OPINI

Jangan Lupa Gagalkan Coldplay

Oleh M Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan SETELAH batal rencana pertemuan aktivis dan komunitas LGBT se Asia Tenggara di Jakarta akibat penolakan umat Islam, saatnya penolakan serupa gencar dilakukan untuk membatalkan konser group band Coldplay yang juga memiliki misi serupa mengkampanyekan LGBT. Sejenis penyakit menular yang berbahaya bagi bangsa khususnya generasi muda.  Sebagai negara Pancasila yang berbasis Ketuhanan Yang Maha Esa, maka tidak patut konser yang mengkampanyekan LGBT diterima di Indonesia. Alasan seni, hiburan atau bisnis harus dikesampingkan. Perbuatan LGBT dikutuk oleh semua  agama. Buktikan bahwa negara Pancasila memiliki wibawa dan martabat di dunia. Siapapun  harus menghargai atau menghormati bangsa Indonesia dengan falsafah kenegaraannya.  Konser Coldplay memang masih cukup lama bulan November 2023 tetapi penolakan harus tetap digaungkan agar kelak ketika gagal maka tidak terkalu banyak pihak dirugikan. Siap dengan antisipasi dari dampak kegagalan atas terlaksananya konser di Indonesia.  Ada tiga aspek yang menjadi dasar penolakan atau desakan pembatalan konser Coldplay, yaitu: Pertama, aspek budaya dan agama. Budaya bangsa Indonesia tidak memberi ruang pada LGBT. LGBT berbasis pada budaya yang liberalistik, sarwa bebas. Begitu juga dengan agama, tidak ada satu agama pun yang diakui membolehkan LGBT. Pancasila adalah dasar dari keberlakuan budaya dan agama-agama.  Kedua, aspek politik dan keamanan. Kampanye LGBT merupakan serangan politik untuk melemahkan daya tahan bangsa. Penguasa yang permisif menjadi mitra asing dalam menghianati negara. LGBT yang dilindungi berpotensi perlawanan dan ini artinya kerusuhan. Keamanan negara terancam.  Ketiga, aspek hukum dan HAM. Perkawinan sejenis itu melawan kodrat dan melawan hukum. Tidak aturan perundang-undangan yang membenarkan LGBT. Pelaku LGBT tidak bisa dilindungi atas dasar HAM. LGBT bukan HAM tetapi penyimpangan atau penyakit. Melindungi HAM justru dengan mencegah dan menindak LGBT.  Grup Band Coldplay khususnya vokalis Chris Martin memang percaya diri dan sudah mem\"branding\" diri sebagai juru kampanye LGBT. Tanpa perlawanan serius konser-konser yang diadakan di berbagai belahan dunia akan sukses menjadi sarana dari misi joroknya. Musik dan hiburan adalah tunggangan yang menarik.  Belajar dari sukses menggagalkan pertemuan aktivis dan komunitas LGBT di Jakarta maka masyarakat khususnya umat Islam harus berjuang kembali untuk menggagalkan pertunjukan musik Coldplay. Ketika mereka mengusik moralitas bangsa, maka kita harus membatasi kebebasan mereka.  Coldplay tidak memiliki alasan untuk diistimewakan. Jika mereka nekad maka masyarakat berhak mengusirnya. Jika pemerintah melindungi maka harus di demo keras pemerintah yang dinilai pro LGBT. Jika Menteri Sandiaga Uno teriak membela, maka desak Uno untuk mundur. Jika perlu tempuh jalur hukum untuk menghukum arogansinya.  Ke depan memang seperti apa yang pernah dikemukakan oleh Ketum DTN PA 212 KH Abdul Qohar bahwa perlu adanya aturan perundang-undangan yang melarang kampanye LGBT. Nampaknya seruan ini harus didukung dan direalisasikan. Sebagai negara bermoral, maka penting ada pencanangan program atau gerakan \"Indonesia bebas LGBT\". Hal ini dimaksudkan agar ke depan dapat dicegah perilaku menyimpang LGBT dan dicegah pula penularan dahsyat dari penyakit LGBT ini.  Bandung, 16 Juli 2023.

Dialog Imajiner Bersama Bung Karno dan Bung Hatta (Bagian 5 - Selesai)

Oleh Prihandoyo Kuswanto - Ketua Pusat Studi Kajian Rumah Pancasila  Kita sebagai bangsa tidak boleh membiarkan kehancuran negara Indonesia terjadi. Menghadapi suksesi kepemimpinan harus ada kesadaran perubahan mengembalikan UUD 1945 sebagai meja statis dan GBHN sebagai Leitstar dinamis. Tentu harus ada perubahan terhadap keadaan Negara Indonesia yang dicengkeram oligarki politik maupun oligarki ekonomi  Untuk perubahan menuju masyarakat yang adil dan makmur tentu harus ada keberanian mendobrak keadaan yang membuat segelintir orang ketakutan keserakahannya akan berakhir. RP: Bagaimana menghadapi keadaan negara menuju perubahan yang lebih baik? BK: Ini mengenai UUD 1945 dan Demokrasi  Pancasila perlu dipahami tentang penataan kelembagaan MPR setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Banyak yang nggak mengerti UUD 1945 itu,  adalah satu tempat yang sebaik-baiknya untuk menyelenggarakan demokrasi Pancasila . Demokrasi Pancasila  perlu  menyelenggarakan masyarakat adil dan makmur. Demokrasi Pancasila  itu perlu. UUD 1945 adalah tempat yang sebaik-baiknya untuk menyelenggarakan demokrasi Pancasila itu. Pertama di dalam DPR, kedua di dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat, ketiga di dalam Dewan Pertimbangan Agung. Jadi harus dilakukan retoling pada lembaga-lembaga negara itu agar bisa melsksanakan demokrasi Pancasila. BH:  Segala sesuatu bercampur-baur dan bersangkut paut, berpengaruh-mempengaruhi itu lah (kolektivisme). Masyarakat dan tatanegara Indonesia asli, oleh karenanya kompak, bersatu padu, hormat-menghormati, harga-menghargai, dalam kehidupan sehari-hari sebagai suatu kolektivitas, dalam suasana persatuan. Sifat ketatanegaraan asli itu masih dapat terlihat dalam suasana desa, baik di Jawa, maupun di Sumatera dan kepulauan-kepulauan lain. Rakyat desa hidup dalam persatuan dengan pemimpin-pemimpinnya, antara golongan-golongan rakyat satu sama lain, segala golongan diliputi oleh semangat gotong-royong, semangat kekeluargaan. Kepala desa atau kepala rakyat berwajib menyelenggarakan keinsyafan keadilan rakyat dan harus senantiasa memberi bentuk kepada rasa keadilan dan cita-cita rakyat. BH: Beranda MENYELAMATKAN INDONESIA OMONG KOSONG TANPA KEMBALI KE UUD 1945 ASLI Rate this CSMaret 06, 20220 Oleh: Prihandoyo Kuswanto - Ketua Pusat Studi Rumah Pancasila. Amandemen UUD 1945 ternyata semakin merusak tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara, amandemen bukan hanya sekedar mengganti pasal-pasal didalam UUD 1945 tetapi juga merubah aliran pemikiran , Aliran pemikiran Panca Sila telah dirubah menjadi Liberalisme Kapitalisme , hal ini tentu saja bukan hanya tidak sesuai dengan budaya dan kehidupan bangsa tetapi lebih jauh telah mengubur karater dan jati diri Bangsa Indonesia. Akibat dari amandemen dan dirubah nya negara kekeluargaan menjadi perseorang maka telah terjadi penyelewengan terhadap tujuan bernegara, munculnya dinasti Politik, oli garkhy ,kemudian kekuasaan diperebutkan dengan model demokrasi liberal, pertarungan perebutan kekuasaan tentu saja didahului dengan saling serang, saling hina dan caci maki, tidak berhenti di situ maka uang menjadi segala-galanya. Uanglah yang bisa membeli demokrasi, di sinilah terjadi perusakan mental bangsa secara akut dan menyeluruh, politik dengan biaya yang tinggi hingga menjadikan politikus melakukan segala cara, menghalalkan segala cara korupsi, kong kalingkong, saling sandra dan jauh dari martabat serta kehormatannya. Bangsa ini sedang menuju keterpurukannya, hilangnya solidaritas sosial, hilang nya senasib dan seperjuangan, hilang nya kesetiakawanan sosial, dan semakin jauh cita cita “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Bagaimana tidak semakin menjadi jurang anta si kaya dan si miskin kalau 0,20 % minoritas warga keturunan Tionghoa menguasai 70% lahan di Indonesia? Bagaimana bisa adil kalau 0,10% minoritas warga keturunan Tionghoa mengauasai 50% kekayaan Indonesia. Tentu saja semua ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap pasal 33 UUD 1945, “Bumi dan air serta kekayaan yang ada didalam nya dikuasai Negara sebesar-besar nya untuk kemakmuran rakyat.” Mana mungkin rakyat bisa makmaur kalau negara telah berlaku tidak jujur membiarkan minoritas menguasai kekayaan di negeri ini. Para elite dan Pemerintah dan para pengamandemen UUD 1945 telah mengkhianati ajaran Panca Sila sebagai prinsip berbangsa dan bernegara . Marilah kita resapi apa yang telah diuraikan oleh para pelaku sejarah pembentukan UUD 1945 dan Pancasila sebagai dasar bernegara  Cuplikan dokumen Panitya 5. merumuskan pengertian-pengertian Pancasila yang terdiri dari lima orang: 1. Dr. H. Mohammad Hatta; 2. Prof. Mr. H. Ahmad Subardjo Djoyoadisuryo; 3. Mr. Alex Andrias Maramis; 4. Prof. Mr. Sunario; 5. Prof. Mr. Abdul Gafar Pringgodigdo. Dibantu oleh 2 orang Sekretaris yakni: Drs. Imam Pratignyo dan Drs. Soerowo Abdulmanap. Pada waktu kami merancang Undang-Undang Dasar 1945, kami telah dapat menyaksikan akibat-akibat dari susunan negara-negara Barat (Amerika Serikat, Eropah Barat). Dasar susunan negara-negara itu ialah perseorangan dan liberalisme. Segala sesuatu didasarkan atas hak dan kepentingan seseorang. Ia harus bebas dalam memperkembangkan daya hidupnya di segala lapangan (ekonomi, sosial, budaya, agama dan lain-lain), sehingga meng-akibatkan persaingan maha hebat antara seseorang dengan orang lain, antara negara dan negara lain, berdasarkan egoisme yang hanya mengutamakan kepentingannya, baik perseorangan maupun negara. Hal demikian itu menimbulkan sistim Kapitalisme di mana seseorang memeras orang lain (explotation de l’homme par l’homme) dan Imperialisme, di mana suatu negara menguasai dan menjajah negara lain. Dalam pada itu tidaklah ada landasan moral yang dapat membatasi nafsu bertindak dan berbuat seseorang terhadap orang lain atau suatu bangsa terhadap bangsa lain. Perang Dunia ke-I (1914-1918) adalah akibat yang nyata dari pandangan hidup Liberalisme, seperti yang diutarakan di atas tadi. Sistim tatanegara demikian itu yang mengutamakan kepentingan perseorangan dan kebebasan hidup tanpa landasan moral, menimbulkan keangkaramurkaan, membikin kacau-balaunya dunia lahir dan bathin, sebagai semangat perseorangan tersebut. Maka dari itu, tatanegara, tata hukum dan pandangan hidup demikian itu, tidaklah sesuai dengan lembaga sosial dari masyarakat Indonesia asli, sehingga jelaslah bahwa susunan hukum negara-negara Barat, yang berlandaskan teori-teori perseorangan dari para ahli pemikir seperti Voltaire, Jean Jacques Rousseau, Montesquieu dan lain-lain dari Perancis serta John Locke, Hobbes, Thomas Paine dan lain-lain dari Inggeris dan Amerika, tidak dapat diambil sebagai contoh yang baik bagi Indonesia. Demikian pula contoh yang diberikan oleh dasar susunan negara Sovyet-Rusia tidaklah cocok bahkan bertentangan dengan sifat masyarakat Indonesia yang asli. Tatanegara Sovyet-Rusia berdasarkan pertentangan kelas, menurut teori yang diajarkan oleh Mark, Engels dan Lenin, yakni teori ”golongan”. Negara dianggap sebagai alat dari suatu golongan untuk menindas golongan lain, agar hanya suatu golongan saja yang memegang kekuasaan negara, yakni golongan kaum buruh (Dictatorship of the proletariat). Teori ini timbul sebagai reaksi terhadap negara ”kapitalis” yang dianggap dipakai sebagai perkakas oleh kaum ”burjuis” untuk menindas kaum buruh. Kaum burjuis itu mempunyai kedudukan ekonomi yang paling kuat untuk menindas golongan-golongan lain, yang mempunyai kedudukan yang lemah. Maka perobahan negara Kapitalis menjadi negara Sosialis/Komunis menjadi dasar dan tujuan gerakan buruh internasional. Dalam mencari dasar dan tujuan Negara Indonesia haruslah dilihat kenyataan struktur sosialnya, agar supaya negara dapat berdiri kokoh-kuat untuk bertumbuh sebagai ruang gerak bagi rakyat dengan ciri khas kepribadiannya. Adapun struktur masyarakat Indonesia yang asli tidak lain ialah ciptaan kebudayaan Indonesia oleh rakyatnya sejak zaman purbakala sampai sekarang. Kebudayaan Indonesia itu ialah perkembangan aliran pikiran, yang bersifat dan bercita-cita persatuan hidup, yaitu persatuan antara dunia luar dan dunia bathin. Manusia Indonesia dihinggapi oleh persatuan hidup dengan seluruh alam semesta, ciptaan Tuhan Yang Maha-Esa, di mana ia menjadi makhluk-Nya pula. Semangat kebathinan, struktur kerokhaniannya bersifat dan bercita-cita persatuan hidup, persatuan antara dunia luar dan dunia bathin, segala-galanya ditujukan kepada keseimbangan lahir dan bathin itu, dia hidup dalam ketenangan dan ketentraman, hidup harmonis dengan sesama manusia dan golongan-golongan lain dari masyarakat, karena sebagai seseorang ia tidak terpisah dari orang lain atau dari dunia luar, dari segala golongan makhluk, segala sesuatu bercampur-baur dan bersangkut paut, berpengaruh-mem-pengaruhi. Masyarakat dan tatanegara Indonesia asli, oleh karenanya kompak, bersatupadu, hormat-menghormati, harga-menghargai, dalam kehidupan sehari-hari sebagai suatu kolektivitas, dalam suasana persatuan. Sifatnya ketatanegaraan asli itu masih dapat terlihat dalam suasana desa, baik di Jawa, maupun di Sumatera dan kepulauan-kepulauan lain. Rakyat desa hidup dalam persatuan dengan pemimpin-pemimpinnya, antara golongan-golongan rakyat satu sama lain, segala golongan diliputi oleh semangat gotong-royong, semangat kekeluargaan. Kepala desa atau kepala rakyat berwajib menyelenggarakan keinsyafan keadilan rakyat dan harus senantiasa memberi bentuk kepada rasa keadilan dan cita-cita rakyat. Oleh karena itu, kepala rakyat yang memegang adat, senantiasa memper-hatikan segala gerak gerik dalam masyarakatnya dan untuk maksud itu senantiasa bermusyawarah dengan rakyatnya atau dengan kepala-kepala keluarga dalam desanya, agar supaya pertalian bathin antara pemimpin dan rakyat seluruhnya senantiasa terpelihara. Para pejabat negara, menurut pandangan tatanegara asli, ialah pemimpin yang bersatu-jiwa dengan rakyat dan para pejabat begara berwajib memegang teguh persatuan dan keseimbangan dalam masyarakatnya. Jadi menurut pandangan ini negara ialah tidak untuk menjamin kepentingan seseorang atau golongan, akan tetapi menjamin kepentingan masyarakat seluruhnya sebagai persatuan. Negara ialah suatu susunan masyarakat yang integral, segala golongan, segala bagian, segala anggotanya berhubungan erat satu sama lain dan merupakan masyarakat yang organis. Yang terpenting dalam negara yang berdasar aliran pikiran integral, ialah penghidupan bangsa seluruhnya. Negara tidak memihak kepada suatu golongan yang paling kuat, atau yang paling besar, tidak menganggap kepentingan se-seorang sebagai pusat, akan tetapi negara menjamin keselamat-an hidup bangsa seluruhnya sebagai persatuan yang tak dapat dipisah-pisahkan. Pandangan ini mengenai susunan masyarakat dan negara berdasar ide persatuan hidup dan pernah diajarkan oleh Spinoza, Adam Müler, Hegel dan lain-lain di dunia barat dalam abad 18 dan 19 yang dikenal sebagai teori integralistik. BK: Artinya negara yang diproklamasi kan itu ya yang ada di UUD 1945. Bahkan Bung Karno mengatakan hubungan Proklamasi dan Pembukaan UUD 1945 adalah loro-loroning atunggal yang tidak bisa dipisahkan. Alangkah jelasnya! Alangkah sempurnanya ia melukis-kan kita punya pandangan hidup sebagai bangsa, -kita punya tujuan hidup, kita punya falsafah hidup, kita punya rahasia hidup, kita punya pegangan hidup! Karena itu maka Proklamasi dan Undang Undang Dasar 1945 adalah satu pengejawantahan kita punya isi jiwa yang sedalam-dalamnya, satu Darstellung kita punya deepest inner self. 17 Agustus 1945 mencetuskan keluar satu proklamasi kemerdekaan beserta satu dasar kemerdekaan. Proklamasi 17 Agustus 1945 adalah sebenarnya satu proclamation of independence dan satu declaration of independence. Bagi kita, maka naskah Proklamasi dan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah satu. Bagi kita, maka naskah Proklamasi dan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tak dapat dipisahkan satu dari yang lain. Bagi kita, maka naskah Proklamasi dan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah loro-loroning atunggal. Bagi kita, maka proclamation of independence berisikan pula declaration of independence. Lain bangsa, hanya mempunyai proclamation of independence saja. Lain bangsa lagi, hanya mempunyai declaration of independence saja. Kita mempunyai proclamation of independence dan declaration of independence sekaligus. Proklamasi kita memberikan tahu kepada kita sendiri dan kepada seluruh dunia, bahwa rakyat Indonesia telah menjadi satu bangsa yang merdeka. Declaration of independence kita, yaitu terlukis dalam Undang-Undang Dasar 1945 serta Pembukaannya, mengikat bangsa Indonesia kepada beberapa prinsip sendiri, dan memberi tahu kepada seluruh dunia apa prinsip-prinsip kita itu. Jadi jelas UUD 1945 beserta pembukaannya mengikat bangsa indonesia kepada beberapa prinsip sendiri dan sekaligus memberi tahu kepada dunia apa prinsip-prinsip kita itu. Rupanya para pengamandemen tidak memahami prinsip-prinsip negara yang diproklamasikan. Sadar atau tidak sadar sesungguhnya Amandemen telah membubarkan negara yang diproklamasihkan pada 17 Agustus 1945. Sebab Amandemen telah merubah prinsip-prinsip negara, sehingga Panca Sila tidak menjadi dasar negara dengan dimasukkannya prinsip Individualisme pada pasal 28. Juga hilangnyanya prinsip kedaulatan rakyat yang dijalankan oleh MPR sebagai lembaga tertinggi negara, prinsip sistem sendiri yang menjadikan Presiden adalah mandataris MPR. Prinsip musyawarah mufakat juga telah diganti dengan banyak-banyakan suara kalah-menang, dan hilangnya politik rakyat yang disebut GBHN. RP : Jadi kalau kita kaji pandangan Bung Karno Maupun Bung Hatta.Telah terjadi perubahan yang sangat mendasar menghilangkan roh dari Negara berdasarkan Pancasila , arti nya negara Proklamasi 17 Agustus 1945 telah di kudeta  oleh pengamandemen UUD 1945. Yang menjadi pertanyaan apakah Presiden ,ketua MPR, ketua DPR, Ketua DPR , ketua ketua Lembaga Negara TNI Polri ,Ketua Ketua Partai politik apa tidak menyadari telah terjadi kudeta terhadap negara Proklamasi 17 Agustus 1945.karena prinsip -prinsip negara telah dilanggar bahkan dihabisi . Mudah mudahan dialog dengan the Founding Fathers ini membuka mata hati kita setelah 25 tahun terjadi penyelewengan mengakibat kan Bumi air dan kekayaan yang ada didalam nya dikuasi Aseng dan Asing untuk kemakmuran segelintir orang . ....saat nya melakukan perubahan yang mendasar menasionalisasi kekayaan ibu pertiwi dengan Makama Rakyat Indonesia. (*)

Otot Politik

Oleh Ady Amar - Kolumnis PADA akhir pemaparan gagasannya di hadapan peserta Rapat Kerja Nasional (Rakernas) XVI Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (APEKSI), di Makassar, Sulawesi Selatan, Kamis (13 Juli 2023), Anies Baswedan lagi-lagi ditanya soal IKN, jika nantinya terpilih sebagai presiden, tentunya dalam Pilpres 2024, apakah proyek pembangunan IKN akan diteruskan. Pertanyaan IKN acap disasarkan pada Bakal Calon Presiden (Bacapres) dari partai yang tergabung dalam Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP). Hal yang sama ditanyakan juga pada Bacapres Ganjar Pranowo. Tentu jawaban Ganjar, itu semua orang pastilah tahu: ndherek Jokowi. Pertanyaan kelanjutan proyek pembangunan IKN, itu memang tak salah jika berulang ditanyakan pada Anies Baswedan. Tidak pada Bacapres selainnya. Semua mafhum, bahwa yang selain Anies, seperti berlomba dengan jargon, akan meneruskan pembangunan yang sudah dicanangkan Presiden Jokowi. Terutama melanjutkan pembangunan IKN. Adalah Ketua APEKSI Bima Aria, yang juga Wali Kota Bogor yang menanyakan pertanyaan \"nakal\" itu. Anies menjawab pertanyaan kelanjutan proyek mercusuar itu dengan tidak perlu serius-serius amat. Dengan senyum dan setengah terbahak, ia jawab dengan memunculkan idiom baru dalam kosa kata kekuasaan, yang disebutnya sebagai \"otot politik\". Idiom yang menarik publik terganga, mencengangkan. \"Bapak ibu semua, kita adalah orang-orang yang dipilih secara politik melalui proses Pilkada. Dan di dalam bapak ibu mengelola program, bapak ibu tentu pernah merasakan sesuatu yang direncanakan dengan baik memiliki dasar yang kuat, (maka) tidak perlu otot politik untuk dilaksanakan.\" Idiom otot politik dimunculkan Anies, itu bisa dimaknai sebagai bentuk pemaksaan berlebihan, lebih pada pemaksaan kehendak, dan itu sebenarnya sikap otoriter. Dalam konteks IKN, pemaksaan kehendak itu sampai pada tahap \"wajib\" diselesaikan kelanjutan pembangunannya oleh siapa pun penerus, yang nantinya menggantikannya. Penegasan Anies amatlah menarik, dan itu menunjukkan sikapnya yang tabu untuk didikte memenuhi kehendak kekuasaan yang bersandar pada otot politik. Sebuah bentuk pemaksaan kehendak oleh mereka yang sebenarnya tak lagi punya legitimasi kekuasaan. Pada pemerintahan berikutnya semua kebijakan akan dievaluasi mana yang akan diteruskan, mana yang perlu dikoreksi, dan mana yang perlu dihentikan. Anies belum sampai bicara menghentikan proyek IKN, Anies pun tak janji untuk meneruskannya. Janji bagi seorang Anies adalah pemenuhan kewajiban untuk ditepati, dan itu diwujudkan. \"Jadi saya melihat bila ini rencana yang baik, ya pasti jalan terus. Pasti jalan terus, tetapi kalau ini masalah. Kadang-kadang saya heran kenapa sering ditanyakan ya apakah ada masalah ya sebetulnya, lho iya kan?\" Anies menghindar untuk mengatakan, tidak meneruskan IKN jika proyek itu bermasalah. Di samping memang semua mesti dipertimbangkan urgensi pindah ibu kota itu, apakah itu sebuah rencana yang baik, dan matang. Sikap Anies atas IKN lebih maju dibanding sebelumnya, yang itu dipelesetkan pengamat politik abal-abal dengan tak beda dengan Bacapres lainnya soal IKN. Maka pelintiran itu perlu ia luruskan, dan di forum APEKSI itu semua menjadi jelas. Penjelasan Anies lebih memberi artian, bahwa \"otot politik\" itu tak perlu muncul, jika yakin akan rencana yang dibuat itu baik, semata untuk kepentingan bangsa-negara. \"Otot politik\" itu lebih pada bentuk ketidakpercayaan diri, yang mengindikasikan proyek IKN dibuat tidak berdasar pada perencanaan matang, atau memang untuk kepentingan tidak jelas, dan itu di luar yang dibutuhkan. Pembangunan IKN yang seperti dipaksakan, itu saat ini belum bisa terjawab sebenarnya untuk apa, atau untuk keperluan siapa. Pada saatnya semua akan terbuka dengan sendirinya. Anies Baswedan bisa disebut Bacapres yang punya independensi sikap, tanpa bisa diatur-atur, didikte. Tidak juga berharap di-endorse Jokowi, seperti Bacapres lain yang berlomba berebutan mendapatkannya. Karenanya, itu nantinya tidak akan ada balas budi yang mesti ditunaikan. Anies hanya membutuhkan pada yang tengah berkuasa saat ini agar bersikap netral, dan memastikan Pemilu berjalan jujur. Itu memang yang semestinya dilakukan Presiden Jokowi, bukan cawe-cawe yang itu bermakna--sebagaimana Rocky Gerung menyebut--ingin berlaku curang. Jangan sampai itu terjadi, jika tak ingin Jokowi dikenang buruk sebagai presiden yang menyelisih demokrasi.**

Mencuri Kebenaran

 Oleh Yusuf Blegur - Mantan Presidium GMNI  Biarlah oligarki dan rezim tirani mengambil segalanya dari NKRI. Ketika tak ada lagi yang tersisa, kecuali lahir batin yang menghidupi spiritualitas. Rakyat masih punya harapan perubahan, walau harus mencuri kebenaran. Modernitas terlanjur angkuh dan sombong memamerkan kemolekannya. Apa yang dulu tak pernah dipikirkan, kini mewujud dihampir setiap mata memandang. Apa yang dulu tak mungkin dan sulit dilakukan, kini memaksa akal dan perasaan untuk menghadirkannya, menjadi akrab dalam banyak keseharian. Apa yang dulu penuh dengan kekurangan dan keterbatasan, kini membuat gairah dan hasrat dipenuhi kesenangan, terasa seperti ada kepuasan di dalamnya.  Kebutuhan ragawi begitu mudah terpenuhi dan dimanjakan oleh kekuatan gagasan yang dieksploitasi modal dan industri berbungkus kehidupan modern.  Kemajuan beragam teknologi dalam pelbagai rupa telah menyihir manusia menjadi subyek sekaligus obyek peradaban yang sesuai dengan keinginan. Modernitas juga lihai menunjukan  kedigdayaannya dengan menumpang pada perubahan zaman. Menawarkan yang tiada menjadi ada, yang rumit menjadi sederhana dan yang menderita menjadi bahagia.  Ada yang  berkuasa, ada yang terpinggirkan. Ada yang agung menyandang status sosial,  bergelimang harta dan jabatan bak menikmati surga dunia. Namun tidak sedikit juga yang terpapas dan tertindas seperti menghirup udara panas neraka dunia. Ada yang gigih mengambil peran kepemimpinan, ada yang apatis dan terbiasa mengekor. Ada yang terlahir dan bertekad mati sebagai pahlawan. Ada yang menghidupi jiwanya dengan penghianatan dan menjadi pecinta kejahatan.  Modenitas memang memberi banyak pilihan hidup. Bertahan dengan mengikuti keyakinan dan prinsip para leluhur beserta warisan tradisinya. Atau terpaksa mengikuti arus besar penemuan dan penciptaan baru pada pikiran, perilaku, kebiasaan dan gaya hidup. Jika mampu mengikuti dan menikmati pesatnya irama kemajuan, bisa jadi disebut lebih moderat, rasional dan memiliki peradaban yang tinggi. Bagi yang mempertahankan nilai-nilai lama dan acuh pada era baru dan kompleksitasnya, harus menerima stigma sebagai kelompok tradisional dan ortodoks. Agak lebih halus mungkin dianggap dari kalangan kultural atau konvensional. Kedua instrumen pemahaman praktis kemanusiaan itu, seiring waktu harus saling berhadapan. Tentunya membawa pengikut-pengikut setianya, baik unsur material maupun spiritualnya. Termasuk orientasi, narasi, dan alat-alat teknis pelengkap lainnya. Bisa berupa pejabat, senjata, buzzer dan influencer. Kedua identifikasi \"human resources\" tersebut dipastikan bertahan pada argumentasi dan justifikasi masing-masing. Terkadang bisa seiring sejalan menerima perbedaan, terkadang tak luput harus menghadapi polarisasi, pertentangan dan atau bahkan konflik berkepanjangan. Pemangku kepentingan  publik kerap abai terhadap tugas, peran dan tanggungjawab dalam memenuhi pemikik mandat. Amanat rakyat untuk menjalankan tugas mulia oleh rezim pemerintahan sering diselewengkan. Bukan sekedar distorsi, pemerintah tak sungkan-sungkan dzolim terhadap rakyatnya sendiri atas nama demokrasi, konstitusi dan negara. Kebenaran dan kejahatan bercampur aduk,  pelayanan dan pelecehan terhadap rakyat silih berganti. Banyak keburukan melekat pada rezim, terutama saat kebenaran dan kejahatan menjadi otoritas penguasa. Hanya pemerintah yang bisa menrntukan sispa yang salah dan siapa yang benar, meskipun wajah dan tubuh pemerintahan berlumur kejahatan.  Semakin berjaraknya antara kesadaran ideal spiritual dengan kesadaran rasional materil, membuat semakin tipisnya perbedaan antara nilai-nilai dan pragmatisme. Secara historis dan empiris, banyak  kasus yang di dalamnya sulit membedakan antara orang baik dan orang jahat. Bukan tidak mungkin bisa tak lagi dapat membedakan antara kebenaran dan kejahatan. Aturan dan norma-norna pada waktunya tak akan lagi bisa  mengenali siapa yang pemimpin atau siapa yang pembunuh berdarah dingin. Keadilan juga  akan malu dan menyingkir  ketika diminta pendapatnya untuk menghakimi siapa yang oknum, aparat dan siapa yang keparat.  Modernitas dengan segala kebaikan dan kelebihannya, juga amat sangat penuh resiko dan berbahaya. Tanpa mengabaikan aspek dualisme seperti pada manusia atau benda, modernitas juga bisa membawa  komplikasi, degadrasi dan dehumanisasi. Semua yang sarat kenikmatan dan begitu menggiurkan, membuat orang perorang, kelompok atau golongan dan suatu bangsa hanya dapat melahirkan manusia pemburu harta, jabatan dan populeritas. Menjadi cinta dunia dan takut mati, kental sebagai produk manusia kreasi modern.  Zaman dengan serba instan dan praktis, semua berorientasi efisiensi dan efektifitas serta terkait soal-soal bahan baku, produksi dan pasar yang moderasinya digerakan oleh kapitalisme dan komunisme. Terbukti dan tak terbantahkan, atas nama modernitas hanya menghasilkan penjajahan manusia atas manusia (perbudakan) dan penjajahan bangsa atas bangsa (koloni dan imperium)  dalam wajah dan gaya baru.  Dunia, betapapapun melakukan agitasi dan propaganda berbalut kampanye global  tentang demokratisasi, HAM, pendidikan dan kesetaraan, Iklim dan lingkungan serta beraneka isu tentang strategi perbaikan peradaban  dan program kemanusiaan lainnya. Semua itu seperti menjadi kebohongan dan kemunafikan internasional. Populasi warga dunia semakin terkonstruksi sebagai habitat makhluk  binatang buas. Kebencian dan permusuhan sesama manusia, melambangkan wujud manusia yang egosentris,  rakus dan serakah. Menciptakan perdamaian internasional dengan perang dunia. Memelihara perpecahan, konflik dan saling  membunuh atas nama perbedaan yang di kemas dengan jargon dan barang dagangan pluralitas, liberalisasi dan sekulerisasi.  Warga dunia umumnya dan umat muslim khususnya, tampaknya telah memasuki fase kritis dari kemunduran peradaban manusia. Sirkulasi etika, moral dan rasa malu dalam interaksi manusia semakin terkikis menuju kepunahan. Perburuan harta, jabatan dan populeritas menjadi kegemaran untuk memuaskan ambisi dan hasrat duniawi. Kehadiran Tuhan telah tergantikan materi. Kejahatan menjadi pemimpin dan penguasa dunia. Kemakmuran dan keadilan sosial seperti mati suri. Kebenaran masih tersandera, mungkin tersembunyi di balik jeruji tirani. Menghalau rasa takut akan sakit,  penderitaan dan kematian. Bagi pemberani yang terdidik dan tercerahkan, sepatutnya hanya tunduk pada kekuasaan Ilahi. Ada kebenaran yang hakiki yang bersumber dari Ilahi meskipun ada yang melakukan tipu daya,  banyak dimonopoli dan didominasi oleh kekuatan jahat. Melawan logika sesat rezim kekuasaan dan pakem-pakem mainstream sarat manipulasi. Sanggupkah mendengar hati nurani dan panggilan jiwa?. Masih adakah kemauan untuk mencuri kebenaran?. Sekalipun mengambilnya dari tangan rezim kekuasaan, sekalipun sendiri dan bergerak dari jalan sunyi.  *) Dari pinggiran catatan labirin kritis dan relung kesadaran perlawanan. Bekasi Kota Patriot, 26 Dzulhijjah 1444 H/15 Juli 2023.

Nasdem, PKS, dan Demokrat Sebaiknya "Berontak" Demi Perubahan

Oleh M Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan KONDISI negara ini parah sehingga dalam Pemilu Presiden 2024 partai politik dipaksa untuk berkoalisi demi memenuhi syarat 20 % Threshold. Konfigurasi berjalan unik dan alot. Ada mekanisme saling ancam, saling sandera dan mungkin saling bantai. Demi pencapaian tujuan. Menang dengan segala cara.  Masalah utama yang dihadapi dalam dukungan pada Anies Baswedan oleh ketiga partai politik di atas adalah pertama, apakah Anies Baswedan sendiri akan lolos atau sukses melewati hambatan dan ganjalan serius yang dimainkan rezim Jokowi? Kedua, andai lolos maka mampukan Anies Baswedan dan pendukungnya mengantisipasi kecurangan yang dilakukan oleh lawan politik yang didukung rezim? Perjuangan berat mendukung figur untuk menang melawan \"negara\". Dan untuk dapat memenangkan pertarungan itu harus terbentuk kekuatan \"rakyat\" sebagai lawan dari \"negara\". Anies Baswedan harus mampu menjadi pemimpin rakyat jika ingin menang dalam arti berjuang merebut kekuasaan-- \"kampf um die macht\". Partai Nasdem, Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera tentu berupaya untuk solid dalam memperjuangkan Anies Baswedan menjadi Presiden. Apapun yang dilakukan oleh rezim Jokowi untuk menjegal harus dilawan dengan sekuat tenaga. Meyakini bahwa mayoritas rakyat sudah jenuh bahkan muak dengan pemerintahan Jokowi yang telah menghianati demokrasi dan nilai-nilai luhur bangsa. Merampok brutal isi kekayaan negara.  Ketiga partai politik dituntut menjadi \"pemimpin\" perubahan melalui  jalur politik formal. Pemilu adalah ajang untuk merebut kekuasaan. Tentu dalam kompetisi yang berjalan fair atau normal.  Persoalannya adalah ketika kini yang nampak justru mengarah pada proses politik yang tidak normal. Ada penggalangan kekuatan negara untuk menggagalkan misi ketiga partai politik tersebut.  Untuk hal ini maka dibutuhkan strategi berkualifikasi \"out of the box\". Rezim Jokowi yang menguasai pemerintahan bersikap politik tidak ubahnya sebagai penjajah. Menjadikan segala perlawanan atau sikap kritis sebagai pemberontakan. Oposisi dianggap musuh. Ini tentu sikap politik berbahaya. Nah, strategi \"out of the box\" merupakan perlawanan yang seimbang untuk dapat bertarung kokoh dan mengalahkan.  Ketiga partai politik harus berubah menjadi gerakan rakyat untuk perubahan. Lokomotif dari perjuangan untuk masa depan yang lebih baik. Partai Nasdem mewakili semangat kemenangan mengalahkan \"orde lama\", PKS  \"kekuatan Islam\" yang dalam proses politik bangsa tidak bisa diabaikan, serta Partai Demokrat yang didirikan oleh \"figur TNI\" dan pernah sukses menjadi pemenang Pemilu.  Berjuang bersama rakyat bukan hanya sloganistik. Mulai dibuktikan bahwa partai politik itu milik  rakyat. Rakyat tertindas yang memberontak melawan kemapanan yang menindas. Ketiga partai harus memimpin \"pemberontakan\" rakyat untuk membebaskan diri dari penjajahan politik. Penjajahan oligarki yang menginjak-injak demokrasi. Hayo saatnya Nasdem, PKS dan Demokrat untuk berstrategi \"out of the box\". Rezim tengah mencoba untuk memporakporandakan Nasdem, menstigmatisasi buruk PKS dan mengkudeta Demokrat. Bentuk perlawanan atas kejahatan politik itu adalah \"pemberontakan\" bersama rakyat. Pemilu yang menjadi habitat partai politik tidak perlu dikhawatirkan. Ketika rakyat sudah bersama, maka wakil-wakil rakyat akan sukses duduk dan dipercaya.  Saatnya rakyat merasakan bahwa partai politik adalah bagian darinya setelah lama hanya diperalat oleh kepentingannya. Melalui ritual lima tahunan.  Nasdem, PKS dan Demokrat berkesempatan untuk memulai. Momennya adalah \"berontak\" untuk perubahan.  Kekuatan rakyat dalam makna konstruktif dan konstitusional bisa dibangun dalam kebersamaan rakyat dengan partai politik. Gelombang baru untuk Indonesia merdeka dan berwibawa.  Nasdem, PKS dan Demokrat harus mampu untuk itu.  Bandung,  15 Juli 2023.

Cucu Pertamina di Singapura PT. PIMD Berpotensi Alami Kerugian Rp 2 Triliun (Bag-1)

Oleh Kisman Latumakulita/Wartawan FNN AKIBAT kegatelan dan ikut cawe-cawe di luar core bussines, PT Pertamina Internasional Marketing & Distribution Pte. Ltd (PIMD), cucu perusahaan PT. Pertaminan yang bermarkas di Singapura berpotensi mengalami kerugian sebesar U$ 133,75 juta dollar, atau setara dengan Rp 2 triliun pada kurs Rp 15.000 per dollar.PT. PIMD adalah anak perusahaan dari PT. Pertamina Patra Niaga, yang didirikan pada 15 Agustus 2019 di Singapura. Sementara PT. Pertamina Patra Niaga adalah anak perusahaan dari PT. Pertamina Pusat atau Pertamina holding. Tujuan dari pendirian PT. PIMD adalah untuk menjual atau mengekspor produk kilang yang diproduksi oleh PT. Kilang Pertamina Indonesia (KPI) yang tidak dapat dipasarkan di dalam negeri.Sejak didirikan, tugas PT. PIMD hanya sebatas menjual atau mengekspor pruduk yang diproduksi PT KPI. Tidak lebih dari itu. Untuk itu, sejak awal PT. PIMD sudah dilarang untuk melakukan kegiatan komersial yang berkaitan dengan produk minyak dan gas (migas) yang dimpor oleh PT. PPN dan PT. KPI, terutama minyak mentah Bahan Bakar Minyak (BBM) seperti bersin, solar dan Liquefied Petroleum Gas (LPG). Sayangnya larangan ini dilanggar majemen PT. PIMD yang dipimpin oleh Managing Director Agus Witjaksono. Potensi kerugian U$ 133,77 juta dollar tidak bisa dihindari, karena PT. PIMD mulai kegatelan dan cawe-cawe di luar tugas utamanya. PT. PIMD lalu berinisiatif untuk mengembangkan sayap bisnis di luar tugas utama, yaitu melakukan jual-beli produk minyak bumi di luar Indonesia, terutama di luar lingkungan Pertamina. Untuk masuk ke sindikat jual-beli minyak di luar Indonesia, PT. PIMD masih katagori anak bawang atau anak kemarin sore. PT. PIMD harus bersaing dengan para trader berskala dunia yang sudah memiliki “benchmark” dalam penentuan harga beli dan harga jual dari produk kilang-kilang Pertamina. Kenyataan itu dapat dilihat dari laporan keuangan tahunan PT. PIMD yang hanya mampu mencatatkan surplus marjinal. Hasilnya, pada September 2020 PT. PIMD menandatangani perjanjian kerjasama dengan Phoenix Petroleum dari Philipina. Tujuannya untuk memasok produk-produk BBM seperti gasoline atau bensin ke Philipina. Produk BBM tersebut dibeli oleh PT. PIMD dari produsen-produsen atau trader di luar Indonesia dan Pertamina. Awalnya hubungan kerjasma bisnis dengan Phoenik ini berjalan lancar. Paling tidak sampai dengan bulan Agustus 2021. Namun permasalahan dan hambatan mulai datang ketika PT. PIMD menyampaikan kendala tertahannya kargo PT. PIMD di Philipina. Pada September 2021 PT. PIMD mengirimkan kargo gosaline kepada Phoenix Petroleum menggunakan kapal Torm Thrya. Namun karena adanya keterlambatan pembayaran, berakibat kargo tidak di-discharge, dan harus menunggu di Port of Batangas. Dalam posisi menunggu discharge itu, cargo dan kapal ditahan oleh Custom (Bea Cukai) Philipina. Alasan pihak Custom karena belum ada kelanjutan discharge. Pada posisi ini, pihak PT. PIMD berusaha untuk mengalihkan suplai BBM untuk kebutuhan Indonesia. Namun masih terkendala karena cargo masih ditahan oleh pihak Custom Philipina. Sampai sekarang belum jelas nasib kargo gtersebut. Apakah kargo sudah ditarik kembali dalam penguasaan PT. PIMD atau belum? Awal mula kesalahan manajemen PT. PIMD yang dipimpin Agus Witjaksono terjadi saat kargo BBM gasoline tetap dikirim kepada Phoenix. Padahal pihak Phoenix belum melakukan pembayaran untuk kiriman kargo sebelumnya. Sesuai laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Septermber 2022, akibat dari tertahannya kargo ini, PT. PIMD mesti membayar biaya demurrage dan biaya-biaya lain. Sementara upaya yang dilakukan PT Pertamina subholding masih kurang efektif dalam kegiatan pengelolaan piutang usaha. Misalnya, collecting penjualan fuel yang menimbulkan piutang kepada Phoenix Petroleum Philipines Inc. (PPPI) belum sepenuhnya memadai. Piutang PT. PIMD yang berpotensi tidak tertagih kepada Phoenix sebesar U$ 124,53 juta dollar. Jumlah tersebut ditambah lagi dengan klaim demurrage dan deviation cost and penalty interest U$ 9,23 juta dollar, sehiongga totalnya mencapai U$ 133,75 juta dollar.Menanggapi potensi kerugian yang bakal dialami oleh cucu perusahaan PT. Pertamina Pusat tersebut, Humas PT. Pertamina Patra Niaga yang menjadi induk PT. PIMD, Irto Gintings mengakui kalau Phoenix memang belum melakukan pembayaran atas trasaksi bisnis dengan PT. PIMD. Pihak PT. PIMD juga masih melakukan upaya agar Phoenix dapat melakukan pembayaran utanya. (bersambung)

Kebijakan Pangan Tersandera Kartel Politik

Oleh Vitri Aryanti - Analis Kebijakan Ahli Muda-Kementan, Doktor Ekopol Universitas Nasional Jakarta TUJUAN swasembada pangan menjadi cita-cita Republik ini sejak awal berdiri. Kebijakan pangan menjadi prioritas sejak era Presiden RI pertama. Namun, sampai dengan saat ini, kebijakan itu hanya menjadi jargon dengan semakin masifnya kebijakan impor pangan. Bahkan yang lebih mengerikan, beras yang merupakan komoditas utama dijadikan target pencapaian impor beras oleh Kementerian Perdagangan dengan dalih memenuhi kebutuhan Cadangan Pangan Nasional (CPN). Adanya Badan Pangan Nasional tidak dapat menumpulkan aliran impor pangan yang bahkan semakin bertambah dan masif di semua komoditas pangan.  Mengapa hal ini terjadi? Dalam konteks konspirasi kepentingan tertentu, State Capture Corruption berperan besar timbulnya kondisi tersanderanya Republik oleh kebijakan impor pangan. Target Presiden Joko Widodo saat awal memimpin negeri ini untuk meminimalisir impor pangan utamanya beras dan menargetkan Republik ini ke depan menjadi pemasok beras dunia menjadi pupus. State Capture Corruption  merupakan upaya manipulasi prosedur oleh pejabat, politis, perusahaan milik negara/swasta serta individu di luar pemerintahan agar kebijakan dibuat untuk menguntungkan mereka (Hellman, Jones and Kaufmann, 2000/Bivitri Susanti, 2023). Kementerian Perdagangan dengan dalih menjaga stok pangan nasional melegalkan impor beras dengan capaian volume fantastik. Impor beras ini disimpan dalam Gudang Bulog. Sementara pada saat panen raya, terlihat tidak adanya koordinasi dan harmonisasi penyerapan panen raya petani antara Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, Bulog dan Badan Pangan Nasional. Konsep dan grand desain dibunyikan di setiap webinar terkait harmonisasi dan koordinasi tersebut, namun dalam kenyataan, ketika dicermati di lapangan, kondisi tersebut tidak berbunyi.  Dalam kebijakan pangan ini, siapa bisa menyandera negara, dalam hal ini, aktor-aktor politik formal penentu kebijakan. Adanya koalisi partai, sistem endorsemen partai sebagai imbalan transaksi politik dan penempatan partai menjadi kepala daerah menjadikan peraturan, regulasi dan kebijakan bersifat menguntungkan kelompok tertentu. Politik kartel menggurita di Indonesia (Slater, 2004: Ambardi 2009). Kartel dengan pola kerja sama antar partai dan kerjasama antara partai dengan pemerintah. Kartel untuk mendapatkan keuntungan secara curang. Pola kerja sama yang terjadi berlangsung tidak sehat. Apalagi di dalamnya masuk peran oligarki di mana masing-masing kelompok berlomba-lomba mengambil keuntungan, berkomplot mencuri uang warga. Oleh karena itu, penting kiranya, dipikirkan kembali peran dan tugas kementerian/Lembaga dan pihak-pihak yang menangani pangan. Ada baiknya untuk peran pangan dari hulu – proses sampai dengan hilir dipegang oleh satu kementerian, sehingga ketika ketika terjadi kekurangan ketersediaan pangan karena suatu hal,  solusi dan evaluasi lebih mudah dilakukan. Impor pangan bisa lebih ditekan. Kebijakan pangan di era sebelumnya yang menerapkan proses hulu-proses-hilir (proses produksi pangan sampai dengan pemasaran dan distribusi) diterapkan dalam satu kementerian hendaknya diberlakukan kembali. Kekurangan kebijakan tersebut dievaluasi dan disempurnakan.   Selain itu, aktor pengambil kebijakan harus dirombak agar tidak menjadi lahan sjbur bagi penyandera kebijakan. Kewajiban partisipan bermakna dan akuntabilitas mutlak diterapkan. Semua proses pengambilan keputusan kebijakan lengkap dengan dokumen dan rekaman proses, hendaknya dibuat setransparan mungkin untuk mencegah manupulasi. Benturan kepentingan harus diberantas. Semua pemegang jabatan publik wajib menghindari potensi yang menimbulkan situasi benturan kepentingan. Kartel harus diberantas. Kartel politk yang utama sehingga proses pembuatan kebijakan menjadi transparan. Para pembuat kebijakan baik itu Undang-Undang, Peraturan, Regulasi dan Kebijakan hendaknya menyertakan pemangku kebijakan dalam pembahasannya. Hal ini perlu segera dilakukan sebelum semua sumber daya habis dikeruk untuk pemegang kekuasaan yang serakah. (*)

Dialog Imajiner Bersama Bung Karno dan Bung Hatta (Bagian IV)

Oleh :Prihandoyo Kuswanto - Ketua Pusat Studi Kajian Rumah Pancasila  DINGINnya udara malam ini setelah hampir seharian diguyur hujan, diskusi masih terus berlangsung mengingat bagaimana perjuangan para bapak bangsa ini membentuk UUD 1945 dengan membelokkan BPUPK menjadi arena membentuk UUD 1945 diawali dengan membuat dasar Indonesia merdeka . Islam menjadi agama yang mayoritas tetapi berkat kebijakan tokoh dan ulama maka ada kesepakatan-kesepakatan yang dibangun Negara berdasarkan Pancasila. Bangsa yang terdiri dari  beraneka macam suku, bermacam adat istiadat bermacam golongan berbagai agama. mempunyai alat perekat yaitu Pancasila. Sejak UUD diganti dengan UUD 2002, justru alat perekat bangsa Pancasila diganti dengan Individualisme,  Liberalisme, Kapitalisme. RP: Bagaimana kalau bangsa ini tidak menjadikan Pancasila sebagai  alat pemersatu bangsa. BK: Negara ini didirikan dan dibangun dengan lima prinsip berbangsa dan bernegara yang disebut Pancasila, amandemen UUD 1945 telah memporakporandakan prinsip-prinsip yang sudah menjadi konsensus pendiri negeri ini. Akibat dari amandemen UUD 1945 kita kehilangan jati diri sebagai bangsa kita kehilangan rasa nasionalisme ke-Indonesiaan. Kehidupan berbangsa dan bernegara telah kehilangan roh kita tidak lagi mempunyai prinsip tersendiri justru kita menjadi bangsa yang tergantung pada negara asing negara Imperalisme. “Saya benci imperialisme. Saya membenci kolonialisme. Dan saya takut konsekuensi perjuangan terakhir mereka untuk hidup. Kami bertekad, bahwa bangsa kami, dan dunia secara keseluruhan, tidak akan menjadi tempat bermain dari satu sudut kecil dunia.” BH: Dalam mencari dasar dan tujuan Negara Indonesia haruslah dilihat kenyataan struktur sosialnya, agar supaya negara dapat berdiri kokoh-kuat untuk bertumbuh sebagai ruang gerak bagi rakyat dengan ciri khas kepribadiannya. Adapun struktur masyarakat Indonesia yang asli tidak lain ialah ciptaan kebudayaan Indonesia oleh rakyatnya sejak zaman purbakala sampai sekarang. Kebudayaan Indonesia itu ialah perkembangan aliran pikiran, yang bersifat dan bercita-cita persatuan hidup, yaitu persatuan antara dunia luar dan dunia bathin. Manusia Indonesia dihinggapi oleh persatuan hidup dengan seluruh alam semesta, ciptaan Tuhan Yang Maha-Esa, di mana ia menjadi makhluk-Nya pula. Semangat kebathinan, struktur kerokhaniannya bersifat dan bercita-cita persatuan hidup, persatuan antara dunia luar dan dunia bathin, segala-galanya ditujukan kepada keseimbangan lahir dan bathin itu, dia hidup dalam ketenangan dan ketentraman, hidup harmonis dengan sesama manusia dan golongan-golongan lain dari masyarakat, karena sebagai seseorang ia tidak terpisah dari orang lain atau dari dunia luar, dari segala golongan makhluk, segala sesuatu bercampur-baur dan bersangkut paut, berpengaruh-mem-pengaruhi. Masyarakat dan tatanegara Indonesia asli, oleh karenanya kompak, bersatupadu, hormat-menghormati, harga-menghargai, dalam kehidupan sehari-hari sebagai suatu kolektivitas, dalam suasana persatuan. Sifat ketatanegaraan asli itu masih dapat terlihat dalam suasana desa, baik di Jawa, maupun di Sumatera dan kepulauan-kepulauan lain. Rakyat desa hidup dalam persatuan dengan pemimpin-pemimpinnya, antara golongan-golongan rakyat satu sama lain, segala golongan diliputi oleh semangat gotong-royong, semangat kekeluargaan. Kepala desa atau kepala rakyat berwajib menyelenggarakan keinsyafan keadilan rakyat dan harus senantiasa memberi bentuk kepada rasa keadilan dan cita-cita rakyat. Oleh karena itu, kepala rakyat yang memegang adat, senantiasa memper-hatikan segala gerak gerik dalam masyarakatnya dan untuk maksud itu senantiasa bermusyawarah dengan rakyatnya atau dengan kepala-kepala keluarga dalam desanya, agar supaya pertalian bathin antara pemimpin dan rakyat seluruhnya senantiasa terpelihara. Para pejabat negara, menurut pandangan tatanegara asli, ialah pemimpin yang bersatu-jiwa dengan rakyat dan para pejabat begara berwajib memegang teguh persatuan dan keseimbangan dalam masyarakatnya. Jadi menurut pandangan ini negara ialah tidak untuk menjamin kepentingan seseorang atau golongan, akan tetapi menjamin kepentingan masyarakat seluruhnya sebagai persatuan. Negara ialah suatu susunan masyarakat yang integral, segala golongan, segala bagian, segala anggotanya berhubungan erat satu sama lain dan merupakan masyarakat yang organis. Yang terpenting dalam negara yang berdasar aliran pikiran integral, ialah penghidupan bangsa seluruhnya. Negara tidak memihak kepada suatu golongan yang paling kuat, atau yang paling besar, tidak menganggap kepentingan se-seorang sebagai pusat, akan tetapi negara menjamin keselamat-an hidup bangsa seluruhnya sebagai persatuan yang tak dapat dipisah-pisahkan. Pandangan ini mengenai susunan masyarakat dan negara berdasar ide persatuan hidup dan pernah diajarkan oleh Spinoza, Adam Müler, Hegel dan lain-lain di dunia barat dalam abad 18 dan 19 yang dikenal sebagai teori integralistik. Berdasarkan kepada ide-ide yang dikemukakan oleh berbagai anggota dalam kedua sidang paripurna Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia itu tersusunlah Pembukaan U.U.D. 1945, di mana tertera lima azas Kehidupan Bangsa Indonesia yang terkenal sebagai Pancasila. Pembukaan U.U.D. 1945 itu adalah pokok pangkal dari perumusan pasal-pasal berturut-turut dalam 16 (enambelas) Bab, 37 pasal saja ditambah dengan Aturan Peralihan, terdiri dari 4 (empat) pasal dan Aturan Tambahan, berhubung dengan masih berkecamuknya Perang Pasifik atau pada waktu itu disebut Perang Asia Timur Raya. Karena telah tercapai mufakat bahwa UUD 1945 didasarkan atas sistim kekeluargaan maka segala pasal-pasal itu diselaraskan dengan sistim itu. Negara Indonesia bersifat kekeluargaan, tidak saja hidup kekeluargaan ke dalam, akan tetapi juga keluar, sehingga politik luar Negeri Indonesia harus ditujukan kepada melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan segala bangsa, perdamaian abadi dan keadilan sosial bagi segala bangsa. Tugas pemerintahan ke dalam negeri, berdasarkan Pancasila yang menjadi ideologi negara ialah: 1. Ketuhanan Yang Maha Esa; 2. Kemanusiaan yang adil dan beradab; 3. Persatuan Indonesia; 4. Kerakyatan Yang dipimpin oleh Hikma kebijaksanaan dalam permusyawaratan /perwakilan 5. Keadilan Sosial Bagi seluruh rakyat Indonesia . Kelima asas itu menjadi dasar dan tujuan pembangunan negara dan manusia Indonesia. Telah diutarakan di atas bahwa pada umumnya manusia Indonesia telah memiliki sifat-sifat yang melekat pada dirinya sebagai ciptaan kebudayaan dan peradaban Indonesia dalam perkembangannya sejak dahulu kala sampai sekarang. Maka tugas pemerintah ialah terutama mengawasi agar ideologi negara dijunjung tinggi dan dipatuhi oleh seluruh bangsa Indonesia. Karena Pancasila adalah Lima Asas yang merupakan ideologi negara, maka kelima sila itu merupakan kesatuan yang tak dapat dipisahkan satu sama lain. Hubungan antara lima asas itu erat sekali, kait-mengkait, berangkaian tidak berdiri sendiri. Setiap warganegara Indonesia yang sadar akan ideologi negara harus dengan aktif mengambil bagian dan ikut serta dalam pembangunan susunan negaranya dan janganlah pembangunan itu melulu manjadi urusan Pemerintah belaka, yang terjadi jauh dari minat para warga negara. PR: Apa yang diuraikan Bung Hatta ini telah dihabisi oleh para pengamandemen UUD1945. Tetapi sayang para elite hari ini juga tidak segerah kembali ke UUD 1945. BK : Kekacauan sistem ketatanegaraan , disebabkan  Panca Sila yang seharusnya menjadi dasar negara diabaikan.  Mana bisa demokrasi dengan pemilihan langsung yang jelas mempertarungkan dua kubu atau lebih disamakan dengan Gotong royong, disamakan dengan Persatuan Indonesia, disamakan dengan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.  Usaha mencangkokkan Pancasila dengan Demokrasi liberal adalah bentuk pengkhianatan terhadap Pancasila. Perubahan kedaulatan di tangan MPR diganti dengan Menurut Undang-Undang Dasar menjadi sangat kacau. “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar adalah bentuk tidak paham nya pengamandemen UUD 1945 terhadap  Pancasila. BH: Ya, dengan kembali kita kepada Undang-Undang Dasar 1945, kita telah “menemukan kembali Jati diri kita kembali pada Pancasila. Kita, Alhamdulillah, telah “rediscover our Pancasila “. Kita merasa diri kita sekarang ini sebagai dirinya seorang pengembara, yang setelah dua puluh lima tahun lamanya keblinger puter-giling mengembara di mana-mana untuk mencari rumahnya di luar negeri, akhirnya pulang kembali kerumah-asalnya, – pulang kembali ke rumahnya sendiri, laksana kerbau pulang ke kandangnya. RP: Bagaimana Pancasila telah diganti dengan Liberalisme , Kapitalisme, Pancasila sudah tidak menjadi pedoman kehiduoan berbangsa dan bernegara. BK: Di mana djiwa Pancasila  itu sekarang? Djiwa Pancasila sudah mendjadi hampir padam, sudah mendjadi dingin ta’ada apinja. Dimana Dasar Pancasila itu sekarang? Tudjuan pancasila  – jaitu masyarakat jang adil dan makmur -, kini oleh orang-orang jang bukan putra-Pancasila  diganti dengan politik liberal – dan ekonomi liberal. Diganti dengan politik liberal, dimana suara rakjat banyak dieksploitir, ditjatut, dikorup oleh berbagai golongan. Diganti dengan ekonomi liberal, dimana berbagai golongan menggaruk kekajaan Ibu pertiwi Korupsi hantam-kromo, dengan mengorbankan kepentingan rakjat. Menteri merangkap menjadi pengusah sehingga kebijakan nya hanya untuk kepentingan usaha nya yang seperti ini harus di revolusi total . Memberikan ratusan ribu sampai jutaan tanah pada korporasi jelas bertentangan dengan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia maka harus di retoling demokrasi harus memberikan kesejahteraan rakyat apa guna nya demokrasi kalau masih banyak bayi stunting kekurangan Gizi buruk . Harus ada keberanian menegakan kedaulatan rakyat menasionalisasi tanah tanah yang dikuasai korporasi sebab korporasi hanya boleh HGU 25 hektar selama 35 tahun dan diperpanjang 25 tahun hal ini sydah ada UU no5 th 1960 pokok pokok Agraria  Maka butuh di prosrs hukum bagi pemberi kebijakan soal Agraria apa lagi diberi hak 190 tahun arti nya separuh lebih waktu dalam penjajahan Belanda. Ini butuh kesadaran untuk revolusi  sebab sudah terjadi penyelewengan kekuasaan. Dan sudah melanggar konstitusi maka rakyat harus melawan . Bersambung ke episode ke V.

Pro Kontra Khilafah

Oleh Muhammad Chirzin - Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta  Di era kebangkrutan praktik demokrasi, bagaimana tanggapan umat Islam tentang tawaran sistem Islam khilafah?  Sebagian menerima, dengan berbagai segmentasinya, dan sebagian yang lain menolak, dengan berbagai argumentasinya. Islam cocok untuk setiap ruang dan waktu, iya, tapi perlu deskripsi tebal atas hal itu. Al-Quran dan Hadis Nabi mengandung pesan-pesan temporal-lokal, dan pesan-pesan universal; ada pesan-pesan yang tetap (tsawabit) dan ada pula pesan-pesan yang berubah sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi (mutaghayyirat). Nilai-nilai kejujuran, keadilan, kebaikan, persatuan, musyawarah, tolong-menolong, dan jihad termasuk nilai-nilai tsawabit. Sistem pemerintahan dengan cara memilih/menentukan pemimpin, cara mengatur wilayah, cara mengelola harta dan lain-lain termasuk nilai-nilai mutaghayyirat. Contohnya dalam praktik: tatacara penetapan empat khalifah utama (khulafa rasyidin) itu berubah/berbeda-beda, dan mereka semua kita terima sebagaimana adanya. Khilafah Bani Umayah menerapkan pemerintahan Islam dengan sistem dinasti (keturunan, kingdom), bagitu pula dinasti Abbasiyah. Keduanya tidak sama dengan cara menetapkan keempat khulafa rasyidin. Istilah Khilafah Usmaniyah saja sudah mencerminkan unsur dinasti, pewarisan kekuasaan atas dasar keturunan. Di era sekarang, adakah Negara Islam yang mempresentasikan sistem khilafah 100% dalam penyelenggaraan pemerintahannya? Jika tidak ada, dapatkan diwujudkan di masa yang akan datang sebuah pemerintahan suatu negara dengan 100% sistem khilafah? Sistem khilafah mengandaikan pemerintahan Islam sedunia di bawah satu komando.  Dalam sebuah diskusi kecil penulis ajukan pertanyaan kepada pendukung khilafah, \"Apakah negara-negara Islam yang telah ada saat ini dapat dipandang sebagai embrio khilafah Islam sedunia?\" Jawabnya ringkas,  \"Tidak.\" Lalu, dari mana khilafah Islam sedunia dimulai, siapa yang harus memulai, dan bagaimana caranya? Fakta empris: umat Islam Indonesia terbagi dalam sekian banyak organisasi massa dan politik.  Kapan umat Islam Indonesia bisa bersatu di bawah satu bendera khilafah, atau berada dalam satu partai Islam saja? Khilafah Islamiyah sedunia di masa kini adalah utopis, dan Nabi Muhammad saw pun tidak mewariskan sebuah sistem pemerintahan tertentu, kecuali warisan nilai-nilai dan prinsip-prinsip universal kepemimpinan, yang prinsip utamanya adalah musyawarah dan keadilan.  Salah seorang sahabat mengunggah tulisan tanya-jawab di grup WA: Hukum Mengingkari dan Menentang Khilafah berikut oleh KH Hafidz Abdurrahman, Khadim Ma’had Syaraful Haramain. Bagaimana status hukum orang yang mengingkari dan menentang kewajiban untuk menegakkan Khilafah? Untuk mengetahui bagaimana hukum orang yang mengingkari atau menentang kewajiban menegakkan khilafah, maka bisa dikembalikan pada tiga aspek: Pertama, dalil tentang kewajiban menegakkan khilafah; Kedua, hukum menegakkan khilafah; Ketiga, status orang yang meninggalkan dan mengingkari kewajiban tersebut. PERTAMA, yang digunakan oleh para ulama’ untuk membuktikan bahwa hukum menegakkan khilafah adalah wajib dapat dikembalikan pada tiga hal: Pertama, Ijmak Sahabat yang secara sharih menyepakati wajibnya mengangkat pengganti Nabi untuk mengurusi urusan dunia dan agama ini. Ini terlihat dalam dua hal, yakni, pertama, Khutbah Abu Bakar saat wafatnya Rasul saw. yang menyatakan, “Ingat, bahwa Muhammad saw telah meninggal, sementara urusan agama ini tetap harus ada yang menjalankan.” Maka, semua yang hadir pun segera menerima khutbah tersebut, dan tak seorang pun menolaknya.[1]  Setelah itu, mereka pun mulai berpikir, siapa yang akan diangkat menjadi khalifah.[2]  Kedua, pengangkatan para sahabat terhadap Abu Bakar as-Shiddiq sebagai khalifah di Saqifah Bani Sa’adah, yang kemudian diikuti oleh bai’at kaum Muslim di Masjid Nabawi.[3] Kedua, nas-nas al-Qur’an yang memerintahkan kita untuk menjalankan sanksi hukum, seperti potong tangan,[4] cambuk untuk pezina,[5] termasuk rajam dan qishash,[6] menyiapkan pasukan untuk berjihad[7] dan sebagainya, yang kesemuanya itu hanya bisa diwujudkan jika ada khalifah yang menjalankan hukum-hukum tersebut. Maka, hukum mengangkat khalifah dan mendirikan khilafah sama dengan hukum menerapkan potong tangan, cambuk, rajam, qishash dan menyiapkan pasukan di atas. Dalam hal ini, selain berlaku kaidah ushul, “Ma la yatimmu al-wajib illa bihi, fahuwa wajib.” juga berlaku dalalah iltizam, yang statusnya sama dengan manthuq-nya. Ketiga, nas-nas hadits yang memerintahkan untuk membai’at khalifah,[8] dan mencela orang yang tidak membai’at khalifah[9] atau melepaskannya. Semua ulama’ Ahlussunnah, Syi’ah, Khawarij —kecuali sekte an-Najadat— dan Muktazilah —kecuali sekte al-Asham dan al-Fuwathi— sepakat, bahwa adanya imam dan imamah adalah wajib. Pandangan ini bisa kita temukan, misalnya, dalam kitab Ghayat al-Maram, karya al-Amidi (1971: 364), as-Siyasah as-Syar’iyyah, karya Ibn Taimiyah (1955: 161-162), dan Ma’atsir al-Inafah fi Ma’alim al-Khilafah, karya al-Qalqasyandi (1964: I: 2), dan kitab muktabar yang lainnya. Bahkan, Ibn ‘Abidin menyebutnya sebagai ahamm al-wajibat (kewajiban yang paling penting), dan as-Syathibi menyatakannya sebagai hukum yang ditetapkan berdasarkan kaidah syariah yang qath’i. KEDUA, mengenai hukum menegakkan khilafah, para ulama’ tidak ada ikhtilaf mengenai status kefarduannya. Dalam hal ini adalah fardu kifayah, yang oleh as-Syathibi didefinisikan sebagai fardu yang ditujukan kepada semua orang, namun jika telah dilakukan oleh sebagian, maka fardu tersebut telah gugur dari yang lain. Namun, as-Syathibi juga menegaskan, bahwa dari statusnya sebagai hukum yang terkait dengan orang maupun hukum lain, maka fardu kifayah tersebut harus diberlakukan secara umum kepada semua orang mukallaf, supaya kondisi umum —yang menyempurnakan orang maupun hukum secara khusus (maksudnya fardu ‘ain)— bisa tetap tegak. Bagian (fardu kifayah) ini, lanjut as-Syathibi, sesungguhnya menyempurnakan bagian yang pertama (fardu ‘ain), sehingga statusnya sama-sama dharuri (vital). Sebab, fardu ‘ain tidak bisa dijalankan, kecuali dengan dijalankannya fardu kifayah. Beliau juga menegaskan, bahwa fardu kifayah itu umumnya disyariatkan untuk kemaslahatan umum —yang beliau contohkan seperti hukum khilafah, wizarah (pembantu khalifah), niqabah (perwakilan para pemuka dalam majlis ummah), qadha’ (peradilan), imamah shalah (kepemimpinan shalat), jihad, pendidikan dan sebagainya— jika diasumsikan tidak ada, atau orang meninggalkannya, maka sistem kehidupan manusia akan menjadi berantakan. Karena itu, beliau menegaskan, bahwa pada dasarnya semua mukallaf tetap dituntut agar fardu tersebut bisa ditunaikan. Sebagian ada yang mampu (mu’ahhil), sehingga dia berkewajiban menunaikannya secara langsung. Namun, bagi sebagian yang lain (ghair mu’ahhil), sekalipun tidak bisa menunaikannya secara langsung, mereka tetap berkewajiban untuk menghadirkan orang-orang yang mampu. Jadi, yang mampu dituntut menegakkan kewajiban tersebut secara langsung, sedangkan yang tidak mampu dituntut menghadirkan orang yang mampu. KETIGA, adapun status orang yang meninggalkan kewajiban menegakkan khilafah dan mengingkarinya dapat diuraikan sebagai berikut: Pertama, sebagai hukum syariat, adanya khilafah ini telah dinyatakan oleh para ulama’ sebagai perkara dharuri (vital) dalam Islam. Karena itu, sebagian ulama’ seperti Ibn ‘Abidin, berdasarkan kitab Syarh al-Maniyyah, menyebut orang yang mengingkari kefarduan adanya khilafah tersebut sebagai Mubtadi’ Yukaffaru biha (ahli bid’ah yang bid’ahnya menyebabkan dirinya Kafir), dengan catatan jika tidak ada syubhat. Namun, sebagian yang lain, karena bersikap ikhtiyath (lebih hati-hati), tidak mau mengkafirkannya, sekalipun hukum tersebut dibangun berdasarkan Ijmak Sahabat. Alasannya, karena masih ada isykalat (berbagai kemungkinan). Namun, substansinya tetap, bahwa pengingkaran terhadap hukum adanya khilafah dan kewajiban menegakkannya merupakan bid’ah, yang tidak pernah dilakukan oleh ulama’ Ahlussunnah maupun yang lain, kecuali sekte ahli bid’ah, seperti Khawarij (an-Najadat) dan Muktazilah (al-Asham dan al-Fuwathi). Kedua, adapun hukum meninggalkan kewajiban untuk menegakkannya, para ulama’ sepakat bahwa hukumnya haram, dan orang yang meninggalkannya berdosa, dan wajib dikenai sanksi. Namun tetap harus dibedakan, bahwa ada orang yang tidak melakukan kewajiban tersebut karena menolak bahwa hukum mengadakan atau mendirikannya adalah wajib, dengan orang yang tidak menolak hukum tersebut, namun tidak mengetahui bagaimana cara mendirikannya. Bagi orang yang tidak melakukan, karena menolak bahwa kewajiban tersebut hukumnya tidak wajib, maka orang tersebut selain berdosa, juga masuk dalam kategori ahli bid’ah. Tetapi, bagi orang yang tidak melakukannya, karena tidak mengetahui tata caranya, dan pada saat yang sama dia mengakui bahwa hukum menegakannya adalah wajib, bisa dipilah menjadi dua: orang awam dan ulama’. Bagi orang awam, kesalahannya itu bisa di-ma’fu (diampuni), karena tatacara tersebut memang belum pernah dirumuskan oleh para ulama’ sebelumnya, dan untuk itu diperlukan ijtihad baru, sementara dia bukan ulama’ apalagi mujtahid. Bagi orang awam, masalah bagaimana tatacara melakukan kewajiban tersebut tentu merupakan perkara yang ghair ma’ruf, karena itu mereka mendapatkan ampunan. Namun, ini berbeda dengan ulama’ yang mempunyai cukup ilmu untuk melakukan ijtihad, tetapi dia tidak melakukannya. Maka, dia tetap berdosa karena tidak melakukan kewajiban tersebut, dan juga berdosa karena tidak melakukan fardu kifayah yang menjadi kewajibannya, yaitu menggali atau merumuskan hukum tatacara untuk melakukan kewajiban tersebut. Wallahu a’lam. [1] Ibn ‘Abidin, Radd al-Mukhtar ‘ala ad-Durr al-Mukhtar Syarh Tanwir al-Abshar, ed. As-Syaikh ‘Adil Ahmad ‘Abd al-Maujud dan as-Syaikh ‘Ali Muhammad Mufawwadh, Maktabah Dar al-Baz, Makkah, cet. I, 1994, juz II, hal. 278. [2] Ibn ‘Abidin, Radd al-Mukhtar ‘ala ad-Durr al-Mukhtar Syarh Tanwir al-Abshar, ed. As-Syaikh ‘Adil Ahmad ‘Abd al-Maujud dan as-Syaikh ‘Ali Muhammad Mufawwadh, Maktabah Dar al-Baz, Makkah, cet. I, 1994, juz II, hal. 278. [3] Ibn Qutaibah ad-Dainuri, al-Imamah wa as-Siyasah, Maktabah Musthafa al-Babi al-Halabi, Mesir, cet. terakhir, 1969, juz I, hal. 9. [4] Q.s. al-Maidah [05]: 38. [5] Q.s. an-Nur [24]: 02. [6] Q.s. al-Baqarah [02]: 178. [7] Q.s. al-Anfal [08]: 60. [8] al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, no. hadits 3196; Muslim, Shahih Muslim, no. hadits 3372. [9] Muslim, Shahih Muslim. Penulis pun mengajukan pertanyaan: Bagaimana pandangan Muhammadiyah tentang penegakan KHILAFAH jaman sekarang? Salah seorang anggota grup WA menanggapinya dengan mengunggah  Matan Keyakinan dan Cita-Cita Hidup (MKCH) Muhammadiyah berikut. Muhammadiyah adalah gerakan Islam dan dakwah amar ma’ruf nahi munkar, beraqidah Islam dan bersumber pada Al Quran dan Sunnah, bercita-cita dan bekerja untuk terwujudnya masyarakat utama, adil, makmur yang diridloi Allah, untuk melaksanakan fungsi dan misi manusia sebagai hamba dan khalifah Allah di muka bumi. Muhammadiyah berkeyakinan bahwa Islam adalah agama Allah yang diwahyukan kepada rasul-Nya, sejak Nabi Adam, Nuh, Ibrahim, Musa, Isa dan seterusnya sampai kepada Nabi Muhammad SAW, sebagai hidayah dan rahmat Allah kepada umat manusia sepanjang masa, dan menjamin kesejahteraan hidup materil dan spiritual, duniawi dan ukhrawi. Muhammadiyah dalam mengamalkan Islam berdasarkan: a) Al Quran, kitab Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW; b) Sunnah Rasul, penjelasan dan pelaksanaan ajaran-ajaran Al Quran yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW, dengan menggunakan akal pikiran sesuai dengan jiwa ajaran Islam. Muhammadiyah bekerja untuk terlaksananya ajaran-ajaran Islam yang meliputi bidang-bidang yaitu: a) Aqidah; b) Akhlak; c) Ibadah; d) Muamalah Duniawiyah. Muhammadiyah mengajak segenap lapisan bangsa Indonesia yang telah mendapat karunia Allah berupa tanah air yang mempunyai sumber-sumber kekayaan, kemerdekaan bangsa dan Negara Republik Indonesia yang berdasar pada Pancasila dan UUD 1945, untuk berusaha bersama-sama menjadikan suatu Negara yang adil dan makmur dan diridloi Allah, “Baldatun Thayyibatun Wa Rabbun Ghafur.” (Keputusan Tanwir Tahun 1969 di Ponorogo). Rumusan Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup disempurnakan oleh PP Muhammadiyah, atas kuasa Tanwir 1970 di Yogyakarta dan disesuaikan dengan keputusan Muktamar ke-41 di Surakarta.  Lima angka tersebut dibagi menjadi tiga kelompok. Pertama, angka 1 dan 2, mengandung pokok-pokok persoalam yang bersifat ideologis. Kedua, angka 3 dan 4, mengandung persoalan mengenai paham agama menurut Muhammadiyah. Ketiga, angka 5, mengandung persoalan mengenai fungsi dan misi Muhammadiyah dalam Negara Republik Indonesia. Hidup berasas Islam ini berimplikasi pada kesadaran cita-cita hidup yang ingin dicapai, berupa terwujudnya tatanan kehidupan masyarakat yang baik dan diridhai Allah. Muhammadiyah menyadari kewajibannya, berjuang dan mengajak segenap lapisan bangsa melalui jalur kultural untuk mengatur dan membangun tanah air dan Negara Indonesia. (Muhammad Ridha) Pertanyaan penulis: Mana ayat al-Quran yang mewajibkan umat Islam menerapkan sistem pemerintahan berbentuk khilafah? Apakah sistem pemerintahan Dinasti Bani Umayah,  Abasiyah, dan Usmaniyah sama dan sebangun dengan khilafah yang diterapkan pada masa khulafa rasyidin? Apakah perintah potong tangan bagi pencuri dalam Al-Quran itu sebagai tujuan ataukah sarana untuk mewujudkan syariat Allah swt? Apakah menerapkan sistem khilafah termasuk syarat terlaksananya ketaatan muslim kepada Allah swt dan Rasul-Nya? Apakah NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 bertentangan dengan syariat Islam? Jawabnya:  1. Tidak ada.  2. Dalam pengangkatan Kepemimpinan terjadi keragaman.  3. Sebagai sarana untuk mewujudkan syariat Allah swt.  4. Salah satunya, karena sesuai dengan pendapat Al- Ghazali, \"Kekuasaan itu penting demi keteraturan agama dan dunia. Keteraturan dunia penting demi keteraturan agama. Keteraturan agama penting demi keberhasilan mencapai kebahagiaan akhirat.\" Adapun bentuknya, tidak harus Khilafah untuk mencapai hal tersebut.  5. Pancasila dan UUD 1945 tidak bertentangan dengan syariat Islam. Untuk UUD setelah amandemen perlu dievaluasi lagi, apakah batang tubuh UUD tersebut bertentangan dengan Pembukaan dan batang tubuh UUD 1945 asli atau tidak. Setuju, khilafah adalah \"salah satu\" dan bukan \"satu-satunya\" sarana untuk mewujudkan syariat Allah. Amandemen UUD 1945 empat kali dari tahun 1999 sampai dengan 2002 telah kebablasan. Solusinya: Kembali ke UUD 1945 yang disahkan pada 18 Agustus 1945 dengan adendum. Jadi, Negara berbentuk Kerajaan, Yes. Negara berbentuk Republik, Oke. (*)

People Power, Menggugat Politik tanpa Malu

Oleh: Fathorrahman Fadli - Pengamat Sosial dan Politik MENGAPA mesti muncul kekuatan people power dalam masyarakat? Jawaban akademis biasanya tidak cukup untuk menjawabnya. Sebab berbagai tindakan sindiran, kritik, bahkan ujaran sarkastik untuk mengingatkan kekuasaan yang tidak patut, sudah tidak berguna. Pasalnya, penguasa jenis ini jelas penguasa yang telah melampaui batas kepatutan dan kepantasan hidup anak-anak manusia.  Penguasa yang pintar dan penuh tanggung-jawab biasanya hanya cukup dengan sindiran. Biasanya mereka malu, lalu berubah menjadi lebih baik lagi. Namun kekuasaan yang dungu dan angkuh, pelanggar konstitusi dan undang-undang, tidak cukup dengan sindiran dan kritik. Kelompok oposisi  membutuhkan alat yang membuat mata penguasa melihat dengan terang benderang bahwa rakyat sudah muak dengan segala kebohongan yang tercipta dan diciptakannya.  Penguasa jenis dungu nan angkuh seperti itu, membutuhkan hentakan, tekanan, paksaan untuk kembali menarik mandat rakyat dari kesewenang-wenangan. Acara cabut mandat itu dalam politik kekuasaan dikenal dengan people power (kekuatan dan kekuasaan rakyat).  Dalam demokrasi, model people power ini adalah aktivitas politik untuk menekan seorang penguasa agar dengan sadar menyerahkan kembali mandat rakyat atas dirinya. Mengapa? Karena rakyat telah merasa muak dan tidak percaya pada penguasa dholim dan tidak amanah dalam menjalankannya. Rakyat merasa bahwa penguasa tersebut telah membahayakan kehidupan rakyat, bangsa, dan negara. Oleh karena itu people power dijadikan sebagai mekanisme demokratis untuk mengembalikan kekuasaan ke tangan rakyat yang berdaulat.  Bagi pembebek penguasa akan selalu bertanya, rakyat yang mana, rakyat bukan hanya mereka yang sakit hati itu. Masih banyak rakyat lain yang menyukai penguasa tersebut. Pikiran ini jelas sesat, karena istilah rakyat tidak bisa dipilah pilih rakyat yang ini atau yang itu. Suara rakyat yang merupakan suara kebenaran dalam demokrasi adalah termometer suhu politik apakah suaru rezim itu disukai atau tidak. Jika tidak maka, rezim tersebut harus mundur secara kesatria dan bermoral serta memiliki rasa malu (bukan rahi gedek). Penguasa yang membangkang dari aspirasi rakyat sudah sangat pantas untuk dimundurkan segera. Hal itu penting demi menyelamatkan bangsa dan negara yang lebih besar.  Sejarah People Power  Adalah lumrah dalam sejarah, ketika seorang penguasa tidak lagi bermanfaat bagi rakyatnya, maka rakyat (people) memiliki hak penuh untuk mencabut paksa kekuasaan dari tangannya. Contoh kongkritnya Sukarno dan Soeharto yang dijatuhkan karena rakyat sudah tidak suka Dalam negara demokrasi, people power (cqbut mandat) adalah hal yang biasa terjadi tidak hanya di Indonesia, namun dibeberapa negara di dunia.  Kekuasaan dapat dan sah dicabut secara paksa karena penguasa tersebut dinilai rakyat telah melampaui batas-batas yang  seharusnya dalam bernegara. Misalnya memalsukan ijazah, membiayai tukang fitnah (buzzer), menabrak konstitusi negara yang sah, membangun kleptokrasi dalam negara demokrasi, membangun kekuasaan baru melalui anak-anak dan menantunya tanpa rasa malu.  Penguasa yang bekerja serampangan tanpa prioritas adalah telah membahayakan keuangan negara. Penguasa yang membunuh dan melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui revisi UU KPK adalah tindakan yang pantas mendapatkan hadiah people power.  People power ibarat Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dalam perusahaan  Jika negara ibarat perusahaan, maka seorang Direktur Utama perusahaan dinilai merugikan perusahaan dan membahayakan perusahaan hingga bangkrut, maka menjadi suatu keharusan bagi para pemegang saham untuk menggelar rapat  people power atau RUPS.  Negara tidak boleh kalah dari penguasa yang dholim dan semau gue. Sebab bernegara itu sudah ada aturannya dalam konstitusi negara dan dasar negara Pancasila.  Menegakkan Kembali Konstitusi  Di masa mendatang, kekuatan people power harus menegakkan kembali sepirit dan haluan pokok bernegara sebagaimana yang tertuang dalam konstitusi negara. Hal-hal yang tidak sesuai dengan arah negara berkemajuan harus segera dihilangkan guna memperlancar arus dan laju negara.  Indonesia sebagai bangsa yang kaya raya harus tegak lurus untuk membawa negara itu menjemput tujuannya yakni mencerdaskan kehidupan bangsa, ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.  Konstitusi Indonesia yakni UUD 1945 telah mengalami empat kali amandemen. Ada banyak kritik bahwa hasil amandemen tersebut banyak hal yang bertentangan atau minimal tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila yang seharusnya menjadi rujukan utama kita dalam berbangsa dan bernegara. Hal-hal yang tidak sesuai dengan Pancasila harus segera disesuaikan agar tidak melahirkan bangunanan yang pincang, mudah roboh diterpa angin, atau hilang disabotasi para penjahat negara. (*)