OPINI

Setelah Pendaftaran Capres/Cawapres Dimulai

Oleh Radhar Tribaskoro | Komite Eksekutif KAMI  PUTUSAN MK yang membuka jalan pencawapresan Gibran bukan tujuan sebenarnya. Putusan itu direkayasa cuma untuk menaikkan posisi tawar ke Megawati. Untuk memaksa agar Megawati setuju pasangan Prabowo-Ganjar.  Dengan telah dipilihnya MMD sebagai pasangan Ganjar, tawaran itu telah ditolak. Apakah Gibran tetap jadi cawaprea Prabowo. Jokowi tidak akan melanjutkan paslon Prabowo-Gibran. Selain karena dapat kritikan keras, pasangan itu tidak bakal menang. Jokowi sekarang ibarat layangan putus, vonis MK telah meyakinkan Megawati bahwa Jokowi memang pengkhianat. Itu sebabnya ia perintahkan Ganjar Mahfud mendaftar di hari yang sama dengan AMIN, perlambang bahwa keduanya akan menjadikan Prabowo (Jokowi) sebagai musuh bersama.  Keadaan Jokowi yang sudah lepas dari PDIP menyenangkan Prabowo. Jokowi sekarang hanya milik dia. Namun sekarang, tanpa kewajiban mencawapreskan Gibran. Semua resources Jokowi memang akan tumpah ke Prabowo, tetapi apakah cukup untuk memenangkan? (*)

Prabowo Terancam Gagal Ikut Pilpres 2024

Jakarta, FNN - Bakal calon presiden (capres) Prabowo Subianto dikejar deadline (batas waktu) dan ancaman tidak bisa mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) terkait sidang vonis uji materi di Mahkaman Konstitusi (MK). Sidang MK akan membahas gugatan Undang Undang Pemilu khususnya syarat batas maksimal usia capres 70 tahun. “Prabowo terancam gagal maju dalam pemilihan presiden (pilpres) 2024. Deadline pendaftaran pilpres 25 Oktober 2023, tapi Prabowo belum memiliki bakal calon wakil presiden. Dia juga terancam syarat usia masksimal mengikuti pilpres,” kata analis politik Universitas Nasional (Unas), Selamat Ginting di Kampus Unas, Jakarta, Jumat (20/10). Menurutnya, usia Prabowo pada Oktober ini 72 tahun, sedangkan gugatan syarat usia maksimal 70 tahun. Jika permohonan uji materi itu dikabulkan MK, maka Prabowo tidak bisa mendaftarkan dalam pilpres 2024. “Sesuai dengan jadwal di MK, vonis sidang uji materi terkait usia maksimal menjadi capres cawapres akan berlangsung pada Senin 23 Oktober 2023. Artinya dua hari sebelum penutupan pendaftaran di KPU. Oleh karena itulah Prabowo akan berusaha untuk mendaftar pada 21 Oktober 2023 agar bisa menghindari keputusan MK,” ujar Ginting. Sejumlah pihak, lanjut Ginting, mempersoalkan batas usia maksimum capres. Antara lain dua gugatan meminta batas usia maksimum capres 65 tahun dan 70 tahun. Mereka mengacu pada syarat usia minimal 40 tahun, maka harus ada batas usia maksimal. Dikemukakan, uji materi Pasal 169 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, selain harus menyebut usia minimal, maka harus pula ada usia maksimal. Hal itu bertolak dari Pasal 6 ayat 1 UUD 1945 yang mengatur capres/cawapres harus mampu secara rohani dan jasmani melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai presiden. “Masuk akal uji materi itu, karena mengacu kemampuan jasmani dan rohani capres/cawapres antara lain dipengaruhi kematangan usia (batas usia minimal) serta masa usia produktif seseorang (batas usia maksimal),\" ujar Ginting, dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unas. Ginting menyebutkan usia para presiden Indonesia saat dilantik. Presiden Soekarno 44 tahun, Presiden Soeharto (46), Presiden BJ Habibie (62), Abdurrachman Wahid (59), Presiden Megawati (54), Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (55), dan Presiden Jokowi (53).  “Jadi kita tunggu saja keputusan MK dalam sidang vonis soal maksimal capres/cawapres pada Senin (23/10). Apakah Prabowo bisa lolos atau tidak?”pungkas Ginting yang lama menjadi wartawan bidang politik. (sws)

Akhirnya Mahfud MD yang Terpilih, Bagaimana Masa Depan Indonesia?

Oleh Agus Wahid - Pemerhati Sosial Politik Drama politik percawapresan di “geng” PDIP berakhir. Ditandani dengan Megawati Soekarnoputeri mengumumkan secara resmi: Machfud MD sebagai cawapres Ganjar Pranowo. Sebuah keputusan politik yang menyingikirkan beberapa cawapres lainnya seperti Andhika Perkasa, Sandiaga Uno, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) bahkan Gibran yang beberapa hari lalu digadang-gadang sebagai pendamping Ganjar Pranowo. Yang perlu kita telaah lebih jauh, apa faktor krusial yang membuat Megawati akhirnya memilih Menko Polhukham itu? Dan yang jauh lebih substantif, jika pasangan Ganjar-Machfud berkuasa, bagaimana nasib Indonesia ke depan? Akan terjadi rekonstruksi yang mencerahkan (maju dan beradab) atau justru semakin tersungkur? Sulit disangkal, pilihan terhadap Machfud MD (MMD) lebih dikarenakan faktor indentitasnya sebagai orang Nahdliyyin. Di samping MMD sebagai putera asli Madura dan – secara kultural lokal Pulau “Garam” – NU dinilai sebagai “agama”, namun di manapun tempat atau forum, MMD selalu menyebut dirinya sebagai orang Nahdliyyin. Jadi, tidaklah meleset Megawati mengambil MMD sebagai pendamping Ganjar karena mempertimbangan identitas kenahdliyyinan. Pertimbangan ini pun menunjukkan PDIP dan gengnya sesungguhnya menggunakan politik identitas. Paradoks dengan sikap dan opini yang dibangun selama ini yang notabene anti politik identitas. Mengapa pilih MMD? Fakta politik beberapa bulan terakhir menunjukkan, jauh sebelum Anies Baswedan menetapkan pasangannya (Muhaimin Iskandar) sebagai cawapresnya, sesungguhnya Machfud MD tak pernah masuk dalam radar yang akan mendampingi Ganjar. Namun, masuknya Gus Imin sebagai pendamping Anies dan fakta dukungan politik di level grass-root demikian luar biasa seperti yang kita saksikan di Surabaya, Malang, Sidoarjo, Bandung, Bogor, Makassar dan lainnya. Tak bisa disangkal, kehadiran AMIN di manapun selalu disambut dengan lautan manusia. Sangat menggetarkan lawan politiknya. Semua pemandangan lautan massa itu membuat Megawati tampak panik. Political panic yang membuat Megawati memandang sebelah mata ikatan emosional dengan AM Hendropriyono yang menyuguhkan menantunya (Andhika Perkasa) sebagai cawapres. Bahkan, mengabaikan Sandiaga Uno, yang – melalui PPP – selalu menempel Megawati sejak Ganjar ditingkatkan penugasannya sebagai capres. Kepanikan politik itu pula yang mendorong Megawati tak punya opsi lain kecuali harus memilih sosok Nahdliyyin sebagai wakil Ganjar.  Sekali lagi, langkah Megawati menjadi terobosan di tengah topografi politik Nahdliyyin yang sudah digapai pasangan AMIN. Maka, untuk merebut basis massa Nahdliyyin di Jawa Timur dan Jawa Tengah memang harus dengan menghadirkan sosok yang beridentitas Nahdliyyin. Meski tidak mungkin bisa memindahkan secara total dalam waktu singkat terhadap basis massa Nahdliyyin yang sudah “kesengsem” terhadap pasangan AMIN, namun pencawapres MMD diharapkan mampu membelah basis massa AMIN dari unsur Nahdliyyin itu.   Jika tidak merekrut unsur Nahdliyyin, maka basis massa Nahdliyyin Jawa Timur ataupun Jawa Tengah berpotensi besar terlepas. Setidaknya, dalam jumlah besar, suara dari kaum Nahdliyyin akan tetap pilih AMIN. Ini berarti potensi kekalahan Ganjar di dua daerah (Jatim dan Jateng) di depan mata. Sementara, PDIP sebagai komandan koalisi bersama PPP, Hanura dan Perindo bertekad harus memenangkan kontestasi pilpres. Karena itu, meski opsi (pilih MMD) sangat terpaksa, tapi itu harus dilakukan. Cukup cermat kalkukasi Megawati. Makes sense. Namun, itulah politik “rai gedhek” Megawati. Harus kita catat, kaum Nahdliyyin bisa dibilang 99% muslim-muslimah. 1% lainnya nonmuslim, tapi ngaku Nahdliyyin. Sementara, dalam berbagai kesempatan Ketua Umum PDIP – dengan lantang dan sinis – menyatakan PDIP tak butuh suara kaum muslim-muslimah. Lebih dari itu Ketum PDIP ini juga sangat sering mencederai kepengtingan umat, dalam level kebijakan (perundang-undangan atau implementasi). Sering kali juga nyinyir terhadap kegiatan keagamaan kaum muslim-muslimah. Namun, demi memenangkan kontestasi pilpres, Megawati menjilat kembali ludahnya sendiri, tanpa malu dan tanpa merasa berdosa terhadap umat.  Kini, tinggal umat harus mampu merewain (memutar ulang) rekam pelecehan itu, lalu ambil sikap politik tegas: no way for Megawati, her party and her special person who instructed as a vice-president. Inilah sikap tegas yang haruslah ditunjukkan di saat krusial seperti pilpres ini. Tidak mudah untuk menjaga konsitensi (keteguhan) sikap politik itu, di level grassroot ataupun elitis. Mendasarkan sikap pragmatisme masyarakat saat ini, konsistensinya mudah diubah, meski hanya dengan recehan rupiah, tanpa mengingat dampak pemasungan hak-hak selama lima tahun ke depan. Inilah problem politik liberal.  Kini, kita perlu merenung kalkulasi Machfud effect secara elektoral. Di atas kertas, pemilihan MMD memang ada pengaruh positifnya terhadap elektoral yang ditarget. Namun, Megawati tampak tidak komprehensif dalam mengkalkulasi. Maklum. Dalam suasana panik, memang tetap saja terdapat pemikiran yang tidak komprhensif. Dalam kaitan memilih MMD, ada beberapa catatan yang tampaknya adanya sejumlah faktor sosiologis yang diabaikan. Beberapa faktor itu dapat kita telaah secara kritis. Pertama, Megawati kurang memahami data mikro sosiologis MMD sebagai jatidiri Nahdliyyin. Dalam beberapa catatan internal Nahdliyyin, MMD dinilai bukan kadernya. Terlalu elitis. Tidak mengakar. Tidak nice looking di mata kaum Hawa. Bahkan, sebagian masyarakat menilainya terlalu “ndegek” (angkuh). Kaku. Kadang juga tidak konsisten pendiriannya. Mudah condong mencari posisi aman (savety playing).  Itulah sebab – saat pilpres 2019 – yang menjadi argumentasi kuat menolak MMD sebagai cawapres Jokowi, lalu – dalam hitungan beberapa menit – digantikan KH. Ma`ruf Amin. Dari proporsi jatidiri kenahdliyyinan itu, kiranya sangat dipertanyakan efek elektoral MMD. Ada kemungkinan besar munculnya sentimen positif karena kesamaan daerah kelahiran dari sebagian masyarakat Madura yang tertarik pada MMD. Namun, mayoritas grass-root Nahdliyyin di penjuru Tanah Air akan lebih melihat sosok Gus Imin, di samping faktor utamanya: Anies Baswedan sebagai capresnya yang memang memiliki sejumlah keunggulan komparatif dan kompetitif. Kedua, masih segar di ingatan publik adalah sikap dan pernyataan yang sangat tidak empatik terhadap persoalan hak-hak yang sangat asasi pada masyarakat Rempang. Kata-kata “mengosongkan”  dan itu beda dengan menggusur yang disampaikan Menko Polhukham itu sangat menyakitkan perasaan masyarakat Rempang dan rumpun etnis Melayu pada umumnya, bahkan masyarakat lainnya di Nusantara yang ikut merintih menyaksikan penginjak-injakan hak-hak hidup masyarakat Rempang. Pernyataan MMD sungguh tidak berkemanusiaan.  Dalam kaitan pilpres ini, pencawapresan MMD menjadi faktor kontraktif atau reduktif. Secara hipotetis dan psikologis, barisan sakit hati dari rumpun Melayu apalagi masyarakat Rempang tak akan mungkin menjatuhkan pilihan politiknya kepada MMD. Berarti, pasangannya (Ganjar) terkena getahnya (berpotensi lose). Akan semakin besar jumlah hilang suaranya jika dikaitkan dengan para pejunjung HAM yang bersifat nasional. Ketiga, dengan kapasitasnya sebagai Menko Polhukham, MMD tak bisa cuci tangan dari terbitnya Keppres No. 17 Tahun 2022. Memang ada 12 jenis pelanggaran HAM berat yang terjadi pada sebelum dan selama Soeharto memimpin, salah satunya (justru yang pertama) adalah peristiwa 1965 – 1966. Dapat dipahami ucapan prihatin Presiden yang mendalam terhadap 12 tragedi kemanusiaan itu, sehingga perlu minta maaf. Tapi, ketika salah satunya pelanggaran yang dilakukan PKI dan termasuk pihak yang harus dimintai maaf apalagi minta direhabilitas, inilah problem politik-ideologis yang sangat melukai perasaan para korban kekejaman dan kebiadaban PKI. Sebagai sosok yang tahu persis perjalanan sejarah nasional, terutama terkait gerakan komunis di Tanah Air, harusnya MMD tidak membiarkan masuknya kejahatan PKI sebagai korban yang harus dimintai maaf, apalagi disertai program rehabilitasi nama baik dan bantuan sosial kepada para korban PKI. Perlu kita garis-bawahi Keppres tersebut – terutama bagi seluruh komponen masyarakat yang menjadi korban keganasan PKI – akan melihat sikap politik MMD. Seorang MMD dinilai gagal dalam membedakan sejumlah pelanggaran HAM yang tertuang dalam Keppres 17 Tahun 2022. Memang, PKI telah melakukan kejahatan HAM berat, tapi tidak harus masuk dalam paket yang dimintai permaafannya dan merehabilitasi nama baiknya serta program bantuan sosial bagi keluarganya. Sebuah renungan, berapa jumlah penduduk kita yang dulu menjadi korban keganasan PKI, baik dari anasir Nahdliyin, masyarakat muslim-muslimah pada umumnya, bahkan kalangan nasionalis yang dulu memang diburu? Pasti jutaan. Pada akhirnya, mereka akan melakukan perlawanan dengan tidak rela memilih atau mendukung MMD dalam pilpres 2024. Keempat, MMD tergolong menjebak Habib Rizieq Shihab (HRS), meski dengan ucapan komparatif dan mengecilkan sosok HRS itu. Sikap nyinyirnya mendorong massa pengagum HRS membuktikan kekeliruan ucapan MMD. Kerumunan massa pecinta HRS yang – dengan system ubin sebagai pendekatan penghitungan mencapai kisaran 5 juta – hal ini menjadi pintu masuk untuk mengkriminalisasi HRS dengan argumen tdak mentaati aturan social distanting semasa covid-19 itu. Fakta bicara, buntutnya Panjang: HRS berhasil dijebloskan. Catatan kriminalisasi itu – di mata keluarga besar pecinta HRS di seluruh Tanah Air – tak akan pernah lupa dengan penistaan MMD. Seberapa besarnya, sulit dicari angka pastinya secara matematis. Namun, jika kita mengunakan sistem hitung “aksentuasi”, kita bisa menghitung berapa banyak jumlah habaib dan ulama di Tanah Air ini. Memang tetap terbatas jumlahnya. Tapi, jika kita kaitkan dengan aksentuasinya, maka jumlahnya puluhan jutaan. Mereka yang merasa gurunya atau sahabatnya didzalimi MMD akan berhitung: inilah saatnya membalas karma. Tidak dengan kata kotor apalagi tindakan kekerasan secara fisik, tapi cukup dengan sikap “sorry to say, we can`t choose MMD”. Dan kelima, publik belum bisa melupakan pernyataannya, “Malaikat pun jika masuk dalam sistem saat ini akan menjadi Iblis”. Pernyataan MMD benar. Bisa dipertanggungjawabkan secara sosiologis. Namun, pernyataan itu juga membenarkan sistem yang amburadul itu. Yang menjadi persoalan serius, dengan masuknya MMD sebagai cawapres dan jika berhasil dalam kontestasi, justru akan memvalidasi sistem Iblis yang sudah merajalela. Maka, negeri ini di masa mendatang akan jauh lebih hancur. Kredibelitasnya sebagai ahli hukum dan komitmennya untuk menegakkan hukum akan berubah: masuk ke dalam sistem Iblis. Minimal, MMD tak akan mampu bersikap adil terhadap para pelaku kejahatan, terutama dari kaum keah putih. Di depan mata, MMD tak akan berani menyentuh Ganjar dan Puan Maharani yang – menurut penuturan Nazarudin (mantan Bendahara DPP Paryai Demokrat) dan Setyo Novanto (mantan Ketua Umum Golkar) – kedua elit PDIP itu sama-sama menerima dana haram AS$ 500.000. Juga, tak akan mengutak-utik keterlibatan suami Puan Maharani dalam kasus BTS di Kementerian Kominfo itu.  Dalam kaitan itu, Megawati gagal total memahami integritas MMD dalam dunia hukum. Kesan hebat MMD yang dikenal berani membongkar dugaan transaksi yang mencurigakan kerugian negara senilai Rp 349 trilyun, ternyata menjadi “dagangan” pencitraannya. Megawati kena prank. Maka, jika MMD tetap konsentrasi pada penegakan hukum, yang akan terjadi justu tebang pilih: menghabisi lawan-lawan politiknya atas nama hukum. Hal ini akan menambah misi besar perbaikan negara justru diwarnai hirup-pikuk drama. Tidak sehat bagi kehidupan bernegara. The last but not least, sebagai sosok yang dikenal pemberani, MMD – jika tetap terpanggil untuk menegakkan hukum – akan menjadi bomerang bagi Ganjar itu sendiri. Dengan landasan hukum wapres tak bisa dipecat oleh presidennya, maka MMD bisa dan berpotensi untuk menancapkan perbedaan kontrasnya. Di sana kita akan saksikan ketidakakuran hubungan Ganjar-MMD. Implikasinya adalah ketidakefektifan tata-kelola kenegaraan atau pemerintahan. Karenanya, tidaklah berlebihan jika muncul analisis bahwa Indonesia ke depan di bawah Ganjar-Machfud MD justru akan semakin tenggelam. Menambah kehancuran dari episode rezim Jokowi. Jauh dari cita-cita yang notabene akan menjadikan negeri ini lebih maju dan lain-lain dengan sejuta kata indahnya.  Lalu, haruskah kita biarkan kandidat pemimpin nasional yang justru akan meredupkan cahaya Indonesia ke depan? Dalam sistem demokrasi, tentu partisipasi politik (hak untuk dipilih) bagi Ganjar-MMD haruslah dihormati, apalagi sudah mendaftar secara resmi di KPU sebagai pasangan capres-cawapres. Namun, atas nama panggilan masa depan Indonesia yang mencerahkan memang harus menghindari capres-cawapres yang – secara dominan – diusung PDIP itu. Satu hak demokratik yang juga harus dihormati. Jangan galau sobat, masih ada AMIN. Pilihan yang joss. Tasikmalaya, 19 Oktober 2023.

Ana Kere Akan Terlempar Dari Bale

Oleh Sutoyo Abadi - Koordinator Kajian Merah Putih  Literatur  Jawa, sanepan \"Ana Kere Munggah Bale\" itu sanepan Jawa kuno yang terus hidup dalam ranah budaya Jawa, maknanya pun makin bervariasi sekalipun pakem induknya tetap tidak berubah. Kere, di sini dimaknai  bukan hanya manusia yang miskin harta benda, namun lebih parah, miskin intelektual, miskin adab dan tatakrama. Bahkan dalam ilmu politik modern, manusia yang kapasitas, kapabilitas dan integritasnya minus. Bale, pada sistem kerajaan (monarki) adalah tempat terhormat bagi masyarakat terhormat, bagi para bangsawan kerajaan. Sangat tidak mungkin pada waktu itu bale agung di tempati para abdi dalem (rakyat biasa). Kecuali saat ada pisowanan agung toh posisinya tetap sebagai abdi dalem. Hanya dalam perkembangannya, dikaitkan dengan manusia yang tuna segalanya, di beri atau mendapatkan kekuasaan. Tidak kuat drajat menjadi mabuk kepayang. Berhalusinasi menjadi raja dengan segala tingkah anehnya. Menggunakan bale agung sebagai tempat pernikahan dengan kebesaran memakai pernik pernik simbol kerajaan, dari pakaian, kuluk dan aksesoris lainnya. Si Kere akan menyalahgunakan kewenangan dan kekuasaannya , artinya bale sebagai panggung terhormat, disalahgunakan untuk kepentingan pribadi dan keluarganya. Aji mupung: mumpung ana, lan mumpung kuasa. Sanepo Jawa , ketika si Kere dipersilahkan pilih jeneng (sebagai satria atau negawaran) atau pilih jenang (kamukten harta). Si Kere menjawab pilih jeneng, dengan gayanya kesatria santun - pura pura tidak sombong, jujur ,  padahal mengejar jenang, berdasar fakta empirik perilaku dan tabiatnya yang brangasan. Tiba tiba menjadi kaya tidak tahu dari mana sumber kekayaannya didapat, bergaya arogan, sombong dan merasa kekuasaan itu mutlak menjadi miliknya. Sesuai watak aslinya sebagai Kere, menggunakan aji mumpung berkuasa, tidak  kuat menyembunyikan watak aslinya yang serba minim, berubah menjadi orang mabuk dan kesurupan. Kata DR. Mulyadi Opu Tadampali : \"bukan hanya minim etika publik yang ditabrak tapi juga akan menabrak empat di atasnya - norma religius, norma moral, nalar ilmiah dan nalar etik.  Lakunya dhedhemitan atau membo-membo badhar (melonjak melonjak meniru - niru lagak cara hidup orang besar atau orang kaya,  yang kurang baik dipermak agar kelihatan baik). Lebih mengerikan lagi, si Kere mengajak anak-anak, menantu dan cucunya manggung, sebuah pencitraan politik, agar publik mau mengakui, derajat si Kere ini terhormat dan hebat.  Anak-anaknya yang faktanya bodoh dan memuakkan dianggap hebat. Ke mana-mana anak, menantu dan cucunya diajak dan dipertontonkan ke publik, seolah olah sebagai manusia hebat. Politik dinasti, yang selama ini berlaku bagi Raja dan keturunannya, ternyata si Kere dan kerandhahnya ikut-ikut melestarikan, hanya demi sebuah pengakuan akan sebuah eksistensi yang mengerikan. \"Ana kere munggah bale\" jadi tontonan orang banyak. Karena, bale memang bukan tempat bagi si Kere dan kerandhahnya. Itulah si Kere yang setiap hari tampil seolah sebagai bangsawan dan negarawan. Bergaya sok merakyat, sederhana, santun, hanyalah sebuah kamuflase politik untuk sebuah atau seonggok agenda tersembunyi. Akhirnya pasti terbongkar watak aslinya.  Dan akhirnya harus menanggung semua akibatnya bulan hanya kembali tampil sebagai si Kere tetapi akibat perilakunya akan berakhir hidup nestapa di balik teruji besi. *****

Koalisi Perubahan dan AMIN Melawan Kelompok Radikal, Intoleran, dan Pemecah Belah Umat

Oleh Laksma TNI Pur Ir. Fitri Hadi Suhaimi, MAP - Analis Kebijakan Publik Bersatunya PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) dan PKS (Partai Keadilan Sejahtera) disikapi beragam. Di akar rumput, di masyarakat luas, bersatunya kedua partai ini disambut dengan kegembiraan yang luar biasa dan penuh dengan rasa sukur kehadirat Allah Tuhan semesta alam. Hal ini ditunjukkan dengan hadirnya ribuan bahkan mencapai satu juta lebih rakyat menyambut kedatangan Anies Rasyid Baswedan dan Gus Muhaimin Iskandar di Jawa Barat dan Jawa Timur.  Di Bandung, di Stadion Jalak Harupat pada hari Minggu, 01 Oktober 2023 sekitar 30 ribu orang memenuhi stadion. Kemudian di Malang Raya pada hari Minggu  tanggal 8 Oktober 2023  lebih dari 100 ribuan warga masyarakat dalam acara yang bertajuk “Jalan Sehat Bareng Amin”. Acara tersebut digagas oleh Koalisi Perubahan bersama Gus Muhaimin Iskandar kader NU sekaligus ketua Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Demikian pula ketika Anies dan Gus Imin mengadakan acara Mlaku Bareng Amin beberapa hari kemudian di Sudoarjo yaitu pada Minggu 15 Oktober. Pada hari itu  1,2 (satu juta dua ratus ribu) warga tumpah ruah di Sidoarjo gegap gempita menyambut kehadiran bakal calon presiden dan wakil presiden Anies dan Cak Imin atau pasangan Amin. Kemudian di Jakarta pada Kamis 19 Oktober rakyat tumpah ruah di jalan raya menuju kantor KPU (Komisi Pemilihan Umum)  mengiringi dan mengantar pasangan calon presiden dan wakilnya, pasangan Amin ke kantor KPU untuk mendaftarkan sebagai calon Presiden dan calon wakil Presiden pada Pemilu 2024. Mereka yang datang tersebut bukan saja dari Jakarta, bahkan juga dari Sumatyra Barat dengan inisiatif dan biaya sendiri. Inilah fakta yang tidak terbantahkan, nyata di depan mata, rakyat Indonesia begitu antusias menyambut calon presiden dan calon wakil presiden  mereka Anies Rasyid Baswedan dan Muhaimin Iskandar atau Amin dari koalisi partai Nasdem, PKS dan PKB. Fakta di Malang, Sidoarjo dan di Jakarta pada Kamis tanggal 19 Oktober sekaligus menjungkalkan survei berbayar yang selalu menempatkan Anies pada urutan buncit.  Ironisnya, di saat rakyat umat Islam ingin bersatu padu membangun peradaban untuk kemajuan bangsa Indonesia, bebas dari belenggu oligarki, bebas dari penjajahan ekonomi di segala bidang, ingin meningkatkan kesejahteraan rakyat, malah oleh sebagian kecil orang dituduh menunggangi agama, dituduh politisi agama. Bersatunya PKS dan PKB dalam satu perjuangan mereka pandang dari sisi negatif, padahal cara itu dilarang agama Islam. Menyedihkan, mereka dengan bahasa bahasa agama Islam telah berprasangka buruk terhadap apa yang dilakukan PKS dan PKB saudara seiman mereka. Seandainya orang orang yang merasa ahli agama itu sadar akan apa yang mereka lakukan, bahwa agama melarang berprasangka buruk terhadap saudaranya sendiri yaitu sesama umat Islam, lalu mengikuti ajaran Islam untuk berpikir positif, tidak berprasangka buruk,  maka Insya Allah Indonesia ke depannya akan lebih baik dari sekarang, harga barang barang terutama kebutuhan pokok tidak lagi melangit sehingga mampu dibeli dengan murah oleh masyarakat. Tidak lagi ketergantungan pangan dari luar negeri. Begitu juga dengan lapangan kerja, mudah didapat masyarakat dan tidak dibuka lebar lebar untuk kepentingan orang asing. Bumi dan isinya di negeri ini sepenuhnya dikelola negara untuk kepentingan kesejahteraan rakyat Indonesia. Rakyat tidak lagi dijejali dengan janji janji bohong yang tidak habis habisnya. Kalian berkata, NU untuk semua, tapi mengapa kalian menuduh,  Yaa Lal Wathon telah diambil oleh PKS, kalian menuduh warga NU telah diambil PKS, bahkan kalian menuduh masjid masjid NU telah diambil PKS, bukankah kalian sendiri yang mengatakan NU untuk semua. Ingatlah akan dosa kawan, ingatlah bahwa fitnah lebih kejam dari pembunuhan. Mengapa kalian tidak berpikir sebaliknya? Mengapa kalian tidak berpikir bahwa PKB telah menjadikan warga PKS menjadi seperti kalian? Mengapa kalian tidak berpikir Cak Imin telah berhasil mengubah PKS dan Nasdem menjadi seperti kalian  atau menjadi kalian seutuhnya?  Menjadi seperti yang kyai kyai kalian ajarkan. Ketika Anies Rasyid Baswedan bertutur kata sopan, santun dan dianugarahi berwajah tampan, mengapa hal itu kalian jadikan fitnah? Mengapa tutur kata indahnya tidak kalian jadikan tauladan. Bukankah Rasul junjungan kita mengajarkan untuk bertutur kata yang indah. Ayo mari bangkit menuju persatuan. Ingatkah kalian ketika PKB yang sesungguhnya milik kalian, disia siakan dengan janji pemimpinya Gus Muhaimin Iskandar, kader ormas kalian untuk menjadi calon wakil presiden pada Pemilu 2024, berapa lama mereka telah menunggu? Masih kurang sabarkan mereka menunggu? Ketika hidayah Allah masuk ke jiwa jiwa yang tenang, maka bersatulah PKB dengan PKS dan Nasdem, mengapa kalian menjadi kebakaran jenggot? Mengapa kalian sebelumnya tidak  kebakaran jenggot ketika PKB kalian hanya di PHP? Tidakkah kalian melihat warga kalian ada di PKS dan Nasdem? Tidakkah kalian melihat cucu pendiri NU  sekaligus pencipta lagu Yaa Lal Wathon ada di PKS?  Tidakkah kalian berfikir bahwa warga kalian yang ada di PKS dan Nasdem telah berhasil menyadarkan warga PKS dan Nasdem sehingga mereka melakukan apa yang kalian ajarkan?  Mengapa kalian tidak berpikir seperti itu? Mengapa kalian berpikir sebaliknya menuduh mereka telah melakukan tidakan yang tidak terpuji. Sadarlah wahai bangsaku, pilihan kita pada Pemilu 2024 boleh berbeda, tapi janganlah berburuk sangka apalagi fitnah terhadap orang lain atau lawan politik kita. Buruk sangka dan fitnah adalah pangkal dari perpecahan, intoleran dan radikal. Politik indetitas dengan indentitas yang baik apapun, apalagi indentitas agama tidak salah secara hukum maupun etika karena umat manusia didunia ini memang diberi indentitas. Indentitas indentitas itu berkelompok membentuk komunitas, mengapa pula kita salahkan komunitas indentitas itu. Ingatlah, negeri ini dibangun dari berbagai indentitas, ada yang berdasarkan indentitas kesukuan, ada yang berdasarkan indentitas profesi, ada pula yang berdasarkan indetitas agama, indentitas kepentingan dan lain sebagainya.  Indentitas indentitas itu diakui di Indonesia, BHINNEKA TUNGGAL IKA, walau berbeda beda, tapi kita satu jua. Itulah Indonesia.  Medeka, Allahuakbar Jakarta 19 Oktober 2024.

Indonesia di Lorong Gelap Gulita

Oleh Sutoyo Abadi - Koordinator Kajian Merah Putih  NEGERI ini milik semua rakyat Indonesia bukan hanya milik perorangan mabuk halusinasi merasa paling berkuasa dan menguasai. Tampil dengan percaya diri seperti hanya mereka yang berhak ada, menentukan dan mengatur negara seenaknya. Manusia yang tidak sadar bahwa kuasa atau kekuasaan itu berbingkai waktu sifat fana, semuanya akan berahir. Tetap saja tampil pongah memaksakan kehendaknya atas remote pihak luar,   atas nama hak menghalangi hak, seolah-olah yang lain tak berhak, dengan congkak dan sombong. Kehidupan itu sunnatullah, akan meniti takdirnya sesuai ayat - ayat kauniyah membawa warta untuk direnungi. Hidup ini dalam kesementaraan, sesuai kodrat yang telah menera sesuatu nafas ilahiah. Kontestasi seperti hanya dongeng tentang keculasan mengatas namakan  siapa untuk tujuan siapa mengapungkan opini yang dipaksakan menyerang siapa pun yang berbeda, memuliakan hanya mereka yang dianggap sama atau dianggap sebagai tuannya. Mematut wajah menjadi siapa membungkam suara rakyat  menepikan siapapun karena merasa negeri ini hanya untuk diri dan kelompoknya. Hari-hari ini negerimu sedang memanggungkan manusia yang merasa kuasa untuk selamanya. Tidak mau dengarkan suara rakyat  yang terluka, meratap, menangis sedih karena kesulitan hanya untuk bisa hidup dengan sesuap nasi.  Pemimpin negara yang telah hilang kesadarannya, tak mampu lagi mengungkapkan rasa atas nama kesadaran, mereka membenam di lahan kekuasaan angkara murka. Serapuh itukah kekuatan dan kekuasaan  dipancarkan hanya demi angan kemuliaan yang pandir dan semu. Ruang maya penuh sesak terjejali opini para buzzer media didominasi kerja influencer yang sedang berburu nasi bungkus. Kebohongan, penipuan, manipulasi, kejahilan, mengadu domba memenuhi jagad media sosial. Sengeri inikah kita menemukan angan angan eloknya demokrasi. Kegundahan terekspresi sebagai solusi, kekuasaan  tak menjadi tujuan kemaslahatan, justru saling menindas dan memaksa. Setiap saat sang penguasa berpidato layaknya khutbah kebajikan, yang muncul perilaku tega menikam kejam begitu tega tampil dalam kekejaman  yang seolah olah  semua dalam genggamannya. Hati tak bisa terus dibohongi, rasa tak bisa terus dijejali luka telanjur menganga dalam pergumulan candu kuasa, yang sudah dikendalikan penjajah gaya baru. Rakyat hidup dalam penantian, dari waktu ke waktu yang tak menentu. Hadirnya penguasa yang arif dan bisaksana, pemilik rasa bahwa kekuasaan hanyalah amanah untuk kebaikan semua. Keadaan yang makin rumit. Kerumitan yang dibuat oleh bangsanya sendiri, keadaan makin gelap. Rakyat meratap hanya bisa berdoa atas kehendak-Nya segera keluar dari duka,  lahirnya cahaya terang dari negeri yang tertutup kabut kegelapan. Kita mesti bergerak berjuang bersama, jangan lagi ada saling menegasi, sembari  mendekat Tuhan Yang Maha Kuasa memohon pertolongan Indonesia segera keluar dari lorong yang gelap gulita. ****

Lima dari Sembilan Hakim MK Termasuk Anwar Usman Mengkhianati Konstitusi: Revolusi di Depan Mata

Jakarta, FNN  - Tim Petisi 100 dan UI Watch kembali menggelar diskusi menyoroti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan gugatan usia calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres). Diskusi bertemakan \"Lima dari Sembilan Hakim MK, Termasuk Ketua MK Anwar Usman, Mengkhianati Konstitusi Demi Gibran: Revolusi di Depan Mata??\" itu dilaksanakan pada Rabu (18/10/2023). Hadir dalam diskusi tersebut antara lain Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan, Anggota Badan Pekerja Petisi 100 Marwan Batubara dan Mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana yang hadir secara online. Acara dipandu oleh Pimpinan Center of Study for Indonesian Leadership (CSIL) HM Mursalin. Narasumber pertama Anthony Budiawan, ia mengatakan bahwa putusan MK tersebut berbau Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). \"Kita semua sudah mengerti apa yang terjadi di MK, putusan MK ini adalah putusan yang sangat berbau KKN yaitu untuk memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada Gibran untuk menjadi Cawapres,\" ujarnya. Kata Anthony, meskipun belum tentu Gibran dicalonkan sebagai wakil presiden, tetapi manipulasi hukum dari konstitusi ini patut disayangkan. \"Ini bertentangan atau berlawanan dengan hukum sehingga harus diusut tuntas,\" katanya. Ia mengatakan, MK tidak berwenang untuk menambah atau mengurangi batasan usia, karena yang berhak menambah norma itu adalah DPR. \"Berarti MK sudah merampas wewenang dari DPR, artinya sudah melanggar konstitusi,\" jelas Anthony. Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) itu menduga, apa yang terjadi di MK itu merupakan upaya untuk kepentingan Presiden Joko Widodo yang sebentar lagi masa jabatannya akan berakhir. \"Apa yang terjadi kelihatannya ini adalah karena Pak Jokowi sudah dalam posisi yang terpojok dan sepertinya segala cara itu dihalalkan. Oleh karena itu Pak Jokowi ingin berkuasa terus atau setidak-tidaknya masih berada di pusat kekuasaan,\" tuturnya. Terkait hal tersebut, Anthony mengingatkan beberapa tahun lalu sudah ada upaya dengan munculnya wacana Jokowi akan diperpanjang jabatannya, kemudian juga upaya memperpanjang periode jabatan. Lalu juga mempromosikan Ganjar Pranowo sebagai calon presiden, namun kemudian Ganjar diambil Megawati. Upaya melanggengkan kekuasaan tersebut, kata Anthony, dikarenakan Jokowi dihadapkan sejumlah permasalahan. Mulai dari kasus ijazah palsu, kasus Freeport, Kereta Cepat dan kasus-kasus lainnya. \"Permasalahan-permasalahan ini yang harus diamankan, maka mau tidak mau mereka harus berkuasa lagi dan menghalalkan segala cara, tetapi pada akhirnya semakin memperdalam kesalahan-kesalahan itu sendiri. Dan kasus Mahkamah Konstitusi ini sangat brutal dan harus diusut tuntas karena ini sudah mempermainkan konstitusi,\" tandasnya. Narasumber berikutnya Mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana. Ia menegaskan putusan MK Nomor 90 (”Putusan 90”) terkait konstitusionalitas syarat umur capres-cawapres, yang mengabulkan sebagian permohonan, dan membuka peluang kepala daerah yang pernah/sedang menjabat untuk menjadi kontestan dalam pemilihan presiden adalah tidak sah. \"Putusan 90 mempunyai kecacatan konstitusional yang mendasar, dan karenanya tidak sah,\" tegas Denny. Ia mengatakan, argumentasi hukum yang mendasari putusan \"Perkara 90\" tidak sah, salah satunya karena hakim, dalam hal ini Ketua MK Anwar Usman, tidak mundur dalam penanganan perkara di mana sang hakim mempunyai benturan kepentingan. Benturan kepentingan yang dimaksud, kata Denny, ialah Anwar Usman merupakan ipar Presiden Joko Widodo dan keluarga dari Gibran Rakabuming Raka yang belakangan digadang-gadang akan menjadi bakal cawapres Prabowo Subianto.  Denny menjelaskan, Undang-undang nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman telah mengatur, \"seorang hakim... wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa.\"  \"Akibat dari tidak mundurnya hakim yang mempunyai benturan kepentingan tersebut adalah putusan dinyatakan tidak sah,\" tegas Denny. Kembali ia menegaskan bahwa Putusan 90 tersebut sarat dengan cacat konstitusional dan tidak sah. \"Karena itu saya merekomendasikan, yang pertama Putusan 90 yang tidak sah sebijaknya tidak dijadikan dasar dan pertimbangan dalam perhelatan sepenting Pilpres 2024 yang akan sangat menentukan arah kepemimpinan Bangsa Indonesia, yaitu Presiden dan Wakil Presiden 2024-2029,\" jelasnya. Denny mengatakan bahwa siapapun yang menjadi pasangan calon dalam Pilpres 2024 —bukan hanya terkait Gibran Rakabuming Raka— dengan hanya menyandarkan diri pada Putusan 90 akan beresiko dinyatakan tidak memenuhi syarat sebagai paslon dalam Pilpres 2024.  \"Bahkan, kalaupun berhasil terpilih, beresiko dimakzulkan (impeachement) karena sebenarnya tidak memenuhi syarat sebagai pasangan calon presiden ataupun wakil presiden, karena hanya berdasarkan dengan Putusan 90 yang cacat konstitusional dan tidak sah,\" ujarnya. Sementara itu, kepada MK, dengan dukungan seluruh elemen yang masih sadar dan cinta Indonesia, Denny menyarankan sebaiknya memproses pelanggaran kode etik yang terjadi dalam Putusan 90, dengan tujuan menegakkan kembali marwah, harkat, martabat, dan kehormatan MK. Anggota Badan Pekerja Petisi 100 Marwan Batubara yang menjadi narasumber selanjutnya mengatakan bahwa putusan MK ini merupakan salah satu upaya rezim oligarkis untuk mempertahankan kekuasaan. \"Putusan MK ini merupakan salah satu upaya rezim oligarkis yang penguasanya adalah Jokowi sebagai presiden dan sejumlah menteri, salah satunya itu Luhut Panjaitan dan sejumlah menteri lain untuk tetap mempertahankan dominasi dan kekuasaan,\" ujar Marwan. Menurutnya, apa yang dilakukan MK merupakan pelanggaran tingkat tinggi dan sangat fatal karena menyangkut pelanggaran terhadap hal yang sangat strategis yaitu konstitusi.  Marwan juga mengingatkan agar publik tidak terkecoh untuk menganggap pelanggaran fatal tersebut hanya fokus pada masalah conflict of interest karena hubungan keluarga Anwar Usman dan Jokowi. Tetapi juga pada berbagai pelanggaran konstitusi dan berbagai UU secara sistemik yang melibatkan tiga lembaga kekuasaan, eksekutif, legislatif dan yudikatif.  Marwan mengingatkan, pengkhianatan konstitusi bukan hanyak dilakukan oleh Ketua MK Anwar Usman, tetapi juga oleh empat hakim MK, yakni Daniel Yusmic, MG Hamzah, Manahan Sitompul dan Enny Nurbaningsih. \"Tidak hanya melanggar konstitusi, tetapi juga melanggar amanat reformasi dalam TAP MPR Nomor 11 Tahun 1998, kemudian juga melanggar prinsip-prinsip pembagian kekuasaan yaitu kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif,\" ungkap Marwan. Meski demikian, ia pesimis pelanggaran fatal tersebut bisa diproses secara hukum. \"Maka diskusi ini kenapa ada judul Revolusi di Depan Mata, karena tampaknya tidak akan ada proses hukum yang akan diterapkan untuk menghentikan pelanggaran konstitusi dan demokrasi ini. Padahal mestinya DPR, MPR dan MK segera memulai proses pemakzulan sesuai amanat Pasal 7A UUD 1945. Maka rakyat dihimbau untuk bergabung melakukan perlawanan, salah satunya melalui gerakan revolusi\", kata Marwan. (*)

Daftar Di KPU, Ini Jawaban Buat Para Peragu

Oleh Tony Rosyid - Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa Clear! Anies-Cak Imin capres-cawapres. Anies-Cak Imin telah daftar ke KPU hari ini, kamis 19 Oktober 2023 jam 08.00. Pendaftaran ini menjadi jawaban terhadap keraguan yang selama ini didengungkan oleh sejumlah pihak. Terlalu sering publik medengar keraguan ini, baik di media, medsos maupun dalam perbincangan politik sehari-hari. \"Anies tidak bakal bisa nyapres\". Inilah kalimat yang kita sering sama-sama dengar dan baca. Kalimat ini punya dua makna: pertama, sebagai kalimat mengejek. Ejekan ini umumnya keluar dari mereka yang tidak mendukung Anies, bahkan cenderung menyimpan kebencian. Kedua, kalimat ini datang dari kubu lawan yang mengaku mendapat info valid bahwa Anies tidak mungkin bisa maju. Berhasil dijegal dengan kasus Formule atau dijegal melalui partai pengusungnya. Ketiga, kalimat ini sebagai bentuk keraguan. Banyak orang yang \"wait and see\". Mereka menunggu jadual pendaftaran. Setelah ada kepastian Anies nyapres, mereka nerapat dan memberi dukungan.  Kelompok ketiga ini menganggap konyol kalau mendukung di awal, lalu Anies tidak bisa maju. Ini sikap tidak rasional dan betul-berul konyol. Mereka tidak mau ambil risiko. Karena bagi mereka, hidup itu untuk menang, bukan untuk dipertaruhkan. Kalompok ini selalu banyak jumlahnya. Merespons fakta ini, para pendukung Anies sering menggunakan istilah \"Assabiquunal awwalun\" dan \"Assabiquunal aakhirun\". Assabiquunal Awwaluun adalah para pendukung Anies periode awal sebelum pendaftaran, dan Asaabiquunal Aakhirun adalah para pendukung yang datang pasca pendaftaran. Pendukung awal, mereka yang ikut berdarah-darah dan ikut berjuang sebelum pendaftaran, umumnya adalah orang-orang yang yakin bahwa Anies adalah tokoh yang layak dipercaya karena rekam jejaknya menunjukan kejelasan integritas dan kapabilitas untuk memimpin negeri ini kedepan. Anies adalah sosok yang dibutuhkan negeri ini. Mereka yakin jalan Tuhan akan membersamai Anies. Alam akan memberinya kesempatan Anies untuk memimpin negeri ini. Tiba pada waktunya Nasdem mendeklarasikan Anies, lalu di kemudian hari disusul oleh PKS dan Demokrat. Sampai di titik ini, bagi banyak pihak tetap belum cukup meyakinkan Anies bisa nyapres. Mereka berpikir, Anies masih potensial untuk dikriminalisasi. Mereka makin ragu lagi ketika publik mendengar kabar bahwa Demokrat mengancam akan hengkang.  Anies telah dihadapkan pada tarik menarik dua partai koalisi. Demokrat bertahan jika Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) jadi cawapres. Kalau AHY jadi cawapres, Nasdem bisa tarik diri, dan Anies tidak gagal nyapres.  Sampai pada akhirnya, takdir mempertemukan Anies dengan Cak Imin. Demokrat membuktikan ancamannya untuk exit dan diganti oleh PKB. Partai koalisi berubah menjadi Nasdem, PKS dan PKB. Minus Demokrat. Nama koalisinya adalah Koalisi Perubahan. Sudah ada pasangan capres-cawapres yaitu Anies-Cak Imin, dan sudah pula ada partai-partai pengusung yang memenuhi syarat, sebagian orang masih tidak percaya kalau Anies-Cak Imin bisa maju. Kali ini bukan Anies yang dikhawatirkan, tapi Cak Imin. Cak Imin, kata mereka, berpotensi dilriminalisasi. Dan betul, selesai deklarasi di Surabaya, Cak Imin dipanggil sebagai saksi dalam kasus 11 tahun lalu. Ini dahsyat. Inilah yang membuat sebagian orang ragu apakah pasangan Anies-Cak Imin bisa daftar di KPU. Hilang isu kriminalisasi Cak Imin, giliran Nasdem yang dihajar dengan isu aliran dana ke partai. Lagi-lagi, keraguan sebagian orang itu terus bertahan. \"Jangan-jangan Nasdem didiskualifikasi\". Kalau Nasdem didiskualifikasi, Anies-Cak Imin otomatis juga diskualifikasi. Itulah ilmu keraguan. Sekali ragu, akan selalu punya alasan untuk ragu. Tapi hari ini, (19/10) Anies-Cak Imin daftar ke KPU. Resmi sebagai capres-cawapres, dan pasangan ini berhak untuk ikut dalam kontestasi pilpres 14 Pebruari 2024.  Masih ada yang ragu? Makkah-Jeddah, 19 Oktober 2023.

Mahkamah Kacrut

Oleh M Rizal Fadillah | Pemerhati Politik dan Kebangsaan TERLALU banyak ejekan pada Mahkamah Konstitusi yang kerjanya kacrut alias kacau. Pantas disebut Mahkamah Kacrut, Mahkamah Keluarga, Mahkamah Kongkalikong, Mahkamah Kroni, Mahkamah Keledai atau Mahkamah Kecoa. Ketuanya adalah Anwar Usman adik ipar Jokowi atau paman Gibran dan Kaesang. Rakyat sudah muak dengan perilaku hakim-hakim pengkhianat rakyat. Berbaju konstitusi berhati besi. Tidak peduli pada aspirasi.  Putusan uji materiel tentang usia capres penuh manipulasi. Tujuannya memfasilitasi keluarga istri, adik Jokowi. Saat putusan diambil Jokowi pergi ke luar negeri menemui kakak besar. Alasan formalnya ikut KTT dan membangun jaringan bisnis, informalnya tidak jelas. Bisa saja lapor perkembangan politik dalam negeri. Xi Jinping kan sudah dianggap saudara. Atau mungkin meminta arahan dari kakak besar itu? Semua menjadi misteri.  Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 menetapkan batasan usia Capres Cawapres 40 tahun. Lalu membuka peluang bebas batas usia asal pernah/sedang menjadi Kepala Daerah Propinsi atau Kabupaten/Kota. Artinya pintu untuk Gibran menjadi sangat terbuka. Inilah agenda terselubung dari Judicial Review itu. MK sendiri sesungguhnya dinilai tidak memiliki kewenangan untuk memutus perkara gugatan seperti ini.  Putusan demikian dinilai seenaknya dan bertentangan dengan Konstitusi. MK mengambil porsi kewenangan pembuat UU.  MK memang Mahkamah Kontroversial. Sebelumnya belasan gugatan PT 20% tidak diterima atau ditolak. Padahal gugatan tersebut untuk memperbaiki kehidupan politik domestik agar semakin matang dan demokratis. Lalu gugatan UU Omnibus Law Cipta Kerja yang tolak dan tolak. Ada Putusan MK \"Inkonstitusional bersyarat\" perintah memperbaiki 2 tahun.  Hebatnya, Putusan \"aneh\" MK itu ternyata kongkalikong Jokowi yang alih-alih memperbaiki dan menjalankan Putusan MK, justru mengeluarkan Perppu. DPR sang  \"tukang stempel\" setuju Perppu menjadi Undang-Undang. MK senyum-senyum saja. No komen. Mungkin menurutnya tidak ada ketentuan yang mengatur keharusan adanya komen.  MK bukan saja tidak bermutu tetapi tidak perlu. Personalnya perusak. Dissenting opinion menjadi drama Korea, pura-pura demokratis padahal tidak berpengaruh. Pencitraan semata. Publik skeptis dengan keseriusan penanganan kasus. Apalagi yang dikaitkan dengan Jokowi dan keluarganya. Putusan usia Capres/Cawapres dan pengalaman jabatan sebagai Kepala Daerah adalah contoh drama akal-akalan itu.  Dengan personal dan cara kerja seperti itu Para Hakim MK layak diberhentikan atau dibubarkan. MK bukan menjadi pengawal Konstitusi melainkan pelanggar dan penginjak-injak Konstitusi. Kebiasaan buruk ini diprediksi akan terus berlanjut saat MK menjadi pemutus kasus Pemilu 2024. Mahkamah Kongkalikong adalah hama bangsa yang tidak dapat dipercaya.  Evaluasi isi Konstitusi harus menyentuh keberadaan Mahkamah Konstitusi. Upaya untuk menjadikan MK sebagai lembaga terhormat dan berwibawa semakin jauh dari harapan. Ketua MK Anwar Usman adalah sopir yang menjalankan kendaraan secara ugal-ugalan. Identitas penggugat yang dikabulkan gugatannya saja salah. Mahasiswa dari Perguruan Tinggi mana.  Memang MK adalah Mahkamah KACRUT!  Bandung, 19 Oktober 2023.

Akhirnya Ganjar-Mahfud Bersanding, Akankah Prabowo-Gibran Menyusul, atau..

Oleh: Ady Amar, Kolumnis Tidak ada kejutan berarti dipilihnya Prof Mahfud MD pagi ini, Rabu (18/10), yang bersanding dengan Ganjar Pranowo. Sudah diprediksi pilihan untuk Ganjar tidak jauh-jauh dari Mahfud. Jadi sambutan publik pun ya biasa-biasa saja. Tentu beda jauh jika dibandingkan kejutan yang dibuat Anies dengan memilih Muhaimin Iskandar. Pilihan yang di luar prediksi. Bahkan Cak Imin, panggilan akrab Muhaimin Iskandar, dibicarakan pun tak pernah. Maka, saat diputuskan Anies-Muhaimin gempa keterkejutannya dahsyat. Setelah sebelumnya Anies digadang seolah akan disandingkan dengan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Kemudian pilihan jatuh pada Cak Imin, itu lebih pada strategi pemenangan, yang itu mencengangkan banyak pihak. Dan disikapi Partai Demokrat dengan meninggalkan Anies dan bergabung dengan Prabowo, meski di tempat yang baru rela sekalipun tidak mendapat apa-apa, dan kurang diperhitungkan. Tidak sebagaimana Ganjar, yang jauh hari bisa diprediksi akan disandingkan dengan Prof Mahfud MD. Berharap Mahfud bisa menyumbang suara dari kalangan akademisi dan kaum nahdliyyin khususnya di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Ganjar-Mahfud resmi sebagai pasangan yang diusung PDIP, PPP, Partai Hanura, dan Perindo. Memilih Mahfud untuk Ganjar bukanlah rahasia umum. Bahkan publik menilai, Mahfud ada dalam ranking pertama yang akan dipilih. Hanya menunggu waktu yang tepat untuk mengumumkannya. Tentu sambil melihat  kandidat lainnya, dan itu Prabowo Subianto yang akan bersanding dengan siapa. Prabowo sepertinya akan bersanding dengan Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden Jokowi. Memang Gibran telah mendapat privilese dari MK, meski usianya belum 40 tahun. Segala cara demi Gibran diupayakan bisa disiasati, dilakukan dan berhasil. Jika Gibran maju mendampingi Prabowo, itu berarti ia akan bersinggungan dengan PDIP. Pastilah menyakitkan PDIP. Maka dicarikan jalan yang lebih sift, Gibran sepertinya akan mundur dari PDIP. Dipilihlah Partai Golkar untuk ia berlabuh. Langkah ini pun masih akan juga menyakitkan PDIP, tapi setidaknya secara etika tak ada yang dilanggarnya. Tapi tetap akan berdampak pada hubungan Jokowi dan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri. Semua tentu sudah diperhitungkan. Kita akan lihat setidaknya dalam pekan ini, Koalisi Indonesia Maju (Gerindra, Golkar, PAN, Demokrat, PBB, Gelora) akankah Prabowo akan deklarasi berpasangan dengan Gibran. Seperti mencari waktu yang tepat saja, juga melihat kecenderungan publik lebih berpihak pada Prabowo-Gibran, atau bahkan sebaliknya. Jika suara-suara minor pada Gibran terus menggelinding, dan lalu pilihan cawapres yang mendampingi Prabowo bukan Gibran, maka sungguh sia-sia kerja keras Ketua MK Anwar Usman--ipar dari Jokowi--karenanya paman dari Gibran, guna menggoalkan keikutsertaan Gibran dalam kontestasi Pilpres 2024. Mestinya ini juga bisa jadi bahan pertimbangan Koalisi Indonesia Maju. Tak kalah pula patut dipertimbangkan adalah sikap Presiden Jokowi, bagaimana jika sampai Gibran tidak jadi diusung sebagai cawapres mendampingi Prabowo, apakah akan sama sikapnya dalam membersamai Prabowo. Sepertinya belum tentu, bahkan bisa memukul balik dengan memilih meninggalkan Koalisi Indonesia Maju. Tak mustahil muncul pikiran, untuk apa meng- endorse Prabowo di mana Gibran tak terpilih sebagai cawapresnya. Karenanya, tidak mustahil endorse pada Prabowo dialihkan pada Ganjar, itu agar tetap terjaga hubungan baik dengan PDIP, khususnya dengan Ibu Megawati. Karenanya, tak muncul sebutan Jokowi sebagai \"malin kundang\", anak yang durhaka pada ibunya (Megawati). Analisa yang muncul lebih menguatkan akan bersandingnya Prabowo-Gibran, yang dianggap potensial paling punya kans kemenangan dalam pilpres, ketimbang jika berpasangan dengan nama-nama yang dikesankan \"dekat\" dengan Prabowo. Diantaranya, Erick Thohir, Airlangga Hartarto dan, atau Khofifah Indarparawansa. Tapi jika Koalisi Indonesia Maju memilih Gibran Rakabuming Raka, tidak mustahil pasokan bantuan, dan itu cawe-cawe sebagaimana yang dijanjikan Presiden Jokowi pastilah akan punya nilai tersendiri yang menguntungkan. Sepertinya pasangan Prabowo-Gibran ini yang akan dipilih Koalisi Indonesia Maju. Segala kemungkinan bisa saja terjadi. Meski demikian, tidak akan ada kejutan yang lebih dahsyat dibanding saat disandingkannya Anies-Muhaimin. Semua sepertinya sudah antiklimaks.**