OPINI
Anies - Imin Makin Menakutkan Rezim Jokowi
Oleh Sholihin MS - Pemerhati Sosial dan Politik KETUA PBNU Yahya Tsaquf tiba-tiba dipanggil Jokowi di istana malam-malam. Diduga Jokowi ingin menjauhkan PBNU (NU struktural) dari PKB (NU kultural). Berbagai narasi pun dibangun, untuk menjauhkan Anies-Cak Imin dari Nahdhiyyin. Diduga pembatalan Cak Imin (walau sebagai Wakil Ketua DPR) untuk membuka MTQ di Tanah Laut Kalimantan Selatan Selasa kemarin ada kaitannya dengan gabungnya Cak Imin dengan Koalisi Perubahan, sehingga Ketua PBNU ikut intervensi. Tidak berselang lama, Menag Yaqut Qoumas (Adik Yahya Tsakuf) pun buru-buru ikut membuat naraai untuk berhati-hati memilih pemimpin yang punya latar belakang mendukung radikalisme. Mungkin organisaai keagamaan yang masih percaya kebobrokan Jokowi Grupnya Yahya cs. Sedangkan kaum nahdhiyyin secara keseluruhan sudah tidak percaya Jokowi lagi, setelah track record-nya selama 9 tahun sama sekali tidak berpihak kepada rakyat Keputusan Cak Imin untuk hengkang dari istana dan bergabung dengan koalisi perubahan telah sangat mengagetkan Jokowi dan selama ini tidak pernah membayangkan akan ditinggal 2 partner koalisinya Kepanikan Jokowi akan terus berlanjut, sampai akhirnya Jokowi akan tenggelam sedalam-dalamnya dari kancah politik dan kekuasaan. Hengkangnya Cak Imin dari koalisi Pemerintah, yang otomatis bersama gerbong PKB-nya, membuat langkah Jokowi mati kutu. Sebelumnya, ketika Nasdem menyatakan mendukung Anies, secara tidak langsung telah keluar dari koalisi Pemerintah. Langkah Surya Paloh ini membuat Jokowi sangat marah. Bukan saja hubungan keduanya makin tegang, tapi semua bisnis Surya Paloh telah diamputasi, termasuk iklan-iklan di Metro TV distop. Kabarnya Metro TV terpaksa harus mem-PHK sampai 80 orang. Bahkan Sekjen Nasdem, Johnny G. Plate juga diciduk dengan dalih kasus korupsi, padahal koruptor yang gede-gedenya dibiarkan saja : Happy Hapsoro (suami Puan), Dito Ariotedjo (Menpora) dan Kaesang (putra Jokowi), dalam kesaksian tersangka Jokowi juga terlibat. Jokowi itu sangat jahat. Tampangnya saja yang kelihatan culun dan ndeso, tapi sesungguhnya dia adalah pembunuh berdarah dingin. Terbunuhnya 6 laskar FPI secara sangat sadis dan biadab, 9 orang tidak bersalah di peristiwa 21-22 Mei 2019, dan 894 petugas KPPS yang mati secara misterius, para ulama garis lurus yang meninggal misterius (belum lagi tragedi Kanjuruhan yang menewaskan lebih dari 130 orang), telah memenuhi lembar hitam kekuasaan Jokowi. Tidak heran Jika Jokowi siap menghancurkan siapa saja yang berani melawannya. Tapi tidak semua orang bisa dikendalikan, tidak semua orang mau dipaksa berbuat jahat. Surya Paloh walaupun sudah \"dihajar\" dan dijatuhkan Jokowi berkali-kali, ternyata bukannya roboh, tapi malah semakin tegar dan kuat, dan siap untuk menghantam balik Jokowi. Selama ini Jokowi telah melakukan hampir segala cara untuk menjegal Anies, termasuk melemparkan berbagai fitnah melalui pendukung-pendukung bayaran dan dungu. Sayangnya, semakin Anies dijegal dan difitnah, namanya malah makin melambung. Belakangan, hantaman bukan saja datang dari rezim Jokowi, tapi datang dari SBY dan petinggi-petinggi Demokrat. SBY yang baperan dan seperti biasa memposisikan sebagai korban biar dapat simpati masyarakat, telah menuduh Anies berkhianat. Padahal, jika diikuti alur ceritanya, Demokratlah yang sebenarnya berkhianat dengan meninggalkan koalusi perubahan. Sedangkan semua tuduhan Demokrat tentang pengkhianatan Anies tidak terbukti. Dengan kuasa Allah, semua makar para \"penjegal Anies\" : *rezim Jokowi, capres \"lawan\", buzzer Jokowi, penjilat Jokowi, kaum munafik, dan oligarki taipan* akan dikalahkan oleh makar Allah. Anies-Cak Imin akan terus menempuh jalan terjal. Tapi dengan kuasa Allah dan dukungan rakyat, Anies akan tetap melenggang hingga sampai tujuan. Anies akan dilantik sebagai Presiden RI ke-8. Semoga Allah selalu menolong hamba-Nya yang berjuang di jalan-Nya. Aamiin Bandung, 20 Shafar 1445
Rekayasa Politik Jokowi Berantakan
Oleh Sutoyo Abadi - Koordinator Kajian Merah Putih KETERLIBATAN politik cawe-cawe Presiden Jokowi di Pilpres 2024 berawal dari kegalauan gagalnya strategi perpanjangan masa jabatannya, yang di cegat oleh PDIP Ibu Megawati Soekarnoputri. Juga perlawanan dari masyarakat, aktifis, politisi oposisi dan intelektual kampus. Arah politik perpanjangan masa jabatan dan cawe cawe dalam Pilpres 2024 sangat terkait dengan dua alasan : proyek Ibu Kota Negara (IKN) tidak boleh gagal karena resistensi atau resiko politiknya dengan Cina sangat besar dan berbahaya bagi dirinya. Keamanan dan keselamatan dirinya bersama keluarga harus aman bisa bebas dari kasus hukum yang menjeratnya paska lengser dari jabatannya. Kedua strategi tersebut bukan hanya goyah tetapi berpotensi berantakan dengan segala resiko politiknya yang sangat berat, besar dan berbahaya. Rekaya politik Jokowi tidak berjalan lanjar, upaya menghentikan Capres Anies Baswedan lewat proses hukum tersendat, mengangkat Capres Ganjar Pranowo diambil alih Megawati, mencapres Prabowo justru ditinggalkan PKB. Pada strategi awal mencapreskan Ganjar Pranowo akan di sandingkan dengan Sandiaga Uno, dan mencapres kan Prabowo di pasang Iming adalah untuk memecah suara dan kekuatan Anies Baswedan, semua rontok di jalan. Jalan pintas Jokowi mendukung capres ganda baik Ganjar dan Prabowo karena ingin memastikan bahwa dirinya bisa mendarat secara aman dan nyaman, ternyata belum menjamin rasa aman. Pada posisi hambatan yang cukup berat dan terjal, kembali strategi awal mencoba bersama timnya untuk rekayasa perpanjangan masa jabatannya, dengan menunda Pilpres 2024. Rekayasa Oligarki yang sedang di coba adalah bagaimana pada Pilpres 2024 hanya bisa muncul calon tunggal. Kasus hukum untuk Capres yang bisa di matikan dengan cara kasus hukum bagi Capres atau Cawapres akan dijalankan. Pelaksana hukum , KPK, MA , MK dan organ hukum lainnya harus di tata rapi dan dikawal dengan ketat untuk menjalankan misi taktis, rahasia menyelamatkan Presiden. Pilihan yang diambil tunda Pilpres 2024. Cara ini bisa dengan mengeluarkan dekrit kembali ke UUD 45, melahirkan Capres tunggal, kondisi darurat dan alasan lainnya. \"Sebuah hasil survei dari CSIS sangat menghantui pikiran Jokowi bahwa Presiden Jokowi telah membaca survei politik dari CSIS. Pada rilisnya di 26 September 2022, survei CSIS menyimpulkan meskipun Ganjar dominan, tetapi akan kalah jika dihadapkan head to head dengan Anies Baswedan. Anies bahkan juga dinyatakan menang jika melawan Prabowo Subianto.\" \"Dalam survei tersebut yang relatif dirahasiakan bahwa pemilih Anis akan melintas tidak hanya kekuatan dari partai pengusung, tetapi lintas agama, kelompok ras / suku, semua akan menyatu karena harapan adanya perubahan dan perbaikan hidupnya, yang selama ini makin sulit, bahkan penguasa terus memiskinkan rakyat nya.\" Demokrasi dan Pilpres 2024 akan dicatat sebagai pemilu yang penuh rekayasa politik yang paling kotor dan brutal akibat kegagalan rekayasa politiknya, dan itulah legacy Presiden Jokowi yang harus dihentikan, sebelum menjadi kenyataan. (*)
Hasanuddin Tidak Memenuhi Syarat Dilantik Sebagai Pj. Gubernur Sumut
Oleh Sutrisno Pangaribuan -Presidium Kongres Rakyat Nasional (Kornas) Hari Selasa (5/9/2023) telah berlangsung pelantikan Penjabat Gubernur (Pj. Gubernur) untuk 10 provinsi. Sumatera Utara (Sumut) menjadi salah satu provinsi yang akan dipimpin oleh Pj. Gubernur hingga Pilkada serentak 2024 menghasilkan kepala daerah yang baru. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 2023 Tentang Penjabat Gubernur, Penjabat Bupati, dan Penjabat Wali Kota pada bagian Persyaratan Pj Gubernur, Pj Bupati, dan Pj Wali Kota. Dalam Pasal 3 ditentukan bahwa Pj Gubernur, Pj Bupati, dan Pj Wali Kota yang diangkat dengan memenuhi persyaratan: a. Mempunyai pengalaman dalam penyelenggaraan pemerintahan yang dibuktikan dengan riwayat jabatan; b. Pejabat ASN atau pejabat pada jabatan ASN tertentu yang menduduki JPT Madya di lingkungan Pemerintah Pusat atau di lingkungan Pemerintah Daerah bagi calon Pj Gubernur dan menduduki JPT Pratama di lingkungan Pemerintah Pusat atau di lingkungan Pemerintah Daerah bagi calon Pj Bupati dan Pj Wali Kota; c. Penilaian kinerja pegawai atau dengan nama lain selama 3 (tiga) tahun terakhir paling sedikit mempunyai nilai baik; d. Tidak pernah dijatuhi hukuman disiplin berat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; e. Sehat jasmani dan rohani yang dibuktikan dengan surat keterangan dari rumah sakit pemerintah. Sesuai ketentuan tersebut, maka Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian harus membuka kepada publik terkait dasar hukum pengangkatan Hasanuddin sebagai Pj. Gubernur Sumatera Utara. Berdasarkan Undang- Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) Pasal 53 Prajurit melaksanakan dinas keprajuritan sampai usia paling tinggi 58 (lima puluh delapan) tahun bagi perwira, dan 53 (lima puluh tiga) tahun bagi bintara dan tamtama. Hassanudin yang lahir di Palembang, Sumatera Selatan pada (7/9/1965), dengan jabatan terakhir Wakil Inspektur Jenderal TNI Angkatan Darat (bintang 2), akan berusia 58 tahun pada Kamis (7/9/2023). Informasi yang tersebar di berbagai media, bahwa Hasanuddin disebut telah menjadi purnawirawan, dan belum alih status menjadi ASN. Hasanuddin tidak memiliki informasi pernah mengikuti seleksi terbuka (lelang jabatan) untuk JPT Madya di Kementerian/Lembaga atau pemerintah daerah. Sehingga jika saat diangkat Hasanuddin telah pensiun (purnawirawan) dan tidak ada posisi sebagai ASN dengan jabatan JPT Madya ( Eselon I) di Kementerian/ Lembaga atau Pemerintah Daerah. Maka Hasanuddin tidak memenuhi syarat diangkat sebagai Pj. Gubernur Sumatera Utara. Kongres Rakyat Nasional (Kornas) sebagai wadah berhimpun dan berjuang rakyat dalam mewujudkan tujuan dan cita-cita bangsa Indonesia menilai bahwa Hasanuddin dipaksakan menjadi Pj. Gubernur Sumut meski tidak sesuai dengan seluruh aturan tentang Pj. Gubernur. Maka Kornas menyampaikan pandangan dan sikap sebagai berikut: Pertama, bahwa pelantikan Hasanuddin sebagai Pj. Gubernur Sumut pada hari ini, Selasa (5/9/2023) tidak sah karena bertentangan dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 2023 Tentang Penjabat Gubernur, Penjabat Bupati, dan Penjabat Wali Kota pada bagian Persyaratan Pj Gubernur, Pj Bupati, dan Pj Wali Kota. Kedua, bahwa pelantikan Hasanuddin sebagai Pj. Gubernur Sumut berpotensi untuk digugat oleh publik melalui pengadilan. Ketiga, bahwa Mendagri harus segera merevisi Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 2023 Tentang Penjabat Gubernur, Penjabat Bupati, dan Penjabat Wali Kota pada bagian Persyaratan Pj Gubernur, Pj Bupati, dan Pj Wali Kota agar sesuai selera dan kepentingan kekuasaan. Keempat, bahwa usulan DPRD tidak dibutuhkan sama sekali (hanya formalitas), maka dalam Permendagri yang baru peran DPRD lebih baik dihapus. Kelima, bahwa Pj. Gubernur yang tidak sesuai dengan ketentuan akan mengalami delegitimasi publik. Kornas akan terus konsisten dengan tuntutan reformasi yang diperjuangkan dan direbut dengan darah dan airmata demi terwujudnya supremasi sipil. Reaktivasi dwifungsi TNI dan Polri (ABRI) dalam berbagai wujud dan bentuk harus ditolak. (*)
Siapa Menjerumuskan (Keluarga) Jokowi?
Oleh Sutrisno Pangaribuan - Presidium Kornas PRESIDEN Joko Widodo (Jokowi) pernah menyampaikan bahwa ide penundaan Pemilu dan penambahan periode jabatan presiden (tiga periode), menjerumuskan. Meski demikian, tetap saja ada kelompok politisi busuk, mengatasnamakan rakyat teruskan aksi \"cari muka\". Aktornya adalah sekelompok \"elit aktivis politik amatir\" yang saat itu baru diganjar jabatan komisaris di sejumlah BUMN dan anak perusahaan BUMN. Setelah gerakan itu padam, maka upaya cari muka terus berlanjut dan bergeser ke anak dan menantu Jokowi. Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Jokowi, Walikota Solo didorong untuk maju sebagai calon gubernur Jawa Tengah, maupun DKI Jakarta. Sementara Bobby Afif Nasution, menantu Jokowi pun ditawari maju sebagai calon gubernur Sumatera Utara atau DKI Jakarta. Bahkan Kaesang Pangarep, putra bungsu Jokowi pun kebagian, didukung sebagai calon walikota Depok. Kualitas Demokrasi Buruk Ide perpanjangan masa jabatan dan penambahan periode jabatan presiden sebagai salah satu bukti buruknya kualitas demokrasi Indonesia. Demikian juga aksi cari muka dengan mendorong putra dan menantu Jokowi, bertarung di pemilihan kepala daerah (Pilkada) Gubernur. Meski keduanya baru menjadi Walikota pasca Pilkada serentak tahun 2020. Keduanya dipaksa mengingkari Jokowi yang telah menjadi role model kepemimpinan nasional. Jokowi melalui proses menjadi Walikota Solo dua (2) periode, lalu menjadi Gubernur kurang dari satu (1) periode, kemudian menjadi Presiden dua (2) periode. Terbaru, sejumlah baliho besar dengan gambar wajah Prabowo dan Gibran muncul di Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, NTT. Baliho terpajang di perempatan Jalan Bandara-Lamber Kape, salah satu lokasi strategis di sana. \"Masyarakat NTT mendukung Prabowo Subianto sebagai calon Presiden dan Gibran Rakabuming Raka sebagai Calon Wakil Presiden,\" demikian tertulis pada baliho tersebut. Gibran dipuja setinggi langit, dari Calon Gubernur menjadi Calon Wakil Presiden. Upaya menarik perhatian dilakukan demi meraih dukungan politik dari Jokowi. Prabowo Sukses Mendompleng Jokowi Prabowo yang diklaim pendukungnya sebagai \"Macan Asia\", kini berubah meniru Jokowi. Gaya bicara yang dulu meledak- ledak, kini berubah lembut. Ekspresi wajah temperamental menjadi bersahabat. Termasuk saat Budiman Sudjatmiko hijrah mendukung Prabowo, narasinya berubah, lebih baik merangkul daripada memukul. Perubahan gaya tersebut berbuah manis yang ditunjukkan oleh pergeseran dukungan politik sebagian relawan Jokowi kepada Prabowo. Berdasarkan hasil lembaga survei, Prabowo kini mendapat dukungan dari pendukung Jokowi di Pilpres 2014 dan 2019. Memanjang gambar wajah Prabowo dengan Jokowi pada baliho di berbagai daerah sengaja dilakukan demi meraih simpati publik. Tingkat kepuasan publik yang tinggi, atas kinerja Jokowi hingga mencapai delapan puluh persen (80%) menjadi salah satu alasan pemajangan gambar wajah keduanya. Narasinya pun jelas: \"Bersama Membangun Indonesia\". Semua upaya Prabowo mendompleng Jokowi diyakini sebagai satu-satunya cara untuk merebut hati rakyat, demi ambisinya menjadi presiden. Menjerumuskan (Keluarga) Jokowi Kongres Rakyat Nasional sebagai wadah berhimpun dan berjuang rakyat dalam mewujudkan tujuan dan cita-cita bangsa Indonesia memberi catatan kritis sebagai berikut: Pertama, bahwa manuver mendukung Jokowi tiga (3) periode dan menunda Pemilu dilakukan oleh para aktor politik amatir, sengaja untuk menjerumuskan Jokowi. Kedua, bahwa manuver mendorong dan mendukung putra dan menantu Jokowi untuk maju sebagai calon gubenur sengaja untuk menjerumuskan putra dan menantu Jokowi. Ketiga, bahwa manuver mendorong dan mendukung putra bungsu Jokowi maju di Pilkada kota Depok sengaja untuk menjerumuskan putra bungsu Jokowi. Keempat, bahwa manuver mendorong dan mendukung putra Jokowi sebagai cawapres di Pilpres 2024 sengaja untuk menjerumuskan putra Jokowi. Kelima, bahwa manuver mempercepat penyelenggaraan Pilkada serentak 2024 dari semula, Rabu (27/11/2024) menjadi September 2024 sengaja untuk menjerumuskan Jokowi. Kornas berharap agar Jokowi dan keluarganya tidak tergoda atas manuver dan godaan dari para aktivis politik amatir, murahan, yang hanya sanggup berebut remah- remah kekuasaan. Seperti apa yang sering kali diucapkan Jokowi: \"Saya hanya tunduk kepada Konstitusi\". Semoga Jokowi dan keluarganya tidak terjerumus. (*)
Atas Nama Hukum, KPK Tidak Bisa Menggagalkan Pencawapresan Muhaimin
Oleh Radhar Tribaskoro - Komite Eksekutif KAMI HARI Senin kemarin Muhaimin Iskandar tidak memenuhi panggilan KPK untuk menjadi saksi atas kasus korupsi yang terjadi di Kemenaker saat ia menjabat sebagai menteri di sana. Muhaimin tidak mengulur waktu, ia memang sudah mempunyai janji acara pada waktu itu. Namun pemanggilan itu menggelorakan kembali ketidak-percayaan publik kepada KPK. Dalam sebuah acara dialog dengan Hersubeno, Koordinator Komite Eksekutif KAMI, Adhie Massardi, menyebut KPK sebagai Komite Politisasi Kekuasaan. Ia yakin sepenuhnya bahwa KPK telah menjadi alat kekuasaan untuk memukul lawan-lawan politiknya. Artikel ini mendukung pernyataan Adhie Massardi dengan mengajukan argumentasi terkait hukum pemilu dan pelaksanaannya. Syarat Calon Presiden/Wakil Presiden Menurut UU No.42 Tahun 2008, salah satu syarat menjadi calon presiden dan wakil presiden adalah, “Tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.” Bisakah pencawapresan Muhaimin batal lantaran ketentuan ini? Status Muhaimin sekarang adalah saksi. Masih panjang sekali jalan untuk menjadikan Muhaimin terpidana berkekuatan hukum tetap. Muhaimin harus ditetapkan dulu menjadi tersangka dan terdakwa. Kalau kejaksaan mau bekerjasama butuh waktu sedikitnya dua-tiga bulan sebelum bisa membawa Muhaimin ke meja hijau. Setelah itu ada persidangan yang panjang 3-6 bulan sebelum vonis dijatuhkan. Kemudian untuk mencapai status berkekuatan hukum tetap masih ada proses banding dan Pengkajian Kembali di Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung. Seluruh proses ini bisa berlangsung lebih 2 tahun. Sementara itu proses pendaftaran capres/cawapres tinggal berselang sebulan lagi. Secepat apapun proses pengadilan, tidak mungkin dapat mencegah Muhaimin mendaftar dan ditetapkan sebagai cawapres. Dengan kata lain, langkah KPK mengorek kasus 11 tahun lalu tidak bakal bisa membatalkan hak Muhaimin untuk menjadi calon wakil presiden 2024. Menurut hemat saya maklumat Kejaksaan Agung yang menunda apapun kasus hukum terkait kandidat presiden dan wakil presiden terkait dengan alasan yang saya sampaikan di atas. Kejaksaan menyadari bahwa upaya semacam itu tidak berdampak kepada proses pencalonan presiden/wakil presiden. Akibatnya malah bisa lebih buruk yaitu rusaknya kredibilitas lembaga di hadapan publik. KPK bisa saja memenjarakannya tetapi pencawapresan Muhaimin tidak dapat dibatalkan. Jutaan kader PKB tetap bisa mengkampanyekan dirinya. Kalau begitu, Muhaimin bahkan bisa menjadi ikon atau simbol perlawanan terhadap kesewenang-wenangan kekuasaan. Bila ia menang situasi bisa berbalik. Penghapusan Politik Sandera Dari sisi hukum, oleh karena itu, tidak ada cara untuk menghentikan pencalonan Muhaimin sebagai cawapres. Lantas apa yang ingin diperoleh KPK dari pemrosesan kasus hukum Muhaimin? Satu-satunya jawaban adalah KPK ingin menjatuhkan kredibilitas Muhaimin. Dengan cara itu KPK ingin Muhaimin kalah dalam Pilpres 2024. Tidak bisa tidak, tindakan KPK itu adalah tindakan cawe-cawe atau tidak netral aparat negara dalam pemilu. Kalau memang bagi KPK proses pemidanaan terhadap Muhaimin sangat esensial demi penegakkan hukum, maka ia ia harus melakukan hal yang sama kepada kandidat capres dan cawapres lainnya. Ambil contoh Prabowo Subianto dalam kasus food estate dan pembelian pesawat bekas, Ganjar Pranowo pada kasus e-KTP, Eric Thohir untuk penjualan saham Goto, dlsb. Bila KPK memang benar netral, semua kasus itu harus ia proses. Manakala hal itu tidak terjadi maka tidak akan terhindarkan bila publik menyimpulkan bahwa KPK telah menjadi alat penindasan politik. Apalagi publik mengetahui fakta bahwa kasus yang ingin dibongkar itu terjadi pada tahun 2012. Mengapa setelah 4015 hari baru diperiksa hari ini, ketika Muhaimin baru saja sepakat menjadi pasangan Anies Baswedan. Ini pasti sebuah rekayasa, bukan kebetulan. Menghapuskan Politik Sandera Lain dari itu, apa yang terjadi pada Muhaimin adalah bagian dari praktek Politik Sandera, yaitu politik yang menempatkan orang-orang cacat hukum di dalam kekuasaan agar bisa dikendalikan bagai kerbau tercocok hidung. Praktek politik seperti ini mesti diakhiri sebab hal itu berdampak kepada terciptanya sistem hukum tebang pilih dan kemunduran demokrasi lihat (lihat https://shorturl.at/zBJT9). Pemerintahan baru, hasil Pilpres 2024, memiliki kewajiban untuk mengamputasi elemen-elemen hukum yang telah menjadi instrumen dari politik sandera. Dari sana hukum dipulihkan dari kepentingan politik. Demikian pula birokrasi, kepolisian dan TNI. Sehingga aparat negara benar-benar bekerja berdasar kepentingan negara. Walau begitu mereka tetap wajib menjalankan kebijakan pemerintah sepanjang kebijakan itu telah menjadi kebijakan negara, yaitu setelah sepersetujuan DPR. Kewajiban pemerintah dan semua aparat negara adalah melindungi semua pejabat yang menjalankan tugasnya untuk dan atas nama negara. Bila demikian, mereka tidak dapat didemosi, dipindahkan atau dipecat. (*)
Pengkhianat Merajalela
Oleh Sutoyo Abadi - Koordinator Kajian Merah Putih DALAM politik, tidak ada yang terjadi secara kebetulan. Jika itu terjadi, Anda bisa bertaruh itu direncanakan seperti itu, kata Franklin D. Roosevelt. Pagi ini 7 September 2023, kajian politik Merah Putih menerima stiker dari Jendral TNI Purn Tiyasno Sudarto tertulis : \"Amandemen UUD 45 itulah makar terhadap Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan Negara Kesatuan Republik Indonesia ( NKRI )\" \"Kalau Bangsa Indonesia ingin tetap selamat tetap merdeka dan Negara Kesatuan Republik Indonesia tetap terjaga - maka kita harus kembali ke UUD 45 yang asli 18 Agustus 1945\" Kajian politik Merah Putih langsung merespon bahwa keadaan makin gelap semua kekuatan rakyat tidak boleh berdiam diri atas semua keadaan yang sedang terjadi bahwa negara semakin memburuk. Munculnya secercah sinar harapan melalui sebuah perlawanan terus bermunculan baik melalui kritik atau gerakan moral, sekalipun terus diincar dan dipantau oleh penguasa, yang akan terjadi adalah benturan antara kekuatan kezaliman dan kebenaran. Dalam kondisi rakyat tak berdaya sangat mungkin ahirnya turun campur tangan Tuhan, percaya atau tidak akan hadir tepat pada waktunya. WA Rakyat atau publik tetap harus diserahkan terhadap apa yang sedang terjadi kerusakan di negara ini. Kritik atas keadaan yang makin gelap bermunculan dari para aktifis intelektual yang mengumandangkan negara harus segera kembali ke jalan yang benar sesuai konstitusi yang kita percaya bersemayam pada Pancasila dan UUD 45. Bentuk rekayasa penghianatan terhadap negara terus membusuk, adalah awal dari akan terjadinya keruntuhan rezim ini . Negara harus diselamatkan dari perilaku para pengkhianat yang makin meraja lela. Benar kata Rocky Gerung: Penghinaan hanya terjadi oleh para pengkhianat. Kekuatan moral kebenaran pasti akan muncul menahan dan akhirnya akan menghancurkan para pengkhianat. Macam-macam rekayasa memiskinkan rakyat terbaca dengan terang benderang, ketika Oligarki mengetahui rezim mulai melemah dan BLT mulai di gelontorkan, survei di naikan bahwa 72 % rakyat masih mendukung dan percaya pada rezim, adalah rekaya para penggiat yang bersifat sesaat. Kebusukan, penipuan, dan kebohongan hanya bersifat sementara akibat atau resiko terburuk tetap akan menimpa para pengkhianat. Proses perubahan adalah alami, tidak akan bisa lahir dan dilahirkan oleh para pendusta yang mengira rakyat bisa terus di bohongi. Mungkin juga mengira Tuhan bisa diajak kompromi untuk kejahatan Fakta mengatakan anak muda yang lebih dominan dari mahasiswa 73 % saat ini dalam kondisi terus memantau keadaan dan perkembangan dari prilaku pengkhianat yang terus jumawa seolah olah akan bisa menguasai keadaan. Demikian juga oligarki dalam kondisi siaga tinggi untuk mengahadapi kondisi terburuk hasilnya dengan siaga siap melakukan deal dengan siapapun yang akan mengganti penguasa asal tetap bisa mengendalikan dan menguasai negara ini \"Plato\" : Kalau negara sudah menjadi anarkis - semua harus di babad dulu .. ganti yang baru. Ketika rakyat sudah muak dan merasa terus terdesak, akan muncul dengan caranya sendiri, untuk menghentikan para pengkhianat negara yang sudah diluar batas kemanusiaan dan membahayakan negara .***
100% PKS Bersama Anies
Oleh Tony Rosyid - Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa BANYAK yang bertanya: bagaimana analisis saya tentang sikap PKS pasca deklarasi Anies-Cak Imin. Pertanyaan ini datang dari berbagai kalangan, mulai dari ulama, akademisi, aktifis sampai orang biasa. Sebagian ada yang memprediksi PKS akan ikut poros baru bersama Demokrat dan PPP. Malah ada yang kasih kabar, dan ini katanya serius: PKS dirayu untuk gabung poros baru (PPP-Demokrat) dengan kompensasi 6-10 M per kursi di DPR. Ini sangat wow. Godaan ini masuk akal. Masalahnya bukan ada tidaknya godaan ke PKS. Dalam politik, godaan itu biasa. Masalahnya, PKS mau atau tidak. Boleh jadi PKS butuh uang. Jelang pileg, pasti sangat butuh. Tapi, PKS lebih butuh kemenangan. PKS lebih butuh jumlah kursi di DPR-nya naik. PKS lebih butuh progres masa depannya. PKS lebih sreg bersama konstituennya di setiap pilpres. Andaikata betul ada godaan dana untuk bergabung di poros baru, PKS pasti menolak. Ini bukan soal moral atau etika politik. Ini juga bukan soal image, meskipun perlu mendapat perhatian kalau politik itu juga dipengaruhi oleh image (persepsi publik). Juga bukan karena PKS secara person to person dekat dengan Anies, sehingga harus tetap mendukung Anies. Karena dengan Sandiaga Uno pun, PKS secara person to person juga dekat. Ini lebih pada soal suara. Ini soal kursi. Ini soal masa depan partai. PKS akan hancur suaranya jika tidak mendukung Anies. Berdasarkan survei, lebih dari 80 persen pemilih PKS menginginkan Anies jadi Presiden. Jika PKS tidak mendukung Anies, elektabilitas PKS akan rontok. Sebaliknya, dengan mendukung Anies, suara PKS naik dan kursinya nambah. Ini survei. Apalagi, setelah Anies berpasangan dengan Cak Imin, peluang menangnya justru lebih besar. Di sinilah rasionalitas politik berlaku: partai harus aspiratif. Satu kata dengan konstituennya. Benar-benar menjadi perpanjangan suara dari para pemilihnya. PKS konsisten di sisi ini. Terbalik 180 derajat dengan PPP dan PAN untuk pilpres kali ini. Diduga karena ada faktor x. Situasinya sedang tidak baik-baik saja. Poros baru sulit terbentuk. Selain karena PKS tidak akan gabung, PPP juga tidak mudah keluar dari koalisinya dengan PDIP. Ketika Asrul Sani, tokoh PPP minta mengevaluasi koalisinya dengan PDIP jika Sandiaga Uno tidak dijadikan cawapres Ganjar, besoknya Asrul Sani dipindah dari komisi III ke komisi II. Tidak pakai lama. Ini sinyal \"ojo macem-macem\". Maka jawaban saya dari semua pertanyaan di atas: \"100 persen PKS akan bersama Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP) selama Anies Baswedan maju di pilpres 2024.\" Dipasangkannya Anies-Cak Imin justru menguntungkan bagi PKS. Stigma negatif terhadap PKS seperti Islam Fundamental, Ekstrem Kanan, Intoleran, Wahabi, dan semacamnya akan menjadi semakin samar ketika PKB menjadi partnernya di koalisi. Ini satu keuntungan bagi PKS. Jadi, ada tiga keuntungan bagi PKS jika tetap bergabung dengan Anies Baswedan. Pertama, kursi PKS di DPR besar kemungkinan akan naik. Kedua, Anies-Cak Imin peluang menangnya lebih besar dari pasangan yang lain. 2024 nanti PKS tidak perlu lagi berpuasa sebagai oposisi. Ketiga, stigma-stigma negatif-kanan terhadap PKS selama pemilu 2024 bisa diminimalisir. Tidak ada alasan bagi PKS kecuali tetap membersamai Anies Baswedan di pilpres 2024. Ciamis, 7 September 2023
BNPT Menyebar Teror, Bubarkan Saja
Oleh M Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan USULAN Ketua BNPT Ricko Amelza Dahniel agar seluruh tempat ibadah berada dalam kontrol Pemerintah dinilai berlebihan dan melanggar Konstitusi. Hanya pada rezim Jokowi ada lembaga yang nekad mengusulkan kontrol Pemerintah atas tempat ibadah. Mungkin BNPT berasumsi bahwa tempat ibadah adalah ruang bagi terorisme. Sungguh keterlaluan dan melecehkan. BNPT mungkin merasa menjadi lembaga strategis yang mampu menentukan. Jika usulannya direspon maka ini adalah bibit dari etatisme atau tirani. Negara yang anti demokrasi dan menginjak-injak hak-hak asasi manusia. Kebebasan beragama diganggu dan secara sistemik dihancurkan. Jika negara mengontrol tempat ibadah maka rezim ini adalah telah nyata-nyata menjadi komunis. Pancasila hanya pro forma. Agama ditempatkan sebagai musuh yang harus dikalahkan dan dilumpuhkan. Ketika Masjid, Gereja atau tempat ibadah lain dikontrol oleh Pemerintah maka secara tidak langsung Pemerintah telah mengambil tafsir ibadah menurut kemauannya sendiri. Dapat mengatur, menangkap, menutup bahkan mungkin merekayasa. Rezim ini munafik. Di satu sisi meminta agar agama dijauhkan dari politik. Melempar ke arah kelompok keagamaan isu politisasi agama, padahal di sisi lain Pemerintah justru yang melakukan politisasi agama itu. Menuduh aktivis keagamaan radikal, intoleran bahkan teroris, padahal Pemerintah sendiri yang radikal, intoleran dan teroris. Mulai muncul usulan BNPT agar dibubarkan. Mungkin usulan tersebut ada benarnya karena bagi rakyat atau masyarakat BNPT itu tidak dirasakan manfaatnya bahkan sepertinya memudaratkan. Kontra produktif. Tiga alasan rasional, yaitu : Pertama, terorisme sebagai isu global sudah mereda bahkan hilang. Terorisme adalah isu politik Barat untuk melumpuhkan dunia Islam. Islamophobia di AS telah dihentikan. AS adalah pimpinan proyek Islamophobia termasuk terorisme. PBB kini turut mencanangkan pelawanan atas gerakan Islamophibia tersebut. Kedua, terorisme itu kalaupun ada dilakukan oleh kelompok kecil. Tidak sedikit kelompok itupun adalah peliharaan atau \"binaan\" sebagai pelaksanaan proyek terorisme global. Di Indonesia organisasi teroris tidak pernah terjelaskan bahkan aksi-aksi teror dicurigai sebagai drama buatan atau boleh disebut dengan \"artificial terrorism\". Ketiga, ketika korupsi saja yang daya rusaknya bagi bangsa dan negara sangat dahsyat telah bergeser dari \"extra ordinary crime\" menjadi \"ordinary crime\" maka terorisme yang secara empirik tidak terbukti menjadi perusak besar sudah lebih patut untuk menjadi \"ordinary crime\". Karenanya lembaga khusus seperti BNPT tidak diperlukan lagi. Ketika BNPT mulai kehilangan pekerjaan maka lembaga ini cari-cari kerjaan. Usul pengawasan tempat ibadah dalam konteks \"radicalism\" dan \"terrorism\" tentu akan menyerahkan \"leading sector\" nya kepada BNPT. Nah berapa banyak di Indonesia itu tempat-tempat ibadah ? Sebanyak itulah pekerjaan atau proyek yang dapat dibuat proposalnya. Sebagaimana KPK yang kini udah menjadi alat kepentingan politik maka BNPT juga kehilangan obyektivitasnya dalam pelaksana tugas. Alih-alih mencegah terorisme justru menjadi penyebar teror bagi rasa tenang masyarakat. BNPT menjadi lembaga yang mengancam dan menakut-nakuti. Rekomendasi pengawasan tempat ibadah adalah bukti salah satu teror itu. Aparat penegak hukum Kepolisian sudah cukup memadai untuk mampu menanggulangi terorisme di Indonesia. BNPT dan juga Densus menjadi tidak dibutuhkan. Kecuali kita akan melanjutkan dan membudayakan \"artificial terrorism\" atau terorisme buatan. Rakyat merasakan sulit untuk saat ini menemukan adanya \"natural terrorism\"--terorisme alami. Apalagi hal itu muncul dari tempat-tempat ibadah. Rasanya mengada-ada saja. Bandung, 7 September 2023.
Menguak "Aqidah" Politik
Oleh Irawan Santoso Shiddiq - Kolumnis “Pra-modern, Raja adalah wakil Tuhan. Modern state, presiden dianggap wakil rakyat. Post modern, pemimpin adalah wakil oligarki.” King Louis XVI sesosok muda penuh makna. Dia raja Perancis terakhir. Nasibnya digantung di depan penjara Bastille. Perang aqidah membahana berabad-abad sebelumnya. Antara pengikut ‘kehendak Tuhan’ atau ‘kehendak manusia.’ Tahun 1789 itu, revolusi Perancis pecah di Paris. Pengikut ‘kehendak manusia’ memenangkan massa. Mereka melakukan revolusi besar. Robiespierre pemimpin kaum pengusung ‘kehendak manusia.’ Mereka meneriakkan slogan ‘Liberte, Egalite, Fraternite’ di mana-mana. Liberte, merdeka dari urusan ‘kehendak Tuhan.’ Egalite, bermakna keadilan hukum yang harus dibuat berlandas ‘kehendak manusia.’ Fraternite, persaudaraan sesame pengikut ‘kehendak manusia.’ Revolusi Perancis adalah perang antara dua pengikut aliran itu. Tapi kaum pengusung ‘kehendak manusia’ sebagai pemenang. Robiespierre tentu merujuk kitab sucinya, buku JJ Rousseau. Dia menafsirkan ‘kehendak manusia’ itu sebagai ‘kehendak rakyat.’ Manusia yang berhak menentukan siapa pemimpinnya. Bukan lagi berlandas ‘wakil Tuhan’ yang merujuk pada ‘kehendak Tuhan.’ Pra revolusi itu, Eropa dilanda dogma ‘Vox Rei Vox Dei.’ Suara Raja Suara Tuhan. Ini yang kemudian dikudeta menjadi ‘Vox Populi Vox Dei.” Suara rakyat, suara Tuhan. Dua adagium itu, pertarungan perihal aqidah. Antara pengikut jabariyya melawan qadariyya. Mereka perang betulan di Paris. Tapi Revolusi Perancis itu, pembantaian pengikut ‘kehendak Tuhan’ oleh kaum fanatik pada paham ‘kehendak manusia.’ Raja Louis XVI, simbolisasi pengikut ‘kehendak Tuhan.’ Begitu selepas digantung di depan Bastille, kepalanya dipenggal dan ditenteng sepanjang jalan Paris. Robiespierre berkata, “Inikah wakil Tuhan itu?” Pertanda Raja bukanlah ‘wakil Tuhan.’ Kalimat Robiespierre itu yang ditiru Kemal Attaturk seabad kemudian. Kala menggulingkan Daulah Utsmaniyya dan mengubah menjadi Republik Turki. Landasan semangatnya sama: pengusung ‘kehendak manusia.’ Selepas menggulingkan Sultan Abdul Hamid II sebagai Sultan Utsmaniyya, Attaturk berpidato keras, “Sekarang kehendak siapa yang berkuasa? Kehendak Tuhan atau kehendak saya?” Gemuruh kaum ‘young Turks’ menyambutnya. Mereka para modernis Islam. Kaum yang ingin duduk sejajar dengan kuffar. Perihal aqidah ini memang tak biasa. Revolusi Perancis jadi ajang persekusi dan eksekusi. Paris banjir darah. Hanya perbedaan tafsir perihal ‘kehendak.’ Pengusung revolusi, tentu pengikut ‘free will.’ Mereka menafsirkan ‘segala sesuatunya adalah materi.’ Ini bermula dari ajaran filsafat. Robiespierre hanya anak kandung dari ideologi ‘Robiespierre.’ Dan Robiespierre merupakan anak ideologis dari Jean Bodin. Dia pengusung ‘modern state’ bahwa manusia yang berhak menentukan pemimpinnya. Kekuasaan adalah buah dari ‘kehendak manusia.’ Bodin tentu berada dalam satu millah yang sama dengan Montesquei, Machiavelli, sampai Thomas Hobbes. Mereka inilah pengusung aliran ‘politique’ yang berkembang abad pertengahan di Eropa. Politiue (politik) ini yang bergema dalam sisi kekuasaan. Buah dari ajaran filsafat. Karena Rene Descartes telah mendeklarasikan ‘cogito ergo sum.’ Manusia sebagai subjek yang mengamati. Manusia bukan objek yang diamati. Jadi manusia sebagai penentu. Descartes berkata, “filsafat adalah ajang dimana manusia, Tuhan, alam semesta dan lainnya menjadi ajang penyelidikan manusia.’ Dari sinilah pemisahan antara akal dan wahyu. Karena Cartesian memberi tunjuk ajar, manusia sebagai sentral point atas segalanya. Mereka menafsirkan ‘idea’- Plato kebablasan. Idea itulah sumber utama untuk menentukan siapa yang berhak sebagai penguasa. Dogma Gereja Roma, yang hidup abad pertengahan, memberi ajaran bahwa kekuasaan adalah wakil Tuhan. Roma sebagai entitas yang berhak menafsirkan kitab suci. Maka, Raja-Raja haruslah yang mendapat restu dan petunjuk dari Roma. Era itulah Gereja Roma menjadi pusat utama kekuasaan. Karena dalam dinamika itu Raja ditentukan. Sehingga adagium ‘the king can do no wrong’ membahana. Perintah Raja, dianggap perintah Tuhan. Tapi berabad-abad, banyak praktek kerajaan yang keluar dari rasionalitas. Disinilah pengusung filsafat masuk menusuk mulai mencari tanya. “Benarkah raja wakil Tuhan? Jika raja salah, apa itu merupakan kehendak Tuhan?” Serangan perihal aqidah dari John Calvin dan Luthern menjadi mencuat tajam. Otoritas Roma makin terdegradasi perlahan. Massacre de Paris, 1572, menjadi ajang pembantaian awal dua pengikut. Karena Roma memberikan titah tegas, pengikut Calvin, Huguenot, itu dicap sebagai bid’ah. Dan bid’ah dibolehkan dibunuh. King Charles IX, Raja Perancis, mengikut titah itu. Tapi peristiwa itu dijadikan ajang menyingkirkan pesainya. Karena ibunya King Charles, Chaterine de Medicie, terlalu dominan mengendalikan kerajaan. Disitulah bentuk kerajaan yang tak sehat. Karena Raja tak memimpin. ‘Massacre de Paris’ itulah ajang pembunuhan besar-besaran atas nama aqidah. Dupplesis Mornay, penasehat kerajaan Perancis, mencatatkan dalam dramanya. Peristiwa kelam pembantaian perihal perbedaan cara pandang terhadap Tuhan. Pasca “Massacre de Paris’ itulah mencuat dua aliran pemikiran. Pengusung “politque” dan pengusung ‘monarchomach’. Ini dua aliran berbeda. Machiavelli dan turunannya tentu lebih memilih bahwa tafsir atas ‘kekuasaan’ harus diteorikan ulang. Tapi kaum Monarchomach tak begitu. Mereka tetap mengusung kekuasaan adalah ‘kehendak Tuhan.’ Tapi mereka anti monarkhi. Tak setuju dengan praktek kerajaan yang berlangsung di Eropa. Mereka juga menolak ‘the king can do no wrong.’ Bagaimana jika raja melakukan kesalahan? Kaum monarchomachen meniru praktek kekuasaan Romawi kuno. Kala Julius Caesar dianggap melakukan corrupt pada Republik Romawi. 29 Senator berkumpul dalam konspirasi. Mereka melakukan pembunuhan Caesar dalam Senat. Itulah jalan Monarchomach. Raja lalim, bisa dipenggal. Raja berbuat salah, bisa diganti. Tapi peranan Senat haruslah dominan. Masa Romawi. Senat bukan diisi sembarang orang. Bukan dilotere, bak era kini. Melainkan Senat haruslah cerdik pandai, alim ulama. Mereka penyambung lidah rakyat. Demokrasi modern, hanya bak “fiction telling” – seperti kata Ian Dallas --, ulama besar dari Eropa. Karena demokrasi modern, bukanlah demokrasi. Tapi aliran Monarchomach ini kala tenar dengan pengusung ‘politique.’ Teori Bodin, Hobbes, sampai Rousseaou lebih diminati. Karena persolan tafsir ‘kehendak siapa’ ini menjadi membuncah tajam. Serangan filsafat di Eropa, tak bisa dibendung kaum alim ulama Gereja Roma. Mereka sering menyikapinya bukan dengan ilmiah. Gelileo dihukum, Bruno dibakar sampai filosof dikejar-kejar, pertanda itulah akhir dari peradabannya. Era kini berbalik. Pengusung filsafat berubah menjadi anakis. Ini yang bisa dilihat pasca Revolusi Perancis. Pengikut ‘kehendak manusia’ berubah menjadi anakhisme. People power digunakan menggulingkan titah Kerajaan dan Gereja Roma. Tapi setelah itu, perubahan drastis terjadi. Jika sebelum Revolusi, Eropa terbagi dalam tiga kelas. Kelas pertama, kaum bangsawan dan agamawan. Kelas kedua, kaum borjuis, para baron. Kelas ketiga, kaum proletar. Rakyat. Pasca revolusi, kelas bangsawan dan agamawan disingkirkan. Kaum borjuis dan para baron mengambil alih. Mereka menjadi strata teratas. Dan kaum proletar, tetap pada kelasnya. Tak ada kelas kedua. Robiespierre tak menyadari itu. Dikiranya ‘kehendak manusia’ akan menyelesaikan masalah. Pasca dia memenggal kepala Louis XVI, dikiranya dia adalah Pemimpin Republik Perancis. Beberapa tahun dia bertatha, dia dikudeta. Napoleon didapuk menjadi Kaisar baru. Siapa mengkudeta Robiespierre? Mereka-lah kelompok kelas baru: kaum borjuis dan baron. Mereka yang kemudian mengambil alih kekuasaan secara de facto. Para borjuis, berkumpul menentukan Napoleon sebagai Kaisar. Mereka kemudian memberi Napoleon pinjaman uang berbunga sebesar 75 Juta Franc. Itu dianggap utang nasional. Tapi para borjuis itu menuntut hak untuk mengatur ekonomi Perancis baru. Mereka membentuk ‘Bank de France.’ Inilah bank nasional Perancis. Napoleon wajib membayar utang berbunga setiap tahun. Dia Kaisar, tapi tak berkuasa atas keuangan Perancis. Stendhal, pakar sejarah Inggris berkata, “Penguasa adalah dia yang mengendalikan harta.” Tragedi Napoleon menjadi bukti, dia sebagai Kaisar hanya boneka. Terbukti, beberapa tahun kemudian dia dibuang ke Pulau Elba. Napoleon merana. Nasibnya tak berbeda jauh dengan Robiespierre. Kaisar berganti, Presiden berganti, tapi kekuasaan tetap dipegang kaum borjuis tadi. Merekalah oligarki. Kekuaan para oligarki ini rampak pasca Perang Dunia II. Mereka mengumpulkan seluruh pemimpin-pemimpin negara. Tak ada namanya negara adidaya. Bretton Wood, 1944, jadi bukti siapa yang bisa memerintah negara-negara. Mereka berkata, “Mulai sekarang kami menerbitkan uang tak ada lagi back up emas.” Itu pertanda kekuasaan oligarkhi tak bisa dibantah. Tak ada satu head of state-pun bisa membantah. “Siapa saja boleh jadi presiden, asal kami yang mencetak uangnya,” kata Rotschild. Tentu perpanjangan tangan kaum oligarkhi tadi adalah system rule. Mereka membuat system yang harus dipatuhi. Di situlah mereka berlindung pada positivism. Ini aliran hukum untuk menterjemahkan “kehendak manusia.” Dan mereka memanfaatkan ‘kehendak manusia’ dalam politik. Karena dengan begitu, mereka bisa menentukan sesiapa presiden yang dikehendaki. Demokrasi modern, mereka berperan bak ‘ahlul halli wal aqdi.’ Yang menentukan sesiapa pemimpin di sebuah negara. Di sinilah esoterisme terjadi. Tentu ini buah adagium ‘segala sesuatunya adalah materi.’ Karena percaya pada doktrin itu, seolah manusia memiliki ‘kehendak bebas.’ Termasuk ‘kehendak bebas’ dalam memilih pemimpin. Dari ‘kehendak bebas’ itulah oligarki telah mengunci dalam sistem-nya. Tentu jalan keluar dari ‘lubang biyawak’ ini bukan mengikutinya. Melainkan keluar dari lubang. Islam memiliki pranata lengkap perihalnya. Bagaimana memilih pemimpin, ditentukan kaum alim ulama. Ahlul Halli wal aqdi. Wali Songo mempraktekkannya dalam menentukan Raden Fatah sebagai Sultan Demak. Utsmaniyya menjalankannya berabad-abad. Para ulama berada digaris depan pemerintahan. Pemimpin bukan dilotere, yang pemenangkan telah dikantongi oligarkhi sejak mula. Sementara massa, hanya disibukkan urusan simbolisasi dan psy war, yang seolah itulah dinamika. Padahal, tak bisa seorang calon tanpa peranan oligarkhi. Karena demokrasi modern berubah menjadi industry. Perlu modal dan kapital. Ini tentu bukan lagi layak disebut demokrasi. Merujuk siklus Polybios, sejarawan i. Romawi dulu pernah berada dalam fase okhlokrasi. Kala Kaisar dikendalikan sepenuhnya oleh Legiun. Sekelompok militer. Kini, pemimpin dikendalikan kaum elit oligarkhi bankir. Tapi, pasca fase okhlokrasi, maka akan kembali ke monarkhi. Tentu bukan monarki yang “the king can do no wrong.” Melainkan bak Madinah Al Munawarah. Pemimpin yang merujuk pada ‘Kehendak Tuhan.’ Tentu berada dalam jamaah yang tak mengusung aliran ‘qadariyya.’ Inilah jalan keluar dari lubang biawak. Karena perihal kepemimpinan, di situ pula urusan Tauhidullah. (*)
Agaknya PKS Berhitung Ulang Membersamai Anies
Oleh Ady Amar - Kolumnis AKANKAH PKS tengah berhitung kemungkinan menerima tawaran, atau setidaknya menunggu wacana terbentuknya poros baru di luar Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP). Semua disebabkan adanya dinamika yang muncul dengan begitu cepat memelantingkan satu anggota koalisi, Partai Demokrat, dan menarik PKB sebagai anggota baru koalisi. Dan, itu dilakukan tanpa dibicarakan terlebih dulu dengan anggota koalisi lainnya. Tapi dalam politik semua cara bisa diambil, agar momen yang didapat tidak terlepas jika mesti dirundingkan dengan hasil kasat mata akan terjadi penolakan anggota koalisi lainnya. Membincangkan alternatif cawapres di luar Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), dibuat seolah tabu. KPP semacam terkunci pada satu figur, AHY. Munculnya figur lain dinihilkan. Agaknya itu yang jadi pertimbangan NasDem, dan kemudian \"disepakati\" Anies. Melihat suasana KPP yang demikian, muncul wacana pembentukan poros baru. PPP yang berkoalisi dengan PDIP seperti merasa belum nyaman betul, itu saat kader partai potensialnya Sandiaga Uno, yang disodorkan sebagai Bacawapres untuk Ganjar Pranowo diabaikan PDIP. Gertakan politisi senior PPP Arsul Sani, jika tawaran itu tak diindahkan maka PPP akan hengkang dari koalisi PDIP, itu dijawab PDIP dengan gertakan pula, jika PPP akan hengkang dari koalisi dipersilahkan. Sandiaga Uno memang baru bergabung dengan PPP--banyak yang menyebut itu karena arahan Presiden Jokowi--mendapat tempat terhormat. Sandi di samping ia salah satu menteri pada kabinet Jokowi-Ma\'ruf Amin--Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif-- juga dikenal sebagai pengusaha sukses dengan kekayaan tajir melintir. Karenanya, Sandi seakan bisa \"mengatur\" PPP sebagaimana ia kehendaki. Elit PPP dibuat manut pada arahannya. Keinginan untuk mengulang peruntungan sebagai Wakil Presiden--Sandi pernah berpasangan dengan Prabowo Subianto sebagai Cawapres (2019)--adalah sesuatu hal wajar. Maka memilih peruntungan ngegolkan hasratnya, itu yang sampai Sandi mau bergabung dengan PPP. Melihat dinamika yang muncul di KPP, di mana Demokrat hengkang karena kecewa dengan NasDem, kondisi itu tak disia-siakan Sandi. Beberapa kali Sandi menghubungi Demokrat, itu jika menilik apa yang disampaikan SBY, ada menteri aktif beberapa kali membujuk Demokrat untuk membuat poros baru. Kemarahan Demokrat yang bak harimau terluka, itu jadi \"menu\" Sandi mendekat dengan tawaran memunculkan wacana poros baru koalisi. Jika PPP dan Demokrat bergabung, itu belum cukup memenuhi ambang batas parliament threshold yang 20 persen. Maka, menggaet PKS jadi satu keharusan. Agaknya membujuk PKS sudah mulai dilakukan, itu jika melihat munculnya pernyataan salah satu politisi PKS yang \"berani\" mengatakan akan berhitung ulang untuk mengusung Anies. Argumen yang diberikan, itu karena NasDem mengambil keputusan sendiri saat menetapkan Muhaimin Iskandar sebagai Bacawapres dari KPP, tanpa terlebih dulu membicarakan dengan anggota koalisi lainnya. Maka, benang merah upaya Sandi melobi PKS seperti mendapat jawabannya. Posisi PKS dan PPP hampir serupa, meski serupa tapi tak sama. Adanya PPP dan PKS dalam koalisi yang berbeda, itu tak mampu mengunci atau menyandera keberadaannya menjadi sangat dibutuhkan. PDIP jika ditinggal PPP, dan KPP (NasDem dan PKB) jika ditinggal PKS, tak masalah. Itu karena suaranya cukup untuk bisa mengikuti Pilpres 2024. Godaan membentuk poros koalisi baru seperti mendapat angin, meski untuk PKS jika diibaratkan hembusan angin, itu tidak terlalu terasa tapi setidaknya tampak tidak bulat suara yang ingin membersamai Anies. Putusan PKS tetap bersama KPP versi baru--hilangnya Demokrat dan bergabungnya PKB--itu akan diputuskan lewat putusan Majelis Syuro\', yang entah kapan akan diputuskan. Berlarutnya sidang Majelis Syuro\' untuk memutuskan persetujuan Anies-Muhaimin, itu pun memunculkan spekulasi baru yang bermakna: PKS sedang berhitung ulang membersamai Anies Baswedan. PKS dituntut berpikir lebih jauh plus minus, akan tetap bersama atau melepas dukungan pada Anies. Karena itu tidak lepas dari elektoral pilihan legislatifnya (pileg). Pemilih PKS menurut rilis hampir seluruh lembaga survei yang memilih Anies, itu ada diprosentasi sekitar 70 persen. Artinya, memilih PKS karena mengusung Anies. Angka itu tidak kecil. Ini boleh dibaca, melepas Anies punya konsekuensi PKS ditinggal konstituennya. Pemilih Anies yang tidak saja di PKS, tidak sedikit juga di PPP, PAN, dan bahkan Golkar--koalisi yang menjagokan Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto--nantinya akan berdampak juga pada perolehan pilegnya. Sedang pasangan capres terikat dengan pilihan partai. Jika partai memilih pasangan capres tidak sesuai dengan konstituennya, maka partai itu akan ditinggalkan, atau tidak dipilih konstituennya. Maka tidak perlu terkaget jika partai tertentu salah dalam memilih capresnya, karena ambisi elitenya yang tidak mengindahkan suara konstituennya, maka partai itu di 2024 akan diganjar terlempar dari Senayan. Anies punya kekuatan riil mengikat pemilihnya dengan tak melihat siapa cawapres yang mendampinginya. Adagium pemilih Anies--rilis survei Litbang Kompas menyebut pemilih Anies paling militan dibanding kandidat lainnya--siapa pun cawapresnya, terpenting capresnya Anies Baswedan. Spekulasi yang menyebut PKS sedang berhitung ulang dalam membersamai Anies, itu perlu mendapat jawaban sesegera mungkin dan yang sebenarnya, apakah PKS akan tetap bersama Anies, atau justru putusan sebaliknya yang diambil, menghadirkan poros baru jadi pilihan. Apa pun putusan yang diambil pastinya sudah lewat perhitungan yang matang, tentu dengan konsekuensi yang ditimbulkan. Ya monggo saja.**