OPINI
Akankah PKS Jadi PSK?
Oleh Yusuf Blegur | Mantan Presidium GMNI Penulis pernah merilis artikel “PKS Kamulah Satu-Satunya” dan “Hanya Bisa bilang, PKS is The Best”. Saking simpati dan empatinya, penulis menuangkan apresiasi setinggi-tingginya kepada partai dakwah tersebut. Namun kini, apa lacur? Klarifikasi terburuk saat PKS menarik dukungannya terhadap Anies Baswedan pada pilgub Jakarta 2024, adalah tatkala Anies dianggap gagal mendapatkan koalisi partai untuk memenuhi syarat mengusung calon kepala daerah. Tambahan naifnya mengikuti saat PKS mengumbar selama ini selalu mendukung Anies baik di pilgub Jakarta sebelumnya maupun pilpres yang lalu, sampai akhirnya mengungkit sesal PKS selalu mengorbankan kader terbaiknya untuk duduk di pemerintahan. Namun PKS sepertinya lupa kesadaran, bahwasanya PKS telah jenuh dan kelelahan pada apa yang namanya perjuangan. Terutama di saat partainya harus terus berada dalam semangat perubahan guna menegakkan kebenaran dan keadilan. Alih-alih istigomah dalam amar ma’ruf nahi munkar, pimpinan PKS justru begitu bangga memposisikan partainya menjadi bagian dari koalisi partai yang distortif dan destruktif. PKS tanpa malu menjelma sebagai pendukung golongan rezim penuh kemudharatan dan kemaksiatan. Maka yang pantas disematkan pada partai bertajuk keadilan dan kesejahteraan itu tak lain dan tak bukan, betapa gerakan dakwah telah dijual murah untuk syahwat jabatan dan kekuasaan. Dampaknya bukan hanya menyempurnakan kebobrokan partai politik selama ini, lebih dari itu mencoreng citra agama khususnya umat Islam. Tak ada lagi harga diri, tak ada lagi kehormatan dan tak ada lagi martabat pada kumpulan para ulama, habaib dan para cendekia di tubuh partai politik bercitra bersih dan peduli itu sebelumnya. Sepertinya, PKS tak lebih baik dari Pekerja Seks Komersil (PSK) yang sejatinya terdesak melakukan tindakan asusila karena ekonomi. Bukan menghina dan menginjak-injak prinsip kebenaran dan keadilan, PSK hanya bertahan hidup untuk dirinya dan keluarganya dari kekejaman sistem sosial. Namun PKS nyata-nyata telah menghancurkan pondasi kepercayaan umat dan keyakinan pada nilai-nilai aqidah (religi). Akankah PKS menjadi PSK?. Atau PKS jauh lebih buruk dari PSK. Wallahualam Bissawab. (*)
Menyoroti Pidato Presiden Terpilih 2024 Prabowo Subianto dan Pendapat Aktivis Demokrasi dari Amerika Serikat Chris Komari
Oleh Dr. Rahman Sabon Nama | Ketua Umum Partai Daulat Kerajaan Nusantara (PDKN) Parpol Non-kontestan Pemilu 2024 Mencermati pidato politik Presiden terpilih 2024 Prabowo Subianto saya perlu memberi masukan agar dalam menjalankan pemerintahannya kelak kehidupan bernegara, memberikan ruang kepada rakyat agar punya kesempatan yang sama dalam mengembangkan kesadaran beragama bagi masing-masing golongan pemeluk agama dengan semangat menghormati satu sama lain dan tidak lagi umat Islam menjadi korban Islammophobia seperti sekarang. Kekeliruan Prabowo Subianto yang mengatakan demokrasi sebagai sistem pemerintahan dimana Suara Mayoritas yang berkuasa (majority rules) adalah kesalahan yang sekarang terjadi di tanah air. Artinya sama saja dengan menghalalkan segala cara untuk Merebut kekuasaan/tyrany majority yang dilarang karena melanggar nilai-Nilai demokrasi. Pengertian demokrasi secara umum yaitu sistem pengorganisasian pemerintahan yang dijalankan secara langsung oleh pilihan rakyat sehingga seluruh masyarakat negara dengan keluhuran harkat dan martabat manusia sebagai mahkluk Allah SWT diakui dan dijamin keberadaannya atas dasar konstitusi negara. Kehidupan demokrasi di negara kita yang dipraktekkan selama ini dilatarbelakangi sebelum dan sesudah kemerdekaan. Sebelum kemerdekaan era rakyat masih dalam naungan sistem kerajaan dan kesultanan se-Nusantara dan setelah kemerdekaan berbentuk Republik, dapat kami berikan beberapa catatan, sebagai berikut: Pertama, di era pemerintahan kerajaan kesultanan Nusantara dahulu, demokrasi diejawantahkan di pusat - pusat pemerintahan kerajaan kesultanan dan tidak dikenal istilah majority rules (kekuasaan mayoritas/tyranny majority). Tetapi dikenal Hak Pepe Kawula Raja yang merupakan manifestasi demokrasi langsung yaitu kepala pemerintahan raja memegang kekuasaan negara dan agama, kepala negara diangkat secara turun temurun, golongan dalam masyarakat memiliki hak dan kewajiban berbeda- beda. Kedua, demokrasi setelah Indonesia merdeka adalah Demokrasi Pancasila, tercantum dengan jelas dalam Pembukaan UUD 1945 dan pasal dalam Batang Tubuh-nya. Dalam sila ke empat Pancasila yang tercantum pada aline 4 Pembukaan UUD 1945 dan pasal 1 ayat (2 ) dalam Batang Tubuh UUD 1945 menunjukkan bahwa negara kita RI menganut asas kedaulatan rakyat dan tidak mengenal demokrasi berdasarkan suara mayoritas (majority-rule, or the rule of majority which means those who obtain more votes win). Hal ini ditegaskan bahwa demokrasi Pancasila artinya demokrasi yang dijiwai Pancasila yaitu kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Rakyat mempunyai hak untuk ikut aktif dalam kegiatan bersifat politik artinya Indonesia negara demokratis dimana demokrasi Pancasila bukan hanya demokrasi politik, tetapi juga demokrasi ekonomi, demokrasi sosial budaya dan demokrasi pertahanan dan keamanan. Ketiga, dalam pelaksanaannya menurut Pasal 1 Ayat (2) UUD negara kita menganut sistim demokrasi perwakilan /demokrasi tidak langsung. Hal ini dibuktikan dengan adanya lembaga MPR, DPR, selain DPA, MA, BPK sebagai Lembaga Tinggi Negara, dan adanya partai-partai politik tidak sama dengan demokrasi di Amerika/ Eropa dan negara lainnya di dunia. Justru di sinilah keunikan negara Indonesia yang berfalsafah Pancasila bersemboyan Bhinneka Tunggal Ika memiliki patron demokrasi tersendiri yang tidak ada di negara lain. Prabowo Subianto dalam berbagai forum dan kesempatan sering mengatakan bahwa demokrasi adalah sistem pemerintahan, dimana suara mayoritas yang berkuasa. Koreksi saya bahwa pernyataan itu tidak akurat, salah dan tidak benar. Karena Demokrasi Pancasila yang dianut Indonesia adalah demokrasi kedaulatan rakyat yang dijiwai dan diintegrasikan dengan sila-sila kelima sila Pancasila serta dari padanya disinari oleh sila pertama yakni Ketuhanan Yang Maha Esa. Sebagai argumentasi tulisan saya: bahwa menggunakan hak demokrasi harus disertai dengan tanggung jawab kepada Tuhan Yang Esa menurut keyakinan agama masing-masing dan menjunjung tinggi nilai moral dan martabat manusia sebagai mahkluk Allah SWT untuk menjamin persatuan dan kesatuan nasional guna mewujudkan keadilan sosial berpaham kekeluargaan dan gotong royong. Yang di era sekarang dirasa hilang/sirna yang dipraktekkan era Orde Baru dan semakin kandas sejak era Reformasi dan puncaknya di dasawarsa pemerintahan Jokowi, dimana mempraktekkan gotong royong sekedar wujud bantuan-bantuan sosial pada kaum miskin dan praktek ini ala pemerintahan komunis China. Oleh karena itu paska pelantikan presiden terpilih 2024 Prabowo Subianto, saran saya dalam kapasitas sebagai Ketua Umum PDKN Parpol yang mewadahi para Raja Sultan Nusantara dan rakyat di bekas kedaulatan wilayahnya masing-masing meminta Presiden Prabowo Subianto untuk: Mengeluarkan Dekrit Presiden Oktober 2024 kembalikan Naskah Asli UUD 1945 dan Pancasila 18 Agustus 1945. Dengan Adendum Pemisahan Kekuasaan Kepala Negara dijabat Raja Sultan pemegang Collateral aset dinasti secara bergilir dijabat oleh Raja Yang Dipertuan Agung Kepala Negara (tujuannya untuk menghilangkan jual beli kekuasaan dan kebijakan serta korupsi). Pembiayaan pembangunan oleh Kepala Negara dan sumber daya kekayaan alam dikelola negara untuk kemakmuran rakyat tidak dibagi-bagi untuk kroni dan aseng seperti sekarang. Kepala Pemerintahan dijabat seorang Presiden/Wakil Presiden dipilih lewat Pemilihan Umum (Pemilu) dan ditentukan melalui Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (SU MPR RI). (*)
Tergilasnya Jokowi dan Kroni
Oleh: Anthony Budiawan - Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Tanggal 24 Agustus 2024, 240824, merupakan tanggal keramat bagi Jokowi. 240824, awal meredupnya pengaruh Jokowi. Ada dua peristiwa penting yang menandai pengaruh Jokowi runtuh. Peristiwa pertama, pada 240824, telah berlangsung rapat konsultasi antara KPU dan DPR yang mengakomodir Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 60 dan No 70 secara bulat. Artinya, pertama, peluang Kaesang untuk bisa ikut pemilihan kepala daerah di seluruh Indonesia sudah tertutup, mungkin untuk selamanya. Karena tanpa pengaruh kekuasaan Bapaknya, Kaesang hanya merupakan anak muda bukan siapa-siapa, no body. Kedua, upaya menjegal dan mengucilkan PDIP, partai politik yang membesarkannya, yang sekarang menjadi musuh besarnya, untuk tidak bisa mencalonkan kepala daerah tanpa koalisi, menjadi kandas. Karena Putusan MK No 60 membuat PDIP bisa mengusung calon kepala daerah, tanpa koalisi, di banyak daerah. Ketiga, upaya menjegal Anies Baswedan, agar tidak ada partai politik yang bisa mencalonkannya menjadi gubernur Jakarta, nampaknya juga kandas. Karena Putusan MK 60 membuat beberapa partai politik menjadi mandiri dalam pencalonan kepala daerah, tanpa koalisi. Nampaknya, PDIP dan Anies Baswedan akan bersatu, untuk menjadi kekuatan menakutkan bagi Jokowi dalam pilkada Jakarta. Dua pihak yang sedang di “dikriminalisasi” ini akan sulit terbendung. Peristiwa kedua, rencana “merebut” kepemimpinan PKB juga kandas. Gagal total. Tidak seperti Beringin yang begitu mudah menyerah digergaji Jokowi. Bahkan Ketua PBNU harus menghentikan apel Ansor Pagar Nusa dan menariknya dari lokasi muktamar di Bali. Puncaknya, Muhaimin “Cak Imin” Iskandar yang mau “dikudeta” ternyata terpilih kembali menjadi Ketua Umum PKB. Semua ini menandakan pengaruh Jokowi mulai meredup. Mulai hilang. Seperti kata pepatah, roda kehidupan selalu berputar. Kadang di atas, kadang di bawah. Kekuasaan tidak bisa selamanya berada di atas. Kekuasaan tidak abadi. 240824. Roda kekuasaan Jokowi sedang menuju ke titik bawah. Jokowi sudah ditinggal kroninya di parlemen, di Baleg dan di Komisi II DPR-RI. Jokowi sedang menuju menjadi no body lagi. Menjadi bukan siapa-siapa lagi. Jokowi tidak mempunyai massa pengikut. Pemimpin “boneka” Jokowi di Golkar sedang digugat. Dengan hilangnya pengaruh Jokowi, dalam waktu dekat sepertinya Bahlil akan terjungkal. Hanya tinggal menghitung hari saja. Sebaliknya, pihak yang dikriminalisasi dan disandera Jokowi sedang menuju ke puncak atas. Mereka akan tetap mempunyai pengaruh politik kuat. Ketika pengaruh politik Jokowi meredup dan menghilang, pengaruh politik PKB dan Cak Imin akan terus eksis. Pengaruh politik PDIP juga akan semakin kuat dan solid. Begitu juga dengan partai politik lainnya yang tersandera Jokowi, akan tetap memainkan peran penting dalam peta politik Indonesia. Gibran boleh saja sekarang menjabat wakil presiden. Tetapi dalam waktu dekat akan terkucilkan. Karena Gibran juga akan menjadi bukan siapa-siapa lagi. Gibran tidak mewakilkan partai politik manapun. Gibran mendapat jabatan atas pengaruh Bapaknya, dengan merampas jabatan Wakil Presiden dari kader partai politik lainnya yang jauh lebih layak dibandingkannya. Karena itu, tidak akan ada satu pihakpun yang akan berpihak pada Gibran, ketika terkucilkan. Proses hukum dugaan KKN Gibran dan Kaesang sedang mengintai. Ketika roda kehidupan Jokowi dan keluarga serta kroninya berada di titik terbawah, mereka akan menghadapi nasib masa depan yang sangat bertolak belakang. Jokowi dan keluarga beserta kroni, termasuk oligarki penindas rakyat, akan menghadapi banyak gugatan hukum. 240824. Menjadi Awal keruntuhan pengaruh dan kekuasaan Jokowi, yang akan bergulir dengan kecepatan tinggi, menuju menjadi no body lagi. (*)
Jokowi dan Prabowo Sama-sama Haus Kekuasaan
Oleh M Rizal Fadillah | Pemerhati Politik dan Kebangsaan TENTU membuat tertegun sesaat setelah teka-teki Raja Jawa yang mengerikan diungkap Bahlil Lahadalia kini muncul lagi teka-teka yang dilempar Prabowo soal orang yang haus kekuasaan. Pihak yang haus kekuasaan menurutnya dapat merugikan negara. Untuk kekuasaan segala cara dilakukan termasuk membeli dan melakukan operasi-operasi intelijen. Prabowo mengkritisi tajam perilaku ini saat melakukan penutupan Kongres VI PAN di Hotel Kempinsky Jakarta. Presiden terpilih ini memang sudah seperti Presiden definitif saja jalan dan sambut sana sini. Mungkin mulai mengimbangi pengaruh Jokowi yang sedang sibuk mengamankan kekuasaan di penghujung masa jabatan. Teka-teki Bahlil maupun Prabowo mudah ditebak secara politik. Tentu saja Jokowi, sebab tidak mungkin Donald Trump. Meski sama-sama ngeri-ngeri sedap dan dapat membeli kekuasaan tetapi dia itu orang Amerika bukan Jawa. Mc Donald menghadapi boikot soal Palestina, Donald Duck sedang piknik ke China menyamar Peking Duck. Bahlil dan Prabowo \"mewekwek\" menyinggung orang yang punya kekuasaan. Bahlil menjilat sedangkan Pabowo berkhianat. Jilatan Bahlil sampai ke alam ghaib, Golkar ditakut-takuti agar pohon beringin dapat berguncang dan gemetar lalu berlindung kepada Raja Jin penguasa kegelapan. Prabowo berkhianat jika bacaan itu terarah ke Jokowi. Prabowo itu tokoh unik yang bisa habis-habisan menjilat lalu tega menyindir bahkan mengecam. Jokowi dan Prabowo sama-sama haus kekuasaan. Rakyat hanya diatasnamakan atau batu loncatan. Prabowo pernah lari dan sembunyi dari rakyat pendukungnya sendiri demi kursi Menteri. Ambisi melompat ke tempat yang lebih tinggi. Memeluk Gibran demi kasih sayang dan bantuan Jokowi. Strategi Prabowo untuk jabatan Presiden yakni harus berlindung kepada Jokowi. Memang di samping sebagai negara konoha atau wakanda Indonesia ini dikenal juga sebagai negara para bedebah dan para pengkhianat. Jokowi menjual kedaulatan negeri dan mengkhianati Megawati. Awalnya Megawati mengkhianati Jokowi soal Ganjar. Prabowo mengkhianati Jokowi sampai harus mengecam haus kekuasaan. Rakyat dikhianati oleh partai-partai politik, DPR, dan lembaga-lembaga yang diberi amanah untuk melayani. Mereka hanya sibuk melayani dirinya sendiri. Jokowi, Prabowo, dan pemimpin lain yang mengaku muslim lalu haus akan kekuasaan, sadarlah bahwa kekuasaan itu hanya ujian untuk ditunaikan sebaik-baiknya. Kelak di akherat berakibat pada kesia-siaan dan penyesalan. \"maa aghnaa annii maaliyah, halaka annii sulthooniyah\" (tidak berguna atasku harta kekayaan, telah hilang dariku kekuasaan)--Al Haqqah 28-29. \"Innakum satahrishuuna \'alaal imarah. Satakuunu nadaamatan yaumal qiyaamah\" (Nanti engkau begitu haus akan kekuasaan. Kelak di hari kiamat engkau benar-benar menyesal)--HR Bukhori. (*)
Waspadai KPU, Ikut Putusan MK atau Putusan MA?
Oleh Sutrisno Pangaribuan | Presidium Kongres Rakyat Nasional (Kornas) RAPAT pengesahan PKPU di DPR RI yang semula direncanakan pada Senin (26/8/2024) akhirnya dimajukan hari ini, Minggu (25/8/2024), Pukul 10.00 WIB. DPR RI dan Pemerintah yang awalnya ngotot “melawan” putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 60/PUU-XXII/2024 dan 70/PUU-XXII/2024 akhirnya memilih jalan aman. Partai Politik (Parpol) anggota Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus yang terdiri dari Golkar, Gerindra, Demokrat, PAN, Nasdem, PKB, PKS, PPP yang sepakat mengeroyok PDIP pun akhirnya cuci tangan. KIM Plus yang tidak pernah peduli rakyat, tidak berdaya saat akan ditinggal rakyat. Ahmad Doli Kurnia Tanjung, Ketua Komisi II DPR RI, Fraksi Partai Golkar pun tidak mau mengambil risiko melawan rakyat. Terutama pasca nama Doli tidak masuk dalam daftar pengurus inti DPP Partai Golkar (PG) yang baru saja diumumkan Bahlil Lahadalia, Ketum Partai Golkar. Doli yang sebelumnya Wakil Ketua Umum DPP PG, dan namanya santer sebagai calon Sekjend baru, ternyata tidak masuk dalam struktur utama Bahlil pencetus istilah “Raja Jawa”. Maka Doli akhirnya menampilkan sosok “Raja Sumatera”, ikuti.putusan MK secara utuh. Namun rapat percepatan pengesahan PKPU hari ini harus tetap diwaspadai. Elit politik kita sulit dipercaya, sebab terbiasa menampilkan perbedaan kata dengan laku. Kita patut menduga bahwa rapat sengaja digelar hari Minggu, saat aksi mahasiswa, buruh, dan kelompok pro demokrasi sedang istirahat, tiba- tiba diambil keputusan yang bertentangan dengan putusan MK. Segala hal masih mungkin terjadi saat pertandingan masuk “injury time”. Jika DPR RI dan Pemerintah mengaku tunduk pada aspirasi rakyat, KPU RI belum tentu mengikutinya. Maka rakyat harus tetap “standby” hingga PKPU yang diputuskan hari ini, mematuhi putusan MK secara utuh. Selain memantau rapat pengesahan PKPU, kita pun harus tetap memantau pergerakan pemerintah. Peluang untuk bermain di tikungan, dengan politik bibir jurang masih mungkin terjadi. Pemerintah masih memiliki senjata pamungkas melalui Perpu Pilkada. Selain itu, jika aksi mahasiswa, buruh, dan kelompok pro demokrasi semakin meluas, pemerintah dapat melakukan manuver mengundur jadwal Pilkada hingga batas usia minimal 30 tahun saat penetapan calon sesuai putusan MK terpenuhi. Politik masih sangat dinamis, dan segala kemungkinan masih mungkin terjadi. Kita harus memastikan bahwa KPU akan mematuhi putusan MK, tidak melakukan pembangkangan konstitusi, pembegalan hukum, dan mengubah arah reformasi. KPU yang bersifat nasional dan mandiri hendaknya merdeka dari pengaruh apa dan siapa pun. KPU sebagai produk reformasi harus dan hanya boleh tunduk pada konstitusi, dan kehendak rakyat. KPU harus ikuti langkah MK yang akhirnya memutuskan patuh dan tunduk pada konstitusi dan kehendak rakyat. Satyam Eva Jayate, Merdeka! (*)
Saat Raja Jawa Tumbang
Oleh M Rizal Fadillah | Pemerhati Politik dan Kebangsaan Amangkurat I penerus Sultan Agung adalah raja Mataram. Memerintah tahun 1646 hingga wafatnya 1677. Amangkurat I dikenal sebagai Raja Jawa yang zalim. Kebengisan pada rakyatnya luar biasa, ia tega membantai 5000 hingga 6000 orang baik wanita maupun anak anak. Benci pada pemuka agama dan santri. Raja Jawa ini tumbang oleh perlawanan rakyat di berbagai daerah yang dipimpin Trunojoyo. Amangkurat I mati tragis dalam pelarian akibat pemberontakan. Kini Jokowi digelari Raja Jawa oleh para pengikutnya. Meski tidak eksplisit Bahlil Lahadalia saat pidato perdana sebagai Ketum Partai Golkar di JCC Senayan mengarah pada Jokowi Raja Jawa yang \"seram\" itu. Ia menyatakan ancaman : \"Jadi kita harus lebih paten lagi, soalnya Raja Jawa kalau kita main-main celaka kita, saya mau kasih tahu saja, jangan coba-coba main-main barang ini, waduh ini ngeri-ngeri sedap barang ini saya kasih tahu\". Meski Jokowi hampir mengakhiri masa jabatannya tapi ia masih ingin memperpanjang kekuasaannya melalui Partai Golkar. Ketum yang baru Bahlil Lahadalia adalah kepanjangan tangannya. Sebagaimana ungkapan dalam pidatonya, maka Bahlil seolah-olah telah menempatkan diri sebagai punakawan Jokowi sang Raja Jawa. Seperti Jokowi, Amangkurat I juga memindahkan Ibu Kota dari Kotagede ke Plered. Istana di Plered jauh lebih mewah di banding sebelumnya. Mungkin ia menyebut istana yang dipakai Sultan Agung berbau agama dan Istana Plered hasil karya asli dirinya berbau dupa-dupa. Makanya ia bunuh banyak ulama. Konon baju adat yang dikenakan Jokowi saat upacara 17 Agustus 2023 mirip dengan pakaian Raja Jawa Amangkurat I. Partai Golkar dapat musibah punya Ketum punakawan Raja Jawa Jokowi. Seperti orang sedang mabuk whisky hibiki berbicara sana sini. Ada lebih paten lagi, celaka main-main dengan Raja Jawa, ngeri-ngeri sedap barang ini, dan ada juga \"saya kasih tahu\". Bahlil ngelindur tapi menerangkan fakta bahwa perilaku Raja Jawa memang mengerikan tapi menyedapkan. Jika bukan Jokowi yang dimaksud maka Bahlil harus menjelaskan ulang atau Jokowi segera membantah bahkan memecat Bahlil sebagai Menteri ESDM \"Enak Saja Dia Mengoceh\". Baru jadi raja sehari di Golkar sudah bikin gerah nih partai. Sebagai bukan orang Jawa, Bahlil memang bahlul mengenai kultur Jawa. Ia mewanti-wanti seperti ketakutan dirinya menghadapi Raja Jawa. Raja Jawa Jokowi harus ditumbangkan jika berkarakter \"ngeri-ngeri sedap\" dan membuat \"celaka kita\". Bahlil ketakutan apakah Raja ini memang berteman dengan hantu dan dedemit ?. Seperti Amangkurat I Raja Jawa begini harus diburu dan dilawan rakyat. Buat Amangkurat \"ngeri-ngeri sedap\" ini kabur dan tidak kembali alias mati. Raja Jawa dan Raja Bahlul tak pantas memimpin negeri. Saatnya Raja Jawa tumbang. Nah pasukan Trunojoyo jangan menjadi budak belian tetapi bersama rakyat bergerak memakzulkan, menangkap dan mengadili Jokowi. Trunojoyo adalah pahlawan dalam melawan kezaliman bukan mendukung dan membersamai Raja Jawa yang zalim. (*)
Waspadai Manuver Lanjutan Jokowi dan DPR Setelah Revisi UU Pilkada Batal Disahkan
Oleh Faisal S Sallatalohy | Mahasiswa Doktor Hukum Trisakti SETELAH batal gelar Paripurna sahkan revisi UU Pilkada, DPR dan pemerintah masih punya 2 cara ilegal-inkonstitusional untuk anulir keputusan MK. Salah satunya, lewat Revisi dan Penatapan Peraturan Komisi Pemelihan Umum (PKPU) No 8 tahun 2024. Kita tahu sampai hari ini, tehitung 4 hari menjelang pendaftaran calon kepala daerah pada Selasa 27 Agustus, KPU belum juga merevisi dan menetapkan PKPU sesuai keputusan MK. KPU mengkonfirmasi, saat ini draft PKPU tentang syarat Pilkada sudah dikirimkan ke komisi II DPR untuk dikonsultasikan. Dalam kaitan ini, perlu diwaspadai. Dalam sejarahnya, KPU dan Komisi II seringkali memaksakan sejumlah ketentuan yang berbeda dengan keputusan MK. Contoh paling mutakhir, Komisi II dan KPU tidak merevisi usia minimum calon presiden dan calon wakil presiden pada Peraturan KPU Nomor 19 Tahun 2023 sesuai dengan Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023. Atas perilaku inkonstitusional tersebut, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) RI pada tanggal 5 Februari 2024 menjatuhkan sanksi peringatan keras terakhir kepada Ketua KPU Hasyim Asy\'ari kala itu. Masyarakat harus mengawal dengan ketat proses revisi PKPU yg saat ini sedang dikonsultasikan pembentukannya di Komisi II. Jangan sampai, KPU dan DPR tidak menyesuaikan proses revisi sesuai keputusan MK. Justru menggunakan pendekatan tafsir lain untuk menambahkan frasa yang melemahkan putusan MK. Terutama terkait penyesuaian pasal yang mengatur ambang batas pencalonan dan syarat usia calon kepala daerah. Soal ambang batas, lewat putusan No.60/PUU-XXI/2024 telah diturunkan, misalnya untuk Jakarta 7,5% dari 20%. Sementara untuk syarat usia, minimal 30 Tahun pada saat penetapan pasangan calon. Dua ketentuan ini, wajib dimasukan KPU dan Komisi II ke dalam revisi PKPU 8 Tahun 2024. Jangan sampai KPU dan Komisi II kembali melakukan manuver, siasat licik, memaksakan penafsiran berbeda untuk melenyapkan atau melonggarkan bunyi putusan MK itu. Kita tahu dalam revisi UU Pilkada Kemarin, Baleg DPR memang tidak melenyapkan keputusan MK sepenuhnya. Tapi melonggarkan ketentuan dalam putusan tersebut. Menggunakan penafsiran lain, Baleg memutuskan, ambang batas 7,5% hanya diperuntukan untuk partai yg tidak punya kursi di Parlemen. Sementara partai basis parlemen tetap wajib memenuhi syarat 20% yang diatur dalam aturan sebelumnya. Padahal dalam keputusan MK jelas sekali tertulis, penurunan ambang batas 7,5%, diperuntukan bagi semua partai, baik yang punya kursi di parlemen maupun tidak. Keputusan MK ini sangat jelas. Bunyi norma yang sangat terang-benderang, bak basuluh matohari, cetho welo-welo sehingga terhadapnya tidak dapat dan tidak perlu diberikan atau ditambahkan makna lain yang berbeda selain dari norma yang sudah ditetapkan MK. Hal ini juga berlaku untuk PKPU, dalam proses revisinya, KPU dan Komisi II DPR berkewajiban menyerap norma dalam keputusan MK tanpa diperbolehkan menafsirkan atau menambahkan frasa lain yang justru akan bermuara pada perbedaan norma yang dimaksud dalam putusan MK. Sementara untuk syarat usia pencalonan, bunyi keputusan MK sangat jelas, minimal 30 tahun pada saat penetapan pasangan calon. Kemarin, dalam revisi UU Pilkada, panja di Baleg DPR merubahnya menjadi: \"usia minimal 30 tahun pada saat pelantikan pasangan calon\". Padahal sangat jelas bunyi keputusan MK. Tidak ada unsur multitafsir yang memungkinkan DPR menggunakan pemaknaan lain. Selain itu, menurut MK, penambahan frasa \"usia minimal 30 tahun pada saat pelantikan pasangan calon terpilih\" bertentangan dengan maksud pasal 7 ayat (2) huruf e Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 yg menyatakan: Usia minimal 30 tahun saat penetapan pasangan calon. Sekalipun MK tidak mencantumkan secara eksplisit, historis, sistematis, praktik selama ini dan perbandingan dengan pemilihan lain, penentuan batas usia minimum calon kepala daerah selalu dihitung menggunakan titik atau batas sejak penetapan calon. Penentuan titik atau batas pada saat penetaoan calon menjadi semacam postulat atau asumsi, menjadi pangkal dalil yang dianggap benar tanpa perlu membuktikannya. Artinya, dalam pembentukan PKPU, keputusan MK terkait syarat usia minimal calon, tidak memberi peluang kepada KPU dan Komisi II DPR menambahkan frasa atau pemaknaan lain selain apa yang sudah ditulis MK dalam putusannya. Termasuk mengecualikan putusan MK tersebut dalam kontestasi pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Satu-satunya kewajiban KPU dan Komisi II adalah menerapkan asas lex posterior derogat legi priori atau peraturan yang baru mengesampingkan peraturan lama. Pertauran terbaru yg dimaksud untuk diterapkan dalam pembentukan PKPU adalah putusan MK. Secara konstitusional keputusan MK menduduki derajat paling tinggi, final dan tidak dapat dikesampingkan oleh aturan yang dikeluarkan lembaga apapun. Termasuk keputusan MA yang kemarin menjadi rujukan Panja Baleg DPR dalam merevisi UU Pilkada terkait syarat usia pencalonan. Secara ketatanegaraan, dari sisi relasi kewenangan, MA menguji PKPU terhadap UU Pilkada. Sedangkan MK menguji UU Pilkada terhadap UUD 1945. Oleh karena itu, putusan MK memiliki hirarki yang lebih tinggi, mengesampingkan putusan MA. Oleh karena itu, dalam pembahasan revisi PKPU Pencalonan Kepala Daerah dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi II DPR RI, KPU bersama anggota dewan, Kemendagrii, Bawaslu RI dan DKPP, jangan sampai mengabaikan atau menganulir putusan MK. Jangan sampai tunduk di bawah manuver dan intimidasi licik kekuasaan untuk memuluskan kepentingan dinasti politiknya. Masyarakat tetap waspada dalam mode siaga onfire mengawal pembahasan, revisi dan penetapan PKPU. Awas kecolongan. Kemarin kita tau, pasca revisi UU Pilkada, sebelum ditetapkan dalam paripurna tingkat II DPR, muncul demonstrasi masif di berbagai daerah yang berpusat di Gedung DPR RI dan MK. Bisa jadi, peristiwa di Baleg DPR adalah bagian dari skenario kekuasaan melakukan \"stress test\", mengukur besarnya gelombang tekanan dan perlawanan masyarakat. Hasilnya seperti yang terlihat, gelombang perlawanan masyarakat, masih terbilang lemah dibandingkan yang sudah-sudah. Jauh lebih rendah dibandingkan aksi 212 yang menghadirkan 7 juta orang kepung Ibu Kota atau demonstrasi penolakan hasil pilpres 2019. Boleh jadi, setelah ini kekuasaan akan kembali manuver lewat PKPU dengan mode ketahanan dan daya tekan yang sudah terancang dengan baik untuk melemahkan perlawanan rakyat, secara diktator memaksa, membungkan rakyat mengandalkan kekuatan militer dan kepolisian untuk menerima PKPU hasil manuver mereka. Apapun itu, semua kemungkinan harus dilertimbangkan dan diwaspadai dengan baik. Kita sedang berhadapan dengan rezim culas yang sudah putus urat malunya, menghalalkan segala cara loloskan syahwat kekuasaan. Sejarahnya banyak, faktanya sudah tak terhitung, betapa untuk memenuhi ambisinya, kekuasaan tidak akan segan mengintimidasi, mengorbankan, bahkan melukai rakyat sendiri. Semoga, tidak terjadi. Revisi PKPU dilakukan sesuai perintah dan keputusa MK. Indonesia dijauhkan dari segala tragedi, perpecahan, intimidasi akibat ulah para elit yang serakah, rakus dan bajingan. (*)
Memaksa PDIP Pasang Badan Untuk Aksi Mahasiswa dan Rakyat
Oleh Sutrisno Pangaribuan | Presidium Kongres Rakyat Nasional (Kornas) PDI Perjuangan harus menyampaikan ucapan terimakasih kepada seluruh rakyat yaitu: mahasiswa, siswa, aktivis, akademisi, dewan guru besar, jurnalis, dan seluruh individu maupun kelompok masyarakat pro demokrasi. Aksi bersama melawan elit politik DPR RI dan pemerintah pelaku pembangkangan konstitusi, pembegalan hukum, dan pembelokan arah reformasi berhasil. DPR RI dan pemerintah dengan terpaksa membatalkan niat melawan putusan MK karena tekanan rakyat. Sikap jumawa DPR RI saat rapat di Badan Legislasi (Baleg) pun hilang saat masuk Sidang Paripurna Pengambilan Keputusan. Revisi UU Pilkada akhirnya batal, dan Pilkada akan diselenggarakan sesuai jadwal berdasarkan UU Pilkada dengan sejumlah pasal yang diubah oleh MK. Maka KPU RI harus segera melakukan persiapan pendaftaran pasangan calon sesuai putusan MK nomor 60/PUU-XXII/2024 dan putusan MK Nomor 70/PUU-XXII/2024 secara utuh. Meski tuntutan rakyat akhirnya dipenuhi, namun rakyat sebagai basis utama demokrasi masih terus menyuarakan kemarahan terhadap perilaku elit politik yang memuakkan. Aksi mahasiswa dan rakyat terus bergulir di berbagai kota untuk memastikan rencana busuk para pembegal hukum, pembelok arah reformasi, dan pembangkang konstitusi berhenti. Terhadap aksi mahasiswa dan rakyat, maka PDIP menyampaikan sikap dan pandangan sebagai berikut: Pertama, bahwa aksi mahasiswa dengan rakyat sah dan dilindungi oleh konstitusi. Negara pun alat negara seperti Polri dan TNI tidak boleh melakukan tindakan refresif dalam menangani aksi mahasiswa dan rakyat. Kedua, bahwa penanganan aksi oleh Polri dan TNI tidak boleh menggunakan senjata api dengan peluru tajam maupun peluru karet. Jika di lapangan ditemukan selongsong peluru maupun peluru karet, maka pelakunya akan kita seret ke pengadilan. Ketiga, bahwa PDIP sebagai partai milik rakyat diminta menyediakan makanan dan minuman bagi peserta aksi dengan membuka dapur umum di kantor- kantor PDIP. Aksi mahasiswa dan rakyat saat ini adalah perlawanan terhadap kelompok elit perusak negara. Penyediaan makan dan minum bagi para aktivis adalah wujud solidaritas sesama anak bangsa dan tidak masuk kategori perbuatan melawan hukum. Keempat, bahwa PDIP sebagai partai rakyat harus membuka kantor- kantornya sebagai tempat berlindung para aktivis mahasiswa dan rakyat yang dicari dan dikejar akibat dinamika aksi di lapangan. Termasuk merawat mereka yang terluka akibat gesekan dalam aksi. Kelima, bahwa PDIP harus membuka dapur umum di setiap kantor- kantor partai demi memberi dukungan logistik makanan dan minum kepada mahasiswa dan rakyat peserta aksi. Kantor- kantor PDIP juga dapat digunakan para aktivis sebagai tempat istirahat setelah lelah gelar aksi. Keenam, bahwa PDIP harus memberi jaminan dan perlindungan hukum kepada mahasiswa yang ditangkap oleh alat negara saat aksi. Semua peserta aksi tidak boleh kuatir, ragu, cemas atas keselamatan jiwa nya. Jika ada peserta aksi yang ditangkap dan ditahan, maka PDIP harus memberi dukungan dan membebaskannya. Ketujuh, bahwa aksi mahasiswa dan rakyat adalah aksi murni tanpa ditunggangi oleh pihak mana pun, termasuk PDIP. Tidak ada campur tangan PDIP terkait materi aksi, tuntutan aksi, maupun pengorganisasian aksi rakyat dan mahasiswa. Gerakan mahasiswa dan rakyat adalah deklarasi #kamimuak atas buruknya tata kelola hukum, demokrasi, dan kekuasaan pemerintah. Kedelapan, bahwa semua peserta aksi terutama mahasiswa diminta untuk tidak melakukan kekerasan dan perusakan fasilitas umum dan pemerintahan. Tetap menggunaka perjuangan ide, gagasan, bukan fisik. Kita percaya sinergi antara mahasiswa, rakyat dan kelompok pro demokrasi dengan PDIP akan terus berjalan. Maka mahasiswa, rakyat, pers, akan menjadi kekuatan untuk memastikan perjalanan bangsa berada pada rel yang benar. Satyam Eva Jayate, Merdeka!. (*)
Mungkinkah PKS Rujuk?
Oleh Bayu Anggara | Sekjen Persaudaraan Pemuda Islam Baru saja kita menyaksikan sebuah pelajaran berharga dalam politik Indonesia—bahwa kehendak rakyat dapat mengalahkan kecanggihan kongkalikong para elit politik. Kehendak rakyat telah terbukti menjadi kekuatan yang tak terbendung saat berhadapan dengan kehendak para elit politik yang manipulatif. Peristiwa ini menunjukkan bahwa, sebesar apa pun kekuatan elit politik, ketika berhadapan dengan kehendak rakyat, mereka harus beradaptasi atau tersingkir. Namun, bukan berarti para elit politik akan dengan mudah mengubah haluan. Mengingat perjalanan yang telah terbangun sejak Pilpres dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM), wajar jika mereka masih bersikukuh bertahan dengan pendiriannya. Mereka telah berinvestasi banyak dalam koalisi ini, baik secara politik maupun materi. Akan tetapi, harapan mereka untuk mensiasati proses Pilkada tampaknya telah pupus. Kini, mereka dihadapkan pada satu pilihan: bertarung! Yang kini menjadi pusat perhatian adalah sikap partai-partai yang sebelumnya bukan bagian dari KIM. Bagaimana mereka akan bersikap di tengah dinamika politik yang terus berkembang? Apakah mereka akan tetap bertahan di kapal KIM atau justru memanfaatkan peluang yang ada untuk melakukan manuver politik yang lebih menguntungkan? Pertanyaan ini menjadi krusial, terutama ketika kita melihat situasi di Jakarta. Sebagai partai pemenang di Jakarta, PKS sebaiknya mengubah haluan politiknya. Memilih untuk tetap berlayar bersama KIM bukan lagi langkah yang menguntungkan, baik bagi PKS maupun KIM itu sendiri. Bagi KIM, PKS sudah tidak lagi relevan, dan bagi PKS, bertahan dalam KIM hanya akan semakin menjauhkan mereka dari basis pemilihnya. Putusan MK terkait UU Pilkada sebenarnya telah menyelamatkan \"muka\" PKS di hadapan para pemilihnya yang tidak setuju dengan keputusan PKS untuk bergabung dengan KIM. Sebaliknya, jika PKS kembali memilih berlayar bersama Anies Baswedan, ini akan menjadi kesempatan bagi mereka untuk merebut kembali dukungan dari para pemilihnya. PKS masih memiliki waktu untuk membuka kembali komunikasi dengan Anies dengan mengedepankan aspirasi dari para pemilihnya. Biarlah peristiwa politik kemarin menjadi bahan evaluasi bagi kedua belah pihak. Yang paling penting momentum ini dapat dimanfaatkan untuk membangun kembali kepercayaan dan relevansi politik mereka. Pilkada Jakarta, yang berpotensi diikuti oleh lebih dari dua pasang calon, membuka peluang bagi berbagai kekuatan politik untuk bersaing. Jika KIM mengusung kandidatnya sendiri, PDIP juga akan mengajukan kandidat kuat, PKS memilih untuk berlayar bersama Anies, ditambah kandidat independen, maka kalkulator politik tampaknya lebih berpihak kepada PKS dan Anies. PKS, sebagai partai pemenang di Jakarta dengan perolehan 18 kursi DPRD, dipadukan dengan Anies, yang memiliki elektabilitas teratas menurut hasil survey SMRC 8-12 Agustus 2024 (Anies 42,8% vs RK 34,9% dan Anies 37,8% vs Ahok 34,3%), menjadi kombinasi yang sulit untuk dikalahkan. Dalam dinamika politik yang terus berubah ini, PKS harus segera menentukan haluan. Apakah mereka akan tetap bersama KIM, atau kembali kepada basis pemilihnya dan berlayar bersama Anies? Pilihan ini tidak hanya menentukan masa depan PKS, tetapi juga masa depan Pilkada Jakarta dan arah politik nasional ke depan. (*)
PDIP Sudah Bagus, Bisa Jelek Lagi
Oleh M Rizal Fadillah | Pemerhati Politik dan Kebangsaan SETELAH di depan publik PDIP berwajah jelek karena menjadikan petugas partainya Jokowi menjadi Walikota, Gubernur dan Presiden yang praktenya ternyata jelek, maka menjadi bagus setelah tidak bersama lagi dengan Jokowi. Lebih menjadi harapan ketika menempatkan diri sebagai oposisi, berlawanan dengan rezim Jokowi. Sekjen Hasto melawan permainan Jokowi. Megawati di belakangnya. Dalam kasus pembantaian Anies Baswedan oleh 12 partai politik, PDIP bermain bagus dan jelek. Bagusnya PDIP mendukung habis Putusan MK 60 dan 70 yang menghidupkan Anies dan mematikan Kaesang. PDIP pun disebut-sebut akan mendukung Anies untuk Gubernur Jakarta. Jeleknya PDIP pasang harga untuk mendukung Anies. Harga politik \"kepatuhan dan ketundukan\". Bahkan mengejek Anies sebagai \"peminta-minta\". Anies Baswedan justru dapat menjadi peruntuh PDIP khususnya di Jakarta walau PDIP diuntungkan oleh Putusan MK 60. Suport bagus karena posisi oposisi PDIP akan berubah kembali menjadi caci maki PDIP dan Megawati jika mengedepankan arogansi apalagi menista Anies sebagai pengemis. PDIP jangan lupa termasuk partai perusak bangsa dan penggerus ideologi. Pemanipulasi Pancasila, wakil dari wajah Orde Lama. Wajah buruk Soekarno. Nasakom, PKI dan Demokrasi Terpimpin. Jika PDIP santun dalam menempatkan potensi Anies Baswedan, apalagi mengusungnya, maka caci maki kepada PDIP dapat diredam. PDIP secara bertahap akan mendapat tempat dan simpati. Adalah cerdas jika bermain Pilkada dengan wajah manis bersama Anies daripada pasang muka cemberut berdasar arogansi. PDIP bakal menjadi musuh rakyat atas dosa politik mengutus petugas partainya sebagai Presiden. Megawati adalah nenek politik Jokowi sekaligus pencipta monster yang bebal dan buta tuli. Ada yang menyebut psikopat. Wajah cemberut, sinis dan arogan tentu kontra-produktif. Rakyat marah bukan hanya kepada Jokowi tetapi juga pada semua perampok, perusak dan pemerkosa kedaulatan rakyat. Tidak terkecuali PDIP dan Megawati.Saatnya bangun simpati bukan antipati. Jakarta merupakan wilayah pertaruhan. Kemenangan PKS yang sia-sia akibat berubah menjadi penjilat rezim, tidak bermanfaat bagi PDIP jika ia bertindak bodoh dan angkuh. Sebentar lagi akan masuk era kesuksesan oposisi dan kehancuran status quo. Ikut hancur kelompok yang tidak berpendirian atau penyelundup politik. Reformasi Jilid 2 sulit dibendung. Apalagi ada spirit Srilangka dan Bangladesh. Indonesia sangat terpicu oleh kesamaan kecurangan pemilu, korupsi dan politik dinasti. PDIP harus konsisten dengan isu simpatik bukan menistakan pimpinan, kelompok dan pendukung perubahan. Megawati jangan seolah-olah berpaket dengan Jokowi. Bakal digilas oleh rakyat yang sudah sangat muak dan jijik dengan kesombongan, kepalsuan dan kerakusan rezim Jokowi. PDIP yang sudah bagus, bisa jelek lagi. Sangat jelek sekali. (*)