LINGKUNGAN
Perjamuan Terakhir Jokowi: Makan Pasir Laut
Oleh M Rizal Fadillah | Pemerhati Politik dan Kebangsaan JOKOWI itu kurus tetapi makannya banyak. Sebagai bapak yang baik ia berbagi untuk anggota keluarganya. Gibran, Kaesang dan Kahiyang yang juga mulai banyak makan. Iriana ternyata tidak ketinggalan. Perjamuan terakhir Jokowi dan keluarganya adalah makan pasir laut. Kini bertambah di meja dengan kroni dan pengusaha Singapura. The Last Supper lukisan Leonardo Da Vinci menggambarkan perjamuan terakhir Yesus bersama murid-muridnya sebelum ia ditangkap dan disalib dalam keyakinan Kristiani. Tapi perjamuan terakhir yang ini tidak berhubungan dengan The Last Supper Leonardo di atas. Hanya gambaran bahwa Jokowi layak ditangkap setelah terakhir makan pasir bersama kroninya. Rakus sekali rezim Jokowi ini, semua sumber daya alam dibobol dan dieksploitasi. Tembaga, minyak, bauksit, timah, nikel hingga terakhir pasir laut. Hampir semua berurusan dengan kepentingan asing. Ekspor pasir ternyata untuk reklamasi perluasan Singapura. Nampaknya dalam benak Jokowi semua harus jadi duit. Prosentase untuk kantong sendiri, dinasti dan oligarki. Penambangan pasir laut dengan alasan keamanan pelayaran nelayan sebagaimana dimaksud UNCLOS PBB 1982 hanya akal-akalan. Kepentingan utamanya adalah keuntungan komersial pemodal. Izin ekspor dibuka oleh Presiden Jokowi berdasar PP 26 tahun 2024, Permendag 20 tahun 2024, dan Permendag 21 tahun 2024. Kini tahap realisasi eksploitasi. Di meja perjamuan ada Yusril Ihza, Hasyim Joyohadikusumo, Zulhas dan Jokowi sendiri. Pengusaha Singapura tentu hadir untuk membersamai. Yusril dan Hasyim langsung membuat perusahaan baru setelah kran ekspor dibuka. Politisi berbisnis menjadi fenomena buruk dari rezim. Jabatan dan kekuasaan dijadikan jalan untuk merampok kekayaan alam. Membuka ekspor pasir laut merusak lingkungan dan ekosistem. Habitat laut dan ikan yang menjadi sumber mata pencaharian nelayan terganggu. Kedaulatan negara tergerus. Kualifikasinya sampai pada penghianatan atas negara. Batas pantai Indonesia berkurang sementara Singapura meluas. Dasar setan, kedaulatan pun dijual. Jokowi memaksakan kehendak di penghujung kekuasaannya. Muncul isu bahwa penggunaaan pesawat jet pribadi milik pengusaha Singapura oleh Kaesang juga terkait ekspor pasir laut tersebut. Gratifikasi terselubung kepada Jokowi. Singapura potensial menjadi tempat pelarian keluarga. Gibran juga sekolah di Singapura walau ijazahnya dipersoalkan. Perjamuan terakhir Jokowi adalah makan pasir laut. Di tengah perjamuan ada bau penghianatan yang membuat gelisah bangsa. Meski ada makan malam berdua Jokowi dengan Prabowo membahas kebersamaan dan keberlanjutan, akan tetapi penghianatan adalah aroma busuk yang menyengat. Sudah terlalu banyak Jokowi dan keluarga makan dengan macam-macam menu. Saatnya untuk diminta pertanggungjawaban politik dan hukum. Tangkap dan adili setelah \"the last supper\" pasir laut. Jangan biarkan lari ke Singapura atau pulang ke Solo untuk tidur. Ketika rakyat dan bangsa menderita akibat ulahnya, eh dia enak saja mau tidur. Ngelindur kalee... There is no sleep for criminals excepth death. Tidak ada tidur untuk para penjahat kecuali kematian. Jokowi telah diberi hadiah oleh negara tanah 1,2 hektar untuk kuburannya di Surakarta. Kuburan sang Fir\'aun Jawa. (*).
Lobi Singapura dan Cuan Besar di Balik Kebijakan Ekspor Pasir Laut
Oleh Faisal S Sallatalohy | Mahasiswa Doktor Trisakti SETELAH 20 tahun dihentikan, Jokowi kembali membuka keran izin ekspor pasir laut. Kebijakan ini diputuskan sebagai wujud kepatuhan rezim neokolonial Indonesia terhadap lobi dan desakan oligarki global. Ekspor pasir laut diatur dalam regulasi terbaru yang diteken menteri perdagangan Zulkifli Hasan: Permendag No. 20 Tahun 2024 dan Permendag No. 21 tahun 2024 dengan merujuk pada Pertauran Pemerintah No. 26 Tahun 2023. Alasan pemerintah, ekspor pasir ditujukan untuk mengatasi masalah sedimentasi, hanyalah omong kosong. Sejauh ini pemerintah tidak pernah jujur dan terbuka terkait data seberapa parah akumulasi sedimentasi di Indonesia. Alasan sedimentasi hanyalah akal-akalan. Tujuan utamanya adalah \"cuan besar\" yang ditawarkan para oligarki lewat lobi dan desakan penerbitan izin ekspor pasir laut. Beberapa bulan sebelum izin ekspor diterbitkan, tepatnya pada April 2024 lalu, kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah menerima pendafataran 71 perusahan tambang pasir laut. Setelah diverifikasi, hanya 66 perusahan yang lolos verifikasi. Mirisnya, dalam hal ini, KKP melakukannya melalui proses penunjukan langsung. KKP lalu mengatur rencana, 66 perusahan tambang tersebut akan bermitra dengan 51 perusahan kapal isap pasir laut serta 54 perusahan mitra reklamasi atau pembeli pasir laut. Semua hal ini, telah diatur pemerintah lewat KKP, sebelum aturan izin ekspor pasir diterbitkan. Artinya, latar belakangnya bukan perbaikan sedimentasi laut. Melainkan alasan bisnis. Mulai dari perusahan penambang, kapal isap dan calon pembeli sudah diatur dan direncanakan dengan bail sejak awal. Dalam penawarannya, KKP mencatat, 66 perusahaan yang telah diverivikasi lewat proses penunjukan, mengajukan rencana konsesi penambangan pasir laut dengan luas paling sedikit 3,3 miliar kubik. Mayoritas perusahan tambang calon pembeli pasir itu berasal dari Singapura, Jepang, Cina dan Johor Malaysia yang akan dikirim perusahan kapal isap pasir dari Belgia, Jepang, Singapura, Cina dan Belanda. Harga patokan yang ditetapkan untuk pembelian pasir laut didasarkan pada Peraturan Pemerintah No. 85 atahun 2021 tentang Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) untuk Kementerian Kelautan dan Perikanan. Perhitungan harganya dibagi dua. Pertama, perhitungan PNBP untuk pemanfaatan dalam negeri adalah 30% dari nilai harga patokan (HPP) dikalikan volume pengambilan pasir laut. Kedua, untuk pemanfaatan pembelian luar negeri atau ekspor, perhitungan PNBP adalah 35% dari nilai harga patokan (HPP) dikalikan volume pengambilan pasir laut. Pertanyaannya, berapa harga patokan (HPP) pembelian pasir atau sedimentasi laut? Dalam dalam Kepmen KKP No. 6 Tahun 2024, pembelian dalam negeri dibandrol Rp 93.000 per meter kubik. Sementara harga pembelian pasir luat negeri atau ekspor Rp 186.000 per meter kubik. Disebutkan dalam perencanaan kementrian KKP pada April lalu, bahwa mayoritasnya izin pemanfaatan pasir diperuntukan untuk diekspor ke sejumlah negara. Perusahan dan calon pembeli asing itu menawarkan permintaan dengan volume pembelian pasir laut 3,3 miliar meter kubik. Karena konteksnya adalah ekspor, maka harga acuan yg dipakai adalah Rp 186.000 per meter kubik. Jika 3,3 miliar meter kubik x Rp 186.000 = Rp 613 triliun. Itulah potensi \"Cuan\" jika seluruh permintaan berhasil diekspor sesuai harga jual Rp 186.000 per meter kubik. Ambisi negara untung penjualan pasir laut ke asing, diperkirakan akan jauh lebih besar. Secara keseluruhan, kementrian KKP menawarkan jumlah volume pasir yg jauh lebih besar dari permintaan asing yang hanya 3,3 miliar meter kubik. Dari data KKP, potensi volume pasir laut yg ditawarkan pemerintah sebanyak 17,64 miliar meter kubik, meliputi Laut Jawa sebanyak 5,58 miliar meter kubik, Selat Makassar 2,97 miliar meter kubik, dan Laut Natuna-Natuna Utara 9,09 miliar meter kubik. Artinya, pemerintah bisa memperoleh lebih banyak \"cuan\" seiring dengan meningkatnya permintaan volume pembelian pasir. Kebijakan ekspor pasir tidak lepas dari loby pihak asing. Terutama Singapura yang saat ini memang sangat membutuhkan stok pasir untuk reklamasi perluasan wilayahnya. Sejak 15 Juli 2023, pihak Singapura menunjukan tanda-tanda positif yang mengindikasikan kekuatan loby mereka bekerja dibalik pembahasan dan perencanaan penerbitan regulasi izin ekspor pasir laut. Wakil perdana menteri sekaligus menteri keuangan Singapura, sejak Juli tahun lalu, vokal menyatakan, pihaknya akan mengawal proses impor pasir ke Singapura oleh perusahan swasta, apakah sudah sesuai dengan aturan yang ditetapkan Indonesia. Menurutnya, aturan terkait tataniaga impor pasir laut ke negaranya, tidak bergantung terhadap regulasi yang dibuat Singapura, melainkan aturan yang dibuat pemerintah asal, yakni Indonesia. Secara politik diplomasi, pernyataan ini mengandung daya negosiasi dan loby yang menunjukan Singapura sengaja menjatuhkan posisi daya tawarnya. Hal ini menunjukan Singapura sangat membutuhkan. Sampai bersedia memberikan kewenangan besar kepada Indonesia untuk menentukan aturan terkait impor, termasuk dalam konteks menentukan harga jual. Aneh, dalam konteks impor, umumnya negara pengekspor harus mematuhi aturan agar prodaknya bisa masuk ke negara importir. Ini sebaliknya, malah Singapura yang memberi akses kepada Indonesia sebagai negara asal untuk menentukan aturan hukum yang akan dipakai. Hal ini kembali dipertegas, Menteri kedua Luar Negeri Singapura, Maliki Osman, bahwa pihaknya akan menindak tegas perusahan swasta asal negaranya dalam melangsungkan ekspor jika melanggar dengan menggunakan aturan hukum yang dibuat Indonesia. Benar-benar aneh. Seolah Singapura sengaja menjatuhkan daya tawarnya, memberi keleluasaan kepada pemerintah Imdonesia menentukan aturan main asal dibuka keran ekspor pasir ke Singapura. Secara historis, Singapura sangat bergantung terhadap ekspor pasir Indonesia. Data penjualan ekspor pasir laut Indonesia dari trademap.org mencatat, volume ekspor komoditas dengan kodifikasi HS 2505.90.000 pada 2003 menyentuh angka 3,8 juta ton dengan nilai transaksi US$ 9,6 juta. Mayoritas pengiriman pasir laut ditujukan ke Singapura dengan besaran mencapai 3,6 juta ton atau senilai US$ 8,8 juta Namun ketika Indonesia mengumumkan larangan ekspor pasir pada 2007 karena tajamnya kritikan publik terkait kerusakan lingkungan yang ditimbulkan, Singapura mengalami krisis pasir lantaran 90% kebutuhan pasirnya bergantung terhadap Indonesia. Singapura lalu beralih mencari sumber pasokan pasir dari negara lainnya. Laporan Program Lingkungan Keberlanjutan Pasir Perserikatan Bangsa-Bangsa 2019, mencatat, Singapura telah menjadi importir pasir terbesar di dunia selama 20 tahun terakhir, membawa sekitar 517 juta ton pasir dari negara-negara tetangga lainnya. Menurut SG101, kebutuhan pasir Singapura untuk keperluan reklamasi wilayah hingga 2030 mencapai 4 miliar kubik. Terutama untuk proyek reklamasi pelabuhan Tuas Singapura yang ditargetkan rampung pada tahun 2040. Proyek ini merupakan salah satu proyek reklamasi pelabuhan terbesar di dunia yg mampu menangani 65 juta TEU (TEU: satu kontainer 20 kaki) per tahun. Menjadi megaport pintar kelas dunia dengan teknologi pelabuhan generasi berikutnya, termasuk sistem operasi otomasi tak berawak. Untuk memenuhi keperluan tersebut, Singapura telah berkontrak dengan Johor Baru ke Jurong Town Corporation (JTC) sekitar SDG 15 dolar per meter kubik serta dari Vietnam sekitar SGD 35 hingga US$ 38 per meter kubik FOB Singapore. Jika dibandingkan dari sisi kualitas pasir, jarak suplai dan harga jual yang didapatkan Singapura dari Indonesia sudah pasti jauh lebih baik. Oleh karena itu, Singapura sangat berambisi melobi untuk memperoleh pasir laut dari Indonesia dibandingkan dari Vietnam, Malaysia ataupun Kamboja, Myanmar, Thailand dan Filipina. Sekarang ambisi dan lobi Singapura terwujud. Resmi bisa mengantongi izin ekspor pasir laut dari Indonesia. Relasi bisnisnya menjadi jelas. Singapura dapatkan manfaat pasir Indonesia untuk keperluan reklamasi wilayahnya. Sementara pemerintan Indonesia, mendapatkan jaminan \"cuan\" yang sangat besar. Inilah alasannya, akibat ada potensi keuntungan yang besar di depan mata, maka tak heran, banyak pejabat berlomba pasang badan dengan menyatakan ekspor pasir laut tidak merusak lingkungan dan malah untuk membersihkan sedimen, menyehatkan laut dan mengamankan alur pelayaran. Shame on you !!!
Gatot Nurmantyo: Saya Bukan Anjingnya Swie Teng
Jakarta | FNN - Penggusuran paksa tanah rakyat di era rezim Jokowi terus berlangsung selama mantan tukang kayu itu berkuasa. Paling anyar terjadi di daerah Babakan Madang, Bogor yang diincar pengembang Sentul City untuk memperluas kekuasaannya. Peristiwa ini ramai setelah media sosial memviralkan rumah-rumah masyarakat yang terkruang dan terisolasi lantaran menolak menjual kepada pengembang Sentul City. Akibatnya masyarakat harus mencari akses yang lebih jauh untuk mencapai jalan yang biasa dilalui. Bahkan pemindahan makam warga yang dilakukan pengembang dinilai masyarakat tidak layak. Hal ini diungkap mantan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo dalam kanal YouTube pribainya, Kamis, (12/9/2024). Yang juga bikin hati miris kata Gatot adalah ada masyarakat yang dipolisikan karena mencabut kunci escavator yang menyerobot paksa masuk ke lahannya untuk menggusur dan membersihkan lahan. Anehnya, pemilik lahan dengan bukti surat kepemilikan leter C akhirnya dibebaskan polisi tetapi terpaksa menjual lahannya seluas 1 ha hanya senilai Rp.100 juta atau tanahnya dihargai hanya Rp.10ribu per meter. Warga yang memiliki surat kepemilikan sah atas tanah mereka dan telah tinggal di situ kurang lebih 30 tahun menolak penggusuran Sentul City. Tetapi aksi penolakan mereka justru tidak didukung oleh Lurah yang sudah dipilih oleh warga. Menghilangnya Lurah dalam aksi penolakan menyebabkan warga desa mendatangi kediaman Gatot Nurmantyo yang juga menjadi tetangga mereka pada Rabu 11 September 2024. Di hadapan masyarakat Babakan Medang, Gatot Nurmantyo dengan tegas mengatakan, \"Jangan ragu-ragu menyampaikan keluhan, saya bukan anjingnya Swie Teng. Emangnya Swie Teng pemilik Republik ini? Sebagai tetangga saya harus bela masyarakat. Saya gak mau bisa tidur enak, tapi tetangga nangis susah. Saya rela nyawa saya untuk bela warga yang mengalami kayak gitu.\" \"Ganti rugi harus iklas bagi yang punya rumah, jangan dikendalikan (pengembang). Mau pindah ke mana warga kalo ganti ruginya cuma Rp20juta.\" Gatot Nurmantyo menjelaskan bahwa warga yang sudah tinggal lama di situ, punya akta jual beli yang diketahui kepala desa, serta bayar PBB seharusnya tidak bisa digusur pengembang. Gatot juga menyarankan warga yang telah menerima uang dengan terpaksa dari pengembang segera mengembalikannya kepada pengembang. (*)
Forum Tanah Air Kecam APDESI yang Kriminalisasi Said Didu
Jakarta | FNN - Forum Tanah Air (FTA), sebuah komunitas Diaspora Indonesia di berbagai negara mengecam upaya APDESI (Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia) yang melaporkan ke pihak kepolisian M. Said Didu yang aktif melakukan membongkar ketidakadilan dalam Proyek Strategis Nasional (PSN) PIK-2. Demikian rilis yang diterima redaksi FNN, Senin (2/9/2024) di Jakarta. Pelaporan itu kata FTA melanggar hak asasi manusia yang melekat pada setiap individu sebagai fitrah seorang manusia. FTA menegaskan bahwa kebebasan pikiran, berpendapat, dan berekspresi sebagai bagian dari hak dasar setiap manusia telah diatur dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang dicetuskan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam pasal 19 yang berbunyi: Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hak ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan dengan tidak memandang batas-batas (wilayah). Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 28Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) yang menyatakan Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang. dan dipertegas lagi pada Pasal 28E ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) menyebutkan Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat, secara tegas negara menjamin dan melindungi Hak dan Kemerdekaan setiap orang (bukan hanya warga negara Indonesia tetapi juga warga negara asing) untuk mengeluarkan pendapat (freedom of expression) sebagai bagian Hak Asasi Manusia (HAM) dan sebagai fungsi kontrol terhadap jalannya pemerintahan yang bersih dan berkeadilan. Bahwa hak dan kemerdekaan berserikat, berkumpul dan menyampaikan pendapat juga diatur dan dijamin dalam International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik) yang telah diratifikasi Indonesia menjadi UU Nomor 12 Tahun 2005. FTA berkomitmen untuk mengawal demokrasi dan menjaga konstitusi serta hak dan keadilan warga negara sebagai wujud dari kedaulatan rakyat. Berkaitan dengan pelaporan dan pengaduan yang dilakukan oleh APDESI Tangerang yang melaporkan Saudara M. Said Didu atas pernyataan dan kritik terhadap Proyek Strategis Nasional (PSN) PIK 2, Forum Tanah Air menyatakan sikap sebagai berikut: 1. Mengecam dan Menentang Keras setiap tindakan yang menghalangi hak kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat. 2. Mendukung rekan M. Said Didu dalam mengungkap dan membongkar semua pembohongan yang dilakukan oleh pemerintah setempat terhadap warga Tangerang dan sekitarnya, yang lahannya di ambil untuk dijadikan PSN PIK 2. 3. FTA bersama-sama organisasi dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Muhammadiyah dan lainnya, akan mengawal terus kasus yang sedang di jalani rekan M. Said Didu sampai akhir. 4. FTA mengecam atas dinaikkannya kasus M. Said Didu ke tahap penyidikan, yang kami lihat sebagai upaya pembungkaman hak warga negara untuk mengeluarkan pendapat. FTA mengajak masyarakat mencermati sekelompok oknum yang sedang memberikan karpet merah bagi para pengembang yang berakibat pada perampasan hak-hak rakyat secara tidak adil. (*)
Rakyat Menanti Keberanian KPK Periksa Kahiyang dan Bobby Terkait Gratifikasi IUP Tambang di Halmahera
Oleh Faisal S Sallatalohy | Kandidat Doktor Hukum Trisakti BUKAN hanya Gibran dan Kaesang, anak perempuan Presiden Jokowi yang terhormat, Kahiyang Ayu dan menantunya Bobby Nasution juga ikut bermain dan memiliki bisnis tambang dalam negeri. Kahiyang dan suaminya, belakangan diketahui memiliki perusahan yang beroperasi pada sejumlah wilayah konsesi di beberapa daerah. Sejauh ini, perusahan keduannya bermain senyap, dikondisikan agar tertutup dari penglihatan publik. Namun begitulah barang busuk. Mau disimpan, ditutup, dimanipulasi se-rapat, se-canggih apapun, akan menguap juga aroma busuknya. Kini perusahan tambang keduanya, muncul ke permukaan dan terseret dalam pusaran kasus korupsi serta gratifikasi Tambang Nikel dengan Kode \"Blok Medan\" di Halmahera Timur, Maluku Utara. Hal ini terungkap dalam kesaksian Mantan Gubernur Maluku Utara, Abdul Ghani Kasuba pada sidang lanjutan di PN Kota Ternate. Dalam persidangan, sebagai tersangka, Abdul Ghani Kasuba mengakui terlibat dalam pengaturan izin usaha pertambangan nikel milik Kahiyang dan Bobby yang beroperasi di Halmahera Timur. Abdul Ghani Kasuba menegaskan, istilah \"Blok Medan\" merujuk pada nama individu yang memiliki kekuatan besar dalam jaringan korupsi pengaturan izin pertambangan di Halmahera. Nama Individu pemilik kode \"Blok Medan\" dalam pusaran korupsi pengaturan izin pertambangan yang dimaksud Abdul Ghani adalah putri Presiden Jokowi, Kahiyang dan Bobby. Abdul Gani Kasuba mengakui, sengaja menggunakan istilah \"Blok Medan\" sebagai penanda untuk perusahan dan wilayah konsesi nikel milik Kahiyang di Halmahera Timur. Dirinya juga mengakui, sempat berkunjung ke Medan sebelum dirinya ditetapkan sebagai tersangka pengaturan izin usaha \" Blok Medan\". Dalam kunjungan itu, Kahiyang ingin bertemu dengan anaknya, membicarakan masalah tambang. Istilah \"Blok Medan\" dalam pengakuan Abdul Ghani Kasuba dibenarkan tersangka lainnya, yakni Kepala Dinas ESDM Provinsi Maluku Utara Suryanto Andili. Dalam kesaksiannya, Suryanto mengatakan, Abdul Ghani Kasuba menggunakan kode ‘Blok Medan’ sebagai penanda perusahan nikel milik Kahiyang dan Bobby. Suryanto mengaku, sebelumnya, untuk memuluskan perizinan usaha pertambangan milik Bobby Nasution, ia sempat diajak Abdul Ghani Kasuba menghadiri pertemuan dengan salah satu pengusaha di Medan. Ia datang menggantikan Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Provinsi Maluku Utara, Bambang Hermawan yang tak bisa hadir. Pertemuan ini turut dihadiri Ketua Dewan Pengurus Gerindra Maluku Utara, Muhaimin Syarif dan anak Abdul Ghani Kasuba, Nazla Kasuba. Keduanya diketahui merupakan pemegang saham utama PT Prisma Lestari, perusahaan tambang nikel di Weda Tengah, Halmahera Tengah. Perusahaan ini menambang di lahan seluas 1.229 hektare berdasarkan Surat Keputusan Bupati Halmahera Tengah tahun 2008. Suryanto mengatakan, selain Abdul Ghani Kasuba, Muhaimin yang juga sudah ditetapkan sebagai tersangka sangat paham seluk-beluk operasional kode \"Blok Medan\" di Halmahera Timur. Menurutnya, agar kode Blok Medan makin terang terbaca, sebaiknya Muhaimin diminta untuk menjelaskannya. Kahiyang dan Bobby merupakan bagian dari keluarga Jokowi yang dekat dengan kekuasaan. Jika kesaksian ini diabaikan penegak hukum, terutama KPK, sama halnya dengan membenarkan adanya kolusi, korupsi, dan nepotisme dinasti Jokowi yang getol memanfaatkan kuasa jabatannya sebagai presiden untuk memuluskan kepentingan bisnis keluarga. Indikasi perilaku korup dalam pengaturan izin tambang dengan mengandalkan kekuatan Istana Kepresidenan seperti ini bukan hal baru. Data terakhir The Economist\'s Maiden terakit Crony-Capitalisme Indeks pada Maret 2023 lalu, menempatkan Indonesia menduduki peringkat ke 8 dunia. Hebat kan! Masuk 10 besar dunia loh! Secara teoritis, praktik rent-seeking berkaitan erat dengan kedekatan pengusaha dan pemerintah, atau pemerintah yang mengasosiasikan dirinya sebagai pengusaha. Dengan model dominasi kekuatan politik dan hukum, mereka bertindak korup dan manipulatif dalam melahirkan sederet regulasi ekonomi bercorak neoliberal untuk memudahkan mereka mencuri-korupsi aset milik rakyat lewat praktik rent-seeking yang bersumber dari \"bisnis kroni\". Sejalan dengan indikator penilaian rent-seeking dalam riset crony-capitalism indeks The Economist\'s, pertambangan termasuk nikel masuk kategori Industri yang sangat rentan dimopoli pemerintah untuk kesuksesan binis pribadi dan kolega. Apakah KPK berani mendalami, memanggil dan memeriksa Kahiyang-Bobby? Boleh jadi seperti laporan korupsi dua anak presiden lainnya, Gibran dan Kaesang. KPK mandul layaknya \"macan ompong\". Pastinya, setiap indikasi layak dipertkmbangakan untuk didalami dan usut tuntas. Rakyat menanti keberanian KPK! (*)
PKS, Bobby, dan Dugaan Korupsi IUP Tambang Kode "Blok Medan" di Halmahera
Oleh Faisal S Sallatalohy | Pemerhati Politik & Hukum PARTAI Kadilan Sejahtera (PKS) memberikan rekomendasi kepada Bobby Nasution maju sebagai bakal calon gubernur dalam pilkada Sumatera Utara di saat Bobby beserta Istrinya Kahiyang, anak presiden Jokowi diduga terlibat dalam pusaran korupsi dan gratifikasi Tambang Nikel dengan Kode perusahan \"Blok Medan\". Hal ini terungkap dalam kesaksian Mantan Gubernur Maluku Utara, Abdul Ghani Kasuba (AGK) dalam sidang lanjutan di PN Kota Ternate, terkait perluasan kasus ke gratifikasi dan korupsi izin usaha pertambangan di Halmahera. Dalam persidangan, sebagai tersangka, AGK mengakui terlibat dalam pengaturan izin usaha pertambangan milik Kahiyang dan Bobby Nasution, menantu Presiden joko Widodo (Jokowi) di Halmahera. Dalam meloloskan izin usaha tambang tersebut, AGK menyebut istilah \" Blok Medan\". AGK menjelaskan, istilah \"Blok Medan\" bukan hanya merujuk pada salah satu wilayah konsesi tambang di Halamahera. Melainkan juga merujuk pada nama individu tertentu yg memiliki kekuatan besar dalam jaringan korupsi pengaturan izin pertambangan di Halmahera. Menurutnya, Individu pemilik kode \"Blok Medan\" dalam pusaran korupsi pengaturan izin pertambangan tersebut adalah Putri presiden Jokowi, Kahiyang Ayu dan Suaminya Bobby Nasution. Abdul Gani Kasuba mengakui, menggunakan istilah \"Blok Medan\" sebagai penanda untuk usaha milik Kahiyang di Halmahera. Dirinya juga mengakui, sempat berkunjung ke Medan sebelum dirinya ditetapkan sebagai tersangka pengaturan izin usaha \" Blok Medan\". Dalam kunjungan itu, Kahiyang ingin bertemu dengan anaknya, membicarakan masalah tambang. Saat ini perusahan nikel yg di istilahkan \"Blok Medan\" milik istri Wali Kota Medan ada di Kabupaten Halmahera Timur. Hanya saja, dalam persidangan belum terungkap, apa nama sebenarnya perusahan milik anak presiden yg diistilahkan Blok Medan tersebut. Istilah \"Blok Medan\" dibenarkan dalam kesaksian tersangka lainnya, yakni Kepala Dinas ESDM Provinsi Maluku Utara Suryanto Andili. Dia mengatakan, AGK menggunakan kode ‘Blok Medan’ untuk menekan Bupati Halmahera Timur agar memuluskan pengurusan izin tambang. Suryanto mengaku, sebelumnya, untuk memuluskan perijinan usaha pertambangan milik Bobby Nasution, ia sempat diajak untuk menghadiri pertemuan dengan salah satu pengusaha di Medan. Ia datang menggantikan Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Provinsi Maluku Utara, Bambang Hermawan yang tak bisa hadir. Pertemuan ini turut dihadiri ketua dewan pengurus Gerindra Maluku Utara, Muhaimin Syarif dan anak AGK, Nazla Kasuba. Keduanya diketahui merupakan pemegang saham utama pemegang saham pada PT Prisma Lestari, perusahaan tambang nikel di Weda Tengah, Halmahera Tengah. Perusahaan ini menambang di lahan seluas 1.229 hektare berdasarkan Surat Keputusan Bupati Halmahera Tengah tahun 2008. Suryanto mengatakan, Muhaimin yg juga sudah ditetapkan sebagai tersangka sangat paham istilah \"Blok Medan\" di Halmahera Timur. Menurutnya, agar kode Blok Medan makin terang terbaca, sebaiknya Muhaimin diminta untuk menjelaskannya. Kahiyang dan Bobby merupakan bagian dari keluarga Jokowi yg dekat dengan kekuasaan. Jika kabar ini diabaikan penegak hukum, maka sama halnya dengan membenarkan adanya kolusi, korupsi, dan nepotisme dalam kasus ini. Sebagai partai ber-kader Islam dan bermoto dakwah, PKS harusnya lebih cermat mengusung calon kepala derah. Sebaiknya, menghindari bakal calon kepala daerab yg jauh dari indikasi dan kabar korupsi. (*)
Rakyat Harus Melawan, Batalkan Izin Tambang Ormas Segera
Oleh Marwan Batubara | IRESS Gonjang-ganjing pemberian izin pengelolaan tambang (Izin Usaha Pertambangn Khusus, IUPK) untuk ormas keagamaan terus mengemuka 4 bulan terakhir. Setelah PBNU (memulai pengajuan permohonan izin pada Maret 2024) menerima “hadiah” dari rezim oligarki-nepotis pada bulan Mei (25/5/2024), maka minggu lalu PP Muhammadiyah pun resmi menerima izin yang dapat dianggap sebagai suap politik tersebut (25/7/2024). Banyak alasan absurd rezim oligarkis guna menjustifikasi kebijakan zolim dan bermasalah ini. Misalnya Bahlil bilang, pemberian izin adalah imbalan atas andil besar ormas dalam mempertahankan kemerdekaan, membantu pemerintah menyelesaikan masalah masyarakat dan keummatan, serta kerap terlibat program pendidikan, kesehatan, sosial (7/6/2024). Apakah sekian banyak ormas lain dianggap tidak berjasa dan tidak berkontribusi? Sedangkan Jokowi mengatakan pemberian IUPK: \"Banyak komplain kepada saya, \'Pak, kenapa tambang-tambang itu hanya diberikan kepada yang gede-gede, perusahaan besar… Kami pun kalau diberikan konsesi itu juga sanggup kok’. Itu lah yang mendorong kita membuat regulasi agar ormas keagamaan diberi peluang mengelola tambang”. Kata Jokowi: “Kita ini kan ingin memeratakan ekonomi. Kita ingin keadilan ekonomi” (26/7/2024). Apakah komplain ormas tersebut relevan? Apakah pemerataan dan keadilan akan tercapai dengan kebijakan tersebut? Publik ditipu dan tertipu. Sebaliknya, mereka anggap SDA milik negara dan rakyat tersebut seakan milik sendiri. Meminjam istilah Erick Thohir, SDA minerba seakan milik nenek moyang penguasa. Bahlil dan Jokowi bisa membuat berbagai alasan guna menjustifikasi kebijakan. Namun, apapun itu tersebut, esensinya adalah nonsense, omon-omon dan omong kosong! Maka, kita perlu memahami dua hal penting: pertama, motif di balik kebijakan; kedua, landasan legal-konstitusional yang menjadi dasar kebijakan. Motif Kebijakan Ada beberapa motif bernuansa moral hazard di balik kebijakan IUPK ormas. Salah satu yang sangat bermasalah adalah *suap politik* guna menjaga kelanjutan kekuasaan, pemenangan Pilpres 2024 dan ucapan terima kasih atas kemenangan sang putra Gibran. Hal lain, langkah antisipatif untuk pengamanan posisi Gibran dari gugatan publik/hukum, karena lolos jadi wapres melalui pidana nepotisme dan mengakal-akali hukum secara inkonstitusional. Saat memberi sambutan pada Muktamar NU ke-34 Jokowi mengatakan: “Saya juga menyiapkan konsesi minerba, yang ingin bergerak di usaha-usaha nikel misalnya, usaha-usaha batubara, bauksit dan tembaga, silakan” (22/12/2021). Pernyataan Jokowi tersebut diyakini merupakan janji politik untuk pemenangan pemilu. Di sisi lain, Joko “merasa” punya kuasa membagi-bagikan aset SDA negara tersebut sesuka hati. Beberapa minggu kemudian, Jokowi menerbitkan Kepres No.1/2022 tentang Satgas Penataan Penggunaan Lahan dan Penataan Investasi (20/1/2022). Jokowi menunjuk Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia sebagai pemimpin satgas. Hasilnya, sekitar 2600 izin tambang swasta dicabut. Kadar kalori batubara tambang-tambang ini umumnya rendah. Ternyata, lahan tambang yang akan “dibagi-bagikan” rezim bukan hanya dari tambang milik swasta yang tidak beroperasi, tetapi juga dari penciutan lahan tambang milik sejumlah pengusaha besar. Sesuai UU Minerba, jika ingin memperoleh kelanjutan kontrak/operasi, lahan para penambang besar (kontrak PKP2B dan IUP) harus dikurangi agar tidak melebihi luas maksimum. Dari KPC di Kaltim yang sebagian sahamnya milik Grup Bakrie, hasil penciutan menghasilkan lahan sekitar 20.000 ha. Kadar kalori batubara tambang ini cukup tinggi. Penciutan lahan PT Arutmin di Kalsel, juga mengandung batubara kadar tinggi, diperolah lahan sekitar 30.000 ha. Selain itu, sepanjang ketentuan UU Minerba No.2/2020 konsisten dijalankan, masih tersedia lahan-lahan tambang lain hasil penciutan luas lahan Tanito Harum, Multi Harapan Utama (MHU), Adaro, Kideco Jaya Agung dan PT Berau Coal, serta sejumlah pemegang IUP/IUPK. Menurut Pasal 33 UUD 1945, hasil penciutan lahan tersebut harusnya dikelola BUMN, sehingga akan memberi manfaat bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat. Aspek Legal-Konstitusional Selama pemerintahan Jokowi, manfaat SDA minerba bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat semakin utopis, terutama karena terjadinya penyelewengan terhadap Pancasila, UUD 1945 dan UU. Pancasila mengamanatkan agar prisnsip-prinsip moral, agama, kemanusiaan dan keadilan harus jadi dasar utama pembuatan kebijakan. Ternyata karena moral hazard, KKN dan sikap politik penghalalan segala cara, rezim Jokowi mengangkangi prinsip-prinsip bernegara tsb. Menurut Pasal 33 UUD 1945, seluruh SDA adalah milik bangsa dan rakyat yang harus dikuasai negara, sehingga memberi manfaat terbesar bagi rakyat. Sebagaimana tertuang dalam Putusan MK No.36/2012, penguasaan negara meliputi hak-hak yang melekat pada negara dalam aspek: 1) membuat kebijakan; 2) menerbitkan izin; 3) membuat peraturan/UU; 4) mengawasi; dan 5) mengelola. Khusus aspek pengelolaan, Putusan MK No.36 juga meneyebut tentang BUMN sebagai satu-satunya pemegang hak pengelolaan SDA. Sebagai turunan Pasal 33 UUD 1945, UU Minerba No.4/2009, juga telah memuat privilege BUMN mengelola SDA. Namun, kesempatan tersebut ditunda rezim Jokowi dengan terbitnya UU Minerba No.3/2020. Meskipun memuat ketentuan privilege BUMN, UU No.3/2020 ini memperpanjang dominasi swasta atau konglomerat oligarkis menguasai SDA minerba kita. Dampaknya, terjadi perampokan aset batubara negara yang bernilai sekitar Rp 7000 hingga Rp 10.000 triliun (tergantung harga global batubara dan status cadangan terbukti atau potensial). Jika diurut dari status tertinggi, dasar hukum kita berawal dari Pancasila, UUD 1945 (Pasal 33), UU Minerba No.3/2020 hingga PP diurutan terbawah. Ternyata, guna memenuhi ambisi politik kekuasaan dan menjalankan agenda oligarki nepotis, Jokowi nekat menerbitkan PP yang justru bertentangan dengan konstitusi dan UU No.3/2020. PP tersebut adalah PP No.25/2024 tentang Perubahan atas PP Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Pembangkangn terjadi dengan penyisipan Pasal 83A, berbunyi: \"Dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat, WIUPK dapat dilakukan penawaran secara prioritas kepada Badan Usaha yang dimiliki organisasi kemasyarakatan keagamaan\". Dengan demikian privilege BUMN/BUMD, artinya hak dan kepentingan seluruh rakyat, dengan otoriter dan seenaknya telah dihilangkan rezim Jokowi. Penyisipan Pasal 83A ini melanggar konstitusi dan sekaligus mengangkangi hak DPR dalam pembentukan ketentuan dalam UU. Joko berdalih pemberian IUPK ormas untuk pemerataan dan kesejahteraan masyarakat. Namun faktanya *hak sebagian besar masyarakat lain dirampas*. Jika merujuk pada Pancasila, hanya terkait aspek keadilan saja, Jokowi telah mengangkangi Sila ke-2 dan ke-5. Kebijakan Jokowi pun dapat memicu persatuan bangsa, Sila-2, karena perlakuan yang zolim. Kebijakan sarat moral hazard dan *suap politik* sempit tersebut jelas mengabaikan Sila-1 Pancasila. Sila-4 Pancasila sangat jelas dikangkangi, karena ketentuan sangat prinsip berupa Pasal 83A PP No.25/2024 ditetapkan tanpa persetujuan DPR/wakil rakyat. Rakyat mau diam saja?? Ormas & Rakyat Mau Apa? Dibanding alasan-alasan manipulatif dan sarat omong-kosong, diyakini motif-motif kekuasaan, kooptasi aspirasi, perburuan rente, pengendalian suara dan upaya pecah-belah lebih dominan di balik terbitnya PP izin tambang ormas. Setelah berhasil mengendalikan dan menyandera partai-partai, maka giliran ormas besar dan terpandang digarap. Memang ada ormas yang menagih atau menerima imbalan karena telah berjasa mendukung kemenangan sang Putra Mahkota, Gibran. Tapi demi keamanan kekuasaan oligarki nepotis ke depan, termasuk prospek gugatan hukum atas dugaan KKN dan berbagai pengkhianatan konstitusi, maka tampaknya Jokowi perlu mendapat pengamanan dan perlindungan ormas-ormas. Sekarang, ormas-ormas ini mau apa? Berpihak pada rakyat, Pancasila, UUD 1945 dan amanat reformasi atau kepada rezim? Demi tegaknya moral dan hukum di bumi pertiwi, rakyat sudah gagal memperoleh dukungan DPR, karena Sebagian besar pimpinan partainya pesakitan yang tersandera dan disandera. Jika ormas keagamaan, yang harusnya fokus dan dominan menjaga moral bangsa, sebagai benteng tegaknya Pancasila, justeru menerima suap politik dan terkooptasi rezim oligarki nepotis, maka rakyat bisa berharap kepada siapa lagi? Ketua Muhammadiyah berkoar-koar akan mengelola tambang tanpa kerusakan lingkungan dan bebas konflik sosial. Pak Kyai Haedar Nashir, isu utamanya bukan soal lingkungan dan konflik! Tetapi yang pokok adalah: pengelolaan tambang oleh ormas itu bertentangan dengan Pancasila, Pasal 33 UUD 1945 dan UU No.3/2020! Muhammadiyah, NU dan ormas-ormas keagamaan lain tidak berhak mengelola tambang SDA tersebut. Bagaimana bisa, ormas-ormas keagamaan, yang pimpinannya harus menjadi panutan moral rakyat, justru memberi contoh buruk dan dapat pula diduga terlibat KKN? Wajar jika anggota ormas menggulingkan pimpinan ormas tersebut. Spekulasi pun berkembang, karena nilai rente besar, bisa terjadi persekongkolan oligarkis yang memanfaatkan ormas keagamaan sebagai “pengelola” tambang hasil penciutan lahan milik kontraktor PKP2B. Tujuannya agar manfaat terbesar rente tambang tetap dinikmati oligarki, setelah berbagi “alakadarnya” dengan perusahaan “tameng” milik ormas. Konon dari 20.000 hektar lahan hasil penciutan area tambang KPC, terkandung 150 juta ton batubara. Jika diasumsikan harga batubara US$ 100/ton dan kurs US$/Rp= 16.000, maka nilai bruto cadangan batubara tersebut adalah Rp 240 triliun. Cukup mengambil Rp 1 – 2 triliun dari Rp 240 triliun tersebut, maka bayangkanlah betapa banyak hal bisa terjadi di NKRI. Tidak tertutup kemungkinan bahwa lahan hasil penciutan area tambang milik kontraktor oligarkis PKP2B dan pemegang IUP oligarkis, sebagiannya tetap saja dikelola oleh pemilik semula/lama. Hal ini bisa terjadi karena kebijakan bernuansa KKN dan moral hazard sesama anggota rezim oligarki belakang ini merupakan hal lumrah. Padahal menurut Pasal 33 UUD dan Putusan MK No.36/2012, lahan-lahan hasil penciutan harusnya dikelola BUMN agar manfaatnya dapat dinikmati seluruh rayat. Rakyat harus menuntut transparansi masalah lahan ini. Sudah banyak aktivis, tokoh, ormas, LSM, BEM dan berbagai kalangan masyarakat yang menolak kebijakan izin tambang ormas. *Kepada pihak mana pun yang terkait dan berkepentingan, to whom it really concern,* terutama rezim yang dipimpin Jokowi, kami menuntut agar segera membatalkan pemberian IUPK tambang kepada ormas keagamaan! Kepada para pimpinan ormas, berhentilah mengkhianati konstitusi dan rakyat, serta menerima suap politik. Masih ada waktu untuk bertobat. Para penyelenggara negara, terutama rezim Jokowi dan DPR tampaknya sudah tidak merasa perlu melindungi dan memperjuangkan hak seluruh rakyat. Ormas keagamaan pun akhirnya bisa ditaklukkan oleh dan bergabung dengan rezim oligarki nepotis. Maka tampaknya rakyat yang haknya dijamin konstitusi untuk bersikap dan menyatakan pendapat (terutama Pasal 28 dan 28E UUD 1945), sudah waktunya bangkit melawan secara bersama, masif dan berkelanjutan. (*).
Muhammadiyah Hindari Fitnah Tambang
Oleh M Rizal Fadillah | Pemerhati Politik dan Kebangsaan Rakornas Muhammadiyah 27-28 Juli 2024 strategis untuk pengambilan keputusan tetang terima atau tidak tawaran pengelolaan izin tambang. Muhammadiyah semoga tidak menempatkan diri dalam \"makan buah simalakama\" atau berada di persimpangan jalan. Persoalan pengelolaan tambang adalah \"masalah kecil\" bagi Muhammadiyah tetapi jika salah langkah dapat menjadi guncangan besar atau sekurang-kurangnya memancing fitnah bagi Ormas Keagamaan sebesar Muhammadiyah. Pro-kontra internal warga persyarikatan akan semakin tajam. Kecaman publik menguat. Banyak kalangan umat Islam khawatir Muhammadiyah akan menerima tawaran Pemerintah untuk mengelola tambang khususnya pada lahan eks PKP2B. Sangat menyayangkan jika Muhammadiyah menjadi terpaksa menerima, menyerah pada penyanderaan atau tergiur pada keuntungan dunia. Akan rontok kebanggaan atas sikap istiqomah Muhammadiyah yang selama ini berhasil ditunjukkan. Muhammadiyah biasa menjadi guru bagi kemampuan mengatasi cobaan dan tekanan rezim apapun. Menjadi pelayan kesehatan yang menyembuhkan sakit bangsa akibat virus pragmatisme dan hedonisme. Muhammadiyah yang selalu berusaha untuk memahami perasaan dan kemauan masyarakat. Pengelolaan tambang tawaran Pemerintah minim manfaat bagi umat dan masyarakat. Lebih pada manfaat pengelola sendiri. Masalahnya adalah tambang ini dapat menguntungkan atau mencelakakan. Muhammadiyah semestinya mengambil keputusan dalam ruang yang tidak meragukan. \"da\' maa yariibuka ilaa maa laa yariibuka\" Tinggalkan apa yang meragukan kepada apa-apa yang tidak meragukan (HR Tirmidzi dan Nasa\'i). Mengelola tambang bagi swasta tentu menantang meski Konstitusi mengingatkan asas penguasaan negara dan manfaat bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat. Perlu idealisme dan kemampuan teknis yang memadai untuk menjalankannya. Ormas keagamaan jangan ditempatkan sebagai medium politis untuk keuntungan sebesar-besar kemakmuran kapitalis. Semata formalitas sebagai pemilik izin apalagi ditambah dengan melanggar ketentuan perundang-undangan. Bukankah Izin Usaha Pertambangan diberikan semestinya bukan berdasar penunjukan langsung ? Fitnah adalah keputusan kontroversial yang menyebabkan terjadinya kegaduhan, kecaman bahkan serangan dari berbagai pihak. Fitnah merusak citra organisasi yang sebenarnya tidak perlu terjadi. Benar bahwa keputusan selalu berisiko pro dan kontra, akan tetapi jika fitnah sudah terprediksi maka keputusan haruslah bijak. Muhammadiyah mesti menghindari fitnah atas tawaran pengelolaan tambang. Artinya menolak adalah jalan terbaik. Di samping banyak faktor mudharat dari usaha pertambangan yang dikelola oleh Ormas Keagamaan termasuk Muhammadiyah, maka potensi friksi internal dan berbagai fitnah menjadi terbuka. Sebagai organisasi da\'wah Muhammadiyah harus menyingkirkan berbagai hal yang dapat mengganggu konsentrasi dari da\'wahnya. Pengusahaan tambang yang rawan perusakan lingkungan dan konflik sosial bukan tempat yang tepat untuk menunaikan missi da\'wah itu. Apalagi kebijakan ini diambil di penghujung masa Pemerintahan Jokowi yang terindikasi kental bernuansa politik. Mencoba menyelami cara pandang tokoh Muhammadiyah sekelas Ki Bagus Hadikusumo, Kyai Mas Mansur, Prof Kahar Mudzakir, Buya Hamka dan lainnya maka demi menjaga marwah Muhammadiyah yang berjiwa juang Kyai Ahmad Dahlan maka tawaran pengelolaan tambang model Bahlil harus ditolak. Mata hati Ilahiah akan didahulukan ketimbang ketakutan atau keuntungan dunyawiyah. Lambang Muhammadiyah adalah matahari yang bersinar, bukan tambang yang mengikat apalagi menjerat. Muhammadiyah adalah harapan dan cahaya umat.Perjuangannya tidak berorientasi pada keuntungan pendek, keserakahan atau tekanan dan keterpaksaan. Selamat melaksanakan Rakornas Muhammadiyah di Yogyakarta. Semoga keputusannya bermanfaat bagi persyarikatan, masyarakat, bangsa dan negara. (*)
Mengecewakan, Elite Muhammadiyah Memilih Batubara Daripada Energi Surya
Jakarta | FNN - “Sangat pantas, bila umat Islam dan seluruh masyarakat Indonesia yang memiliki kesadaran ekologi kecewa terhadap elite Muhammadiyah karena telah memilih menjerumuskan organisasi itu untuk terlibat mengelola industri kotor batubara,” ujar Indonesia Team Lead Interim 350.org, “Seharusnya Muhammadiyah memilih mengelola energi surya, seperti simbol organisasinya.” Seperti diberitakan di berbagai media massa pada Kamis, 25 Juli 2024, Ketua PP Muhammadiyah Anwar Abbas blak-blakan mengungkapkan akhirnya organisasi massa Islam terbesar kedua setelah Nahdlatul Ulama itu memutuskan menerima izin tambang. Padahal sebelumnya suara dari generasi muda Muhammadiyah menginginkan bahwa elite di organisasi itu membuka mata dan hatinya terkait dampak buruk batubara terhadap lingkungan hidup di tingkat lokal maupun di tingkat global, krisis iklim. Muhammadiyah, menurut Firdaus Cahyadi, memiliki kader-kader yang cerdas. “Mereka pasti mengetahui bahwa industri batubara bukan hanya membuat kerusakan di muka bumi, namun juga tidak memiliki masa depan secara ekonomi,” ujarnya, “Bank-bank internasional sudah tidak mau lagi mendanai bisnis batubara, beberapa bank di Indonesia pun sudah mulai membatasi pendanaan ke batubara.” Seharusnya, lanjut Firdaus Cahyadi, Muhammadiyah menunjukan kepemimpinannya untuk mengelola energi terbarukan di semua unit amal usahanya. “Berdasarkan penelitian Celios dan 350.org Indonesia, energi terbarukan berbasis komunitas mampu menurunkan angka kemiskinan hingga lebih dari 16 juta orang,” ungkapnya, “Dari sisi ketenagakerjaan, terdapat peluang kesempatan kerja sebesar 96 juta orang di berbagai sektor tidak sebatas pada energi, namun industri pengolahan dan perdagangan juga ikut terungkit.” Ironisnya, ungkap Firdaus Cahyadi, saat ini elite Muhammadiyah lebih memilih bisnis energi kotor batubara. “Elite organisasi keagamaan seperti Muhammadiyah harusnya lebih arif dan bijaksana dalam mengambil keputusan berdasarkan nurani dan akal sehat, bukan kepentingan jangka pendek,” jelasnya, “Elite organisasi keagamaan yang diharapkan mampu menjadi cahaya di tengah kegelapan justru mematikan cahayanya sendiri dengan menjerumuskan organisasi dalam kubangan batubara.” Menurut Firdaus Cahyadi, bila elite organisasi Muhammadiyah ingin berbisnis energi kotor batubara seharusnya tidak mengatasnamakan organisasi. “Muhammadiyah terlalu besar bila harus tenggelam hanya karena batubara,” tegasnya, “Kekecewaan umat kepada elite Muhammadiyah bisa jadi akan merugikan seluruh amal usaha Muhammadiyah yang sudah besar itu.” (*)
Muhammadiyah Harus Tolak Tambang
Oleh M Rizal Fadillah | Pemerhati Politik dan Kebangsaan BERITA beberapa media bahwa Muhammadiyah menerima tawaran pengelolaan tambang berdasar PP No 25 tahun 2024 cukup mengejutkan. Menurut KH Anwar Abbas itu sudah putusan Pleno dengan penerimaan bersyarat seperti menjaga lingkungan dan hubungan baik dengan masyarakat. Sebelumnya meski belum secara resmi memutuskan, Muhammadiyah sudah dikelompokkan sebagai Ormas Keagamaan yang menolak usaha pengelolaan tambang tersebut. Masyarakat mengapresiasi sikap penolakan Muhammadiyah sebagai bentuk kewaspadaan atas jebakan Pemerintah kepada Ormas Keagamaan untuk memasuki dunia \"remang-remang\" yang bukan bidang pokok dari tugas dan kegiatan Ormas Keagamaan. Ejekan pun muncul pada Ormas Keagamaan yang menerima sebagai \"mata duitan\", \"bisnis syubhat\" atau \"leher yang terjerat\". Akal-akalan Pemerintah Jokowi untuk menyandera dan mengendalikan Ormas Keagamaan. Ketika muncul berita Muhammadiyah ikut menerima, cibiran mulai bermunculan seperti \"sama saja\", \"oh ini ujungnya\", \"enggak kuat ?\" dan lainnya. Untung kemudian muncul pula berita dengan subyek H. Dahlan Rais yang menyatakan PP Muhammadiyah belum menerima tawaran usaha pengelolaan tambang. Keputusan resmi setelah dibawa dalam agenda Konsolidasi Nasional 27-28 Juli 2024 di Yogyakarta. Dengan menghadirkan Daerah dan Organisasi Otonom. Suara daerah atau bawah perlu didengar jangan semata putusan Pimpinan Pusat sendiri. Ini karena masalah Izin Usaha Pertambangan untuk Ormas Keagamaan ini telah menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Dampak bagi citra dan nama baik Muhammadiyah harus dijaga. Dalam Konsolidasi Nasional tentu PP Muhammadiyah bukan sekedar menyampaikan keinginan lalu minta persetujuan tetapi benar-benar secara terbuka mendengar masukan dan pandangan daerah. Ada keyakinan jika suara daerah benar-benar didengarkan dan didalami, maka Muhammadiyah tidak akan mudah tergiur oleh program usaha pertambangan yang ditawarkan Pemerintah. Banyak masalah yang akan dihadapi baik dikte kontraktor atau investor, kerusakan lingkungan, konflik sosial, mafia tambang, serta terbukanya ruang-ruang korupsi dan kolusi. Muhammadiyah tidak perlu coba-coba untuk hal yang berada di luar \"core bisnis\" nya. Usaha tambang akan menambah masalah yang mungkin akan mengganggu konsentrasi kegiatan da\'wah Muhammadiyah. Muhammadiyah adalah gerakan Islam, gerakan da\'wah dan gerakan tajdid. Kiprahnya harus benar-benar dirasakan oleh masyarakat.Usaha pertambangan berbau kapitalistik jauh dari manfaat bagi masyarakat, sebagian justru merusak lingkungan dan harmoni. Konteks aktualnya adalah \"hidden agenda\" kepentingan politik di balik tawaran usaha pertambangan bagi Ormas Keagamaan tersebut. Sebagai kader yang tidak akan ikut dalam undangan Konsolidasi Nasional nanti, maka hanya bisa titipkan yang diyakini sebagai aspirasi mayoritas umat Islam dan anggota Muhammadyah seluruh Indonesia yaitu Muhammadiyah harus menolak tawaran untuk ikut dalam usaha pertambangan sebagaimana PP 25 tahun 2024. Mudhorotnya lebih besar dari manfaatnya. Semoga PP Muhammadiyah tidak mencoreng wajah KH Ahmad Dahlan. Sabar dan kuatlah berjuang di jalan-Nya. Rizki itu dari Allah bukan dari tambang. (*)