LINGKUNGAN

Sory Bro Anies, Rupanya Ada Banjir Jakarta Ya?

by Asyari Usman Medan, FNN - Sekali ini, nyaris tidak tahu ada banjir di Jakarta. Minta maaf kepada Pak Anies Baswedan. Terlewatkan berita banjir beberapa hari yang lalu itu. Tak sempat berkomentar. Begini. Sebetulnya, bukan terlewatkan. Tapi, banjir yang datang hari Sabtu (20/2/2021) itu cukup cepat berlalu. Lihat berita malam tadi, sudah kering Senin dinihari (pukul 03.00). Saya menangguhkan komentar tentang banjir ini karena biasanya genangan air berlangsung berhari-hari. Saya pikir, nanti sajalah. Apalagi sedang dalam perjalanan (musafir) empat hari. Ada dengar juga kawasan Kemang tenggelam hingga satu meter. Rupanya, tak sampai 48 jam sudah 100% surut di semua titik di Jakarta. Begini, Bro Anies. Supaya komentar ini netral, saya setuju Ente katakan bahwa banjir kali ini lebih cepat surat karena “izin Allah”. Ente bilang “bi-iznillah” (dengan izin Allah). Pada hakikatnya, yang Ente katakan itu “absolutely correct” (benar sekali). Mengapa saya pinjam kata “bi-iznillah”? Saya khawatir kalau saya katakan banjir Jakarta kali ini cepat surut karena kesiapan dan kesigapan Gubernur beserta seluruh jajarannya, pastilah mereka katakan saya ini cari muka. Padahal, muka saya saja belum pernah Ente lihat. Iya, ‘kan? Nah, biarlah saya sebut “dengan izin Allah”. Tidak usah disebut-sebut pekerjaan Anies yang semakin baik. Tak usahlah saya katakan ente semakin paham cara meminimalkan dampak banjir. Saya pikir, ini akan lebih baik untuk Ente, Pak Gub. Yang penting ‘kan rakyat Jakarta tidak terlalu berat deritanya. Itu yang pertama. Yang kedua, para pemburu kelemahan Ente akan semakin berat cari makan. Dan yang ketiga, ini yang teramat penting, Ente tidak perlu berkoar-koar di depan publik bahwa “banjir Jakarta akan mudah diatasi kalau saya menjadi presiden”. InsyaAllah, sebelum masuk Istana pun Ente bisa atasi. Nah, ini yang perlu Ente katakan dalam bentuk kompetensi kerja. Dan kompetensi pikir. Menonjolkan “bi-iznillah” adalah representasi isi kepala dan isi hati yang paralel dalam kerundukan. Orang lain menyebutnya “silence is golden”. Ada orang yang isi kepalanya entah di mana dan isi hatinya entah terbuat dari apa. Tapi, dengan bangga menjajakan limbah karatan besi lapuk yang dibawanya keluar-masuk kampung, dan dia katakan itu emas. Hebatnya, orang-orang goblok masih belum merasa tertipu. Mereka terus saja mengatakan limbah besi karatan itu emas yang akan membawa Indonesia menjadi negara hebat dan bangsa yang dahsyat. Dan mereka masih akan membuzzerkan itu dengan cara menyerang kompetensi orang lain. Bahayanya, mereka akan berusaha melanggengkan limbah besi karatan itu melalui upaya pendinastian. Sambil berusaha menjelekkan di depan publik kompetensi kerja dan pikir yang bertaraf logam mulia. Sebaliknya, mereka setiap saat akan menggosok limbah besi karatan sampai akhirnya semua orang tersenyum. Karena kebodohan yang tak masuk akal. Jadi, sudah sangat tepat ketika Ente, Pak Gub, menyematkan keberhasilan mempercepat surut banjir kemarin itu sebagai “takdir Tuhan” dan kerja keras semua staf Ente. Bukan karena kompetensi Ente. Itu pertanda Ente mengerti bahwa permata tak mungkin tertutupi oleh kotoran yang keluar dari pikiran kotor. Bagaimanapun juga, kompetensi adalah lawan positif dari inkompetensi alias ketidakbecusan. Perbedaan keduanya sangat kontras. Dan cepat ketahuan.[] Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Jokowi Disentil Keras Soal Perahu Karet untuk Banjir Kalimantan

by Asyari Usman Medan, FNN - Ketika orang-orang biasa mampu memikirkan penyebab banjir besar di Kalimantan Selatan, Presiden Jokowi melalui Twitter @jokowi mencuitkan tentang kesigapan beliau mengurusi banjir besar ini. Dalam cuitan itu, akun dengan nama Joko Widodo yang berfoto profil Pak Jokowi dengan pakaian jas, berpeci dan masker, mengatakan Presiden telah memerintahkan kepala BNPB (Badan Nasional Penanggulan Bencana), TNI dan Polri agar secepatnya mengirimkan bantuan termasuk perahu karet. Cuitan “perahu karet” ini kemudian ditonjok keras oleh netizen dengan akun @Dandhy_Laksono (Dandhy Laksono). Dandhy mengatakan, “Kalau soal perahu karet, tanpa perintah presiden pun, tim lapangan paham. Porsi Presiden itu memerintahkan evaluasi izin dan audit lingkungan semua sektor ekstraktif (tambang-pen) di Kalimantan, agar banjir dan asap tidak terjadi lagi.” Sekarang, saya permisi mau menojok balik Bung Dandhy. Ada beberapa poin kritikan untuk Anda. Pertama, Pak Jokowi itu bereaksi sangat konotatif, kognitif, dan konglomeratif. Artinya, begitu ada banjir, Pak Jokowi langsung berkonotasi ke perahu karet. Ini wajar karena setiap kali ada banjir, Pak Jokowi selalu melihat perahu karet di lokasi. Jadi, ada aspek kognitif Pak Jokowi yang bekerja. Sedangkan reaksi yang sifatnya konglomeratif adalah pikiran dan tindakan yang “conglomerate friendly” (ramah konglomerat). Selalu memikirkan para konglomerat jika ada indikasi keterkaitan antara bencana banjir di Kalimantan dan tambang batubara serta perkebunan sawit. Ini maksudnya adalah: jika ada banjir besar di sana, maka Pak Jokowi akan spontan teringat bagaimana cara menjawab cecaran terhadap para konglomerat. Seterusnya, Pak Jokowi terbiasa bereaksi produktif. Yaitu, langsung mengatasi masalah seketika. Ada banjir, kirim perahu karet. Di mana saja ada banjir, solusinya perahu karet. Jadi, wajar saja kalau perahu karet yang disebut Pak Jokowi dalam cuitannya. Nah, Anda, Bung Dandhy, sangat keliru menuntut evaluasi izin tambang dan izin perkebunan sawit. Anda mungkin berpendapat izin di kedua sektor ini sebagai penyebab banjir air di Kalimantan. Keliru besar. Izin tambang dan izin perkebunan itu adalah penyebab “banjir duit”. Bukan hanya penyebab banjir air seperti yang terjadi saat ini. Sebagai penyebab “banjir duit”, maka izin tambang dan izin perkebunan sawit tidak cocok dinilai buruk. Sebaliknya harus dievaluasi dan diaudit dengan predikat “sangat bagus”. Namanya juga “banjir duit”. Siapa yang akan memberikan evaluasi tidak baik? Pak Jokowi harus berpikir keras tentang bagaimana cara mengkanalisasikan “banjir duit” itu agar tidak menggenang ke mana-mana. “Banjir duit” harus diarahkan ke satu tempat saja. Supaya mudah dikelola. Poin yang kedua, Panjenengan kayaknya belum mampu memahami Pak Jokowi. Beliau itu menggunakan cara halus untuk memukul para pemilik tambang dan perkebunan di Kalimantan. Beliau menggunakan bencana alam untuk menegur mereka. Nanti Pak Jokowi tinggal bilang, “Bapak-bapak sekalian, beginilah dampak buruk tambang batubara dan perkebunan sawit di Kalimantan.” Dengan teguran satu kalimat itu saja, puluhan pengusaha tambang dan sawit sudah mengerti apa yang harus dilakukan. Mereka akan mengumpulkan donasi untuk korban banjir. Pastilah akan terkumpul ratusan miliar atau bahkan triliunan. Setelah donasi terkumpul, akan diminta bantuan Juliari Batubara (mantan menteri sosial) untuk menyalurkannya. Pak Juliari sudah sangat berpengalaman menyalurkan bansos Covid. Beliau sudah sangat paham menunjuk pihak-pihak yang bertugas menyampaikan bantuan ke pihak-pihak yang “berhak”. Terus, untuk mendistribusikan bantuan dari para konglomerat tambang dan sawit itu tentu diperlukan tas tenteng atau ‘goodie bag’. Ini bisa dipesan dari PT Sritex. Supaya pesanan aman dan efisien, bisa minta bantuan Mas Gibran. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Alia Laksono, Live Mentoring Bersama Enes Kanter

Oleh M.H Minanan Jakarta, FNN - Dinamika yang berkembang dalam masyarakat akhir-akhir ini, pertanda bahwa perlu adanya instrumen yang dapat digunakan untuk menyamakan persepsi, mindset dan rasa toleransi bersama. Staff Khusus Menteri Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia. Alia Noorayu Laksono menyampaikan hal tersebut saat menjadi Pembicara Live Mentoring Idnextleader bersama Atlet NBA asal Turkey (Enes Kanter). Jum'at, 17 April 2020. Dalam pandangan StaffsSus Menpora termuda itu kepada 120 peserta (atlet muda Indonesia) yang telah menyempatkan waktu untuk gabung mengikuti sesi mentoring tersebut. Sampai saat ini, berbagai langkah dan upaya Pemerintah, dalam memutus rantai penyebaran Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19), tengah di upayakan serius. Mari, sama-sama kita membantu pemerintah, Sesuai bidang kita masing-masing. Menurut Alia. Kementerian Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia akan selalu hadir untuk mengembangkan potensi dan membina para pemuda agar kelak menjadi individu yang berprestasi. Anak muda yang merupakan atlet maupun non atlet, dapat terinspirasi untuk menggapai impiannya dengan penuh kerja keras dan disiplin yang tinggi sehingga Indonesia dapat mencetak generasi bangsa yang membanggakan tanah air. Dalam acara tersebut Ernes Kanter Player Boston Celtics Basketball. Juga berpesan kepada anak muda untuk investasi di diri kita sendiri selama masa karantina dengan mencoba hal-hal yang belum pernah kita pelajari sebelumnya. Stay Humble, Stay Hungry. Lanjutnya. Hidup Sehat dan Olahraga Jumlah pasien positif terinfeksi Covid-19 secara kumulatif per Jumat (17/4) bertambah menjadi 5.923 kasus. Dari jumlah itu, 607 orang sembuh dan 520 meninggal dunia (CNN Indonesia). Jaga kebersihan dan ketertiban. Bukankah Covid-19 telah mendidik kita agar selalu menjaga kebersihan badan, pakaian, barang dan lingkungan dengan rajin mandi, mencuci tangan, semprot antiseptik dan disinfektan? Jangan lagi abai dan masa bodoh pada anugerah Allah yang melimpah tak terbatas, seperti sinar matahari, tumbuhan yang menyehatkan dll. Perbanyaklah bersyukur atas karunia gratis itu semua. Bukankah Covid-19 telah mendidik kita agar rajin berjemur n OR di pagi hari, rajin minum jahe, sereh, kunyit, lemon dll agar daya tahan tubuh kita lebih kuat? . Tanam dan peliharalah tumbuhan yang memberi manfaat kesehatan. Daya tahan tubuh akan kuat jika selalu berbaik sangka, sabar, syukur, ikhlas dan jujur. Sungguh pelajaran yang luar biasa dari Covid19. Semoga kita semua selalu dalam lindungan Allah SWT dan dijauhkan dari semua musibah dan penyakit. Dan wabah Covid-19 cepat berlalu... Aamiin Allahumma aamiin...

Ditunggu, Kebijakan Strategis Gubernur Soal Tumpang Pitu!

Oleh Mochamad Toha Jakarta, FNN - Jejak digital mencatat, berdasarkan hasil pengamatan satelit internasional, terdapat 26 ribu ha tambang emas antara Lumajang-Malang, 56-58 ribu ha antara Tulungagung-Trenggalek, dan 96 ribu ha di Pacitan. Melansir Liputan6.com (04 Feb 2019, 10:01 WIB), jika data dari satelit internasional tersebut valid, bisa jadi wilayah Jatim ini merupakan daerah kumpulan emas terbesar kedua di dunia setelah Afrika Selatan, atau paling besar se-Asia Tenggara. Terlebih lagi industri perhiasan di Jatim yang mempunyai peran strategis dalam mendukung pertumbuhan ekonomi setempat, sebab permintaan terhadap produk perhiasan, khususnya emas, menunjukkan trend semakin meningkat. Karena selain berfungsi sebagai karya seni yang mampu memperindah penampilan, produk perhiasan juga bisa digunakan untuk sarana investasi menjanjikan bagi para inverstor, bahkan industrinya mampu menyerap tenaga kerja mencapai 17.600 orang dilansir Antara. Keberadaan 26 unit industri perhiasan skala besar dan menengah, serta 1.854 unit industri perhiasan skala kecil di Jatim yang lokasinya tersebar pada 11 kabupaten/kota sangat berperan besar untuk mendukung ekspor. Yakni, di Surabaya, Gresik, Sidoarjo, Kabupaten Mojokerto, Kota Mojokerto, Lamongan, Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Malang, Kota Malang, Lumajang dan Pacitan. Berdasarkan data di Pemprov Jatim hingga triwulan menjelang akhir tahun lalu, ekspor perhiasan telah mencapai 2,16 miliar dolar AS, bahkan industri ini memiliki kontribusi hingga 50 persen terhadap produksi perhiasan nasional. Negara potensial yang menjadi sasaran ekspor perhiasan asal Jatim antara lain Amerika Serikat, Jepang, China-Hong Kong serta Swiss. Selain tambang emas yang masih tertimbun di dalam “perut bumi” di wilayah Lumajang, Malang, Tulungagung, Trenggalek, dan Pacitan, di dua daerah lainnya sudah diekplorasi penambangannya, yakni di Banyuwangi dan Jember. Di Banyuwangi, pertambangan berada Dusun Pancer, Kecamatan Pesanggaran, Kabupaten Banyuwangi, sedangkan di Jember berada di Kecamatan Silo. Proses eksplorasi dan pertambangan emas di dua daerah tersebut tak berjalan mulus, sebab sebagian warga dan sejumlah pihak menolaknya dengan alasan merusak lingkungan. Di sini diperlukan “lompatan kebijakan” dari Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa. Bunda Khofifah, demikian panggilan akrab gubernur wanita pertama di Jatim ini, yang juga sebagai gubernur zaman now itu merupakan harapan yang luar biasa dari masyarakat. Karena ia adalah gubernur yang berpikiran lateral, tidak linier. Sehingga, Bunda bukan hanya harus mempertahankan laju pertumbuhan ekonomi, tapi juga perlu adanya lompatan-lompatan ekonomi. Bukan sekedar melanjutkan pendahulunya. Itulah harapan masyarakat Jatim pada Gubernur Khofifah. Sebagai gubernur zaman now juga, Bunda diharapkan berpola pikir zig-zag, harus berpola pikir lateral, bukanlah linier, yang selama ini banyak dipahami orang dengan berpola pikir lateral. “Sebagai Srikandi-nya Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid), Bunda Khofifah diharapkan bisa melanjutkan pola pikir ala Gusdurian yang berpola pikir lateral,” ungkap seorang pengusaha yang pernah malang melintang di dunia pertambangan. Jatim dikaruniai oleh Allah SWT suatu potensi yang sangat besar, yang salah satu kawasan yang daratannya dilintasi ring of fire (cincin api) terpanjang di Indonesia. Dan, tentu saja di dalamnya ada berkah potensi mineral dan tambang yang sangat besar juga. Bahkan, jejak-jejak Eropa yang dibangun pada abad XV semasa Gubernur Raffles bisa kita dapati di berbagai daerah di Jatim. Khususnya, di kawasan gunung Gumitir (Curahwangkal/ Silo, sampai pada rentetan gunung Tumpang Pitu, Banyuwangi). Tapi, sayangnya, selama setahun ini tanda-tanda akan melakukan lompatan ekonomi berpola pikir lateral dengan kebijakan-kebijakan yang melompat, itu belum ada tanda-tanda ke arah sana. “Bahkan, selama setahun ini, seperti yang dikhawatirkan banyak orang akan pertumbuhan ini sangat lambat dibanding pendahulunya mendekati kenyataan. Tidak terjadi pola pikir zig-zag, seperti Gus Dur,” lanjutnya. Untuk itu kebijakan-kebijakan yang brilian dengan berpihak kepada rakyat, harus dirumuskan oleh Gubernur Khofifah. Apalagi, Pemprov Jatim punya Dewan Riset dan Dewan Pakar yang semuanya dibiayai APBD untuk membantu Bunda dalam mengambil kebijakan-kebijakan. Mereka harus melakukan riset-riset kedalaman, bukan hanya permukaan. Bagaimana isi perut bumi Jatim itu. Ini bisa menjadi kebijakan untuk kemakmuran masyarakat Jatim. Sebab, yang berhak melakukan itu semua adalah gubernur, bukan dari sekelompok elit politik atau kekuatan presure group dan taipan-taipan tertentu. Tapi, memang harus diorientasinya untuk masyarakt Jatim dengan cara membuka potensi-potensi Jatim. Itu ada semua dan haru dibuka secara transparan ke publik, mulai dari migas, aurum (Au, emas), perak, tembaga, molib dinum (ini lebih mahal dari emas), aluminium, bismuth oxy cloride, uranium, mercuri, sampai uranium itu ada di perut bumi Jatim. Itu adalah kekayaan yang diberikan Allah SWT kepada rakyat Jatim. Sehingga diharapkan pada tahap eksplorasi juga melibatkan masyarakat Jatim, terlebih lagi saat eksploitasi, harus melibatkan masyarakat Jatim. Bukan hanya pemilik modal saja. Kemarahan masyarakat sekitar potensi tambang itu jangan sampai dijadikan objek/penonton atas kehadiran investasi dan peralatan yang datang di sana. Libatkan mereka dalam usaha itu. Sebab, adanya isi perut bumi itu juga hasil dari doa-doa leluhur mereka di sana yang hasilnya justru untuk anak cucu mereka. Beroperasinya PT Bumi Suksesindo (BSI) di Tumpang Pitu ada bagian yang tidak terpisahkan dari deretan usaha dan geliat pertambangan di wilayah Jember-Banyuwangi yang sebelumnya dieksplorasi oleh Yusuf Merukh melalui PT Metal Jember-Banyuwangi, tapi belum berhasil. Di era kepemimpinan Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas, akhirnya PT BSI berhasil mengekplorasi maupun ekspoitasi tambang Tumpang Pitu yang awalnya merupakan hutan lindung. Wilayah ini adalah inti dari tambang emas dunia, yang sangat besar. Sebagai “Srikandi Jatim”, seharusnya Bunda Khofifah membuka potensi-potensi di Jatim itu. Persoalan-persoalan hari ini masyarakat Tumpang Pitu itu karena mereka dipertontonkan oleh ketidak adilan. Sehingga timbul yang namanya kecemburuan soslal dan ekomoni. Mereka yang selama ini sehari-harinya sudah secara turun-temurun menambang di kawasan tersebut akhirnya mereka merasa diperlakukan tidak adil. Banyak diantara masyarakat yang mengambil limbah-limbah itu yang kemudian ditangkapi oleh polisi karena dianggap ilegal. Dengan teknololgi leaching (proses pencucian dan pelarutan sisa-sisa limbahnya) yang rata-rata dalam tiga malam itu bisa menghasilkan Rp 25-50 juta, itu biasanya dikerjakan oleh satu kelompok (1-5 orang). Di situ selama ini pula ada mata rantai ekonomi. Dengan alasan tambang ilegal, maka mereka ditangkapi. Dalam persoalan seperti ini seharusnya negara hadir. Katakanlah, pemodal diberi porsi 70%, Pemkab PI 10%, dan yangg 20% itu penduduk sekitar. Jangan semuanya diambil oleh pemodal besar. Kalau itu tidak dilakukan Gubernur Khofifah, persoalan pertambangan, tidak akan pernah selesai. Isu lingkungan itu hanya dipakai untuk melawan pengusaha tambang. Padahal, teknologi PT BSI itu luar biasa canggihnya. Bahkan, putra-putra terbaik bangsa ini yang sudah melanglang buana ke seluruh dunia dipanggil untuk menggarap ini. Gunung Tumpang Pitu itu nantinya tetap ada di atasnya dengan tanaman-tanaman hijau yang ada. Ini diarahkan ke zero accident karena ramah lingkungan. Isu lingkungan tersebut dijadikan semacam kitabnya mereka untuk melakukan penambangan di dalamnya. Di situ hasilnya luar biasa. Seperti Sandiaga Uno yang melepas sahamnya untuk biaya kampanye itu. Jadi, Gubernur Khofifah harus segera mengeluarkan kebijakan yang cerdas. Kebijakan yang bersumber pada pemikiran-pemikiran lateral. Yang penting itu Gubernur lakukan lompatan-lompatan kebijakan. Out off the box, tidak terkungkung oleh pemikiran-pemikiran biasa. Demo-demo yang terjadi selama ini, itu sebenarnya alat untuk pertahanan masyakarat, bentuk perlawanan dari masyarakat, karena melihat begitu besarnya kekuatan modal. Mereka butuh keadilan saja. Mungkin dengan 20% itu membuat masyarakat bisa sejahtera. Menurut Data Dinas Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Jatim, baru 15-20 persen SDA di Jatim yang sudah dieksplorasi aktivitas pertambangan. Kepala Dinas ESDM Jatim Setiajit mengatakan, masih banyak potensi pertambangan yang membentang dari Banyuwangi, Lumajang, Malang, Blitar, Tulungagung, Pacitan, sampai Ponorogo. Baik sumber daya mineral, logam, tembaga, perak, bahkan emas di Jatim, menurutnya, belum tereksplorasi dengan baik. “Apalagi minyak dan gas, luar biasa di Jawa Timur,” katanya, Kamis (21/11/2019). Potensi pertambangan Jawa Timur itu membentang di sepanjang Jawa Timur bagian Selatan dan tengah. Di Pegunungan Kendeng, misalnya, ada kandungan kapur, fosfat, dolomit, dan kalsium belum terolah. “Banyak sekali potensi lainnya. Ada wilayah yang dikuasai masyarakat, ada juga wilayah Perhutani,” ujarnya. *** Penulis wartawan senior.

Polemik Tumpang Pitu: Gubernur Dihimpit Dilema!

Oleh Mochamad Toha Jakarta, FNN.co.id - Akhirnya, warga terdampak sekitar tambang emas Tumpang Pitu, Banyuwangi, ditemui oleh Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa, Jum’at (28/2/2020). Meski belum ada pernyataan sikap, namun pertemuan ini suatu kemajuan besar dan berarti. Karena sebelumnya, berbagai upaya warga untuk bisa bertemu Gubernur Khofifah nyaris tidak berhasil saat mereka melakukan aksi di depan Kantor Gubernur di Jalan Pahlawan Surabaya. Karena berbagai rintangan sempat menghadang warga. “Kemarin saya di kantor Pahlawan mereka tidak aksi,” ujar Gubernur Khofifah ketika saya hubungi. Belakangan diketahui, warga tidak melakukan aksi karena pada Rabu (26/2/2020) ada warga lain dari Banyuwangi juga yang siap menghadang. Menurut Advokat Subagyo, SH, pendamping warga terdampak, ketika itu tidak aksi, karena ada informasi bahwa massa bayaran didatangkan dari Banyuwangi sebanyak 3 bus. “Saya termasuk yang ikut menyarankan agar warga tolak tambang menjauh dulu dari kantor Gubernur untuk menghindari bentrokan. Info dari Banyuwangi massa kontra tolak tambang dibayar per orang Rp 150 ribu per hari,” ungkapnya. Apa yang saya tulis itu, nyaris terjadi. Gejala konflik horizontal di wilayah sekitar tambang emas Tumpang Pitu di kawasan Dusun Pancer, Desa Sumberagung, Kecamatan Pesanggaran, Kabupaten Banyuwangi, belakangan ini sangat mengkhawatirkan. Pasalnya, mulai ada kelompok Forum Pembela Adat dan Budaya Banyuwangi (Balawangi) yang siap-siap pasang badan mensterilkan Dusun Pancer dari pihak luar. Sayangnya pihak luar yang dimaksud itu siapa tak disebutkan. “Kami sangat prihatin, dan merasa terpanggil atas kondisi yang terjadi di Pancer,” kata Ketua Balawangi, Sholehudin, Minggu malam (16/2/2020). Ini disampaikan saat acara diskusi di café Jakarta, Desa Jajag, Kecamatan Gambiran, Banyuwangi. Diduga, massa kontra tolak tambang itulah yang berusaha menghadang warga terdampak itu. Esoknya, Kamis (27/2/2020), warga terdampak ini mendapat intimidasi ketika mereka berada di LBH Surabaya. Memang tidak jelas siapa yang intimidasi ini. Tim Kerja Advokasi Gerakan Rakyat untuk Kedaulatan Agraria (TEKAD GARUDA) merilis sekitar pukul 11:00 WIB menyebut, beberapa orang tak dikenal berpakaian safari hitam yang mengaku-aku sebagai anggota Ormas Pemuda Pancasila (PP) dan ormas gabungan lainnya telah mendatangi kantor LBH Surabaya. Warga terdampak tambang emas yang berasal dari kaki Gunung Tumpang Pitu dan Gunung Salakan, Banyuwangi, bersama simpatisan pendukungnya yang sedang berkumpul di Kantor LBH Surabaya dikagetkan oleh bentakan dan suara ribut-ribut dari lobi LBH Surabaya. Tak hanya membentak, gerombolan ini juga mengaku-aku berasal dari Banyuwangi. Selain, mencari Direktur LBH Surabaya mereka juga bermaksud memastikan apakah di Kantor LBH Surabaya ada massa aksi yang berkumpul ataukah tidak. Tak hanya itu, mereka juga melarang warga dan massa penolak tambang untuk melakukan aksi di Depan Kantor Gubernur Jatim. Salah seorang dari kelompok tidak dikenal ini juga menyuruh warga melakukan aksi di Banyuwangi, bukan di Kantor Gubernur Jatim. Mereka ini juga mengancam akan menghadang warga dan massa tolak tambang jika berkeras melanjutkan aksi ke Kantor Gubernur Jatim. Sebelum pergi meninggalkan kantor LBH, salah seorang dari mereka menggebrak meja dan kembali mengulang ancamannya: akan menghadang warga jika tetap berangkat ke Kantor Gubernur Jatim. Di luar Kantor LBH Surabaya, kepada salah seorang massa penolak tambang, salah seorang anggota gerombolan ini menanyakan isu apa yang sebenarnya akan diperjuangkan oleh warga serta pendukungnya. Hingga rilis ini diterima, belasan hingga dua puluhan orang-orang tidak dikenal tersebut tetap bergerombol di depan gerbang Kantor LBH Surabaya. Sementara, Ketua Lembaga Penyuluhan dan Pembelaan Hukum (LPPH) Pemuda Pancasila Kota Surabaya, Rohmad Amrullah, dalam klarifikasinya menyatakan, Ormas PP, di seluruh tingkatan, di wilayah Jatim, tidak ada perintah melakukan pendudukan terhadap kantor LBH Surabaya, berkaitan dengan kasus tambang emas di wilayah Banyuwangi. Dalam klarifikasi bernomor 028/LPPH-PP/II/2020 itu, Rohmad menjelaskan, “Apabila ada pihak yang menyebut diri sebagai perwakilan dari Pemuda Pancasila, maka kami mohon hal tersebut tidak dianggap sebagai perwakilan organisasi, karena memang sejatinya tidak ada keputusan ataupun perintah organisasi untuk melakukan tindakan tersebut.” Hingga file klarifikasi berformat pdf tersebut diterima oleh staf LBH Surabaya, belum juga terungkap siapa sesungguhnya gerombolan yang telah menggeruduk Kantor LBH serta mengintimidasi warga penolak blok tambang emas Salakan-Tumpang Pitu itu. Langkah strategis Gubernur Khofifah untuk segera menemui warga terdampak tambang emas Tumpang Pitu sehari setelah intimidasi tersebut, sangatlah tepat. Sehingga tak sampai timbul kesan bahwa mereka ini massa yang “wewakili” Pemprov Jatim. Sebelumnya, Selasa (25/2/2020), terkait desakan warga Tumpang Pitu yang menuntut mencabut ijin pertambangan emas PT Bumi Suksesindo (BSI) dan PT Damai Suksesindo (DSI), Gubernur Khofifah menyatakan agar warga menunjukkan pasal yang dilanggar. “Kalau mau dikaji ulang silahkan. Kan undang-undang itu bupati bisa mencabut, gubernur bisa mencabut jika mereka bisa menunjukkan buktinya dari undang-undang. Di item mana dari undang-undang itu yang dilanggar,” ungkap Khofifah kepada wartawan. Sebaliknya, jika tak ada pelanggaran, maka kewenangan bisa dicabut oleh instansi yang lebih tinggi. “Kalau tidak ada pelanggaran seperti yang di undang-undang itu, maka kewenangan itu bisa dicabut oleh instansi yang lebih tinggi di atasnya provinsi,” lanjut Khofifah. Menurut Gubernur Khofifah, pihaknya bersedia mengajak warga untuk berdiskusi dengan menunjukkan pasal dan ayat yang dilanggar dari pertambangan di gunung Tumpang Pitu. “Tidak apa-apa, kita bisa mendiskusikan dari pasal yang menjadikan kewenangan bupati, gubernur. Kan ada pelanggaran 1, 2 , 3 dan 4. Antara lain keputusan pengadilan, tidak bayar pajak, mengalihkan kepemilikan,” jelasnya. Menurut Rere Christanto dari Walhi Jatim, isi pertemuan cukup normatif bahwa gubernur mendengarkan paparan dampak pertambangan kepada warga serta regulasi-regulasi yang diduga dilanggar dalam pertambangan. “Gubernur berjanji akan me-review laporan warga dan pendamping. Dan, jika ditemukan pelanggaran akan diambil tindakan,” ungkap Rere. Persoalan yang dihadapi Gubernur Khofifah tentunya tidaklah semudah membalik telapak tangan. Pasalnya, di belakang perusahaan yang mengelola tambang emas Tumpang Pitu itu ada dua partai besar dan medium “bermain” di sana. Itulah dilema yang kini dihadapi oleh Gubernur Jatim. Khofifah harus memilih diantara dua opsi: ikuti permainan mereka atau ikut bersama warga! *** Penulis wartawan senior.

Gubernur Menjawab (1): Tumpang Pitu Perlu Penyelesaian Strategis!

Oleh Mochamad Toha Jakarta, FNN - Senin, 24 Februari 2020 pukul 11:25, saya kirim tulisan berjudul “Sebaiknya Aktivitas Tambang Emas Tumpang Pitu Dihentikan!” ke Gubernur Jawa Timur Hj. Khofifah Indar Parawansa. Selang sekitar 3 menit kemudian, mantan Menteri Sosial ini langsung menjawab singkat via WA: “Cek undang- undangnya....pasal yg dilanggar apa shg hrs dihentikan....”. Saya jawab: “Siyap, Bunda! Tks petunjuknya. Sy akan coba cari tahu kpd teman lawyer”. “Mereka tahu sekali,” jawab gubernur yang akrab dipanggil Bunda ini menjawab WA saya lagi. Saya jawab: “Saya juga sedang riset tulisan terkait dg usaha pertambangan yang diduga melanggar UU, Bunda. Stlh itu baru menulis lagi. Tks arahannya”. Secara pribadi, saya mengapresiasi Gubernur Khofifah yang berkenan jawab forward tulisan saya itu. Dan, sesuai “janji” saya, segera saya carikan jawaban untuk menjawab “tantangan” dari alumni Universitas Airlangga Surabaya ini. Berikut catatannya. Dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KKP) Nomor 23 Tahun 2016 tentang Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Pasal 18 ayat (1) berbunyi: “Wilayah perencanaan RZWP-3-K meliputi: a. Kearah darat mencakup wilayah administrasi kecamatan; …” dan Kecamatan Pesanggaran sendiri terletak di ujung selatan Kabupaten Banyuwangi, sehingga wilayah tersebut mesti mematuhi Peraturan Daerah (Perda) No. 1 Tahun 2018 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil (RZWP-3-K) Jatim. PT. Bumi Suksesindo (BSI) dan PT. Damai Suksesindo (DSI) diduga melanggar Perda No.1 Tahun 2018 itu, karena dalam aturan tersebut, alokasi ruang untuk pemanfaatan wilayah pesisir Kabupaten Banyuwangi, terutama Kecamatan Pesanggaran, tidak dialokasikan untuk zona pertambangan. Tetapi untuk zona pelabuhan perikanan, zona pariwisata dan zona migrasi biota. Sementara yang ditemukan di lapangan terdapat Pelabuhan Candrian yang digunakan untuk kegiatan pertambangan seperti menurunkan alat-alat berat. Keberadaan PT. BSI dan DSI di wilayah tersebut juga diduga melanggar Pasal 40 ayat (3) UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana yang berbunyi: “Setiap kegiatan pembangunan yang mempunyai risiko tinggi yang menimbulkan bencana dilengkapi dengan analisis risiko bencana sebagai bagian dari usaha penanggulangan bencana sesuai dengan kewenangannya". Sementara dalam penjelasannya disebutkan, “Yang dimaksud dengan kegiatan pembangunan yang mempunyai risiko tinggi menimbulkan bencana adalah kegiatan pembangunan yang memungkinkan terjadinya bencana, antara lain pengeboran minyak bumi, pembuatan senjata nuklir, pembuangan limbah, eksplorasi tambang, dan pembabatan hutan”. Sedangkan aktivitas pertambangan yang dilakukan oleh PT. BSI dan DSI – meskipun telah melalui proses studi AMDAL – tidak memiliki analisis risiko bencana. Gunung Tumpang Pitu adalah ‘tetenger’ (penanda) bagi nelayan saat melaut. Setiap pagi, ketika mereka berada di laut lepas, titik yang mereka cari untuk menentukan arah adalah Pulau Nusa Barong di sebelah Barat, Gunung Agung (Bali) di sebelah Timur dan Gunung Tumpang Pitu di tengah-tengahnya. ‘ Maka jika Gunung Tumpang Pitu dan gunung-gunung lainnya menghilang, bisa dipastikan mereka akan kehilangan salah satu tetenger daratan yang menjadi acuan arah. Bagi warga di pesisir selatan Banyuwangi, Gunung Tumpang Pitu, Gunung Salakan, dan gunung-gunung di sekitarnya adalah benteng alami dari daya rusak gelombang tsunami. Sebagaimana pernah dicatat, pada 1994, gelombang tsunami menyapu kawasan pesisir selatan Banyuwangi dan merenggut nyawa sedikitnya 200 orang. Bagi warga, saat itu keberadaan Gunung Tumpang Pitu dan gunung-gunung sekitarnya, dikatakan mampu meminimalisasi jumlah angka korban. Sehingga bisa dipastikan jika gunung-gunung tersebut menghilang, maka potensi ancaman jumlah korban yang lebih banyak akan terjadi pada masa mendatang. Bagi nelayan-nelayan yang tinggal di pesisir teluk Pancer, Gunung Tumpang Pitu adalah benteng dari ancaman angin Tenggara yang terkenal ganas pada musim-musim tertentu. Sedangkan Gunung Salakan bagi mereka difungsikan sebagai jalur evakuasi jika tsunami melanda. Gunung-gunung di pesisir selatan Banyuwangi tak hanya berfungsi sebagai kawasan resapan air yang dibutuhkan bagi rumah tangga warga dan pertanian, tetapi juga secara turun-temurun telah menjadi tempat bagi warga (khususnya perempuan) untuk mencari tumbuh-tumbuhan obat. Sejak masuknya PT BSI dan PT DSI di Desa Sumberagung, berbagai masalah sosial-ekologis dan keselamatan ruang hidup masyarakat meningkat. Salah satunya adalah bencana lumpur yang terjadi pada Agustus 2016 silam. Selain telah merusak sebagian besar kawasan pertanian warga, bencana lumpur tersebut juga membuat kawasan pesisir pantai Pulau Merah (Desa Sumberagung) dan sekitarnya berada dalam kondisi yang sangat mengenaskan. Bahkan karena kerusakan tersebut ditemukan sejumlah fakta bahwa beberapa jenis kerang, ikan dan beberapa biota laut lainnya mulai menghilang dari pesisir desa Sumberagung dan sekitarnya. Sejumlah kelompok binatang seperti monyet dan kijang juga mulai turun memasuki lahan pertanian warga karena rusaknya habitat mereka. Dan beberapa sumur milik warga mulai mengalami kekeringan diduga karena penurunan kualitas lingkungan. Hal ini belum ditambahkan lagi dengan sejumlah peningkatan pencemaran dan polusi tanah, udara, suara yang juga cukup signifikan. Sementara itu, pada 10 Februari 2020, ditemukan dua bangkai penyu yang terdampar di pesisir Pantai Pulau Merah dan diduga disebabkan oleh aktivitas pertambangan di Gunung Tumpang Pitu. Berdasarkan keadaan-keadaan tersebut, PT BSI diduga melanggar UU 32/2009 pasal 69 ayat 1 huruf (a) yang melarang “setiap perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup”. Selain itu, pada 2017, telah terjadi kasus kriminalisasi terhadap pejuang lingkungan Budi Pego. Budi Pego dituduh menyebarkan paham komunis ketika ia sedang melakukan aksi untuk mempertahankan ruang hidupnya. Pada Januari 2020, upaya kriminalisasi kembali terjadi; Agus, salah seorang warga yang menolak aktivitas pertambangan PT BSI dan DSI ditangkap dengan sewenang-wenang – tanpa diperiksa/dipanggil terlebih dahulu. Dengan tuduhan penganiayaan terhadap salah seorang pekerja PT BSI ketika Agus dan rekan-rekannya tengah melakukan aksi untuk mempertahankan ruang hidupnya dengan menghadang upaya perusahaan untuk memasuki wilayah Gunung Salakan dan sekitarnya guna melakukan penelitian geolistrik. Dua hal tersebut bertentangan dengan UU 32/2009 pasal 66 yang berbunyi, “Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata”. Mengingat poin itu semua, PT BSI dan PT DSI juga diduga telah melanggar UU 27/2007 jo UU 1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Pasal 35 huruf (k) yang melarang: “Melakukan penambangan mineral pada wilayah yang apabila secara teknis dan/atau ekologis dan/atau sosial dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan masyarakat sekitarnya”. Karena aksi blokade, aksi tenda warga, dan aksi kayuh sepeda dari Banyuwangi-Surabaya, juga aksi mogok makan di depan Kantor Gubernur Jatim, tidak juga mendapat tanggapan dari Gubernur Khofofah, maka aksi pun dilanjut dengan aksi kirim SMS massal. Inti isi SMS massal tersebut adalah mendesak Gubernur Khofifah untuk mencabut IUP Operasi Eksploitasi BSI dan IUP Eksplorasi DSI. Dari laporan beberapa warga, jawaban dari Gubernur Jatim: kewenangan pencabutan izin tambang yang dimaksud ada di pemerintah pusat. Gubernur Khofifah menilai tuntutan yang ada dalam SMS massal itu salah alamat. “Khofifah beranggapan bahwa pemberian izin serta kewenangan pencabutan bukan berada pada kewenangannya,” ungkap Advokat Subagyo, SH yang selama ini mendampingi warga yang menuntut pencabutan perizinan itu. (Bersambung) Penulis wartawan senior.

Soal Tambang Emas Tumpang Pitu, Gubernur Khofifah Harus Tegas!

Oleh Mochamad Toha Jakarta, FNN - Gejala konflik horizontal di wilayah sekitar tambang emas Tumpang Pitu di kawasan Dusun Pancer, Desa Sumberagung, Kecamatan Pesanggaran, Kabupaten Banyuwangi, belakangan ini sangat mengkhawatirkan. Pasalnya, mulai ada kelompok Forum Pembela Adat dan Budaya Banyuwangi (Balawangi) yang siap siap pasang badan mensterilkan Dusun Pancer dari pihak luar. Sayangnya pihak luar yang dimaksud itu siapa tak disebutkan. “Kami sangat prihatin, dan merasa terpanggil atas kondisi yang terjadi di Pancer,” kata Ketua Balawangi, Sholehudin, Minggu malam (16/2/2020). Ini disampaikan saat acara diskusi di café Jakarta, Desa Jajag, Kecamatan Gambiran, Banyuwangi. Seperti dilansir TimeIndonesia.co.id, hadir dalam kegiatan tersebut sejumlah tokoh pemuda Bumi Blambangan. Salah satunya Agus Setiawan, Ketua Paguyuban Pekerja Pertambangan Banyuwangi. Menurut Soleh, sapaan akrab Solehudin, apa yang belakangan terjadi di Pancer, sudah tidak bisa ditolelir. Masyarakat kecil seolah diaduk dan saling dibenturkan. Antara warga yang bisa menerima keberadaan tambang emas PT Bumi Suksesindo (PT BSI) dengan yang kontra. Menurutnya, sejumlah pentolan gerakan anti tambang emas PT BSI, memang diketahui dari warga luar Desa Sumberagung. Bahkan belakangan kembali muncul pihak yang berpotensi menciptakan gangguan stabilitas keamanan di masyarakat. “Kasihan masyarakat Pancer, mereka jadi resah, setahu kami mayoritas masyarakat itu netral dan sebagian lain bisa menerima keberadaan tambang, kalau pun ada yang menolak, dulu masih sangat santun, tapi kini menjadi ada jarak,” ungkapnya. Sementara itu, Agus Setiawan, selaku Ketua Paguyuban Pekerja Pertambangan Banyuwangi, berharap masyarakat di sekitar tambang PT BSI bisa saling menghargai. Baik kalangan pro maupun tolak. “PT BSI kan tambang legal, keberadaanya dilindungi Undang-Undang Dasar (UUD) 1945,” katanya. Begitu juga, lanjut Agus, kelompok tolak silakan protes. Karena itu hak warga negara dan dijamin UUD 1945 juga. Termasuk kalangan karyawan PT BSI, dia meminta juga untuk tidak diganggu atau dihalang-halangi. “Karena pekerjaan dan penghidupan yang layak adalah hak setiap individu dan dilindungi konstitusi,” cetusnya. Dalam diskusi ini, Balawangi dan sejumlah tokoh muda di Banyuwangi, sepakat akan hadir untuk masyarakat Pancer. Demi terciptanya ketentraman dan kondusivitas warga setempat. Sekaligus sebagai bentuk peran serta dalam mengawal penegakan supremasi hukum. Jika Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa tak segera mengambil langkah tegas, bukan tidak mungkin konflik horizontal antar kedua kelompok itu bisa saling berhadapan. Dan, meledak! Sebaiknya, Gubernur Khofifah mengevaluasi keberadaan PT BSI. Pasalnya, kelompok penolak tambang juga punya alasan kuat. Demi masa, perjuangan ini akan abadi. Tolak tambang emas Tumpang Pitu adalah harga yang tak bisa ditawar. Tidak hanya Salakan saja tapi seluruh kawasan yang ditambang harus dilepaskan untuk kelestarian. Mereka menuntut: Pertama, mendesak Gubernur Khofifah mencabut perijinan pertambangan PT BSI dan PT DSI guna terciptanya keselamatan, keberlanjutan, dan pemulihan lingkungan dan ruang hidup warga Sumberagung dan sekitarnya (Banyuwangi); Kedua, juga mendesak Gubernur Khofifah untuk memulihkan kawasan yang telah rusak di Tumpang Pitu demi menjamin kehidupan masyarakat berbasis kelestarian lingkungan dan pengurangan resiko bencana. Ketua Balawangi, Sholehudin berkata bahwa tambang PT. BSI itu legal, sesuai UUD 1945. Artinya, “Dia selaku ketua LSM Balawangi mendukung tambang emas Gunung Tumpang Pitu dan Salakan, dengan argumen legalitas,” kata Advokat Subagyo, SH. Selaku orang yang pernah belajar dan mengajar ilmu hukum, ia jelaskan begini. “Bahwa hal yang legal itu belum tentu benar. Apakah sesuatu yang legal itu sudah pasti konstitusional? Ya belum tentu,” lanjut advokat yang concern pada hukum lingkungan ini. Contoh paling sederhana adalah asal hukum dagang dan konsumsi miras itu tak benar dalam padangan nilai yang hidup dalam masyarakat Islam. Jadi secara living law (pinjam istilah Von Savigny), perdagangan dan konsumsi miras itu tidak benar. Karena melanggar living law masyarakat Islam. Makanya UU melarang. Lalu ada perangkat hukum administrasi yang bernama “izin pemerintah” yang melegalkan. “Sehingga menjadi legal,” ungkap Subagyo. Begitu pula hukum asal dari menambang emas itu adalah “dilarang”. Apalagi itu di kawasan hutan lindung. Tapi untuk melegalkannya, maka kawasan hutan lindung itu diubah oleh pemerintah menjadi hutan produksi, lalu dijadikan wilayah usaha tambang dan diberikan izin usaha tambang. Jadi perizinan itu merupakan instrumen legalisasi perbuatan yang hukum asalnya adalah “tidak legal”. Nah, apakah legalisasi itu selalu konstitusional? Ya tidak mesti. Sebagai contoh, Mahkamah Agus memutuskan, kebijakan pemerintah berupa peraturan yang dipakai dasar untuk mengubah kawasan hutan lindung menjadi hutan non-lindung untuk perkebunan adalah inkonstitusional, melanggar UUD 1945. Itu terkait dg putusan MA yg minta presiden Jokowi mencabut PP Nomor 104 Tahun 2015 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan. “Jadi, ada penjahat yang membawa-bawa agama sebagai dasar dan argumen. Ada pula orang yang membawa-bawa UUD 1945 untuk meloloskan hasrat dan nafsunya,” ungkap Subagyo. Dan, sumber penyebabnya sama, yakni uang, rasa takut tidak hidup kaya, rasa takut tidak bisa hidup terpandang. Gunung Tumpang Pitu dibutuhkan warga sebagai benteng alami dari daya rusak tsunami. Tumpang Pitu dan sekitarnya adalah Kawasan Rawan Bencana (KRB). Sebagai KRB, seharusnya Hutan Lindung Gunung Tumpang Pitu dikonservasi, penambangan di KRB justru menambah angka kerentanan KRB itu sendiri. Karenanya menjadi beralasan jika tambang emas di Hutan Lindung Gunung Tumpang Pitu ditolak. Seperti dilansir Walhijatim.or.id, demi tambang emas, mantan Ketua MPR Zulkifli Hasan yang saat itu sebagai Menteri Kehutanan, telah mengubah status hutan lindung Tumpang Pitu sebagai hutan produksi. Pengubahan status ini dilakukan Zulkifli Hasan pada 19 November 2013 dengan menerbitkan surat keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor SK.826/Menhut-II/2013. Dalam surat tersebut, Menhut mengalih fungsi Tumpang Pitu dari hutan lindung menjadi produksi seluas 1.942 ha. Penurunan status Tumpang Pitu ini dilakukan oleh Menhut setelah ada usulan dari Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas. Pada 10 Oktober 2012, Bupati Banyuwangi lewat surat Nomor 522/635/429/108/2012 mengusulkan perubahan fungsi kawasan hutan lindung seluas 9.743, 28 ha. Usulan Abdullah Azwar Anas ini direspon Zulkifli Hasan dengan mengalihfungsi Tumpang Pitu seluas 1.942 ha. Alihfungsi ini dilakukan Zulkifli Hasan dengan menerbitkan surat No. SK.826/Menhut-II/2013. Untuk mencegah terjadinya konflik horizontal, Gubernur Khofifah bisa segera mengevaluasi terkait legalitas perizinan atas tambang emas Tumpang Pitu. Meski ada izinnya dan dianggap “legal” namun patut dipertanyakan, bagaimana proses turunnya izin itu. Padahal, sudah jelas bahwa Tumpang Pitu itu termasuk KRB, tapi mengapa Bupati Anas itu begitu mudahnya mengusulkan kawasan hutan lindung ini menjadi produksi? Mengapa pula Menhut (saat itu) Zulhas begitu mudah memberi izin alih fungsi itu? Patut diduga, di sini ada upaya proses “illegal”untuk mendapatkan “legalitas” perizinan atas Tumpang Pitu! Di sinilah ditunggu ketegasan dan keberanian Gubernur Khofifah mengambil sikap. Meski di dalam perusahaan tambang Tumpang Pitu itu ada nama wakil menteri dan kerabat KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), saya yakin, Gubernur Khofifah akan bertindak tegas! ** Penulis wartawan senior.

Jelang Piala Dunia, Aroma TPA Benowo Usik Gubernur

Oleh Mochamad Toha Jakarta, FNN - Jika Anda melewati kawasan Stadion Gelora Bung Tomo (GBT) yang terletak di Kecamatan Benowo, Kota Surabaya, dapat dipastikan bakal menghirup aroma bau sampah yang sangat “tidak sedap”. Kalau tidak percaya, silakan mencobanya! Bahkan, aroma bau tidak sedap itu terkadang sampai menembus ruas jalan Tol Surabaya – Gresik. Dari ruas jalan tol ini akan tampak dua pemandangan yang sangat ironis. Stadion GBT dan gunungan sampah yang tampak di sisi utaranya. Aroma bau tidak sedap itulah yang memancing Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa menyoal bau sampah di Stadion GBT tersebut. Inilah yang membuat Walikota Surabaya Tri Rismaharini merasa “tersinggung” atas ucapan Khofifah itu. Meski tersinggung, tapi Risma tak meledak seperti biasanya. Reaksi keras justru muncul dari kalangan birokrat Pemkot Surabaya dan beberapa pentolan Bonek, suporter Persebaya. Bau tidak sedap itu dirasakan Khofifah saat sidak ke Stadion GBT. Gubernur Khofifah berkunjung ke GBT pasca suporter Persebaya merusak fasilitas GBT usai kalah dari PSS Sleman, Selasa (29/10/2019). Padahal, stadion yang dibangun ketika Walikota Bambang DH ini disiapkan untuk Piala Dunia U-20 pada 2021. Melansir Beritajatim.com, Jum’at (1/11/2019), Gubernur Khofifah sendiri telah mengunjungi Stadion GBT dan menyatakan GBT kurang layak jadi venue Piala Dunia U-20 karena aroma sampah yang tercium dari TPA Benowo itu. “Saya sudah ke GBT. Kalau sore, kena angin suka aroma sampah. Engko nek (nanti kalau) pas FIFA visit ke sana terus pas anginnya itu masuk, ini aroma apa,” kata Gubernur Khofifah di Gedung Negara Grahadi Surabaya, Jumat (1/11/2019). Namun salah seorang Bonek, Yusuf Hidayat, justru heran dengan reaksi anak buah Walikota Risma yang terkesan ‘kebakaran jenggot’ atas pernyataan Khofifah. “Memang bau (sampah) kok! Waktu nonton Persebaya lawan PSS Sleman lalu, bau sampah juga terasa,” katanya. “Tidak hanya sekali, beberapa kali saya nonton Persebaya, sebelum masuk stadion (bau sampah) sudah tercium,” sambung Bonek asli Kelurahan Ujung, Kecamatan Semampir, Surabaya itu. Yusuf menegaskan bahwa dirinya tidak dalam posisi membela Khofifah. Tapi, sebagai Arek Suroboyo dan fans berat Persebaya hanya mengharapkan keseriusan Pemkot Surabaya untuk mengatasi hal tersebut. “Tidak hanya bau, infrastruktur menuju stadion juga masih kurang bagus, apalagi lahan parkirnya yang masih semerawut,” ungkap Bonek yang juga Ketua NU Care-Lazisnu Surabaya tersebut. Menpora Zainudin Amali yang berkunjung ke Stadion GBT, Minggu 4 November 2019, juga merasakan hal yang sama. Seperti dilansir VIVAnews.com, Senin (4/11/2019 | 07:12 WIB), sayangnya, ketika dia tiba, pintu stadion terkunci. Kunjungan Zainudin ini sedianya untuk melihat kondisi terkini Stadion GBT usai kerusuhan beberapa waktu lalu. Sebagai salah satu lokasi yang disiapkan sebagai tuan rumah untuk Piala Dunia U-20 2021, tentu harus jadi perhatian. Belakangan, bukan cuma kondisi usai kerusuhan yang menjadi sorotan. Gubernur Khofifah mengatakan Stadion GBT bau sampah. Rupanya Zainudin juga mencium bau yang berasal dari TPA Benowo itu. Aroma tidak sedap, bau sampah. Aroma Korupsi Aroma bau sampah tidak sedap dari TPA Benowo itu sebetulnya sudah terjadi jauh sebelum GBT dibangun. Sebenarnya GBT bukan proyek Risma. Mengutip wartawan senior Dhimam Abror, stadion ini dibangun di era Walikota Bambang DH. Entah bagaimana ceritanya dulu. Menurut Abror, stadion ini dibangun begitu mepet dengan TPA Benowo. Orang Surabaya menyebutnya gung lewang lewung alias tempat jin buang anak, tidak ada akses yang memadai guna menuju ke GBT. Abror melihat, beberapa hari belakangan ini Risma tengah sensi karena banyak jadi sasaran kritik. Ia sedang diserang soal mafia perizinan yang disebut-sebut melibatkan salah satu anak kandungnya. Ia dan pendukungnya mati-matian menangkisnya. Tapi yang jelas, dari jejak digital news terkait TPA Benowo juga tercium aroma korupsi. Di sana masih ada masalah proyek “Sampah Benowo” yang hingga kini belum tuntas. Bermula dari berkas perjanjian kerjasama penyediaan sarana dan prasarana TPA Benowo No. 658.1/4347/436.6.5/2012 dan No. 88/JBU-SO/8/2012 pada 8 Agustus 2012, ditandatangani Walikota Risma bersama Direktur Utama PT Sumber Organik. Antara lain disebutkan, pada tahap pertama PT SO harus dapat menyelesaikan pekerjaan bangunan pengolahan sampah eksisting dan harus sudah beroperasi paling lambat 540 hari kalender terhitung sejak penandatanganan berita acara pada 8 Agustus 2012. Faktanya, hingga pertengahan Desember 2013 atau 485 hari sejak penandatanganan tersebut, bangunan pengolahan sampah eksisting belum terealisasi. Kalau dihitung hari kalender, sejak 8 Agustus 2012 sampai tutup tahun pada 31 Desember 2013, maka PT SO hanya memiliki sisa waktu 55 hari untuk merealisasikan bangunan pengolahan sampah eksisting dimaksud. Jika PT SO belum juga membangun bangunan pengolahan sampah eksisting, maka PT SO dikenai denda satu permil dari nilai investasi untuk setiap hari keterlambatan maksimal 554 hari. PT SO juga diwajibkan menyelesaikan bangunan pengelolaan sampah baru itu, baik dengan composting, incenerator maupun gasifikasi paling lambat 1.094 hari sejak ditandatanganinya perjanjian kerjasama penyediaan sarana dan prasarana TPA Benowo itu atau setidaknya pada akhir 2014. Jika gagal, PT SO akan dikenai sanksi denda satu permil dari nilai investasi untuk setiap hari maksimal 60 hari. Dan, jika PT SO gagal untuk kali kedua, maka Walikota Surabaya wajib memutus perjanjian kerjasama tersebut. Sumber fnn.co.id membenarkan, sebelum 8 Agustus 2012, pengelolaan sampah di TPA Benowo dilakukan UPTD LPA Benowo menggunakan teknologi open dumping atau lempar hampar dibarengi penyemprotan Em4 sejak 2007. Tujuannya untuk mereduksi bau busuk, sehingga tidak mengganggu lingkungan sekitar, meredam asap jika sampah tiba-tiba terbakar dengan sendirinya, menekan perkembangan hama tikus, nyamuk dan lalat sekaligus sebagai upaya melawan penyebaran penyakit. Pada 2012, bahan kimia Em4 terakhir kalinya ditenderkan di Unit Layanan Pelelangan (ULP) Eproc Pemkot Surabaya untuk sub bidang jasa pembersihan, pest control, termite control, fumigasi. Pemenang lelang dengan nilai Rp 480 juta lebih melakukan penyemprotan Em4 setiap hari pada gunungan sampah open dumping di TPA Benowo yang saat itu dikelola UPTD LPA Benowo. Akhirnya, UPTD LPA Benowo dibubarkan Walikota Surabaya terhitung sejak 9 Agustus 2012 setelah diberlakukan surat perjanjian kerjasama antara Walikota Surabaya dengan PT SO. Sejak tanggal itu pula, rekanan pemenang lelang penyemprotan Em4 diputuskan secara sepihak oleh DKP. Dalam perjanjian tersebut, PT SO menggantikan peran UPTD LPA Benowo dan selama 540 hari memiliki kewajiban mengelola sampah dengan teknologi sanitary lanfiil secara tuntas, termasuk pengelolaan lindi sesuai baku mutu internasional yang ditetapkan dalam peraturan perundangan yang berlaku. Dari pengelolaan sampah menggunakan teknologi open dumping itulah, PT SO mendapatkan tipping fee Rp 15,6 miliar pada 2012. Pada TA 2013, PT SO memperoleh total tipping fee Rp 46,8 miliar, padahal biaya yang dikeluarkan PT SO tersebut amat sangat rendah. Sewa tanah TPA Benowo seluas 37,5 ha itu hanya membayar Rp 1,2 miliar selama 4 bulan (Agustus – Desember) 2012 ke kas Pemkot Surabaya. Pada 2013 membayar lagi ke kas Pemkot Surabaya sebesar Rp3,9 miliar lebih. Sementara biaya penyemprotan Em4 yang dikeluarkan PT SO hanya Rp 160 juta selama 4 bulan (Agustus-Desember) dan pada 2013 mengeluarkan lagi biaya sebesar Rp 480 juta. Pemenangan PT SO diduga melibatkan Wisnu Sakti Buana (kini Wakil Walikota Surabaya) dan kakak kandungnya, Jagad Hariseno dalam proyek pengelolaan sampah Benowo. Peran Wisnu Sakti Buana yang saat itu sebagai Wakil Ketua DPRD Kota Surabaya sangat dominan dalam Pansus dan persetujuan pimpinan DPRD dalam mega proyek yang dinilai merugikan negara tersebut. I Wayan Titib Sulaksana, Penasehat Umum Aliansi Masyarakat Anti Korupsi (AMAK) menilai alokasi anggaran tipping fee pengelolaan sampah di TPA Benowo dalam APBD Surabaya 2013 tidak transparan. Misalnya, pada 2013 adalah tahun kedua bagi pemkot untuk kembali mengucurkan dana yang bersumber dari APBD Kota Surabaya sebesar Rp 56 miliar, dan diusulkan ditambah Rp 9 miliar dalam Perubahan Anggaran Keuangan (PAK). Saat ini persoalan persampahan di Kota Surabaya sangat menyita perhatian publik, karena tidak adanya transparansi dari PT Sumber Organik selaku pemenang tender yang bernomor 510/13799/436.6.5/2011 pada 22 Agustus 2011 senilai kurang lebih Rp 362 miliar. Kontrak PT SO dan Pemkot Surabaya itu sebenarnya tidak pernah setujui DPRD Surabaya, kecuali Ketua DPRD Wishnu Wardana dan Wakil Ketua DPRD Wisnu Sakti Buana saat itu. Kalau mau, itu bisa menjadi petunjuk penegak hukum jika mau mengusut soal ini. Karena, faktanya, tidak pernah di-acc di Rapat Paripurna DPRD Surabaya. Mengapa cuma pimpinan DPRD Surabaya yang setuju? Mengapa tidak lewat paripurna? Padahal, itu juga menyangkut dana besar! Semoga saja Gubernur Khofifah juga mencium aroma korupsi terkait dengan perjanjian PT SO dengan Pemkot Surabaya tersebut. Logikanya, pasti ada yang tidak beres dengan kelola sampah yang dilakukan PT SO. Audit forensik atas pelaksanaan pembangunan TPA Benowo perlu dilakukan segera. Rakyat menunggu langkah Gubernur Khofifah. Untuk persiapan Piala Dunia U-20 2021 mendatang, masih ada GOR Delta Sidoarjo yang cukup layak. Selain bau tak sedap, dari sisi estetika, “gunung sampah” sangat tidak elok dipandang mata. Apalagi jika ditinjau dari kesehatan dan lingkungan. Sangat tidak sehat! *) Penulis adalah wartawan senior.

Cucu Pak Jokowi dan Cucu Pak Bakar Hutla

By Asyari Usman Jakarta, FNN - Alhamdulillah, cucu Pak Jokowi itu sangat beruntung punya cucu tersayang. Namanya, Jan Ethes. Tiga hari lalu, 21 September 2019. Pak Jokowi mentwitkan salah satu keberuntungan cucu kesayangan beliau itu. Begini bunyi twit Pak Jokowi lewat akun resmi beliau Joko Widodo @Jokowi: “Jalan-jalan pagi di sekitar Istana Bogor bersama Jan Ethes, melihat kuda, kambing, dan rusa merumput di pelataran. Ngomong-ngomong, Jan Ethes paling suka binatang apa?” Senang sekal, tentunya. Tidak ada asap di Istana Bogor. Udaranya ‘clear’ dan bersih. Langitnya selalu biru. Banyak pepohonan besar dan kecil. Dijaga ketat. Tidak ada yang berani bikin karhutla di situ. Tak perlu pakai masker seperti yang harus digunakan oleh para cucu Pak Bakar Hutla. Nama Pak Bakar Hutla diplesetkan orang menjadi pembakaran hutan dan lahan (karhutla) di Sumatera dan Kalimantan. Tapi, tidak apa-apa. Kita sebut saja cucu Pak Bakar Hutla sesuai plesetan itu, menjadi cucu Karhutla. Cucu Pak Jokowi memang selalu beruntung. Semua serba ada. Serba bagus dan serba sehat. Ada tim dokter kepresidenan kalau kesehatan Jan Ethes terganggu. Tak perlu pakai BPJS. Tidak seperti para cucu Karhutla. Kalau mereka sakit, tidak ada tim dokter kejelataan yang membantu. Tidak seenak Jan Ethes yang punya tim dokter kepresidenan. Di Istana Bogor banyak rusa yang sehat-sehat dan gemuk-gemuk. Ada kambing dan kuda. Luar biasa! Pasti sangat menghibur bagi Jan Ethes. Entah kapan para cucu Karhutla bisa menikmati langit biru dan udara segar seperti di Istana Bogor. Memang hebat! Tidak ada hewan piaraan Istana Bogor yang kepanasan. Tak seperti pengalaman satwa liar di hutan yang sedang terbakar di Sumatera dan Kalimantan. Di Istana Bogor, hewan-hewan terawat bagus. Sejuk di bawah pepohonan rindang. Tak pernah merasakan bara api. Jan Ethes pastilah belum pernah melihat binatang liar yang mati di tengah karhutla. Tapi, para cucu Karhutla sudah tahu berita ular piton besar yang terpanggang. Dan banyak lagi binatang yang gosong akibat karhutla. Istana Bogor memang sempurna. Sempurna untuk apa saja. Termasuk untuk memikirkan dan menyusun kebijakan yang bisa membuat orang jera melakukan karhutla. Tapi, Pak Bakar Hutla harus bersabar dan maklum. Kesempurnaan Istana Bogor pada saat ini masih digunakan untuk memikirkan dan menyusun kebijakan yang bisa membuat Jan Ethes selalu senang. Jadi, harap dipahami. Para cucu Karhutla masih bisa menunggu. Pada waktunya nanti, kesempurnaan Istana Bogor akan menjangkau karhutla. Sama-samalah kita maklumi. Pelan-pelan dan bertahap. Untuk saat ini, yang kecil-kecil dulu, termasuk Jan Ethes yang juga masih kecil. Belum waktunya memikirkan yang besar-besar. Mohon jangan ada komentar bahwa Istana Bogor belum mampu memikirkan yang besar-besar. Penulis adalah Wartawan Senior

Bukan Menggantang Asap, Tapi Menggantung Penyebab Asap

By Asyari Usman Ada pepatah lama dan orisinal Melayu yang berbunyi, “Bagaikan Menggantang Asap”. Makna peribahasa ini lebih kurang adalah pekerjaan sia-sia yang dilakukan di atas landasan pemikiran yang abnormal. Orang yang menggantang asap adalah manusia-manusia yang dikuasai oleh hayalan. Mereka adalah orang-orang yang tersisih dari pergelutan akal sehat. Note: gantang adalah alat ukur atau sukat yang berbentuk silinder, terbuat dari besi. Kalau pernah melihat liter yang biasa digunakan oleh pedagang eceran beras atau minyak tanah, gantang pun seperti itu. Cuma, volume atau isi gantang itu lima (5) liter. Mengapa menggantang asap sia-sia? Mengapa disebut hayalan? Pertama, tentu saja karena asap tak bisa digantang. Tidak bisa disukat. Kedua, karena asap tidak punya nalai nominal. Pekerjaan menggantang asap menggambarkan watak manusia yang tidak paham ‘konsep manfaat’. Dan manusia tak memiliki kemampuan untuk memikirkan ‘konsep manfaat’ itu. Dia juga tidak bisa membedakan ‘hayalan’ dan ‘realitas’. Karena itu, tidak mengherankan kalau Anda menemukan stetmen bahwa kondisi asap di Riau tidak separah yang diberitakan, dan bahwa langit Riau sudah biru. Stetmen ini adalah hayalan di tengah realitas. Mereka berhayal kondisi asap di Riau tidak parah, padahal masih sangat berat. Mereka berhayal langit Riau biru, padahal masih abu-abu pekat. Itulah salah satu contoh menggantang asap. Yaitu, membuat stetmen yang sia-sia. Mengeluarkan stetmen berdasarkan hayalan. Kalau begitu, bagaimana cara menggantang atau menyukat asap karhutla (pembakaran hutan dan lahan) di Riau dan Kalimantan agar tidak sia-sia? Jawabannya: jangan Anda berhayal mau menyukat atau menggantang asap karhutlanya. Yang perlu Anda sukat atau Anda gantang adalah penyebab hakiki asap karhutla itu. Penyebab hakiki asap itu bukan karhutla, melainkan pemilik dan pengelola hutla (hutan dan lahan). Mereka itulah yang sesungguhnya sumber asap karhutla yang sekarang membuat jutaan orang menderita. Para pemilik dan pengeola hutla itulah yang perlu Anda sukat. Mereka juga perlu Anda gantang. Dalam arti, Anda usut (sukat), terus Anda masukkan ke dalam gantang (dikurung dalam penjara). Jika setelah Anda usut (sukat) tapi tak cukup gantang (penjara) yang tersedia, mudah saja. Anda hanya perlu mengganti huruf ‘a’ kedua di dalam kata ‘gantang’ dengan huruf ‘u’. Sehingga, ‘gantang’ menjadi ‘gantung’.Jadi, para penyebab hakiki asap karhutla akan digantung. Tidak sekadar digantang. Dengan begini, penggantian huruf ‘a’ dengan huruf ‘u’ malah akan lebih efektif untuk mengubah makna ‘menggantang asap’ menjadi realitas yang realistis. Dan juga akan lebih setimpal dan berkeadilan. Sehingga, nantinya, pekerjaan menggantang asap dalam mengatasi asap karhutla, tidak lagi hayalan. Kita ubah menjadi pekerjaan yang nyata dan bermanfaat. Tidak lagi berhayal langit biru di tengah asap tebal. Tetapi langsung nyata menggantung para pelaku karhutla. Penulis adalah Wartawan Senior