Marry Crisis & Happy A New Fear
Oleh Faisal S Sallatalohy | Pemerhati Kebijakan Publik
Pemerintah Prabowo melempar kesalahan dengan mengatakan kenaikan PPN 12% merupakan perintah pasal 7 ayat (1) UU 7 Tahun 2021 tentang perpajakan.
Tepatnya pada poin b pasal ini menyatakan: "sebesar 12% yang mulai berlaku paling lambat pada 1 Januari 2025.
Pemerintahan Prabowo melempar salah dengan mengatakan, aturan ini merupakan kreasi Presiden Jokowi dan 8 fraksi di DPR.
Awalnya, angka PPN 12% diusulkan Jokowi lewat penerbitan Surpres No. R-21/Pres/05/2021 yang dikirimkan ke DPR. Lewat Supres tersebut, Jokowi meminta DPR merevisi UU No. 6 Tahun 1983 tentang perpajakan pada 5 Mei 2021.
Jokowi mendesak agar revisi aturan tersebut segera dibahas dan disetujui dengan prioritas utama. Usulan inipun diproses oleh PDIP sebagai ketua Panja DPR.
Akhirnya, terbitlah UU No.7 tahun 2021 sebagai pengganti UU No. 6 Tahun 1983 tentang harmonisasi perpajakan. Dalam pasal 7, ditambahkan ketentuan PPN 12% sesuai perintah Presiden Jokowi kala itu.
Dari latar belakang ini, jika pemerintahan Prabowo mengatakan mereka hanya menjalankan perintah undang-undang yang ketentuannya diinisiasi Presiden Jokowi dan disepekati 8 fraksi DPR kala itu, sangatlah benar.
Namun apakah dengan latar belakang ini, pemerintah Prabowo layak melempar kesalahan kepada Jokowi dan 8 fraksi DPR yang membahas dan menyepakati aturan tersebut dalam konteks kenaikan PPN 12% saat ini?
Tentu saja tidak tepat. Jokowi dan DPR memang yang menginisiasi dan menetapkannya, tapi Pemerintah Prabowo yang melaksanakannya.
Jokowi dan DPR kala itu, patut dipersalahkan. Demikian juga, Prabowo dan DPR saat ini, layak untuk dipersalahkan.
Kenapa?
Karena ketentuan PPN dalam pasal 7 UU No. 7 Tahun 2021, tidak hanya mengatur soal kenaikan PPN 12%. keberlakuan PPN 12% yang dimaksud dalam pasal ini, juga tidak bersifat mutlak wajib dilaksanakan. Selain itu, dalam pasal ini juga diatur soal angka PPN yang tidak mutlak harus 12% (bisa kurang, bisa lebih).
Dalam pasal 7 ayat (3) disebutkan, PPN dapat diubah (diberlakukan) dari paling rendah 5% dan paling tinggi 15%.
Dalam pembahasannya di DPR yang hampir 3 bulan hingga disahkan, disepakati bahwa penentuan PPN 5% hingga 15% disesuaikan dengan kondisi ekonomi. Kalau ketahanan perekonomian masyarakat baik, PPN bisa dinaikan lebih tinggi. Jika rendah, maka harus dilakukan penyesuaian ke angka yang lebih rendah.
Kenyataan saat ini, kondisi ekonomi masyarakat sedang tidak baik-baik saja. Kemiskinan tinggi, pengangguran tinggi, PHK meluas, pendapatan rendah. PPN 12% mendatangkan implikasi kenaikan Inflasi 9,0% dengan dampak terciptanya 12,7 juta kemiskinan baru.
Artinya, tidak layak PPN dinaikan dari 11% ke 12%. Seharusnya diturunkan. Dimana proses penurunan PPN di bawah 11%, diatur dan sejalan dengan perintah pasal 7 ayat (3).
Tapi kenapa pemerintah Prabowo dan DPR saat ini, tidak menggunakan kewenangan tersebut untuk menurunkan malah menaikkan PPN ?
Berikutnya, pengaturan dalam pasal 7 ayat (4), menyatakan bahwa: perubahan tarif PPN sebagaimana dimaksud ayat (3), diatur dengan peraturan pemerintah setelah disampaikan pemerintah kepada DPR untuk dibahas dan disepakati dalam RAPBN.
Aturan ini memberi kewenangan khusus kepada Prabowo selaku kepala eksekutif untuk menyodorkan dan mengusulkan besaran angka PPN.
Prabowo tahu kondisi ekonomi masyarakat saat ini sedang tidak baik-baik saja. Masyarakat tidak siap menghadapi PPN 12%. Tapi kenapa Prabowo malah mengusulkan angka 12%?
Dengan kondisi sulit yang dihadapi masyarakat, terutama kelas menengah-bawah, Prabowo punya kewenangan untuk meringankan beban rakyat dengan mengusulkan angka PPN yang turun dari 11%. Tapi kenyataannya, justru dinaikkan.
Setelah perlakuan bengis tidak peduli rakyat, pantaskah pemerintahan Prabowo melempar salah kepada Jokowi dan DPR sebelumnya?
Bajingannya, Prabowo diberi kewenangan pasal 7 ayat (3) dan ayat (4) untuk memilih dan menyodorkan angka PPN di bawah 11%, bahkan bisa turun sampai 5%. Tapi malah memilih menaikkan.
Prabowo melakukannya dengan riang gembira sambil melihat celah politis untuk melindungi diri dan melempar kesalahan kepada Jokowi dan DPR sebelumnya.
Sekarang, keputusan akhir PPN 12% tetap berada di tangan Prabowo. Di tengah keadaan force majeure, Prabowo punya pilihan dan kewenangan untuk membatalkannya. Bisa gunakan pasal 7 ayat (4) untuk keluarkan Peraturan Pemerintah dan diubah dalam APBN-P 2025 atau lewat lewat penerbitan Perppu.
Jika Prabowo tidak melakukannya, maka tidak ada bedanya dengan Jokowi. Penipu berbaju patriot. Ataukah Prabowo tidak hendak menggunakan kewenangannya untuk melindungi rakyat Indonesia karena menuruti keinginan Jokowi yang diinisiasikan ke dalam pasal 7 ayat (1) poin b?
Entahlah!
Pastinya, pilihan memalukan ini, menunjukkan kebenaran omon-omon Prabowo. Berkoar-koar melindungi hak asasi manusia di negara orang, masyarakat dalam negeri sendiri diinjak batang lehernya tanpa belas kasihan.
Apapun plot twist politiknya, kepada rakyat, kami ucapkan: marry crisis & happy a new fear... (*)