OPINI

Letjen Yayat: Jangan Berpolitik Berbasis Uang

Oleh M Rizal Fadillah | Pemerhati Politik dan Kebangsaan Letjen Purn TNI Yayat Sudrajat, SE sebagai Ketua Umum DHD BPK 45 Jawa Barat mengingatkan bahwa bangsa Indonesia mesti mengevaluasi cara berpolitik yang semata berbasis uang. Sebab menurutnya, jika itu yang terjadi maka negara ini akan dikuasai oleh mereka yang beruang banyak atau pemilik modal. Rakyat pribumi yang potensial tetapi tidak mampu menjadi terhalang untuk dapat bepartisipasi dalam kekuasaan. Dipastikan terbentuk negara kapitalistik.  Hal tersebut di atas dikemukakan oleh Ketum BPK DHD 45 Jawa Barat saat acara Silaturahmi Pengurus DHD 45 Jawa Barat dengan DHC 45 se-Jawa Barat di Bandung 16 Januari 2024. Acara dihadiri oleh Dewan Paripurna Daerah pimpinan Letjen Purn Endang Suwarya dan Dewan Kehormatan Daerah yang diketuai Dra. Hj. Popong Otje Djundjunan. Di samping untuk menyambut Tahun Baru 2024 juga dalam rangka menyukseskan Pemilu 2024 dan menjaga persatuan dan kesatuan NKRI.  Lebih lanjut Letjen Yayat mengemukakan betapa pentingnya proteksi pribumi untuk menyejahterakan dirinya. Jangan sampai terjadi \'social gap\' yang tajam dimana pribumi tersisihkan oleh non pribumi. Ayo berjuang, jayalah pribumi nusantara, jadilah tuan di negeri sendiri, tuturnya.  Menurut mantan Atase Militer di RRC dan Ketua BAIS TNI ini kembalinya ke UUD 1945 yang asli adalah suatu keniscayaan. Menjadi dasar bagi kemerdekaan bangsa Indonesia dari dominasi politik dan ekonomi asing dan aseng. Ia mengkritik larangan menyebut China dan mengganti dengan Tiongkok padahal China sendiri menyebut rakyat negaranya sebagai People\'s Republic of China.  PKI dan komunis tetap menjadi bahaya laten. DHD 45 Jawa Barat akan tetap mewaspadai kebangkitan melalui penyusupan ideologi dan perundang-undangan. Canangan Pancasila 1 Juni 1945, pengajuan dan pembahasan RUU HIP, serta terbitnya Keppres 2 tahun 2022, Inpres 1 tahun 2023 dan Keppres 4 tahun 2023 adalah bukti adanya nfiltrasi itu. DHD 45 Jawa Barat berjuang agar kedaulatan tetap di tangan rakyat, bukan di tangan segelintir orang (oligarki) baik politik maupun bisnis.  Kedaulatan yang telah diambil oleh partai politik merupakan suatu penyimpangan. Demikian juga  dengan korupsi yang harus menjadi musuh bersama.  Mengakhiri pandangannya Letjen Purn Yayat Sudrajat, SE mengimbau agar pemilu dilakukan dengan jujur dan adil. Damai dalam pilihan masing-masing, walaupun mungkin pilihan itu berbeda satu dengan yang lain.  Acara dilengkapi dialog dengan nara sumber Letjen Purn Yayat Sudrajat, SE, Letjen Purn Endang Suwarya,  Brigjen Pol Wahyu Daeny dan M Rizal Fadillah, SH. (*)

Anies Itu Bukan Anjing

Oleh Dr. Syahganda Nainggolan | Sabang Merauke Circle SETELAH Prabowo mengeluarkan kata-kata tolol, goblok dan tukang hasut (lihat: nasional.tempo.co/amp/1820534/prabowo-singgung-tukang-hasut-setelah-sebelumnya-sebut-tolol-dan-goblok-buat-anies) kepada Anies Baswedan atau mengarah padanya, Prabowo kembali mengulangi kata-kata kasar melalui beberapa pepatah nenek moyang dihadapan pendukungnya. Diantara hujatan itu adalah pepatah \"air susu dibalas dengan air tuba\" dan \"Ada juga ajaran nenek moyang kita, hati-hati, anjing saja dikasih makan akan setia, manusia dikasih kebaikan dibalas dengan kedengkian saudara-saudara\" (Lihat: amp.suara.com/kotaksuara/2024/01/13/135230/makna-3-pepatah-yang-diucapkan-prabowo-benarkah-untuk-singgung-anies). Meski untuk ejekan \"anjing\" ini Prabowo tidak berani langsung menyebutkan nama Anies, tapi tafsir yang berkembang ujaran kebencian itu dituduhkan pada Anies. Kenapa? Karena rangkaian kata-kata tersebut bermuara pada kemarahan Prabowo terhadap Anies dalam debat capres ketiga yang lalu. Urusan isu kesetiaan ini diperkuat oleh beberapa petinggi Gerindra, seperti Fadli Zon dan Muzani, yang mengatakan bahwa Anies dibesarkan oleh Prabowo, namun tidak tahu membalas budi. Khususnya dalam kasus Anies didukung Gerindra untuk menjadi Cagub Jakarta. Berkembangnya kebencian Prabowo dan petinggi pendukungnya semakin hari semakin liar. Padahal debat capres sudah selesai seminggu yang lalu. Bahkan, yang paling menghinakan adalah jika Anies dianggap lebih buruk dari anjing. Suatu hujatan yang sangat merendahkan. Benarkah Anies lebih buruk dari anjing? Sehingga perlu merujuk pada pepatah tersebut ADA tiga hal yang perlu direnungkan rakyat Indonesia tentang penilaian tersebut. Pertama, saya dan Mohammad Jumhur Hidayat adalah pendukung Prabowo Subianto yang paling kecewa terhadap Prabowo. Pada 20-21 Mei 2019, tidak seorangpun berani mengambil tanggung jawab untuk memimpin demonstrasi besar-besaran di depan Bawaslu RI menolak kecurangan pilpres. Meskipun massa bergejolak, namun tanpa pemimpin demonstrasi, gerakan aksi tidak mungkin terjadi. Ketika itu ide membawa sengketa ke MK belum menjadi pilihan. Rezim Jokowi saat itu menangkapi orang-orang, antara lain Eggy Sudjana, alm. Lieus Sungkariama dan bahkan memeriksa Amien Rais atas tuduhan makar. Sebab yang dituduhkan adalah pidato-pidato seperti Eggy meneriakkan \"people power\" menolak hasil pemilu. Jumhur Hidayat, atas keputusan rapat yang dihadiri antara lain Sobri Lubis, Habib Muchsin Al Atas, Ahmad Yani serta sebelumnya atas dorongan saya, bersedia menjadi pimpinan aksi. Saat itu memang hanya Jumhur yang berani. Semua ini adalah demi Prabowo Subianto agar hasil pemilu yang memenangkan Jokowi dianulir. Pemanasan massa pendukung Prabowo dilakukan di sebuah markas di jalan Proklamasi. Untuk panggung pertama sekali diresmikan, saya tampil memberikan orasi politik perlawanan. Hari demi hari, malam demi malam, massa mengumpul di sana. Semua ini merupakan persiapan ke arah demo besar 20-21 Mei 2019. Prabowo diharapkan akan berorasi pada tanggal 21/5/2019 di depan Bawaslu. Resiko kematian, khususnya bagi Jumhur yang akan menjadi pemimpin demo 20-21 Mei, sangat besar. Karena, saat itu pasukan bersenjata telah memenuhi daerah Sudirman-Thamrin. Berbagai kawat berduri telah disiapkan aparat. Faktanya memang banyak korban pada rangkaian demontrasi rakyat tersebut, termasuk korban kematian. Jumhur sendiri selamat karena menghentikan aksi pada pukul 6 sore. Kenapa? Khususnya karena Prabowo tidak jadi berorasi. Prabowo ternyata telah memutuskan perkara pilpres di bawa ke MK. Kekecewaan saya, Jumhur, para ulama dan pendukung Prabowo saat itu berlandaskan bahwa seharusnya Prabowo tetap bersikap menolak hasil pilpres. Ternyata bukan saja Prabowo menolak, malah Prabowo melakukan deal politik kepada rezim Jokowi, yang sudah ditentangnya selama 5 tahun. Deal politik tersebut tidak bermusyawarah terlebih dahulu dengan para pendukungnya, khususnya kelompok \"ijtima ulama\" pimpinan Habib Rizieq. Para pendukung Prabowo 2019 kemudian mulai jijik dengannya. Beberapa umpatan dikalangan itu terjadi, seperti \"Dikira Maung, taunya Meong\", gelar si Timbul (meminjam istilah \"timbul\" tenggelam bersama rakyat dalam pidato Prabowo berapi-api di Hotel Sahid), dll. Kedua, Prabowo dalam koalisinya dengan Jokowi tidak menunjukkan \"leadership\" yang tinggi serta tidak menunjukkan janji-janji kampanyenya pada tahun 2014 dan 2019. Diberbagai negara maju, pola hubungan kolaborasi dua kekuatan harusnya membagi \"power\". Namun, Prabowo asyik sekali menjadi \" bawahan loyal\" mantan rivalnya tersebut. Hal ini menjadikan eksistensi pendukungnya menjadi rendah dimata pendukung Jokowi.  Bagi saya dan Jumhur Hidayat yang membuat kami bersumpah untuk tidak pernah mendukung Prabowo adalah soal menjaga demokrasi. Pada saat saya dan Jumhur ditangkap dan dipenjara oleh rezim Jokowi dalam kasus mengkritik RUU Omnibus Law Ciptaker, 2020, seharusnya Prabowo mengingatkan Jokowi bahwa kritik itu dibolehkan. Namun, seperti tidak pernah saling terkait, baik Prabowo maupun partainya tidak sama sekali menyatakan kepedulian. Bahkan, dalam kasus UU Omnibus Law Ciptaker, di mana kaum kapitalis akan seenaknya mendominasi pengeksploitasian sumberdaya nasional bertentangan dengan isi buku Prabowo, Pradoks Indonesia. Buku yang dipuja-puja Prabowo itu adalah buku yang mengkritik kapitalisme. Mengapa ketika saya dan Jumhur ditangkap karena anti kapitalisme Prabowo diam? Ketiga, Dalam kasus kekerasan yang memakan korban jiwa, terkait aksi 20-21 Mei 2019, justru Anies Baswedan yang secara lantang mengunjungi rumah sakit-rumah sakit di mana korban dirawat. Yang paling menghebohkan terutama ketika Anies membocorkan kepada media adanya korban tewas saat itu. Sesuatu yang menurut pemerintah masih rahasia. Pada saat saya dan Jumhur di penjara, Anies Baswedan membantu kecukupan kehidupan keluarga kami. Anies membantu projek air bersih milik Jumhur dan membantu saya tetap tidak dipecat di anak perusahaan DKI. Tentu saja hubungan saya dan Anies bukan sebuah transaksional,  di mana Anies membalas dukungan saya atau saya membalas untuk mendukung dia pada sebuah kontestasi. Hubungan ini adalah hubungan 30 an tahun sejak era Orde Baru, kesamaan sebuah cita-cita, memuliakan bangsa kita. Apakah Anies bisa diilustrasikan seperti  anjing? Saling dukung mendukung dalam politik adalah hal biasa. Apalagi dukung mendukung itu untuk tujuan yang ditentukan, seperti antara Anies dan Prabowo dalam merebut kepemimpinan di Jakarta, 2017. Pada tahun 2017 tentu saja Anies didukung Gerindra. Namun, Gerindra tentu mendukung Anies karena kader Gerindra hanya punya kemampuan untuk menjadi wakil gubernur. Padahal, Gerindra ingin sekali mendukung kader sendiri, yakni Sandiaga Uno, menjadi cagub saat itu. Sebagai mantan menteri dan popularitas sangat tinggi, Anies dibutuhkan untuk memenangkan pertarungan di Jakarta. Apalagi menghadapi Ahok yang didukung penuh Jokowi. Sebagai pola \"power-sharing\" yang adil, tentu saja Gerindra mendapatkan jabatan Wakil Gubernur. Gubernur sendiri \"dimiliki\" koalisi parpol pendukung yakni Gerindra, PKS dan PAN. Aksi saling dukung antara Prabowo dan Anies mirip dengan saling dukung antara Habib Rizieq dkk kepada Prabowo. Ummat Islam yang beroposisi terhadap Jokowi sejak awal, pilgub DKI 2012, berkepentingan berpihak pada Prabowo pada tahun 2014. Begitu juga 2019. Prabowo yang suaranya kecil, 4,5% dan tidak diperhitungkan dalam kancah capres melihat peluang besar dukungan ummat Islam. Sebelumnya di mata kaum nasionalis, Prabowo hanya pantas jadi cawapres saja. Sejak dua kali didukung ummat Islam, vis-a-vis dengan kelompok nasionalis, suara Prabowo meningkat tajam. Partai Gerindra yang merupakan partai gurem menjadi partai besar, naik dari 4,5% (2009) menjadi 11,81 (2014) dan terakhir menjadi 13,58% (2019). Prabowo sendiri menjadi tokoh besar sebagai capres. Tanpa dukungan ulama dan tema kontras identitas (tentunya disadari Prabowo), pastinya Prabowo dan partainya bernasib buruk. Dengan dasar saling mendukung antara Prabowo dan Anies tentu saja Prabowo tidak boleh menuduh Anies tidak tahu membalas budi. Hal ini menjadikan dasar pula bahwa tidak pantas, jika dan hanya jika benar, Prabowo mengambil pepatah anjing itu untuk menilai Anies. Soal lainnya, kata-kata cinta tanah air, yang sering dilontarkan Prabowo, sifatnya perlu diuji publik. Ada satu fase Prabowo dianggap (sekali lagi dianggap) pelanggar HAM dan nir-etika sehingga dipecat dari tentara. Namun, adakalanya Prabowo dipuja-puji sebagai capres. Namun, menuding Anies kurang cinta tanah air juga tidak pantas. Sebab, secara keturunan, Anies dilahirkan oleh pejuang yang belum pernah memberontak terhadap negara. Sebaliknya, Prabowo dilahirkan oleh Sumitro yang pernah dianggap melakukan pemberontakan terhadap pemerintah. (lihat: historia.id/amp/politik/articles/dugaan-korupsi-menteri-sumitro-6mmZw). Jadi tafsir cinta tanah air masih dapat diperdebatkan secara relatif oleh mereka berdua sebagai keturunan pejuang bangsa. Penutup Pepatah anjing lebih setia yang dilontarkan Prabowo kemarin di Babel, dapat ditafsirkan mengarah ke Anies. Karena sebelumnya Anies disebut goblok dan tolol. Juga penghasut. Meski Prabowo tidak berani menyebutkan pepatah itu ditujukan kepada Anies, namun rakyat perlu dikabarkan bahwa Anies tidaklah seperti itu. Mengungkit hutang budi terlalu naif dalam politik, apalagi terhadap Anies. Prabowo mendukung Anies di Jakarta karena Gerindra tidak punya calon yang pantas menjadi gubernur saat itu. Kemampuan Gerindra hanya sebatas mencalonkan wakil saja.   Begitu juga Prabowo yang partainya menjadi besar karena didukung ulama, dari partai gurem, menjadi partai besar, juga sebuah aksi saling dukung saja. Saat itu memang banyak ulama, khususnya barisan Habib Rizieq, bermusuhan dengan rezim Jokowi. Sehingga ketika Prabowo lenggang kangkung meninggalkan pendukungnya, para ulama tidak bisa berkata-kata. Oleh karena itu, pertarungan politik antara Anies dan Prabowo ke depan harus diletakkan sebagai pertarungan tanpa beban sejarah. Debat dan format debat yang diatur KPU harus dianggap sebagai acuan yang wajar dalam menunjukkan kemampuan logik, dialektika dan retorika. Jika ada yang tidak wajar, KPU dan Bawaslu diminta untuk mengevaluasi dan menilainya. Namun, membuat kemarahan dan hujatan di luar panggung debat tentunya menjadi kurang produktif. Demi kompetisi yang produktif, kata-kata penghinaan \"pepatah anjing\", selain totol dan  goblok, yang ditujukan pada Anies, haruslah dihentikan. Itu sudah di luar kepantasan seorang calon pemimpin bangsa. (*)

Di Depan Petani Purbalingga, Ganjar: Saya Ingin Memastikan Suara Kita Utuh, Solid, dan Bertambah

Purbalingga | FNN  - Calon presiden nomor urut 3 Ganjar Pranowo kampanye blusukan di Kabupaten Purbalingga dan Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, Senin, untuk mengamankan suara pemilih di provinsi tersebut. \"Lumbung suara seperti di Jateng, itu harus kami jaga, jangan sampai diambil orang. Saya ingin memastikan suara kita utuh, solid, dan bertambah,\" kata Ganjar saat bertemu kelompok tani, pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), tokoh agama, dan tokoh masyarakat di Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah, Senin. Usai acara tersebut, Ganjar lalu berdialog dengan kalangan milenial, generasi Z, dan pemengaruh media sosial se-Purbalingga. Ganjar lalu mengunjungi pabrik wig di PT Bintang Mas Triyasa, Kabupaten Purbalingga, dan berdialog dengan para pekerja produsen rambut palsu tersebut. \"Ini yang rambut putih, rambut saya, ya?\" kelakar Ganjar sembari menunjuk wig yang dibuat pekerja. Di pabrik tersebut, sejumlah pekerja perempuan tampak meminta swafoto bersama Ganjar Pranowo. Kemudian, Ganjar bertolak menuju Desa Kaliwungu untuk berbincang dengan para penderes kelapa. Ganjar kemudian mengunjungi pabrik garmen PT Purnama Asih Surya untuk berdialog dengan sekitar 850 pekerja di Desa Nangka Sepet, Masaran, Kabupaten Banjarnegara. Senin sore, Ganjar akan bertemu kalangan mahasiswa, milenial, generasi Z, dan pemengaruh media sosial Banjarnegara di Aula Joglo, Pondok Pesantren Alif Baa, Desa Mantrianom, Kecamatan Bawang, Banjarnegara. Pada Senin malam, Ganjar beserta rombongan akan menghadiri makan malam bersama Tim Pemenangan Cabang (TPC) Ganjar-Mahfud, caleg partai koalisi, dan relawan di kediaman Gus Hayat di Kecamatan Bawang, Banjarnegara. Ganjar juga akan blusukan di Desa Karang Anyar dan menginap di rumah penduduk. (ant/ida)

Petisi 100: Pemakzulan Jokowi Sudah Layak dan Konstitusional, Siap Debat dengan Yusril dan Jimly

Oleh: Anthony Budiawan | Managing Director PEPS( Political Economy and Policy Studies)  PERMINTAAN pemberhentian Presiden Jokowi dari jabatannya sudah bergaung sejak lama. Jauh sebelum gonjang-ganjing pemilu dan pilpres 2024. Permintaan pemakzulan Jokowi disuarakan oleh berbagai lapisan masyarakat. Termasuk mahasiswa. Termasuk purnawirawan dan tokoh nasional, yang kemudian tergabung di dalam “Petisi 100”, yang secara formal sudah menyampaikan aspirasi kepada DPR dan MPR untuk memakzulkan Jokowi, disertai alasan-alasan konstitusional. Petisi 100 kemudian diterima oleh perwakilan MPR dari unsur DPD (Dewan Perwakilan Daerah) pada Juli 2023. Dalam kesempatan itu, Petisi 100 menjelaskan pelanggaran-pelanggaran konstitusi yang sudah dilakukan oleh presiden Jokowi sehingga sudah bisa dan sudah pantas dimakzulkan. https://politik.rmol.id/read/2023/07/20/582133/petisi-100-desak-mpr-dan-dpr-makzulkan-jokowi Pertemuan Petisi 100 dengan Menko Polhukam Mahfud MD (9/1/24) hanya salah satu saluran aspirasi saja.  Dan ini bukan yang pertama kali Petisi 100 menyampaikan aspirasi pemakzulan Jokowi. Dan ini tidak ada urusan dengan pemilu dan pilpres. Ini masalah penyelamatan bangsa dan negara dari kerusakan lebih dalam, dari tangan pelanggar konstitusi dan pengkhianat negara. Suara Petisi 100 semakin bergema. Pemerintah dan pendukungnya semakin terpojok, karena dugaan pelanggaran konstitusi semakin nyata. Yusril Ihza Mahendra, ahli hukum tata negara, akhirnya bersuara. Yusril mengatakan, permintaan Petisi 100 untuk memakzulkan Jokowi inkonstitusional. Menurut Yusril, presiden hanya bisa dimakzulkan kalau melanggar Pasal 7B UUD 1945. Yaitu, melakukan pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, melakukan perbuatan tercela atau tidak memenuhi syarat lagi sebagai Presiden. https://news.detik.com/pemilu/d-7140796/yusril-sebut-petisi-100-yang-minta-pemakzulan-jokowi-inkonstitusional/amp Yusril berpendapat, tanpa menunjukkan pelanggaran pasal 7B UUD 1945 secara spesifik, maka pemakzulan adalah langkah inkonstitusional.  Pendapat Yusril di atas tidak bisa lagi disebut sebagai pendapat ahli hukum tata negara. Pertama, Yusril adalah partisan Gibran-Jokowi, menyandang Ketua Dewan Pengarah Tim Kampanye Nasional Prabowo-Gibran. Karena itu, pendapatnya menjadi bias. Kedua, Yusril gegabah mengatakan tuntutan pemakzulan Jokowi yang disampaikan Petisi 100 adalah inkonstitusional, tanpa tahu latar belakang tuntutan dari Petisi 100. Sebaliknya, menurut pernyataan dan pendapat Yusril tersebut, pemakzulan Jokowi adalah konstitusional kalau Petisi 100 dapat menunjukkan secara spesifik dugaan pelanggaran Jokowi atas Pasal 7B UUD 1945. Pernyataan Yusril tersebut akan semakin memperkuat bahwa proses pemakzulan Jokowi adalah konstitusional. Karena Petisi 100 dalam dalilnya sudah menunjukkan secara spesifik dugaan pelanggaran-pelanggaran Jokowi seperti dimaksud Pasal 7B UUD 1945. Selain Yusril, ahli hukum tata negara lainnya yang memberi komentar terkait pemakzulan Jokowi adalah Jimly Asshiddiqie, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi. Komentar Jimly Asshiddiqie lebih mengecewakan lagi. Jimly berkomentar tanpa mempelajari inti permasalahan. Jimly berkomentar bukan dalam konteks hukum tetapi dipolitisir menjadi konteks pilpres. Jimly sepertinya mengira Petisi 100 adalah bagian dari salah satu kontestan pilpres, sehingga keluar pernyataan “takut kalah”. https://www.beritasatu.com/bersatu-kawal-pemilu/2794062/jimly-asshiddiqie-sebut-wacana-pemakzulan-presiden-jokowi-aneh/amp Jimly Asshiddiqie salah besar. Perlu dipertegas, Petisi 100 tidak ada hubungannya dengan proses pemilu dan pilpres. Petisi 100 ingin menegakkan konstitusi untuk menyelamatkan bangsa dan negara. Pelanggar konstitusi harus ditindak tegas sesuai peraturan dan undang-undang yang berlaku. Kalau presiden melanggar konstitusi, seperti dimaksud Pasal 7B UUD 1945, maka sesuai perintah konstitusi, presiden wajib diberhentikan alias dimakzulkan. Berapa lama proses pemakzulan presiden tidak penting, dan tidak menjadi faktor pertimbangan sama sekali untuk proses pemakzulan presiden. Yang sekarang perlu dibuktikan adalah, apakah benar presiden Jokowi sudah melanggar Pasal 7B UUD 1945, yaitu melakukan pengkhianatan terhadap negara, atau korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, sehingga sudah layak dimakzulkan? Untuk itu, Petisi 100 siap berdebat dengan Yusril dan Jimly, bahwa presiden Jokowi telah melanggar Pasal 7B UUD 1945. Apakah Yusril dan Jimly siap? —- 000 —-

Jokowi di Ujung Tanduk

Oleh M Rizal Fadillah | Pemerhati Politik dan Kebangsaan  PETISI 100 bergerak terus. Terakhir mendatangi Menkopolhukam menyampaikan pandangan bahwa untuk mencegah Pemilu curang hanya satu jalan, yaitu : Makzulkan Jokowi. Jokowi adalah faktor utama dari kecurangan Pemilu yang akan datang. Ada ambisi kuat untuk menggolkan anaknya Gibran sebagai Wapres. Bukan hanya Pemilu curang yang akan terjadi tetapi juga kehancuran bangsa jika Jokowi tetap berkuasa. Isu pemakzulan terus bergulir. Uniknya gencar menjelang akhir jabatan sebagai Presiden. Dua fase target pemakzulan pertama hingga pelaksanaan Pilpres 14 Februari 2024 dan kedua, tahap hari Pilpres hingga 20 Oktober 2024. Meski sangat pendek bukan berarti mustahil untuk pemakzulan fase pertama. Gerakan rakyat yang menjadi sebab. Fase kedua gerakan akan lebih masif setelah melihat bukti berbagai kecurangan Pilpres.  Pemakzulan bukan untuk menggagalkan Pemilu. Pemilu harus tetap berlangsung. Akan tetapi Pemilu yang jujur dan adil adalah Pemilu yang biang kekacauan dan kecurangannya ditiadakan. Pemilu tanpa Jokowi.  Pilpres dengan cawe-cawe brutal menjadi tanda bahwa Jokowi kini sedang berada di ujung tanduk. Goyah dan mudah jatuh. Apakah itu tanduk tiga, tanduk dua maupun tanduk satu. Berarti pada semua hewan bertanduk, Jokowi terancam.  Berada di ujung tanduk tiga, bagaikan  berada di tanduk hewan purba Triceratops. Hewan herbivora ini bermahkota sebagai penarik betina. Tanduknya tajam untuk menusuk lawan. Ditemukan juga Sapi bertanduk tiga di Bangli milik I Wayan Sudira.  Hewan bertanduk dua, lebih umum mulai dari yang jinak seperti kambing atau sapi hingga yang berbahaya seperti ular viper atau ular gurun. Gaboon viper (Bitis gabonica) memiliki taring terpanjang, sangat mematikan dan pandai berkamuflase.  Sementara hewan bertanduk satu, ada yang indah seperti Kasuari dan ada pula yang \"galak\" seperti Badak India (Rhinoceros unicornis). Lainnya Kadal Badak, Fish Unicorn, Saola, Paus Bor (Narwhal), serta Kumbang Badak (Oryctes Rhinoceros).  Sesungguhnya Jokowi berada di ujung hewan bertanduk berapapun. Semua potensial untuk menjatuhkan. Pada tanduk bernomor tiga, Jokowi adalah lawan yang awalnya dianggap kawan tetapi berkhianat. Pendukung utama sejak Walikota dan Gubernur yang kemudian dicampakkan. Megawati dan Jokowi kini dalam posisi berhadap-hadapan.  Di ujung tanduk nomor dua dalam makna bahwa rekayasa dan kecurangan dilakukan Jokowi untuk memenangkan pasangan nomor dua. Kemenangan berbasis kecurangan menjadi  sebab Jokowi bakal digoyang habis hingga jatuh. Bukan hanya Jokowi tetapi juga pasangan yang didukungnya. Apalagi jika justru pasangan nomor dua ternyata kalah, maka Jokowi tamat lebih cepat.  Adapun di ujung tanduk nomor satu menyangkut kemenangan kekuatan perubahan atas status quo. Kekalahan pasangan nomor dua menyebabkan telur di ujung tanduk itu jatuh dan pecah. Kekalahan ini bukan hanya berakibat lumpuhnya Jokowi bagai katak lumpuh (lame frog) tetapi juga terancam proses hukum berikutnya.  Jokowi tidak memilih pola mendarat nyaman dan aman tetapi opsi risiko buruk. Membangun politik dinasti, menutupi korupsi, serta investasi yang meminggirkan pribumi. Kedaulatan ditukar dengan hutang luar negeri. Rakyat terengah-engah membayar pajak dan harga barang yang terus melambung tinggi.  Masa pemerintahannya penuh dengan keruwetan dan kegaduhan. Sejak terpilih sudah terjadi  kontroversi. Dosa politiknya dinilai tebal dan berkarat, sulit untuk dibersihkan. Demokrasi diganti oligarki bahkan monarki. Kebijakan ambivalen menginjak etika dan moral, hukum yang diperalat untuk kepentingan politik, kriminalisasi oposisi,  sekularistik, mistik, serta otoriter. Jokowi bagai telur di ujung tanduk (egg in the edge of a horn). Sebentar lagi jatuh dengan tidak hormat. Pecah berantakan. Rakyat memendam rasa kesal dan dendam. Presiden ini terlalu banyak bohong, tipu-tipu dan tidak ada rasa malu meski dituduh bersertifikat  palsu. Sertifikat Kepresidenan yang sesungguhnya haram alias tidak halal.  (*)

Mendebat Debat Capres, di Luar Waktu Debat

Oleh Ahmad Dayan Lubis - Pemerhati Peradaban Politik DEBAT itu pasti beda dengan  diskusi sambil menyeruput kopi. Itu penting dimengerti, agar tidak ada tawaran yang  justru menghilangkan hakikat debat. Debat mengandalkan kata-kata, narasi, retorika, data, tentu saja gestur dan mimik. Waktunya terbatas. Orang yang terampil memadukan semua itu dan tepat menggunakan psikologi bahasa berpeluang menang debat. Debat itu pertempuran tanpa senjata fisik. Sebab itu peserta debat yang memahami debat tidak tepat mengatakan kepada lawan debatnya, kamu hanya pintar ngomong dan bermain kata. Karena memang itulah senjatanya. Perlu diulang. Omonganlah senjata debat. Itu sama saja dengan tentara yang mengatakan kepada tentara musuh, kamu pandainya menggunakan senjata, padahal lagi suasana pertempuran. Namun debat sejatinya menguji pikiran. Dan pikiran tentu tidak bisa diuji, jika tidak ada kemerdekaan mengungkapkan pikiran itu sendiri. Karena itu, debat yang ideal adalah debat yang lenyap dari relasi dominasi kuasa. Jangan ada peserta yang merasa berkuasa, lebih dekat dengan penguasa atau argumentasinya subjektif belaka, seperti lebih tua dst. Meminjam teori kritis Jurgen Habermas ia berpendapat bahwa untuk menembus realitas maupun data empiris yang ada,  maka diperlukan tiga hal yakni pengetahuan, ilmu, dan teknologi. Pengetahuan adalah bentuk kesadaran manusia. Ilmu adalah pengetahuan yang sudah direfleksikan secara metodologi. Debat dari perspektif ini adalah bagaimana mengungkapkan kesadaran manusia secara metodologis dan dengan memanfaatkan teknologi demi kemajuan manusia. Karena itu, debat yang ada di antara anggotanya merasa lebih, dia akan tertutup terhadap fakta dan data jika berbeda dengan yang dia punya. Akhirnya debat terhenti pada saya benar, kamu salah dst. Dengan kata lain, debat bukan lagi ajang melahirkan gagasan yang lebih baik ke masa depan tentang nasib sebuah bangsa yang lebih baik, melainkan tentang saya tersinggung, datamu salah, bahkan \"kamu tahu apa\". Jika d3bat  sudah ada di level ini, maka yang berdebat bukan lagi pikiran, melainkan mulut. Karena itu, setiap ada momen yang pas, mulut akan berujar tentang narasi narasi yang membusukkan. Situasi ini juga menjadi atalase bagi para pecinta kemanusiaan yang hakiki untuk menandai satu produk pikiran serta kemasannya. Apakah layak dibela, diperjuangkan dan diharapkan kemenangannya. Jika ada tokoh yang tidak mampu mengombinasikan antara pengetahuan, ilmu, dan teknologi dengan baik, maka kuranglah syaratnya untuk bisa dipercaya. Daniel Goleman, mengenalkan kecerdasan emosional secara lebih baik  dari sebelumnya. Ia berpendapat betapa urgennya kecerdasan emosional. Kecerdasan emosional yaitu kemampuan seseorang mengatur emosinya dengan inteligensi (to manage our emotional life with inteligence). Ini syarat penting bagi seorang pemimpin. Selain tentunya yang tidak kalah juga dan sama pentingnya kecerdasan intelektual dan spritual. Debat calon presiden seperti yang disaksikan jutaan rakyat adalah atalase besar, tempat rakyat bisa melihat dan memastikan.  Pertama, narasi dan gagasan. Kedua, emosinya. Ketiga, profilnya. Jika harus memilih, mana yang akan anda pilih secara objektif yang berkata santun persuasif atau keras luas atau menekan nekan. Profil juga terkait hal hal fisik, usia, kesehatan, status, keluarga dll. Kita memiliki kebebasan. Pun kesadaran dan keberanian mengoreksi apapun yang pernah kita putuskan. Atau berpindah pilihan. Termasuk berani membebaskan diri untuk keluar dari sebuah kendaraan yang katanya kita akan dibawa kepada kemajuan, ternyata sopirnya membawa kita mundur. (*)

Di Bawah Langit Perubahan

Oleh Yusuf Blegur | Ketua Umum BroNies  INDONESIA telah menjadi etalase besar yang memajang instrumen hak dan batil. Gerakan perubahan melawan keberlanjutan kebiadaban tak ubahnya perang kebenaran melawan kejahatan. Perubahan atau keberlanjutan? Indikasi kecurangan  pilpres 2019 dan kematian 847 petugas KPPS, kasus KM 50, kasus Sambo, kasus penggelapan pajak 347 triliun sudah terbongkar. Beragam skandal korupsi, perampasan tanah, perkosaan dan pembunuhan serta penistaan agama tak terbantahkan. Ijazah palsu jadi polemik, naik mobil  Esemka dan menunggangi MK hingga dinasti politik berjalan terus. Manusia tak lagi berharga dan rakyat di adu domba. Pejabat menyerang pejabat lainnya, polisi membunuh polisi lainnya. Moral dan etika terpinggirkan, kalah oleh harta dan jabatan.   Rakyat Indonesia sesaat lagimenghadapi pilpres 2024. Sebuah momentum yang akan menjadi awal penentuan kebaikan atau kehancuran bagi negeri ini. Perhelatan demokrasi terbesar yang akan memilih pemimpin sarat keberadaban atau pemimpin yang identik dengan kebiadaban. Negara dan bangsa Indonesia akan segera memasuki fase pemilihan presiden yang signifikan memastikan apakah Pancasila, UUD 1945 dan NKRI masih ada di bumi Nusantara kedepannya. Atau memang republik yang membawa visi meneruskan keinginanan para pendiri bangsa sesuai cita-cita proklamasi kemerdekaan itu harus lenyap ditelan prahara demokrasi dan konstitusi. Rasa-rasanya sulit mengharapkan proses penyelenggaraan negara berjalan ideal. Dalam usia yang tidak muda lagi (78 tahun kemerdekaan), bisa dibilang Indonesia menjadi negara terbelakang jika dilihat dari aspek keberlimpahan kekayaan alam serta daya dukung geografis, geostrategis dan geopolitik. Kondisi obyektif dan perspektif internasional terhadap keberadaan Indonesia yang  luar biasa itu, gagal dimanfaatkan untuk kemajuan dan kebesaran bangsa Indonesia. Alih-alih menjadi negara kesejahteraan, negara hukum dan menghadirkan kemakmuran serta keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Para pemimpin dan pemerintahan beberapa dekade justru membawa rakyat pada kesengsaraan dan penderitaan. Memang ada yang hidup kaya dan sangat kaya bahkan berlebihan, tapi itu hanya segelintir orang dan kelompok, itu tidak sebanding dengan kebanyakan rakyat. Mereka yang sedikit dan kecil dari 270 juta itu justru yang menguasai segala sumber daya alam, pelaksanaan demokrasi dan konstitusi. Mereka yang dikategorikan oligarki baik dalam dunia usaha maupun partai politik.  Segelintir orang yang menguasai hajat hidup banyak orang dan telah memarjinalkan peran negara, bertindak wewenang-wenang menghasilkan kekuasaan dan kekayaan yang absolut. Berlaku arogan, menghalalkan segala cara dan memberlakukan hukum rimba bahkan leluasa memanfaatkan demokrasi dan konstitusi yang kapitalistik dan transaksional. Oligarki korporasi dan partai politik tak ubahnya menjadi penjelmaan neo kolonialisme dan imperialisme seiring modernitas kehidupan rakyat, negara dan bangsa. Kekuasaan, kekayaan  dan jabatan telah menjadi permainan dan alat kepuasan syahwat dari distorsi dunia korporasi dan partai politik. Sedikit orang dan kelompok yang telah mendapatkan begitu banyak previllage dari negara, bahkan dengan perlindungan hukum dan kebebasan bertindak mengatur negara. Jumlah yang sedikit tapi menguasai yang banyak. Segelintir orang dan kelompok yang menjadi minoritas namun berlaku tirani pada mayoritas.  Seperti merasa sebagai  penduduk asli, pemilik republik, merasa paling berkuasa, di tangan mereka negara dan bangsa ditentukan. Anasir pengusaha dan politisi yang hipokrit itu yang telah melahirkan, memelihara dan menyuburkan KKN, otoritarian dan diktatorian. Politik, ekonomi, hukum, sosial budaya dan pertahanan keamanan mereka bisa beli, mereka bisa atur dan menjadi permainan. Oligarki korporasi dan oligarki partai politik secara terstruktur, sistematik dan masif telah menciptakan konspirasi jahat, manipulatif dan destruktif. Tidak lebih dari 1 % orang telah memiliki hampir 80 % lahan di Indonesia, membuktikan oligarki menjadi sangat imperior. Industri yang berbasis sumber daya alam seperti pertambangan, pertanian dan perkebunan, perikanan hingga sektor jasa komunikasi dan telekomunikasi begitu leluasa dikendalikan oligarki pengusaha yang dbersekongkol dengan oligarki partai politik. Hasilnya, semua industri kebutuhan pokok yang primer dan  sekunder mulai dari sektor hulu hingga hilir, dikuasai segelintir orang bukan oleh negara. “Yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin”, begitulah realitas rakyat kebanyakan. Negara hanya menyuburkan mafia bukan, pemimpin yang amanah. Buruh dibatasi UMR, petani kehilangan tanah dan sulit membeli pupuk serta tergerus menghadapi serangan import. Nelayan sulit mencari ikan karena minim fasilitas dan bersaing dengan kapal-kapal modern yang ilegal menguras biota laut. Rakyat umumnya terbatas aksesnya pada dunia pendidikan, kesehatan, perumahan  dan bahkan pemenuhan sembako. Seiring  itu rakyat tercekik akibat utang negara yang berdampak penghapusan subsidi oleh pemerintah dan otomatis menurunkan daya beli masyarakat, tekanan penjol, PHK massal dlsb. Hukum tebang pilih, membebaskan orang kaya dan yang terafiliasi dengan penguasa. Sementara rakyat harus merasakan hukuman berat akibat kesalahannya dalam mempertahankan hidup. Pemerintah dengan segala distorsinya dibenarkan untuk memenjarakan, menganiaya dan membunuh rakyat kecil dengan dalih hukum dan atas nama negara.  Tak ada etika dan moral pemerintah, tak ada keadilan di tangan  penguasa. Tak ada Pancasila, UUD 1945 dan NKRI dalam jiwa-jiwa penyelenggara negara. Aparatur pemerintahan  dan pelbagai kebijakannya telah menjadi sub ordinat dari semua kepentingan oligarki. Mayoritas pemangku kepentingan publik seketika telah menjadi kacung dari para pemilik modal. Ramah dan hangat dalam membela kepentingan pengusaha dan elit politik, namun bengis terhadap urusan rakyat kecil. Indonesia  telah menjadi surga bagi para pemilik modal dan aparat korup di satu sisi, sementara di sisi lain menjadi neraka bagi rakyat miskin dan lemah. Gerakan Moral dan Sistemik Perubahan Ada dua hal yang prinsip dan mendasar jika bisa melakukan refleksi sekaligus evaluasi terhadap Keindonesiaan secara struktural dan kultural. Pertama terkait soal pembangunan aspek hukum yang akan mengisi sistem pemerintahan.  Penting dan menjadi wajib bagi seluruh warga negara tanpa terkecuali untuk menjadikan ketaatan hukum sebagai nilai keseharian dan bagian dari habit. Kedua, faktor orang atau personal. Selain rakyat terdidik dan tercerahkan, keberadaan pemimpin menjadi keharusan. Dalam masyarakat patrienalistik, proses dan mekanisme lahirnya kepemimpinan nasional menjadi mutlak untuk mendorong nilai-nilai keteladanan. Pemimpin tak layak terkecuali ia memiliki prestasi, karakter dan integritas. Baik sistem maupun orang harus terintegrasi secara holistik untuk mencapai tatanan hidup yang ideal dalam negara.   Pertama, Maka sudah sedemikian rusaknya sistem pemerintahan dan mental aparatur penyelenggara negara. Oleh karena itu perlu langkah-langkah dan tindakan yang progresif revolusioner. Negara harus dilandasi pada konstitusi yang tegas pada hitam putihnya permasalahan. Tak ada lagi toleransi, serba permisif dan apalagi jual beli hukum. Penegakan hukum harus berdasarkan nilai hitam putih, tak boleh abu-abu dan tak ada toleransi. Harus ada “goodwill and political will” dari pemerintahan dan kepemimpinan nasional untuk menjadikan hukum sebagai panglima  dalam kehidupan bernegara dan berbangsa. Keadilan terutama hukum harus menjadi fundamental dalam upaya melahirkan negara kesejahteraan.  Kedua, Pemimpin yang baik dan bijak  tak cukup hanya memiliki kecerdasan dan skill yang mumpuni. Seorang pemimpin juga harus dan menjadi syarat utama memiliki ahlak dan adab yang baik. Komitmen, konsistensi dan konsekuensi sebagai pemimpin sangat sulit dilaksanakan tanpa moralitas dan mentalitas yang kuat dalam menjunjung tinggi  kebenaran dan keadilan. Tak cukup wawasan atau keilmuan dan karya, seorang pemimpin dituntut mempunyai kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual. Kepemimpinan harus diyakini sebagai “given inhern” , memiliki “sense of minded” dan “sense of crisis”. Tak semua orang memiliki itu dan tak semua orang mampu mengambil peran itu. Kemudian atas semua fenomena dan    kerisauan semua anak bangsa  terhadap penyelenggaraan negara selama ini. Maka suka atau tidak suka, senang atau tidak senang, tak ada pilihan bagi rakyat Indonesia untuk melakukan upaya penyelamatan dan perbaikan. Kerusakan sistemik dan penyimpangan kekuasaan yang komprehensif, tak lain dan tak bukan untuk menghadapinya  adalah dengan konsep menjebol dan membangun (deconstruction and construction). Rakyat, negara dan bangsa Indonesia, harus bersatu dan bergotong-royong mengembalikan Indonesia pada treknya. Republik harus kembali pada semangat tujuan bernegara sebagaimana ada dalam keinginan para pendiri bangsa dan cita-cita proklamasi kemerdekaan RI. Satu hal yang sederhana, bagaimana yang tertuang dalam UUD 1945 pasal 33 ayat 1 bisa diwujudkan oleh pemerintah dalam menjalankan tata-kelola negara. “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.” Sudah jelas konstitusi negara mengatur itu, tak perlu kerumitan dan rekayasa sosial yang pelik. Tak boleh ada keraguan pada amanat konstitusi itu jika memang, kemakmuran rakyat itu menjadi tujuan. Jika perjalanan bangsa sejauh ini telah melenceng dan beresiko pada keselamatan negara dan rakyat, maka hukumnya wajib untuk meluruskannya bagi siapapun anak bangsa. Nasionalisme dan patriotisme mendesak untuk dihadirkan dalam setiap sanubari rakyat Indonesia.  Tak boleh ada kata pesimis, menyerah apalagi merasa kalah. Kemerdekaan Indonesia tidak didapat cuma-cuma atau sekedar penberian dari siapapun. Kebebasan menjadi negara yang berdaulat itu hanya bisa diraih dengan tetesan keringat,  cucuran darah dan meregang nyawa para pahlawan dan syuhada serta seluruh rakyat Indonesia. Menjadi keniscayaan mengembalikan jalan lurus bagi siapapun yang merasa menjadi bagian tak terpisahkan dari perjuangan nenek-moyangnya terdahulu yang telah memberikan kontribusi dan sumbangsihnya pada republik ini. Refleksi dan evaluasi paling jujur terhadap situasi kekinian negara bangsa yang begitu miris dan memprihatinkan adalah menyiapkan agenda perubahan. Seperti apa perubahan yang akan digulirkan pada bangsa ini setidaknya ada dua mainstream. Pertama melahirkan pemimpin yang memiliki kelayakan dan kepantasan untuk mengemban amanat penderitaan rakyat. Kedua, membangun peran partisipatif dan kontributif pada seluruh rakyat untuk mengawal sistem yang menjadi panduan proses penyelenggaraan negara, agar sesuai dengan tujuan negara mampu mengadakan kemakmuran dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Pilpres 2024 akan menjadi titik balik, kebangkitan atau tenggelamnya Indonesia sebagai negara bangsa. Jika semangat perubahan itu benar-benar telah menjadi kebulatan  tekad dan ghiroh rakyat dan umat, maka optimisme memperbaiki dan  Indonesia bukanlah utopia.  Tak ada lagi yang bisa mencegah dan menghalangi arus gelombang perubahan. Tidak kekuasaan, tidak aparat dan senjata, bahkan tidak uang, sembako dan fasilitas apapun mampu membunuh semangat perubahan. Pengusung perubahan mungkin tidak punya apa-apa terkait materi, tidak punya modal dan kekayaan yang memadai. Tapi cukuplah dengan pengabdian yang kongkrit yang mengukir rekam jejak, rekam karya dan rekam prestasi  yang ditopang kapasitas dan integritas. Seorang pemimpin yang mengandalkan akhlak yang meneladani kepemimpinan Nabi Besar Muhammad Salallahu Alaih Salam, tentulah meyakini cukup Allah sebagai penolongnya. Bumi boleh bergejolak, kedzoliman boleh merajalela, kemanusiaan dan Ketuhanan boleh direndahkan. Tapi manusia tetap ada batasnya, tetap rendah dan lemah.  Selama niat baik yang diikuti ikhtiar, Istiqomah dan ijtibath, perbaikan dan penyelamatan Indonesia cepat atau lambat pasti akan terjadi. Bumi pertiwi sedang dalam pergumulan dan pergulatan antara hak dan batil. Semangat perubahan rakyat  tak ubahnya sedang berperang melawan rezim status quo yang mengusung keberlanjutan dari kerusakan sistem dan orang. Gerakan moral dan sistemik perubahan memang tak mudah karena melawan  jahiliah modern seperti kebenaran melawan kejahatan layaknya Nabi Musa menghadapi Raja Firaun, Nabi Ibrahim menghadapi Raja Namrud dan semua perang amar ma’ruf nahi munkar dalam peradaban manusia. Namun historis dan empiris manusia, selalu menampilkan dara dan fakta bahwasanya kesombongan dan kejahatan manusia akan dihancurkan Allah subahannahu wa ta alla. Tetaplah semangat perubahan, optimis lah kemenangan akan sampai dengan ridho Allah. Semangat dan yakinlah sesungguhnya gerakan memperbaiki dan menyelamatkan Indonesia, kini berada di bawah langit perubahan. Perubahan adalah niscaya, keselamatan Indonesia adalah kesadaran dan gerakan rakyat semesta. (*)

PS Terperangkap Anak Haram Konstitusi

Oleh Sutoyo Abadi | Koordinator Kajian Merah Putih  \"Kehidupan adalah perang melawan itikad buruk manusia\" (Baltasar Gracian : 1601 - 1658) Dalam sebuah pertarungan politik sering kali berhadapan seseorang yang di luarnya menyenangkan dan koperatif, di balik layar mereka manipulatif dan licik dengan niat jahatnya. Dalam dunia politik terlalu banyak seseorang bahkan seorang presiden sekalipun diluar terus berbicara layaknya orang bijak namun cenderung berkhianat dibalik layar. Seorang penguasa ingin terus berkuasa ketika kekuasaannya dilanda kekacauan untuk menyelamatkan diri sekuat tenaga berusaha menutupi kelemahannya, semaksimal mungkin akan tampil meyakinkan, menyenangkan agar tetap mendapatkan simpati, dukungan perlindungan dari rakyatnya. Sayang rakyat justru sudah merekam   kedok ambisinya kekuasaan yang ugal-ugalan, terus menerus melanggar konstitusi dan semua aturan dilindas. Rakyat  sudah terlanjur marah dan telah sampai klimak rasa muak,  harus dilawan dan  di makzulkan. Ketika rakyat sudah berani melawan secara terang-terangan dan penguasa tahu sedang dalam ancaman. Efeknya adalah sensasi penguasa yang samar samar akan mulai kelihatan murung , bingung, ketakutan dan munculnya macan macam rekayasa untuk bertahan. Serangan yang terus menerus, menyusupkan rasa inferior. Serangan dari media sosial yang terus menerus menerjang Jokowi, nampaknya sederhana akan memicu rasa ketakutan, was was dan energinya akan  merusak dirinya. Selanjutnya akan kelihatan menonjol reaksi berlebihan, pikiran menjadi nanar, limbung, ucapannya asal asalan dan timbul perasaan terhina.  Bisa akhirnya harus menyerah, bagaimana itu bisa terjadi dan apa persisnya itulah gambaran ketika rakyat harus melengserkan Suharto saat itu. Lahirnya analisa para pengamat politik bahwa Jokowi bisa di makzulkan atau paslon capres milik pengusaha bisa di tumbangkan adalah proses politik yang sangat mungkin terjadi. Politik busuk Jokowi sudah tidak bisa di permak dengan basa basi , dikawal dengan pencitraan semua sudah terlambat, ketika ambisi mementingkan diri dan keluarganya sudah terang benderang dengan politik dinastinya. Pahamilah yang akan menjadi efek terbesar dalam permainan memelihara keunggulan adalah gangguan tidak kentara dalam suasana hati dan pikiran, bahwa politik dinasti,  dengan memaksakan figur Gibran yang sering di disebut hasil dari anak haram konstitusi akan menyesatkan PS yang sangat menyakitkan. Jokowi sendiri dengan Gibran sebagai penggantinya sama saja telah menyarungkan tinju besi dalam sarung beludru nya dan akan memukul dirinya sendiri, dan keluarganya.**

Terima kasih Ibu Mega

Oleh Dr. Syahganda Nainggolan | Sabang Merauke Circle MEGAWATI Sukarnoputri perlu diberikan penghargaan terbesar di awal tahun ini. Keberanian beliau dalam bersikap atas hubungannya dengan Joko Widodo harus diacungkan jempol. Selama ini kaum oposisi dan mayoritas rakyat berharap tentang kepastian itu; apakah Jokowi masih di bawah naungan PDIP atau dilepas? Akhirnya dalam ulang tahun PDIP ke 51 lalu, Mega tidak mengundang lagi Joko Widodo. Keputusan Megawati terhadap Joko Widodo ini merupakan sebuah konsekuensi dari memburuknya hubungan mereka setahun belakangan ini. Megawati berharap Jokowi adalah petugas partainya, yang berarti tumbuh, besar dan mati bersama PDIP. Namun, sejak setahun belakang, Jokowi terlihat ingin menunjukkan dirinya lebih besar dari pada PDIP dan Megawati. Langkah-langkah itu awalnya diperlihatkan melalui  upaya pembentukan koalisi partai pendukungnya, yakni Golkar, PPP dan PAN. Koalisi itu disebut Koalisi Indonesia Bersatu (KIB). Padahal urusan parpol dan pencapresan, yang kemudian dikenal sebagai istilah cawe-cawe, adalah wilayah ketua umum partai bukan Jokowi. Dan Jokowi tidak meminta ijin Megawati. Sebelumnya, Jokowi dan atau rezimnya sudah setahun lebih menggalang kekuatan dan isu perpanjangan masa jabatan presiden, dua tahun. Megawati tegas menolak rencana itu. Begitu pula ketika Jokowi dan atau pendukungnya menggalang isu perubahan UUD\'45 terkait masa periode presiden lebih dari dua kali, Megawati menolak. Karena Jokowi kehilangan kesempatan untuk mempertahankan kekuasaan lebih lama, maka Jokowi berusaha untuk mencari figur presiden kedepan yang dia inginkan. Spekulasi berkembang saat itu adalah Ganjar atau Prabowo. Namun, Ganjar yang semula akan didukung Jokowi dan KIB akhirnya menolak, karena Ganjar ternyata hanya mau didukung oleh Megawati. Itu ditunjukkan Ganjar dalam menolak tim bola Israel datang tanding di Jawa Tengah atas instruktursi Megawati. Disini Jokowi mulai terlihat frustasi. Kebimbangan Jokowi saat gamang soal pilihannya memberi ruang pada Prabowo untuk mengikat Jokowi agar memihak pada pencalonannya. Prabowo berhasil membangun poros dengan Muhaimin, Zulkifli Hasan dan Airlangga Hartarto. Zulkifli yang menjadi menteri punya kesempatan luas meningkatkan lobby kepada Jokowi agar mendukung Prabowo. Pada rakernas PDIP September 2023, dalam kebimbangan itu, Jokowi masih bermain peran dengan secara atraktif menunjukkan dukungan pada Ganjar sebagai Capresnya. Dia berbisik pada Ganjar agar bersiap untuk menjadi presiden berikutnya. Tentu saja Megawati dan seluruh rakyat PDIP senang dan berpikir bahwa Jokowi kembali kepangkuan PDIP dan Megawati. Sayangnya, itu hanya berlangsung beberapa bulan. Jokowi ternyata \"melakukan\" kerja paralel untuk mendukung pasangan Prabowo dan anaknya, Gibran. Pada akhirnya dalam \"injury time\", Jokowi dan atau pamannya Gibran bermanuver untuk merubah undang-undang vital tentang syarat pencapresan seseorang. Gibran yang usianya di bawa 40 tahun seharusnya tidak bisa masuk dalam kancah kompetisi capres-cawapres. Namun, akhirnya MK, yang dipimpin keluarga Jokowi, memutuskan perluasan persyaratan capres-cawapres, yakni menambahkan syarat pernah menjadi kepala daerah, sebagai subtitusi umur. Urusan pencalonan Gibran sebagai pasangan capres Prabowo telah memunculkan isu politik dinasti. Hal ini telah membuat Megawati secara nyata ditinggalkan Jokowi. Namun, yang paling menyakitkan tentu saja langkah anak Jokowi lainnya mengambil alih partai politik, yakni PSI. Kedua hal ini secara simultan akan membuat Jokowi berkonfrontasi secara diametral dengan Megawati. Sebab, langkah itu akan berefek langsung pada perebutan basis massa tradisional PDIP, yakni Jawa Tengah.  Memang hal itu ditenggarai terjadi. Megawati dan tokoh-tokoh pendukung Ganjar melihat isu kekerasan oknum tentara kepada relawan Ganjar dalam kasus di Boyolali, pemanggilan kepala-kepala desa ke istana, kantor polisi dan juga ke pertemuan akbar dengan Gibran di Senayan, sebagai upaya sistematis dalam mengalahkan PDIP. Jika PSI di bawah kendali Kaesang menargetkan minimal 4% suara, dan memasang hampir seluruh iklannya sebagai partai Jokowi, maka efeknya dapat berimbas pada penurunan suara PDIP sebanyak 4% itu. Tentu saja akan menjadikan PDIP bukan sebagai pemenang pemilu lagi nantinya. Dengan kenyataan di atas, tentu tidak ada alasan bagi Megawati mempertahankan klaim bahwa Jokowi adalah petugas partainya. Klaim petugas partai justru akan mempermudah Jokowi dan PSI menarik simpati rakyat di basis tradisional PDIP. Sehingga keputusan Megawati mendepak Jokowi dari PDIP, meskipun belum menarik kartu anggotanya, merupakan langkah yang tegas Kenapa kaum oposisi berterimakasih pada Megawati? Selama Jokowi memimpin, Indonesia berkembang dalam kepimpinan yang totalitarian. Artinya, pemerintah dan legislatif dikuasai oleh kelompok yang satu. Dengan demikian, berbagai keputusan, pembuatan undang-undang, pengawasan pembangunan, dan lainnya dikendalikan oleh sebuah kelompok tersebut. Akhirnya Indonesia bergerak dalam arah kerusakan, seperti korupsi merajalela (terakhir kemarin lembaga negara PPATK menyebutkan angka korupsi PSN 36,67%), ICOR bernilai 7, demokrasi hancur, HAM hancur, dan berbagai hal lainnya semakin buruk. Bahkan, rakyat miskin dikembangkan untuk tergantung pada subsidi negara daripada mengembangkan human capital. Rencana terbesar kelompok pengendali kekuatan totalitarian ini berusaha mempertahankan kekuasaannya dengan membuat PT 20% pencapresan. Namun, dalam perjalanannya kelompok ini terpecah belah. Pertama dimulai \"Nasdem\" dengan keluar dari kelompok. Lalu diikuti PKB yang mendukung Nasdem dengan keduanya mendukung calon presiden, Anies, yang tidak disukai Jokowi. Sejak November tahun lalu, dan secara tegas awal tahun ini, Megawati menunjukkan dirinya berbeda dengan Jokowi.  Dengan demikian kekuatan non Jokowi saat ini sudah lebih besar dari pendukung Jokowi. Sehingga, meskipun Jokowi berusaha untuk menunjukkan dukungan terhadap keberlanjutan kekuasaannya, hal itu tidak mungkin lagi berdampak besar. Hal ini terutama terlihat dalam front Ganjar-Anies yang semakin terbuka dan meluas saat ini, khususnya dipertontonkan mereka saat debat kemarin. Anies sendiri secara atraktif mengucapkan selamat ulang tahun kepada PDIP kemarin lalu. Kedua front besar ini, meski \"fragile\", tetap saja merupakan blok besar bagi kemulusan rencana politik Jokowi selama ini. Sehingga, tokoh-tokoh oposisi, seperti kelompok petisi 100, dengan terbuka kemarin lalu mendatangi Mahfud MD menyuarakan pemakzulan Jokowi. Sebuah agenda yang sebelumnya terhalang karena Megawati selalu melindungi Jokowi. Penutup Terimakasih Bu Megawati. Kata-kata ini pantas diucapkan kepada beliau. Hal ini merupakan kado besar bagi bangsa kita untuk mendorong adanya perubahan. Sebab, tanpa Megawati, Jokowi pasti akan berjalan tanpa keseimbangan. Sekarang, meskipun Jokowi menunjukkan sikap membela pasangan Prabowo-Gibran secara nyata paska debat kemarin, langkah ini akan kandas, karena Megawati tidak di sisi dia lagi. Tinggal bagaimana Anies dan Ganjar memikirkan sebuah front bersama untuk agenda perubahan ke depan.  Megawati telah menyatakan dalam pidatonya kemarin bahwa kekuasan bukan segala-galanya, kekuasaan bukan tanpa akhir, menurutnya kekuasaan harusnya diberikan pada pemimpin beretika. Terima kasih Megawati. Salam metal! . Salam Perubahan!

Hei, Kau LBP Yang Bingung Bedakan Etik Bernegara Dan Utang Budi

Oleh Asyari Usman | Jurnalis Senior Ada lagi Loyalis Buta Prabowo (LBP) yang menyerang Anies Baswedan dari sisi etika. Tapi, si LBP yang satu ini “confused” (bingung) membedakan etika bernegara dan utang budi. Menurut dia, Anies tidak beretika karena sudah banyak dibantu Prabowo dalam karir politiknya. Si LBP ini menyebut Anies tak beretika ketika di acara debat capres terasa menyerang junjungannya, Prabowo Subianto. Dalam debat pertama (12/12/23) dan debat ketiga (7/1/24), Anies menanyakan bagimana perasaan Prabowo memanfaatkan putusan melanggar etik berat oleh Paman Usman (MK) untuk tetap mendaftarkan Prabowo-Gibran di KPU? Yang ditanyakan ini adalah etika bernegara, Bung LBP. Bukan etika pribadi. Bukan etika yang bisa dikaitkan dengan utang budi, kawan! Kau keliru, wahai LBP. Pelanggaran etik dalam perkara Nomor 90 itu sangat fatal, Bung Loyalis Buta. Kemudian, Prabowo memperkuat pelanggaran etik berat itu dengan menggandeng Gibran sebagai cawapres. Ini yang ditanyakan Anies kepada Prabowo. Ini etika yang terkait kepentingan negara. Anda, Bung LBP, tidak bisa menyebut Anies tak beretika karena dia mempersoalkan etika Prabowo dalam isu putusan Paman Usman. Banyak pelanggaran etik oleh Prabowo yang sifatnya privat tapi tidak dipersoalkan. Tidak perlulah kita uraikan di sini. Cukup Anda pikirkan sendiri saja, wahai LBP. Kalau bicara utang budi Anies ke Prabowo, sesuangguhnya sudah dikembalikan oleh Anies lewat “political gain” Prabowo dan Gerindra selama ini. Di Pilkada DKI 2017, Anies tidak berutang budi hanya kepada Prabowo. Kepada yang lain juga.  Anies telah membayarnya dengan kemampuan dia memenangi pilkada itu. Kemenangan ini membuat nama Gerindra harum dan populer. Ini merupakan “political gain” yang tak bisa diukur hanya dengan utang budi. Pilkada ini diperjuangkan oleh PKS juga. Oleh pihak-pihak sosial-politik lainnya juga. Gerindra mengusung Anies, iya. Tapi Gerindra telah menerima laba politik yang relatif besar dan proporsional.  Menurut LBP, Anies tak tau berterima kasih sudah ditolong oleh Prabowo. Ini kerancauan yang perlu diluruskan. Kalau pertanyaan tajam Anies di acara debat capres itu dianggap tidak beretika, lalu apakah Anies akan disebut anak baik jika dia memuja-muji Prabowo? Tentu akan menjadi lebih aneh, bukan?  Debat capres adalah salah satu cara untuk melihat kualitas para capres. Terutama kualitas etik mereka. Karena itu, pertanyaan perihal etika publik atau erika bernegara menjadi sangat penting untuk dimunculkan. Jangan dianggap sebagai serangan pribadi.  Ketika Anies berbicara soal etika seorang calon pemimpin, dia mempersoalkan pelanggaran etika publik. Bukan etika dalam kehidupan privat. Tetapi, etika kehidupan privat pun sah-sah saja dipersoalkan. Hanya saja jarang disentuh. Dipastikan, Anies tidak melakukan itu. Sekarang, para Loyalis Buta Prabowo (LBP) tidak usah mengajarkan Anies tentang perbedaan antara etika bernegara dan etika privat. Tak usah bertanya dari mana Anies belajar etika publik. Yang harus ditanyakan ialah Anda sendiri belajar etik di mana? Kok tidak bisa membedakan etika bernegara dan utang budi? Kalau Prabowo mengharapkan utang budi itu dibayar dengan sikap diam Anies di debat capres, maka rakyatlah yang akan dirugikan. Begitu dulu ya wahai engkau yang tak mampu mencampuradukkan etik bernegara dengan etik terkait utang budi.[]