OPINI

Lawan Rezim Gila!

Oleh Sutoyo Abadi | Koordinator Kajian Politik Merah Putih  MELAWAN rezim zalim harus dengan cara mengintimidasi sejak awal  dengan reputasi perlawanan riil sedikit gila karena melawan orang gila hanya dengan cara gila yang tidak layak.  Ketidakpastian lebih baik daripada ancaman terang terangan - kalau rezim tidak mengetahui apa yang akan terjadi mereka akan mencoba atau menjajakinya. Mainkan ketakutan dan kecemasan alami untuk menjadikan mereka berpikir dua kali, jangan pedulikan  jenderal atau Presiden sekalipun. Jangan sekali kali kita memberikan sinyal kelemahan kita, karena hal itu akan mengundang lebih banyak ancaman dan serangan. Tidak ada alasan mengalah, menyerah tanpa perlawanan.  \"Jangan lakukan kebiasaan buruk tidak pernah bergerak, hanya bengak bengok mengancam tanpa berani konflik dan perlawanan secara riil. Menghindari konflik tentang keadilan hanya dengan  mengeluh adalah kedunguan,  kebodohan dan ketololan yang nyata\" \"Kita semua harus sadar rezim yang terus-menerus mengancam dan mengintimidasi rakyat penuh kekerasan adalah: penguasa melihat dan mengetahui kita lemah dan rentan,  kita terus menerus memberikan sinyal perilaku kita saat ini dan sebelumnya yang lemah, maka penguasa akan terus menerus menekan dan menindas seenaknya.\" Kondisi tersebut harus dibalikkan dengan perlawanan yang riil, bukan hanya mengancam tetapi dengan tindakan sedikit gila dan brutal.  Jangan lagi muncul spanduk demo bertuliskan : \"demo dengan damai\" itu sinyal bentuk lain dari ketakutan dan mental yang sudah menyerah kalah. Tindakan adalah lebih layak dipercaya daripada sekedar perkataan mengancam atau berkoar koar akan balas melawan dengan cara tidak ada tindakan ada perlawanan, itu simbol dan sinyal kelemahan, hanya akan dianggap sumpah serapah tanpa daya. Menghadapi rezim saat ini yang makin berani dan ugal-ugalan, mutlak harus ada perlawanan : - Adanya perlawanan dengan manuver berani, melakukan tindakan tak terduga, tidak mengenal takut penuh keyakinan. Rezim akan mengetahui adanya kekuatan dan ancaman yang serius dan nyata - Membalikkan ancaman, tunjukkan ke penguasa timpakan sedikit kepedihan. Kirim pesan mengancam mengindikasikan sanggup melakukan yang lebih parah. - Berpenampilan yang sulit diduga dan tidak rasional. Perilaku siap jihad atas kezaliman yang terjadi. Siap menyeret mereka menghancurkan reputasinya . - Mainkan paranoia alami orang. Ambil perlawanan dan tindakan tidak langsung dirancang. Ancaman terselubung dengan kepastian yang di ciptakan, imajinasi mereka akan menjadi liar merasa berbahaya untuk meremehkan dan menyerang kita. - Mencoba reputasi menakutkan. Bahwa rakyat benar benar siap melawan dengan people power atau revolusi. Kalau rezim menganggap rakyat lemah dan rentan, penguasa akan makin bersikap agresif dan semena mena. Kalau perlawanan rakyat kuat mereka akan mundur dan akan memperlakukan rakyat lebih baik dan manusiawi. Lebih baik ditakuti daripada dikasihani apalagi menjadi budak penguasa zalim, tiran penindas rakyat. Lawan : \"Mencederai kesepuluh jari seseorang tidaklah seefektif memutuskan salah satunya\" (***)

IKN Menjadi Satelit Cina, Jakarta Tetap Ibukota Indonesia 

Oleh M Rizal Fadillah | Pemerhati Politik dan Kebangsaan  KEGILAAN Jokowi yang dilanjutkan Prabowo untuk memaksakan IKN Kalimantan menjadi bagian komitmen \"two countries twin parks\" China telah membuat gusar rakyat dan bangsa Indonesia. Penyerahan kedaulatan berbaju investasi tidak bisa diterima. Penjajahan akibat penghianatan harus dilawan oleh seluruh rakyat. Ternyata Undang-undang dapat menjadi sarana bagi sebuah kejahatan politik.  Bangsa Indonesia yang dahulu berjuang keras untuk merebut Papua dan \"kecolongan\" melepas Timor Timur ternyata kini, akibat kebodohan dan kegilaan, telah membuat Kalimantan terancam penguasaan negara China. Luhut Binsar ironinya terus membabi buta. Jokowi membuka pintu migrasi populasi. IKN di Kaltim, Kota Amoy Kalbar, petrokimia dan sendok garpu Kaltara, serta sejuta hektar di Kalteng semuanya demi \"Kekaisaran China\". Itu baru Kalimantan.  Adakah Jokowi dan keluarga serta pelanjutnya Prabowo memiliki nilai patriotisme dan nasionalisme? Ini pertanyaan serius yang perlu mendapat jawaban tegas. Jika tidak, maka keduanya adalah kolaborator dan penghianat bangsa. Indonesia dapat berubah menjadi Indochina akibat dari komitmen terbuka bahwa Indonesia dan China merupakan \"taman kembar\" (twin parks).  China sudah merajalela. Perusahaan China tersebar di seluruh Indonesia. Pada tahun 2018 saja sudah ada 1000 (seribu) perusahaan China dengan 50 % di antaranya berada di pulau Jawa. Presiden Kantor Dagang China di Indonesia Gong Bencai membenarkan jumlah tersebut. Menurutnya \"Indonesia menjadi salah satu destinasi utama bagi perusahaan China untuk berinvestasi\". Kini tahun 2024 tentu sudah lebih banyak lagi jumlah dan sebaran perusahaan China tersebut.  Sementara itu pengusaha-pengusaha \"naga\" sudah lebih lama mengusai perekonomian bangsa. Kehadiran China menambah potensi untuk lebih menghegemoni. China bukan hanya datang dengan modal dan mesin akan tetapi juga manusia. Ada ancaman terselubung yang diabaikan atau disengaja dibiarkan oleh para penyelenggara negara. Kedekatan Xi Jinping dengan Jokowi yang dilanjutkan Prabowo bukan persahabatan biasa.  Di tengah keuangan negara yang morat marit, IKN di Kaltim terus dijalankan. Negara China diundang agar berinvestasi maksimal. Lahan dan fasilitas disana akan mampu dibeli oleh pengusaha kaya. Lagi-lagi pengusaha yang terafiliasi dengan China. Pribumi bisa-bisa hanya menjadi penonton. Sementara suku asli semakin terdesak.  Jika kelak IKN itu menjadi satelit China, maka perlu ada \"counter\" berbasis sejarah dan nasionalisme. Ibukota lama Jakarta harus dipertahankan, bila perlu diperkuat. Undang-Undang tidak boleh menjadi palu godam hukuman mati. Perlu evaluasi dan koreksi.  Pemerintahan Jokowi dan penerusnya yang memaksakan IKN menjadi satelit China akan berimbas pada Jakarta yang berpotensi untuk direbut kembali sebagai Ibukota Republik Indonesia. Sadarkah kita bahwa jika IKN menjadi Ibu Kota Indochina, maka Jakarta akan tetap sebagai Ibu Kota Indonesia ?Jayakarta menyimpan cerita tentang heroisme dan kesejarahan bangsa.  Meskipun demikian, IKN di Kaltim sesungguhnya hanya mengisahkan tentang petualangan ambisius seorang anak manusia. Tidak ditunjang oleh sumber daya yang memadai. Sebagian rakyat Indonesia menganggap perpindahan ibukota tidaklah urgen atau mendesak. Banyak aspek kesejahteraan rakyat lain yang mestinya menjadi prioritas.  Dengan skeptisme tinggi dan daya dukung rendah serta keuangan negara yang semakin berat, maka IKN itu akan menjadi proyek yang potensial gagal. Mangkrak akibat biaya yang semakin membengkak. Kelak akan menjadi bangunan bagai puing-puing  berantakan bekas Perang Dunia kelima. Jokowi sang pemimpi itupun sudah tidak berkuasa lagi bahkan tiada.  IKN diprediksi akan menjadi catatan buruk sejarah bangsa yang ingin mengubah Indonesia menjadi Indochina. Yang terjadi hanya di zaman jin angkat anak. (*)

Prabowo Menendang atau Ditendang?

Oleh Sutoyo Abadi | Koordinator Kajian Politik Merah Putih  ADA grand design the power of digital distraction (grand design kekuatan gangguan digital). Dalam “ilmu otak” atau NLP (Neoro Linguistic Program) adalah “Logical Fallacie” atau (penyesatan logika). Ketika ada kebuntuan berpikir dan perlawanan selalu kandas kita di buat sibuk dengan hal-hal receh atau ecek ecek  terumpan (ter-decoy) dengan hal hal yang  substantif, penyesatan logika masuk ke ranah media sosial. Perlawanan yang dilakukan sekadar melawan tanpa target mampu melumpuhkan, munculah perlawanan sekedar ancaman, caci maki, hujatan. Bagi penguasa hanya dianggap sampah atau sekadar limbah demokrasi. Melawan kerusakan Indonesia saat ini harus dilakukan perubahan yang radikal (amelioratif) mendasar dan harus berani keluar dari sekadar gerakan moral atau ancaman untuk melumpuhkan penguasa yang tidak bermoral. Pergerakan harus melepas sekadar ancaman ompong, mengubah diri dengan realistis dari   “Logical Fallacie” atau penyesatan logika, \"melakukan perlawanan dengan  strategi, target, sasaran yang jelas dan kemenangan yang terukur\". Ketika gerakan moral sudah sampai pada jalan buntu dipastikan akan metamorfosis menjadi gerakan fisik. Perlawanan rakyat tetap akan nyasar ke Jokowi dan  Gibran. Peta kekuatan dan kekuasaan di Indonesia sudah di pahami oleh masyarakat luas bahwa Prabowo bukan pemenang Pilpres 2024. Pemenangnya adalah Jokowi. Jokowi pun sesungguhnya bukan pemenang, pemenangnya adalah Oligarki dan RRC. Apabila Prabowo sudah naik tahta berkuasa, tetap dalam kooptasi, belenggu, kontrol dan kendali Jokowi dan Oligarki. Pada posisi Prabowo yang sangat lemah legitimasinya sebagai Presiden,  dipastikan akan terus terkena gempuran dan gelombang tsunami perlawanan rakyat. Prabowo akan menendang atau ditendang tergantung tekad, semangat dan keberaniannya menyelamatkan Indonesia dari penjajah gaya baru. Prabowo mulai diatur kekuasaan yang merasa sebagai bandarnya, melalui LBP sebagai operator oligarki dan RRC mulai menebar aksinya dan  berani mengultimatum Prabowo agar tak menempatkan orang toxic di kabinet. Kalau Prabowo ingin selamat setelah berkuasa \"Jauhkan pengaruh Jokowi, LBP, Oligarki dan singkirkan Gibran. Prabowo harus berani melawan kekuatan kekuasaan begundal yang akan merusak bahkan akan mengucurkan Indonesia\".  Cara keluar dari bayang bayang Pilpres (2024) curang dan brutal, kembali para keyakinan bahwa  saya (Prabowo) adalah pemenang Pilpres 2019 dan dicurangi Jokowi. Lepaskan segala beban hutang Budi dan kembali ke akal normalnya ketika posisinya juga dalam kendali penyesatan logika dan tekanan para bandar dan bandit politik oligarki.***

Yang Sarjana Dodol, Ada di Sini?

Oleh M Rizal Fadillah | Pemerhati Politik dan Kebangsaan  MESKI tidak menyebut nama, rasanya penonton konser Iwan Fals faham yang dimaksud Iwan. Seperti juga sindiran soal asam folfat dan asam sulfat serta bapa tukang baso anaknya juga tukang baso. \"Yang ijazahnya beli\", seru Iwan. Kebetulan soal ijazah Presiden Jokowi hingga saat itu bulan Oktober 2022 ramai dibicarakan. Ijazah asli Jokowi hingga kini memang \"kagak nongol-nongol\". Iwan Fals juga mengaitkan dengan pengadilan ijazah palsu yang katanya sudah dicabut. Mungkin itu gugatan pertama yang tak berlanjut akibat penggugat Bambang Tri ditahan. Gugatan perbuatan melawan hukum Jokowi akibat ijazah tersebut masuk kembali ke Pengadilan Jakarta Pusat. Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA) pimpinan Eggy Sudjana mengajukan kembali dengan menggugat Jokowi, UGM, KPU dan lainnya.  Pengadilan ternyata bukan ruang keadilan tetapi ruang kepentingan. Berhadapan dengan kekuasaan khususnya, penguasa, bukan hal yang mudah. Negara hukum hanya slogan, konstitusi dikhianati, serta kesamaan didepan hukum menjadi fiksi. Soal ijazah Jokowi yang ingin dibuktikan kebenaran dan keasliannya justru diproteksi dan \"dilegalisasi\". Pengadilan berfungsi sebagai pengalihan.  Dalam kasus 610 PN Jakarta Pusat \"selesai\" dengan Putusan Sela yang menyatakan PN Jakpus tidak berwenang mengadili. Aneh sesungguhnya, tapi begitulah hukum di rezim Jokowi. Putusan yang sama sekali tidak dibacakan di depan umum. Putusan yang para penggugat cari sendiri informasinya di PN. Dengan alasan e-court, PN Jakpus telah mengacak-acak hukum acara. Bagai hukum rimba.  Niat baik para penggugat untuk memberi ruang hukum bagi Jokowi untuk mengkarifikasi dan membuktikan kepemilikan dan atau keaslian ijazah khususnya di tingkat Sarjana di depan hukum bukan saja tidak digunakan tetapi juga diperalat bahkan diinjak-injak. Dihentikan cukup dengan diktum Pengadilan tidak berwenang mengadili. Aneh, ini hukum perdata yang diyakini tidak ada pelanggaran kompetensi absolut. Presiden Jokowi berkedudukan di Jakarta Pusat, Penggugat adalah rakyat yang berkepentingan.  Cuitan twitter pribadi Iwan Fals menyindir dengan kalimat :\"Apalagi nih, heboh ijazah palsu Presiden,  maksudnya gimana, Presiden ijazahnya palsu gitu, masa sih\". Iya bener juga masa sih, ironi jika Presiden Republik Indonesia tidak jelas ijazahnya. Masa sih jadi tukang palsu dan tipu ?  Benar juga jika Iwan bernyanyi dengan melabrak \"Bongkar !\". Salah satu bait liriknya : \"Penindasan serta kesewenang-wenangan Banyak lagi t\'ramat banyak untuk disebutkan Hoi ! hentikan hentikan jangan diteruskan  Kami muak dengan ketidakpastian Dan keserakahan Oh oh ya oh ya oh ya, bongkar Oh oh ya oh ya oh ya, bongkar\" Nah, yang sarjana dodol ada ga disini  ? Bongkar! (*)

Dinasti Politik Jokowi Menjadi Sejarah Kelam Bangsa Indonesia

Oleh: Anthony Budiawan - Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Menarik! Setelah Boy Thohir sesumbar menyatakan, penguasa satu per tiga ekonomi Indonesia akan memenangkan Prabowo-Gibran satu putaran beberapa waktu yang lalu, kini keluar pernyataan tandingan dari konglomerat lainnya, Sofjan Wanandi, yang mendukung pasangan calon presiden Ganjar-Mahfud. https://www.idntimes.com/news/indonesia/amp/sunariyah/sofjan-wanandi-dukung-paslon-nomor-3-ganjar-mahfud-di-pilpres-2024 Pernyataan Sofjan Wanandi dapat dimaknai sebagai sangkalan keras terhadap pernyataan Boy Thohir, bahwa penguasa satu per tiga ekonomi Indonesia mendukung Prabowo-Gibran. Bahkan sebelumnya, beberapa kelompok konglomerat yang disebut Boy Thohir, antara lain Djarum Group, Sampoerna Group, Adaro Group, juga menyangkal pernyataan Boy Thohir terkait dukungan kepada Prabowo-Gibran. Mereka mengatakan, upaya pemenangan satu putaran Prabowo-Gibran adalah pendapat Boy Thohir pribadi. Tidak mewakilkan kelompok group manapun. Pernyataan Sofjan Wanandi tersebut juga tidak bisa dianggap remeh. Sofjan Wanandi adalah sosok konglomerat yang sudah lama malang melintang di dalam perekonomian Indonesia.  Sofjan Wanandi dikenal sebagai “juru bicara” para konglomerat di era Soeharto, yang juga dikenal dengan kelompok Prasetiya Mulya, atau kelompok Jimbaran. Mereka adalah para konglomerat kelas kakap yang diminta Presiden Soeharto mendirikan universitas Prasetiya Mulya. Oleh karena itu, pernyataan Sofjan Wanandi yang mendukung Ganjar dapat dimaknai sebagai pernyataan sikap, bahwa sebagian konglomerat menolak dan melawan Joko Widodo. Sebagai catatan, Sofjan Wanandi juga pernah menolak permintaan Soeharto terkait pengalihan sebagian saham konglomerat kepada koperasi milik rakyat.  Pernyataan Sofjan Wanandi juga menandai perpecahan dan pertempuran sesama konglomerat dalam menyikapi pilpres 2024 ini: pertempuran konglomerat pendukung 02 melawan konglomerat pendukung 03. Lalu bagaimana posisi 01 AMIN, Anies-Cak Imin? Apakah AMIN akan menjadi pelanduk, yang akan mati di antara pertarungan dua gajah: Dua gajah bertarung, pelanduk mati di tengah-tengah? Melihat popularitas Anies-Imin, dan antusiasme masyarakat yang hadir pada  setiap kesempatan kampanye, atau pada setiap pertemuan Anies-Imin dengan masyarakat, terlihat jelas Anies-Imin didukung oleh kekuatan massa riil yang sangat besar, massa militan yang menginginkan perubahan, massa militan yang melawan Joko Widodo dan dinasti politik, yang bersumpah, Joko Widodo sudah cukup. Melihat popularitas Anies-Imin tersebut, tidak terlepas kemungkinan bahwa ada konglomerat poros ketiga, the silent majority, yang juga merapat ke 01. Kontestasi pilpres 2024 semakin seru. Perlawanan masyarakat dan pengusaha kepada Jokowi semakin terbuka. Joko Widodo semakin terpojok dan melemah. Dinasti politik Joko Widodo akan menjadi bagian sejarah kelam bangsa Indonesia. —- 000 —-

Politik Gentong Babi Rezim Jokowi dan Hancurnya Revolusi Mental

Oleh Dr. Syahganda Nainggolan | Sabang Merauke Circle)  POLITIK Gentong Babi (PGB) atau \"Pork Barrel Politics\" telah menjadi persoalan serius di Indonesia. PGB ini adalah menyuap rakyat dengan bansos dan berbagai program sosial serta asuransi sosial yang didesain untuk mendulang suara pada pemilihan umum. (Lihat Koran Tempo dalam Apa Itu Politik Gentong Babi?, 6/1/24). Untuk memperkuat pemahaman kita tentang PGB ini beberapa berita berikut perlu dicermati, yakni \"Kenapa Bansos Hanya Untuk Satu Kubu\" (Tempo, 27/1/24), \"Hati-hati Politik Gentong Babi\" (Kumparan, 21/12/23), dan \"Politik Gentong Babi Menjelang Pemilu\" (seknasfitra.org, 9/1/24). Modus operandi politik kotor ini adalah membuat berbagai program dan bantuan sosial yang dipertukarkan dengan kewajiban pemilih untuk mendukung pemberi bansos, dalam hal ini pemerintah berkuasa. Seknas Fitra, sebuah NGO yang mengkritisi anggaran negara, mencium aroma politik kotor ini mulai dimainkan oleh rezim Jokowi. Aroma bansos dan sejenisnya saat ini, dalam politik kotor, dapat kita saksikan dengan adanya program pemerintah seperti 1,2 juta ton beras, bantuan uang 600 ribu pada bulan depan, yang rappel 3 bulan, (Februari adalah bulan pencoblosan suara), program PKH (Keluarga Harapan), program Indonesia pintar, dan lain sebagainya.  (lihat: \"5 Bansos Jokowi Cair Awal 2024, Ini Daftarnya\", CNBC Indonesia, 21/1/24). Mengapa jadi bagian politik kotor?  karena pada saat bersamaan, Jokowi mengumumkan dia berpihak. Dia tidak lagi netral sebagai negarawan. Akibatnya adalah penyalahgunaan bantuan sosial berpotensi sangat besar diarahkan pada kepentingan suara  pasangan 02, di mana anaknya ada di sana. Rakyat Miskin dan Revolusi Mental Jokowi, dahulu ketika maju sebagai capres, berjanji akan membebaskan Bangsa Indonesia dari mentalitas budak dan ketertindasan. (Revolusi Mental, Kompas,10/5/2014). Ini adalah cita-cita mulia. Namun, membuat rakyat tergantung dengan bantuan sosial, seperti saat ini, adalah kejahatan besar. Makruf Amin, Wakil Presiden, mengatakan hal itu adalah praktek-praktek melanggengkan kemiskinan. Ketergantungan itu akan semakin jahat jika pemerintah memanipulasi image bahwa bantuan itu adalah tanda pertolongan presiden kepada rakyat susah. Indikasi ke arah itu tentunya jelas terlihat, seperti adanya viral bansos bertanda 02, temuan lembaga survei Indopol bahwa masyarakat takut di survei karena takut tidak diberi bansos, dan terakhir pernyataan Zulkifli Hasan dalam kampanyenya di Kendal. Pernyataan Zulkifli Hasan yakni dia bertanya \"yang kasih bansos sama BLT siapa?\", disini bukti dia  mengasosiasikan pemberian bansos dengan Jokowi dan meminta rakyat miskin dukung Gibran. (CNBC Indonesia, 4/1/24). Bagaimana Bansos di Belanda? Politik Gentong Babi telah ditinggalkan negara-negara eropa ratusan tahun silam. Sejak kebangkitan humanisme di barat, manusia tidak lagi dianggap sebagai budak. Barter kepentingan antara rakyat dan kapitalis, tidak lagi terikat pada tataran mirip binatang. Melainkan perjanjian upah, pendidikan dan kesejahteraan. Saat ini selain kesejahteraan, rakyat meminta \"green life\", yang menunjang \"Leisure\" mereka. Pada tahun 1990an, di Belanda, misalnya, kaum tak mampu mendapatkan bantuan pemerintah sebesar 1200 Gulden perbulan. Bantuan itu langsung ditransfer setiap bulan ke rekening penerima. Caranya memperoleh bantuan mudah sekali. Penerima cukup mendaftarkan di dinas sosial setempat.  Setiap orang kurang mampu akan ditransfer langsung, saat itu, minimum 1200 Gulden. Jika mempunyai anak akan mendapatkan tunjangan anak, tunjangan pendidikan anak, tunjangan kesehatan dan juga tunjangan untuk pergi berlibur (vacantiegeld). Bantuan tidak ada berupa beras maupun barang lainnya. Tidak ada pertemuan antara pemberi maupun penerima. Semuanya transfer bank. Bantuan ini akan dihentikan pada saat inkom penerima sudah mencapai basis sejahtera, ketika kemudian mereka mendapatkan pekerjaan. Sebab, semua orang harus mendaftar di biro tenaga kerja (uitzendbureau) untuk segera mendapatkan pekerjaan. Selain itu setiap orang harus terdaftar di dinas pajak dan dinas sosial. Karena  setiap pekerja nantinya dianggap sebagai pembayar pajak (tax payer), yang menunjukkan dia sebagai \"stake holder\" dalam bernegara.  Dalam mencari kerja juga tidak perlu mengemis-ngemis atau tidak butuh \"ordal\". Karena sistem \"supply-demand\" tenaga kerja direncanakan secara sistematis oleh negara. Terakhir yang perlu dicatat adalah setiap pekerja mempunyai hak-hak yang sama tinggi dengan pemberi kerja. Penerima bantuan sosial tidak perlu membalas budi kepada pemerintah yang berkuasa. Tugas presiden hanya menjadi penyalur saja, tidak lebih. Hal yang sama dalam urusan bansos seperti di Belanda itu, harusnya sudah terjadi di era Jokowi. Sebagaimana maksud Jokowi dengan \"Revolusi Mental\" nya. Di barat, sejak Welfare State diterapkan secara luas, sebagaimana diinginkan Proklamator Muhammad Hatta, kemiskinan bukan pula dijadikan komoditas politik. Pemerintah hanyalah alat untuk menjalankan fungsi negara, yakni melindungi rakyatnya. Sehingga, pemberian bansos itu, sekali lagi, seperti kata Hadist, \"Jika tangan kanan memberi, pastikan tangan kiri tidak tahu\". Jika mengumbar Bansos sebagai pemberian Jokowi, maka dipastikan itu sebagai penghinaan dan pembohongan terhadap rakyat. Penutup Anies, Ganjar, Ma\'ruf Amin dan lainnya, serta tokoh-tokoh NGO (LSM) mengecam politik gentong babi. Sementara Jokowi dan rezim pendukung 02 semakin semangat mempolitisasi bansos. Padahal Jokowi berjanji Revolusi Mental adalah membebaskan manusia dari perbudakan dan penindasan. Rakyat sudah seharusnya menjadi pemilik sah negeri ini. Jika pemerintah membagi adil hasil pajak dan pengerukan  sumberdaya alam kita, maka pembagian bansos itu adalah keharusan negara. Di era Anies dan Muhaimin ke depan, maka pelayanan bansos akan disempurnakan menjadi BANSOSPLUS, artinya negara hanya menjadi pelayan terbaik bagi rakyat penerima bansos. Istilah bansos juga sebaiknya dirubah namanya menjadi, seperti di Belanda,  tunjangan sosial, tunjangan pendidikan, tunjangan kesehatan, tunjangan liburan dan lainnya, bukan bantuan.  Jika politik Gentong Babi terus berjalan,  Saatnya bagi segenap rakyat melawan. Ambil bansosnya, jangan pilih Prabowo-Gibran! .

Timang-timang Anakku Gibran, Kampanye Jokowi

Oleh Laksma TNI Pur Ir Fitri Hadi S, M.A.P. | Analis Kebijakan Publik Timang timang anakku sayang, buah hati ayahanda seorang, implementasinya bisa bermacam macam apalagi bila  menyangkut anak Presiden atau “Timang-timang anakku Gibran”, maka ini bisa menggoyangkan seluruh anggota kabinet Jokowi. Mengapa tidak, sejak awal Jokowi sudah mengatakan akan cawe cawe pada Pemilu 2024 ini.  Timang timang anakku Gibran , melanggangkan Gibran sebagai calon wakil presiden dengan mengorbankan pamannya Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman karena melakukan pelanggaran sebagaimana tertuang dalam Sapta Karsa Hutama Prinsip Ketakberpihakan, Prinsip Integritas, Prinsip Kecakapan dan Kesetaraan, Prinsip Independensi, dan Prinsip Kepantasan dan Kesopanan. sehingga, MKMK memberhentikan Hakim Konstitusi Anwar Usman dari jabatan Ketua MK.  Anjing menggonggong, kafilah berlalu. Walau dianggap naiknya  Gibran menjadi calon wakil presiden sebagai produk KKN, tapi jalan terus, Prabowo dan partai partai koalisinya mengabaikan semua cemooh dan tanggapan negatif atas segala keputusannya. Partai partai besar seperti Gerindra, Golkar, PAN, Partai Demokrat yang menjadi koalisinya seperti tidak punya kader lain Sehinga mengiyakan keinginan Jokowi untuk menjadikan anaknya Gibran sebagai wakil presiden. Sesuai UU Gibran belum cukup umur untuk dicalonkan sebagai wakil presiden. Pertimbangan penunjukan Gibran sebagai cawapres pasangan no 2 bagi Prabowo dimungkinkan oleh pengalaman kekalahan Prabowo pada 2 (dua) kali pemilu sebelumnya yaitu 2014 dan 2019. Pada dua kali kontestasi presiden tersebut selalu diikuti dengan gugatan pemilu curang, terutama pada pemilu tahun 2019 yang banyak menelan korban jiwa manusia. Di sini Publik dan bahkan Prabowo menyakini kekalahannya selama ini adalah akibat kecurangan maka musuh besarnya dalam pemilu adalah kecurangan. Belajar dari pengalaman tersebut Prabowo tentu tidak mau kembali dicurangi, apalagi pemilu 2024 ini ada upaya untuk melanggangkan kekuasaan Jokowi. Dalam bebagai kesempatan Jokowi sering menunjukkan keberpihakannya pada salah satu calon Presiden namun  Jokowi belum secara tegas menunjukan pada siapa Jokowi berpihak. hal inilah kemungkinan  yang tidak disukai oleh Prabowo, bila Jokowi tidak berpihak kepadanya maka kemungkinannya adalah Prabowo akan kembali kalah akibat kecurangan. Keadan ini membuat Prabowo merasa tidak aman,  merasa tidak percaya diri (inferiority), takut, cemas (anxiety) dan lainnya pada pengalaman buruknya dalam mengikuti pemilu presiden. Prabowo dihantui  akan terulang kembali kecurangan pada dirinya, Prabowo kuatir gagal lagi. Di sisi lain hubungan Jokowi dengan PDIP semakin memburuk akibat PDIP tidak menginginkan Presiden 3 periode atau perpanjangan masa jabatan presiden dengan alasan melanggar konstitusi. Momentum ini dimanfaatkan, Gibran Rakabumi Raka kata kuncinya. Di satu sisi Gibran dapat menjadi boneka Jokowi karena Gibran adalah anaknya, jadilah timang-timang anakku Gibran dan gayungpun bersambut, dengan menggandeng Gibran sebagai calon wakil presiden maka Prabowo tidak akan dicurangi lagi, kalaupun terjadi kecurangan semuanya akan menguntungkan Prabowo karena kecurang tersebut demi memenangankan Gibran. Maka jadilah Prabowo Subianto dan Gibran Rakabumi Raka sebagai pasangan calon no 2. Semua upaya sudah dilakukan, termasuk pelanggaran etika naiknya Gibran sebagai calon wakil presiden mereka acuhkan, maka kemungkinannya kecuranganpun akan mereka jalankan. Menaruh harapan yang begitu besar terhadap Gibran dengan memanfaatkan nama besar bapaknya, akan mampu menaikan elektabilitas pasangan Prabowo Gibran di tengah issue negative yang melekat pada diri Prabowo seperti  penggaran HAM, gagalnya Food Estate bahkan dianggap kejahatan terhadap lingkungan, pengadaan alut sista bekas yang lebih mahal dibanding negara lain. Namun kenyataannya hasil survey tidak menunjukkan naiknya elektabilitas pasangan no 2 tersebut bahkan sangat dimungkinkan akan mengerek turun hasil survei sebelumnya. Hal ini terjadi akibat blunder politik yang dilakukan Gibran saat debat cawapres Ahad 21 Januari yang lalu yang dinilai tidak beretika bahkan mengolok olok lawan debatnya. Target menang 1 (satu) putaranpun mulai goyah. Tidak  bergerak naiknya elektabilitas Prabowo Gibran untuk memperoleh angkat diatas 51% guna menang 1 putaran tampaknya dan dianggap para pengamat membuat Jokowi resah atau panik. Panik karena bagi mereka kemenangan Prabowo Gibran merupakan harga mati dan menyangkut keselamatannya pasca lengser sebagai presiden Jokowi.  Kini keadaannya semakin menegangkan dan membahayakan. Keinginan Jokowi untuk menjadikan anaknya sebagai wapres terindikasi dengan ketidak netralan  dan cawe cawe Jokowi  bahkan diduga Jokowi akan turun gunung ikut berkampanye dalam pemilu kali ini padahal dia bukan incumbent (petahana). Bila hal tersebut benar benar dilakukanya dan ditengah bermunculan laporan pemilu curang maka langkah yang dapat dikatakan langkah membabi buta ini dapat merusak demokrasi yang telah dibangun oleh pendahulu pendahulunya. Keberlangsungan demokrasi di Indonesia kini semakin di ujung tanduk. Reaksi negative masyarakat atas tindakan Jokowi ini bermunculan, Majelis Hukum dan HAM (MHH) Pimpinan Pusat Muhammadiyah telah mendesak Presiden Jokowi mencabut pernyataannya soal Presiden boleh berpihak dan berkampanye di Pilpres. Pernyataan  ini ditandatangani oleh Ketua MHH Muhammadiyah Trisno Raharjo dan Sekretaris Muhammad Alfian. \"Mendesak Presiden Joko Widodo untuk mencabut semua pernyataannya yang menjurus pada ketidaknetralan institusi kepresidenan, terlebih soal pernyataan bahwa presiden boleh kampanye dan boleh berpihak,\" demikian keterangan tertulis MHH Muhammadiyah. MHH Muhammadiyah berpendapat bahwa presiden merupakan kepala negara yang menjadi pemimpin seluruh rakyat. Sehingga, ada tanggung jawab moral dan hukum dalam segala aspek kehidupan bernegara. Timang timang anakku Gibran adalah cara memenang pemilu 2024, etika telah dilanggar, akankah sadar lalu surut melangkah atau terus berjalan? Bukan cuma hukum, tapi moral atau etika ukuranya dan keselamatan bangsa adalah taruhannya, tapi bila nafsu kekuasaan lebih mewarnai, maka segala cara adalah cara memenangkan kontestasi. Waspadalah, semua itu mungkin. Probolinggo, Januari 2024

Pak Luhut Itu Sangat Rasional, Tapi Kenapa Tidak Dukung Anies?

Oleh Asyari Usman | Jurnalis Senior BELIAU sangat rasional dalam segala hal. Melihat dan mengevaluasi sesuatu selalu rasional. Membuat keputusan berdasarkan pertimbangan rasional. Dan, oleh karena itu, memilih pemimpin negara pun seharusnya rasional juga. Begitulah orang mengenal Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan (LBP). Tetapi, mengapa faktanya untuk urusan pemimpin negara Pak Luhut kelihatannya tidak rasional? Untuk pilpres 2024 ini Pak Menko sudah tahu Anies Baswedan luar-dalam. Tidak ada yang disembunyikan. Integritas, kapabilitas, kapasitas, moralitas, akseptabilitas, semuanya komplit dimiliki Pak Anies. Di masa kampanye ini, dan jauh sebelumnya, Anies menyediakan diri untuk diroasting atau dikuliti oleh berbagai acara televisi maupun panggung komedi. Anies juga memenuhi undangan semua diskusi terbuka yang melibatkan kalangan akademisi maupun orang biasa. Ada acara “Uji Publik” di sejumlah kampus dan “Desak Anies” di tempat-tempat umum. Acara-acara itu tidak hanya dihadiri oleh pendukung Anies. Bahkan yang bukan pendukung capres 01 ini pun ikut mencecar dengan pertanyaan yang sifatnya random dan instan. Tanpa pengaturan. Orangnya tidak diatur, begitu juga pertanyaannya. Semua disampaikan bebas. Tentang apa saja. Alhamdulillah, Anies bisa menjawab ratusan atau mungkin ribuan pertanyaan acak yang diajukan kepadanya. Kita bisa melihat orang-orang yang hadir merasa puas dengan jawaban atau penjelasan Anies. Jawaban-jawaban Anies selalu rasional. Bagaimana membuktikannya? Lihat saja kontinuitas “Desak Anies” itu. Ada saja yang ingin menyelenggarakannya. Laris sekali. Demand melebihi suplai. Masyarakat senang karena mereka bisa membongkar habis pikiran Anies. Warga bisa mengetahui gagasan Capres 01 ini untuk masa depan Indonesia. Bahkan, masyarakat pun bisa mengetahui kepribadian beliau. Semua transparan di depan umum. Dan semuanya rasional. Satu hal, Pak Luhut. Acara-acara ini dinilai mencerdaskan. Sekaligus mengasah rasionalitas. Dalam arti, Anies tidak hanya menjawab pertanyaan tetapi juga mampu memberikan berbagai perspektif baru kepada mereka yang hadir. Intinya, Anies menjadi stimulan untuk belajar rasional. Dia piawai namun tidak menggurui lawan-lawan bicaranya agar menggunakan sikap rasional dalam semua urusan. Anies selalu mengajak siapa saja yang dijumpainya agar rasional dalam setiap langkah. Sekarang kita tanya langsung Pak Menko: mengapa Anda mendukung Prabowo-Gibran? Apakah paslon 02 ini cocok dengan rasionalitas Anda, Pak? Apakah benar-benar rasional ketika Pak Luhut memberikan dukungan atau menjatuhkan pilihan kepada Prabowo-Gibran? Rasional bermakna memperbandingkan pilihan-pilihan yang ada berdasarkan “ratio”. Nah, apakah Pak Luhut jujur bahwa memilih paslon 02 itu sudah rasional? Dan masuk akal? Bahwa Prabowo-Gibran itulah yang terbaik? Sebagai tokoh panutan, Pak Luhut berkewajiban untuk menunjukkan siapa orang yang terbaik untuk dipilih menjadi presiden Indonesia? Siapakah pilihan yang rasional itu? Beberapa hari yang lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan kepada jajarannya tentang bahaya pemimpin yang gampang emosional. Beliau tidak menyebut nama tetapi suasana kontestasi hari ini membuat kita paham siapa yang dimaksudkan Bu Menteri. Lebih nyerempet lagi, Bu Sri mengisyaratkan bahwa pilihan Pak Luhut atas Prabowo-Gibran sama sekali tidak rasional. Apa pun “bench-mark” atau patokannya. Sebaliknya, Bu Menteri secara tersirat menyimpulkan Anies Baswedan adalah pilihan yang rasional. Persoalannya, kalau Pak Luhut memang senantiasa rasional, mengapa tidak mendukung Anies?[]

Jokowi Makin Nekad, Kalap dan Brutal

Oleh Sutoyo Abadi | Koordinator Kajian Merah Putih  JOKOWI terlihat ada gangguan psikologis. Endorsement power    Jokowi sudah selesai, kekuatan endorsenya  telah berkurang atau melemah namun dirinya seolah masih ingin mengatur dan berkuasa. Hal tersebut menandakan bahwa Jokowi mengalami delusi,  kondisi dimana penderitanya tidak lagi dapat membedakan antara realita dan hanya bayangan. Orang yang mengalami gangguan delusi akan menganggap apa yang telah dialami dan terjadi sukses kemenangan Pilpres 2019 dengan segala cara diyakini dan menjadi bayangan bisa diulang kembali, untuk kemenangan Capres dan Cawapresnya. Tidak sadar keadaan dan sikon politik masyarakat sudah berubah, rakyat pada posisi kesadaran tertinggi bahwa kecurangan pilpres 2019 yang telah membawa petaka tidak boleh terjadi lagi.  Pelaksana Pilpres yang tinggal menghitung hari perkembangan dan fenomena politik licik oleh Jokowi dengan semua kekuatan dan kekuasaannya makin menggila, semua aturan diterabas, asal bisa menenangkan Calon Presiden dan wakilnya. Pasangan Calon  Capres / Cawapres Anies Baswedan - Muhaimin dan Ganjar Pranowo - Machfud MD dalam ancaman serius akan di patahkan dan dirusak oleh rezim Jokowi  ditengah jalan, dengan macam macam rekayasa politik busuk, kotor dan licik. Khususnya Pasangan Capres Anies Baswedan dan Muhaimin  dengan semangat perubahan yang makin membesarkan di semua daerah dan hampir pasti bisa menenggelamkan Pasangan Prabowo Subianto dan Gibran harus bisa di hancurkan dengan segala cara. Delusi yang terbaca dengan kuat, ketika Gibran dalam ancaman maka hanya dengan cara curang ( memanipulasi suara ) adalah satu satunya cara dan jalan terakhir bagi Jokowi. Menghadapi protes rakyat, Jokowi sudah menyiapkan  semua perangkat keamanan negara, KPU, Panwas dan Mahkamah Konstitusi sebagai benteng terakhir sengketa pemilu semua sudah dalam siaga tinggi. Dalam kondisi seperti ini Pasangan Calon Capres / Cawapres Anies Baswedan - Muhaimin dan Ganjar Pranowo - Machfud MD bersama masa pendukungnya harus siaga tinggi melawan, menghadang dan menghadapi begal politik yang sedang berjalan, kecurangan yang pasti akan terjadi. \"Mengharapkan Pilpres jujur dan adil sudah tipis harapan karena Presiden Jokowi sepertinya sudah benar benar nekad, kalap, bruta dan membabi buta akan merusak proses Pilpres berjalan dengan normal sesuai demokrasi yang wajar dan normal.\" Pesan politik rakyat mutlak harus di hidupku dan di kobarkan ke seluruh penjuru negeri, apabila Jokowi tetap nekar, kalap, brutal dan membabi buta akan memenangkan Capres / Cawapresnya dengan segala cara sama saja membuka front terjadinya kerusuhan nasional. Strategi  kekuatan rakyat melawan para begundal demokrasi, dari rakyat akan muncul sebagai kekuatan yang tidak mungkin bisa dilawan oleh kekuatan apapun. Rezim penguasa harus diberi sinyal dan peringatan tegas dan keras bahwa kerusuhan nasional bisa membawa negara pada perang saudara akan terjadi.***

Air Mata dan Nyawa Rakyat Jelata

Oleh Ubedilah Badrun | Analis Sosial Politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Di tengah hiruk-pikuk Pemilu 2024 yang penuh gimmick dan dramaturgi ada baiknya beri ruang dan sedikit waktu untuk merenung. Sebab sesunguhnya merenung adalah jendela batin untuk memetakan problem, anomali dan paradox dalam kehidupan sosial kita, dalam kehidupan kebangsaan kita. Ada banyak problem sosial yang menggambarkan fenomena paradox, misalnya ada entitas sosial yang serba kecukupan dan berlebihan, di saat yang sama ada entitas sosial lainya yang hidup serba kekurangan. Dalam situasi itu kita memerlukan kepekaan untuk merespon dan peduli, apalagi ketika institusi negara telah abai terhadap mereka yang menderita, mereka yang kesepian. Derita dan Kematian dalam Sepi Hidup dalam situasi sosial ekonomi yang terbatas, bukan karena tidak mau bekerja tetapi karena pekerjaan tak bisa memberi kesejahteraan, bahkan seringkali diputus sepihak oleh mereka yang berkuasa. Tidak lagi berada dalam keramaian bisingnya mesin pabrik, dan hiruk pikuk para pekerja, dia telah menjadi sepi. Seperti tIdak ada lagi harapan. Tak ada tempat sesama untuk bergantung. Baik kepada keluarga, atau saudara yang kondisinya ternyata juga tak jauh berbeda. Tidak ada jalan lain kecuali jalan sunyi, sepi dan air mata. Dalam situasi beban ekonomi yang berat dan hidup sosial yang sepi, seringkali menjadi faktor untuk memilih jalan pintas mengakhiri hidup atau bunuh diri. Tidak banyak di antara kita yang membuka ruang batin untuk melihat data dan fakta sosial tentang semakin banyaknya masyarakat yang memilih mengakhiri hidup secara tragis itu. Faktanya  data angka bunuh diri di Indonesia dalam tiga tahun terakhir ini jumlahnya melonjak naik sangat drastis. Pada tahun 2021 ada 629 kasus bunuh diri, tahun 2022 terdapat 902 kasus bunuh diri, dan tahun 2023 ada 1.214 kasus bunuh diri (Puskinas Polri, 2023). Grafiknya naik. Mayoritas kasus bunuh diri dilakukan karena beban ekonomi yang berat. Fakta Menyayat Hati Mungkin anda dan kita semua masih ingat dengan Kristianto Billy (27 tahun), pemuda Kasongan-Kalimantan Tengah yang gantung diri di kamar rumahnya pada malam (2022), dua tahun setelah rame-rame UU Omnibus Law Ciptaker diprotes dan disahkan secara terburu-buru oleh DPR saat itu (2020). Kisahnya mengiris hati sebab dia bunuh diri karena tidak terima dirinya terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) atau diberhentikan dari pekerjaannya secara sepihak. Padahal pagi harinya baru saja dia bercerita kepada pamannya tentang kondisi ekonominya yang berat karena telah di PHK.  Sehari kemudian di daerah dan tahun yang sama, kisah menyayat hati itu terjadi lagi, namanya Leno B Jinu (49 tahun) yang setiap pagi bekerja menjala ikan ditemukan gantung diri dipinggir sungai. Ia bunuh diri ditengah kondisi ekonominya yang sulit sembari merawat istrinya yang terkena kanker kista. Tragedi bunuh diri juga terjadi lagi, kali ini satu keluarga di Malang, Jawa Timur  terjadi pada 2023. Dalam insiden tersebut, seorang ayah tewas bersama istri dan satu anaknya yang berusia 13 tahun. Sebelum mengakhiri hidup, sang Ayah yang menghadapi masalah ekonomi dan banyak utang menulis pesan  \"Kakak jaga diri. Papa, mama, adik pergi dulu. Nurut uti, kung, tante, dan om. Belajar yang baik. Love you kakak,\" pesan sang Ayah bernama Wahab kepada anak pertamanya yang masih hidup, dengan derai air mata sang anak membacanya. Tragedi kematian keluarga terjadi kembali. Empat anak usia dini di sebuah rumah kontrakan yang terletak di Gang Roman, Kelurahan Jagakarsa, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan, pada Desember 2023 juga telah meninggalkan duka mendalam. Bermula ketika sang Ayah (P) dan istrinya (D) tidak lagi bekerja, hingga mengalami problem ekonomi serius. Sejak itu, sejumlah permasalahan muncul hingga berujung kematian 4 anaknya yang berusia 6 tahun,4 tahun ,3 tahun dan 1 tahun. Beban ekonomi yang berat dan problem keluarga membuatnya kehilangan rasionalitas hingga mengakhiri hidup anak - anaknya yang masih balita. Awal Januari 2024, MJ (31), warga Musi Banyuasin, Sumatera Selatan ditemukan gantung diri tepat di tempat pencucian mobil sekitar pukul 07.00 WIB. Anak muda itu diketahui baru saja sehari bekerja di bengkel cucian mobil (car wash) di Kota Jambi. DIa bunuh diri karena beban ekonomi yang juga berat disusul kemudian masalah rumah tangganya. Faktor Ekonomi dan Tiadanya Solidaritas Organik Sosiolog Emile Durkheim (1858-1917) dalam bukunya berjudul Suicide (1897) mengemukakan bahwa salah satu tipe bunuh diri adalah bunuh diri Anomik, yaitu suatu praktik bunuh diri akibat kegagalan pembangunan ekonomi dan pembagian kerja yang tak mampu menghasilkan solidaritas organik. Kesenjangan sosial ekonomi yang tinggi antara kaya dan miskin, banyaknya kelompok ekonomi rentan dan runtuhnya norma-norma sosial yang mengatur perilaku, oleh Emile Durkheim (1897) keadaan ini disebut anomie. Dari keadaan anomie inilah muncul segala bentuk perilaku menyimpang, dan yang paling menonjol adalah tindakan bunuh diri. Faktanya di Indonesia,  kesenjangan sosial ekonomi masih terus menganga, kelas menengah rentan  (aspiring middle class) angkanya mencapai lebih dari 115 juta (World Bank, 2023). Secara sistemik ini bisa dilihat sebagai fakta persoalan serius pembangunan di Indonesia. Situasi rentan ini dampak sosialnya sampai ke ranah psikologi sosial yang  berat di derita masyarakat. Ada penderitaan sosial ekonomi yang berat yang menyebabkan seseorang mengakhiri hidupnya. Episode Besar dan Air Mata Darah Kisah tragis Kristisnto Billy dan Leno B Jinu di Kalimantan, keluarga Wahab di Malang, Keluarga Panca di Jakarta Selatan, kisah  MJ di Jambi dan kisah derita lainya yang tak bisa diceritakan, adalah air mata dan nyawa rakyat jelata yang menjerit ditengah keramaian elit berebut kekuasaan, keramaian elit mengabaikan moralitas dan konstitusi.  Bahkan ada yang berpesta menumpuk kekayaan karena privilage sebagai keluarga penguasa. Ya..Air Mata dan Nyawa  Rakyat Jelata masih sering diabaikan dalam hiruk pikuk politik. Rakyat jelata masih terus menjerit berharap ada episode besar yang membawanya pada kemakmuran. Di manakah tuan episode besar itu? Apakah harus menunggu air mata darah kembali menetes? ....