Lobi Singapura dan Cuan Besar di Balik Kebijakan Ekspor Pasir Laut

Oleh Faisal S Sallatalohy | Mahasiswa Doktor Trisakti

SETELAH 20 tahun dihentikan, Jokowi kembali membuka keran izin ekspor pasir laut. Kebijakan ini diputuskan sebagai wujud kepatuhan rezim neokolonial Indonesia terhadap lobi dan desakan oligarki global. 

Ekspor pasir laut diatur dalam regulasi terbaru yang diteken menteri perdagangan Zulkifli Hasan: Permendag No. 20 Tahun 2024 dan Permendag No. 21 tahun 2024 dengan merujuk pada Pertauran Pemerintah No. 26 Tahun 2023. 

Alasan pemerintah, ekspor pasir ditujukan untuk mengatasi masalah sedimentasi, hanyalah omong kosong. Sejauh ini pemerintah tidak pernah jujur dan terbuka terkait data seberapa parah akumulasi sedimentasi di Indonesia. 

Alasan sedimentasi hanyalah akal-akalan. Tujuan utamanya adalah "cuan besar" yang ditawarkan para oligarki lewat lobi dan desakan penerbitan izin ekspor pasir laut. 

Beberapa bulan sebelum izin ekspor diterbitkan, tepatnya pada April 2024 lalu, kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah menerima pendafataran 71 perusahan tambang pasir laut. 

Setelah diverifikasi, hanya 66 perusahan yang lolos verifikasi. Mirisnya, dalam hal ini, KKP melakukannya melalui proses penunjukan langsung. KKP lalu mengatur rencana, 66 perusahan tambang tersebut akan bermitra dengan 51 perusahan kapal isap pasir laut serta 54 perusahan mitra reklamasi atau pembeli pasir laut. 

Semua hal ini, telah diatur pemerintah lewat KKP, sebelum aturan izin ekspor pasir diterbitkan. Artinya, latar belakangnya bukan perbaikan sedimentasi laut. Melainkan alasan bisnis. Mulai dari perusahan penambang, kapal isap dan calon pembeli sudah diatur dan direncanakan dengan bail sejak awal. 

Dalam penawarannya, KKP mencatat, 66 perusahaan yang telah diverivikasi lewat proses penunjukan, mengajukan rencana konsesi penambangan pasir laut dengan luas paling sedikit 3,3 miliar kubik. 

Mayoritas perusahan tambang calon pembeli pasir itu berasal dari Singapura, Jepang, Cina dan Johor Malaysia yang akan dikirim perusahan kapal isap pasir dari Belgia, Jepang, Singapura, Cina dan Belanda. 

Harga patokan yang ditetapkan untuk pembelian pasir laut didasarkan pada Peraturan Pemerintah No. 85 atahun 2021 tentang Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) untuk Kementerian Kelautan dan Perikanan. 

Perhitungan harganya dibagi dua. Pertama, perhitungan PNBP untuk pemanfaatan dalam negeri adalah 30% dari nilai harga patokan (HPP) dikalikan volume pengambilan pasir laut. 

Kedua, untuk pemanfaatan pembelian luar negeri atau ekspor, perhitungan PNBP adalah 35% dari nilai harga patokan (HPP) dikalikan volume pengambilan pasir laut. 

Pertanyaannya, berapa harga patokan (HPP) pembelian pasir atau sedimentasi laut? 

Dalam dalam Kepmen KKP No. 6 Tahun 2024, pembelian dalam negeri dibandrol Rp 93.000 per meter kubik. Sementara harga pembelian pasir luat negeri atau ekspor Rp 186.000 per meter kubik. 

Disebutkan dalam perencanaan kementrian KKP pada April lalu, bahwa mayoritasnya izin pemanfaatan pasir diperuntukan untuk diekspor ke sejumlah negara. 

Perusahan dan calon pembeli asing itu menawarkan permintaan dengan volume pembelian pasir laut 3,3 miliar meter kubik. Karena konteksnya adalah ekspor, maka harga acuan yg dipakai adalah Rp 186.000 per meter kubik. 

Jika 3,3 miliar meter kubik x Rp 186.000 = Rp 613 triliun. 

Itulah potensi "Cuan" jika seluruh permintaan berhasil diekspor sesuai harga jual Rp 186.000 per meter kubik. 

Ambisi negara untung penjualan pasir laut ke asing, diperkirakan akan jauh lebih besar. Secara keseluruhan, kementrian KKP menawarkan jumlah volume pasir yg jauh lebih besar dari permintaan asing yang hanya 3,3 miliar meter kubik. 

Dari data KKP, potensi volume pasir laut yg ditawarkan pemerintah sebanyak 17,64 miliar meter kubik, meliputi Laut Jawa sebanyak 5,58 miliar meter kubik, Selat Makassar 2,97 miliar meter kubik, dan Laut Natuna-Natuna Utara 9,09 miliar meter kubik. 

Artinya, pemerintah bisa memperoleh lebih banyak "cuan" seiring dengan meningkatnya permintaan volume pembelian pasir. 

Kebijakan ekspor pasir tidak lepas dari loby pihak asing. Terutama Singapura yang saat ini memang sangat membutuhkan stok pasir untuk reklamasi perluasan wilayahnya. 

Sejak 15 Juli 2023, pihak Singapura menunjukan tanda-tanda positif yang mengindikasikan kekuatan loby mereka bekerja dibalik pembahasan dan perencanaan penerbitan regulasi izin ekspor pasir laut. 

Wakil perdana menteri sekaligus menteri keuangan Singapura, sejak Juli tahun lalu, vokal menyatakan, pihaknya akan mengawal proses impor pasir ke Singapura oleh perusahan swasta, apakah sudah sesuai dengan aturan yang ditetapkan Indonesia. 

Menurutnya, aturan terkait tataniaga impor pasir laut ke negaranya, tidak bergantung terhadap regulasi yang dibuat Singapura, melainkan aturan yang dibuat pemerintah asal, yakni Indonesia. 

Secara politik diplomasi, pernyataan ini mengandung daya negosiasi dan loby yang menunjukan Singapura sengaja menjatuhkan posisi daya tawarnya.  Hal ini menunjukan Singapura sangat membutuhkan. Sampai bersedia memberikan kewenangan besar kepada Indonesia untuk menentukan aturan terkait impor, termasuk dalam konteks menentukan harga jual. 

Aneh, dalam konteks impor, umumnya negara pengekspor harus mematuhi aturan agar prodaknya bisa masuk ke negara importir. 

Ini sebaliknya, malah Singapura yang memberi akses kepada Indonesia sebagai negara asal untuk menentukan aturan hukum yang akan dipakai. 

Hal ini kembali dipertegas, Menteri kedua Luar Negeri Singapura, Maliki Osman, bahwa pihaknya akan menindak tegas perusahan swasta asal negaranya dalam melangsungkan ekspor jika melanggar dengan menggunakan aturan hukum yang dibuat Indonesia. 

Benar-benar aneh. Seolah Singapura sengaja menjatuhkan daya tawarnya, memberi keleluasaan kepada pemerintah Imdonesia menentukan aturan main asal dibuka keran ekspor pasir ke Singapura. 

Secara historis, Singapura sangat bergantung terhadap ekspor pasir Indonesia. Data penjualan ekspor pasir laut Indonesia dari trademap.org mencatat, volume ekspor komoditas dengan kodifikasi HS 2505.90.000 pada 2003 menyentuh angka 3,8 juta ton dengan nilai transaksi US$ 9,6 juta. 

Mayoritas pengiriman pasir laut ditujukan ke Singapura dengan besaran mencapai 3,6 juta ton atau senilai US$ 8,8 juta 

Namun ketika Indonesia mengumumkan larangan ekspor pasir pada 2007 karena tajamnya kritikan publik terkait kerusakan lingkungan yang ditimbulkan, Singapura mengalami krisis pasir lantaran 90% kebutuhan pasirnya bergantung terhadap Indonesia. 

Singapura lalu beralih mencari sumber pasokan pasir dari negara lainnya. Laporan Program Lingkungan Keberlanjutan Pasir Perserikatan Bangsa-Bangsa 2019, mencatat, Singapura telah menjadi importir pasir terbesar di dunia selama 20 tahun terakhir, membawa sekitar 517 juta ton pasir dari negara-negara tetangga lainnya. 

Menurut SG101, kebutuhan pasir Singapura untuk keperluan reklamasi wilayah hingga 2030 mencapai 4 miliar kubik. Terutama untuk proyek reklamasi pelabuhan Tuas Singapura yang ditargetkan rampung pada tahun 2040.  

Proyek ini merupakan salah satu proyek reklamasi pelabuhan terbesar di dunia yg mampu menangani 65 juta TEU (TEU: satu kontainer 20 kaki) per tahun. Menjadi megaport pintar kelas dunia dengan teknologi pelabuhan generasi berikutnya, termasuk sistem operasi otomasi tak berawak. 

Untuk memenuhi keperluan tersebut, Singapura telah berkontrak dengan Johor Baru ke Jurong Town Corporation (JTC) sekitar SDG 15 dolar per meter kubik serta dari Vietnam sekitar SGD 35 hingga US$ 38 per meter kubik FOB Singapore. 

Jika dibandingkan dari sisi kualitas pasir, jarak suplai dan harga jual yang didapatkan Singapura dari Indonesia sudah pasti jauh lebih baik. Oleh karena itu, Singapura sangat berambisi melobi untuk memperoleh pasir laut dari Indonesia dibandingkan dari Vietnam, Malaysia ataupun Kamboja, Myanmar, Thailand dan Filipina. 

Sekarang ambisi dan lobi Singapura terwujud. Resmi bisa mengantongi izin ekspor pasir laut dari Indonesia. Relasi bisnisnya menjadi jelas. Singapura dapatkan manfaat pasir Indonesia untuk keperluan reklamasi wilayahnya. Sementara pemerintan Indonesia, mendapatkan jaminan "cuan" yang sangat besar. 

Inilah alasannya, akibat ada potensi keuntungan yang besar di depan mata, maka tak heran, banyak pejabat berlomba pasang badan dengan menyatakan ekspor pasir laut tidak merusak lingkungan dan malah untuk membersihkan sedimen, menyehatkan laut dan mengamankan alur pelayaran. Shame on you !!!

270

Related Post