OPINI

78 Tahun Merdeka, Pesta Korupsi dan Jogetan Istana

Oleh Abdullah Hehamahua - Mantan Komisioner KPK SAYA tidak pernah menghadiri upacara pengibaran Merah Putih di istana negara. Padahal, sebagai Wakil Ketua Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) selama empat tahun, saya selalu mendapat undangan dari Sekneg. Hal yang sama berlaku sewaktu delapan tahun menjadi Penasihat KPK. Hari itu, 16 Agustus 2023. Seorang tamu menegur sikapku ini. “Saya tidak mau jadi orang munafik,” jawabku.  Sebab, lanjutku: “kuingat jasa pahlawan nasional. Mulai dari Teuku Umar di belahan barat sampai Pattimura di penghujung timur Indonesia. Mereka menyabung nyawa untuk melawan penjajahan. Namun, kita sekarang saling menjajah. Ber-KKN- riya. Ada 14 menteri dan 70% Kepala Daerah ditangkap”  Pengibaran Merah Putih Alergi terhadap upacara pengibaran bendera? Tidak. Sebab, sewaktu di SMA, setiap Senin, dilakukan upacara pengibaran Merah Putih.  Saya tidak pernah bolos.  Alergi terhadap istana.? Tidak juga. Sebab, pertama kali kumasuki istana, tahun 1971. Saya dan peserta Pendidikan Pers IPMI (Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia) seluruh Indonesia, berangjasana ke istana. Itulah pertama kali kusalami Soeharto.   Kudatangi lagi istana negara ketika mengikuti pelantikanku sebagai Wakil Ketua KPKPN (2001) oleh presiden Gusdur. Selama 10 tahun SBY, saya sering hadir di istana negara, mengikuti pelantikan Pimpinan KPK dan Lembaga Negara lainnya. Namun, saya enggan hadir dalam upacara pengibaran Merah Putih, setiap 17 Agustus di istana negara. Penyebabnya, mungkin sangat pribadi. Penyebab pertama, mataku akan berkaca-kaca setiap menyanyikan lagu Indonesia Raya. Sebab, ketika menyanyikan lagu tersebut, pikiranku melayang ke seluruh pelosok negeri. Kubayangkan perjuangan Teuku Umar, Teungku Chik di Tiro, Panglima Polem dan Cut Nyak Dhien di Aceh. Ada Imam Bonjol di Sumatera Barat. Lalu  Fatahillah dan Diponegoro di Jawa. Ada pula Antasari serta Hasanuddin di Kalsel dan Makassar. Begitu pula Sultan Babullah serta Pattimura di Ternate dan Ambon.   Ada di antara mereka yang mati di tiang gantungan. Ada yang diasingkan ke daerah lain, jauh dari keluarga dan kampung halaman. Mereka semua mengorbankan waktu, pikiran, harta, keluarga, bahkan nyawa, demi membebaskan Indonesia dari penjajahan. Hari ini, kita sendiri yang undang penjajah, khususnya AS dan China. Mereka menguasai politik, hukum, dan ekonomi nasional. Bahkan, SDA kita, “dirampok.” Penyebab kedua, saya selalu berusaha untuk tidak menjadi orang munafik. Tidak mau menjadi orang yang berbeda di antara ucapan dan perbuatan. Sebab, setiap upacara pengibaran merah putih, dibacakan teks proklamasi. Di sinilah terlihat kemunafikan presiden, wakil presiden, dan pejabat negara lainnya. Sebab, teks proklamasi itu berbunyi:  “Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.”  Bagi orang dungu, teks proklamasi hanya dilihat sebagai rangkaian 27 perkataan. Orang cerdas, pasti menghayati filosofi yang berada di rangkaian kata-kata tersebut.   Presiden dan pejabat cerdas akan tahu, sejatinya teks proklamasi yang akan dibaca pada tanggal 17 Agustus 1945 adalah Mukadimah UUD 45. Namun, kondisi waktu itu sangat kritis. Apalagi, Soekarno kurang sehat. Olehnya, ditulislah teks baru yang sangat sederhana.  Bung Hatta mengimlakan redaksinya. Soekarno menuliskannya. Maknanya, dewasa ini, setiap membaca teks proklamasi, presiden, wakil presiden, para Menteri, Kepala Daerah, dan anggota legislative, bermuhasabah. Apakah tujuan kemerdekaan yang ada di Mukadimah UUD 45, sudah tercapai, kehilangan arah atau tergadai. Pengkhianatan Utama “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan.” Inilah alinea pertama Mukadimah UUD 45. Bukankah Presiden, Wapres, Menteri, Kepala Daerah, anggota legislative dan Aparat Penegak Hukum (APH) melapor, mengintimidasi, bahkan menangkap dan memenjarakan rakyat yang menyuarakan aspirasi.? Bukankah pembunuhan 6 laskar FPI, 9 Pengunjukrasa di Bawaslu, dan sejumlah mahasiswa di seluruh Indonesia merupakan pengkhianatan terhadap Mukadimah UUD 45.? Bukankah penangkapan HRS, pengurus KAMI, ulama, dan aktivis merupakan pengkhianatan proklamasi 17 Agustus 1945. Inilah pengkhianatan utama pemerintahan Jokowi. Penjajahan Modern “Kemudian dari pada itu, untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia, yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan Rakyat dengan berdasarkan kepada : Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Paragraf di atas adalah alinea keempat Mukadimah UUD 45. Isinya merupakan tujuan kemerdekaan: NKRI yang terlindungi eksistensinya, rakyat sejahtera, bangsa cerdas, dan Indonesia berperan dalam terciptanya ketertiban dunia.  Presiden, para Menteri, Kepala Daerah, dan anggota legislative, jujurlah. Jokowi menawarkan 34.000 hektar lahan di IKN untuk pengusaha China. Bahkan, bisa mendapat HGU selama 190 tahun. Padahal, UU menetapkan, maksimal 25 tahun. Dapat diperpanjang, maksimal 10 tahun.  Apakah Jokowi tidak pernah baca undang-undang.? Mungkin saja. Mungkin pula beliau baca, tapi kurang paham. Namun, bagaimana para Menteri dan anggota legislative, bergelar profesor dan doktor yang ijazahnya asli, membiarkan hal tersebut? Bukankah ia merupakan penjajahan modern? Joget bersama Utang dan Penderitaan Rakyat Putri Ariani, tuna netra. Beliau ekspresi nuraninya dalam lagu Rungkad yang didendangkan di istana merdeka. Hari itu, 17 Agustus 2023, tepat 78 tahun usia Indonesia. Tragisnya, presiden, wakil presiden, para Menteri, dan pejabat negara yang melek, tapi buta hati. Mereka berjoget di atas penderitaan orang lain seperti substansi lirik lagu yang dinyanyikan Putri.  “Rungkad,” lagu yang menggambarkan frustrasi luar biasa karena dikhianati. Mereka dikhianati orang yang dipercayai selama ini. Betapa tidak, Putri, orang tuanya dan 278 juta rakyat Indonesia, harus menanggung utang negara, Rp. 28 juta setiap orang karena ulah pemerintahan Jokowi. Tragis !!!, Presiden, orang Solo. Namun, beliau tidak mengerti bahasa Jawa dari lagu yang dinyanyikan Putri Ariani. Dahsyatnya, Putri, remaja tunanetra tapi tidak tunahati. Berbeda dengan presiden dan kabinetnya yang tunahati. (Depok, 18 Agustus 2023).

Demokrasi Botol Plonga Plongo

Oleh M Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan ADALAH Presiden Jokowi sendiri yang menyatakan bahwa dirinya sering dihujat dengan berbagai sebutan di antaranya Jokowi itu bodoh, tolol dan plonga-plongo. Lucunya ungkapannya itu masuk dalam konten pidato kenegaraan 16 Agustus 2023. Jadilah ini sebagai pidato kenegaraan yang bodoh, tolol dan plonga-plongo itu. Tampaknya tidak lebih bermutu dibandingkan pidato bapak Lurah manapun di Indonesia. Tapi dimaklum bahwa memang Presiden memang bukan Lurah.  Kita buang sementara predikat-predikat yang dikeluhkan Pak Jokowi di atas. Yang menjadi persoalan adalah pidato kenegaraan kemarin tidak menyentuh apa yang menjadi perhatian publik mengenai harapan perbaikan pengelolaan negara ke depan baik soal hutang luar negeri, KKN, ketergantungan pada China, pemulihan kedaulatan rakyat, kegagalan proyek infrastruktur, penguatan TNI atau lainnya.  Terjadi kondisi paradoksal di negeri ini di satu sisi pidato kenegaraan 16 Agustus 2O23 tersebut adalah gambaran dari ketidakpantasan dan ketidakmampuan Jokowi sebagai Presiden Republik Indonesia, namun di sisi lain  fenomena politik yang ada menunjukkan bahwa partai politik dalam menata kehidupan politik ke depan masih begitu menghamba kepada Presiden Jokowi.  Akibatnya seperti semua tergantung sikap dan pemihakan kepada pak Lurah. Partai Gerindra menjadi \"juara\" dalam penghambaan. Golkar, PAN, PKB ikut serta. Nasdem termasuk \"plonga plongo\" Inkonsisten dalam perlawanan. PDIP bimbang dan ragu. Dikhianati tapi masih mencoba mengikat. PPP loncat-loncat. Hanya PKS dan Demokrat yang relatif mandiri. Tentu dimusuhi.  17 Agustus bukan hari kemerdekaan tetapi di bawah pemerintahan Jokowi menjadi hari penjajahan.  Pakaian adat Amangkurat I yang dikenakan Jokowi menjadi simbol kezaliman, kediktatoran dan pengkhianatan. Amangkurat I adalah kolaborator VOC, pembantai 5000 hingga 6000 ulama dan keluarganya.  Diwarnai joget-joget dan lagu \"rungkad\" kelak menjadi pertanda rakyat yang bahagia ketika Jokowi sang Amangkurat I \"rungkad\" runtuh dari kekuasaannya.  Jokowi yang tidak akan cawe-cawe dan Jokowi yang akan cawe-cawe itu ternyata orangnya sama. Sama-sama botol.  Kemerdekaan negara harus dimulai dengan memerdekakan negara dari Jokowi. Pilpres yang sehat adalah Pilpres yang merdeka, bukan terjajah atau tersandera. Untuk itu syarat mutlak bagi kesehatan Pilpres adalah Jokowi tidak ada.  Alasan hukum dan politik sudah cukup kuat untuk secara konstitusional memakzulkan Presiden Jokowi.  Pilpres tinggal 6 bulan lagi, beberapa pengamat menyatakan pesimistis bahwa Jokowi itu dapat berhenti atau dihentikan. Pengamat itu lupa bahwa dahulu Soekarno itu lumpuh dan jatuh oleh satu hari saja peristiwa 30 September. Ulah dan blunder PKI. Kekuatan Soekarno terkikis habis. Soeharto jaya dan tetap digjaya menjadi Presiden kembali pada 11 Maret 1998 akan tetapi tanggal 21 Mei 1998 Soeharto jatuh. Hanya dalam hitungan dua bulan sepuluh hari saja.  Waktu untuk perubahan adalah suatu keniscayaan. Terlalu banyak dosa politik Jokowi. Satu atau dua kasus dapat menjadi kejutan bagi momentum perubahan itu. Berhenti Jokowi tidak menunda Pemilu termasuk Pilpres. Yang pasti adalah Pemilu khususnya Pilpres akan terjamin lebih sehat dan demokratis  tanpa cawe-cawe dan ketergantungan pada Jokowi.  Indonesia tidak akan menjadi negara demokrasi botol plonga-plongo jika Jokowi dimakzulkan sebagai Presiden. Konstitusi mengatur kebaikan ketatanegaraan ke depan. Musibah bangsa atas hadirnya Jokowi harus segera diakhiri dan dilewati--Rungkad \"ambyar\" : Pancen//Kuakui kusalah  Terlalu percoyo mergo//Mung nyawang rupo Saiki aku wes sadar// Terlalu goblok mencintaimu Rungkad//Entek-Entekan Memang//Kuakui kusalah.  Terlalu percaya karena//hanya melihat wajah.  Sekarang aku sudah sadar//Terlalu goblok mencintaimu.  Ambyar//Habis-habisan. Ariani Putri memang buta, tetapi hatinya terbuka  menyanyikan lagu \"rungkad\" spesial untuk kita semua.  \"Terlalu percaya karena hanya melihat wajah. Sekarang aku sadar, terlalu goblok mencintaimu\".  Goblok mempercayai dan mendukungmu.  Bandung, 21 Agustus 2023.

Mengingkari Ibu Pertiwi

Oleh Ichsanuddin Noorsy - Pengamat Ekonom Politik Indonesia  BANGSA Indonesia merugi jika elite politik melaksanakan Sidang MPR-RI untuk mengamandemen UUD 2002 dalam rangka menetapkan Pokok-pokok Haluan Negara (PPHN) setelah Pilpres Februari 2024. Penyebab utamanya adalah, pilpres yang berlangsung sejak 2004 hingga 2019 telah melahirkan bangsa terbelah (Ichsanuddin Noorsy, 2019). Hal ini dialami AS sejak lama, dan makin terasa sejak Donald Trump terpilih sebagai Presiden AS ke 45. Februari 2017 Obama menyatakan kesediaannya menjadi jembatan berbagai elemen bangsa yang terbelah. Sebelum 2016, dengan sistem ekonomi politik berbasis individualis liberal dan pasar bebas, AS mengidap ketimpangan pendapatan (rasio Gini) dan ketimpangan rasialis pada level seperti kanker stadium empat, urai JE Stiglitz penerima nobel ekonomi merespons didudukinya Wall Street kota New York pada 17 September 2011 hingga 15 November 2011. Hingga saat ini “penyakit” itu tak tersembuhkan. Kritik sistem politik berbasis demokrasi liberal sebenarnya juga disampaikan Noam Chomsky dan Edward W Said. Mereka melihat, demokrasi liberal merupakan cara AS untuk melakukan penetrasi terhadap suatu negara. Kajian mereka diakui secara tidak langsung oleh Presiden AS ke 44 Barack Obama dalam pidato bertajuk A New Beginning di Kairo pada 4 Juni 2009 bahwa demokrasi liberal yang dipaksakan AS ke sepenjuru dunia -- seperti tertuang dalam dokumen National Security Strategy of USA 17 September 2002-- tidak kompatibel dengan nilai-nilai dan sistem negara bangsa lain. Maka saat kebijakan luar negeri AS tentang Arab Spring pada 2010 dilaksanakan, hasilnya adalah enam dari sembilan negara di jazirah Arab berantakan. Tidak lama kemudian, pada 2013 terbitlah buku William Blum berjudul America’s Deadliest Export: Democracy – The Truth about Foreign Policy and Everything Else. Di Indonesia keterbelahan itu makin menguat sejak SBY menjadi Presiden RI 2004-2014. Dikhotomi cebong-kampret sejak Joko Widodo berkuasa dan tumpulnya hukum ke atas dan ke pihak yang mendukung penguasa hingga kini memberi pesan, liberalisme politik dan surplus politisi-defisit negarawan telah memantik konflik masyarakat. Kerugian lainnya adalah, sulitnya mensinerjikan antara presiden yang dipilih secara liberal dengan PPHN yang diproduksi oleh MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Dalam lingkup keterpilihan dan keterwakilan, mungkin saja presiden terpilih melalui pemilihan secara langsung oleh rakyat memenuhi sebagian partisipasi politik masyarakat. Namun patut dicatat, presiden terpilih itu diusulkan dan diusung oleh partai politik. Bagaimana dengan masyarakat luas lainnya yang merasa bahwa calon presiden terpilih itu bukan dan tidak merupakan aspirasi mereka sehingga tidak merasa terwakili. Saat yang sama bobot keterpilihan itu juga semu karena menyama-ratakan bobot suara berbagai lapisan masyarakat yang majemuk. Adalah tidak sama bobot suara profesor dengan mahasiswa, suara pilot dengan rata-rata pengemudi motor ojek, atau suara pemimpin dengan pesuruh. Kesetaraan suara dalam demokrasi liberal itu menjadi semu. Apalagi jika masyarakat memilih karena sogokan “merah” atau “biru”, atau dikenal dengan nomer piro wani piro (NPWP), maka hasilnya keterwakilan dan keterpilihan menjadi semu. Otoritas kewenangan politik yang ditampuk pun menjadi semu. Sementara dalam lingkup kerjasama dan keterikatan sosial, pemilu liberal telah membuahkan rusaknya kepercayaan sosial (social distrust), luruhnya ketertiban masyarakat (social disorder), dan pembangkangan sosial (social disobedient) atas etika dan moral (Ichsanuddin Noorsy, 2004). Gerakan pemakzulan oleh 100 tokoh dan propaganda people power oleh sejumlah orang menggambarkan telah bergesernya pembangkangan sosial menjadi pembangkangan politik. Bahkan merupakan wujud perlawanan politik. Benar bahwa pembangkangan itu adalah demokrasi, sebagaimana juga umpatan dungu dan bajingan tolol. Tapi hal itu mencerminkan kualitas kecerdasan emosional dan intelektual berpolitik meningkat, yang juga menyiratkan menurunnya kualitas kecerdasan spiritual. Di sana terlihat jelas bahwa pendidikan politik masyarakat tergiring bukan saja melalui pendengung (buzzer) dan influencer, industri riset (pembuat jajak pendapat), serta media massa arus utama, tapi juga melalui perilaku elite politik yang sulit diteladani. Cermin demokrasi liberal ini toh dikeluhkan Joko Widodo sebagai hilangnya kesantunan dan budi pekerti. Ironinya, keluhan ini tidak merujuk pada akar masalahnya: demokrasi liberal dan pola hidup individual materialis yang menegaskan kesuksesan diukur dengan tingginya tahta dan banyaknya harta. Alhasil pemilihan langsung presiden bertentangan dengan sila ke empat Pancasila: Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan. Juga menihilkan sila ke dua: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Tanpa kita sadari, semua bermula dari amandemen UUD 1945 menjadi UUD 2002. Dampaknya adalah Pancasila tinggal kata-kata. Maka pada saat seseorang merefleksikan dirinya sebagai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika, hal itu bermakna ganda. Di satu sisi, Pancasila dipakai untuk membenarkan kebijakannya, di sisi lain dia menyadari bahwa terjadi pengebirian nilai-nilai dasar bangsa Indonesia. Pada titik ini, kerugian bangsa dan negara menjadi tidak terhitung jumlahnya. Akibatnya, kita menjadi bangsa yang paling munafik. Bersumpah atas nama Allah SWT dan mengikrarkan untuk menjalankan Pancasila, namun dalam praktiknya bukan saja kita tinggalkan, kita pun mengkhianatinya. Kerugian yang tidak terhitung nilainya itu makin terasa saat kita mengkalkulasi, berapa biaya per pemilih pada setiap pemilu. Dengan memperhatikan angka partisipasi pemilih dan besarnya biaya pemiliu, maka pada 2004 biaya perpemilih mencapai Rp35.766. Pada pemilu 2009 berkisar Rp69.908, pemilu 2014 sekitar Rp115.187, dan pemilu 2019 menjadi Rp161.949. Jika pemilu serentak dilaksanakan pada 2024, biaya perpemilih adalah Rp419.907. Memperhatikan ucapan petinggi negara agar anggaran tidak boros, tentu menjadi penting bangsa Indonesia mengantisipasi krisis keuangan, pangan dan energi, mendesaknya kita mengatasi pengangguran dan kemiskian serta menurunkan angka rasio Gini. Sekaligus kita memperbaiki struktur anggaran agar keseimbangan primer yang negatif tidak membesar. Defisit anggaran pun tidak membengkak. Karenanya memilih Presiden di MPR memberi jalan keluar dari berbagai persoalan. Alasannya, komitmen pada Pancasila terpenuhi, perencanaan masa depan lebih baik, bangsa tidak terbelah, hemat anggaran, dan kevakuman aturan ketata negaraan dalam keadaan kegentingan yang memaksa teratasi. Atas dasar itu, kalau ada kalangan yang menolak pengembalian status dan kedudukan MPR-RI sebagai lembaga tertinggi negara yang memilih presiden dan menetapkan PPHN, maka patut diduga mereka adalah pengibar panji-panji liberal-materialis yang bertentangan dengan Pancasila dan semangat kejuangan para pejuang kemerdekaan. Mereka bukan saja tidak menghargai dan menghormati para pejuang, tapi sekaligus mengarahkan bangsa mengalami keterpecahan (disintegrasi), dan tetap dalam kungkungan sistem neoliberal. Selain ancaman serius itu, kemampuan menghadapi era turbulensi juga tidak memadai kecuali tunduk pada kemauan eksternal yang menggadaikan kedaulatan negara ini. Pasti ibu pertiwi bukan lagi menangis, namun sakit hati karena diingkari. Maka adalah layak MPR-RI bersidang sebelum Pemilu 2024.### DIY2008

Jokowi Tidak Bisa Dijatuhkan

Oleh Tony Rosyid - Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa ADA pihak yang ingin menjatuhkan Jokowi. Tidak hanya ingin, tapi yakin Jokowi akan jatuh. Keyakinan ini telah menambah semangat kelompok ini untuk berupaya menjatuhkan Jokowi. Sebuah keyakinan berbasis analisis politik. Keyakinan kedua, Jokowi dianggap sebagai pemimpin gagal. Rakyat semakin sengsara, maka menurut mereka Jokowi harus dijatuhkan.  Kelompok ini antusias mengungkap berbagai data dan memberi argumentasi yang sangat meyakinkan. Mulai dari soal masifnya korupsi, penegakan hukum yang bermasalah, nepotisme, otoritarianisme, dan seterusnya. Ini adalah keyakinan yang dibangun berbasis analisis moral. Menurut mereka, Jokowi tidak boleh berlanjut. Dua keyakinan yaitu keyakinan berbasis analisis politik dan keyakinan berbasis moral ini terus muncul. Sesuatu yang lumrah, normal dan biasa terjadi di setiap rezim. Siapapun rezimnya. Tidak ada rezim yang bisa lepas dari lahirnya kelompok yang akan menjatuhkannya.  Kelompok ini lahir oleh dua kepentingan. Kepentingan pragmaris dan kepentingan idealis. Kepentingan pragmatis terdiri dari mereka yang ingin berkuasa. Hanya segelintir elit yang yang memanfaatkan kekecewaan rakyat untuk jatuhkan kekuasaan. Bagi mereka, tidak ada cara lain untuk berkuasa kecuali kudeta. Ganti penguasa lama dengan diri mereka.  Sebagian besar yang bergabung di kelompok ini adalah mereka yang punya kepentingan moral. Mereka takut negara semakin rusak. Karena itu, menurut mereka, presiden harus diganti. Faktanya? Jokowi tidak jatuh. Setidaknya hingga hari ini. Prediksi saya, Jokowi tidak akan jatuh. Kecuali jika ada krisis ekonomi atau moneter. Soal ini harus melibatkan analisis geopolitik. Ekonomi global beberapa tahun belakangan ini memang memburuk, tapi masih bisa diatasi. Tulisan ini tidak ingin bicara soal benar-salah. Sebab, benar-salah dalam politik seringkali bersifat subyektif. Benar-salah bergantung kepada siapa yang menang. Kalau Jokowi sukses dijatuhkan, maka yang akan dianggap benar itu kelompok yang menjatuhkan. Kalau Jokowi tidak bisa dijatuhkan dan tetap bertahan, maka yang dianggap benar itu Jokowi. Secara prinsip, pemenang akan mendapatkan banyak dukungan. Kue kekuasaan tetap menjadi magnet rebutan. Di sinilah dukungan itu berdatangan. Bukan berarti upaya melakukan kudeta itu bebas nilai. Tidak. Pada akhirnya kebenaran obyektif akan terungkap. ini kedepan akan menjadi tugas sejarah untuk membongkar. Maksudnya, sejarahlah yang nanti akan membuka siapa yang benar dan siapa yang salah. Siapa pahlawan, siapa yang jadi pecundang. Butuh waktu bagi sejarah untuk membuktikan semua itu. Kembali ke obyek tulisan ini, bahwa Jokowi hampir pasti tidak bisa dijatuhkan. Sebab, belum terlihat adanya syarat politik yang terpenuhi untuk menjatuhkan Jokowi. Syarat itu adalah pertama, tidak ada isu besar yang bisa menjadi trigger untuk menjatuhkan Jokowi. Isu yang paling sensitif dan seksi adalah krisis ekonomi, isu agama dan masalah moral. Isu sensitif ini belum terlihat. Sementara isu korupsi, nepotisme, otoritarianisme dan sejenisnya tidak cukup kuat untuk menjadi trigger. Tingkat sensifitasnya melemah. Kedua, konflik internal. Umumnya, rezim jatuh karena dukungan internal rapuh. Konflik kepentingan di internal yang tidak selesai akan menggoyahkan kekuatan yang dimiliki penguasa. Di sini tampak kelihaian Jokowi. Jokowi cukup piawai dalam menjaga stabilitas kekuasaan. Caranya, ia disiplin dalam mendistribusikan kue kekuasaan. Semua kebagian. Loyalis Jokowi mendapat perhatian dan kepuasan. Di sinilah Jokowi memperoleh dukungan yang sangat kuat dan sangat militan. Infonya, sekitar 32 persen komisaris anak perusahaan BUMN diisi oleh relawan Jokowi. Ini membuktikan bahwa Jokowi adalah politisi yang disiplin dalam menjaga dan merapikan barisan. Kongkret. Pola inilah yang membuat loyalis Jokowi sangat militan dalam menjaga stabilitas kekuasaan. Dengan kekuatan ini, Jokowi kemudian punya modal untuk bersikap tegas, bahkan tidak segan menyingkirkan mereka yang dianggap tidak loyal. Faktor yang tidak kalah penting bagi Jokowi dalam menjaga stabilitas kekuasaannya adalah sikap realistisnya. Ketika lawan menguat, Jokowi tidak segan untuk berkompromi. Melakukan negosiasi. Win win solution. Kalau lawan lemah, anda tahu jawabannya. Beda Jokowi, beda Gus Dur. Gus Dur tidak bisa membuka ruang untuk berkompromi dengan hal-hal yang oleh Gus Dur dianggap prinsipil. Gus Dur adalah seorang idealis sekaligus moralis. Ini kelebihannya. Tetapi dalam konteks politik praktis, ini bisa dianggap sebagai kelemahan. Di dalam politik, berlaku bagi-bagi kekuasaan. Seringkali mengabaikan integritas dan kompetensi. Gus Dur itu ulama, seorang yang sangat idealis, dan sekaligus budayawan. Karena tidak mudah berkompromi, akhirnya kita menyaksikan Gus Dur dijatuhkan. Itu lantaran Gus Dur tidak membuka ruang untuk berkompromi terkait hal-hal yang dianggapnya prinsip. Tentu ada faktor lainnya juga. Jokowi seorang politisi tulen. Begitu juga umumnya para pemimpin dan elit politik kita. Mereka dituntut melakukan kompromi-kompromi dengan pihak manapun, terutama ketika lawan menguat. Dalam hal ini, Jokowi sangat piawai. Bisa berkompromi, terutama ketika terancam kondisinya. Jadi, dengan melihat pola Jokowi dalam berpolitik selama ini, sulit ada celah bagi lawan untuk menjatuhkan Jokowi. Bukan tidak mungkin, tapi sangat sulit. Terlebih, jadual pemilu sudah semakin dekat. Ini akan semakin mempersempit ruang untuk menjatuhkan Jokowi. Sebab, hampir semua partai pengusung capres-cawapres dan relawan pendukungnya tidak ingin pemilu tertunda. Jakarta, 19 Agustus 2023

Presiden Limbung Negara Sakit

Oleh  Sutoyo Abadi - Koordinator Kajian Merah Putih  PRESIDEN Joko Widodo apakah sedang mengalami sindrom narsisistik megalomania? Terekam dan terbaca dalam pidato kenegaraan seperti merasa kebijakan negara saat ini sudah benar serta mengaku diri sebagai satu-satunya penyelamat bangsa dan negara. Ketika keadaan terus memburuk -  lebih buruk dari jaman penjajahan. Seharusnya sebagai presiden malu kepada rakyat yang masih hidup serba susah dan miskin.  Bahkan saat ini terasa negara masuk dalam sistem penjajahan gara baru. Bagaimana mungkin seorang pembohong akan bicara tentang peradaban, keadilan, kebanaran dan kejujuran. Negara dalam kondisi gelap menjadi permainan para bandit, bandar, badut politik dan ekonomi. Negara hidup dikendalikan para taipan oligarki dan terjadinya kerakusan korupsi tanpa kendali. Kekuatan asing bebas menguasai kekayaan alam sementara negara hidup dari hutang yang menumpuk dan makin membesar. Kuat dugaan presiden sedang sakit tidak lagi bisa menguasai diri, mengerti dan merasakan bahwa pidato kenegaraan di dengar oleh seluruh masyarakat Indonesia bahkan dalam dan luar negeri. Sebagian masyarakat sampai pada kesimpulan sebagian isi pidato kenegaraan hanya ilusi yang di perparah dengan watak lama pidato pencitraan. Dianggap masih memiliki magis menyulap sebagai orang sederhana, suci, membawa aura kebenaran dengan pidato ecek-ecek seperti orang sakit   Sebagai rakyat jelata apa salah kalau menyarankan presiden segera periksa diri  kepada psikolog  apakah kira-kira sedang menderita narsisistik megalomania. Kalau iya ini bisa membawa bahaya yang luar biasa Suasana perayaan HUT ke-77 RI tahun lalu di Istana Merdeka terjadi kejadian aneh suasana sakral berubah menjadi jogedan oleh beberapa pejabat negara , berjingkrak jingkrak seperti dasa dengan nyanyian \"Gede Roso -Wong Edan Ojo Di Bandingke\" Tahu ini muncul kembali suasana sakral ditenggelamkan jogedan dengan lagu jauh dari suasa perjuangan. Munculnya lagu \"Rungkad\" dengan macam macam penafsiran, rakyat spontan menduga duga ada  maksud lain berbau norak. Di lagu, kata rungkad digunakan untuk menggambarkan liriknya yang penuh kekecewaan, sakit hati, dan penyesalan. Jadi, apa sih sebenarnya artinya rungkad? Kata \"rungkad\" dalam bahasa Sunda berarti runtuh, roboh, tumbang, ambruk, hancur, dan tercerabut sampai akarnya.  Rentetan peristiwanya berbarengan setelah presiden tidak memperhatikan kaidah muatan berapa penting nya pidato kenegaraan menjadi ajang keluh kesah karena kerap dihina dibilang bodoh, tolol hingga plonga- plongo Terlalu nestapa suasana sakral di jadikan ajang hura hura dan ditandai pidato norak yang terkesan tidak menghormati suana sakral yang harus diperingati dengan suasana hidmat, ketika di malam hari hampir semua rakyat di kampung kampung telah melakukan peringatan dengan sakral. Tidak maksud mengurangi rasa hormat sebaiknya presiden dengan para pembantunya yang telah melakukan perbuatan norak segera tes sedang mengalami sindrom narsistik. Tentu dengan harapan semua dalam keadaan sehat dan normal. *****

Merdeka atau Setengah Mati?

Oleh Arief Sofiyanto - Wartawan Senior Tepat tanggal 17 Agustus 2023 adalah Hari Kemerdekaan ke-78 Republik Indonesia. Menurut kamus KBBI, merdeka adalah bebas dari penjajahan dan sebagainya. Sudahkah bangsa kita merdeka? Merdeka itu saat anak cucu diwarisi kemakmuran, bukan diwarisi utang yang berlimpah oleh negara. Sayangnya, Indonesia belum merdeka dari utang. Bahkan jumlahnya terus menumpuk. Utang pemerintah mencapai Rp7.805,19 triliun per Juni 2023 sesuai data Kementerian Keuangan. Namun, saat menyampaikan pidato RAPBN 2024 serta Nota Keuangan di gedung MPR/DPR/DPD RI Senayan pada Rabu (16/8/2023), Presiden Jokowi menyatakan utang Rp7.805,19 triliun masih cukup aman meski, naik jika dibandingkan utang Mei 2023 senilai Rp7.787,51 triliun. Jumlah utang yang terus menumpuk/membengkak akan membebani generasi mendatang. Seperti potongan puisi \"Jangan Teriak Merdeka..., Malu Kita\" karya Taufiq Ismail: ”Negeri ini masih dicekik ribuan triliun utang. Jika negeri ini telah mampu melunasi utang itu...,  Silakan teriak merdeka...!, Jika belum mampu..., lebih baik diam dan berpikir..., Malu kita”. Kemiskinan dan pengangguran semakin meluas”..., Terasa berat untuk bisa hidup layak..., Bahkan harga-harga terus merangkak naik..., Ditambah pajak yang kian mencekik..., Jika masih meluas kemiskinan..., Jangan teriak merdeka...!, Lebih baik diam dan berpikir..., Malu kita”. Faktanya utang luar negeri pemerintah Indonesia masih segunung. Andaikan utang luar negeri di akhir pemerintahan Presiden Jokowi pada Oktober 2024 nanti mencapai Rp10.000 triliun, maka setiap warga negara Indonesia (termasuk bayi baru lahir) harus ikut menanggung utang Rp37.000.000 (Rp37 juta). Artinya, setiap bayi baru lahir di Indonesia harus ikut menanggung utang Rp37 juta. Padahal negara-negara luar memberi bonus bagi setiap bayi baru lahir. Setiap bayi yang baru lahir di Finlandia mendapat bonus uang Rp155 juta. Setiap bayi yang baru lahir di Singapura diberi bonus $5.000 atau sekitar Rp750 juta, seperti dilansir The Straits Times, Jumat (28/6/2023). Di Perancis tunjangan termasuk hibah kelahiran €950, sekitar Rp14 juta, diikuti dengan tunjangan anak bulanan dan tunjangan keluarga yang beragam. Bayi lahir di Yunani dapat bonus Rp30 juta dari Pemerintah. Setiap bayi baru lahir di Qatar diberi rumah dan mobil oleh Pemerintah. Bayi lahir di Brunei dapat bonus jutaan dan tunjangan lain-lain. Yang jelas ukuran merdeka secara ekonomi adalah Indonesia sudah bebas alias tidak tergantung utang luar negeri. Demikian juga rakyat bebas dari tekanan ekonomi, bebas dari utang yang mencekik, bebas mengemukakan pendapat dan lain-lain. Sasaran terakhir merdeka harus mewujudkan rakyat makmur dan sejahtera. Ada juga pendapat bahwa merdeka itu kalau keadaannya lebih baik dibanding zaman penjajahan sebelum merdeka. Kalau sama saja seperti rakyat dicekik pajak yang tinggi, kebebasan pendapat dibatasi, dan lain-lain, itu namanya belum merdeka. Tampaknya untuk merdeka bebas mengemukakan pendapat yang dijamin konstitusi belum sepenuhnya dilaksanakan penguasa. Karena masih banyak penangkapan dan penahanan terhadap oposisi dari pemerintah, sementara korupsi malah merajalela. Sekali lagi mengutip potongan puisi \"Jangan Teriak Merdeka, Malu Kita\" karya Taufiq Ismail: ”Demokrasi korporasi mencengkran negeri ini..., Keuangan yang maha kuasa..., Korupsi menjadi budaya..., Kolusi makin menganga..., Kerugian uang rakyat tak terkira..., Jika perilaku ini masih mewarnai bangsa..., Jangan teriak merdeka...!, Lebih baik diam dan berpikir..., Malu kita”. Menteri Koordinator Polhukam Mahfud MD mengungkapkan, bahwa jika korupsi di sektor pertambangan bisa ditutup, maka setiap orang bisa mendapatkan uang senilai Rp 20-an juta tanpa harus bekerja. Hal itu disampaikan Mahfud mengutip perkataan mantan Ketua KPK Abraham Samad beberapa waktu yang lalu pada saat melakukan diskusi dengan seorang ahli dari Amerika Serikat (AS) mengisahkan celah korupsi tahun 2013 - 2014. \"Ada informasi dari pak Abraham Samad yang mengatakan, kalau saja di dunia pertambangan ini, kita bisa menghapus celah korupsi, maka setiap kepala orang Indonesia itu setiap bulan akan mendapatkan uang Rp 20 jut tanpa kerja,\" ungkap Mahfud MD beberapa waktu lalu. Jenderal TNI (Purn) Gatot Nurmantyo membeberkan, dugaan korupsi di era kini lebih besar dari era-era sebelumnya. Ia sebut korupsi PT Asabri Rp23,74 triliun, PT Jiwasraya Rp13,7 triliun, e-KTP Rp2,3 triliun, TPP Rp37,8 triliun, Covid Rp1,02 triliun, BTS Rp8 triliun, dan lain-lain. Total kerugian negara Rp93,32 triliun. \"Ini fenomena gunung es, baru yang ketangkap saja. Yang belum ketangkap, lebih besar lagi,\" ungkap mantan Panglima TNI ini. Merdeka mempunyai makna bila rakyat Indonesia bisa menikmati hasil kemerdekaan sesuai cita-cita mendirikan NKRI menuju masyarakat adil, makmur dan sejahtera. Negara Qatar yang penghasilanya terutama dari minyak hidup makmur, di mana setiap bayi lahir sudah mendapat rumah, mobil, penghasilan, pendidikan gratis, dan kesehatan gratis berbeda dengan sebagian besar rakyat Indonesia dengan sumber daya alam (SDA) terbesar nomer 4 di dunia yang cukup puas dengan UMK sangat minim, kemiskinan (pengangguran), kebodohan (tidak sekolah). Hal ini terjadi karena banyak anak bangsa yang berkhianat dan berkolaborasi dengan pengusaha hitam serta asing yang ingin merampok SDA. Dengan maraknya PHK dan pengangguran serta kurangnya lapangan kerja tapi harga-harga meroket, membuat rakyat semakin tertekan biaya ekonomi. Bahkan tak cuma negara yang pinjam utang luar negeri, namun rakyat juga terjerat utang pinjaman online (pinjol). Di Jakarta saja, jutaan warga tercatat masih berutang Rp10,35 triliun pada perusahaan teknologi finansial (tekfin) atau yang akrab disebut pinjaman online (pinjol). Angka itu berdasarkan catatan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per April 2023. Jumlah ini turun 3,9 persen dari Maret 2023 yang mencapai Rp10,79 triliun. OJK juga mencatat utang tersebut berasal dari 2,38 juta akun pengguna tekfin di Jakarta. Utang pinjol warga DKI Jakarta berada di posisi kedua tertinggi setelah Jawa Barat yang tembus Rp13,57 trliun dari 4,6 juta akun pengguna. OJK mencatat, total seluruh utang pinjol masyarakat Indonesia yang belum dibayar. Sebagaimana diberitakan di media, harga-harga terus melonjak meningikuti kenaikan TDL, BBM, gas, pajak-pajak, biaya daftar ulang sekolah, terjerat pinjol dan lain-lain, di saat marak PHK dan pengangguran. Merdeka atau mati adalah slogan perjuangan di zaman melawan penjajah. Kini kita masih terjajah ataupun dijajah secara ekonomi, hingga rakyat berat memikul beban tekanan ekonomi dan masih jauh dari kemakmuran dan kesejahteraan. Maka, slogannya menjadi merdeka atau setengah mati. (*)

Pertarungan Anies, Ganjar, Prabowo pada Pemilu 2024

Oleh Laksma Purn Ir. Fitri Hadi S, MAP - Analis Kebijakan Publik Minggu, 13 Agustus 2024 partai partai peserta Pemilu 2024, pemilik kursi di DPR RI terbagi habis sudah dalam koalisi koalisi pengusung calon presiden. Dimulai dari Koalisi Perubahan untuk Persatuan terdiri dari 3 partai yaitu Nasdem, PKS dan Demokrat dengan calon presiden Anies Rasyid Baswedan, kemudian koalisi PDIP dengan PPP dengan calon presiden Ganjar Pranowo, dan terakhir Koalisi Besar terdiri dari partai Gerindra, Golkar, PAN dan PKB dengan calon presiden Prabowo Subianto. Koalisi pendungkung Prabowo adalah koalisi yang paling gemuk diantara ketiga calon presiden yang diusung. Capres Prabowo tampaknya orang yang paling optimis untuk memenangkan pemilu tahun 2024 ini. Dengan dukungan 4 partai belum termasuk partai non parlemen beliau mengatakan “Alhamdulillah, sekarang kita sudah ada bayangan, saya tambah optimis, tambah semangat, bukan tidak mungkin kalau the best and the brigtest kita bisa atasi kesulitan kesulitan”, ucapnya (16/08/2023). Optimis Prabowo ini kemungkinan bukan karena dukungan 4 partai itu saja, tapi juga dukungan Jokowi yang auranya sudah pindah ke Prabowo sehingga Prabowo tampak lebih Jokowi dibanding Jokowi sendiri. Prabowo tampak benar benar memanfaatkan vigur Jokowi diantaranya dengan memasang foto Jokowi bersama dirinya pada sejumlah baliho di beberapa daerah. Tidak cukup itu saja, Prabowo tampak ingin benar benar menjadi perwujudan Jokowi dengan memuji program ekonomi Jokowi yang disebutnya Jokowinomics berupa Kartu Indonesia Pintar, Kartu Sembako, Keluarga Harapan dan BLT. Prabowo juga berkeinginan mewujudkan mobil nasional, seperti kita ketahui bahwa ESEMKA berhasil terwujud dan melaju kencang dan gagah diarena pameran, tapi tidak tampak dijalan raya. Dari pernyataan pernyataan  Prabowo, ide besanya adalah menjokowikan Prabowo dan kelihatanya beliau berhasil. Capres Ganjar mungkin yang paling ketar ketir karena untuk menjadi sintesa Jokowi tidaklah mudah, dia harus bersaing dengan sang Jendral Prn Prabowo Subianto. Pernyataan Jokowi tentang capres atau pemimpin yang memikirkan rakyatnya kelihatan dari wajahnya dan rambutnya putih, kelihatanya memang tertuju pada Ganjar yang berambut putih dengan kerutan di wajahnya. Ganjar dan Jokowi memang sama sama petugas partai PDIP yang 2 kali memenangkan  pemilu yaitu tahun 2014 dan 2019, namun itu semua tidak lepas dari kehadiran Jokowi dikubu PDIP. Sekarang Jokowi ada di mana? Di Ganjar atau di Prabowo? Mereka harus bertarung merebut restu dan dukungan Jokowi agar massa pendukung Jokowi bisa berada di pihaknya. Anies Rasyid Baswedan, inilah kuda hitamnya. Anies sama sekali tidak didukung PDIP partai berlambang banteng tapi Anies posisi berada di ujung tanduk entah banteng, kerbau, kambing atau rusa. Posisinya walau telah resmi diusung oleh 3 partai dalam sebuah koalisi yaitu KPP atau Koalisi Perubahan untuk Persatuan, namun berhasilkah Anies maju jadi capres masih sering jadi tanda tanya. Mulai dipersoalkan masalah E Formula dan berpotensi ditersangkakan sampai gonjang ganjingnya JIS atau Jakarta Internasional Stadion. Konon kabarnya, siapa calon pendampinnya sebagai calon presiden sudah ada dalam genggamannya, tapi urung diumumkan segera karena khawatir kena tanduk pula. Persolanannya adalah agar tidak terlalu banyak yang dibuat di ujung tanduk. Anies memang telah menjelma menjadi hantu karena keberaniannya menutup alexis dan menghentikan proyek-proyek pulau reklamasi yang jelas amat merugikan pemodalnya. Meskipun demikian, Anies menjadi demikian popular dan dukungan terhadapnya semakin menguat. Anies Rasyid Baswedan menjadi kuda hitam yang bertarung  menghadapi kuatnya para sintesa Jokowi. Prabowo hendaknya jangan terlalu berbesar hati, karena kenyataannya pada Pemilu 2014 Prabowo didukung oleh begitu banyak partai tapi gagal memenangkannya melawan Jokowi. Lalu Pemilu 2019 Prabowo didukung oleh GNPF Ulama, lagi-lagi gagal memenangkan pemilu tersebut. Kini Pemilu 2024, apakah Prabowo akan Hat Trick atau kalah 3 kali berturut turut? Bila itu terjadi mungkin rekor ini akan sulit dipecahkan oleh siapapun. Lain pula dengan Ganjar, niat PDIP melakukan Hat Trick , atau 3 kali berturut turut memenangkan Pemilu tampaknya cukup sulit karena kini Jokowi tidak ada di samping mereka. Menjual nama besar trah Soekarno rasanya tidak cukup, apalagi calon presidenya bukan Puan Maharani, tapi Ganjar Pranowo yang sama sekali tidak punya garis sedarah dengan Soekarno. Akankah si kuda hitam Anies Rasyid Baswedan melenggang menjadi Presiden RI pada pemilu tahun 2024? Atau berhasil dijatuhkan dari ujung tanduk sehingga gagal menjadi calon presiden?   Mari kita menjadi saksi. Jumat, 18 Agustus 2023.

Cawe-Cawe Jokowi, Ini Targetnya

Oleh Tony Rosyid - Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa Inilah yang menjadi kekhawatiran para kader PDIP. Kekhawatiran ini sudah sangat lama: Jokowi berpisah, bahkan berhadap-hadapan dengan Megawati. Sudah menjadi hukum sejarah, jika di dalam satu komunitas, organisasi atau partai, ada dua matahari kembar, maka akan terjadi benturan kepentingan. Dua matahari itu artinya dua tokoh yang sama besar pengaruhnya. Maka satu dengan yang lain akan berebut pengaruh itu. Bukan atas keinginan mereka berdua mengambil posisi itu, tetapi sejarah akan secara niscaya membenturkan mereka. Demi untuk menjaga otoritas tunggalnya di PDIP, ini juga sesuai dengan amanah dan spirit konggres, Megawati menjadikan Jokowi sebagai petugas partai. Sementara Jokowi sendiri adalah presiden. Jangkauan wilayah dan otoritas kekuasaannya lebih luas dari Megawati. Maka, tidak memungkinkan Jokowi menerima statusnya sebagai petugas partai.  Jokowi menolak dijadikan petugas partai bukan atas kemauannya sendiri. Tapi posisinya sebagai presiden tidak memungkinkan ia menerima diposisikan sebagai petugas partai. Dari sinilah problem hubungan tidak harmonis antara Jokowi dengan Megawati dimulai.  Banyak kasus yang membuat keduanya harus bersitegang. Bahkan sejak penyusunan kabinet 2014. Ketegangan tidak pernah berhenti, hanya mengalami pasang surut. Pilpres 2024, Jokowi harus exit dari PDIP. Sebab, tidak mungkin Megawati akan berbagi otoritas dengan Jokowi. Ini bukan mau atau tidak maunya Megawati. Ini soal keadaan yang tidak memungkinkan Megawati berbagi kekuasaan dengan Jokowi di partai. Berbagi otoritas Jokowi di PDIP, sama saja memberi ruang untuk Jokowi melakukan kudeta. Konflik Jokowi vs Megawati ini bukan soal moral. Bukan soal Jokowi tidak pandai berterima kasih dan malah mbalelo terhadap Megawati. Tidak sesederhana itu. Tapi konflik keduanya adalah tuntutan keadaan yang bisa dijelaskan secara ilmiah. Keduanya tidak bisa keluar dari posisi saling berhadapan.  2024, masa kekuasaan Jokowi habis. Jokowi selesai. Jokowi hanya bisa eksis di panggung politik jika ia aktif di partai. Di PDIP, ruangnya ditutup oleh Megawati. Jokowi sama sekali tidak diberi peran dalam pencapresan Ganjar. Megawati paham kalau ini berbahaya. Kita tahu, Megawati adalah politisi kawakan yang sangat matang. Sekali Jokowi diberi ruang di pencapresan Ganjar dan Ganjar menang, maka Jokowi dan Ganjar bisa berkompromi untuk kudeta Megawati. Keduanya, Jokowi dan Ganjar hanya punya kekuatan kalau keduanya bergabung melawan Megawati. Cawe-cawe Jokowi di pilpres bukan sekadar mencari jaminan pengamanan pasca 2024. Tapi lebih pada upaya menciptakan ruang untuk eksistensi politik bagi Jokowi. Juga anak-menantunya. Eksistensi politik Jokowi akan optimal jika ambil PDIP dengan menggunakan Ganjar sebagai instrumen.  Upaya Jokowi saat ini membawa semua gerbongnya ke Prabowo diniatkan untuk pressure kepada Megawati agar memberi peran kepada Jokowi. Jika tetap ditutup, Jokowi akan all out dukung Prabowo. Kenapa tidak ke Anies Baswedan? Karena Jokowi kenal dan paham sekali siapa sosok Anies Baswedan. Terlalu pinter untuk bisa diintervensi, apalagi dikendalikan. Kecuali jika Anies Baswedan menang, maka Jokowi dapat dipastikan akan beradaptasi dengan Anies Baswedan. Prabowo jadi satu-satunya alternatif bagi Jokowi untuk melabuhkan dukungan demi tujuan pressure ke Magawati. Kalau gagal pressure Magawati, Jokowi akan all out dukung Prabowo. Di antaranya dengan memasangakan Prabowo-Gibran. Proses legalnya sedang digodok di Mahkamah Konstitusi (MK). Jika pun Prabowo menang, Jokowi pun akan tersingkir, dan tidak lagi punya peran signifikan. Sebagai wantimpres misalnya. Itu peran yang tidak penting. Artinya, karir dan eksistensi politik Jokowi akan berakhir. Kecuali jika dukungan Jokowi ke Prabowo dikompensasi dengan posisioning Jokowi di Gerindra. Menjadi Ketum atau Dewan Pembina partai, misalnya. Mungkinkah? Tidak mudah ini terjadi. Baik Prabowo menang, apalagi kalah.  Prabowo menang, Jokowi juga akan tersingkir. Saat jadi penguasa, Prabowo akan bersikap dan berwatak layaknya penguasa. Tidak butuh lagi kepada Jokowi. 2024, kalah atau menang, Prabowo tidak butuh Jokowi. Posisi Jokowi, jika ingin tetap eksis pasca 2024, memang harus ambil partai. Apakah itu PDIP, atau Gerindra. Dua-duanya tidak mudah untuk diambil.  Eksistensi Jokowi akan berhenti jika berada di luar partai. Karena itu, Jokowi harus kerja keras bagaimana ambil PDIP atau Gerindra. Inlah makna cawe-cawe Jokowi. Jakarta, 18 Agustus 2023.

Malin Kundang Politik: Kisah dengan Lakon Menyakitkan

Memilih Prabowo Subianto tentu punya argumen politiknya sendiri, itu tak terlepas dari kepentingan Jokowi pribadi--wacana sang putra Gibran Rakabuming Raka yang disandingkan dengan Prabowo jadi cawapresnya--maupun kepentingan kelompok power of shadows atau kriptokrasi, yang selama ini membersamainya. Oleh: Ady Amar - Kolumnis Anies Baswedan memang sudah terlalu lama dipersekusi tak selayaknya. Seolah berlomba jadi kebanggaan jika bisa mengerjai dengan fitnah sekalipun. Anies tak hirau-tak ambil hati atas semua sangkaan yang tak ditemukan bukti, tapi terus dihunjam sekenanya. Persekusi terhadap Anies itu sudah di luar batas manusiawi bahkan hewani. Menjadi layak jika itu disebut perliaku nafsu setaniah. Maka, sepertinya Tuhan perlu \"mengistirahatkan\" Anies dalam permainan persekusi lawan politiknya, yang selanjutnya orbit persoalan dihantamkan pada kelompok lain yang semula berkawan hangat, yang di luar nalar bisa bercakaran seperti kucing berebut sisa makanan. Siapa sangka kacang bisa lupa kulitnya, atau kisah \"Malin Kundang\" perlu dihidupkan kembali dalam versi lainnya. Dalam politik itu hal biasa. Tapi kisah Malin Kundang yang satu ini lebih konkrit, seperti kisah senyatanya. Presiden Jokowi tampak meninggalkan bunda poltik yang mengasuhnya, Megawati Soekarnoputri. Artinya, meninggalkan PDIP partai yang membesut membesarkannya lebih dari dua dekade lalu, yang tiba-tiba anak asuh itu memilih berseberangan, dan hilang seperti disambar angin. Langkah Jokowi meninggalkan PDIP pastilah sudah diukur konsekuensi apa yang bakal dihadapi, setidaknya akan dikenang panjang sebagai \"Malin Kundang\" politik. Langkah politik Jokowi itu pastilah menyesakkan hati Megawati, sang bunda politiknya. Dipastikan sakitnya itu lebih dahsyat dari saat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) meninggalkan Megawati dari kabinet, memilih berkontestasi pada Pilpres 2004, dan lalu mengalahkan Megawati Soekarnoputri. Langkah SBY \"menyalip\" ditikungan itu tidak bisa disamakan dengan langkah Jokowi yang \"melawan\", terkesan menusuk dari belakang dengan menolak capres pilihan PDIP, Ganjar Pranowo. Jokowi lebih memilih Prabowo Subianto, rival yang dua kali dipecundangi dalam Pilpres 2014 dan 2019. Memilih Prabowo Subianto tentu punya argumen politiknya sendiri, itu tak terlepas dari kepentingan Jokowi pribadi--wacana sang putra Gibran Rakabuming Raka yang disandingkan dengan Prabowo jadi cawapresnya--maupun kepentingan kelompok power of shadows atau kriptokrasi, yang selama ini membersamainya. Maka, memilih Prabowo tidak ditentukan semata pilihan Jokowi, tapi pilihan kelompok kriptokrat, yang selama ini menikmati privilage yang tentu tidak ingin kuasanya dalam ekonomi tercerabut. Memastikan pengganti Jokowi yang sama dengannya, itu satu keharusan meski memaksa dengan segenap daya upaya. Pilihan politik Jokowi, itu seperti peran yang mesti dilakonkannya, sekalipun  dengan \"terpaksa\". Itulah peran antagonis \"Malin Kundang\" yang  berhadap-hadapan dengan \"bunda\" kandungnya dalam politik. Peran yang pastinya menyakitkan bagi kedua belah pihak, yang sulit bisa dinalar. Tapi bisa jadi ibrah, bahwa dalam politik semua bisa terjadi. Peran apa pun yang dipentaskan dalam lakon kehidupan, itu semua dalam kendali Tuhan. Dan, itu mudah bagi Tuhan. Layaknya membalik telapak tangan. Peran-peran itu kapan dimainkan, waktu dimainkan, dan dimainkan oleh siapa, itu semua dalam skenario Tuhan yang tak mungkin luput dalam menentukan siapa menjadi siapa. Tak ada yang luput atau salah memposisikan peran bukan pada yang selayaknya. Skenario Tuhan memang dahsyat. Tidak persis tahu ending dari lakon itu akan berakhir seperti apa, tapi menyakitkan pastilah. Tapi alur ceritanya sepertinya akan panjang berliku-berkelok, bahkan pasca Pilpres 2024 pun belum pasti akan disudahi. Maka, analis politik terus akan punya pekerjaan menganalisanya, meski luput melesak di sana-sini. Analisa yang pastinya tanpa mengikutsertakan kuasa Tuhan ada di sana. Tapi satu hal yang pasti, Anies Baswedan kandidat kuat dalam memenangi Pilpres 2024, seperti diberi Tuhan leluasa sejenak untuk beristirahat menerima persekusi, yang selama ini diterimanya. Semua dialihkan pada yang semula kawan menjadi lawan yang saling cakar-cakaran, saling membuka \"aib\" masing-masing. Mencela kebijakan yang dianggap salah di ruang publik akan jadi tontonan keseharian. Padahal kebijakan itu dibuat bersama, atau setidaknya saat kebijakan itu diambil tidak dipersoalkannya. Tak sedikit pun muncul rasa risih saling serang, itu yang akan kita lihat hari-hari ini, dan sepertinya akan menggelinding tanpa kesudahan dalam waktu yang panjang... Wallahu a\'lam. **

Jokowi Keluhkan Hilangnya Kesantunan, Padahal Dialah Penyebabnya

Oleh Asyari Usman - Jurnalis Senior PIDATO kenegaraan 16 Agustus kemarin digunakan Presiden Jokowi untuk menyampaikan keluhan. Keluhan tentang julukan “Pak Lurah” dan perihal hilangnya kesantunan. Baguslah kalau Jokowi menyadari itu. Tapi, yang lebih penting dari sekadar menyadari julukan-julukan untuk dirinya dan menipisnya kesantunan adalah apa penyebab itu terjadi? Mengapa publik memberikan begitu banyak julukan yang sebagian tak sedap didengar? Dan mengapa banyak orang meninggalkan kesantunan? Julukan “Pak Lurah” untuk Presiden Jokowi boleh dikatakan masih enak. Maaf ya Pak Jokowi, saya mau sebutkan di sini julukan-julukan lain yang banyak ditulis di media sosial. Antara lain julukan itu adalah “Jainuddin Ngaciro”. Lalu ada pula julukan pendek “Jae”, ada “Juki”, dan ada “Jokodok”. Kemudian ada “Mukidi”, ada “Wiwi”, ada pula julukan “Tukang Mebel”. Ada yang menyebut “Sarimin”, dsb. Nah, mengapa hanya di masa Anda ini saja seorang presiden diberi julukan yang kadang lucu tapi sebagian tak enak didengar? Mengapa presiden-presiden sebelumnya tak pernah diberi julukan oleh publik? Tentu ini perlu dijawab blak-blakan. Jawaban bisa macam-macam dan subjektif. Tapi ada satu kesamaan, bahwa julukan-julukan itu menunjukkan publik, sebagian besar, memang tidak respek kepada Anda. Mengapa begitu banyak yang tidak respek? Menurut dugaan saya pribadi, ini disebabkan oleh ketidakmampuan Anda memenuhi ekspektasi intelektualitas yang diharapkan publik. Orang merasa Anda tak pantas menjadi presiden –khusunya di periode kedua ini. Banyak orang yang yakin Anda menjadi presiden di periode kedua ini karena kecurangan pilpres 2019. Setelah protes berdarah terhadap kecurangan itu, publik akhirnya diam. Tetapi, Anda malah semakin ngawur. Korupsi merajalela. Ada korupsi 349 triliun Kementerian Keuangan. Ada korupsi impor emas batangan 189 triliun. Ada 93 triliun korupsi di berbagai BUMN asuransi. Upaya pemberantasan korupsi bukan diperkuat. Anda malah melemahkan KPK. Dan kasus-kasus korupsi digunakan untuk pemerasan politik. Sekarang, Anda tidak memihak rakyat. Sebaliknya Anda mempermudah pengurasan SDA melalui operasi tambang legal yang penuh permainan dan tambang ilegal yang penuh dengan bandit-bandit. Anda bikin berbagai proyek instrastruktur berbiaya mahal yang belum diperlukan rakyat. Misalnya, kereta cepat Jakarta-Bandung dengan pembengkakan biaya dalam jumlah besar, yang kemudian Anda bebankan ke APBN. Lain lagi beberapa bandara mahal yang tidak berfungsi. Anda paksakan pembangunan jalan tol yang sebagian belum mendesak keperluannya. Di pihak lain, Anda tak peduli dengan seluruh jalan rakyat, yaitu jalan nasional, jalan provinsi, dan jalan kabupaten, yang kini rata-rata rusak berat. Padahal, sebagian besar rakyat menggunakan jalan yang hancur-lebur itu. Banyak lagi kebijakan Anda yang tak memihak rakyat. Aneh dan terasa ada pembodohan. Tambang nikel China di Morowali dan beberapa lokasi lainnya berlangsung bagaikan lokasi-lokasi itu menjadi koloni Beijing. Semua inilah yang memicu rakyat, publik, menjadi frustrasi dengan Anda, Pak Presiden. Mereka hanya bisa memberikan julukan-julukan yang dimaksudkan sebagai pelampiasan kedongkolan mereka. Beginilah proses kemunculan berbagai julukan itu. Mereka takut menggunakan nama asli Anda ketika menulis komentar-komentar pedas. Rakyat heran. Kebijakan Anda menyusahkan rakyat sendiri tapi menyenangkan orang China. Dan cenderung menunjukkan kebodohan. Tentu saja wajar rakyat, minus buzzer Anda, menjadi tidak hormat kepada Anda.   Rocky Gerung dengan uacapan “bajingan yang tolol” itu harus diakui sebagai puncak kehilangan kesantunan seperti yang Anda curhatkan di MPR, kemarin. Ini hendaklah dilihat sebagai puncak frustrasi publik. Sebab, selama ini kritik-kritik santun tidak dipedulikan. Akhirnya, level kritik itu harus dinaikkan kadar diskursusnya oleh Bung Rocky. Anda, Pak Jokowi, memancing publik untuk meninggalkan kesantunan. Karena Anda pun tidak punya kesantunan itu. Lihat saja beberapa kali unjuk rasa publik yang Anda sepelekan atau bahkan Anda hina. Anda seharusnya membatalkan jadwal apa pun juga demi menghadapi unjuk rasa buruh 10 Agustus yang lalu. Beberapa kali unjuk rasa sebelumnya juga tidak Anda pedulikan. Apakah ini santun? Jadi, kalau Anda merasa kesantunan mulai luntur, itu adalah cerminan dari ketidaksantunan Anda sendiri kepada rakyat. (*)