OPINI

Mengenang Sisi Lain Bung Salim Said

Oleh H. Zainal Bintang l Wartawan Senior Setelah dirawat kurang lebih dua puluh hari di RSCM (Rumah Sakit Cipto Mangun Kusumo) Jakarta, Prof. Salim Haji Said akhirnya wafat pada hari Sabtu 18 Mei 2024 yang lalu.   Sejak hari wafatnya, sampai hari ini ruang publik dibanjiri sejumlah pemberitaan, tulisan khusus, testimoni dan riwayat hidup lengkap almarhum. Ditulis oleh teman – teman, sahabat dan pengamat politik, maupun pengamat media yang mengenal dekat almarhum. Termasuk riwayat pendidikan, masa kecil di kampung, masa muda di bangku kuliah. Termasuk ketika studi di Amerika Serikat dan memperoleh gelar sebagai ilmuwan politik dengan menyandang gelar Profesor. Namun ada kenangan khusus yang tertoreh  dengan tinta emas dalam memori batin tentang almarhum. Khususnya  yang terkait dengan posisinya sebagai kritikus film (Indonesia), yang terbilang keras dan blak – blakan pada awal 70an. Apalagi tulisan itu dimuat di media  bergengsi : Majalah Tempo. Almarhum secara blak - blakan menyebut film nasional sebagai “barang dagangan”. Padahal produksi film Indonesia saat itu baru saja mulai berjuang bangkit kembali di awal 70an itu , di era pemerintahan Orde Baru (Soeharto). Tentu saja pernyataan almarhum itu mendapat tentangan dan tantangan bahkan kecaman keras pula dari kalangan pembuat film, yang justru sedang bekerja keras membangkitkan kembali perfilman nasional  yang terpuruk oleh situasi politik di era Bung Karno. Pernyataan almarhum memantik kemarahan orang – orang film. Karena mereka merasa justru telah membuat film nasional yang mengusung misi sebagai produk kultural yang Indonesia. Dedengkot kebangkitan film Indonesia paskah peristiwa G30S/PKI yang marah itu, tercatat seperti Sumardjono, Wahyu Sihombing, Misbach Yusabiran, Syumanjaya, Arifin.C.Noer, Teguh Karya (Steve Liem) untuk menyebut beberapa nama. Nama – nama besar itu adalah tokoh seniman Orde Baru (film, teater dan sastra) di era awal pemerintahan Soeharto 1965 : mereka yang selama ini tertekan sekian lama oleh kiprah seniman beraliran kiri yang dimotori Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) – yang lebih politis ketimbang sebagai narasi seni  dan budaya, di era didalam kurun masa pemerintahan  Orde Lama Soekarno 1945 – 1965. Saya mengenal lebih dalam dengan almarhum pada tahun – tahun menjelang terbit Majalah Tempo, tahun 70an. Hingga kemudian terbitnya Majalah Tempo, Dimana almarhum salah seorang pendirinya. Pada saat itu, pada awal – awal terbit almarhum banyak berkunjung ke Makassar. Bertemu dengan tokoh – tokoh senior seniman – budayawan di dalam iklim kebebasan berekspresi pada era Orde Baru. Saya sebagai pendatang baru (yunior, umur saya lebih muda 3 tahun), memang tidak dikenal almarhum sebelumnya. Dia lebih familiar dengan tokoh – tokoh seniman, budayawan dan wartawan senior di Makassar. Sebutlah nama seperti Rahman Arge, Arsal Alhabsi, Husni Djamaluddin dan Ali Walangadi. Namun dikarenakan kunjungannya ke Makassar sangat sering, maka lama kelamaan sayapun menjadi dekat dengan almarhum. Ketika, pada awal – awal maraknya pertunjukan seni budaya (sastra, teater, film dan seni rupa serta seni tari)  di TIM (Taman Ismail Marzuki), persentuhan dengan Bung Salim, - demikian kami para sahabat dekatnya memanggilnmya -, semakin intens. Sebagaimana diketahui, TIM itu adalah sebuah kompleks kesenian dan kebudayaan. Sebuah “hadiah” kebudayaan yang dihibahkan oleh Gubernut DKI Jakarta waktu itu, Ali Sadikin. Sebuah kebijakan yang berharga dan amat sangat kultural yang dilakukan Ali Sadikn untuk memberi wadah berhimpun dan berkreasi yang representativ untuk kegiatan seni dan  budaya di Jakarta. Hal itu dipandang penting Ali Sadikin, mengingat fungsi Jakarta sebagai ibukota negara. Dengan sendirinya perlu suatu wadah representasi kegiatan kebudayaan yang berkualitas tinggi. Kurang lebih seperti itulah sudut pandang Ali Sadikin, menurut cerita teman – teman seniman dari seluruh Indonesia yang pernah menikmati pementasan karya seni dan budaya yang bergengsi dan lengkap itu. Terutama, karena mudahnya komunikasi antara awak media, baik cetak maupun televisi dengan para seniman – budayawan dari seluruh Indonesia yang bermarkas di TIM, maka dengan mudah pula pertunjukan kesenian tersebut terberitakan ke seluruh Indonesia, bahkan ke luar negeri. Saya beruntung sempat tinggal menetap selama kurang lebih enam bulan awal 70an di Wisma Seni, di TIM. Wisma Seni adalah suatu kompleks penginapan bagi seniman – budayawan dar seluruh Indonesia yang diundang oleh TIM ke Jakarta untuk menggelar kegiatan seni budaya ciri khas daerah masing . masing. Waktu itu saya kebetulan sedang mengikuti pendidikan atau Loka Karya Penulisan Skenario Film yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) bertempat di TIM. Saya bergabung sebagai delegasi dari Makassar (Sulsel). Meskipun hal itu adalah daya upaya saya pribadi. Pada momen itulah saya berkenalan banyak tokoh besar seniman sastra, teater, lukis, tari dan film kaliber nasional dan internasional. Dan selanjutnya, sayapun mangkal di TIM. Karena kemudian bertugas sebagai wartawan kebudayaan untuk menonton dan menulis resensi atau kritik pertunjukan teater dan film yang saya saksikan secara (tentunya) gratis. Saya menulis untuk Harian Angkatan Bersenjata Dimana saya bekerja salah sebagai salah seorang redaktur kebudayaan. Meskipun Harian Angkatan Bersenjata koran tantara, namun ada rubrik kebudayaan yang terbit sekali seminggu yang menyajikan tulisan terkait dengan masalah seni dan budaya, untuk memberi pesan kepada masyarakat, pemberitaan koran itu tidak mesti melulu dipenuhi berita disekitar panser dan granat (saya ingat, istilah inipun dilontarkan kepada saya oleh almarhum).  Mengingat posisi  saya sebagai wartawan, maka dapat dispensasi bebas menonton semua pertunjukan kesenian yang saya sukai, seperti, pementasan teater, pembacaan puisi dan pertunjukan film di TIM. Pada masa – masa penugasan itulah saya mengenal dekat sedjumlah dedengkot teater, seperti, sebutlah “Si Burung Merak”  WS. Rendra pemimpin “Bengkel Teater”, Yogya. Arifin C.Noer pimpinan “Teater Kecil”, Putu Wijaya ponggawa “Teater Mandiri” dan Wahyu Sihombing, alumni ATNI (Akademi Teater Nasional Indonesia) yang mengomandoi  grup teater Alumni LPKJ (Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta). Sebagai krtikus (penulis resensi film dan teater) dengan sendirinya saya banyak bersentuhan dengan tokoh – tokoh perfilman, seperti beberapa nama yang telah saya sebutkan diatas. Dari pergaulan akrab tersebutlah, saya sekaligus mendengar langsung komentar, reaksi dan kecaman keras mereka terhadap Bung Salim, yang dianggap sok tahu dan main kritik hantam kromo seenaknya. Soalnya, Bung Salim memberi label film Indonesia yang mulai bangkit di di awal Orde Baru itu, sebagai bukan karya seni – budaya, tapi diposisikan sebagai “barang dagangan” semata. Suatu konotasi negatif kepada  para produser film Indonesia diawal kebangkitan kembali film nasional, yang memang didominasi pengusaha orang India dan Tionghoa. Bagi Bung Salim, film Indonesia yang ramai diproduksi waktu itu : unsur kulturalnya nyaris Nol. Lebih didominasi semangat dagang!!. Produser itu dituduh almarhum lebih memikirkan bagaimana caranya biaya produksi film yang lumayan besar itu, dapat cepat menghasilkan uang banyak (keuntungan besar). Mayoritas produser itu adalah importir dan pengedar film India dan Mandarin. Itulah sebabnya, tidak mengherankan kemudian, apabila publik menyaksikan banyak produksi film Indonesia yang tema ceritanya diadopsi mentah – mentah, alias hanya “difotocopy”  dari film India dan Mandarin yang menjadi bisnis utama para produser tersebut. Keakraban saya dengan almarhum membuat saya setiap saat dapat datang ke pemondokannya, di bilangan Matraman Dalam. Sebuah lokasi eks bangunan kantor Koramil (kalau tidak salah ingat) yang sangat sederhana. Hanya terdiri satu kamar tamu merangkap kamar tidur. Berlantai ubin dan dinding batu. Tempat tinggal itu menurut informasi dan dibenarkan Bung Salim, adalah pemberian tokoh militer yang top pada awal pergerakan Orde Baru, yaitu Letkol Sarwo Edhie. Sebagai salah seorang tokoh aktifis demonstran Angkatan 66 dari Universitas Indonesia (UI), almarhum sangat dekat dengan Sarwo Edhie. Mertua mantan Presiden SBY ini adalah pembela gerakan mahasiswa Angkatan 66 yang mengalami tindakan penumpasan dan penangkapan dengan kekerasan oleh militer Orde Lama, sisa - sisa pendukung Bung Karno. Kedekatan almarhum dengan tokoh militer Orde Baru, karena almarhum adalah mantan wartawan surat kabar harian “Pelopor Baru” dan surat kabar harian “Angkatan Bersenjata”. Kedua surat kabar diterbitkan pemerintah Orde Baru yang mayoritas tokoh – tokohnya adalah perwira tinggi pendukung Jenderal Soeharto. Mereka juga mendirikan kantor berita militer yang bernama “PAB” (Pusat Pemberitaan Angktan Bersenjata). Lembaga kantor berita “PAB”  didirikan untuk menangkal dan mengcounter pemberitaan miring sejumlah media yang waktu itu kebanyakan dikuasai oleh wartawan beraliran kiri yang memanfaatkan kebesaran nama Bung Karno. Pada saat – saat mana Bung Karno sedang menggodok wadah penyatuan berbagai aliran berbeda dengan membentuk poros Nasakom (Nasional, Agama dan Komunis). Sebagai wartawan media militer, Bung Salim mendapat akses dengan petinggi militer yang bergerak di media. Khususnya dengan  Kolonel TNI – AD, R.H. Sugandhie atau lebih akrab dengan panggilan “Pak Gandi”. Rumahnya terletak di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat. Belakangan, di awal tahun 70an sayapun merapat di rumah Pak Gandi. Selain karena saya wartawan Harian Angkatan Bersenjata, saya juga menjadi pengurus salah satu ormas (organisasi kemasyarakatan), yang menjadi wadah generasi muda. Berinduk pada Ormas MKGR (Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong). Ketua Umumnya adalah Bapak R.H. Sugandhie. Ormas MKGR adalah salah satu dari Ormas “Tri Karya”. Yang dua lainnya adalah Ormas Kosgoro (Koperasi Gotong Royong) dipimpin oleh Kolonel Mas Isman, serta Ormas SOKSI (Sentral Organisasi Karyawan Seluruh Indonesia),dipimpin oleh Kolonel Suhardiman. Ketiga Ormas itu sengaja dibentuk oleh pemerintah Orde Baru Soeharto untuk menangkal  dan memotong kegiatan ormas bentukan pemerintah Orde Lama yang berbau kiri di tataran akar rumput. Untuk membersihkan pengaruh sisa – sisa komunis. Bung Salim tinggal sendirian di rumahnya itu (pondokan). Dibagian didepan, ruangan tamu merangkap ruangan tidurnya. Berukuran kurang lebih 3 x 4 meter. Disana tergelar kasur diatas ubin (tidak ada bangku tempat tidur).  Di kiri kanan nampak ratusan buku almarhum yang terawat dengan baik. Setiap kali almarhum, mau berangkat sekolah ke AS, dia sering ke rumah saya. Waktu itu saya ngontrak di daerah Tomang di depan Super Market Hero pada 1974 - 1980. Suatu ketika almarhum datang naik mobil dinas dari Majalah Tempo, yaitu Honda Life mini 2 pintu.  Warna merah tua maroon. Dia menyetir sendiri. Almarhum baru saja pintar nyetir mobil. Dia mendapat jatah kendaraan operasional tanpa sopir dari kantor. Yang terkesan sekali diingatan saya, ialah ketika pada suatu hari, almarhum datang ke rumah saya. Waktu itu tiba – tiba saja ada sedikit kehebohan. Rupanya, sebelum masuk menemui saya dalam rumah, almarhum menyuruh pembantu saya, perempuan muda bernama Inem. Umur belasan tahun. Baru datang dari Jawa. Rupanya Si Inem disuruh almarhum ke warung membelikan  rokok merk “Benson & Hedges” yang bungkusnya bahan karton berwarna kuning keemasan. Mewah sekali. Rokok kegemarannya. Tapi pembantu saya itu rupanya salah dengar. Ketika sang pembantu  cukup lama belum pulang kembali ke rumah, almarhum menunggunya depan rumah sambil berdiri depan pagar. Tidak lama kemudian, almarhum keheranan melihat pembantu itu kembali dengan menumpang becak, dan membawa jerigen berisi bensin lima liter. Kami semua berpandangan keheranan atas kedatangan pembantu tersebut dengan bawaannya yang “aneh”. Waahh..... Rupanya pembantu itu salah dengar. Dia menyangka disuruh beli bensin. Sebagai orang baru dari kampung, dia tidak mengerti kalau ada merk rokok bernama “Benson & Hedges”. Paling banter yang sering didengar dari percakapan di kampung mungkin cuma rokok Kansas atau kretek Gudang Garam. Sisi lain Bung Salim yang saya catat, dia termasuk tokoh humanis alias tidak menyenangi kekerasaan, meski dia berdarah Bugis. Suatu ketika, masih dalam kurun waktu usia 20an, saya ada sedikit masalah salah faham dengan seseorang di kalangan perfilman, yang berakhir dengan pemukulan oleh saya. Maklum baru beberapa tahun di Jakarta, dari Makassar. Bung Salim yang mendengar kasus itu memberi nasehat kepada saya, “kita merantau jauh – jauh dari kampung halaman karena mau menambah teman, bukannya harus mencetak musuh”. Kesan saya kemudian, almarhum menghadapi semua reaksi atas semua kritik kerasnya tidak dihadapi dengan kontra kekerasan. Tetapi dengan narasi ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan, karena diolah dari hasil penelitiannya. Menurut saya, itulah akar kekuatan almarhum, berselancar dengan narasi objektif menghadapi reaksi atau serangan balik dari berbagai kalangan yang tentunya sangat subjektif dan berbasis emosional.Innalillahi Wainna Ilaihi Rajiun. Almarhum telah dipanggil oleh Sang Pencipta. Mari kita doakan, semoga almarhum mendapatkan tempat yang lapang dan layak disisi Allah Swt. Amin Yra. Wassalam... Jakarta, 25 Mei 2024

Mencari Pemimpin Tegas dan Mencerahkan

Oleh Darwin Zahedi Saleh l Pemerhati Energi(Menteri ESDM Era Presiden SBY dan Ekonom Universitas Indonesia) Pihak yang tidak mau diajak bergabung jangan ganggu pemerintahan saya,” tegas Pak Probowo Subianto sang Presiden Terpilih (Kompas, 16 Mei 2024). Mungkin bagi sebagian orang itu mengejutkan, tetapi boleh jadi biasa saja bagi sebagian yang lain. Yang jelas, terasa sebagai nada bicara yang teguh tanpa keraguan dan tetap hati untuk melangkah ke depan. Cocokkah gaya kepemimpinan demikian untuk kita? Mari tengok kesimpulan perbincangan Ali Wardhana, Jacob Oetama dan Rais Abin di tahun 2002.  Menurut ketiga tokoh terkemuka itu--kini telah wafat semua—Indonesia memiliki permasalahan yang kompleks sehingga memerlukan pemimpin yang memenuhi kriteria “enlightened autocratic leadership”. Kepemimpinan yg tegas sangat diperlukan, tetapi agar tidak menjadi otoriter atau diktator perlu ciri \"enlightened\", sehingga pemimpin dimaksud adalah seorang yg visioner, arif dan punya keteguhan jiwa. Tetapi juga beretika, dalam arti menjunjung norma dan nilai-nilai yang hidup di tengah masyarakat kita. Kompleksitas permasalahan di Indonesia bersifat unik, dipengaruhi oleh kondisi geografi, demografi dan kekayaan alamnya. Pengalaman menunjukkan bahwa sungguh tidak mudah mencukupi kebutuhan dasar—misalnya pangan atau energi—bagi penduduk yang jumlahnya nomor empat terbanyak di dunia ini. Pangan atau energi tidak hanya mesti tersedia (available), tetapi juga harus mudah dijangkau (accessible) dan terjangkau daya beli rakyat (affordable). Masalahnya, pola persebaran penduduk dan sumber daya alam di Indonesia berbeda: mayoritas penduduk (hampir 80%) tinggal di Jawa dan Sumatera, di lain pihak SDA (sumber pangan atau energi) tersebar di daratan dan perairan nusantara. Akibatnya, isu infrastruktur transportasi dan distribusi logistik di negeri kepulauan terbesar di dunia ini menjadi sangat problematis agar pangan atau energi dapat available, accessible dan affordable. Di sanalah masalahnya.  Pikiran pragmatis atau “short-sighted” kita cenderung memilih jalan mengimpor saja kebutuhan pangan atau energi, dengan alasan lebih murah, lebih mudah dan efisien. Tentu saja karena ada rente ekonomi di situ. “Mengutip” sedikit saja, asalkan rutin, dari kegiatan importasi —dari setiap nilai barel minyak atau BBM, ataupun dari setiap tonase impor gandum, kedelai atau daging sapi— menghasilkan keuntungan yang sangat besar.  Lebih dari cukup kalau untuk mensponsori arah suatu kebijakan atau sekadar membiayai kebutuhan kampanye calon pemimpin di tingkat nasional.Tetapi, impor energi atau pangan dapat membahayakan ketahanan ekonomi bangsa bila berlebihan. Itu mesti diwaspadai. Bagaimana bila sistem perizinan dan kebijakan importasi itu melibatkan atau mendapat kemudahan, misalnya, dari orang-orang penting di sekitar presiden?  Siapkah Pak Prabowo meng-“handle the truth” bila kelak kasus-kasus demikian dijumpainya? Mudah dibicarakan, sungguh sulit dipraktekkan! Dalam mengatasi kebutuhan energi dan pangan, selama ini kita sepertinya terperangkap dalam lingkaran setan (vicious cycle). Saat ini, Indonesia cuma mampu memenuhi 40% persen kebutuhan BBM-nya. Sudah hampir tiga puluh tahun tidak ada pembangunan kilang baru untuk mengolah minyak menjadi BBM.  Perlu kapasitas kilang 1,5 hingga 2 juta barel per hari agar Indonesia tidak perlu bergantung pada BBM impor. Pemerintahan Jokowi sudah merencanakan pembangunan kilang sejak tahun 2015—belakangan cukup serius dengan adanya proyek Refinery Development Master Plan dan Grass Root Refinery—tetapi belum ada kemajuan yang berarti.  Presiden pun suatu kali dibuat jengkel dan curhat tentang itu di ruang publik.Pembangunan kilang baru ataupun penambahan kapasitas kilang sebetulnya hanya menjawab sebagian masalah. Dari sisi penawaran, percepatan diversifikasi bahan bakar nabati ataupun segera meng-konkretkan gasifikasi atau likuifaksi batubara penting dalam mengurangi tingginya ketergantungan pada impor BBM. Dari sisi permintaan, kebijakan sektor transportasi ataupun pembangkitan listrik yg lebih tepat akan besar pengaruhnya.  Tetapi sungguh tidak mudah. Adabanyak vested di sektor energi, transportasi maupun industri otomotif.Impor minyak dan BBM untuk kebutuhan energi di negeri kita sudah terlalu besar, akibatnya surplus hasil ekspor nonmigas (2023:$ 57 milyar) terpangkas oleh defisit migas (2023:$ 20 milyar). Hal itu terutama disebabkan oleh begitu besarnya impor minyak mentah dan BBM senilai $ 32,1 milyar, untuk tahun 2023 lalu. Begitu pula kurang lebih gambaran tahun-tahun sebelumnya.  Kebutuhan impor minyak yang sangat besar itu pada hakikatnya diredam oleh hasil ekspor batubara, yang menyumbang 55-60% dalam ekspor non migas kita. Malangnya, itu semua dibayar mahal dengan penggalian drastis cadangan batubara kita, sehingga Indonesia menjadi eksportir batubara terbesar di dunia. Itu memprihatinkan, tidak pantas dibanggakan. Cadangan batubara Indonesia hanya sekitar 3% cadangan dunia. Bandingkan dengan negara lain yg cadangannya jauh lebih besar Amerika (23%), Rusia (15%), Australia (14%) cadangan duniatetapi ketiganya berada di urutan setelah Indonesia. Tujuan ekspor batubara Indonesia terutama ke India dan China, keduanya justru memiliki 3 hingga 4 kali lipat cadangan batu bara Indonesia, jauh lebih besar. Tidak seperti bangsa lain, kita abai dalam mengkonservasi penggunaan batubara ataupun SDA kita. Perlu sejumlah mata uang dollar yg sedemikian besar untuk impor minyak, akibatnya nilai tukar rupiah tertekan sehingga terus melemah. Padahal, enam dari sembilan komponen Sembakomasih diimpor, perlu devisa lebih besar bila nilai tukar rupiah terus melemah terhadap dollar. Lemahnya rupiah pada gilirannya juga ikut berpengaruh pada meningkatnya nilai subsidi listrik dan BBM yang mesti ditanggung APBN. Problem di neraca perdagangan LN itu merembet ke APBN. Di tataran identifikasi masalah, sudah tepat bila sang Presiden Terpilih memberi perhatian serius pada isu ketahanan energi, ketahanan pangan dan hilirisasi industri. Tetapi, ada berbagai kepentingan besar dan target-target nasional lain di sekitar itu, baik itu berupa target ekspor non migas, target pertumbuhan industri otomotif dan trade-off hubungan dagang yang mengikat dengan berbagai mitra luar negeri. Kita berharap Presiden Terpilih sanggup menangani semua the truth itu mana kala membahayakan ketahanan nasional dan kedaulatan bangsa.  Mengatasi penyakit kronis begini, perlu pemimpin yang sanggup dengan mantap menetapkan target waktu, menjadwalkan (scheduling) dan membuat tahapan (sequencing) langkah-langkah yg pasti untuk itu. Sungguh tidak mudah, mari doakan. Agaknya benar, kita perlu “enlightened autocratic leadership”, yang tetap hati dan punya keteguhan melangkah.

Anies Baswedan Akan Dijebak dan Diakhiri Karier Politiknya

Oleh Sutoyo Abadi | Koordinator Kajian Politik Merah Putih  ANIES Baswedan (AB) mantan Calon Presiden (Capres) harus bisa memahami suasana kebatinan para pendukung dan relawan, yang ikhlas berjuang, hingga mempersembahkan pengorbanan untuk sebuah misi perubahan, agar negeri ini berubah menjadi lebih baik. Dari sejak musim kampanye, pertarungan opini medsos, hingga sejumlah demonstrasi untuk melawan Pemilu curang.  Ada jaminan Pemilu dapat dilaksanakan secara jurdil.  AB sangat tidak bijak apabila memaknai bahwa Pilpres hanyalah sebuah kompetisi  yang hanya beresiko kalah atau menang. Agar terkesan demokratis, begitu cepat mengakui dan mendukungnya Capres yang telah dinyatakan menang oleh Mahkamah Konstitusi (MK), pemenang yang lahir telanjang dari dukun kekuasaan, Oligarki dan Xi Jinping yang mem-back up penuh sebagai sponsornya AB tidak boleh mengabaikan perjuangan para aktivis, relawan perubahan, pembela hukum dalam proses pengadilan MK, pejuang di media sosial dengan terus menerus bergerak memberikan peringatan dini saat itu, sedang dan telah terjadi kecurangan, bahkan angka kemenangan sudah ditentukan sebelum pelaksanaan Pemilihan Presiden. Kalau yang terjadi AB mengalah terhadap kecurangan Pilpres harusnya sejak awal sudah menyerah menerima keputusan KPU, tidak perlu sengketa Pilpres dibawa  ke MK. Buat apa membawa perkara ke MK, kalau ujungnya hanya untuk melegitimasi kecurangan. Buat apa pengorbanan untuk dukungan ke MK, jika akhirnya menyerah dan mengakui keputusan MK. Tidak ada kewajiban hukum, bagi paslon untuk mengucapkan selamat pada pemenang pasca putusan MK. Tidak ada juga kesalahan, mendiamkan kemenangan sebagai  sikap dan keyakinan perjuangan menegakkan, membela kejujuran, keadilan demokrasi. Pengakuan, penghormatan dan penghargaan terhadap tekad dan perjuangan rakyat dengan keyakinan ingin adanya perubahan hidup yang telah memberikan dukungan dan pilihan kepada Paslon sekalipun berahir dikalahkan oleh rekayasa kekuasaan, lebih bernilai dan berharga dari sekedar larut memberikan pengakuan pemenang hasil MK. \"Menemui para pendukung dan pemilihnya yang di lakukan saat ini jangan hanya menghibur dan menentramkan pendukungnya tetapi kembali konsolidasi agar kedepan lebih cerdas dan militan dengan segala pengalaman dan kejadian yang mengerikan sekaligus belajar kembali dari proses demokrasi yang menjijikkan\". \"Penguasa, petinggi partai dan para politisi busuk  terbiasa berdusta, bohong dan khianat, saat ini makin merajalela. Macan macan rekayasa politik busuk adalah biang kerok semua kebohongan dan pengkhianatan\". \"Anies Baswedan kembali akan di terjang badai issue untuk maju kembali di DKI sebagai gubernur dengan berbagai dalih dan rekayasa untuk masuk di kotak mati masa depan dan citra politiknya\". \"Hampir dipastikan nekad maju di DKI sebagai gubernur akan dibantai lebih kejam, ditenggelamkan oleh kekuatan yang maha besar untuk dikalahkan. Kalau itu terjadi karir politiknya akan berakhir menjadi ejekan dan mainan buzer Oligarki dan antek-anteknya\". (*)

Iran dan Timur Tengah Pasca Raisi

Oleh Smith Alhadar | Penasihat The Indonesian Society for Middle East Studies (ISMES)   PADA 19 Mei 2024, kabar mengejutkan menjalar ke seluruh Timur Tengah, bahkan dunia, menyusul kecelakaan helikopter di Iran yang ditumpangi, di antaranya, Presiden Ebrahim Raisi dan Menlu Hossein Amir Abdollahian. Semuanya meninggal dunia. Pemimpin Tertinggi Iran Ayatullah Ali Khamenei langsung melantik Wakil Presiden Utama Mohammad Mokhber sebagai presiden interim. Posisi Abdollahian digantikan Wakil Menlu Ali Bagher Kani sebagai Penjabat Menlu. Muncul pertanyaan: bagaimana masalah internal Iran dan kebijakan luar negerinya setelah tragedi yang menimbulkan spekluasi-spekulasi konspiratif ini?   Pertanyaan ini layak diajukan mengingat Raisi digadang-gadang sebagai calon pengganti Khamenei yang sudah berusia 85 tahun, sikap keras Raisi terhadap Israel, stabilitas kawasan, hubungan Iran-AS, dan isu program nuklir Iran. Setelah Raisi dan Abdollahian meninggal, perundingan rahasia Iran-AS di Oman – perunding Iran adalah Ali Bagher Kani yang mencakup berbagai isu – di antaranya isu perang Gaza dan program nuklir Iran, terbengkalai.   Masalah Internal   Raisi meninggal ketika ekonomi Iran dalam keadaan terpuruk. Mata uang riyal Iran terdepresiasi sangat dalam, harga bahan pokok melejit, kemiskinan meningkat, dan dan pengangguran meluas. Ini terjadi setelah AS di bawah Presiden Donald Trump, atas desakan Israel dan negara Arab Teluk, mundur secara sepihak dari kesepakatan nuklir Iran (JCPOA).  JCPOA ditandatangani Iran dan P5+1 (AS, Rusia, Tiongkok, Inggris, Perancis) plus Jerman pada 2015. Kesepakatan ini mengizinkan Iran mengekspor energinya ke pasar global dengan imbalan Teheran membatasi program nuklirnya.    Mundurnya AS pada 2018 diikuti sanksi ekonomi yang melumpuhkan. Anggota P5+1 lainnya, kecuali Rusia dan Tiongkok, terpaksa juga membatasi kerja sama ekonomi dengan Iran. Cobaan Iran berlipat ganda menyusul pandemi covid-19. Situasi ini menciptakan keresahan sosial. Di pihak lain, Raisi memberlakukan kode berbusana yang lebih ketat yang mengecewakan kaum perempuan. Padahal, Raisi terpilih melalui pilpres 2021 yang diboikot kubu moderat dan reformis. Untuk pertama kalinya sejak Republik Islam Iran berdiri pada 1979, jumlah pemilih terdaftar yang datang ke kotak suara hanya 40 persen lebih. Dus, pemerintahan Raisi memiliki legitimasi yang rendah.     Maka ketika perempuan muda, Mahsa Amini, tewas di tahanan kepolisian pada 2022 karena dituduh tidak mengenakan hijabnya dengan benar, demonstrasi besar-besaran terjadi di semua kota Iran selama berbulan-bulan. Demonstran Perempuan menanggalkan dan membakar hijab mereka. Tak kurang 500 orang meninggal dan 16 “provokator” dieksekusi mati. Pelapor ahli HAM PBB menyatakan Iran telah melakukan kejahatan kemanusiaan.    Gejolak internal dan tekanan eksternal membuat Iran makin mendekatkan diri dengan dua kompetitor utama AS dan NATO, yakni Rusia dan Tiongkok. Kerja sama ekonomi Iran dengan dua negara besar ini yang meningkat drastis membuat Iran bisa sedikit bernapas. Tiongkok menandatangani kesepakatan jaminan pasokan minyak Iran ke Tiongkok selama 25 tahun. Dan baru-baru ini, Organisasi Kerja Sama Ekonomi Shanghai (SCO) – terdiri dari Rusia, Tiongkok, India, dan negara-negara Asia Tengah – menerima lamaran Iran sebagai anggota.   Lebih penting dari semuanya, kepergian Raisi menghadapkan Iran pada masalah suksesi terhadap Khameneni yang mulai sakit-sakitan.  Memang suksesi terhadap pemimpin Velayat-e Faqeh  yang sangat strategis merupakan urusan Majlis-e Khubregan (Majelis Ahli), terdiri dari 88 anggota ulama senior. Tapi tidak mudah mencari pengganti Khamenei yang seloyal Raisi. Raisi juga merupakan pemersatu kubu konservatif di semua lini pemerintahan dan lembaga strategis. Sesuai konstitusi, Iran segera menyelanggarakan pilpres 50 hari setelah Raisi dinyatakan meninggal dunia.    Maka pilpres mendatang menjadi isu kritis karena diharapkan presiden terpilih akan menjadi calon pengganti Khamenei. Siapa dia? Tidak ada yang tahu. Mokhber adalah juga seorang konservatif dan dekat dengan Khamenei. Tapi dia bukan seorang ulama yang menjadi syarat mutlak bagi posisi Velayat-e Faqeh. Dus, hari-hari ini Khamenei -- dan Majelis Khubregan -- akan disibukkan  dengan pencarian  calon pengganti dirinya.    Perang Gaza   Lebih dari negara manapun, pemerintahan Iran di bawah Raisi sangat vokal dalam meneriakkan kekejian Israel terhadap Palestina. Raisi tak henti-hentinya memprotes keras operasi militer militer Israel (IDF) di Gaza yang, menurut PBB, pelanggaran HAM di Gaza tak ada presedennya Pasca Perang Dunia II.  Atas aduan Afrika Selatan, Mahkamah Internasional (ICJ) memerintahkan Israel menghentikan genosidanya.    Pada 20 Mei, Ketua Mahkamah Kriminal Internasional (ICC), Karim Khan, meminta panel jaksa ICC mengeluarkan perintah penangkapan (arrest warrants) terhadap PM Israel Benjamin Netanyahu dan Menteri Pertahanan Yoav Gallant. Agar terlihat independen, Khan juga meminta penangkapan terhadap pemimpin Hamas: Ismail Haniya, Yahya Sinwar, dan Mohammad Deif.   Serangan Hezbollah (proksi Iran di Lebanon) ke Israel dan serangan milisi Houthi di Yaman ke kapal-kapal kargo yang melintasi Laut Merah – dengan tujuan membantu Hamas -- cukup merepotkan Israel dari sisi ekonomi dan keamanan. Untuk mengalihkan perhatian dunia dari operasinya di Gaza, Israel menyerang konsulat Iran di Damaskus, menewaskan dua jenderal Korps Garda Revolusi Islam (IRGC) Iran. Tentu saja serangan ini melanggar Konvensi Geneva yang menetapkan konsulat tak boleh dijadikan sasaran serangan. Apabila itu terjadi, maka negara pemilik konsulat boleh melakukan pembelaan diri.    Israel memang berharap provokasi ini dibalas sehingga terbuka front baru Iran-Israel yang akan menarik dukungan AS dan sekutu Barat terhadap Israel. Serangan Israel jelas menekan pemerintahan Raisi. Demi menjaga marwah Iran sebagai kekuatan regional, terutama di hadapan proksi-proksinya  -- di Irak, Suriah, Lebanon, Palestina, dan Yaman -- dan publiknya sendiri, Raisi tak punya pilihan lain kecuali membalas serangan kurang ajar itu. Maka, tak kurang dari 300-an drone, rudal balistik, dan rudal jelajah diluncurkan ke Israel.    Konflik bersenjata terbuka Israel-Iran yang terjadi untuk pertama kalinya sejak Republik Islam Iran berdiri 1979, membawa Timur Tengah ke tebing perang besar di kawasan panas itu. Belum ada tanda-tanda perang Hamas-Israel yang telah mencapai bulan kedelapan di mana Iran memainkan peran besar akan segera berakhir. Dengan demikian, situasi ini akan mempengaruhi pilpres Iran. Untuk sementara, presiden interim tidak akan mengambil kebijakan strategis yang mengubah status quo. Maka, penyelesaian perang Gaza yang harus melibatkan Iran belum akan terjadi sampai terpilih presiden Iran definitif.  Politik luar negeri Iran disusun oleh presiden, IRGC, dan Lembaga Keamanan Nasional dengan dukungan Velayat-e Faqeh (Khamenei).   Program Nuklir Iran   Serangan balasan Israel ke Kota Isfahan, pusat program nuklir Iran, membangkitkan alarm. Segera Raisi dan parlemen mulai bicara tentang perlunya Iran membuat bom atom. Iran pun mulai membatasi kerja samanya dengan Badan Atom dan Energi Internasional (IAEA) yang mengawasi program nuklirnya. Ini menimbulkan kekhawatiran AS, Israel, UE, dan negara-negara Arab Teluk. Menurut IAEA, Iran telah berhasil memperkaya uranium hingga 60 persen. Kalau mau, hanya perlu dua minggu bagi Iran untuk  membuat dua bom nuklir.   Dalam perundingan Iran-AS di Oman, selain membicarakan deeskalasi perang Hamas-Israel, mengganti pemerintahan Israel, dan status Palestina pasca perang, keduanya juga berunding soal pemulihan JCPOA. Kendati memperkuat posisinya dalam situasi ini, Raisi ingin JCPOA dipulihkan agar membuka akses Iran ke ekonomi global. Rakyat Iran butuh pembangunan dan pertumbuhan ekonomi untuk meringankan beban hidup mereka. Bagi AS, penting untuk mengendalikan program nuklir Iran guna menghentikan potensi perlombaan senjata  nuklir di kawasan.    Penutup   Kendati berhasil menormalisasi hubungan dengan Arab Saudi pada Maret tahun lalu, yang diharapkan meredakan ketegangan dua kekuatan yang saling berebut pengaruh di kawasan, perang Hamas-Israel merusak stabilitas Timur Tengah. Aktivitas program nuklir Iran di bawah Raisi juga mengganggu negara tetangga dan politik luar negeri AS yang hendak fokus pada persaingannya dengan Tiongkok di Asia Pasifik. Sebenarnya penyelesaian semua permasalahan ini bergantung pada AS.    Andaikan Washington serius menekan Israel untuk mengakhiri perang secepatnya, lalu mendorong pembentukan negara Palestina merdeka,  dan bersedia memberi konsesi yang diperlukan Iran untuk memulihkan JCPOA, maka sebagian besar masalah Timteng  dapat diatasi. Iran kehilangan alasan untuk membentuk “poros perlawanan” dengan membentuk proksi-proksi di kawasan untuk melawan AS dan Israel. Ini juga akan membangun kepercaya negara-negara Arab Teluk terhadap Iran, sehingga rekonstruksi Timur Tengah yang stabil, makmur, dan beradab pasca perang dapat dimulai. (*)   *) Tulisan ini sudah dimuat di Media Indonesia pada Jumat, 24 Mei 2024. Atas seizin penulis dimuat juga untuk FNN. 

Oposisi Munafik Mengais Sisa Kue di Tempat Sampah

Oleh M Rizal Fadillah | Pemerhati Politik dan Kekuasaan BANYAK tokoh oposisi dan juga partai politik akhirnya \"belot\" mendukung \"kemenangan\" Prabowo Gibran. Awalnya gigih teriak bahwa KPU dan MK membuat keputusan hukum \"curang\" dan tidak dapat menerima kecurangan tersebut. Namun akhirnya teriakan itu ditelan sendiri dengan merapat dan menyatakan dukungan kepada Prabowo Gibran.  Alasan dukungan atau menerima Prabowo  Gibran beragam. Ada yang menyatakan bahwa kompetisi sudah selesai, sehingga tidak bermanfaat lagi untuk terus menolak. Adapula yang berdalih hal ini sebagai strategi untuk memisahkan Prabowo dengan Gibran atau mendorong agar Prabowo berani melawan Jokowi. Bukankah jika Jokowi tidak lagi sebagai Presiden maka pengaruh atas Prabowo akan melemah ?  Alasan harus segera \"move on\" merupakan ciri dari karakter pemimpin lemah, \"memble\" dan membuat preseden buruk bahwa kecurangan dapat ditoleransi. Pilpres 2014 curang, 2019 curang dan kini 2024 curang lagi. Bangsa Indonesia akan memiliki predikat bangsa yang mempersilahkan maling-maling untuk berkuasa. Bangsa dari Negara yang diperintah oleh para penjahat.  Jokowi adalah biang dari kejahatan. Dien Syamsuddin dalam salah satu acara di Petamburan melambungkan bola \"brengsek\" yang segera di \"smash\" Habib Rizieq dengan berulang memberi predikat \"si brengsek\". Si brengsek ini dinilai telah mendalangi pembantaian 6 syuhada pengawal HRS di Km 50. Kecurangan Pilpres 2024 ternyata buah karya Jokowi  melalui cawe-cawe, bansos, politik sandera, KPU maupun MK.  Alasan strategi memisahkan Jokowi dengan Prabowo adalah ilusi politik terbaru. Gibran menjadi Cawapres itu atas kemauan Prabowo dengan tujuan agar Jokowi \"all out\" membantu. Prabowo sendiri mengakui secara terbuka bahwa kemenangannya disebabkan oleh peran Jokowi. Kini Jokowi, Prabowo dan Gibran adalah satu. Three in one.  \"Membunuh\" Jokowi dengan mendukung Prabowo merupakan kesia-siaan yang berakar pada fikiran dangkal. Solusi dari keputus-asaan perjuangan. Sebelum Putusan MK, Jokowi telah terlebih dahulu membawa Prabowo ke Xi Jinping di Beijing. Tentu untuk menjamin kelangsungan dan kebersamaan \"three in one\". Jokowi sadar bahwa setelah lengser ia tidak akan mampu mengendalikan Prabowo, akan tetapi Xi Jinping bisa.  Para oposan yang merapat ke Prabowo harus mendapat jaminan deklarasi Prabowo yang menolak campur tangan China. Ini yang tidak mungkin. Jokowi telah mendapat garansi bahwa Prabowo akan melanjutkan \"tanpa syarat\" kerjasama erat dengan China. Karenanya kecil kemungkinan Prabowo akan sanggup membangkang pada Jokowi \"adik\" Xi Jinping.  Kecurangan tidak boleh ditoleransi. Tidak KPU, tidak MK dan tidak pula Jokowi atau Prabowo Gibran. Bertenggang rasa pada keterpilihan curang akan melengkapi penerimaan budaya tenggang rasa pada korupsi, politik sandera, mafia, nepotisme dan penyalahgunaan hukum.  Kerusakan negara disebabkan oleh kekalahan oposisi yang kemudian berubah menjadi pragmatis. Oposisi munafik. Mereka berharap masih ada sisa-sisa dari pembagian kue kekuasaan. Lalu tanpa rasa malu sibuk mengais-ngais di tempat sampah. (*)

Pilpres Alibaba - Kemenangan Oligarki dan Xi Jinping

Oleh Sutoyo Abadi | Koordinator Kajian Politik Merah Putih  PILPRES 2024 adalah pilpres paling gelap dalam sejarah demokrasi di Indonesia. Semua berada di lorong siklus kegelapan dalam lanskap politik kembali ke alam penjajahan. Angan-angan terciptanya kehidupan demokrasi yang normal sebagai aktivitas politik yang  diwarnai dengan nilai demokrasi sesuai nilai-nilai Pancasila bisa hidup tumbuh berkembang secara alami, makin menjauh dari harapan. Seiring dengan lahirnya taman politik buatan hasil rekayasa telah meluluh lantakkan budaya demokrasi yang jujur, adil, bebas dan rahasia . Dalam masa kekinian gejalanya akan rontok berubah menjadi kehidupan demokrasi kering bahkan mati dalam taman politik buatan penjajah gaya baru. Sejarah kehidupan Indonesia terus berjalan, tidak semakin baik justru tenggelam hidup dalam kegelapan. Penguasa lupa atau mengabaikan sejarah yang merupakan produk hukum alam, seluruh rangkaian peristiwanya akan berulang - ulang tetap terperosok dalam dalam lubang yang sama. Jadi benarlah apa yang dikatakan \"jangan sekali - kali melupakan sejarah\". Sejarah begitu penting agar manusia tidak menjadi keledai yang terperosok lubang berkali - kali. Sebuah pertanyaan yang memberi kesan memprovokasi penafsiran kita terhadap  Pilpres peristiwa kekinian dan baru saja terjadi.  \"Dalam lintasan sejarah kekuasaan di nusantara, penjajah berkuasa berabad - abad bermula dari adanya persekutuan mereka dengan kaum komprador  yang berambisi pada kekuasaan. Lalu dengan berbagai macam teknik rekayasa sosial, devide et impera menjadi cara paling efektif untuk melahirkan penguasa yang mereka inginkan. Cerita klasik ini berlanjut sampai kini, disadari atau tidak \"Pilpres Alibaba\" tak ubahnya pengulangan kaum penjajah untuk mengekspose penguasa boneka pilihannya. Sindiran atau kritik dari Sun Yat Sen cukup tajam mengatakan \"Indonesia adalah bangsa yang tidak punya keinginan untuk membebaskan diri dari penindasan ibarat “a sheet of loose sand”. Bagaikan pasir yang meluruk dan rapuh. Tiada keteguhan, sehingga mudah ditiup ke mana-mana\" Bangsa ini memang tak pernah belajar dari sejarah, maka  dengan datangnya penjajah gaya baru, penguasa sebagai boneka adalah akibat sejarah perjuangan lepas dari penjajahan ditutup agar bangsa Indonesia kembali menjadi buta dan tuli dari sejarah kehidupannya. Tragis tapi nyata,  telah menjadi kenyataan \"Pilpres Alibaba\" adalah Pilpres penjajahan gaya baru. Pelakunya dengan riang gembira sebagai kemenangan. Sadar atau tidak kemenangan Pilpres Alibaba 2024 adalah oligarki dan XI JINPING (RRC), dengan gemilang telah berhasil membuat penguasa boneka lanjutan di Indonesia. **

Stop Jadi Jongos Politik

Oleh Sutoyo Abadi | Koordinator Kajian Politik Merah Putih  MENYELAMATKAN dan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)  mutlak dengan perjuangan berani mati, adalah cerminan dari para pahlawan para pejuang yang telah mendahului kita : It\'s now or never .. Tomorrow will be to late. (sekarang atau tidak pernah - besok atau semua terlambat). Mengenang dalam otak kita sesanti perjuangan para pahlawan kita \"hidup atau mati\" NKRI dalam kondisi sakit parah, rakyat harus bangkit melawan: When justice fails, public opinion takes over. When the law is lost in the extremes of legalism, or bends under the weight of money, mobs begin to burn and murder.” (Ketika keadilan gagal, opini publik mengambil alih. Ketika hukum tersesat pada kejumudan Undang-Undang atau bengkok karena uang, massa mulai akan membakar dan membunuh.). Anomali yang terus terjadi saat ini harus diperbaiki : Aut non tentaris, aut perfice (laksanakan hingga tuntas atau jangan mengupayakan sama sekali). Diam tertindas atau bangkit melawan . Mengatasi kondisi saat ini pintu hanya tersisa yang namanya Revolusi. Harusnya berani mati turun kejalan dalam waktu yang lama dengan target kemenangan yang pasti dan terukur menurunkan Jokowi dan menolak hasil Pilpres 2024 hasil rekayasa oligarki dan penjajah gaya baru. Indonesia telah terhipnotis Presiden  sudah bersenyawa dengan kekuatan partai sempurna mengubah peran wakil rakyat sebagai aksesoris legalitas konstitusi, metamorfosis bersama sama sebagai boneka dan jongos kekuasaan dan kekuatan, lepas dari jati dirinya sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat. Partai di Indonesia sudah seperti bebek lumpuh (lame duck) tak berdaya menghadapi penjajah gaya baru, tenggelam dalam praktek politik pragmatis dan transaksional masuk di alam hedonis pemburu kekuasaan semata, rakyat diperbudak seenaknya. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sudah kosong eksistensi sebagai wakil. Rakyat sebagai pemilik kekuasaan sudah lama di kudeta partai politik. Ketum Partai memiliki kekuasaan sangat besar bisa me-recall anggota yang melawan kebijakannya. Saat bersamaan Ketum Partai sudah menjadi kongsi Presiden, sumpah setia sebagai budak dan boneka dan jongos oligarki dan kekuatan asing dominan dikendalikan Cina. Wajah penjilat para pejabat negara dan petinggi partai menjadi wabah tumbuh subur di Indonesia, mereka tampil mengaku diri sebagai pahlawan tak lebih hanya sebagai sampah negara. Keadaan yang terus memburuk hanya bisa diatasi dengan people power dan gerakan revolusi yang sesungguhnya. Tinggalkan demo damai dan gerakan sporadis yang oleh penguasa justru  hanya sebagai hiburan dan tontonan harian, hanya didalilkan sebagai riak riak demokrasi. Pecuma aksi damai yang tidak akan menyelesaikan masalah, karena demo tersebut justru selalu di ciptakan oleh penguasa sebagai hiasan demokrasi semu produksi penjajah gaya baru. Kehidupan manusia  menjadi sia sia lewat pemikiran terus mengalah, sikap diam, narimo pandum tanpa perlawanan dengan luka menganga, dan penderitaan tanpa batas keadilan dan perikemanusiaan. Fabel Aesop mengatakan : \"mempersiapkan diri setelah bahaya datang adalah sia-sia\".  Berhentilah hidup hanya sebagai jongos dan budak politik\"_ pada penguasa yang sudah tidak mengenali lagi tujuan  negara sesuai dalam Pembukaan UUD 45. ***

Jokowi Takut Investigasi

Oleh M Rizal Fadillah | Pemerhati Politik dan Kebangsaan MESKI RUU Penyiaran digodok oleh DPR sebagai penggunaan Hai Inisiatif DPR tetapi melihat konten dan kepentingannya dapat diprediksi ini adalah \"titipan\" Eksekutif. Yang menjadi sorotan kencang yaitu soal larangan pers investigasi atau dikenal dengan investigative news. Pasal 50 (B) ayat 2 huruf c melarang penayangan ekslusif investigasi jurnalistik. Aturan ini dinilai membatasi kebebasan dan tentu melanggar HAM.  Jika media dilarang untuk melakukan penayangan investigasi jurnalistik, maka berbagai kasus publik dapat diredam sesuai dengan kemauan politik. Keterlibatan publik menjadi hilang atau dibatasi. RUU telah membunuh fungsi kontrol media. Kelak kasus korupsi, kolusi dan nepotisme akan aman tetap berada dalam ruang tertutup dan kompromistis.  Mafia bisnis merajalela tanpa tersentuh BAP penyidik. Hukum tidak akan mampu menjangkau dimensi ini. Hukum menjadi mainan para mafia licin. Disinilah sebenarnya berita investigasi sangat membantu untuk mengungkap. Sebaliknya, pelarangan justru memproteksi dan menyuburkan kejahatan yang  berbau mafia tersebut.  Rezim Jokowi adalah rezim korup, rezim nepotis dan rezim mafia. Hukum bukan menjadi pembongkar tetapi pelindung. Lihat saja revisi UU KPK yang memandulkan, Putusan MK Gibran yang melegalisasi serta peradilan Sambo yang memproteksi. Putusan Hakim kasus 6 Syuhada pengawal HRS penuh dengan rekayasa.  Rezim korup, rezim nepotis dan rezim mafia tidak takut pada hukum, bahkan hukum dibuat sebagai pembenar kesewenang-wenangannya. Justru yang ditakuti adalah tayangan ekslusif investigasi jurnalistik. Tayangan ini berbahaya dan jauh lebih mengerikan bagi rezim pendosa dan penjahat. Kebusukan dapat dikejar terus meski rezim telah berganti.  Jokowi takut akan hal ini dan butuh antisipasi atau proteksi. Terlalu banyak kasus yang diduga melibatkan Istana menjadi tertutup dan tidak jelas penyelesaian. Jika investigasi media dilakukan maka ketertutupan akan terkuak. Jokowi akan diterkam oleh dosa-dosa sendiri yang terbongkar.  Awal periode kedua, Jokowi sudah \"membunuh\" 800 an petugas Pemilu tanpa ada kejelasan penyebab maupun proses hukum. Kejahatan ini perlu investigasi media. Berbagai Perpuu yang diterbitkan Jokowi seperti cipta kerja, dana covid, pembubaran ormas, pajak dan lainnya penuh dengan penyimpangan \"without investigation\". Andai kasus pembataian 6 syuhada dan kanjuruhan diinvestigasi media secara intensif, maka akan terlihat betapa pucat wajah Jokowi. Masa depan yang gelap.  RUU Penyiaran ini akan menjadi \"deal\" kebersamaan Jokowi dan DPR yang akan mengakhiri masa jabatan. Bersama membuat klep pengaman.  Memberi ruang lebih besar KPI dengan mengambil alih kewenangan Dewan Pers jelas merampas urusan internal jurnalistik. Secara administratif anggota KPI bertanggung jawab kepada Presiden.  RUU Penyiaran akan menjadi kado terindah DPR untuk Jokowi sekaligus kado terindah Jokowi untuk Prabowo Gibran.  Jika dipaksakan tetap dilarang penayangan ekslusif investigasi jurnalistik, maka matilah media dan bahagialah penguasa mafia dan perekayasa. Bravo Jokowi, bravo Prabowo Gibran.  Bye-bye dan selamat berlibur  DPR.

Maju Pilgub Papua Pegunungan, Bupati Mamberamo Raya Daftar ke Partai Gelora

JAKARTA | FNN -  - Bupati Mamberamo Raya John Tabo mengambil formulir pendaftaran bakal calon Gubernur Papua Pegunungan dari Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia untuk bertarung pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024. Sebagai partai baru, Partai Gelora sendiri memiliki satu kursi di DPRD Provinsi Papua Pegunungan dari hasil Pemilu 2024 lalu, di provinsi yang dimekarkan dari Provinsi Papua pada 2022 itu.    John Tabo datang sendiri ke Dewan Pimpinan Nasional (DPN) di Jakarta, untuk mengambil formulir pendaftaran tersebut, pada Selasa (21/5/2024) malam. Kedatangannya juga sekaligus untuk menyampaikan visi-misinya sebagai bakal calon Gubernur Papua Pegunungan. John Tabo diterima Ketua Desk Pilkada Partai Gelora Rico Marbun, yang juga Ketua Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) Partai Gelora, dan Sekretaris Desk Pilkada Juned Ismailiyanto.  \"Partai Gelora ini partai luar biasa, dicintai anak-anak muda Papua. Dimana-mana, semua teriakkan Gelora, Gelora, Gelora. Anak muda Papua sekarang punya semangat luar biasa,\" kata John Tabo di Jakarta Selasa malam. Melihat hal itu, John Tabo pun mengaku tergerak hatinya untuk mendaftar dan mendapatkan rekomendasi dukungan dari Partai Gelora, partai yang dipimpin Anis Matta dan Fahri Hamzah ini.  \"Saya tergerak hati untuk mendaftar ke Gelora. Kita akan besarkan Gelora, kita bangun bersama anak-anak muda untuk memajukan Papua Pegunungan,\" katanya. Menurut John Tabo, visi-misi Partai Gelora sesuai dengan visi-misinya, yakni pengembangan sumber daya generasi muda. Anak muda merupakan investasi masa depan bangsa yang harus dikembangkan. \"Mengivestasikan anak-anak muda di kabupaten/kota dan provinsi di Papua itu sesuatu yang luar biasa. Saya yakin 2029, Partai Gelora akan masuk Senayan,\" tegasnya. Selain John Tabo, ada tokoh Papua lainnya yang juga mengambil formulir pendaftaran bakal calon kepala daerah di Pilkada Serentak 2024 dari Partai Gelora pada Selasa (21/5/2024). Dia adalah Peniel Waker, Kepala Dinas Sosial Kabupaten Puncak, Provinsi Papua Tengah. Peniel Waker menyatakan siap maju dan akan bertarung dalam Pilkada 2024 Kabupaten Puncak.  \"Kami di Gelora sekarang untuk memaparkan visi-misi sebagai calon bupati Puncak. Kami ingin membangun Kabupaten Puncak sebagai rumah bersama, yang menghargai perbedaan dan menghargai gotong-royong,\" kata Peniel Waker. Peniel mengaku senang dengan kehadiran Partai Gelora di Kabupaten Puncak, dan yang langsung mendapat tempat di hati rakyat Papua. Sehingga sebagai partai baru, Partai Gelora langsung mendapatkan kursi di DPRD Kabupaten Puncak.  \"Kami senang, Partai Gelora muncul di tengah kami. Partai ini akan menjadi partai besar, maka kami ambil rekomendasi ini. Kami akan berjuang bersama Partai Gelora untuk Indonesia,\" ujar Peniel.  Sekretaris Desk Pilkada Partai Gelora Juned Ismailiyanto mengatakan, Partai Gelora langsung memberikan Surat Keputusan (SK) Penugasan kepada John Tabo dan Peniel Waker. SK penugasan tersebut, bisa digunakan untuk menjalin komunikasi dengan partai politik lainnya, terkait pencalonan mereka di Pilkada Serentak 2014. \"Begitu mendaftar ke Partai Gelora langsung kita kasih SK Penugasan agar bisa digunakan untuk menjalin komunikasi dengan partai lainnya,\" kata Junef.  Surat rekomendasi dukungan Partai Gelora kepada John Tabo sebagai bakal calon Gubernur Papua Pegunungan dan Peniel Wakel sebagai calon Bupati Puncak, Papua Tengah akan segera diberikan.  Rekomendasi dukungan akan di tandatangani Ketua Umum Partai Gelora Anis Matta dan Sekretaris Jenderal (Sekjen) Mahfuz Sidik.  \"Rekomendasi akan segera diberikan, nanti ditandatangani ketua umum dan sekjen,\" pungkas Junef. (ida)

Salim Said dan Islam (2)

Oleh Fathorrahman Fadli I Wartawan Senior FNN Sebagai warga Indonesia berketurunan Arab, tentu saja Salim Said sangat mencintai Indonesia dengan sepenuh jiwa. Terkadang ia sering mengeluhkan sebutan orang pada dirinya sebagai orang Arab. Ia lebih senang menyebut dirinya orang Indonesia. Lahir dan besar di Indonesia, dan dia lahir dari orangtua yang sudah menjadi Indonesia sejak lahir.  Disitu dia kerapkali.marah jika disebut sebagai orang Arab. Dia bahkan tidak mau disebut sebagai orang Arab.  Salim juga mengkritik keturunan Arab yang masih belum mau sepenuhnya menyatu dengan warga lokal. Hal itu ia contohkan misalnya, masih enggannya warga keturunan Arab untuk menikahi warga lokal dimana ia tinggal. Assyegaf maunya menikah dengan sesama Assyegaf, Shihab hanya mau dengan Shihab dan seterusnya. Kondisi ini menurut Salim dapat memperlambat proses akulutrasi atau penyatuan warga keturunan Arab dengan warga negara Indonesia.  Salim bukan sekadar menuding, namun ia mencontohkannya sendiri. Oleh karena kesadaran tersebut,  Salim membuktikan dirinya menikah dengan orang Palembang yang kemudian menjadi istrinya hingga sekarang. Semua itu ia lakukan karena dirinya ingin Indonesia betul betul menjadi warga Indonesia. Dari pernikahannya itu ia berinama anaknya dengan nama desa dikampungnya, Amparita, dnegan tujuan lebih cepat melebur menjadi Indonesia. Amparita yang kini hidup dan berkeluarga dengan warga Amerika itu kini bermukim di Amerika.  Mengapa Salim melakukan hal itu? Setidaknya kepada saya dia menjelaskan, agar percepatan menjadi Indonesia itu bisa lebih mudah tercapai. Sebab Indonesia dimata Salim Said masih berupa cita-cita, belum menadi sesuatu yang \"maujud\" sebagai bangsa.   Salim berkeyakinan bahwa Islam itu merupakan agama yang sangat kosmopolit. Bukan agama lokal Arab yang hanya dipeluk oleh negara Arab. Salim melihat perkembangan Islam di Indonesia ini masih jauh dari cita-cita nasionalnya sebagai bangsa yang jaya raya. Nabi Muhammad Kurang Berhasil?  Dalam diskusi terbatas, sesaat setelah diskusi umum bubar saya kerapkali diskusi bertiga dengan Salim dan Ichan. Dalam diskusi yang sangat terbatas itu, Salim sering melontarkan hal-hal yang tak terduga. Pernah suatu ketika, Salim beroendapat bahwa sesuangguhnya dakwah Nabi Muhammad di Jazirah Arabia itu kurang berhasil. \"Ini hanya untuk konsumsi kita saja ya, menurut saya pekerjaan rumah kita sebagai umat Islam itu masih sangat banyak. Itu tak perlu kita sesalkan, yang penting kita terus maju melakukan perbaikan sejauh yang kita bisa. Sebab Rasulullah Muhammad pun menurut saya, dakwahnya di jazirah itu belum berhasil,\" cetusnya suatu ketika.  Salim melihat Rasullah belum berhasil menjadikan akhlak masyarakat berubah menjadi baik sebagaimana yang dikehendaki Rasulullah. Akhlak Rasulullah yang oleh alquran disebut sebagai akhlak Alquran itu ternyata memang susah untuk ditiru dan diikuti oleh masyarakat biasa. Sebab dalam filsafat, anjuran Rasulullah agar kita berakhlak mulia itu merupakan Das Sollen.sedangkan kenyataan masyarakat Arab yang masih belum beradab hingga saat ini itu adalah das sein, fakta objektif dalam hidup kita bermasyarakat. Menurut saya, kata  Salim, Indonesia mungkin dikatakan sebagai lebih baik kondisinya daripada masyarakat Arab hingga saat ini. Masyarakat Arab dalam pandangan Salim Said masih terbentur oleh realitas kulturalnya yang terdiri berkabilah-kabilah, dan masing-masing kabilah itu mempertahankan dan membanggakan budayanya sendiri-sendiri dengan tingkat egosentrisme yang kaku.  Dalam konteks dan nalar psikologis seperti itu, Salim benci pada orang yang menyebutnya sebagai orang Arab. Bahkan ketika ada orang di luar negeri dimana dia sedang bertugas sebagai duta besar menyebut dirinya orang Arab. \"Saya tidak suka kalau saya dibilang Arab, saya orang Indonesia yang berasal dari Amparita,\" jelasnya.  Mengapa Arab belum Islami?  Menurut Salim Said dikarenakan banyak hal. Salah satunya adalah karena egosentrisme kesukuan orang-orang Arab yang masih sangat kental. Mereka masih terlalu terikat oleh ritus-ritus kebudayaan Arab masa lalu yang belum modern. Padahal Islam, lanjut Salim merupakan agama yang modern, agama yang kosmopolit.  Atas dasar itulah kemudian, negara-negara Arab berdasarkan hasil riset yang dilakukan Unieristas Harvad dan Stanford University; negara negara Arab tidak tergolong dalam  negara yang mampu menjalankan nilai-nilai substantif Islam dalam institusi-institusi sosial dalam masyarakatnya. Yang justru berhasil menjadi negara-negara sekular seperti New Zealand dan Norwegia.  Negara-negara yang mampu menyerap nilai-nilai substantif Islam kedalam kehidupan negaranya sangatlah potensial untuk menjadi negara yang maju dan berkeadilan. Demikian Salim Said menjelaskan. (Bersambung)