Quo Vadis Mega dan KPK?

Oleh Yusuf Blegur | Mantan Presidium GMNI 

TERLEPAS dari distorsi kekuasaan rezim Jokowi termasuk dalam masalah hukum, Megawati tetap dituntut bersikap obyektif dan proposional terhadap KPK. Mega yang membidani kelahiran KPK, berhak menentukan sikap untuk konsisten menegakkan supremasi hukum atau hanya sekadar menyelamatkan anggota dan kader korup yang menjadi benalu PDIP selama ini.

Sikap oposisi PDIP yang dimotori Megawati terhadap pemerintahan Jokowi semakin meruncing. Polarisasi perseteruan dua kekuatan politik  yang sebelumnya seiring-sejalan itu, kini mulai terbuka dan saling menjatuhkan. Menjadi perhatian publik dan berpotensi menguras energi bangsa, pertarungan kedua figur berpengaruh itu terus berlanjut memainkan politik  kekuasaan. Adu kekuatan dan adu ketahanan menggunakan instrumen politik,  tak terkecuali aparat dan institusi pemerintahan yang bisa dikendalikan  baik oleh Jokowi maupun Megawati.

Menarik dan tentu sangat seksi ketika lembaga anti rasuah yang bernama KPK ikut terseret-seret sebagai alat pertarungan dan pengendalian dari konfrontasi seorang presiden di ujung masa jabatan dan satu lagi seorang mantan presiden. Jokowi menjadi presiden berkuasa di akhir pemerintahannya  dan berperan penting menggunakan kPK untuk melemahkan lawan politiknya termasuk Megawati dan PDIP.

Di lain sisi Mega terus ditarget  akibat bertentangan  dengan kebijakan Jokowi dan diperburuk oleh skandal korupsi beberapa anak buahnya di PDIP.  Paling menyedot perhatian publik sekaligus berlarut-larut penangansnnya adalah  kecenderungan  korupsi yang menimpa sekjend PDIP Hasto Kristianto yang terlilit kasus suap Harun Masiku. Rakyat sudah pada tahap pendapat umum bahwasanya meyakini sekjend PDIP itu terlibat korupsi.

Mega seperti sedang mengalami pergulatan pemikiran dan konflik batin yang melelahkan saat berhadapan dengan KPK. Antara menjunjung tinggi supremasi hukum atau membela mati-matian anggota dan kader PDIP  yang memang terindikasi kuat terlibat korupsi. Mega dalam tekanan ysng hebat karena menghadapi politik sandera dari Jokowi yang dianggap menggunakan KPK.  

Sementara KPK dalam perkara Hasto Kristianto tegas menyatakan bukan soal politis melainkan proses hukum yang sudah lama dan terjadi saat Jokowi dan Mega masih bergandengsn tangan dan harmonis dalam kubu pemerintahan. Ada upaya eksplisit dari KPK menjelaskan penegakkan hukum juga punya aturan main yang baku, tidak selalu dalam pengaruh dan intervensi kekuasaan.

Mega yang saat menjabat presiden melahirkan KPK melalui Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002, akankah siap dan mampu mewujudkan sikap kenegarawanannya dengan mendukung penegakan hukum di Indonesia terutama melalui KPK. Mungkinkah Mega tetap komitmen dan konsisten menguatkan konstitusi dan demokrasi sebagaimana yang pernah ia tuntut dan perjuangkan pada ORBA, orde reformasi hingga sikap kritis dan perlawanannya sebagai kekuatan oposisi terhadap rezim Jokowi yang sekarang ini. Ataukah Mega akan menghancurkan kredibilitas dan integritasnya sendiri demi menyelamatkan anggota dan kadernya yang nyata-nyata bermasalah dan merugikan baik PDIP sendiri maupun seluruh rakyat Indonesia.

Baik Mega dan KPK, publik  akan terus menunggu kejujuran, keadilan dan kehormatan bagi upaya menghidupan Pancasila, UUD 1945 dan NKRI yang tengah mengalami kemerosotan dan degradasi pengejawentahannya. Mega dan KPK terlepas dari anasir kekuasaan Jokowi, diharapkan menyatu sebagaimana asprk historis  keduanya tak terpisah memelopori kebijakan  pemberantasan KKN di Indonesia. Rakyat berhak bertanya, rakyat patut    gelisah, cemas dan khawatir pada praktek-praktek hukum terlebih masalah penanganan korupsi selama ini. Bagaimana selanjutnya Mega dan  KPK membuat sejarahnya masing-masing untuk anak-cucunya dan masa depan bangsa Indonesia  kelak. Atau publik tetap  termangu sambil membatin,  quo vadis Mega dan KPK?.

Jikalau Soekarnoisme  itu hidup dalam tubuh PDIP, maka sejatinya tidak  ada anggota dan kader yang gemar dan berleha-leha dalam korupsi. (*)

613

Related Post