"Menghidupi Kehidupan, Bukan Menghabisinya”: Menggugah Kembali Kesadaran Sejati Bangsa


Oleh: Hasyim Arsal Alhabsi | Deputi Bidang Perhubungan DPP PD


“Yang hidup itu menghidupi dan menghidup-hidupi. Sedang para penyembah berhala, memilih merusak, mengeksploitasi dan menghabisi.” Menurut seorang filosof, Kang Irwanto.

Kalimat ini bukan sekadar permainan diksi yang indah. Ia adalah cermin jernih yang menggugat batin kita: masihkah kita hidup sebagai manusia merdeka yang menghidupi kehidupan—atau justru telah berubah menjadi mesin-mesin penjarah, pengeksploitasi, dan pengingkar jiwa kita sendiri?

1. Bangsa Merdeka Bukan Bangsa Bebas Tanpa Arah

Bung Karno dan para pendiri bangsa tidak memproklamasikan kemerdekaan hanya untuk mengganti warna bendera dari merah-putih-biru menjadi merah-putih. Proklamasi 17 Agustus 1945 adalah penancapan tiang agung untuk mendirikan rumah besar bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia—sebuah rumah yang dibangun di atas fondasi nilai-nilai spiritual dan keadilan yang lahir dari kesadaran mendalam bangsa Nusantara.

Rumah ini didirikan dengan fondasi kokoh berupa:
    •    Spiritualitas kesejatian sebagai ruh, berpijak pada akar esoteris peradaban Nusantara.
    •    Ideologi kejujuran dan keadilan, dengan semangat egaliter-komunal, gotong royong, dan kekeluargaan bangsa.
    •    Nilai-nilai universal Pancasila dan UUD 1945 Asli, bukan versi hasil amandemen yang disusupi kepentingan sektoral.
    •    Kesadaran Bhinneka Tunggal Ika sebagai simpul kesatuan dalam keragaman.
    •    Dan kalimatun sawa, titik temu nilai-nilai kemanusiaan dari berbagai agama dan suku: spiritualitas, ideologi keadilan, filsafat demonstratif dan intuisi ilahi, paradigma sains yang membebaskan, modal sosial yang merekatkan, serta akhlak sosial dan semesta.

2. Ironi: Pendidikan Nilai yang Tak Membangun Kesadaran

Ironisnya, setelah bertahun-tahun bangsa ini digembleng dengan PPKN, ribuan jam Pendidikan Pancasila dan Kewiraan, hasilnya tidak mewujudkan masyarakat warga yang hidup dengan kesadaran. Yang muncul justru bangsa yang tercerabut dari ruhnya sendiri—hidup dalam mentalitas pragmatis, konsumtif, oportunistik.

Amandemen UUD 2002 yang menurut Prof. Dr. Kaelan mengubah 97% isi UUD 1945 Asli menjadi simbol “pengkhianatan konstitusional” terhadap jiwa proklamasi. Lahirnya sistem demokrasi prosedural tanpa semangat keadilan substansial telah menggeser arah perjalanan bangsa. Hukum digerogoti oleh kepentingan, dan nilai-nilai digantikan oleh narasi transaksional.

Kita hidup, tapi tidak menghidupi. Kita berkegiatan, tapi tidak menghidup-hidupi.

3. Harapan: Partai Demokrat sebagai Model Sistem Paripurna Zaman Ini

Namun, di tengah hiruk-pikuk sistem yang tercerabut dari akar, ada cahaya yang tumbuh: Partai Demokrat di bawah kepemimpinan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) telah menunjukkan model paripurna dari upaya membangun sistem politik yang bersesuaian dengan kebutuhan zaman dan ruh kebangsaan.

Langkah AHY memperkenalkan satu per satu pengurus Partai Demokrat dengan menyebut latar belakang, kapasitas, dan integritas mereka adalah sebuah langkah progresif. Ini bukan sekadar pencitraan; ini adalah bentuk akuntabilitas politik yang mengakar pada kesadaran bahwa jabatan adalah amanah—bukan hadiah.

Lebih dari itu, cara AHY menjelaskan secara terbuka mengapa seseorang diberi jabatan tertentu mencerminkan gaya kepemimpinan yang berani, rasional, dan bertanggung jawab. Ia membangun partai sebagai civil institution, bukan sekadar kendaraan elektoral. Komposisi pengurus mencerminkan keberagaman generasi, profesionalitas, serta semangat kolaboratif lintas bidang.

Model ini bukan hanya menjawab tantangan demokrasi modern, tapi juga menyentuh nilai-nilai dasar Nusantara: gotong royong, keadilan sosial, dan musyawarah dalam keberagaman. AHY tidak sekadar memimpin partai; ia menghidupkan kembali nilai-nilai berpartai dengan kesadaran kebangsaan.

4. Kembali Menjadi Bangsa yang Hidup

Kita mesti bangkit dari tidur panjang. Bangsa yang hidup adalah bangsa yang menyuburkan kehidupan. Ia tidak membunuh harapan, tidak mengeksploitasi sesama, tidak merampas masa depan generasi mendatang.

Kita harus kembali kepada spiritualitas sejati, ideologi keadilan sosial, filsafat yang berpijak pada akal dan intuisi, sains sebagai alat pembebasan, serta membangun kembali modal sosial yang menjadi lem perekat peradaban.

Etika personal dan sosial mesti hadir sebagai kompas, bukan hanya retorika. Dan dalam lanskap politik, partai-partai harus bertransformasi dari instrumen kekuasaan menjadi institusi pendidikan kebangsaan. Di sinilah Partai Demokrat menunjukkan arah. Ia bukan partai masa lalu, tapi partai yang sedang menenun masa depan.

Akhir yang Bukan Akhir

Menghidupi kehidupan bukan pilihan retoris. Ia adalah panggilan ruhani, perintah sejarah, dan suara sunyi leluhur Nusantara yang menunggu untuk dibangkitkan kembali.

Jika kita masih percaya pada cita-cita proklamasi, masih mendengar detak jantung Pancasila, dan masih merasa nyeri saat melihat kemunafikan dan ketidakadilan merajalela—maka kita tahu, jalan kita belum selesai. Kita sedang menuju rumah sejati kita: Indonesia yang hidup, yang menghidupi, dan yang menghidup-hidupi semua anak bangsanya.

Dan tugas itu, saudaraku, adalah tugas kita semua.

129

Related Post