Kuliah Kebutuhan Tersier, Tidak Wajib?
Oleh Faishal Sallatalohy - Praktisi Hukum
Pemerintah memposisikan pendidikan tinggi di kampus sebagai kebutuhan tersier. Tidak masuk dalam program wajib belajar 12 tahun yang digagas pemerintah Jokowi. Statusnya bukan "wajib" melainkan "pilihan".
Artinya, secara hukum, pemerintah memposisikan pendidikan tinggi bukan sebagai kebutuhan primer yang harus diprioritaskan dalam layanan ke masyarakat. Dengan bahasa lain, pemerintah hanya mewajibkan masyarakat memiliki pendidikan sebatas SD, SMP, SMA/SMK saja. Sementara perguruan tinggi, hanya pilihan, tidak penting, bukan kebutuhan mendasar.
Kebijakan konyol yang hanya akan semakin memburukan kualitas SDM Indonesia. Memicu pendalaman indeks pembangunan manusia semakin tidak berkualitas. Menjatuhkan mimpi generasi mudah untuk berdaya saing global dan go internasional. Semakin banyak kualitas lulusan dan tenaga kerja kasar karena mayoritasnya, paling top hanya lulusan SMA/SMK.
Kenyataan dunia hari ini bordless dan dinamis. Membentuk pasar tenaga kerja yang sangat kompetitif. Coba saja liat syarat rekruitmen tenaga kerja. Baik di sektor formal dan informal, rata-rata mensyaratkan minimal lulusan S1 dengan berbagai pengalaman kerja.
Secara global, misalnya menggunakan ukuran "Global Talent Competitivnes Index (GTCI)", bahwa kualitas tenaga kerja dinilai berdasarkan lama sekolah (tingkat pendidikan) dan pengalaman. Dengan kenyataan tersebut, apakah pemerintah ingin menjadikan masyarakat indonesia menjadi babu, jongos di negeri sendiri dengan cara menghasilkan lulusan yang mayoritasnya SD, SMP, SMA/SMK ?
Kenyataan saat ini menunjukkan, Peringkat kualitas daya saing SDM indonesia berdasarkan GTCI, masih sangat miris. Terperosok di angka 38,61. Bahkan lebih rendah dibanding malaysia Malaysia 58,62, Brunei Darussalam 49,91 dan Filipina 40,94.
Dengan kenyataan yang menyedihkan itu, kenapa tidak memprioritaskan pendidikan tinggi masuk dalam program wajib belajar yg ditopang oleh pendanaan full negara?
Jika program wajib belajar hanya sebatas SD, SMP, SMA/SMK, dapat dipastikan indeks daya saing SDM Indonesia secara global akan makin suram.
Dalam regulasinya, pemerintah hanya mensubsidi pendanaan untuk pendidikan wajib 12 tahun (SD, SMP, SMA/SMK). Subsidinya pun tidak full, hanya berbasis skema bantuan (BOS).
Sementara untuk perguruan tinggi, pendanaan dari APBN (subsidi) dipangkas, pemerintah lepas tangan. Bagi peserta didik yg ingin melanjutkan ke perguruan tinggi, silahkan bayar sendiri tanpa didukung subsidi pendidikan dari negara.
Kebijakan Konyol
Memangkas BOP dari APBN ke Perguruan Tinggi adalah perilaku konyol pemerintah Jokowi yang patron politik pendidikannya memang berhaluan Barat. Pegembangan pendidikan, terutama pendidikan tinggi dilihat hanya dari satu sisi, yakni pertimbangan ekonomi dan bisnis. Kampus dikondisikan sebagai lahan investasi yang menjanjikan profit kepada pendonor, investor.
Begitulah polanya, agar modal swasta bisa masuk dan bekerja di Kampus, maka Support pendanaan negara lewat APBN harus dihentikan terlebih dahulu. Ketika pendanaan negara berhenti, kampus-kampus didorong "menjual diri" untuk diintervensi modal swasta dengan skema penawaran bisnis to bisnis.
Ketika modal swasta masuk kampus, layanan pendidikan bergeser dari fungsi sosial ke fungsi bisnis. Eksesnya pasti menuntut kenaikan biaya kuliah secara konsisten. Dikarenakan prinsip utama investasi dan bisnis adalah mencari profit setinggi-tingginya.
Pergeseran pendidikan tinggi dari fungsi sosial ke fungsi bisnis merupakan ekses dari "manutnya" pemerintah Indonesia terhadap penerapan reformasi struktural dalam bentuk pelaksanaan kebijakan liberalisasi, privatisasi dan komersialisasi perguruan tinggi sesuai perintah sejumlah lembaga keuangan dan perdagangan global.
Misalnya, di tahun 2012 lalu, diberlakukan rezim UU No 12 tahun 2012 tentang Badan Hukum Perguruan Tinggi yg kini sudah direvisi masuk dalam UU Cipta Kerja.
Ekses aturan ini adalah membiarkan perguruan tinggi bekerja sesuai mekanisme pasar tanpa ada perlindungan dari negara. Bahasa sederhananya, cabut kewajiban subsidi pendidikan dari negara, biarkan kampus beroperasi menggunakan modal swasta.
Memenuhi maksud tersebut, sejak tahun 2008, kampus-kampus negeri, lebih dulu dirubah statusnya dari Perguruan Tinggi Negeri (PTN), menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) kemudian diubah lagi menjadi Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN BH).
Pergeseran status tersebut, secara langsung merubah status kampus negeri layaknya kampus swasta. Sama-sama tidak lagi menerima biaya operasional dari negara. Sebagai gantinya, seluruh kampus disuruh untuk mencari sumber dana sendiri dengan cara berbisnis dengan mahasiswa lewat kenaikan biaya pendidikan yg cenderung mahal dan membuka diri untuk diintervensi oleh modal swasta.
Untuk mendukung pihak kampus berbisnis dengan mahasiswa, pasal 88 UU No 18 Tahun 2012 mengamanatkan pemerintah untuk menentukan suatu standar tertentu operasional pendidikan tinggi dan sistem pembayaran pendidikan bagi mahasiswa.
Dari sana, maka lahirlah sistem uang kuliah tunggal (UKT) yg selanjutnya diatur dengan peraturan menteri pendidikan dan kebudayaan.
Beleid terbaru terkait UKT, diatur dalam Permendikbud No. 25 Tahun 2020. Masalahnya terletak pada pasal 6 yg menyatakan, bahwa besaran UKT ditentukan oleh Pimpinan kampus PTN Badan Hukum setelah berkonsultasi kepada Menteri melalui Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi.
Sementara untuk kampus PTN, selain Badan Hukum (Swasta) menetapkan besaran UKT setelah mendapatkan persetujuan dari Menteri melalui Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi bagi universitas dan institut atau Direktur Jenderal Pendidikan Vokasi bagi politeknik dan akademi komunitas.
Ketika pemerintah memberikan kewenangan mutlak kepada kepala perguruan tinggi untuk menentukan besaran UKT, masalahnya adalah tidak ada regulasi yang mengatur terkait batas maksimal besaran UKT yg harus dibayarkan mahasiswa. Tentu saja hal ini merupakan celah bagi pihak kampus untuk menetapkan besaran UKT dengan harga yang cenderung mahal dan selalu naik tiap tahunnya.
Wajar saja, kampus menetapkan UKT mahal. Dikarenakan kampus, terutama PTN-BH tidak lagi menerima dana operasional dari negara. Di satu sisi mahasiswa dibkin "mampus" dengan UKT yang mahal.
Mahasiswa diwajibkan membayar UKT mahal, dimana pembayaran mahasiswa tersebut akan digunakan untuk membiayai operasional kampus meliputi komponen Gaji Dosen, fasilitas belajar, meja, kursi, ATK, biaya perawatan, pemeliharaan gedung, biaya listrik, PAM dan sebagainya.
Semua hal yg seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah, dibebankan kepada mahasiswa untuk membayarnya. Belum lagi ditambah dengan sifat serakah pemodal yang menanamkan investasinya di kampus. Prinsip modal adalah bisnis. Motif bisnis adalah untung sebesar-besarnya. Mendorong pihak kampus menetapkan UKT dengan harga yang cenderung memiskan keluarga peserta didik.
Akhirnya, biaya UKT yang mahal, sulit dijangkau mahasiswa. Bukannya merevisi aturan konyol tersebut, pemerintah malah melegitimasi dan mendorong perusahan pinjol masuk dan menjadi alternatif pendanaan pendidikan mahasiswa yg sulit membayar biaya pendidikan mahal. Seperti maraknya mahasiswa yg terjerat pinjol UKT belakangan ini.
Inilah wujud mekanisme pasar yang menjadi prinsip utama operasional perguruan tinggi. Kampus diliberalkan, diprivatisasi dan dikomersialisasi sebahai lembaga bisnis lewat rezim UKT yang sangat mahal.
Liberalisasi pendidikan sebagai lembaga bisnis bukan hal baru. Ini bagian dari kelanjutan reformasi ekonomi yg dipaksakan WTO, IMF, OECD, ADB dan Bank Dunia untuk dijalankan pemerintah Indonesia.
Imbas krisis 1998, Indonesia diberi pinjaman IMF sebesar US$ 32 milyar untuk melakukan reformasi struktural, termasuk di bidang pendidikan. Hal ini sejalan dengan agenda reformasi paradigma yang dipaksakan Bank Dunia antara periode 1994-2010.
Puncaknya pada tahun 2005, indonesia sebagai anggota WTO, berkewajiban menandatangani General Agreement on Trade Service (GATS) yg mengatur liberalisasi perdagangan 12 sektor jasa, antara lain layanan kesehatan, teknologi informasi dan komunikasi, jasa akuntansi, pendidikan tinggi dan pendidikan selama hayat, serta jasa-jasa lainnya.
Dokumen GATS tersebut pada akhirnya dijadikan sebagai rujukan akademik pembentukan UU No 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP).
Aturan ini kemudian dibatalkan MK pada 31 Maret 2010 dengan amar putusan yang tegas menyatakan bahwa regulasi ini merugikan Indonesia karena bertujuan melibarkan, privatisasi dan menyerahkan pendidikan tinggi kepada mekanisme pasar tanpa ada perlindungan negara.
Namun usaha para komprador kekuasaan itu tidak berhenti. Dua minggu kemudian, tepatnya pada 17 April 2010, Bank Dunia kembali mengupayakan liberalisasi, privatisasi dan komersialisasi pendidikan tinggi dengan menyodorkan dokumen "Managing Higher Education for Relevance and Efficiency".
Dokumen itulah yang selanjutnya digunakan sebagai dasar rujukan akademik pembentukan UU No 12 Tahun 2012 Tentang Perguruan Tinggi yang sekarang sudah direvisi masuk ke dalam UU Cipta Kerja dengan model pengaturan pendidilan yang liberal dan cenderung mahal lewat keberlanjutan skema UKT.
Karena mahal biaya pendidikan, mahasiswa kesulitan membayar. Tololnya, pemerintah lewat OJK, legitimasi dan dorong perusahan pinjol masuk dan menjadi alternafif pembiayaan lewat skema study loan dengan bunga, biaya platform dan biaya pengajuan yang cenderumg makin memiskinkan mahasiswa beserta keluarganya.
Hal paling penting yang harus diketahui, bahwa skema studi loan pinjol adalah gagasan awal presiden Jokowi pada 2018 lalu. Di tahun itu, Jokowi meminta perbankan Indonesia membuat student loan untuk mahasiswa.
Pada April 2018, terbentuklah kelompok bank yg menyediakan kredit pendidikan ini meliputi Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Mandiri, dan Bank Tabungan Negara.
Kemudian pada 2019, skema tersebut meluas ke kalangan perusahan startup pinjol binaan Kemenristek/BRIN, DANAdidik yang menyediakan pinjaman dana untuk kuliah, pelatihan, dan sertifikasi.
Melihat peluang tersebut, OJK kemudian menghimpun dan mendorong banyak perusahan pinjol, salah satunya Danacita untuk bekerjasama dengan lembaga pendidikan tinggi untuk menyalurkan kredit pembiayaan UKT kepada mahasiswa. Perilaku bego negara ini, makin tumbuh subur dan berlangsung ketika lahirnya UU Cipta Kerja.
UU Cipta Kerja hanya memasukan satu pasal terkait bidang pendidikan. Yakni pasal 65 yang terdiri dari dua ayat. Ayat (1) menyebutkan, “Pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan dapat dilakukan melalui Perizinan Berusaha”.
Norma ayat (1) dinilai mengandung semangat liberalisasi dan privatisasi yang mengarah pada komersialiasi layanan pendidikan. Pasalnya, farasa “perizinan berusaha” menyamakan perizinan pendidikan dengan izin usaha.
Perizinan berusaha sebagai asas legalitas pendirian satuan pendidikan tinggi formal dan nonformal, jelas bertentangan dengan UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).
Pada BAB XVII tentang Pendirian Satuan Pendidikan, tepatnya pasal 62 ayat (1), UU Sisidiknas menyatakan, “Setiap satuan pendidikan formal dan nonformal wajib memperoleh izin Pemerintah atau pemerintah daerah”.
Selanjutnya pada ayat (2) disebutkan, ”Syarat-syarat untuk memperoleh izin meliputi isi pendidikan, jumlah dan kualifikasi pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana pendidikan, pembiayaan pendidikan, sistem evaluasi dan sertifikasi, serta manajemen dan proses pendidikan”.
Seluruh persyaratan yang diwajibkan untuk memperoleh izin pendirian satuan pendidikan tersebut tidak disertakan dalam UU Ciptak Kerja. Sebaliknya, disederhanakan menjadi perizinan usaha.
Imbasnya, penyederhanaan perizinan pendidikan menjadi perizinan usaha, kian melonggarkan aturan sertifikasi dan evaluasi, akreditasi, hingga manajemen dan proses pendidikan. Dampak lanjutannya akan berefek pada pengabaian asas kesetaraan mutu perguruan tinggi.
Sebaliknya, penyederhaaan izin justru semakin mempermudah pelaku usaha swasta mengintervensi pendidikan nasional. Selain itu juga menjadi semacam pemberian karpet merah terhadap masuknya perguruan tinggi asing ke Indonesia, serta kebebasan perguruan tinggi untuk memainkan besaran biaya layanan pendidikan.
Dalam kaitan ini, UU Cipta Kerja dinilai lebih mementingkan asas ekonomi dan investasi pada layanan pendidikan dan cenderung mengabaikan mutu pendidikan.
Sesuai hukum pasar bebas, substansi liberalisasi investasi adalah privatisasi dan komersialisasi pendidikan. Dalam kaitan ini, peran negara dibuat seminimal mungkin. Hal ini dapat ditelusuri pada pasal 65 UU Cipta Kerja yang sama sekali tidak menyertakan aturan terkait peran pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan.
Padahal dalam pasal 53 ayat (1) UU Sisdiknas mengatur penyelenggaraan pendidikan satuan pendidikan berbentuk badan hukum didirikan oleh pemerintah dan masyarakat.
Artinya, UU Cipta Kerja selain memudahkan upaya liberalisasi pendidikan juga berupaya meminilkan peran negara. Hal ini tentu saja berpotensi mengarahkan Indonesia menuju pendalaman pasar bebas pendidikan.
Dalam konteks ini, penyederhanaan izin pendidikan menjadi perizinan usaha berpotensi membuat lembaga pendidikan memiliki dua pilihan prinsip. Antara nirlaba dengan profit. Dengan pilihan asas profit, maka lembaga pendidikan tidak akan jauh berbeda dengan korporasi yang berorientasi profit.
Dengan asas profit atau komersial akan semakin mendorong sektor pendidikan sebagai komoditas dagang. Artinya, pendidikan menjadi jasa yang diperjual belikan tergantung permintaan dan penawaran.
Dalam kaitan ini, bukan mustahil peserta didik akan berpotensi kesulitan mengakses layanan pendidikan lantaran berbiaya mahal. Hal ini dapat memicu pelebaran kesenjangan sosial. Dimana saat terjadi kesenjangan akan memperburuk tingkat literasi masyarakat.
Bagian paling penting dari upaya liberalisasi, privatisasi dan komersialisasi pendidikan, selain berbiaya mahal serta meminimalkan peran negara juga memudahkan perguruan tinggi asing mendirikan satuan pendidikan di Indonesia.
Dalam kaitan ini, persoalan semakin rumit karena pemerintah pasti diperhadapkan dengan pilihan memperioritaskan mutu pendidikan yang harus dinegosiasikan atau diselaraskan dengan kepentingan investasi.
Hal ini dinilai dapat mereduksi secara perlahan peranan negara dan masyarakat lokal dalam menjalankan satuan pendidikan dengan basis layanan pendidikan yang berdasar pada konstitusi yang menghimpun norma agama dan budaya.
Seperti yang terjadi sekarang. Atas nama kemudahan investasi, aturan dibuat dengan basis norma yang justru menjungkirbalikan nilai konstitusi yang menghimpun norma agama dan budaya Indonesia.
Hal ini boleh dikatakan menjadi pemicu lahirnya malapetaka Permendikbud No. 30 Tahun 2021. Selain cacat formil, beleid ini juga merusak mutu dan moral pendidikan perguruan tinggi secara materil karena menjabarkan norma pelanggaran seksual yang dinilai justru mengkampenyakan seks bebas di lingkungan kampus.
Misalnya ketentuan pada pasal 5 yang diikuti dengan ragam sanksi secara tidak proporsional sesuai pasal 13 ayat (2) yang diputuskan melalui rekomendasi stagas. Ketentuan pasal 5 ayat (2), khususnya yang berkaitan dengan frasa “Persetujuan Korban”, meliputi huruf b, huruf f, huruf g, huruf h, huruf l, dan huruf m. Selama dilakukan atas persetujuan korban, maka tindak kekerasan seksual yang dimaksud menjadi sah atau bukan termasuk tindakan kekerasan seksual.
Pengaturan demikian benar-benar kontraporudktif dengan filosofis dan tujuan penyelenggaraan pendidikan nasional. Tidak hanya melanggar UU Sisdiknas, tapi juga melanggar amanat konstitusi UUD 1945.
Konstitusi dalam BAB XIII Tentang Pendidikan dan Kebudayaan, pasal 31 ayat (3), menyatakan “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang--undang”.
Selain itu juga dinilai bertentangan dengan pasal 31 ayat (5), bahwa “Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan tekhnologi dengan menjunjung tinggi nilai-¬nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia”.
Selain itu, persoalan penyerderhanaan izin pendidikan menjadi izin berusaha bertentangan dengan amanat konstitusi yang mewajibkan pendidikan sebagai hak dasar bukan diserahkan kepada mekanisme untuk diprivatisasi dan dikomersialisasi.
Dalam kaitan ini, UUD 1945 BAB XA tentang Hak Asasi Manusia, pasal 28C ayat (1) menyatakan, “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia”.
Upaya liberalisasi pendidikan melalui penyederhanaan izin usaha pendidikan yang berpotensi mengarah pada privatisasi dan komersialisasi juga bersebangan dengan ketentuan BAB XIII Tentang Pendidikan dan Kebudayaan, pasal 31 ayat (1) bahwa, “setiap orang berhak mendapatkan pendidikan”.
Potensi biaya mahal akibat upaya liberalisasi yang dapat memicu ketimpangan akses layanan pendidikan juga bertentangan dengan pasal 31 ayat (2), Bahwa “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”.
Selanjutnya, Liberalisasi dengan potensi komersialisasi perguruan tinggi juga dinilai bertabrakan dengan ayat (4) pasal 31, bahwa “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari aggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional”. (*)