti kata Ebiet G Ade, “Tak ada yang dapat menolong selain yang di atas sana.” Entah ada hubungannya atau tidak, namun yang pasti, jelang pendaftaran di KPU, sosok yang ditengarai berada dibalik penjegalan Anies selama ini dikabarkan mengalami lumpuh tak berdaya. Dan, Firli Bahuri sendiri kini sedang ditunggu oleh Polda Metro Jaya. Mungkinkah semua itu, juga adalah sebuah keajaiban? Keajaiban bagi Anies dan Gus Imin telah berhasil menerobos kemustahilan [ym] Makassar, 20 Oktober 2023

Selamat Tinggal Status Quo, Selamat Datang Era Perubahan

Oleh Sri Widodo Soetardjowijono - Wakil Pemimpin Redaksi FNN  Ada seorang tokoh penting di rezim ini yang begitu sensitif ketika mendengar kata-kata “perubahan”. Sampai dengan gaya arogansinya yang khas berkata, “Perubahan apa? Kalian jangan sok-sok bilang perubahan!  Rakyat butuh kemajuan yang sudah banyak diperbuat pemerintahan hari ini!,\" tegasnya dengan wajah marah dan angkuh. Wajar si bapak ini begitu reaktif dan emosional menanggapi isu perubahan yang diinginkan rakyat hari ini. Karena, si bapak kita ini tahu masa jabatan dan bulan madunya dengan pemerintah hari ini akan segera berakhir. Berakhir dengan berjuta masalah dan rekam jejak yang jauh antara fakta dan pencitraan yang masif disiarkan media mainstream. Selama ini setiap isu pemberitaan tentang keberhasilan pemerintahan dilakukan “satu pihak” saja. Kenapa? Karena kalau ada yang berbeda dengan pemerintah, maka akan diciduk, diintimidasi, dipersekusi, dan dipenjarakan menggunakan UU ITE dan Peraturan Pidana nomor 1 Tahun 1946 (sebuah peraturan yang seharusnya sudah tak digunakan lagi). Sebuah peraturan dengan pasal karet yang menjerat para pejuang dan aktivis menyuarakan kritik. Jadi wajar, si bapak merasa dirinya jumawa, dapat mencuci otak publik sekehendak hatinya. Tapi dia lupa watak asli orang Indonesia. Diam bukan berarti “nrimo”. Tak bersuara bukan berarti tidak tahu. Ini hanya masalah momentum waktu saja. Karena kekuatan civil society di Indonesia sedang mengalami masa “shock”, karena baru saja menikmati era kebebasan reformasi di era BJ Habiebie, Gus Dur, Megawati, dan SBY. Tiba-tiba rezim hari ini “merampasnya” dari tangan rakyat. Tak terhitung para tokoh, ulama, aktivis, bahkan akademisi yang dijebloskan ke dalam penjara hanya karena perbedaan pendapat dan menyuarakan kebenaran. Di satu sisi, rezim dengan sesuka hatinya membiarkan ulah para buzzer, para tokoh influencer menyebar hoax, caci maki, kebencian terhadap kelompok dan tokoh yang berseberangan dengan rezim. Bahkan entitas agama pun mereka kriminalisasi dan nistakan. Siapa yang bersebrangan sikap politik, dijadikan musuh negara. Kembali pada pokok bahasan kita hari ini adalah menjawab pertanyaan si bapak tentang perubahan apa yang diharapkan rakyat hari ini. Mari kita jawab bersama-sama sebagai berikut: 1. Perubahan akan suasana harmonisasi kehidupan sosial kemasyarakatan, tanpa caci maki, membubarkan para buzzer bayaran yang membuat gaduh dan adu domba, baik di sosial media, maupun menginfiltrasikannya dalam program pemerintah secara halus.  Sejatinya, 78 tahun negara ini merdeka, tak ada permasalahan SARA di Indonesia. Akan tetapi hanya apabila kelompok kiri berada dalam kekuasaan saja, maka akan selalu permasalahan SARA diungkit-ungkit, dipanas-panasi, dan dipertentangkan agar masyarakat terpecah belah. Agama dinista, para ulamanya dicela, dan suasana kebencian antar-umat beragama diprovokasi terus menerus. Inilah ciri khas gaya politik orang “tak beragama” berkuasa. Padahal seharusnya pemerintah atas nama negara menyatukannya, membangun kebersamaan, merangkul, dan membuang jauh kata-kata perbedaan dan keberagaman dengan kata persatuan: Bhinneka Tunggal Ika, Tanhana Dharma Manggrva. 2. Perubahan akan kiblat (arah) pemerintahan kembali kepada Pancasila, dengan dasar negara sesuai pasal 29 (ayat) 1 ; Negara Berdasarkan Kepada Ketuhanan Yang Maha Esa. Artinya, Indonesia bukan negara agama, tetapi Indonesia juga bukan negara tanpa agama. Agama adalah salah satu entitas sosial kenegaraan bahkan ideologis, yang tak bisa di pisahkan dari penyelenggaraan kekuasaan negara. Nah, menghilangkan kurikulum agama dalam road map pendidikan dan menghapus mata pelajaran agama di sekolah milik pemerintah itu bertentangan dengan dasar negara dan tujuan pendidikan nasional kita sendiri, yaitu: Mewujudkan generasi muda yang berakhlak mulia berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa. Berarti Agama adalah salah satu dasar tuntunan dalam membangun norma dalam pendidikan nasional,  bukan malah menghapusnya. Mengapa pemerintahan hari ini begitu getol “menjauhkan” agama dari kehidupan berbangsa dan bernegara? Agama (khususnya) Islam  distigmakan  begitu buruknya, menakutkan, bak monster. Padahal Agama Islam adalah mayoritas dan ibu kandung dari lahirnya bangsa Indonesia. Program sekulerisasi (pemisahan agama dan negara), yang diprogramkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim, sesuai pidato Presiden Jokowi ingin memisahkan kehidupan agama dan politik, itu jelas bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Hal ini sangat berbahaya bagi kehidupan bangsa Indonesia ke depan, serta hal inilah yang menjadi bibit keributan di tengah masyarakat.  3. Perubahan akan penegakan hukum yang tegas dan berkeadilan. Kedudukan setiap warga negara itu sama di hadapan hukum. Tidak boleh tajam ke bawah, tumpul ke atas. Para penegak hukum dan kewenangan mesti dievaluasi, baik orientasi, struktur, SDM, regulasi, dan budayanya. Hal ini penting sebab penegakan hukum ini adalah pilar demokrasi. Para penegak hukum tidak boleh lagi (diharamkan) menjadi alat kekuasaan, menjadi centeng pengusaha dan sangat mudah mengkriminalisasikan orang, tergantung siapa yang kuat dan besar cuannya. Rakyat bukan musuh polisi, para aktifis, ulama, kritikus, dan politisi bukan musuh polisi karena berseberangan pendapat dengan yang berkuasa hari ini. 4. Perubahan akan perilaku suka buat utang-utang yang tidak berguna dan memberikan beban besar terhadap keuangan negara. Anehnya pemerintahan hari ini melakukan pencabutan semua subsidi, dari listrik hingga BBM. Dengan pencabutan subsidi otomatis sembako naik. Di satu sisi pemerintah dengan sumringah bilang keberhasilannya, namun faktanya utang negara kita hari ini naik 3 kali lipat menuju angka 8.000 trilyun, kalau versi Misbahkun mencapai 20 ribu trilyun rupiah digabung dengan swasta. Bunga dan cicilan hampir Rp1000 trilyun per tahun, sedangkan APBN kita saja 2700 trilyun per tahun.  Artinya, 1/3 APBN kita hanya untuk bayar bunga dan cicilan utang. Yang terbebani akhirnya keuangan negara, yang seharusnya bisa untuk subsidi pupuk, subsidi BBM, bangun sekolah, bangun rumah sakit, jembatan, jalan di pedesaan, bea siswa, hingga permodalan untuk para UMKM. Yang terjadi dana subsidi hanya untuk bayar utang, dimana dana tersebut digunakan untuk proyek yang tak mempunyai efek terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat bawah. Perubahan akan cara mengelola keuangan pemerintahan ini yang harus dilakukan. Bukan ugal-ugalan, dan hanya mengejar pencitraan semata. 5. Perubahan tata kelola cara eksploitasi sumber kekayaan alam dan migas. Cabut aturan yang memberikan karpet merah bagi perusahaan yang tujuannya hanya untuk merampok sumber kekayaan alam di negara kita, sesuai pasal 33 UUD 1945. Pengelolaan sumber kekayaan alam mesti berujung pada kemakmuran rakyat, bukan hanya menguntungkan negara asing dan kelompok elit di pemerintahan hari ini. Eksploitasi sumber kekayaan alam mesti berdampak langsung terhadap kesejahteraan masyarakat. Bayangkan sesuai statemen Deputi BI yang menyatakan ada lebih 5.000 trilyunan rupiah transaksi tambang di Indonesia, tapi uangnya tidak berada di Indonesia. Ini gila namanya. Belum lagi kita bicara perkebunan, sawit,CPO, dan perikanan hingga migas. Kalau tata kelola ekspolitasi ini berpihak pada kemakmuran rakyat, tak akan ada negara kita bisa punya utang-utang yang terus bertambah. Diperkirakan sumber kekayaan alam di Indonesia itu dikeruk senilai 20 ribu trilyun setiap tahunnya termasuk Freeport. Tapi apa yang bangsa Indonesia ini dapatkan? Tingkat kemiskinan dan pengangguran masih tergolong tinggi kalau kita gunakan parameter yang benar dan terbuka. Jangan versi BPS yang banyak pihak akademisi pertanyakan kenetralannya dalam memberikan angka-angka sejak rezim hari ini. 6. Perubahan akan tata kelola investasi bukan invansi. Setiap negara memang butuh investasi, tetapi investasi yang seperti apa? Tentu investasi sesuai dengan SDG’S (Sustainable Develpment Goal’s). Yaitu, setiap investasi harus berorientasi pada Pro-Job (Melahirkan lapangan pekerjaan), Pro-Poor (Mengentaskan kemiskinan), Pro-Growth (Memberikan konstribusi pertumbuhan ekonomi), dan Pro-Green (ramah terhadap lingkungan hidup). Artinya, investasi yang sehat dan berkedaulatan yang kita mau. Serta memberikan manfaat pada anak bangsa dan negara, yaitu, investasi yang melahirkan lapangan pekerjaan, mengentaskan pengangguran yang menghilangkan kemiskinan, dan investasi yang ketika belanja, membeli dan menggunakan produk dalam negeri. Bangun jembatan dan jalan, ya beli semen dan besinya dari produksi dalam negeri dong. Sehingga menghidupi pabrik dalam negeri, bukan malah import. Begitu juga untuk tenaga kerjanya, yang kita inginkan adalah tenaga kerja lokal agar para anak bangsa bisa bekerja dan menghidupi keluarganya. Dan otomatis hal ini akan meningkatkan daya beli masyarakat. Pasar pasar rakyat akan hidup, ekonomi rakyat hidup. Jadi bukan TKA Cina yang diimport jadi pekerja di pabrik yang mengeksploitasi sumber kekayaan alam bangsa kita. Ini yang harus dan wajib diubah apapun alasannya. Selanjutnya tentu juga, investasi yang tetap menjaga kelestarian lingkungan hidup. Sehingga tidak menimbulkan banjir, hutan gundul, habitat dan keseimbangan ekosistem rusak. Maka pasti bencana alam akan datang. Itu sudah hukum alam. Lebih parah lagi kalau investasi yang begitu wah diwarnai proyek mangkrak, gagal, namun lingkungan sudah terlanjur rusak, dan negara terjebak utang (debt trap) yang menyandera negara. 7. Perubahan cara penindakan korupsi, peredaran narkoba, serta perubahan akan budaya tayangan pertelevisian yang mesti kembali menjadi media pendidikan dan penyebar informasi yang beradab. Dalam hal narkoba, Indonesia ini sudah sangat darurat narkoba, karena sudah terlalu banyak aparatur penegak hukumnya terlibat. Dan ini berbahaya karena narkoba akan menghancurkan para generasi muda penerus bangsa ini. Kasus Irjen Pol Tedy Minahasa contohnya. Korupsi yang hukumannya sangat ringan juga mesti diperbaiki dimulai dari budaya dan kepemimpinan (keteladanan). Ibarat kepala ikan, kalau kepalanya busuk maka badannya pun akan busuk. Di sanalah dibutuhkan keteladanan seorang pemimpin. Kalau pemimpinnya bersih, tegas, beribawa, tidak korupsi, pasti yang di bawahnya tidak akan berani korupsi. Begitupun budaya ASN nya. Mesti juga diperbaiki dimulai juga dari tingkat kesejahteraannya. Yaitu gaji yang layak dan bermartabat, sehingga para ASN kalau gaji sudah tinggi tidak akan korupsi lagi. Terakhir budaya, inilah peran pendidikan dan media. Tertibkan siaran-siaran hedonisme matrealistis. Karena inilah pangkal utama yang menyebabkan orang akan korupsi. Ibu ibu pejabat korupsi. Gaya hidup yang berlebihan.  Ingin kaya cepat, ingin pujian, ingin kelihatan wah dengan harta benda perhiasan. Mengakibatkan hilangnya rasa malu, untuk mendapatkan uang apakah itu halal dan uang maling dari uang rakyat. Perubahan budaya yang berkarakter ini akan menjadi fondasi utama national character building bangsa Indonesia ke depan. Jauhkan anak anak muda kita dari budaya alay, bucin, hura-hura, hedonisme dan matrealistis. Menjadi para generasi muda yang tangguh, berkualitas, berkarakter, dan bermental mandiri patriotik untuk bangsa dan negaranya. Budayakan generasi muda kita dengan budaya yang positif, konstruktif, bermental superior bukan inferior. Suka berkarya, dan yang terpenting adalah budaya jujur, gotong royong, ramah, tenggang rasa, saling menghormati dan patritoik nasionalis adalah budaya asli dan dasar bangsa Indonesia. Itu baru segelintir yang kita paparkan. Banyak lagi perubahan perubahan yang menjadi harapan besar masyarakat. Dan insyaAllah apabila harapan perubahan di atas dapat terlaksana, maka Indonesia baru akan jadi megara besar, yang bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Cukup 10 tahun ini menjadi “mimpi buruk” bagi kita semua. Makanya, wajib kita lawan “status quo” yang menjerumuskan bangsa dan negara ini menuju failed state.  Tidak ada negara di dunia ini yang maju karena investasi, karena infrastruktur, dan instabilitas sosial politik dan ekonomi. Tidak bakal maju karena terus menciptakan kegaduhan di tengah masyarakat untuk menutup kegagalan roda pemerintahannya. Tak ada negara di dunia yang maju karena bantuan negara lain. Bullshit itu semua. Sebuah negara yang maju, hanya karena tekat, semangat, kemandirian dari para anak bangsanya sendiri. Dan untuk itulah dibutuhkan karakter pemimpin yang berkualitas, mapan, bermartabat, dan visioner. Bukan planga plongo ikut apa kata oligarkhi. Baru mau berakhir masa jabatan baru sadar, kalau dirinya adalah Presiden. Dan buru-buru mau cawe-cawe politik. Miris sekali. Jakarta, 19 Oktober 2023.

Cium Kaki Ibu, Pasangan AMIN Lebih dari Sekadar Presiden dan Wakil Presiden

Oleh Yusuf Blegur - Mantan Presidium GMNI  Cium kaki Ibu, bukan hanya menjadi keyakinan ridho Allah berada pada ridho orang tua. Pasangan AMIN tak ubahnya meminta obat mujarab dari virus kebiadaban pemimpin dan pejabat yang mewabah di republik dekade ini.  Bukan pidato Anies yang menggelegar atau jumlah massa rakyat yang menggetarkan saat pendaftaran pasangan AMIN di KPU. Adab dan akhlak Anies-Gus Imin pada momen sungkeman kepada ibunya, merupakan indikator kelayakan moral dan integritas pemimpin yang mengusung perubahan. Bahkan harta setinggi dan sebesar gunung yang dimiliki seorang anak tak akan mampu membalas kebaikan seorang ibu. Betapapun hebat dan tingginya jabatan seorang anak, itu tak akan bisa menggantikan, tak sebanding apalagi menukar apa yang telah diberikan seorang ibu kepada anaknya. Bagi Ibu kebahagiaan seorang anak lebih penting dan utama, meski harus dilakukan dengan pengorbanan apapun. Begitupun bagi seorang anak, keikhlasan dan keridhoaan seorang ibu itu lebih dari cukup untuk membuatnya menjadi manusia yang berarti.  Bukan harta, bukan jabatan dan bukan status sosial yang didambakan seorang ibu pada anaknya, tapi tentang nilai-nilai dan makna kehidupan yang lebih prinsip yang diharapkan seorang Ibu yang harus dimiliki oleh semua anak-anaknya. Tidak sedikit anak atau seseorang yang memiliki segalanya di dunia, namun jangankan memberi manfaat pada banyak orang, kehidupan ibunya saja sering terabaikan. Banyak anak atau seseorang yang hidup dengan keterbatasan dan sekedarnya, akan tetapi dengan kesadaran jiwa dan kesadaran maknanya tetap dapat memuliakan ibunya. Pasangan Anies-Gus Imin begitu memesona pada saat pendaftaran capres-cawapres di KPU pada tanggal 19 Oktober 2023. Bukan suasana politik yang menegangkan, bukan pada pidato Anies yang menggelegar, bukan pula jumlah massa yang partisiiatif dan fantastis yang mengiringinya. Momen itu menjadi istimewa dan luar biasa tatkala Anies dan Gus Imin memulai rangkaian pendaftaran capres-cawapres itu dengan sungkeman pada ibunda Anies. Anies dan Gus Imin menundukkan tubuhnya, merendahkan kemanusiaannya dan bersimpuh di hadapan ibunya seraya mencium kakinya. Peristiwa yang bukan saja mengharukan, lebih dari itu menyeruak pesan kesholehan dan ketaatan kandidat presiden dan wakil  presiden pada seorang ibu. Mungkin publik lebih fokus mengamati dan menilai salah satu agenda pilpres 2024 itu dengan beragam analisis yang terkait dengan konstelasi dan konfigurasi politik nasional.  Pendukung dan lawan politik akan punya apresiasi dan reaksi masing-masing. Politisi, akademisi, dan boleh jadi para pejabat dan pengusaha ikut mencermati dinamika pendaftaran capres-cawapres Anies-Gus Imin.  Bisa dianggap biasa saja atau sekedar tradisi, namun sungkeman pasangan AMIN yang diikuti cium kaki pada Ibunda Anies menjadi berbeda dan begitu berarti. Ya begitu berarti karena menunjukkan ahliak kedua pemimpin, terutama saat negara diselimuti ketidakwarasan dan pelbagai penyimpangan.  Adab pasangan AMIN menjadi diferensiasi terhadap fenomena krisis moral dan miskin integritas pada kebanyakan pemimpin dan pejabat dalam rezim pemerintahan selama hampir satu dekade ini. Bukan cuma mengebiri demokrasi dan memanipulasi konstitusi, rezim pemerintahan begitu gersang dari kehadiran moral dan integritas. Menghalalkan segala cara demi syahwat kekuasaan dan menjadi gerombolan pemimpin tanpa adab dan akhlak. Anies dan Gus Imin dihadapkan pada realitas itu membawa harapan perubahan dan Indonesia yang lebih baik. Pasangan AMIN, terutama pada figur Anies terasa menjadi istimewa karena lebih banyak menampilkan sisi-sisi pribadinya yang humanis dan populis. Dalam badai kritik dan hujatan di tengah kontestasi pilpres 2024, Anies tetap bergeming dan bersabar menghadapinya. Tak ada respon negatif, tak ada sakit hati dan tak ada sedikitpun rasa dendam terhadap upaya mendawngreed dan pembunuhan karakter terhadap seorang Anies selama ini. Anies tetap menampilkan jatidirinya yang tenang, santun dan optimis dalam terpaan gelombang isu, intrik dan fitnah yang keji. Anies seperti dalam pidato pendaftaran capres-cawapresnya, tetap yakin dan bahkan meminta maaf mengecewakan orang-orang yang telah pesimis terhadap dirinya. Lebih dari sekadar rekam jejak, rekam karya dan rekam prestasi. Lebih dari sekedar kematangan dan kualitas behavior dalam kepemimpinannya. Lebih dari keyakinan dan optimisme membawa bangsa ini untuk keluar dari situasi krisis dan ketidakwarasan dalam penyelenggaraan negara. Anies dan Gus Imin bukan sekedar membawa janji-janji dan harapan perubahan.  Anies dan Gus Imin telah telah memulai sesuatu yang jauh lebih fundamental dan radikal sebelum menjadi Presiden dan wakil Presiden. Bahwasanya Pasangan AMIN telah memberikan edukasi sekaligus pencerahan, seperti memberi sinyal sepatutnya adab dan akhlak menjadi hal yang prinsip dan utama bagi semua anak bangsa terutama pada seorang pemimpin. Dengan mencium kaki ibu, Anies Rasyid Baswedan dan Muhaimin Iskandar telah menjadi lebih dari sekedar presiden dan wakil presiden bahkan sebelum pilpres 2024 dimulai.  Perubahan rakyat, negara dan bangsa Indonesia  menjadi lebih baik, dimulai dari perubahan adab dan akhlak para pemimpinnya. (*)

Setelah Pendaftaran Capres/Cawapres Dimulai

Oleh Radhar Tribaskoro | Komite Eksekutif KAMI  PUTUSAN MK yang membuka jalan pencawapresan Gibran bukan tujuan sebenarnya. Putusan itu direkayasa cuma untuk menaikkan posisi tawar ke Megawati. Untuk memaksa agar Megawati setuju pasangan Prabowo-Ganjar.  Dengan telah dipilihnya MMD sebagai pasangan Ganjar, tawaran itu telah ditolak. Apakah Gibran tetap jadi cawaprea Prabowo. Jokowi tidak akan melanjutkan paslon Prabowo-Gibran. Selain karena dapat kritikan keras, pasangan itu tidak bakal menang. Jokowi sekarang ibarat layangan putus, vonis MK telah meyakinkan Megawati bahwa Jokowi memang pengkhianat. Itu sebabnya ia perintahkan Ganjar Mahfud mendaftar di hari yang sama dengan AMIN, perlambang bahwa keduanya akan menjadikan Prabowo (Jokowi) sebagai musuh bersama.  Keadaan Jokowi yang sudah lepas dari PDIP menyenangkan Prabowo. Jokowi sekarang hanya milik dia. Namun sekarang, tanpa kewajiban mencawapreskan Gibran. Semua resources Jokowi memang akan tumpah ke Prabowo, tetapi apakah cukup untuk memenangkan? (*)

Prabowo Terancam Gagal Ikut Pilpres 2024

Jakarta, FNN - Bakal calon presiden (capres) Prabowo Subianto dikejar deadline (batas waktu) dan ancaman tidak bisa mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) terkait sidang vonis uji materi di Mahkaman Konstitusi (MK). Sidang MK akan membahas gugatan Undang Undang Pemilu khususnya syarat batas maksimal usia capres 70 tahun. “Prabowo terancam gagal maju dalam pemilihan presiden (pilpres) 2024. Deadline pendaftaran pilpres 25 Oktober 2023, tapi Prabowo belum memiliki bakal calon wakil presiden. Dia juga terancam syarat usia masksimal mengikuti pilpres,” kata analis politik Universitas Nasional (Unas), Selamat Ginting di Kampus Unas, Jakarta, Jumat (20/10). Menurutnya, usia Prabowo pada Oktober ini 72 tahun, sedangkan gugatan syarat usia maksimal 70 tahun. Jika permohonan uji materi itu dikabulkan MK, maka Prabowo tidak bisa mendaftarkan dalam pilpres 2024. “Sesuai dengan jadwal di MK, vonis sidang uji materi terkait usia maksimal menjadi capres cawapres akan berlangsung pada Senin 23 Oktober 2023. Artinya dua hari sebelum penutupan pendaftaran di KPU. Oleh karena itulah Prabowo akan berusaha untuk mendaftar pada 21 Oktober 2023 agar bisa menghindari keputusan MK,” ujar Ginting. Sejumlah pihak, lanjut Ginting, mempersoalkan batas usia maksimum capres. Antara lain dua gugatan meminta batas usia maksimum capres 65 tahun dan 70 tahun. Mereka mengacu pada syarat usia minimal 40 tahun, maka harus ada batas usia maksimal. Dikemukakan, uji materi Pasal 169 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, selain harus menyebut usia minimal, maka harus pula ada usia maksimal. Hal itu bertolak dari Pasal 6 ayat 1 UUD 1945 yang mengatur capres/cawapres harus mampu secara rohani dan jasmani melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai presiden. “Masuk akal uji materi itu, karena mengacu kemampuan jasmani dan rohani capres/cawapres antara lain dipengaruhi kematangan usia (batas usia minimal) serta masa usia produktif seseorang (batas usia maksimal),\" ujar Ginting, dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unas. Ginting menyebutkan usia para presiden Indonesia saat dilantik. Presiden Soekarno 44 tahun, Presiden Soeharto (46), Presiden BJ Habibie (62), Abdurrachman Wahid (59), Presiden Megawati (54), Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (55), dan Presiden Jokowi (53).  “Jadi kita tunggu saja keputusan MK dalam sidang vonis soal maksimal capres/cawapres pada Senin (23/10). Apakah Prabowo bisa lolos atau tidak?”pungkas Ginting yang lama menjadi wartawan bidang politik. (sws)

Akhirnya Mahfud MD yang Terpilih, Bagaimana Masa Depan Indonesia?

Oleh Agus Wahid - Pemerhati Sosial Politik Drama politik percawapresan di “geng” PDIP berakhir. Ditandani dengan Megawati Soekarnoputeri mengumumkan secara resmi: Machfud MD sebagai cawapres Ganjar Pranowo. Sebuah keputusan politik yang menyingikirkan beberapa cawapres lainnya seperti Andhika Perkasa, Sandiaga Uno, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) bahkan Gibran yang beberapa hari lalu digadang-gadang sebagai pendamping Ganjar Pranowo. Yang perlu kita telaah lebih jauh, apa faktor krusial yang membuat Megawati akhirnya memilih Menko Polhukham itu? Dan yang jauh lebih substantif, jika pasangan Ganjar-Machfud berkuasa, bagaimana nasib Indonesia ke depan? Akan terjadi rekonstruksi yang mencerahkan (maju dan beradab) atau justru semakin tersungkur? Sulit disangkal, pilihan terhadap Machfud MD (MMD) lebih dikarenakan faktor indentitasnya sebagai orang Nahdliyyin. Di samping MMD sebagai putera asli Madura dan – secara kultural lokal Pulau “Garam” – NU dinilai sebagai “agama”, namun di manapun tempat atau forum, MMD selalu menyebut dirinya sebagai orang Nahdliyyin. Jadi, tidaklah meleset Megawati mengambil MMD sebagai pendamping Ganjar karena mempertimbangan identitas kenahdliyyinan. Pertimbangan ini pun menunjukkan PDIP dan gengnya sesungguhnya menggunakan politik identitas. Paradoks dengan sikap dan opini yang dibangun selama ini yang notabene anti politik identitas. Mengapa pilih MMD? Fakta politik beberapa bulan terakhir menunjukkan, jauh sebelum Anies Baswedan menetapkan pasangannya (Muhaimin Iskandar) sebagai cawapresnya, sesungguhnya Machfud MD tak pernah masuk dalam radar yang akan mendampingi Ganjar. Namun, masuknya Gus Imin sebagai pendamping Anies dan fakta dukungan politik di level grass-root demikian luar biasa seperti yang kita saksikan di Surabaya, Malang, Sidoarjo, Bandung, Bogor, Makassar dan lainnya. Tak bisa disangkal, kehadiran AMIN di manapun selalu disambut dengan lautan manusia. Sangat menggetarkan lawan politiknya. Semua pemandangan lautan massa itu membuat Megawati tampak panik. Political panic yang membuat Megawati memandang sebelah mata ikatan emosional dengan AM Hendropriyono yang menyuguhkan menantunya (Andhika Perkasa) sebagai cawapres. Bahkan, mengabaikan Sandiaga Uno, yang – melalui PPP – selalu menempel Megawati sejak Ganjar ditingkatkan penugasannya sebagai capres. Kepanikan politik itu pula yang mendorong Megawati tak punya opsi lain kecuali harus memilih sosok Nahdliyyin sebagai wakil Ganjar.  Sekali lagi, langkah Megawati menjadi terobosan di tengah topografi politik Nahdliyyin yang sudah digapai pasangan AMIN. Maka, untuk merebut basis massa Nahdliyyin di Jawa Timur dan Jawa Tengah memang harus dengan menghadirkan sosok yang beridentitas Nahdliyyin. Meski tidak mungkin bisa memindahkan secara total dalam waktu singkat terhadap basis massa Nahdliyyin yang sudah “kesengsem” terhadap pasangan AMIN, namun pencawapres MMD diharapkan mampu membelah basis massa AMIN dari unsur Nahdliyyin itu.   Jika tidak merekrut unsur Nahdliyyin, maka basis massa Nahdliyyin Jawa Timur ataupun Jawa Tengah berpotensi besar terlepas. Setidaknya, dalam jumlah besar, suara dari kaum Nahdliyyin akan tetap pilih AMIN. Ini berarti potensi kekalahan Ganjar di dua daerah (Jatim dan Jateng) di depan mata. Sementara, PDIP sebagai komandan koalisi bersama PPP, Hanura dan Perindo bertekad harus memenangkan kontestasi pilpres. Karena itu, meski opsi (pilih MMD) sangat terpaksa, tapi itu harus dilakukan. Cukup cermat kalkukasi Megawati. Makes sense. Namun, itulah politik “rai gedhek” Megawati. Harus kita catat, kaum Nahdliyyin bisa dibilang 99% muslim-muslimah. 1% lainnya nonmuslim, tapi ngaku Nahdliyyin. Sementara, dalam berbagai kesempatan Ketua Umum PDIP – dengan lantang dan sinis – menyatakan PDIP tak butuh suara kaum muslim-muslimah. Lebih dari itu Ketum PDIP ini juga sangat sering mencederai kepengtingan umat, dalam level kebijakan (perundang-undangan atau implementasi). Sering kali juga nyinyir terhadap kegiatan keagamaan kaum muslim-muslimah. Namun, demi memenangkan kontestasi pilpres, Megawati menjilat kembali ludahnya sendiri, tanpa malu dan tanpa merasa berdosa terhadap umat.  Kini, tinggal umat harus mampu merewain (memutar ulang) rekam pelecehan itu, lalu ambil sikap politik tegas: no way for Megawati, her party and her special person who instructed as a vice-president. Inilah sikap tegas yang haruslah ditunjukkan di saat krusial seperti pilpres ini. Tidak mudah untuk menjaga konsitensi (keteguhan) sikap politik itu, di level grassroot ataupun elitis. Mendasarkan sikap pragmatisme masyarakat saat ini, konsistensinya mudah diubah, meski hanya dengan recehan rupiah, tanpa mengingat dampak pemasungan hak-hak selama lima tahun ke depan. Inilah problem politik liberal.  Kini, kita perlu merenung kalkulasi Machfud effect secara elektoral. Di atas kertas, pemilihan MMD memang ada pengaruh positifnya terhadap elektoral yang ditarget. Namun, Megawati tampak tidak komprehensif dalam mengkalkulasi. Maklum. Dalam suasana panik, memang tetap saja terdapat pemikiran yang tidak komprhensif. Dalam kaitan memilih MMD, ada beberapa catatan yang tampaknya adanya sejumlah faktor sosiologis yang diabaikan. Beberapa faktor itu dapat kita telaah secara kritis. Pertama, Megawati kurang memahami data mikro sosiologis MMD sebagai jatidiri Nahdliyyin. Dalam beberapa catatan internal Nahdliyyin, MMD dinilai bukan kadernya. Terlalu elitis. Tidak mengakar. Tidak nice looking di mata kaum Hawa. Bahkan, sebagian masyarakat menilainya terlalu “ndegek” (angkuh). Kaku. Kadang juga tidak konsisten pendiriannya. Mudah condong mencari posisi aman (savety playing).  Itulah sebab – saat pilpres 2019 – yang menjadi argumentasi kuat menolak MMD sebagai cawapres Jokowi, lalu – dalam hitungan beberapa menit – digantikan KH. Ma`ruf Amin. Dari proporsi jatidiri kenahdliyyinan itu, kiranya sangat dipertanyakan efek elektoral MMD. Ada kemungkinan besar munculnya sentimen positif karena kesamaan daerah kelahiran dari sebagian masyarakat Madura yang tertarik pada MMD. Namun, mayoritas grass-root Nahdliyyin di penjuru Tanah Air akan lebih melihat sosok Gus Imin, di samping faktor utamanya: Anies Baswedan sebagai capresnya yang memang memiliki sejumlah keunggulan komparatif dan kompetitif. Kedua, masih segar di ingatan publik adalah sikap dan pernyataan yang sangat tidak empatik terhadap persoalan hak-hak yang sangat asasi pada masyarakat Rempang. Kata-kata “mengosongkan”  dan itu beda dengan menggusur yang disampaikan Menko Polhukham itu sangat menyakitkan perasaan masyarakat Rempang dan rumpun etnis Melayu pada umumnya, bahkan masyarakat lainnya di Nusantara yang ikut merintih menyaksikan penginjak-injakan hak-hak hidup masyarakat Rempang. Pernyataan MMD sungguh tidak berkemanusiaan.  Dalam kaitan pilpres ini, pencawapresan MMD menjadi faktor kontraktif atau reduktif. Secara hipotetis dan psikologis, barisan sakit hati dari rumpun Melayu apalagi masyarakat Rempang tak akan mungkin menjatuhkan pilihan politiknya kepada MMD. Berarti, pasangannya (Ganjar) terkena getahnya (berpotensi lose). Akan semakin besar jumlah hilang suaranya jika dikaitkan dengan para pejunjung HAM yang bersifat nasional. Ketiga, dengan kapasitasnya sebagai Menko Polhukham, MMD tak bisa cuci tangan dari terbitnya Keppres No. 17 Tahun 2022. Memang ada 12 jenis pelanggaran HAM berat yang terjadi pada sebelum dan selama Soeharto memimpin, salah satunya (justru yang pertama) adalah peristiwa 1965 – 1966. Dapat dipahami ucapan prihatin Presiden yang mendalam terhadap 12 tragedi kemanusiaan itu, sehingga perlu minta maaf. Tapi, ketika salah satunya pelanggaran yang dilakukan PKI dan termasuk pihak yang harus dimintai maaf apalagi minta direhabilitas, inilah problem politik-ideologis yang sangat melukai perasaan para korban kekejaman dan kebiadaban PKI. Sebagai sosok yang tahu persis perjalanan sejarah nasional, terutama terkait gerakan komunis di Tanah Air, harusnya MMD tidak membiarkan masuknya kejahatan PKI sebagai korban yang harus dimintai maaf, apalagi disertai program rehabilitasi nama baik dan bantuan sosial kepada para korban PKI. Perlu kita garis-bawahi Keppres tersebut – terutama bagi seluruh komponen masyarakat yang menjadi korban keganasan PKI – akan melihat sikap politik MMD. Seorang MMD dinilai gagal dalam membedakan sejumlah pelanggaran HAM yang tertuang dalam Keppres 17 Tahun 2022. Memang, PKI telah melakukan kejahatan HAM berat, tapi tidak harus masuk dalam paket yang dimintai permaafannya dan merehabilitasi nama baiknya serta program bantuan sosial bagi keluarganya. Sebuah renungan, berapa jumlah penduduk kita yang dulu menjadi korban keganasan PKI, baik dari anasir Nahdliyin, masyarakat muslim-muslimah pada umumnya, bahkan kalangan nasionalis yang dulu memang diburu? Pasti jutaan. Pada akhirnya, mereka akan melakukan perlawanan dengan tidak rela memilih atau mendukung MMD dalam pilpres 2024. Keempat, MMD tergolong menjebak Habib Rizieq Shihab (HRS), meski dengan ucapan komparatif dan mengecilkan sosok HRS itu. Sikap nyinyirnya mendorong massa pengagum HRS membuktikan kekeliruan ucapan MMD. Kerumunan massa pecinta HRS yang – dengan system ubin sebagai pendekatan penghitungan mencapai kisaran 5 juta – hal ini menjadi pintu masuk untuk mengkriminalisasi HRS dengan argumen tdak mentaati aturan social distanting semasa covid-19 itu. Fakta bicara, buntutnya Panjang: HRS berhasil dijebloskan. Catatan kriminalisasi itu – di mata keluarga besar pecinta HRS di seluruh Tanah Air – tak akan pernah lupa dengan penistaan MMD. Seberapa besarnya, sulit dicari angka pastinya secara matematis. Namun, jika kita mengunakan sistem hitung “aksentuasi”, kita bisa menghitung berapa banyak jumlah habaib dan ulama di Tanah Air ini. Memang tetap terbatas jumlahnya. Tapi, jika kita kaitkan dengan aksentuasinya, maka jumlahnya puluhan jutaan. Mereka yang merasa gurunya atau sahabatnya didzalimi MMD akan berhitung: inilah saatnya membalas karma. Tidak dengan kata kotor apalagi tindakan kekerasan secara fisik, tapi cukup dengan sikap “sorry to say, we can`t choose MMD”. Dan kelima, publik belum bisa melupakan pernyataannya, “Malaikat pun jika masuk dalam sistem saat ini akan menjadi Iblis”. Pernyataan MMD benar. Bisa dipertanggungjawabkan secara sosiologis. Namun, pernyataan itu juga membenarkan sistem yang amburadul itu. Yang menjadi persoalan serius, dengan masuknya MMD sebagai cawapres dan jika berhasil dalam kontestasi, justru akan memvalidasi sistem Iblis yang sudah merajalela. Maka, negeri ini di masa mendatang akan jauh lebih hancur. Kredibelitasnya sebagai ahli hukum dan komitmennya untuk menegakkan hukum akan berubah: masuk ke dalam sistem Iblis. Minimal, MMD tak akan mampu bersikap adil terhadap para pelaku kejahatan, terutama dari kaum keah putih. Di depan mata, MMD tak akan berani menyentuh Ganjar dan Puan Maharani yang – menurut penuturan Nazarudin (mantan Bendahara DPP Paryai Demokrat) dan Setyo Novanto (mantan Ketua Umum Golkar) – kedua elit PDIP itu sama-sama menerima dana haram AS$ 500.000. Juga, tak akan mengutak-utik keterlibatan suami Puan Maharani dalam kasus BTS di Kementerian Kominfo itu.  Dalam kaitan itu, Megawati gagal total memahami integritas MMD dalam dunia hukum. Kesan hebat MMD yang dikenal berani membongkar dugaan transaksi yang mencurigakan kerugian negara senilai Rp 349 trilyun, ternyata menjadi “dagangan” pencitraannya. Megawati kena prank. Maka, jika MMD tetap konsentrasi pada penegakan hukum, yang akan terjadi justu tebang pilih: menghabisi lawan-lawan politiknya atas nama hukum. Hal ini akan menambah misi besar perbaikan negara justru diwarnai hirup-pikuk drama. Tidak sehat bagi kehidupan bernegara. The last but not least, sebagai sosok yang dikenal pemberani, MMD – jika tetap terpanggil untuk menegakkan hukum – akan menjadi bomerang bagi Ganjar itu sendiri. Dengan landasan hukum wapres tak bisa dipecat oleh presidennya, maka MMD bisa dan berpotensi untuk menancapkan perbedaan kontrasnya. Di sana kita akan saksikan ketidakakuran hubungan Ganjar-MMD. Implikasinya adalah ketidakefektifan tata-kelola kenegaraan atau pemerintahan. Karenanya, tidaklah berlebihan jika muncul analisis bahwa Indonesia ke depan di bawah Ganjar-Machfud MD justru akan semakin tenggelam. Menambah kehancuran dari episode rezim Jokowi. Jauh dari cita-cita yang notabene akan menjadikan negeri ini lebih maju dan lain-lain dengan sejuta kata indahnya.  Lalu, haruskah kita biarkan kandidat pemimpin nasional yang justru akan meredupkan cahaya Indonesia ke depan? Dalam sistem demokrasi, tentu partisipasi politik (hak untuk dipilih) bagi Ganjar-MMD haruslah dihormati, apalagi sudah mendaftar secara resmi di KPU sebagai pasangan capres-cawapres. Namun, atas nama panggilan masa depan Indonesia yang mencerahkan memang harus menghindari capres-cawapres yang – secara dominan – diusung PDIP itu. Satu hak demokratik yang juga harus dihormati. Jangan galau sobat, masih ada AMIN. Pilihan yang joss. Tasikmalaya, 19 Oktober 2023.

Ana Kere Akan Terlempar Dari Bale

Oleh Sutoyo Abadi - Koordinator Kajian Merah Putih  Literatur  Jawa, sanepan \"Ana Kere Munggah Bale\" itu sanepan Jawa kuno yang terus hidup dalam ranah budaya Jawa, maknanya pun makin bervariasi sekalipun pakem induknya tetap tidak berubah. Kere, di sini dimaknai  bukan hanya manusia yang miskin harta benda, namun lebih parah, miskin intelektual, miskin adab dan tatakrama. Bahkan dalam ilmu politik modern, manusia yang kapasitas, kapabilitas dan integritasnya minus. Bale, pada sistem kerajaan (monarki) adalah tempat terhormat bagi masyarakat terhormat, bagi para bangsawan kerajaan. Sangat tidak mungkin pada waktu itu bale agung di tempati para abdi dalem (rakyat biasa). Kecuali saat ada pisowanan agung toh posisinya tetap sebagai abdi dalem. Hanya dalam perkembangannya, dikaitkan dengan manusia yang tuna segalanya, di beri atau mendapatkan kekuasaan. Tidak kuat drajat menjadi mabuk kepayang. Berhalusinasi menjadi raja dengan segala tingkah anehnya. Menggunakan bale agung sebagai tempat pernikahan dengan kebesaran memakai pernik pernik simbol kerajaan, dari pakaian, kuluk dan aksesoris lainnya. Si Kere akan menyalahgunakan kewenangan dan kekuasaannya , artinya bale sebagai panggung terhormat, disalahgunakan untuk kepentingan pribadi dan keluarganya. Aji mupung: mumpung ana, lan mumpung kuasa. Sanepo Jawa , ketika si Kere dipersilahkan pilih jeneng (sebagai satria atau negawaran) atau pilih jenang (kamukten harta). Si Kere menjawab pilih jeneng, dengan gayanya kesatria santun - pura pura tidak sombong, jujur ,  padahal mengejar jenang, berdasar fakta empirik perilaku dan tabiatnya yang brangasan. Tiba tiba menjadi kaya tidak tahu dari mana sumber kekayaannya didapat, bergaya arogan, sombong dan merasa kekuasaan itu mutlak menjadi miliknya. Sesuai watak aslinya sebagai Kere, menggunakan aji mumpung berkuasa, tidak  kuat menyembunyikan watak aslinya yang serba minim, berubah menjadi orang mabuk dan kesurupan. Kata DR. Mulyadi Opu Tadampali : \"bukan hanya minim etika publik yang ditabrak tapi juga akan menabrak empat di atasnya - norma religius, norma moral, nalar ilmiah dan nalar etik.  Lakunya dhedhemitan atau membo-membo badhar (melonjak melonjak meniru - niru lagak cara hidup orang besar atau orang kaya,  yang kurang baik dipermak agar kelihatan baik). Lebih mengerikan lagi, si Kere mengajak anak-anak, menantu dan cucunya manggung, sebuah pencitraan politik, agar publik mau mengakui, derajat si Kere ini terhormat dan hebat.  Anak-anaknya yang faktanya bodoh dan memuakkan dianggap hebat. Ke mana-mana anak, menantu dan cucunya diajak dan dipertontonkan ke publik, seolah olah sebagai manusia hebat. Politik dinasti, yang selama ini berlaku bagi Raja dan keturunannya, ternyata si Kere dan kerandhahnya ikut-ikut melestarikan, hanya demi sebuah pengakuan akan sebuah eksistensi yang mengerikan. \"Ana kere munggah bale\" jadi tontonan orang banyak. Karena, bale memang bukan tempat bagi si Kere dan kerandhahnya. Itulah si Kere yang setiap hari tampil seolah sebagai bangsawan dan negarawan. Bergaya sok merakyat, sederhana, santun, hanyalah sebuah kamuflase politik untuk sebuah atau seonggok agenda tersembunyi. Akhirnya pasti terbongkar watak aslinya.  Dan akhirnya harus menanggung semua akibatnya bulan hanya kembali tampil sebagai si Kere tetapi akibat perilakunya akan berakhir hidup nestapa di balik teruji besi. *****

Koalisi Perubahan dan AMIN Melawan Kelompok Radikal, Intoleran, dan Pemecah Belah Umat

Oleh Laksma TNI Pur Ir. Fitri Hadi Suhaimi, MAP - Analis Kebijakan Publik Bersatunya PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) dan PKS (Partai Keadilan Sejahtera) disikapi beragam. Di akar rumput, di masyarakat luas, bersatunya kedua partai ini disambut dengan kegembiraan yang luar biasa dan penuh dengan rasa sukur kehadirat Allah Tuhan semesta alam. Hal ini ditunjukkan dengan hadirnya ribuan bahkan mencapai satu juta lebih rakyat menyambut kedatangan Anies Rasyid Baswedan dan Gus Muhaimin Iskandar di Jawa Barat dan Jawa Timur.  Di Bandung, di Stadion Jalak Harupat pada hari Minggu, 01 Oktober 2023 sekitar 30 ribu orang memenuhi stadion. Kemudian di Malang Raya pada hari Minggu  tanggal 8 Oktober 2023  lebih dari 100 ribuan warga masyarakat dalam acara yang bertajuk “Jalan Sehat Bareng Amin”. Acara tersebut digagas oleh Koalisi Perubahan bersama Gus Muhaimin Iskandar kader NU sekaligus ketua Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Demikian pula ketika Anies dan Gus Imin mengadakan acara Mlaku Bareng Amin beberapa hari kemudian di Sudoarjo yaitu pada Minggu 15 Oktober. Pada hari itu  1,2 (satu juta dua ratus ribu) warga tumpah ruah di Sidoarjo gegap gempita menyambut kehadiran bakal calon presiden dan wakil presiden Anies dan Cak Imin atau pasangan Amin. Kemudian di Jakarta pada Kamis 19 Oktober rakyat tumpah ruah di jalan raya menuju kantor KPU (Komisi Pemilihan Umum)  mengiringi dan mengantar pasangan calon presiden dan wakilnya, pasangan Amin ke kantor KPU untuk mendaftarkan sebagai calon Presiden dan calon wakil Presiden pada Pemilu 2024. Mereka yang datang tersebut bukan saja dari Jakarta, bahkan juga dari Sumatyra Barat dengan inisiatif dan biaya sendiri. Inilah fakta yang tidak terbantahkan, nyata di depan mata, rakyat Indonesia begitu antusias menyambut calon presiden dan calon wakil presiden  mereka Anies Rasyid Baswedan dan Muhaimin Iskandar atau Amin dari koalisi partai Nasdem, PKS dan PKB. Fakta di Malang, Sidoarjo dan di Jakarta pada Kamis tanggal 19 Oktober sekaligus menjungkalkan survei berbayar yang selalu menempatkan Anies pada urutan buncit.  Ironisnya, di saat rakyat umat Islam ingin bersatu padu membangun peradaban untuk kemajuan bangsa Indonesia, bebas dari belenggu oligarki, bebas dari penjajahan ekonomi di segala bidang, ingin meningkatkan kesejahteraan rakyat, malah oleh sebagian kecil orang dituduh menunggangi agama, dituduh politisi agama. Bersatunya PKS dan PKB dalam satu perjuangan mereka pandang dari sisi negatif, padahal cara itu dilarang agama Islam. Menyedihkan, mereka dengan bahasa bahasa agama Islam telah berprasangka buruk terhadap apa yang dilakukan PKS dan PKB saudara seiman mereka. Seandainya orang orang yang merasa ahli agama itu sadar akan apa yang mereka lakukan, bahwa agama melarang berprasangka buruk terhadap saudaranya sendiri yaitu sesama umat Islam, lalu mengikuti ajaran Islam untuk berpikir positif, tidak berprasangka buruk,  maka Insya Allah Indonesia ke depannya akan lebih baik dari sekarang, harga barang barang terutama kebutuhan pokok tidak lagi melangit sehingga mampu dibeli dengan murah oleh masyarakat. Tidak lagi ketergantungan pangan dari luar negeri. Begitu juga dengan lapangan kerja, mudah didapat masyarakat dan tidak dibuka lebar lebar untuk kepentingan orang asing. Bumi dan isinya di negeri ini sepenuhnya dikelola negara untuk kepentingan kesejahteraan rakyat Indonesia. Rakyat tidak lagi dijejali dengan janji janji bohong yang tidak habis habisnya. Kalian berkata, NU untuk semua, tapi mengapa kalian menuduh,  Yaa Lal Wathon telah diambil oleh PKS, kalian menuduh warga NU telah diambil PKS, bahkan kalian menuduh masjid masjid NU telah diambil PKS, bukankah kalian sendiri yang mengatakan NU untuk semua. Ingatlah akan dosa kawan, ingatlah bahwa fitnah lebih kejam dari pembunuhan. Mengapa kalian tidak berpikir sebaliknya? Mengapa kalian tidak berpikir bahwa PKB telah menjadikan warga PKS menjadi seperti kalian? Mengapa kalian tidak berpikir Cak Imin telah berhasil mengubah PKS dan Nasdem menjadi seperti kalian  atau menjadi kalian seutuhnya?  Menjadi seperti yang kyai kyai kalian ajarkan. Ketika Anies Rasyid Baswedan bertutur kata sopan, santun dan dianugarahi berwajah tampan, mengapa hal itu kalian jadikan fitnah? Mengapa tutur kata indahnya tidak kalian jadikan tauladan. Bukankah Rasul junjungan kita mengajarkan untuk bertutur kata yang indah. Ayo mari bangkit menuju persatuan. Ingatkah kalian ketika PKB yang sesungguhnya milik kalian, disia siakan dengan janji pemimpinya Gus Muhaimin Iskandar, kader ormas kalian untuk menjadi calon wakil presiden pada Pemilu 2024, berapa lama mereka telah menunggu? Masih kurang sabarkan mereka menunggu? Ketika hidayah Allah masuk ke jiwa jiwa yang tenang, maka bersatulah PKB dengan PKS dan Nasdem, mengapa kalian menjadi kebakaran jenggot? Mengapa kalian sebelumnya tidak  kebakaran jenggot ketika PKB kalian hanya di PHP? Tidakkah kalian melihat warga kalian ada di PKS dan Nasdem? Tidakkah kalian melihat cucu pendiri NU  sekaligus pencipta lagu Yaa Lal Wathon ada di PKS?  Tidakkah kalian berfikir bahwa warga kalian yang ada di PKS dan Nasdem telah berhasil menyadarkan warga PKS dan Nasdem sehingga mereka melakukan apa yang kalian ajarkan?  Mengapa kalian tidak berpikir seperti itu? Mengapa kalian berpikir sebaliknya menuduh mereka telah melakukan tidakan yang tidak terpuji. Sadarlah wahai bangsaku, pilihan kita pada Pemilu 2024 boleh berbeda, tapi janganlah berburuk sangka apalagi fitnah terhadap orang lain atau lawan politik kita. Buruk sangka dan fitnah adalah pangkal dari perpecahan, intoleran dan radikal. Politik indetitas dengan indentitas yang baik apapun, apalagi indentitas agama tidak salah secara hukum maupun etika karena umat manusia didunia ini memang diberi indentitas. Indentitas indentitas itu berkelompok membentuk komunitas, mengapa pula kita salahkan komunitas indentitas itu. Ingatlah, negeri ini dibangun dari berbagai indentitas, ada yang berdasarkan indentitas kesukuan, ada yang berdasarkan indentitas profesi, ada pula yang berdasarkan indetitas agama, indentitas kepentingan dan lain sebagainya.  Indentitas indentitas itu diakui di Indonesia, BHINNEKA TUNGGAL IKA, walau berbeda beda, tapi kita satu jua. Itulah Indonesia.  Medeka, Allahuakbar Jakarta 19 Oktober 2024.

Indonesia di Lorong Gelap Gulita

Oleh Sutoyo Abadi - Koordinator Kajian Merah Putih  NEGERI ini milik semua rakyat Indonesia bukan hanya milik perorangan mabuk halusinasi merasa paling berkuasa dan menguasai. Tampil dengan percaya diri seperti hanya mereka yang berhak ada, menentukan dan mengatur negara seenaknya. Manusia yang tidak sadar bahwa kuasa atau kekuasaan itu berbingkai waktu sifat fana, semuanya akan berahir. Tetap saja tampil pongah memaksakan kehendaknya atas remote pihak luar,   atas nama hak menghalangi hak, seolah-olah yang lain tak berhak, dengan congkak dan sombong. Kehidupan itu sunnatullah, akan meniti takdirnya sesuai ayat - ayat kauniyah membawa warta untuk direnungi. Hidup ini dalam kesementaraan, sesuai kodrat yang telah menera sesuatu nafas ilahiah. Kontestasi seperti hanya dongeng tentang keculasan mengatas namakan  siapa untuk tujuan siapa mengapungkan opini yang dipaksakan menyerang siapa pun yang berbeda, memuliakan hanya mereka yang dianggap sama atau dianggap sebagai tuannya. Mematut wajah menjadi siapa membungkam suara rakyat  menepikan siapapun karena merasa negeri ini hanya untuk diri dan kelompoknya. Hari-hari ini negerimu sedang memanggungkan manusia yang merasa kuasa untuk selamanya. Tidak mau dengarkan suara rakyat  yang terluka, meratap, menangis sedih karena kesulitan hanya untuk bisa hidup dengan sesuap nasi.  Pemimpin negara yang telah hilang kesadarannya, tak mampu lagi mengungkapkan rasa atas nama kesadaran, mereka membenam di lahan kekuasaan angkara murka. Serapuh itukah kekuatan dan kekuasaan  dipancarkan hanya demi angan kemuliaan yang pandir dan semu. Ruang maya penuh sesak terjejali opini para buzzer media didominasi kerja influencer yang sedang berburu nasi bungkus. Kebohongan, penipuan, manipulasi, kejahilan, mengadu domba memenuhi jagad media sosial. Sengeri inikah kita menemukan angan angan eloknya demokrasi. Kegundahan terekspresi sebagai solusi, kekuasaan  tak menjadi tujuan kemaslahatan, justru saling menindas dan memaksa. Setiap saat sang penguasa berpidato layaknya khutbah kebajikan, yang muncul perilaku tega menikam kejam begitu tega tampil dalam kekejaman  yang seolah olah  semua dalam genggamannya. Hati tak bisa terus dibohongi, rasa tak bisa terus dijejali luka telanjur menganga dalam pergumulan candu kuasa, yang sudah dikendalikan penjajah gaya baru. Rakyat hidup dalam penantian, dari waktu ke waktu yang tak menentu. Hadirnya penguasa yang arif dan bisaksana, pemilik rasa bahwa kekuasaan hanyalah amanah untuk kebaikan semua. Keadaan yang makin rumit. Kerumitan yang dibuat oleh bangsanya sendiri, keadaan makin gelap. Rakyat meratap hanya bisa berdoa atas kehendak-Nya segera keluar dari duka,  lahirnya cahaya terang dari negeri yang tertutup kabut kegelapan. Kita mesti bergerak berjuang bersama, jangan lagi ada saling menegasi, sembari  mendekat Tuhan Yang Maha Kuasa memohon pertolongan Indonesia segera keluar dari lorong yang gelap gulita. ****

Lima dari Sembilan Hakim MK Termasuk Anwar Usman Mengkhianati Konstitusi: Revolusi di Depan Mata

Jakarta, FNN  - Tim Petisi 100 dan UI Watch kembali menggelar diskusi menyoroti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan gugatan usia calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres). Diskusi bertemakan \"Lima dari Sembilan Hakim MK, Termasuk Ketua MK Anwar Usman, Mengkhianati Konstitusi Demi Gibran: Revolusi di Depan Mata??\" itu dilaksanakan pada Rabu (18/10/2023). Hadir dalam diskusi tersebut antara lain Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan, Anggota Badan Pekerja Petisi 100 Marwan Batubara dan Mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana yang hadir secara online. Acara dipandu oleh Pimpinan Center of Study for Indonesian Leadership (CSIL) HM Mursalin. Narasumber pertama Anthony Budiawan, ia mengatakan bahwa putusan MK tersebut berbau Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). \"Kita semua sudah mengerti apa yang terjadi di MK, putusan MK ini adalah putusan yang sangat berbau KKN yaitu untuk memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada Gibran untuk menjadi Cawapres,\" ujarnya. Kata Anthony, meskipun belum tentu Gibran dicalonkan sebagai wakil presiden, tetapi manipulasi hukum dari konstitusi ini patut disayangkan. \"Ini bertentangan atau berlawanan dengan hukum sehingga harus diusut tuntas,\" katanya. Ia mengatakan, MK tidak berwenang untuk menambah atau mengurangi batasan usia, karena yang berhak menambah norma itu adalah DPR. \"Berarti MK sudah merampas wewenang dari DPR, artinya sudah melanggar konstitusi,\" jelas Anthony. Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) itu menduga, apa yang terjadi di MK itu merupakan upaya untuk kepentingan Presiden Joko Widodo yang sebentar lagi masa jabatannya akan berakhir. \"Apa yang terjadi kelihatannya ini adalah karena Pak Jokowi sudah dalam posisi yang terpojok dan sepertinya segala cara itu dihalalkan. Oleh karena itu Pak Jokowi ingin berkuasa terus atau setidak-tidaknya masih berada di pusat kekuasaan,\" tuturnya. Terkait hal tersebut, Anthony mengingatkan beberapa tahun lalu sudah ada upaya dengan munculnya wacana Jokowi akan diperpanjang jabatannya, kemudian juga upaya memperpanjang periode jabatan. Lalu juga mempromosikan Ganjar Pranowo sebagai calon presiden, namun kemudian Ganjar diambil Megawati. Upaya melanggengkan kekuasaan tersebut, kata Anthony, dikarenakan Jokowi dihadapkan sejumlah permasalahan. Mulai dari kasus ijazah palsu, kasus Freeport, Kereta Cepat dan kasus-kasus lainnya. \"Permasalahan-permasalahan ini yang harus diamankan, maka mau tidak mau mereka harus berkuasa lagi dan menghalalkan segala cara, tetapi pada akhirnya semakin memperdalam kesalahan-kesalahan itu sendiri. Dan kasus Mahkamah Konstitusi ini sangat brutal dan harus diusut tuntas karena ini sudah mempermainkan konstitusi,\" tandasnya. Narasumber berikutnya Mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana. Ia menegaskan putusan MK Nomor 90 (”Putusan 90”) terkait konstitusionalitas syarat umur capres-cawapres, yang mengabulkan sebagian permohonan, dan membuka peluang kepala daerah yang pernah/sedang menjabat untuk menjadi kontestan dalam pemilihan presiden adalah tidak sah. \"Putusan 90 mempunyai kecacatan konstitusional yang mendasar, dan karenanya tidak sah,\" tegas Denny. Ia mengatakan, argumentasi hukum yang mendasari putusan \"Perkara 90\" tidak sah, salah satunya karena hakim, dalam hal ini Ketua MK Anwar Usman, tidak mundur dalam penanganan perkara di mana sang hakim mempunyai benturan kepentingan. Benturan kepentingan yang dimaksud, kata Denny, ialah Anwar Usman merupakan ipar Presiden Joko Widodo dan keluarga dari Gibran Rakabuming Raka yang belakangan digadang-gadang akan menjadi bakal cawapres Prabowo Subianto.  Denny menjelaskan, Undang-undang nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman telah mengatur, \"seorang hakim... wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa.\"  \"Akibat dari tidak mundurnya hakim yang mempunyai benturan kepentingan tersebut adalah putusan dinyatakan tidak sah,\" tegas Denny. Kembali ia menegaskan bahwa Putusan 90 tersebut sarat dengan cacat konstitusional dan tidak sah. \"Karena itu saya merekomendasikan, yang pertama Putusan 90 yang tidak sah sebijaknya tidak dijadikan dasar dan pertimbangan dalam perhelatan sepenting Pilpres 2024 yang akan sangat menentukan arah kepemimpinan Bangsa Indonesia, yaitu Presiden dan Wakil Presiden 2024-2029,\" jelasnya. Denny mengatakan bahwa siapapun yang menjadi pasangan calon dalam Pilpres 2024 —bukan hanya terkait Gibran Rakabuming Raka— dengan hanya menyandarkan diri pada Putusan 90 akan beresiko dinyatakan tidak memenuhi syarat sebagai paslon dalam Pilpres 2024.  \"Bahkan, kalaupun berhasil terpilih, beresiko dimakzulkan (impeachement) karena sebenarnya tidak memenuhi syarat sebagai pasangan calon presiden ataupun wakil presiden, karena hanya berdasarkan dengan Putusan 90 yang cacat konstitusional dan tidak sah,\" ujarnya. Sementara itu, kepada MK, dengan dukungan seluruh elemen yang masih sadar dan cinta Indonesia, Denny menyarankan sebaiknya memproses pelanggaran kode etik yang terjadi dalam Putusan 90, dengan tujuan menegakkan kembali marwah, harkat, martabat, dan kehormatan MK. Anggota Badan Pekerja Petisi 100 Marwan Batubara yang menjadi narasumber selanjutnya mengatakan bahwa putusan MK ini merupakan salah satu upaya rezim oligarkis untuk mempertahankan kekuasaan. \"Putusan MK ini merupakan salah satu upaya rezim oligarkis yang penguasanya adalah Jokowi sebagai presiden dan sejumlah menteri, salah satunya itu Luhut Panjaitan dan sejumlah menteri lain untuk tetap mempertahankan dominasi dan kekuasaan,\" ujar Marwan. Menurutnya, apa yang dilakukan MK merupakan pelanggaran tingkat tinggi dan sangat fatal karena menyangkut pelanggaran terhadap hal yang sangat strategis yaitu konstitusi.  Marwan juga mengingatkan agar publik tidak terkecoh untuk menganggap pelanggaran fatal tersebut hanya fokus pada masalah conflict of interest karena hubungan keluarga Anwar Usman dan Jokowi. Tetapi juga pada berbagai pelanggaran konstitusi dan berbagai UU secara sistemik yang melibatkan tiga lembaga kekuasaan, eksekutif, legislatif dan yudikatif.  Marwan mengingatkan, pengkhianatan konstitusi bukan hanyak dilakukan oleh Ketua MK Anwar Usman, tetapi juga oleh empat hakim MK, yakni Daniel Yusmic, MG Hamzah, Manahan Sitompul dan Enny Nurbaningsih. \"Tidak hanya melanggar konstitusi, tetapi juga melanggar amanat reformasi dalam TAP MPR Nomor 11 Tahun 1998, kemudian juga melanggar prinsip-prinsip pembagian kekuasaan yaitu kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif,\" ungkap Marwan. Meski demikian, ia pesimis pelanggaran fatal tersebut bisa diproses secara hukum. \"Maka diskusi ini kenapa ada judul Revolusi di Depan Mata, karena tampaknya tidak akan ada proses hukum yang akan diterapkan untuk menghentikan pelanggaran konstitusi dan demokrasi ini. Padahal mestinya DPR, MPR dan MK segera memulai proses pemakzulan sesuai amanat Pasal 7A UUD 1945. Maka rakyat dihimbau untuk bergabung melakukan perlawanan, salah satunya melalui gerakan revolusi\", kata Marwan. (*)