OPINI

Politik Kekerabatan, Bukan Monopoli Jokowi

Potik kekerabatan bukan monopoli Jokowi. Megawati Sukarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono sudah menjadi imam dalam hal dinasti.  Hary Tanoesoedibjo pun tanpa merasa risih memasang istri dan selutuh anaknya untuk duduk di kursi Senayan. Oleh: Dimas Huda | Jurnalis Senior FNN  Partai Perindo seakan sudah menjadi kendaraan pribadi keluarga Hary Tanoesoedibjo. Taipan ini mengusung istri dan semua anaknya turut serta berjuang menguasai Senayan.  Istri Hary Tanoe, Liliyana Tanaja Tanoesoedibjo terdaftar sebagai bakal caleg Partai Perindo untuk Dapil Jakarta II dengan nomor urut 1. Anak pertama Hary, Angela H Tanoesoedibjo terdaftar sebagai bakal caleg dari Partai Perindo untuk Dapil Jawa Timur I. Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif itu mendapatkan nomor urut 1.  Anak kedua Hary, Valencia H Tanoesoedibjo tercatat sebagai bakal caleg dari Partai Perindo di Dapil Jakarta III, dengan nomor urut 1. Anak ketiganya, Jessica Tanoesoedibjo terdaftar sebagai bakal caleg di Dapil NTT II, dengan nomor urut 1.  Selanjutnya, anak keempat Hary, Clarissa Tanoesoedibjo sebagai bakal caleg di Dapil Jawa Barat I, dengan nomor urut 2. Adapun anak bungsu Hary, Warren Tanoesoedibjo bakal caleg di Dapil Jawa Tengah I, dengan nomor urut 2.  Hary Tanoesoedibjo juga sendiri terdaftar di Dapil Banten III. Dia mendapatkan urut 1 di antara bakal caleg Perindo lainnya di dapil tersebut.  Fenomena politik kekerabatan tampaknya kian mengental pada Pemilu 2024. Bukan hanya Hary Tanoe yang memboyong keluarganya untuk meramaikan pesta demokrasi tersebut. Fenomena itu terjadi di banyak partai politik. Para bakal caleg keluarga elite partai politik itu jumlahnya sedikitnya hampir 20 orang. Keikutsertaan mereka diketahui setelah KPU RI mengumumkan Daftar Calon Sementara (DCS) Anggota DPR RI pada Agustus lalu. Dalam dokumen tersebut, terdapat 9.919 nama bakal caleg yang diusung 18 partai politik untuk bertarung di 84 daerah pemilihan (dapil).  Tampak lima nama bakal caleg yang merupakan istri atau suami dari elite partai politik. Bahkan, empat di antaranya nyaleg bareng dengan pasangannya.  Himmatul Aliyah, istri dari Sekjen Partai Gerindra Ahmad Muzani, misalnya. Himmatul tercatat sebagai bakal caleg Partai Gerindra untuk Dapil DKI Jakarta II dengan nomor urut 1, sedangkan Muzani sendiri nyaleg di Dapil Lampung I dengan nomor urut 1.  Ada juga Netty Prasetiyani, istri dari Wakil Ketua Majelis Syura PKS yang juga mantan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan (Aher). Netty jadi bakal caleg PKS di Dapil Jawa Barat VIII dengan nomor urut 1, sedangkan Aher berlaga di Dapil Jawa Barat II dengan nomor urut 1.  Lalu ada Erry Ayudhiansyah. Dia adalah suami dari Ketua DPP PKB sekaligus Wakil Gubernur Lampung Chusnunia Chalim. Erry jadi bakal caleg PKB untuk Dapil Banten II dengan nomor urut 1, sedangkan Chusnunia akan bertarung di Dapil Lampung I dengan nomor 1.  Julie Sutrisno Laiskodat tak ketinggalan. Istri dari politikus senior Partai Nasdem sekaligus Gubernur NTT Viktor Laiskodat ini jadi caleg Partai Nasdem untuk Dapil Dapil NTT I dengan nomor urut 1, sedangkan Viktor maju di Dapil NTT II dengan nomor urut 1. Begitu juga Atalia Praratya. Istri Ridwan Kamil, Wakil Ketua Umum Partai Golkar sekaligus Gubernur Jawa Barat ini bakal caleg Partai Golkar di Dapil Jawa Barat I dengan nomor urut 2.  Jika dicermati, termasuk Hary Tanoe, ada delapan bakal caleg DPR yang punya hubungan dengan elite politik sebagai ayah-anak atau nenek-cucu atau paman-keponakan.  Mereka itu misalnya Parananda Surya Paloh. Anak Surya Paloh, Ketua Umum Partai Nasdem ini sebagai bakal caleg nomor urut 1 di Dapil Sumatera Utara I untuk Nasdem. Ada juga Putri Zulkifli Hasan, anak dari Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan. Putri jadi bakal caleg PAN di Dapil Lampung I dengan nomor urut 1.  Lalu, Rivandra Airlangga, putra dari Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto. Rivandra tercatat sebagai bakal caleg Partai Golkar untuk Dapil Jawa Barat V dengan nomor urut 1.  Hisan Anis Matta, putri dari Ketua Umum Partai Gelora Anis Matta juga tak ketinggalan. Hisan jadi bakal caleg Partai Gelora di Dapil Jawa Barat V dengan nomor urut 1.  M Rasyid Rajasa, putra dari Ketua Majelis Penasihat PAN Hatta Rajasa. Rasyid terdaftar sebagai bakal caleg PAN di Dapil Jawa Barat I dengan nomor urut 5.  Erwin Aksa, keponakan dari mantan wakil presiden RI sekaligus mantan Ketua Umum Partai Golkar Jusuf Kalla (JK). Erwin yang kini menduduki posisi Ketua DPP Partai Golkar ternyata maju sebagai bakal caleg di Dapil Jakarta III dengan nomor urut 2.  Rahayu Saraswati, anak dari Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Hasyim Djojohadikusumo sekaligus keponakan dari Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto yang kini memegang jabatan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra maju sebagai bakal caleg di Dapil Jakarta III dengan nomor urut 1.    Diah Pikantan O Putri Hapran juga begitu. Pikantan merupakan anak dari Ketua DPP PDIP sekaligus Ketua DPR Puan Maharani. Dia tentu cucu dari Ketua Umum PDIP sekaligus mantan presiden RI Megawati Soekarnoputri. Pikantan jadi bakal caleg dari partai berlogo banteng itu di Dapil Jawa Tengah IV dengan nomor urut 1.  Merusak Demokrasi Fenomena keluarga elite partai politik menjadi bakal caleg ini merupakan bentuk politik kekerabatan. Fenomena ini disebut merusak demokrasi dari banyak sisi.  \"Jaringan politik kekerabatan ini sulit diketahui oleh masyarakat, padahal itu dampaknya buruk, merusak demokrasi kita,\" kata Lucius Karus, Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi). Pada umumnya caleg-caleg kekerabatan ini menjadi caleg dengan menempuh jalan pintas, yakni mengandalkan kedekatan dengan elite partai. Mereka biasanya mendaftar di hari terakhir pendaftaran dan tidak mengikuti tahapan kaderisasi seperti anggota partai lainnya. Itu sebabnya, fenomena politik kekerabatan merusak proses kaderisasi partai karena kader-kader potensial yang sudah mengikuti tahapan kaderisasi, bahkan mungkin pencalonan, terhalang langkahnya menjadi caleg karena harus mengalah dengan keluarga elite partai. Kalaupun bisa menjadi caleg, para kader tetap saja harus merelakan nomor urut kecil apabila terdaftar di dapil yang sama dengan keluarga bos partai.  Politik kekerabatan atau politik dinasti ini terjadi karena regulasi pemilu tidak melarang hal tersebut. Praktik tersebut semakin subur akibat adanya \"oligarki partai\" alias segelintir orang yang punya kuasa penuh menentukan kebijakan partai.  \"Jadi saya kira (fenomena politik kekerabatan ini) berbanding lurus dengan faktor partai politik kita yang masih dikuasai oligarki. Jadi politik dinasti itu sudah menjadi satu hal yang tak terelakkan,\" kata Lucius. Elit Pemangsa Dinasti politik adalah fenomena yang terjadi setiap pemilu. Para pembuat undang-undang pun tak pernah membuat rekomendasi atau memastikan agar dinasti politik tak terjadi lagi. Tengok saja trah Yudhoyono yang maju melalui Partai Demokrat. Trah ini dinahkodai oleh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Rombongan keluarga yang maju caleg ini adalah akibat kepengurusan dan keanggotaan partai politik yang memberi keistimewaan pada kader yang dekat dengan ketua umum. Hal ini agar praktik menyimpang bisa dikendalikan. “Ini semua bisa dijelaskan karena oligarki partai yang belum juga berubah. Jadi politik dinasti itu sudah menjadi satu hal yang tak terelakkan,” ujar Lucius. Politik dinasti sebenarnya bukan sistem yang tepat diterapkan negara yang demokratis. Pasalnya, setiap warga negara memiliki hak suara yang harus dijamin dan dipenuhi. Selain itu, politik dinasti juga mampu menyuburkan budaya korupsi dan kecenderungan mempertahankan kekuasaan. Banyak studi membuktikan bahwa sejak awal terjadi pembajakan terhadap lembaga-lembaga dan prosedur Demokrasi, dan ini menjadikan demokratisasi Indonesia berwatak sangat elitis.  Robison & Hadiz (2004) melakukan studi yang menggaris-bawahi bahwa elit predatorial (elit pemangsa rakyat) lama yang berbasis partai-partai politik menguasai panggung politik.  Mereka melakukan reorganisasi kekuasaan mengikuti logika politik kartel, yaitu politik kartel digambarkan sebagai situasi manakala partai-partai politik secara bersama-sama mengabaikan komitmen ideologis dan programnya agar tetap bisa bertahan di lingkar kekuasaan dengan memilih bergabung dengan pemerintahan baru pasca pemilu. Sebagai imbalan atas dukungan yang diberikan mereka berbagi pos-pos jabatan di pemerintahan. Politik kartel pada gilirannya membentuk pemerintahan berwatak oligarkis. Oligarki merupakan mekanisme pemusatan kekuasaan pada segelintir elit berkuasa yang menekankan pada kekuatan sumber daya material (kekayaan) sebagai basis mempertahanan kekuasaan sekaligus kekayaan pada diri elit. Sementara plutokrasi mirip dengan oligarki. Namun, plutokrasi terjadi tatkala tercipta suatu kondisi ekstrem ketimpangan sumber daya antara “kaya”dan “miskin” di dalam suatu negara.  Plutokrat (penguasa dalam plutokrasi) tidak hanya menguasai sumber ekonomi dan politik, melainkan juga sumber daya kekerasan (pasukan, senjata, teknologi). Dan ini menjadi basis bagi munculnya oligarki. Akan tetapi ada studi lain yang dilakukan Hee-Yeon Cho (2008) melihat bahwa“demokrasi oligarkis” Indonesia berangsur-angsur berubah menjadi “oligarki demokratis. ”Inilah sejenis oligarki yang ingin mempertahankan kekayaan–sekaligus merebut kekuasaan–melalui kompetisi electoral (melalui pemilu) yang berwatak elitis. Sehingga, bukan politik demokrasi yang berlangsung di Indonesia, tapi politik oligarki. Sementara itu Winters (2014) juga menegaskan kenyataan serupa, bahwa elemen penting neo Orde Baru adalah kaum oligark (elit berwatak oligarkis) yang tak ikut lenyap bersama tumbangnya Soeharto.  Kaum oligark yang dulu berada di bawah kendali mutlak Soeharto kini sedang berebut posisi di puncak kekuasaan. Oligark sultanistik di zaman Orde Baru terpusat di Cendana, sedangkan oligark pasca Orde Baru menyebar ke dalam banyak kutub persaingan kaum elit.  Metode otoritarian Orde Baru membuat oligarki bisa dikuasai seorang diktator, sedangkan “demokratisasi” pasca Orde Baru membuat para oligark bersaing melalui mekanisme kompetisi electoral. Sehingga Winters ingin menegaskan bahwa oligarki dan demokrasi saling menunggangi.   

Selamatkan Kapal!

Oleh Yudi Latif | Pemikir Saudaraku, saat menumpang bahtera Republik yang limbung, jernihkan pikir dan ingatlah pesan Kartini. \"Andaikata aku anak laki-laki, aku tak akan berpikir dua kali, untuk segera menjadi pelaut...Kami tak lagi ingin berlayar di atas kapal yang sedang tenggelam; Keberanian tangan yang memegang kemudi, dan memompa kebocoran, tentulah telah dapat menyelamatkan kita dari kehancuran.\" Negeri ini tak bisa dikatakan baik-baik saja. Secara jasmaniah bangsa ini tumbuh. Namun, di seantero negeri kualitas pikir mundur, karakter tumpur. Gerak politik kita ke masa depan sekadar mengikuti irama rutinitas. Tak ada kejelasan visi, peta jalan, dan haluan. Tak terbangun keandalan tata nilai, tata kelola dan tata sejahtera. Setiap saat, kapal republik bisa dicegat dan dibelokkan arahnya. Kita tak bisa terus menunggu. Kita biarkan bangsa ini hancur atau bangkit bertempur. Tanpa keberanian tangan-tangan yang turut meluruskan haluan kapal, kita akan tertinggal kecepatan retakan yang bisa merobohkan keutuhan negeri. Engkau saksikan sendiri, elit negeri beradu siasat dengan melihat segala sesuatu dari sudut bayangan kepentingan masing-masing. Rakyat kebanyakan hidup tanpa perlindungan berarti dari negara, bak yatim piatu yang ditinggalkan, dikhianati, dan dikorbankan.  Dalam kondisi kerakyatan yatim piatu, bahaya terbesar muncul dari pola pikir ketergantungan dan mentalitas korban yang serba pasif, menanti kedatangan sang juru selamat. Warga harus bangkit bertempur, menghidupkan etos kepahlawanan dalam dirinya. Dengan menghidupkan jiwa pejuang, warga bisa menjalani kehidupan lebih gigih dan bertenaga, tak lembek membiarkan kejahatan dan pengkhianatan berjalan tanpa perlawanan. Aktif terlibat dalam tarian kehidupan, tak sekadar penonton yang pandainya cuma berteriak, mengumpat, dan mengeluh. Saatnya kita jadikan kepahlawanan sebagai sesuatu yg hidup di dalam diri, sekarang dan di sini. Seraya tak lupa munajat dan tawakal kepada Sang Maha Penolong. ”Ya Tuhan, lautan di Tanah Air ini luas dan ombaknya ganas menerjang. Bahtera kami oleng, sedang nakhoda dan awak kapal mencari selamat sendiri. Tolong, selamatkan kami!\" (Belajar Merunduk, Yudi Latif)

Silent Majority Mendukung Anies Baswedan

Oleh Tony Rosyid | Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa ANIES Baswedan, tokoh ini menjadi pembeda diantara dua capres lainnya. Jika Prabowo dan Ganjar berasal dari koalisi kekuasaan, Anies Baswedan tampil secara konsisten di pihak oposisi. Anies mengusung \"spirit perubahan\" yang tidak mungkin tema ini dinarasikan oleh kedua capres lainnya. Dengan tema \"perubahan\" Anies leluasa mengoreksi kepemimpinan sebelumnya. Tidak berarti semua salah. Tapi akan ada banyak yang perlu dikoreksi dan Anies punya ruang untuk menawarkan gagasan-gagasan dan program-program yang baru dan lebih segar. Sesuatu yang baru akan ditunggu dan lebih diminati rakyat. Dari peran ini, logikanya, dukungan rakyat terhadap Anies Baswedan akan sangat besar. Karena hadirnya Anies yang fresh ini diinginkan oleh mayoritas rakyat. Indikator yang bisa menjelaskan logika ini adalah pertama, lahirnya ratusan simpul-simpul relawan yang secara sukarela melakukan kerja-kerja politik buat Anies Baswedan. Kedua, adanya gelombang massa yang selalu bergerak ke setiap acara yang dihadiri Anies. Dua indikator ini cukup menjelaskan silent mojority yang punya harapan besar terhadap Anis Baswedan untuk memimpin negeri ini kedepan. Ekspektasi kepada Anies makin besar ketika keadaan rakyat pada hari ini sedang sangat memprihatinkan. Survei yang dilakukan Polmark di 32 provinsi (di luar 6 provinsi di Papua) dengan 38.400 responden dan margin of error 0,51% mengungkapkan fakta yang menuntut munculnya seorang pemimpin baru yang mampu melakukan perbaikan. Fakta itu adalah bahwa 92,6% rakyat merasakan harga bahan pokok naik dan tidak terjangkau. 98,5% rakyat merasa bahwa korupsi yang masif saat ini telah mengakibatkan kehidupan rakyat semakin sulit. 89,5% rakyat juga merasakan kesulitan mencari lapangan pekerjaan. 80,3% rakyat merasa bahwa layanan kesehatan tidak merata untuk bisa dinikmati oleh masyarakat miskin. 76,6% mengatakan bahwa infrastruktur telah berkembang tapi belum mampu meperbaiki kehidupan rakyat. Polmark juga mengungkapkan temuan bahwa 65,5% rakyat mengalami penurunan pendapatan. 49,6% mengalami kekacauan ekonomi. 29,6% rakyat kehilangan pendapatan. Fakta ini memberi karpet merah buat Anies Baswedan untuk menjawab tantangan terutama terkait kesulitan ekonomi dan sempitnya lapangan pekerjaan yang sedang dialami oleh mayoritas rakyat. Logikanya, rakyat tidak banyak bisa berharap kepada Prabowo dan Ganjar yang notebene adalah bagian dari kekuasaan. Apalagi Jawa Tengah misalnya, adalah provinsi di wilayah Jawa dengan tingkat kemiskinan terparah setelah Jogja. Apa yang bisa diharapkan untuk menyelesaikan kesulitan ekonomi yang dialami rakyat saat ini. Ini akan menyulitkan bagi Ganjar untuk mengangkat tema kesejahteraan. Tema kesejahteraan juga akan sulit dinarasikan oleh Prabowo, karena terbentur oleh program food state yang gagal. Meski begitu, tidak serta merta bagi Anies Baswedan, dan juga Muhaimin Iskandar untuk dengan mudah mengambil suara rakyat yang sedang sekarat ini. Setidaknya ada dua tantangan yang akan dihadapi Anies-Muhaimin. Pertama, potensi abuse of power. Penyalahgunaan kekuasaan. Penggunaan instrumen (alat) negara dan kecurangan menjadi hal yang laten terjadi pada setiap pemilu. Pemilu 2019, Prabowo jadi korban. Saat ini, Prabowo telah menjadi bagian dari kekuasaan. Dari tiga capres, hanya Anies Baswedan yang berada di luar kekuasaan. Kedua, money politics. Di tengah intimidasi terhadap para donatur (penyumbang relawan) Anies, lawan politik sedang menghambur-hamburkan uang. Dua lawan politik Anies memiliki logistik yang relatif tidak terbatas. Fakta di lapangan, pemilu sering dipersepsikan sebagai masa panen bagi banyak tokoh, agamawan, dan sebagian aktifis untuk mengumpulkan pundi-pundi kekayaan. Tidak sedikit yang bersikap pragmatis. Aji mumpung. Idealisme hilang, nasib masa depan bangsa absen dari memori yang ada di kepala dan nurani banyak tokoh dan agamawan. \"Berapa anda dikasih Anies Baswedan? Kami siapkan mobil dan dana operasional sekian.\" Ini adalah kalimat yang sering kita dengar dari tim lawan Anies. Otomatis akan selalu menggoda iman dan konsistensi para tokoh dan agamawan yang berada di kubu Anies. Karena sering kita dengar, maka anda akan mudah mengeceknya. Apakah Anies dengan keterbatasan logistik akan tetap mampu menjaga simpati rakyat di tengah praktek abuse of power dan money politic yang semakin masif? Di sinilah kemampuan tim Anies-Muhaimin akan diuji dalam mengkonsolidasikan suara dari silent majority tersebut. Jakarta, 1 November 2023

Membaca Psikologis dan Gestur Politik Jokowi Hari Ini

Oleh Dr. Anton Permana | Direktur TDM Institute DALAM piramida teori Maslow, power dan kendali adalah puncak tertinggi dari ambisi dan tingkat kebutuhan manusia setelah kebutuhan biologis, psikologis, popularitas (pengaruh), power kekuasaan, dan King Maker. Jadi wajar, ketika seseorang yang menjabat sebuah jabatan tertinggi di sebuah pemerintahan (nagara) maupun organisasi, ketika mau turun habis masa jabatannya akan mengalami apa yang disebut “Post power syndrom”. Dan ini lazim menimpa siapapun manusianya. Gejala post power syndrom ini, dalam teori kekuasaan menimbulkan berbagai macam dampak tergantung situasi, lingkungan, dan watak figur tokohnya. Ada yang soft landing dan happy landing, menjadi warga negara biasa yang kemudian aktif di lembaga charity dan keagamaan. Ada juga yang paranoid, gelisah, grasa-grusu hingga cawe-cawe karena mungkin tidak siap dengan kondisi politik yang terjadi. Begitu juga yang dapat kita lihat dari seorang Jokowi dalam beberapa bulan terakhir ini. Bagaimana manuver dan gestur politiknya cukup membuat “kaget” banyak pihak, khususnya pihak pendukung utama seperti PDIP dan para pendukung koalisi lainnya baik partai maupun non-partai. Puncaknya adalah terkait putusan kontroversial MK yang secara vulgar memberi karpet merah buat anaknya Gibran Rakabuming untuk menjadi Bacawapres Prabowo Subianto. Yang saat ini sudah terdaftar sebagai Bacapres-Bacawapres didukung Partai Gerindra, Golkar, Gelora, PBB, dan PSI. Sontak, langkah kuda politik Jokowi ini membuat sebahagian ada yang marah, kesel, geram, bahkan ada juga yang tepuk tangan dan tersenyum menang. Kenapa Jokowi bisa berubah seperti itu ? Memilih koalisi baru dan meninggalkan parpol dan orang-orang yang menjadikannya Presiden ? Mari kita baca analisa di bawah ini : 1. Saat ini, jangan sekali-kali coba ganggu, hambat, bahkan menyerang Jokowi. Pasti akan berimbas fatal. Karena secara psikologis dan gestur politiknya, saat ini Jokowi sedang berada di puncak kekuasaan dan di puncak kepercayaan diri yang sangat tinggi. Pedang kekuasaan Jokowi sedang terhunus dari sarungnya dan mengkilap tajam. Semua lini kekuasaan sudah di bawah kendali Jokowi. Terutama TNI-POLRI (khususnya Polri yang menjadi stabilisator kekuatan utama Jokowi). KPK, BIN, MK, MA, dan kekuatan pihak legislatif pun tiarap menyelamatkan diri masing-masing. Rekam jejak mereka semua sudah masuk dalam “permainan” peta konflik kekuasaan. Karena hampir semua lini sendi kekuasaan tersandera kasus. Seperti ungkapan Hasto Sekjen PDIP, dengan istilah “kartu truf”. Artinya, saat ini Jokowi dalam kondisi siaga tempur, dengan siapa saja yang coba-coba menggangu kepentingan dan agenda politiknya kedepan. 2. Point nomor 1 di atas terjadi karena ada analisis gestur yang menyatakan bahwa ; saat ini Jokowi seakan ingin menyatakan kepada semua pihak bahwa dirinya adalah “The real President”. Beliau saat ini adalah “The real King Maker” yang memegang kendali politik di Indonesia saat ini secara tunggal dan powerful. Analisis ini lebih diperkuat lagi dengan drama makan siang bersama para kandidat Capres di Istana negara. Show of Force ini sangat perlu Jokowi lakukan untuk membantah bahwa dirinya selama ini adalah boneka politik. Untuk membalik anggapan bahwa dirinya hanya seorang “petugas partai” dan bisanya hanya planga-plongo. Semua stigma dan anggapan ini yang secara gestur politik Jokowi ingin balik 180 derjat. Bahkan seorang Ketua Umum PDIP Megawati pun, yang notabone nya adalah partai terbesar dan utama pendukung pemerintah, Jokowi tinggalkan. The Queen Maker dan julukan wanita terkuat di dunia saat ini, dibuat tak berdaya dan kebingungan oleh manuver politik Jokowi. Atau ada juga pendapat (second opinion) atau anekdot yang mengatakan, “Jokowi itu baru tersadar dirinya itu adalah Presiden satu tahun belakangan ini. Makanya, terjadi perubahan prilaku Jokowi yang sebelumnya banyak nurut dan humbble sekarang menjadi “berdarah dingin” bahkan kepada sesama koalisinya sendiri”. 3. Secara geopolitik global dan regional, Jokowi juga seakan memberikan sinyal kepada kekuatan elit global dan para oligarkhi dunia. Bahwa, kalau punya kepentingan terhadap Indonesia saat ini, hanya ada satu penguasa tunggal bernama Jokowi. Lawatan Jokowi ke China bertemu Jin Ping dan ke Arab Saudi minggu kemaren, juga memberikan sinyal kepada kita bahwa, dua sumber logistik supporting politik kekuatan global sudah “disabotase” Jokowi. Siapa tahu kalau dalam pertemuan tersebut, bisa saja Jokowi memanfaatkannya untuk mendapatkan dukungan politik dan finansial buat pasangan kandidat Prabowo dan anaknya Gibran. Karena secara narasi politik, dimata dunia internasional, bersatunya Prabowo dan Gibran sebagai reseprentasi Jokowi sangat positif di mata elit global. Sangat berbeda dengan opini dan tanggapan rakyat Indonesia yang sangat kontroversial. Lalu bisa jadi juga, lawatan Jokowi memblokade dukungan China ke Ganjar dan dukungan dunia Arab ke Anies Baswedan, dan mengalihkannya ke pasangan Prabowo-Gibran. Ini baru dugaan bisa salah dan juga bisa benar. Namun dalam dunia politik ini lazim terjadi. 4. Ada opini yang beredar bahwa, konflik antara Mega Vs Jokowi adalah drama politik semata. Namun, bagi yang punya akses informasi ke dalam ring 1 pusaran kekuasaan, opini tersebut mudah terbantahkan. Karena, konflik antara Megawati Vs Jokowi ini adalah perebutan akan siapa yang menjadi pemegang kendali politik nasional di Indonesia saat ini. The Queen Maker (Megawati) vs The King Maker (Jokowi) ? Dan titik konflik mulai meretak itu adalah sejak Megawati mengumumkan secara sepihak Ganjar sebagai Capres PDIP tanpa melibatkan Jokowi. Di sini Megawati ingin memperlihatkan bahwa dirinyalah yang memegang kendali politik, namun di satu sisi Jokowi yang jelas sebagai Presiden tentu tak ingin di akhir masa jabatannya berlalu begitu saja. Jokowi tentu mempunyai kepentingan untuk menjamin keamanan masa depan diri dan keluarganya. Dan Jokowi tentu perlu memastikan bahwa yang akan menjabat Presiden selanjutnya adalah yang bisa mengamankan nasib keluarganya dan “utang” politiknya terhadap China seperti pembangunan IKN dan beberapa Proyek Strategis Nasional (PSN) lainnya. Apalagi konflik antara mereka berdua sudah merebak lama. Di satu sisi Megawati merasa Jokowi lebih melayani dan memberikan keuntungan manfaat kepada kelompok bisnisnya seperti LBP Cs, tapi di satu sisi Jokowi juga terlalu didikte dan merasa direndahkan dengan ungkapan-ungakapn “Petugas Partai” dan “Jokowi bukanlah siapa-siapa kalau tak ada PDIP..” dari Megawati. Ini sesuai penjelasan tokoh senior PDIP bung Panda Nababan dalam sebuah Podcastnya. Artinya adalah, konflik antara Megawati dan Jokowi sangat serius. Awalnya mungkin hanya sekedar “psywar” saja. Keinginan Jokowi ingin memperpanjang masa jabatan Presiden, Megawati menolak. Lalu Jokowi ingin memasangkan Prabowo-Ganjar biar cukup dua pasang dan akan mudah menang, Megawati juga menolak. Barulah Jokowi melalui tangan-tangannya manuver menjadikan Kaesang ketua PSI, dan Gibran dimajukan jadi Cawapres dari Golkar.  Apa ada kemungkinan mereka akan rujuk kembali? Wallahu’alam. Namanya politik, semua hal bisa terjadi. Karena yang abadi itu hanya kepentingan. 5. Dengan sudah mendaftarkannya  Prabowo-Gibran ke KPU, Kaesang sudah jadi ketua PSI. Apa mungkin Jokowi mengambil langkah ini tanpa persiapan? Tanpa keyakinan untuk menang? Tanpa menggunakan kekuasaannya untuk menang? Putusan MK, perlawanan Jokowi terhadap PDIP dan Megawati memberikan sinyal kepada kita bahwa, seorang Jokowi “pasti” sudah mempersiapkan semuanya dengan rapi dan berlapis. Apalagi dengan kekuasaan presidensial yang ada ditanggannya saat ini, Jokowi ibarat sudah menjelma menjadi Pendekar Sakti Mandraguna. Karena memegang senjata pusaka bernama “kekuasaan”. Prabowo saja yang dahulu adalah musuh bebuyutannya sekarang sudah tunduk dan berada di bawah ketiak kekuasaannya. PDIP sebagai partai penguasapun sudah dicabut taringnya dan sibuk meratapi nasibnya. Para kelompok oposisi seperti IB HRS, Munarman, kelompok KAMI (termasuk saya) sudah selesai dipenjarakannya. Berbagai macam Ormas besar juga sudah dikuasai atau minimal dipecah belah menjadi dua bahagian. Untuk KPU, Bawaslu, TNI, Kapolri, KPUD, hingga Pj Kepala Daerah, semua dilantik atas kuasa Jokowi. Media dan Lembaga Survey pun saat ini ibarat sudah menjadi tim sorak sorai Jokowi. Kesimpulannya adalah ; hampir semua lini sudah dikuasai dan dikendalikan Jokowi. Secara kalkulasi tempur Jokowi sudah di atas angin. Makanya kita bisa melihat Prabowo begitu percaya diri dan energik. Dan begitu yakin Pilpres akan dimenangkan satu putaran saja. Namun apakah politik akan berjalan on the track sesuai skenario yang sudah dibangun ? Wallahu’alam. Bisa saja berjalan mulus dan lancar, tapi bisa juga terjadi extraordinary case. Kejadian luar biasa yang merubah segalanya. Dalam politik, hal itu biasa saja. Seperti contoh terdekat adalah Pilkada DKI 2017. Siapa sangka Ahok akan terjungkal kalah oleh Anies Baswedan. Padahal semua lini sudah dikuasai dan kendalikan penguasa saat itu. Nah sekarang, jagoan Jokowi “Prabowo-Gibran” mempunyai dua pasang kandidat lawan yang tidak bisa dianggap remeh. Ganjar-Mahfud yang didukung PDIP, dan AMIN yang diusung Nasdem-PKS-PKB. Dua pasang kandidat ini secara basis massa, sama2 menpunyai basis masa ideologis dan militan. Ganjar Mahfud dengan basis massa kiri, dan AMIN dengan basis massa Kanan. Kita akan lihat bagaimana Jokowi memainkan Pilpres dan Pemilu hari ini. Yang jelas, Jokowi pasti tidak akan main-main dengan hasil Pilpres mendatang. Minimal, Jokowi pasang orang-orangnya di tiga pasang kandidat ini. Meskipun yang utama tetap ada pada pasangan Prabowo-Gibran. Cuma harapan kita sebagai masyarakat adalah ; Siapapun yang akan terpilih dan menang nantinya adalah memang benar murni dari hasil pilihan rakyat. Bukan hasil rekayasa mesin Situng, rekapitulasi bodong PPK, ataupun C1 siluman. Karena, kecurangan hanya akan menghasilkan kegaduhan. Dan untuk itulah kita mengetuk pintu hati para penyelenggara Pemilu dan Pilpres, mulai dari KPPS, PPK, KPUD, KPU, Bawaslu, MK, TNI dan Polri hingga ASN dan BUMN untuk NETRAL. Tidak berpihak apalagi ikut “cawe-cawe” memenangkan satu pasangan kandidat tertentu. Karena hal itu akan merusak demokrasi dan menjerumuskan nasib bangsa kita menuju jurang kehancuran. Karena penguasa yang terpilih dari kecurangan hanya akan mendatangkan malapetaka dan kerusakan. Wallahu’alam. Batam, 01 November 2023.

Makan Siang di Istana: Anies Head To Head Dengan Jokowi

Oleh Asyari Usman | Jurnalis Senior  Di sebelah kanan Jokowi ada Ganjar Pranowo. Di sebelah kiri ada Prabowo Subianto. Di depan Jokowi duduk Anies Baswedan. Inilah posisi di meja makan siang di Istana pada hari Senin kemarin (30/10/2023). Entah siapa yang mengatur posisi duduk ini. Dan kemudian posisi ketiga capres sewaktu mereka secara bersama menyampaikan penjelasan pers setelah makan siang itu. Saya tidak ahli tafsir bahasa tubuh atau body language. Tetapi, posisi duduk makan siang ketiga capres 2024 atas undangan Jokowi itu sangat menarik untuk dibaca dalam konteks kompetisi pilpres saat ini. Bagi saya, Prabowo dan Ganjar di kiri-kanan Jokowi menyiratkan banyak makna. Pertama, Prabowo dan Ganjar sangat dekat dengan Jokowi. Kedua, mereka bertiga ada di satu kubu. Ketiga, Anies adalah tamu mereka bertiga. Keempat, Anies paling jauh jaraknya dari Jokowi.  Itu makna negatifnya. Tapi ada pula makna-makna positif. Pertama, Anies tidak kecut menghadapi ketiga lawan politiknya itu. Kedua, Anies menjadi “distinctive” alias beda sendiri dalam arti memiliki karisma dan aura sebagai bintang di meja makan. Ketiga, Anies seperti “keynote speaker” di situ. Alias, orang yang ditunggu kata-katanya. Yang juga sangat menarik adalah momen ketika ketiga capres berdiri di depan awak media yang menunggu mereka keluar. Di sini pun banyak bahasa tubuh yang secara natural membuat Anies menjadi pusat perhatian. Pertama, ketika mereka secara bergantian menyampaikan komentar tentang makan siang itu kepada para wartawan. Mereka dalam posisi berdiri di podium. Prabowo pertama kemudian Anies. Setelah itu Ganjar. Dalam urutan ini, Anies berada di tengah. Selesai menyampaikan komentar, ketiga capres diminta berpegangan tangan. Alam mengatur Anies lagi-lagi berada di tengah. Di sebelah kanan Prabowo, di sebelah kiri Ganjar. Kembali ke meja makan, Anies berjarak paling jauh dengan Jokowi tetapi berhadap-hadapan diametral dengan Anies. Asli head to head. Faktanya, Anies memang tidak punya kaitan apa pun dengan Jokowi dalam proses pilpres ini. Tidak didukung Jokowi. Bahkan dimusuhi habis-habisan. Berkali-kali Jokowi gagal menjegal Anies.  Dalam situasi sendirian di meja makan itulah Anies menyampaikan dengan santun tapi tegas agar Jokowi netral. Tidak mudah menyampaikan ini secara spontan dan tanpa beban.  Upper cut pertama ke wajah Jokowi. Pesan netralitaa itu mengisyaratkan bahwa Jokowi tidak netral. Anies tidak takut mengucapkan itu di depan Jokowi langsung. Secara keseluruhan, makan siang di Istana itu berhasil dijadikan Anies sebagai tempat untuk menunjukkan bahwa Jokowi adalah manusia biasa. Anies tidak punya beban. Dia bersikap dan berbicara normal saja.  Anies tidak datang sebagai pengemis dukungan. Beda dengan Prabowo dan Ganjar.[]

The Queen of Lip Service

Oleh M Rizal Fadillah | Pemerhati Politik dan Kebangsaan BEBERAPA waktu yang lalu BEM UI memberi gelar kepada Presiden Jokowi sebagai The King of Lip Service karena Jokowi ini berkarakter banyak janji atau program tetapi minim pelaksanaan. Bahasa gaulnya \"omdo\" omong doang atau omong dodol. Basa-basi alias bohong melulu. Sayangnya sang Raja tidak memiliki rasa bersalah, mungkin meyakini bahwa bohong adalah bagian dari \"service\". Baru dalam sejarah ketatanegaraan kita ada Presiden bergelar sedahsyat ini. Apalagi di mata mahasiswa, generasi penerus masa depan bangsa. Meski kadang berlebihan dalam semangat tetapi di kampus mereka dididik untuk berfikir akademis baik kritis, obyektif, analitis maupun sistematis. Mahasiswa terdidik untuk tidak suka pada basa basi atau perilaku munafik.  Lip service adalah bentuk dari kemunafikan. Tidak mau dan tidak mampu bersikap konsisten atau konsekuen. Gelar mahasiswa kepada Jokowi sama saja dengan deklarasi bahwa Jokowi adalah pemimpin munafik. Sesuatu yang semestinya menjadi perilaku yang tidak boleh melekat pada seorang pemimpin, apalagi sebagai Presiden. Putusan MK No 90/PUU-XXI/2023 yang meloloskan Gibran untuk Cawapres adalah sukses Jokowi. Memperkuat dukungan Jokowi kepada pasangan Prabowo-Gibran. Meneguhkan pelarian Jokowi dan Gibran dari PDIP. Dan tentu hal ini wajar membuat Megawati dan PDIP panas hati. Jokowi tidak balas budi walau dengan seribu narasi termasuk bermain di tiga kaki.  Punggawa PDIP mulai mengkritisi Putusan MK hasil rekayasa Jokowi. Ada Hasto, Masinton, Beathor dan lainnya. Megawati mengatur ritme. Namun rakyat melihat sikap PDIP belum berkulminasi terapi baru tahap eskalasi. Ada kekhawatiran publik reaksi itu hanya menjadi bagian dari babak sebuah sandiwara. Sementara rakyat  ditempatkan sebagai penonton yang sedang dibodohi.  Megawati dan PDIP harus menunjukkan bukti bahwa mereka sungguh-sungguh untuk menjaga marwah. Permainan vulgar Jokowi tidak boleh dibiarkan.  Megawati harus memecat Gibran sebagai tahap awal. Konsisten dengan pemecatan Budiman Sudjatmiko. Berikutnya Jokowi sebagai \"biang keladi\" harus diberi sanksi organisasi. Dipecat dari keanggotaan PDIP. Megawati harus berani. Janganlah bersikap seperti tayangan video di medsos dimana seekor banteng lari terbirit-birit ketakutan dihampiri oleh manusia berkostum kodok berwarna merah.  Bila Megawati tidak berani bertindak maka asumsi publik tentang sandiwara memang terbukti. Jika dahulu Jokowi diberi predikat sebagai \"The King of Lip Service\" maka jangan-jangan Megawati kini digelari oleh banyak komunitas sebagai \"The Queen of Lip Service\". Artinya Jokowi dan Megawati sama saja. Menurut  \"Bang Eddy Channel\" cuma bisa \"banyak cingcong\". Arah politik bangsa ke depan membutuhkan figur yang memiliki sikap politik jujur, berani, adil dan obyektif. Jokowi adalah akar dari problema bangsa yang harus segera dieliminasi. Tukang sandera yang tidak layak untuk terus berkuasa. Mesti dibuat rungkad.  Megawati dan PDIP bisa memulai untuk itu.  Saat ini Jokowi sedang nekad cawe-cawe memainkan boneka Gibran dengan mengelus-elus Prabowo. Tidak peduli lagi pada teriakan rakyat atau serudukan banteng.  Kata mahasiswa hanya ada satu kata \"lawan !\". Kata aktivis dan oposisi: \"makzulkan !\" Kata rakyat secara serempak : \"penjarakan !\" Jokowi memang harus berhenti sampai sini. Agar tidak terus menerus melakukan kerusakan di muka bumi.  Bumi pertiwi telah habis dicuri dan digagahi oleh Jokowi, kroni dan oligarki.  Bandung, 1 November 2023.

Dinasti Politik: Bermula dari The Godfather Membagi-bagi Kekayaan Alam

Sistem oligarki pertama kali muncul di Indonesia pada tahun 1970 yang dibangun oleh Soeharto. Untuk memimpin sistem oligarki yang dibentuknya, Soeharto berlagak layaknya seorang The Godfather yang membagi-bagi kekayaan alam Indonesia pada kelompok-kelompok tertentu. Oleh Dimas Huda | Jurnalis Senior FNN Beberapa negara yang menganut sistem pemerintahan demokrasi terjebak oligarki dan menjadi akar bagi terciptanya oligarki, termasuk di Indonesia. Salah satu institusi yang turut berperan adalah partai politik. Pertanyaan yang kemudian kerap mengusik adalah bagaimana sebuah institusi demokrasi seperti partai bisa terjebak dalam lingkaran oligarki?  Kepala Puslit Politik LIPI, Firman Noo, menyebut di Indonesia keterjebakan itu disebabkan oleh beberapa hal antara lain.  Pertama, Ketua Umum sebagai figur utama atau elite partai yang menjadi penentu. \"Orang-orang kuat\" ini muncul sebagai reprensentasi ideologis atau historis.  Pada umumnya, di Indonesia saat ini,  partai tidak bersifat ideologis. Figuritas di kebanyakan partai disebabkan karena faktor sejarah terbentuknya partai atau sebuah \"moment historis\" yang menyebabkan seorang figur menjadi mencuat ke permukaan dan mendapat dukungan luas. Figur-figur memainkan peran kesejarahan partai itu menyebabkan penghormatan, yang akhirnya kerap berlebihan sehingga keberadaannya berikut inner circle di dalamnya sangat kokoh.  Partai-partai yang sejak awal diinisiasi, dibentuk, dan dijalankan oleh tokoh penentu, yang biasanya kemudian sebagai pimpinan partai, cenderung berpotensi mengalami oligarkis. Keberadaan figur ini, di satu sisi mampu menghadirkan stabilitas partai. Namun, di sisi lain juga berpotensi besar menghadirkan model pengaturan dan tata kelola partai yang sentralistik. Kedua, aspek historis ataupun ideologis. Kehadiran para figur penentu yang melahirkan oligarki juga disebabkan adanya ketergantungan finansial partai pada sumber-sumber keuangan dimiliki figur.  Colin Crouch (2004) menggunakan istilah \"firma politik\" untuk menggambarkan ketergantungan finansial dan merembet pada struktur pembentukan partai yang pada akhirnya bagaimana partai dikelola.  Situasi ini diperkuat oleh kondisi pragmatisme semakin kental saat ini karena money talks yang menyebabkan figur-figur kuat secara finansial akan bisa berperan amat besar. Dulu almarhum Cak Nur atau Nurcholish Majid pernah menyinggung faktor ini dengan istilah kepemilikan \"gizi\".  Situasi ini sangat terasa terutama pada partai-partai yang tidak berorientasi values atau ideologi dalam aktivitasnya. Akibatnya, jaringan (networking ), konstelasi, ataupun kontestasi internal yang terbentuk saat ini lebih dipengaruhi oleh faktor kekuatan material-finansial. Ketiga, pelembagaan partai yang belum sempurna. Pelembagaan partai itu sendiri singkatnya adalah sebuah kondisi ketika sistem yang dibangun partai dan segenap aturan main dihargai serta dijalankan secara konsisten selain terbangunnya pola sikap dan budaya dalam partai. Namun, yang terjadi saat ini pelembagaan masih berjalan stagnan bahkan mengalami regresi. Sistem dan aturan kerap ditafsirkan untuk kemudian disesuaikan demi kepentingan elite dan jaringan oligarkinya. Dalam momen-momen tertentu, pelaksanaan musyawarah menjadi semu. Keputusan partai kerap diambil sepihak. Sementara hukuman bagi mereka yang membangkang atau dianggap tidak loyal bisa diputuskan secara cepat, tanpa harus melalui tahapan-tahapan pemeriksaan. Turunan dari lemahnya kelembagaan adalah proses kaderisasi yang mati suri. Pada akhirnya memungkinkan \"figur-figur asing\" untuk bisa langsung berada dalam lingkar kekuasaan, yang kiprahnya kebanyakan cenderung mengokohkan oligarki.  Ketidakjelasan kaderisasi juga menyebabkan kader lebih terpicu untuk berlindung pada patron tertentu sehingga memuluskan pola hubungan patron-client, tentu saja mengganggu pembangunan demokrasi internal partai yang sehat. Keempat, AD/ART partai juga memberikan landasan bagi penguatan peran elite. Studi mengenai kandidasi partai, menunjukkan dalam banyak hal, termasuk kandidasi, figure pimpinan partai menjadi demikian berkuasa, dan pada beberapa partai menjadi demikian absolut, karena aturan main internal memberi celah untuk itu. Kondisi ini tentu mendorong perluasan rekayasa penciptaan kepatuhan buta yang objektif.  Kelima, faktor eksternal turut memengaruhi aturan main terkait kepartaian dan kepemiluan yang secara umum masih memberikan celah bagi partai-partai untuk membangun oligarki dalam dirinya. Setidaknya hingga kini keharusan kaderisasi, pengelolaan keuangan partai yang mampu menetralisasi peran oligarki belum diatur secara tegas dan komprehensif.  Selain itu, syarat ambang batas presiden maupun pencalonan kepala daerah yang memberikan peluang elite partai untuk saling bermanuver membangun koalisi juga turut berkontribusi secara tidak langsung bagi pengokohan kekuasaan elite maupun ketergantungan kader pada manuver elite.  Selain itu yang turut memberikan kenyamanan para oligarki adalah sikap kurang kritis masyarakat atau civil society pada kondisi internal partai-partai. Akibatnya, partai tidak merasa terusik apalagi terpicu memperbaiki diri agar bisa benar-benar menjadi lembaga demokrasi yang mampu bersikap dan berperilaku demokratis.  Mengingat kompleksitas penyebab oligarki di atas, diperlukan pendekatan komprehensif mulai dari pembenahan internal partai, pengaderan partai yang reformer, dukungan aturan dukungan civil society.  Pembenahan yang bersifat parsial dan tanpa dukungan komprehensif, jelas tidak akan membawa dampak signifikan bagi upaya pereduksian oligarki dalam partai politik. Kemudian menjawab pertanyaan ke dua yaitu bagaimana oligarki muncul di Indonesia? Dua Dimensi Jeffrey A. Winters dalam bukunya bertajuk Oligarchy menempatkan oligarki dalam dua dimensi. Dimensi pertama, oligarki dibangun atas dasar kekuatan modal kapital yang tidak terbatas, sehingga mampu menguasai dan mendominasi simpul-simpul kekuasaan.  Dimensi kedua, oligarki beroperasi dalam kerangka kekuasaan yang menggurita secara sistemik.  Menurut Winters, sistem oligarki pertama kali muncul di Indonesia pada tahun 1970 yang dibangun oleh Soeharto. Untuk memimpin sistem oligarki yang dibentuknya, Soeharto berlagak layaknya seorang The Godfather yang membagi-bagi kekayaan alam Indonesia pada kelompok-kelompok tertentu, seperti kelompok para jenderal, penguasa etnis Tionghoa dan kelompok pribumi.  Setelah berkuasa, ancaman nyata Soeharto itu ada pada para Jenderal TNI, jadinya dia membagi-bagikan kekayaan misalnya dengan pengelolaan hutan di Kalimantan dan menyebut para Jenderal itu kaya karena dia. Soeharto itu seorang Godfather yang ekonomis dan politis. Sistem oligarki Soeharto mulai mengalami gangguan saat anak anak Soeharto menjadi dewasa dan mulai berbisnis.  Kejatuhan Soeharto pada tahun 1998, karena para oligark di bawah Soeharto sudah tidak mau membela Soeharto karena tingkah laku anak-anaknya sudah tidak bisa dikendalikan, contohnya ketika LB Moerdani mengeluhkan anak-anak Soeharto dan akhirnya dia dipecat. Pada saat ini di Indonesia, kekuatan oligark dikuasai oleh kalangan pribumi, karena mereka memiliki uang dan jabatan. Tetapi sebelumnya, di zaman Orde Baru, oligark dikuasai oleh pengusaha dari etnis Tionghoa, yang punya akses langsung ke Soeharto. Berbeda dengan era orde lama dan orde baru, pada masa reformasi ini bentuk demokrasinya berubah sejak pemilu tahun 1999.  Hadirnya oligarki ini dimulai dari keberlangsungan sistem politik yang dipilih. Dalam sistem demokrasi tidak langsung seperti yang diterapkan di Indonesia, dalam skema penyelenggaraan pemilu didahului dengan pemilu legislatif, partai politik merupakan elemen penting.  Partai politik memiliki peran strategis sekaligus vital, yakni menjadi pihak yang diberikan kepercayaan politik oleh rakyat melalui mekanisme keterwakilan di parlemen/DPR. Dengan melihat pada alur yang linier, partai politik tepat berada di tengah antara warganegara sebagai konstituen dengan negara sebagai pelaksana tertinggi pemerintahan. Dengan menggunakan mekanisme keterwakilan menuntut adanya individu-individu yang duduk di kursi parlemen/DPR.  Partai politik, menjadi satu-satunya institusi yang berwenang melakukan rekrutmen menjaring wakil-wakil tersebut. Tugas ini pula yang kemudian mensyaratkan partai politik melakukan kaderisasi politik; menjaring individu-individu terbaik yang representatif untuk duduk di kursi parlemen/DPR. Jika melihat realitas yang menggejala dalam tubuh partai-partai politik di Indonesia, tampak betul bahwa oligarki seperti dalam tafsiran Winters merupakan penyakit yang sudah akut.  Gurita Oligarki Hampir semua partai di Indonesia sebenarnya dikuasai oleh segelintir elite yang memiliki -dalam istilah Pierre Bourdie- modal kapital dan sosial yang kuat.  Gurita oligarki dalam partai politik menguatkan asumsi bahwa partai politik gagal dalam melakukan fungsinya sebagai agregator demokratisasi. Fungsi rekrutmen dan kaderisasi yang macet dan partai politik lebih suka menggelar karpet merah kepada pemburu kekuasaan bermodal uang miliaran rupiah.  Pendidikan politik yang disajikan di masyarakat diringkas ke dalam materi-materi kampanye-kampanye yang gegap gempita, gaduh oleh berita bohong, menjatuhkan lawan dengan fitnah atau hoaks dan sama sekali tidak mencerahkan. Bahkan pada titik yang paling parah, partai politik menjadikan masyarakat sebagai konstituennya dianggap sebagai obyek politik semata lima tahunan yaitu mendekati rakyat ketika membutuhkan suara rakyat dalam pemilu.  Sebagai subyek demokrasi, seharusnya masyarakat dituntut mendapatkan pendidikan politik dan memiliki pengetahuan politik. Tanpa pengetahuan politik, demokrasi hanya akan berjalan secara prosedural dan lupa pada esensinya. Namun dalam kenyataannya, praktik ideal partai politik tersebut lebih sering tidak terlaksana.  Secara internal, partai politik bahkan kerapkali gagal mempraktikkan mekanisme demokrasi dan terjebak dalam budaya oligarki. Dalam konteks politik nasional, hal itu tampak jelas dalam mekanisme penjaringan calon anggota legislatif maupun kepala daerah oleh sejumlah partai.  Tampak jelas bahwa seleksi calon legislatif dan kepala daerah justru dilakukan dengan cara-cara yang jauh dari nilai-nilai demokrasi. Sistem penjaringan cenderung tertutup, tidak transparan, dan tidak memungkinkan dipantau oleh publik. Belum lagi soal fenomena mahar politik yang selalu mengiringi proses penjaringan calon pemimpin daerah.  Di tangan para elite itulah segala keputusan partai politik ditentukan melalui mekanisme hirarki yang kaku, alias dari atas ke bawah.  Seorang ketua partai beserta orang-orang di lingkaran terdekatnya merupakan sosok-sosok superior yang memegang kewenangan penuh dalam ihwal decision making, termasuk menentukan siapa yang bakal diusung dalam pileg dan pilkada.  Partai politik begitu kuat perannya dalam Negara, sehingga layak dikatagorikan sebagai monopolistik. Setelah lebih dari dua dekade, ternyata penguatan peran secara cepat (mendadak) yang tanpa dilandasi pendewasaan secara memadai itu, mengkondisikan partai menjadi rentan oleh jebakan hakikat kekuasaan berupa kecenderungan untuk membesar dan memusat. Maka tidaklah mengherankan, apabila dewasa ini semakin dikenali penguatan watak sistem kekuasaan oligarki dan bahkan aristokrasi di dalam partai politik.  Sistem kekuasaan oligarki partai politik tampil melalui kecenderungan sentralisasi kekuasaan, dominasi elit partai, pragmatism berlebihan (opportunistic) dan kroniisme kepemimpinan (pengurus, yang secara keseluruhan dibungkus dengan pemandulan pelembagaan (institusionalisasi) partai.  Dalam pada ini, gejala aristokratisasi partai terlihat dari kronilisasime elit atau penguasa partai yang mulai tergeser oleh nepotisme dan dinasti. (*)

Abraham Accords

Oleh Radhar Tribaskoro | Anggota Komite Eksekutif KAMI (Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia) dan Dewan Pembina FPN (Front Pergerakan Nasional) Abraham Accords adalah serangkaian perjanjian antara Israel dengan sejumlah negara Arab, antara lain Uni Emirat Arab, Bahrain dan Maroko.  Perjanjian-perjanjian ini diperantarai oleh Amerika Serikat dan dimaksudkan untuk menormalisasi hubungan diplomatik dan ekonomi antara Israel dan negara-negara Arab. Perjanjian-perjanjian ini diharapkan melandasi terciptanya suatu lansekap geopolitik baru di Timur Tengah yang lebih stabil dan damai.  Kelemahan dari Abraham Accords adalah bahwa perjanjian itu mengabaikan nasib Negara Palestina. Abraham Accord diketahui mengakui keberadaan Israel tanpa persyaratan yang secara langsung terkait dengan permasalahan Palestina. Hal ini telah mendapat kritik dari sejumlah pakar yang berpendapat bahwa perjanjian ini tidak memberikan perhatian yang memadai terhadap isu Palestina. Dengan diabaikannya tuntutan Negara Palestina maka normalisasi hubungan Israel dengan negara-negara Arab, di bawah panji Abraham Accord, berpotensi melenyapkan Solusi Dua Negara di tanah Palestina.  Padahal Palestina sendiri masih belum mendapatkan pengakuan penuh sebagai negara merdeka oleh banyak negara di dunia. Isu Palestina tetap menjadi salah satu isu yang kompleks dan penting dalam politik dan diplomasi internasional. Dengan kata lain, Negara Palestina yang sekarang menduduki wilayah Gaza dan Tepi Barat terancam lenyap dengan hilangnya dukungan negara-negara Arab setelah mereka menormalkan hubungan dengan Israel.  Abraham Accords diperkirakan akan semakin mulus bila Israel berhasil mengajak Arab Saudi, negara paling berpengaruh di Timur Tengah, menandatangani perjanjian itu. Hal tersebut rupanya sudah sangat dekat. Menteri Luar Negeri Israel, Eli Cohen, pada bulan Juni lalu mengatakan bahwa perjanjian dengan Saudi akan ditandatangani awal tahun 2024. Para pakar menduga bahwa rencana perjanjian itulah yang memicu Hamas melancarkan serangan 7 Oktober 2023 ke Israel.  Serangan ini sangat mengejutkan karena sangat terkoordinir, terorganisir dan mengincar posisi-posisi Israel yang rawan. Serangan itu menimbulkan kerugian yang masif (1400 korban jiwa) di pihak Israel. Kerugian itu tidak terbayangkan sebab Hamas dikenal sebagai kelompok gerilyawan bersenjata ringan yang melawan Israel, notabene dikenal sebagai salah satu negara dengan kekuatan militer terkuat di dunia. Selain itu serangan itu selektif, tidak menyasar objek-objek sipil, perempuan dan anak. Berbeda dengan serangan balasan Israel yang bersifat random, menyasar rumah sakit, sekolah dan menimbulkan korban perempuan dan anak yang sangat besar. Apa yang sebenarnya terjadi dan apa implikasi konflik Hamas-Israel saat ini? Implikasi 1: Yahudi Manusia Biasa Dampak terbesar Serangan 7 Oktober adalah patahnya paradigma Abraham Accords. Paradigma itu didasarkan kepada anggapan bahwa bangsa Palestina sudah kalah dalam perangnya melawan Israel. Mereka hanya membutuhkan belas kasihan, bukan pengakuan. Namun, dengan Serangan 7 Oktober dunia tersadarkan bahwa anggapan itu tidak benar. Palestina masih ada dan mampu melakukan serangan yang mengguncangkan Israel. Serangan tersebut memiliki makna yang sama  dengan Serangan Umum 1 Maret 1949 yang membuktikan bahwa Republik Indonesia masih berdaulat dan berjuang. Selain itu terdapat mitos yang kuat bahwa Yahudi adalah bangsa superhuman. Dalam mitos itu dikatakan bahwa Yahudi adalah satu-satunya bangsa yang memiliki hak istimewa (privilege) untuk membuat perjanjian dengan Tuhan. Siapapun bangsa atau orang yang melawan kehendak Yahudi harus disingkirkan, atas nama Tuhan. Hal itu terjadi pada bangsa Palestina yang disingkirkan oleh Yahudi karena menghalangi realisasi janji Tuhan “memberikan tanah Palestina kepada bangsa Yahudi”. Serangan 7 Oktober juga mematahkan mitos “bangsa pilihan” itu. Angkatan Darat Israel bisa dikalahkan. Demikian juga badan-badan intelejen Israel yang tersohor, bisa dikelabui. Serangan 7 Oktober adalah pendadakan yang sangat memalukan pejabat-pejabat pertahanan Israel. Implikasi 2: Bergesernya Opini Dunia Sekarang orang-orang Amerika dan Eropa yang dulu mendukung Israel mulai tersadarkan akan sifat rasis bangsa Yahudi. Demonstrasi besar pecah di seluruh penjuru dunia menentang serangan random Israel ke Gaza. Pada hari Sabtu yang lalu demonstrasi dukungan terhadap Palestina diadakan di seluruh Eropa – di Roma, Barcelona, beberapa kota di Perancis, Düsseldorf, Jerman, Pristina ibu kota Kosovo, Sydney dan di kota-kota Amerika termasuk Los Angeles dan Houston. Demikian juga demonstrasi pecah di Istanbul Turki, Kuala Lumpur Malaysia, Bandung dan Jakarta di Indonesia.  Opini berkembang di seluruh dunia bahwa Israel sedang melancarkan genosida di Gaza. Publik dunia kesal bahwa setelah diberi kesempatan 75 tahun membangun negara yang kuat Israel gagal menciptakan kestabilan dan kedamaian di kawasan. Perubahan opini publik dunia pada akhirnya akan mempengaruhi kotak-kotak suara. Presiden Biden telah menggeser sikapnya, bila semula ia mendukung Israel melakukan serangan balasan, sekarang ia menyerukan perlindungan kepada penduduk sipil Gaza. Implikasi 3: Petaka Serangan Darat Israel Penundaan serangan darat yang diminta Joe Biden beberapa waktu lalu tidak berkenaan dengan kekhawatiran akan terjadinya pembantaian massal kepada rakyat Palestina. Penundaan itu dipicu oleh kekhawatiran akan petaka lebih masif yang bisa terjadi kepada IDF (Israel Defense Forces). Mengapa demikian? Jalur Gaza adalah wilayah sempit seluas 362 km2, hanya sedikit lebih besar dari Kota Surabaya (326 km2). Secara teknis Israel sekarang telah mengepung Gaza, Israel setiap saat dapat melancarkan serangan darat besar-besaran. Namun, bisakah Israel memenangkan perang melawan Hamas. Perlu diketahui Hamas bukan sekadar organisasi perlawanan, Hamas lebih mirip dengan ideologi. Hamas adalah ideologi yang ingin memerdekakan Palestina dari penindasan Israel. Oleh karena itu setiap bom yang jatuh di Gaza tidak akan melemahkan ideologi Hamas, justru tambah menguatkan.   Lain dari itu, terkepung tidak berarti kalah. Tobruk misalnya, hanya dipertahankan oleh 30.000 tentara Australia dan Inggris namun berhasil bertahan dari serbuan 150.000 tentara Jerman lebih dari 8 bulan lamanya. Begitu juga Jerman yang bertahan di reruntuhan Biara Monte Cassino, Italia, mampu mengubah biara itu menjadi pertahanan militer yang kokoh, dan bertahan 4 bulan dari serbuan kekuatan Sekutu yang masif.  Pengepungan Leningrad dalam Perang Dunia II juga memberi pelajaran bagaimana spirit dan mentalitas kebangsaan mampu menahan penderitaan seberat apapun yang diakibatkan oleh pengepungan.  Serangan darat Israel atas Gaza jelas bukan tantangan militer yang mudah. Hamas dipastikan telah mengubah Gaza menjadi benteng pertahanan yang kokoh dengan jaringan bawah tanah yang kokoh. Jaringan bawah tanah seperti itu telah mengalahkan AS dalam Perang Vietnam. Serangan darat Israel dipastikan tidak dapat mengalahkan Hamas, apalagi bila Israel harus berburu waktu mengingat kecaman dunia internasional akan semakin sulit dihadapi.  Israel, tidak bisa tidak, akan dituduh melakukan genosida. Genosida sangat mungkin terjadi namun hal itu tidak akan menggentarkan Hamas. Hal itu sudah menjadi resiko yang diperhitungkan Hamas. Hamas paham sekali perilaku Israel yang otomatis menjalankan politik Collective Punishment bila ada serangan sekecil apapun kepada properti dan warganya. Serangan 7 Oktober menunjukkan bahwa Hamas tidak khawatir kepada Collective Punishment. Sebaliknya Hamas akan memanfaatkan serangan random Israel untuk keuntungannya.  Terakhir, konflik Israel vs Palestina harus diakui adalah tragedi kemanusiaan. Kita tidak bisa membenarkan suatu bangsa yang pernah mengalami Holocaust untuk melakukan Holocaust kepada bangsa lain. Wilayah Gaza sekarang ini dapat disetarakan dengan ghetto yaitu wilayah pemukiman khusus Yahudi yang diciptakan Nazi. di Ghetto dulu, orang-orang Yahudi menjadi objek pembunuhan random tentara Nazi. Sekarang, yang dulu objek sekarang menjadi subjek pelaku pembunuhan random atas orang-orang Palestina di Ghetto Gaza.  Berhentilah mengulang sejarah kelam itu. Palestina berhak menjadi kawasan yang damai dan stabil, untuk bangsa Yahudi, Palestina, dan bangsa-bangsa lainnya. (*)

Gibran bin Joko Widodo Lelaki Istimewa Sekaligus Spesial

Oleh: Ady Amar - Kolumnis RESMI semalam, Minggu (22/10), Prabowo Subianto dalam konferensi pers menyampaikan secara resmi siapa yang terpilih menjadi bakal calon wakil presiden (Bacawapres) dari Koalisi Indonesia Maju, yang akan mendampinginya. Semua ketua umum plus sekjen partai koalisi hadir, yang tanpa dihadiri Gibran. Semua dibuat paham setelah sebelumnya Partai Golkar lewat Rapimnas II menganulir Ketua Umum Airlangga Hartarto, yang sebelumnya didorong menjadi Capres atau setidaknya Cawapres. Karena minim respons dari anggota koalisi, maka tiket diberikan pada Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi), yang baru sehari jadi kader Angkatan Muda Pembaharuan Indonesia (AMPI)--underbow Partai Golkar. Luar biasa. Gibran mampu menenggelamkan nama-nama beken lainnya, Meneg BUMN Erick Thohir, Ketua Umum Partai Bulan Bintang Yusril Ihza Mahendra, sebagai Bacawapres dari Prabowo Subianto. Erick Thohir dan Yusril sebelumnya sama-sama telah mengurus Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK), mungkin sekadar persiapan jika saja Gibran karena dinamika politik yang berkembang menutup peluangnya. Gibran menjadi istimewa karena pastilah sokongan sang bapak, Jokowi. Meski Jokowi mengatakan, bahwa ia tak ikut bermain. Itu keputusan partai-partai politik yang mengusungnya. Lebih kurang demikian pembelaan diri Jokowi, yang dibuat seakan itu murni karena Gibran keberadaannya memang dikehendaki. Gibran dikesankan spesial, karena itu ia dipilih sebagai Cawapres mendampingi Prabowo Subianto. Gibran meski kader PDIP, bahkan menjadi Wali Kota Solo yang masih dijabatnya hingga saat ini, itu juga lewat PDIP. Tapi ia melompat mengesampingkan PDIP--belum menyatakan keluar dari PDIP--menjadi kader AMPI untuk memuluskan ambisinya. PDIP bersama koalisinya telah mendeklarasikan Ganjar Pranowo, yang bersanding dengan Prof Mahfud MD. Langkah Gibran yang tanpa _kulo nuwun_ meninggalkan PDIP, dan hanya sekadar memberi tahu Puan Maharani, bahwa ia kemungkinan akan maju dalam kontestasi Pilpres. Etikanya Gibran semestinya pamit baik-baik, dan itu menghadap Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri, menyampaikan hasratnya. Sekaligus pamit meninggalkan partai yang membesarkannya. Gibran menjadi istimewa, dan bahkan pilihan sikapnya memilih tancap gas dengan mengabaikan asas kepatutan, itu seperti dibuat hanya spesial untuknya. Tidak patut untuk yang lain. Semua mesti bisa menerima langkahnya, meski langkah tak patut sekalipun. Gibran seperti memilih agar langkahnya itu disikapi PDIP, ia seperti cukup memposisikan sebagai pihak yang menerima sanksi yang akan diberikan. Dibuat seolah ini persoalan PDIP. Sikap Gibran ini sikap tidak biasa, dan spesial hanya untuknya. Tidak bisa atau boleh diikuti oleh yang selainnya. Perjalanan politik Gibran menjadi istimewa, itu tentu atas sokongan sang bapak, Jokowi. Bukan atas prestasi yang dibuat, itulah yang membuat Gibran menjadi spesial. Meski Jokowi kerap menyangkalnya, berharap semua rakyat yang dipimpinnya itu bodoh, dan karenanya mempercayai apa yang disampaikan. Untuk melihat perjalanan Gibran itu istimewa--boleh pula jika disebut diistimewakan--lihat tulisan penulis sebelumnya, \"Karpet Merah Gibran\", 12 Agustus 2023, yang langkahnya dibuat mulus tanpa sekat penghalang. Jika ada pengjalang, maka halangan itu disingkirkan. Bahkan usia Gibran yang belum 40 tahun, yang mestinya terlarang untuk dicalonkan menjadi Capres/Cawapres, itu pun bisa ditembus diloloskan. Mahkamah Konstitusi (MK), yang dibuat sebagai Mahkamah Keluarga--Ketua MK Anwar Usman, yang adalah Paman Gibran--yang putusannya dibuat kekeluargaan. Satu per satu halangan bisa terurai dengan baik, itu karena saking istimewanya seorang Gibran. Spesialnya lagi, Gibran tidak boleh dilihat dari prestasi yang dibuat. Memang belum kelihatan prestasi sebagai Wali Kota Solo yang bisa dibanggakan, karena baru sekitar 2,5 tahunan jabatan itu dipegangnya. Tapi kita dibuat mesti abai dan bisa terima jika Gibran belum bisa menampakkan karya yang dibuatnya. Seolah diminta untuk bisa menerima Gibran apa adanya. Gibran Rakabuming Raka resmi menjadi Bacawapres mendampingi Prabowo Subianto (Bacapres) dari Koalisi Indonesia Maju. Sebentar lagi kita akan bersama-sama melihat \"kelebihan\" Gibran dalam menyampaikan gagasan-gagasannya. Saya dan anda pastinya tidak sabar ingin juga mendengarnya. Gibran dituntut untuk tidak boleh lagi pelit bicara, dan meminta juru warta untuk membaca ekspresi wajahnya. Terpenting ngocol saja apa adanya. Tidak perlu khawatir, rakyat pastilah akan dikondisikan dengan baik oleh tim yang bertugas layaknya Pak Tarno si tukang sulap. Rakyat akan dibuat memahami, bahkan bisa menerima kekurangan Gibran itu sebagai kelebihan. Itulah istimewa dan spesialnya manusia Gibran. Gak percaya?**

Perselingkuhan Ideologis Kaum Nasionalis

Oleh Yusuf Blegur - Mantan Presidium GMNI  PERSELINGKUHAN ideologis kaum nasionalis memiliki catatan tebal secara historis dan empiris di republik ini. Hubungan gelap kalangan Abangan itu lebih sering bergantian dengan kapitalis dan komunis, baik secara personal maupun institusional. Kecenderungan konflik Megawati dan Jokowi telah menjadi fenomena  tersendiri jelang pilpres 2024. Meskipun keduanya masih suka menunjukkan kedekatan dan kebersamaannya, konstelasi politik kerap membuat pemilik dan petugas partai itu bersitegang. Publik terlanjur menilai setidaknya sudah ada perang dingin antara dua orang penguasa republik selama hampir satu dekade. Puncak perseteruan Mak Banteng dan Pak Lurah-biasa netizen menyebutnya, muncul tatkala Gibran Rakabuming Raka resmi menjadi cawapres pasangan Prabowo Subianto. Anak planga-plonco dan bau kencur putra Jokowi itu menyalip Puan Maharani yang telah malang-melintang dalam dunia politik sebagai putri kesayangan Megawati. Sakitnya tuh di sini (sambil memegang dada), begitu kira-kira Megawati membatin. Gonjang-ganjing hubungan Megawati dan Jokowi terutama mengiringi kontestasi pilpres, semakin menyeruak menjadi konsumsi khalayak. Kemesraan kedua tokoh penting dan berpengaruh selama hampir sepuluh tahun ini mulai terkoyak. Kebersamaan dalam pengambilan keputusan politik, ekonomi, hukum dan budaya hingga pertahanan keamanan negara, terus mengalami degradasi. Dari kompak dan solid, kini mulai cakar-cakaran, saling menggigit dan agresif menyerang baik secara politis maupun ideologis.   Narasi dan bahasa tubuh, terlontar menyindir dan menuding saling mereduksi kedua kubu, seakan melupakan betapa nikmat dan indahnya persetubuhan politik mereka sebelumnya. Ada beberapa hal yang menarik mencermati perilaku Megawati dan Jokowi, terlepas keduanya sedang menjalankan strategi politik atau memang sebenarnya sudah larut dalam arus konflik kepentingan suksesi kepemimpinan nasional. Apakah sekadar gimik atau siasat, atau memang hubungan Megawati dan Jokowi sudah berseberangan menyertakan sikap kebencian sekaligus permusuhan yang tersembunyi karena menyimpan sakit hati dan dendam? Belakangan khalayak mempergunjingkan ada perasaan terpendam merasa Jokowi sering dibully, dilecehkan dan direndahkan, dirasakan seorang Iriana yang notabene istri seorang presiden dari perlakuan Megawati sebagai Ketua Umum PDIP dan dianggap berjasa besar pada karir politik Jokowi. Kini mahligai pernikahan dan bulan madu politik Megawati-Jokowi sepanjang musim kekuasaan oligarki, terancam bubar dan merangsang babak baru pesta demokrasi dinasti politik berikutnya. Seakan tak mau kalah dengan Megawati yang cenderung memimpin PDIP seumur hidup, Jokowi dan Iriana bersama keluarga juga bersikeras menguasai Indonesia  hingga 2045, jika bisa. Polarisasi kontestasi pilpres 2024 memang semakin tak beraturan, terlalu pragmatis dan semua serba kapitalis. Jangankan ideologis, proses seleksi kepemimpinan nasional yang nasib rakyat, negara dan bangsa Indonesia bergantung pada pilpres 2024, kini bahkan tak lagi menyisakan ruang untuk hadirnya kepantasan, kelayakan, etika dan moralitas.  Ketersediaan UU dan aturan, kelembagaan dan sumber daya pelaksana pemilu, visi dan misi partai politik, kualitas dan kuantitas kontestannya hingga perspektif kebangsaan para intelektual dan tokoh keagamaan yang beririsan dengan pemilu dan pilpres, masih jauh dari harapan  ideal. Tak cuma distorsi, pemilu dan pilpres 2024 beraroma menyengat dominasi oligarki, semakin destruktif terhadap konstitusi dan demokrasi. Semua itu dirancang, direkayasa dan dimobilisisasi demi nafsu harta dan jabatan, semata-mata bertujuan melanggengkan kekuasaan rezim status quo. Pilpres mulai dilaksanakan dengan kepalsuan, kebohongan dan kemunafikan para elit politik. Friksi Megawati dan Jokowi jika belum bisa dibilang pertikaian, menimbulkan fragmentasi sekaligus beragam asumsi di tengah perbincangan rakyat. Boleh jadi disharmoni Megawati dan Jokowi, menyebabkan aksentuasi politik yang luas, preseden dan kalkulasi yang menentukan konstelasi dan konfigurasi politik baru pada pilpres 2024. Berikut beberapa analisanya: 1. Perbedaan kepentingan dan jalan politik yang ditempuh Megawati dan Jokowi khususnya menghadapi pilpres 2024, jika itu benar terjadi membuktikan bahwa hubungan keduanya tidak didasari pemahanan dan kesadaran ideologis. Baik Megawati dan Jokowi, faktanya lebih mengutamakan kepentingan dinasti politik, menjadi budak oligarki dan gandrung pada kekuasaan ansih. 2. Retaknya hubungan Megawati dan Jokowi memberi sinyal telah terjadi perselingkuhan ideologis di antara sesama kalangan nasionalis. Alih-alih memanifestasikan pemikiran dan ajaran Bung Karno terkait Marhaenisme, Pancasila dan cita-cita negara kesejahteraan, Megawati dan Jokowi justru malah mengkhianatinya dengan orientasi harta dan jabatan. Bahkan hubungan keduanya pun rela berpisah semata-mata hanya karena berebut kekuasaan, tak peduli nasib rakyat, negara dan bangsa Indonesia. Rakyat kelaparan, mati karena kemiskinan dan kekerasan, sementara rezim dan kroni bersama oligarki berpesta-pora menikmati kekayaan negara hasil menjarah. 3. Megawati dan Jokowi yang kemungkinan besar pisah partai politik bukan hanya karena ketidakcocokan dan benturan kepentingan politik, lebih dari itu karena perselisihan ideologis. Megawati yang dianggap mewarisi jargon-jargon dan simbol Marhaenisme meskipun tidak implementatif berhadapan dengan Jokowi yang cenderung menjadi representasi komunis melalui kerjasama dan investasi pemerintahannya dengan negara China dan  jejaring oligarki. Sama-sama menganut menganut kapitalisme dalam praksis, Megawati dan Jokowi berhaluan kiri  meski kerap menyandang nasionalis Marhaeisme. Nasionalis, komunis dan kapitalis, dalam cinta segitiga membangun hubungan gelap menyusuri perselingkuhan ideologis. 4. Fenomena konflik Megawati dan Jokowi beserta kroni-kroni kekuasaan dalam pemerintahan dan partai politik, menegaskan apapun ideologi yang mereka anut tidak lebih dari hasil pemikiran manusia yang terbatas, yang rentan mudharat dan sarat syahwat yang melampaui batas. Ideologi hasil pemikiran manusia yang dipenuhi keinginan dan kebutuhan duniawi, kerap menghalalkan segala cara demi kepuasan pribadi, keluarga dan kelompok atau golongannya. Demi mencapai tujuan sanggup bertikai dengan kawan sendiri, dzolim serta membunuh terhadap sesama sekalipun. 5. Mungkin cara Allah azza wa jalla terus mengingatkan dan menyadarkan umat manusia di dunia pada umumnya dan muslim di Indonesia khususnya, hanya Islam agama yang benar dan relevan untuk  peradaban manusia. Agama yang benar, mendapat ridho Allah dan Allah telah cukupkan buat kepentingan manusia di dunia dan akhirat. Bukan kapitalis, bukan komunis atau atheis dengan prinsip-prinsip eksploitasi manusia atas manusia dan eksploitasi bangsa atas bangsa, yang sering menemui jalan buntu untuk solusi kehidupan manusia, alam dan habitat lainnya serta kerap menimbulkan konflik dan peperangan. Oleh karena itu, hanya dengan dua sosok pemimpin, Allah telah memberi banyak pelajaran dan peringatan. Dari Megawati dan Jokowi, rakyat negara dan bangsa Indonesia bisa mengambil hikmahnya, tentang pemerintahan dan capaiannya selama hampir sepuluh tahun ini. Tentang kegagalan, tentang kerusakan dan mungkin juga tentang kehancuran menjaga warisan NKRI. Pancasila, konstitusi UUD 1945 dan agama khususnya Islam, tak lagi menghidupi Indonesia lahir dan batin, jasmani dan rohani serta mental spiritual.  Megawati dan Jokowi terlalu jauh membawa rakyat, negara dan bangsa Indonesia seperti mengidap akut kapitalisme dan komunisme global. Lari dari pelukan Islam dan pergi menjauh seakan menetap dalam naungan nasionalisme, namun sesungguhnya berhubungan intim dengan kapitalisme dan komunisme, menikmati perselingkuhan ideologis. Kedua petinggi selevel presiden itu, lebih banyak menghabiskan waktu dan energinya bersamaan dengan mesra dan intim, kemudian terjadi perselingkuhan ideologis. Hubungan renggang terjadi di antaranya keduanya karena tak ada lagi kecocokan politik atau karena kehadiran pihak ketiga lainnya. Entah berselingkuh dengan kapitalisme, entah dengan komunisme, yang jelas keduanya baik Megawati msupun Jokowi tidak menjiwai Islam sejatinya. Politik identitas adalah kekuatan umat Islam  yang sejati, bahkan realitas itu ada sebelum dilahirkan di dunia. (*)