OPINI

Pilihan Tidak Netral Jokowi, Itu Bentuk Kecemasan Diri Sulit Disembunyikan

Semua kasat mata tampak ditempuh guna menjegal pencapresan Anies Baswedan. Dilakukan dengan segala cara tanpa risih, bahwa yang dilakukan itu hal tidak semestinya. Menganggap apa yang dilakukan meski dengan ugal-ugalan itu bisa diterima. Tentu tidak mesti demikian. Oleh: Ady Amar - Kolumnis Kepanikan terkadang memunculkan sikap-sikap penuh keanehan. Bisa diam membisu, dan itu murni karena diri tak berdaya. Tapi ada kecemasan yang memunculkan kenekatan tersendiri. Dan, itu bisa karena sokongan kekuasaan yang dipunya. Kenekatan yang menghadirkan sikap otoriter memaksa sesuai kehendaknya. Melihat sikap dan tindakannya--meski dengan melanggar azas kepatutan--kita seperti dipertontonkan melihat orang nekat yang bertindak tanpa berpikir. Padahal sikap yang muncul itu bentuk kecemasan yang sangat, yang lalu diekspresikan menjadi laku nekat. Agaknya sikap nekat Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan melanggar azas kepatutan, itu sebenarnya bentuk kepanikan tersendiri. Sehingga muncul pernyataan yang tidak sepatutnya disampaikan, dan itu dengan terang-terangan. Sekalipun itu disuarakan dalam hati saja, itu sudah menyalahi azas kepatutan. Apalagi itu diucapkan terang-terangan seolah disadarinya. Enteng meluncur saja dari mulutnya,  suara hati yang sulit disembunyikan dan perlu disampaikan jadi konsumsi publik. Pernyataan Jokowi teranyar seperti menantang azas kepatutan untuk tunduk dengan apa yang diinginkannya. Persetan dengan azas kepatutan--demi rakyat dan bangsa, saya akan cawe-cawe dan tidak netral. Tampak sebagai sikap jumawa yang ditampakkan, yang sebenarnya itu ekspresi kepanikan, yang dimanifestasi jadi kenekatan. Muncul ulah diluar kepatutan menantang-nantang akal sehat. Apa yang disebutnya dengan cawe-cawe dan tidak akan netral dalam pemilu, penekanannya lebih pada estafet kepemimpinan nasional. Bersandar seolah itu demi rakyat dan bangsa, itu boleh jika disebut tipu-tipu menyederhanakan masalah. Menjelma jadi raja absolut, yang terbiasa melanggar azas kepatutan, jika itu menyangkut apa yang diinginkan. Tidak perlu berpikir, bahwa apa yang diniatkannya untuk cawe-cawe dan tidak netral dalam suksesi kepemimpinan nasional, akan memunculkan perlawanan yang sulit dihindarkan. Parlemen yang tidur panjang tidak mustahil akan bangkit mengoreksinya, bahkan memakzulkannya. Jika parlemen tak juga terjaga, bisa jadi rakyat akan bergerak dengan caranya. Tidak mustahil terulang aksi yang lebih dahsyat dari 1998, tumbangnya rezim otoriter Suharto. Kejatuhan mengenaskan, yang tentu  tidak diharap terulang kembali. Cost-nya terlalu mahal. Rasa panik mengakhiri masa jabatan sebagai presiden--itu yang tampak dan jadi analisa berbagai pihak--memunculkan kenekatan tersendiri. Meski dengan menabrak azas kepatutan dan, atau aturan ketatanegaraan. Memaksa bagai raja semaunya dalam menghadirkan penggantinya  dengan dalih pembangunan haruslah berkelanjutan menurut versinya, itu menunjukan sikap aneh. Jokowi berharap semua yang dikerjakan tidak akan terkoreksi dengan munculnya arus perubahan yang tak dikehendaki. Karenanya, ia perlu memastikan penggantinya, dan itu dengan cawe-cawe, yang semestinya itu hak rakyat untuk memilih siapa yang dikehendaki menggantikannya. Sikap tidak netral itu bentuk menjegal satu pihak, dan agar calon presiden yang di-endorse itu muncul jadi penggantinya. Segala cara untuk menghentikan Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP), yang mengusung Anies Baswedan terus dilakukan lewat berbagai cara. Peninjauan Kembali (PK) Moeldoko, itu upaya merampas Partai Demokrat dari tangan Agus Harimurti Yudhoyono, tengah bergulir di Mahkamah Agung (MA). Memang belum diputus siapa yang berhak atas Partai Demokrat, tapi setidaknya apa yang \"dibocorkan\" Prof Denny Indrayana, bahwa kemungkinan kasus PK Moeldoko bisa jadi akan tukar guling dengan kasus petinggi MA yang tengah dibidik Kejaksaan. Artinya, MA akan memenangkan Moeldoko. Karenanya, anak buah Jokowi itu yang berhak atas Partai Demokrat. Jika itu terjadi, maka pupus sudah pencapresan Anies Baswedan. Itu skenario yang dimainkan. Tapi tunggu dulu, pastilah itu belum selesai,  Tuhan punya rencananya sendiri, yang mustahil itu bisa terkoreksi. Semua kasat mata tampak ditempuh guna menjegal pencapresan Anies Baswedan. Dilakukan dengan segala cara tanpa risih, bahwa yang dilakukan itu hal tidak semestinya. Menganggap apa yang dilakukan meski dengan ugal-ugalan itu bisa diterima. Tentu tidak mesti demikian. Tidak netral itu identik dengan menghadirkan ketidakadilan. Maka menjadi aneh jika sikap tidak netral yang akan dilakukan  Presiden Jokowi diutarakan dengan menarik-narik demi kepentingan bangsa, seakan itu hal sepatutnya. Sikap tidak netral, dan itu ketidakadilan yang diterus-teruskan. Pada saatnya akan memunculkan perlawanan rakyat mengoreksi dengan kerasnya. Semua akan tiba pada saatnya untuk mengakhiri ketidakadilan, dan itu pasti. **

Jangan Teriak Politik Identitas

Oleh M Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan  JIKA tokoh Islam termasuk politisi menampilkan atribut keagamaan khususnya keislaman maka pejabat yang mengklaim dirinya nasionalis teriak \"politik identitas !\". Para buzzer ikut-ikutan teriak pula \"jangan politisasi agama  !\". Teriakan seolah agama itu adalah barang terlarang yang haram untuk dibawa ke ruang publik apalagi politik.  Liciknya sasaran itu hanya untuk aspek keagamaan, lainnya tidak. Lihat pada peringatan 1 Juni 2023 kemarin dimana Jokowi dan para Menteri termasuk Menteri \"349 Trilyun\" Keuangan, Sri Mulyani menggunakan pakaian adat. Tampilan itu tidak disebut sebagai politik identitas. Padahal itu adalah identitas adat yang dibawa ke kancah politik.  Rezim Jokowi memang menggunakan standar ganda alias munafik.  Sebagaimana pernah diungkapkan oleh seorang tokoh Islam bahwa agama sekarang ini seolah diposisikan sebagai terdakwa. Jokowi terkesan memusuhi dan tidak suka agama itu memiliki peran signifikan dalam pembangunan bangsa. Agama diterima dan ditempatkan hanya sebagai asesori. Tidak boleh ada kekuatan politik beridentitas agama. Jikapun ada maka harus dilumpuhkan. Dengan deradikalisasi dan moderasi.  Penting untuk menghindari teriakan politik identitas karena spektrumnya luas sekali dari otoritarian hingga demokrasi, kesetaraan hingga keberpihakan, dari agama hingga adat istiadat, modern hingga kearifan lokal. Bukan hanya baju koko atau jilbab yang dapat dipolitisasi, baju adat juga sama saja. Jokowi gemar melakukan politik identitas.  Peringatan 1 Juni kemarin ternyata sarat dengan politik identitas. Di samping tampilan pakaian adat juga substansi Pancasila 1 Juni 1945 yang digembor-gemborkan. Pancasila yang telah disepakati bersama seluruh bangsa Indonesia seharusnya adalah Pancasila yang ditetapkan 18 Agustus 1945.  Pada tanggal 1 Juni  1945 belum ada Pancasila sebagaimana rumusan sekarang. Pancasila belum lahir tetapi masih dalam tahap penggodokan atau pembahasan. Bahkan tanggal 1 Juni 1945 baru dibentuk tim perumus yang dikenal dengan \"Panitia Sembilan\". Pada tanggal 22 Juni 1945 Panitia Sembilan selesai bekerja. Lahirlah Pancasila.  Ketika yang dimaksud adalah kelahiran berbasis kesepakatan semua, maka itu pada tanggal 18 Agustus 1945 yakni sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan. Rumusan Pancasila tersebut tertuang dalam Mukadimah UUD 1945.  Karenanya tanggal 1 Juni 1945 bukan hari lahir Pancasila tetapi hari embrio Pancasila. Itupun jika hendak diperingati dan diupacarakan. Presiden Soekarno sendiri dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni 1945 tidak menyatakan telah lahir Pancasila.  Jokowi dalam beberapa kali acara resmi kenegaraan selalu tampil menggunakan pakaian adat. Bukan pakaian nasional. Tampilan primordial ini adalah politik identitas. Bukan tidak boleh, ya boleh boleh saja. Kita harus bangga dengan kekayaan adat istiadat bangsa.  Masalahnya adalah serangan dengan tuduhan politik identitas yang tertuju pada aspek keagamaan.  Kebijakan sehat adalah menjadikan identitas adat dan identitas agama ataupun identitas lain yang menggambarkan keragaman dan kekayaan bangsa Indonesia itu dikembangkan dan disinergikan sebagai kekuatan pembangunan bangsa dan negara.  Jangan berlaku tidak adil dimana tampilan keagamaan dalam politik dituduh sebagai politik identitas sementara dirinya sendiri melakukan politisasi adat istiadat. Politik identitas juga.  Saatnya membangun negeri dengan kejujuran, keadilan dan toleransi yang hakiki. Bukan basa basi. Negeri ini butuh pemimpin yang mampu menampilkan identitas berkarakter dan menjadi teladan. Pemimpin negarawan.  Jangan berteriak-teriak mengenai politik identitas. Tanpa identitas negara ini akan hancur lebur. Pancasila adalah identitas bangsa. Pancasila 18 Agustus 1945. Bandung, 2 Juni 2023

Aku Cawe-cawe, Mau Apa?

Oleh Smith Alhadar - Penasihat Institute for Democracy Education (IDe) SUARA itu menakutkan: demi bangsa, aku tidak bisa netral. Pernyataan ini hanya mungkin datang dari orang jahil, arogan, dan overconfidence. Meletakkannya dalam konteks persaingan bakal capres Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto, dan Anies Baswedan, Jokowi menyatakan ia berpihak pada Ganjar dan Prabowo. Anies harus disingkirkan dari arena pilpres. Seluruh malaikat pun menangis menyaksikan sikap culas pemimpin yang tak tahu diri ini. Memangnya lu siapa? Kok begitu percaya diri, mengabaikan amanat konstitusi, etika, aspirasi rakyat, dan desakan cendekiawan agar pilpres berjalan fair. Bak diktator menjelang lengser keprabon, Jokowi ngotot yang berkompetisi hanya dua pasang capres-cawapres: Ganjar dan Prabowo dengan pasangan cawapres masing-masing. Komposisi capres-cawapres yang didukungnya bisa berubah, tapi dalam kondisi apapun Anies tak boleh ikut kompetisi. Banyak orang marah, tapi Jokowi anggap enteng: memang kalian bisa apa? Yang juga mengganggu akal sehat kita adalah dukungan pada bakal capres yang cacat, dan menolak capres ideal. Prabowo terlibat penculikan 9 aktivis meskipun kemudian yang bebaskan semuanya. Ia juga diberitakan luas hendak mengambil kekuasaan menjelang Soeharto lengser. Terakhir, Prabowo terlihat menjilati Jokowi, mantan pesaingnya yang berkhianat kepadanya,  yang menimbulkan pertanyaan publik terhadap kejujurannya. Rekam jejak Ganjar tak lebih baik. Tidak ada prestasinya selama memimpin Jawa Tengah sebagai gubernur dua periode. Provinsi itu menjadi yang termiskin di Pulau Jawa. Kasus intimidasi Ganjar terhadap warga desa Wadas dan ketidakpeduliannya pada keluhan warga Pegunungan Kendeng mengingatkan kita pada perilaku Orde Baru. Tak kurang penting, ia diberitakan terlibat korupsi proyek e-KTP. Anies bebas dari cacat apapun dalam konteks calon pemimpin negara. Rekam jejaknya ketika memimpin Jakarta mendapat apresiasi luas dari dalam maupun luar negeri. Ia cerdas, berintegritas, dan akuntabel. Alhasil, tak ada unsur apapun yang mungkin menghubungkannya dengan Orba dan kebijakan korup. Asli ia putera reformasi. Kita tidak perlu tahu -- dan harus tidak tahu -- parameter  yang digunakan Jokowi dalam menentukan tokoh yang layak dan tidak layak menggantikannya. Seolah ia dewa. Memang sikap ini menunjukkan Jokowi orang berani. Berani ngawur dan tidak takut malu. Juga berani abai terhadap kritisisme. Ini hanya mungkin muncul dari orang yang ketakutan terhadap legacy-nya yang barangkali akan mengancam dia dan keluarganya pasca lengser. Ketakutan demikian dengan sendirinya menghilangkan akal sehatnya. Sampai-sampai ia tak mengindahkan norma demokrasi dan konstitusi, membuang kewajibannya untuk berlaku netral dan menjamin pilpres berjln fair. Memang orang seperti ini tidak mungkin menerima nasihat. Bisa jadi diam-diam ia telah menerima wangsit bahwa presiden adalah pemilik kebenaran. Maka, dia berhak menentukan apa saja yang terkait nasib bangsa. Kita mau bilang apa!? Ia melihat hasil jajak pendapat lembaga-lembaga surve yang menyatakan tingkat kepuasan publik terhadap kinerja yang cukup tinggi sebagai pembenaran publik terhadap semua yang dilakukannya. Dia lupa bahwa publik yang sama tidak menghendaki mandatnya diperpanjang atau Jokowi tiga periode. Jokowi terlena dengan puji-pujian palsu dari oligarki dan mereka yang mendapat keuntungan dari pemerintahannya. Juga dari mereka yang ketakutan pada hantu Islam yang mereka ciptakan sendiri, seperti yang diperlihatkan Jusuf Wanandi, pendiri CSIS yang sejak dulu melihat Islam sebagai ancaman terhadap kepentingan minoritas.  Sementara, suara pendukung Jokowi sangat gaduh, memaki siapa saja yang coba menyalahkan junjungan mereka. Mereka berbaris di belakangnya dengan tertib seperti itik pulang kandang sambil berteriak \"sami\'na wa ata\'na\": kami dengar dan kami taat. Dengan sendirinya membuat Jokowi makin percaya diri, ugal-ugalan, dan siap berbuat salah lagi sambil tertawa-tawa. Di hadapan para pemimpin media dan influencer medsos, dia bilang saya memang harus cawe-cawe dalam urusan pilpres demi bangsa dan negara ke depan. Kita bertanya: sejak kapan dia memikirkan nasib bangsa? Prihatin paada nasib bangsa kok menumpuk utang, melayani oligarki dan kepentingan Cina, memiskinkan rakyat, dan menghambur-hamburkan uang rakyat dan infastruktur yang mubazir! Wajar kalaul kita heran melihat ia mengklaim semua yang dilakukannya  benar semuanya. Heran kita, kendati yang dilakukan hampir semua amburadul, dia mengharuskan penggantinya melanjutkan legacy-nya. Hanya kriminal yang berpikir seperti ini, biar kejahatan-kejahatan yang dilakukan dapat disembunyikan atau dilindungi. Maka, kita melihat dia mengutak-atik pilpres seenak perutnya. Institusi-institusi hukum dan organ Istana diperalat untuk menyingkirkan Anies dan menganiaya lawan politiknya sambil mengatur konfigurasi koalisi dengan bakal capres-cawapres masing-masing. Kita tak habis pikir bisa-bisannya dia mengatur  ini. Memangnya Indonesia ini monarki miliknya dan krn itu hanya dia yang berhak mewariskan kepadad siapa yang dia sukai? Padahal, Nabi Muhammad pun tdk mewariskan negara kepada Sahabat-sahabatnya yang moralis, berintegritas, cerdas, dan mukhlis. Tak kalah aneh, dia merasa diri superior, menolak bercermin diri pada sikap presiden pendahulunya, sebut saja SBY, yang jauh lebih cerdas dan berprestasi daripada dia. Biar begitu, SBY lebih rendah hati, tahu keterbatasannya, dan patuh pada konstitusi. Kita tahu para pakar hukum tatanegara dan aktivis demokrasi sudah memperingatkannya bahwa segala cara yang dia lakukan untuk menyingkirkan Anies tidak benar. Apa salah Anies? Lagi pula, apa mungkin capres yang didukungnya akan melanjutkan legacy-nya? Sama sekali tidak dan memang tidak mungkin. Mereka akan menjalankan kebijakan sesuai realitas yang mereka fahami. Pembangunan infrastruktur yuga ngawur dan ceroboh, seperti IKN, sangat mungkin tidak akan dilanjutkan siapa pun yang akan menggantikannya. Pasalnya, proyek itu tidak layak, tidak realistis, tidak populer, dan menguras sumber daya negara. Boleh saja hari ini mereka berjanji meneruskan legacy-nya demi didukung Jokowi. Setelah mnjd presiden mereka akan bersikap \"siapa lu, siapa gue\". Lg pula, menurut hasil survey Litbang Kompas terkini, hanya 16% responden yang menyatakan akan mencoblos capres yang didukung Jokowi. Dus, kalau presiden terpilih mengkhianati janji mereka, apa yang bisas dilakukan Jokowi yang telah menjadi orang kebanyakan? Memangnya dia bisa ke Istana lalu memarahi Ganjar atau Prabowo atau lainnya yang menolak melanjurkan legacy-nya? Mimpi kali. Jokowi harus dibangunkan dari ilusi bahwa capres yang didukungnya akan memenuhi janji mereka. Memangnya Jokowi melanjutkan legacy SBY? Kalau dia saja tak mau mengekor pada pendahulunya, bagaimana mungkin dia berharap penggantinya akan melakukannya? Apalagi, sebagian besar legacy-nya bermasalah. Kita perlu memperingatkan Jokowi untuk berhenti berkhayal bahwa apa yang dilakukan  pemerintahannya merupakan kesuksesan besar dan karena itu akan membawa kejayaan bangsa bila diteruskan penggantinya. Hanya monarki komunis di Korea Utara yang berpikir seperti ini. Turunlah ke bumi dari kahyangan untuk menyadari bahwa realitas ekonomi, politik, dan sosial, yang diciptakannya merupakan pengrusakan bangsa dan negara yg hampir menyeluruh. Dalam konteks ini, Soeharto tampak innocent dibandingkan Jokowi. Bakal capres yang didukung Jokowi -- apakah mereka akan melanjutkan legacy-nya atau tdk -- kecil kemungkinan mampu menambal kerusakan yang telah terjadi. Kalaul saja mereka meneruskan, maka hanya malapetaka yang akan dihadapi bangsa ini. Dus, cita-cita menghadirkan Indonesia yang Jaya pada 2045, bertepatan dengn satu abad kemerdekaannya -- hanya mimpi di siang bolong. Kalau bakal capres dukungan Jokowi mengambil jalan berbeda, hasilnya tak bakal jauh berbeda karena, selain tak punya gagasan sbgm Jokowi, mereka nirprestasi dan nirintegritas. Kl Jokowi \"waras\" dalam konteks \"demi bangsa dan negara ke depan\", maka mestinya dia mendukung Anies, tokoh yg bersih dan visioner. Itu pun simpatisannya, bhkan Anies sendiri, menolak cawe2 presiden dlm pilpres. Mereka hanya ingin presiden netral sehingga demokrasi kita menjadi lebih matang dan pemilu mendapat legitimasi. Anies dan pendukungnya tak akan menyesal kalau kalah dalam kontestasi yang jujur dan adil. Dalam kompetisi apapun, kompetitor harus berani kalah agar karakter sportif bangsa bisa terbangun. Jokowi tak perlu jumawa bahwa tak ada kekuatan manapun yang dapat menghadirkan ancaman trhdpnya, seburuk apapun yg dia lakukan. Toh, skrng ia telah menguasai semua institusi negara, pemimpin parpol, relawan, rakyat kecil, dan buzzer -- dan jg berhsl menciptakan ketakutan luas trhdp oposisi -- yang siap membenarkan apapun yang dia lakukan. Yang dia lupa, sejarah tak pernah mengagungkan tokoh culas dan jahil. Sekarang bs sj kita tak berdaya menghentikan cawe2nya. Tapi masih ada hari esok dan perlawanan terhadapnya kian luas.  Bukan tidak mungkin cawe-cawe itu berujung pada nasib buruk yang akan dipikulnya kelak. Tak cukupkah pelajaran dari nasib Soeharto? Tangsel, 1 Juni 2023

Pancasila Sudah Dikubur

Oleh Sutoyo Abadi - Koordinator Kajian Politik Merah Putih  SEJAK amandemen UUD 45 menjadi UUD 2002 dan UU RI nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan serta UU RI nomor 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang tahun 2005 - 2025 dihancurkan, negara langsung oleng berjalan tanpa arah. Rakyat mulai berteriak kembali ke UUD 45 dan meminta dihadirkan kembali GBHN. Dari hasil kajian hukum normatif bahwa UUD amandemen 2002 tidak konsisten dan tidak koheren dengan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum di Indonesia, tertib hukum di Indonesia sudah berantakan. Fakta menunjukkan bahwa UUD 2002 tidak meletakkan budaya hukum dalam sistem hukum di Indonesia. Substansi budaya hukum \"Bhinneka Tunggal Ika\" pada awalnya dirumuskan sebagai \"Dewan Perwakilan Daerah ( DPD )\". Realisasinya DPD hanya sebagai suatu badan komplementer. DPD tidak memiliki original power, tidak memiliki kekuasaan pengawasan anggaran, serta kekuasaan legislasi. UUD 2002 juga tidak meletakkan \"musyawarah mufakat\" sebagai terkandung dalam budaya filosofi Pancasila. UUD 2002 hakikatnya bukan merupakan hasil amandemen dan tidak ada hubungannya dengan revolusi perjuangan bangsa 17 Agustus 1945, melainkan sebagai pengganti (renew) UUD 45. Kata lain UUD 2002, sebagai pembubaran negara Proklamasi 17 Agustus 1945, ini merupakan kebohongan besar kepada seluruh rakyat Indonesia. Dalam perjalanan sejarah sampai terjadinya amandemen empat tahap hakekatnya telah mengganti UUD 45 menjadi UUD 2002 merupakan penjabaran ke ideologi lain yaitu ideologi liberal - individualisme. Sekalipun UUD 2002 masih mencantumkan dasar filsafat negara Pancasila pada Pembukaan UUD 45 Alinea IV, Pancasila sudah dikubur oleh bangsanya sendiri.  Nilai-nilai Pancasila telah di matikan dikubur, disingkirkan menjadi dengan filosofi liberal, individualisme dan pragmatisme. Rumusan Pancasila dalam pembukaan UUD 45 Alinea ke IV hanya sekadar rumusan verbal. Negara saat ini bukan lagi berdasarkan Pancasila roh Pancasila sudah diusir dari bumi Indonesia. Kesesatan negara saat ini hanya bisa dipulihkan dengan kembali ke UUD 45 , kembalikan negara sesuai tujuan awal Indonesia merdeka untuk keselamatan, kesejahteraan dan cita-cita kemakmuran bersama. ****

Survei vs Polling Twitter

 Oleh Yarifai Mappeaty - Kolumnis  SEMENJAK akun twitter @ILC Talkshow TV One melakukan polling elektabilitas Capres, diikuti sejumlah akun twitter lainnya yang memiliki follower hingga ratusan ribu, membuat publik bertanya-tanya mengenai perbedaan survei dan polling twitter. Bahkan debat tentang kedua hal tersebut sulit dielakkan, dan menarik diikuti.  Survei, setidaknya menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), adalah sebuah nomina yang berarti penyelidikan, peninjauan, pengukuran. Lebih dari itu, survei adalah suatu metodologi riset kuantitatif, yang belakangan banyak digunakan dalam penelitian sosial, khususnya jajak pendapat.  Di Indonesia, survei opini publik dalam dua dekade terakhir, begitu mengemuka. Akibatnya, survei mengalami reduksi makna, sehingga lebih dipahami sebagai metode yang setara dengan polling. Keliru. Mengapa? Sebab polling adalah salah satu metode survei. Dengan kata lain, polling pasti survei, tetapi survei, belum tentu polling. Oleh karena itu, survei dan polling tidak untuk dipertentangkan. Kegiatan survei opini oleh berbagai lembaga survei selama ini, sebenarnya, juga adalah polling atau jajak pendapat, dilakukan secara bertatap muka atau wawancara langsung dengan responden yang terpilih. Untuk membedakannya dengan polling, penulis menyebutnya sebagai survei tatap muka.  Sedangkan survei yang dilakukan tanpa bertatap muka dengan responden dengan menggunakan telpon, surat, surel, internet, itulah yang dipahami sebagai polling. Jika menggunakan batasan ini, maka survei yang dilakukan SMRC dan Charta Politika dengan metode random digital dialing (RDD) baru-baru ini, pun dapat disebut polling. Ada juga polling di mana responden yang proaktif menghubungi pollster, yaitu, polling yang diselenggarakan melalui akun twitter. Di sini, responden sendiri yang menjadikan dirinya sampel, bukan pollster. Sedangkan pollster hanya diam menunggu, persis seperti seorang nelayan yang sedang tidur-tiduran usai memasang bubu perangkap ikan.  Polling pasif. Namun, opini yang diperoleh dengan cara ini tentu sangat murni dan objektif, karena responden sangat independen. Kelemahannya, sebaran responden tidak proporsional mereprensentasikan seluruh wilayah yang hendak diukur. Jika metode RDD memiliki kelemahan yang sama, maka seharusnya polling twitter lebih presisi karena sampelnya lebih besar, dan rilisnya jauh lebih jujur.  Bagaimana presisi polling twitter jika dibandingkan dengan survei tatap muka? Sejauh dilakukan dengan benar dan dilaporkan secara jujur, penulis masih meyakini bahwa survei tatap muka tentu jauh lebih presisi, kendati sampelnya lebih sedikit, karena memang dirancang untuk itu.  Kalaupun presisi keduanya diperbandingkan, lebih karena laporan survei yang disuguhkan selama ini, sangat kontradiktif dengan realitas di lapangan. Survei Indikator Politik Indoneisa, misalnya elektabilitas Ganjar Pranowo, 34%; sedangkan Anies PP, 22% (dibulatkan)  Coba kita nalar. Jika jumlah pemilih Pilpres pada 2024 sebanya 205 juta jiwa, maka Ganjar dengan0P0 elektabilitas 34%, memiliki pendukung sebesar 70 juta lebih (34% x 205 juta). Jika diratakan, maka pendukung Ganjar disetiap provinsi sebanyak 2 juta. Dengan pendukung sebesar itu, mestinya Ganjar disambut dan dielukan oleh ratusan ribu massa ketika berkunjung di daerah. Tetapi realitasnya, kita tak pernah menyaksikan kunjungan Ganjar sampai memacetkan jalan yang dilaluinya. Tengok kunjungannya, baik di Jawa maupun di luar Jawa, sama sekali tak mencerminkan bahwa ia pemilik elektabilitas 34%. Kunjungannya di Manado yang nota bene basis PDIP dan Palembang baru-baru ini, turut mempertegas realitas itu. Aneh, bukan? Padahal Ganjar kurang apa? Memiliki partai paling kuat dengan jumlah bupati dan gubernur paling banyak, sehingga tidak sulit memobilisasi massa. Punya duit banyak karena setiap datang membagi-bagi sembako plus door prize. Tetapi yang terjadi, kunjungannya tetap saja sepi. Tak sebanding antara besarnya panggung dan jumlah pengunjung. Paradoks. Sedangkan Anies, justeru sebaliknya. Sambutan puluhan ribu massa pada setiap kunjungannya, tak mencerminkan kalau elektabilitasnya paling rendah. Juga paradoks  bukan? Boleh jadi karena kondisi paradoks itulah yang melatari akun @ILC Talkshow sampai menyelenggarakan polling untuk menguji realitas Ganjar dan Anies. Premis yang digunakan sederhana, yaitu, sambutan massa berbanding lurus dengan hasil polling.   Hasilnya? Di luar dugaan. Pantas sambutan massa selalu membludak pada setiap kunjungan Anies, karena hasil polling-nya memang sangat tinggi, 65%. Bandingkan dengan hasil polling Ganjar, hanya 16%, sehingga juga logis kalau sambutan massa terhadap dirinya, sepi. Tak terima hasil polling @Talkshow TV one, Ferdinand Hutahaean melakukan polling yang sama melalui akun twitternya. Tujuannya, selain hendak menegasi hasil poling @Talkshow TV One, juga untuk mempermalukan Anies. Tetapi, apa yang terjadi kemudian? Justeru Ferdinand yang malu sendiri setelah melihat hasilnya. Semenjak itu, Ferdinand tak berani lagi mencobanya.  Polling yang diselenggarakan oleh sejumlah akun seperti CNBC Indonesia, Kumparan.com, Medaninsider.com, juga @Subur0204 yang menyandingkan Ganjar dengan kotak kosong, bahkan dengan sandal jepit, seolah hendak menegaskan kalau survei tatap muka oleh sejumlah Lembaga survei opini publik selama ini, memang bertujuan untuk framing. Penulis membayangkan, jika saja ada aplikasi polling twitter mampu mengelompokkan responden berdasarkan domisilinya secara otomatis, maka mungkin akan jauh lebih presisi dan biayanya sangat-sangat murah. (*) Makassar, 01 Juni 2023

Mahfud Bakal "Keok" Lawan Denny?

Oleh M Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan DENNY Indrayana membuat heboh dengan menyampaikan \"informasi\" bahwa MK akan memutuskan sistem pemilu proporsional tertutup. Ini adalah sistem usulan PDIP yang ditentang banyak partai politik. Mahfud MD kebakaran jenggot, menyalahkan Denny karena melakukan pembocoran \"rahasia negara\". Alasannya putusan tersebut belum dibacakan Majelis Hakim.  Denny bukan Guru Besar kaleng-kaleng. Ia mantan Wakil Menteri Hukum dan Ham yang juga memiliki Kantor Advokat di Jakarta dan Melbourne. Analisis hukumnya tajam dan meyakini pandangannya tidak melanggar etika dan hukum. Tidak ada pembocoran karena informasi itu ia dapat bukan dari lingkungan MK atau Hakim MK.  Mahfud MD \"menginstruksikan\" Polri untuk memeriksa Denny yang tentu siap untuk melayani. Denny memberi jawaban atau klarifikasi yang dikirimkan dari Melbourne. Jika benar Polri melakukan pemeriksaan maka akan ramai jadinya. Soal pembuktian apakah info itu \"rahasia negara\" atau bukan akan menunjukkan kualitas di antara keduanya.  Mahfud MD biasanya hanya bisa meributkan di awal tapi \"keok\" diujung. Coba lihat soal dugaan pencucian uang 349 Trilyun di Kemenkeu, betapa hebat dan patriotiknya Mahfud tetapi ujungnya melempem seperti krupuk basah. Satgas yang dibentuk bukan menuntaskan tetapi meredam. Mahfud MD itu \"kau yang mengawali kau yang mengakhiri\".  Kasus BTS 8,032 Trilyun sama saja, awal Mahfud \"gagah\" Mengunggah tapi ujungnya kabur dibuat tidak jelas kemana aliran dana tersebut. Jalan yang sudah  menuju terang berubah menjadi peta buta. Tantangan untuk buka-bukaan dijawab dengan tutup-tutupan. Padahal ini adalah masalah korupsi yang menjadi \"concern\" pak Mahfud, lho.  Mahfud seperti hebat mengkritisi korupsi bahkan cenderung menyalahkan rezim. Tapi lupa bahwa dirinya juga menjadi bagian penting dari rezim korup tersebut.  Mahfud MD yang meneriakkan Tap MPR No VI tahun 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa. Mengingatkan bahwa pejabat yang tidak dipercaya atau sudah tidak mampu seharusnya mundur.  Mahfud sendiri yang sudah semakin merosot kepercayaan dari rakyat dan terlihat sudah tidak mampu menunaikan tugas sebagai Menkopolhukam ternyata tidak mau mundur-mundur juga. Maju terus dengan teriakan yang semakin parau dan kadang memelas. Mengeras lalu melembek.  Dalam pertarungan adu kepintaran dengan Denny Indrayana rakyat sedang dan akan terus menonton. Seperti yang sudah-sudah Mahfud diprediksi akan melempem dan \"keok\". Denny Indrayana adalah Guru Besar yang konsisten dan mampu menjaga integritasnya.  Bagaimana dengan konsistensi dan integritas Mahfud ?  Melihat bukannya  berargumen soal dalil hukum tetapi justru menginstruksikan pihak Kepolisian, nampaknya Mahfud MD memang sedang mengalami \"political split personality\"  yakni sikap tidak ajeg, tidak kukuh dan tidak mencerdaskan. Bahkan \'menyengsarakan\' fikiran masyarakat. Membuat \'confuse\'.  Mestinya mengkritisi cawe-cawe Jokowi atau dugaan gratifikasi Firli, bukan mengkriminalisasi Denny. Justru Denny saat ini sedang mengingatkan bobroknya MK dalam mengambil keputusan hukum. Dinilai telah keluar dari rel hukum dan lebih mengikuti irama politik Istana.  MK tidak berfungsi sebagai pengawal Konstitusi tetapi bermimikri menjadi pembuat bid\'ah atas nama Konstitusi. Sayangnya Mahfud MD tidak ikut mengoreksi. Beraninya hanya melawan Denny, pakai Polisi lagi. Untungnya Denny cukup mumpuni dan siap melayani.  Mari kita lihat nanti, siapa pemegang kendali rezim atau oposisi? Rezim yang telah berusia senja sulit untuk mempertahankan posisi. Sebentar lagi masing-masing akan lari untuk menyelamatkan diri. Bandung, 1 Juni 2023

Menggugat Penetapan 1 Juni Sebagai Hari Lahir Pancasila Sebuah Wacana Kritis

Oleh Pierre Suteki - Guru Besar Hukum Undip A. Pengantar Hingga sekarang ini ternyata polemik tentang Hari Lahir Pancasila masih muncul ke pergulatan politik meskipun Pemerintah telah menetapkan hari lahir Pancasila tanggal 1 Juni 1945 melalui Keppres No. 24 Tahun 2016 tentang Hari Lahir Pancasila. Pada tahun 2020  lalu, hiruk pikuk RUU HIP, BPIP dan RUU BIP seolah warga dibangunkan untuk mengaitkannya dengan penetapan harlah Pancasila 1 Juni 1945 tersebut. Sebagian masyarakat merasa bahwa Usulan RUU HIP---yang kemudian digugurkan---- dan RUU BPIP yang beraroma moderasi, deradikalisasi paham komunisme dan otoritarianisme tidak dapat pisahkan dari skenario penetapan harlah Pancasila tanggal 1 Juni 1945. Seolah ada upaya untuk terus mengenang, memuja dan bahkan menjadikan pidato Ir. Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945 sebagai Ajaran Soekarnoisme yang pada akhirnya dinilai oleh beberapa pihak lebih berbau atau cenderung \"kekirian\", khususnya jika dikaitkan dengan Nasakom pada tahun 1965. Pada akhirnya, tidak dapat dipungkiri munculnya kecurigaan rasional bahwa pengajuan RUU HIP waktu itu dan RUU BPIP merupakan bagian dari roadmap pengejawantahan ajaran Seokarnoisme tersebut. Apakah hal ini dibenarkan jika kita mengingat bahwa Pancasila sebagai Dasar Negara telah disepakati ada, lahir pada tanggal 18 Agustus 1945 melalui pengesahan UUD NRI Tahun 1945? B. Pentahapan Kelahiran Pancasila Dasar Negara Secara penalaran, lahirnya suatu gagasan, ide, pemikiran yang terangkum dalam sebuah narasi way of life, ideologi dan juga dasar atau asas suatu negara sekalipun dapat dibagi menjadi 4 tahap: (1) Tahap Pembenihan, Pembibitan ide; (2) Tahap Pembuahan ide; (3) Tahap Perumusan ide; dan (4) Tahap Kelahiran ide. Demikian pula Pancasila sebagai basis atau fondamen pemerintah negara Indonesia didirikan juga tidak terlepas dari pentahapan tersebut. Ir Soekarna tidak pernah mengklaim dirinya sebagai pencipta Pancasila, melainkan hanya sebagai salah satu penggali nilai-nilai Pancasila yang telah ratusan tahun terpendam di bumi Nusantara Indonesia ini.  Pada TAHAP PERTAMA, cikal bakal manusia Indonesia telah dikenal memiliki kearifan lokal yang memenuhi karakter nilai-nilai Pancasila. Misalnya keyakinan terhadap Tuhan. Teori Wahyu yang dikemukakan oleh Wilhelm Schmidth (etonolog dan ahli bahasa Austria) menyatakan bahwa bangsa-bangsa di Nusantara meyakini adanya Tuhan dengan sebutan beraneka ragam, Alloh (Islam dan Nasrani), Sang Hyang Widhi Wase (Hindu), Gusti Pangeran (Jawa) dan lain-lainnya. Intinya penduduk yakin adanya sesuatu yang berada di luar kekuasaan alam dan manusia.  Persepsi terhadap kemanusiaan dan hakikat manusia juga dimiliki oleh penduduk di Nusantara. Dalam Suluk Wujil (Jawa) manusia diyakini sebagai mahluk monodualisme. Disebutkan pertanyaan mendasar: Apa manungsa iku? Manungsa iku loro ning datan loro. Lir tinon lawan ragane (Apa manusia itu? Manusia itu dua menjadi satu, yakni jiwa dan raga yang tampak sekaligus),  bahkan monopluralisme yang kemudian konsep ini dikembangkan oleh Prof. Notonagoro. Manusia bukan dimaknai sebagai substansi material seperti komunis dan kapitalis melainkan dimaknai lahir dan bathin, sehingga pemenuhannya tidak cukup aspek lahiriah melainkan juga batiniah.  Perihal persatuan, semangat bersatu kita temukan jejak bagaimana sejarah mengukir kesatuan bangsa, misalnya kesatuan penduduk dan wilayah serta keragama SARA dengan semboyan di Majapahit dengan kalimat Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa (Berbedalah, tetap menjadi satu kesatuan, tidak ada dharma kebaikan yang mendua). Permusyawaratan untuk mufakat juga sudah terbiasa dilakukan oleh para raja dan penduduknya. Adat adat musyawarah rembug desa di Jawa, adat adat begundem di Lombok bahkan tercatata dalam sejarah dalam kitab Negara Kertagama bahwa pengangkatan Gajah Mada sebagai Mahapatih Majapahit juga ditempuh dengan musyawarah.  Mengenai kedilan sosial, atau pengutamaan kesejahteraan sosial, kita bisa menyimak pembibitan nilai ini sejak zaman Sriwijawa dengan Raja Syailendra ketika membuat prasasti Kedukan Bukit 683 M. Pada prasasti itu tertulis saloka yang berbunyi: Marwat Vanua Srivijaya Jaya Sidhdhaayatra Subhiksa (Mendirikan Negara Sriwijaya Yang Jaya Sejahtera Sentausa). Hal ini menunjukkan komitmen Kerajaan Sriwijaya untuk mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh penduduk kerajaan.  Pada TAHAP KEDUA, menjelang kemerdekaan RI ada upaya yang tegas dari orang-orang terpelajar di Indonesia untuk memperjuangkan dan membela nilai-nilai yang dapat mendorong segala upaya untuk membebaskan diri dari belenggu penjajahan kaum imperialis. Ada Perhimpunan Indonesia, ada Indische Partij, ada PNI, ada PKI dan lain sebagainya. Organisasi-organisasi itu sengaja dibentuk untuk menyemai sekaligus mengawinkan nilai-nilai baru yang akan dipakai sebagai spirit perjuangan melawan penjajahan di bumi pertiwi Indonesia. Pada TAHAP KETIGA, nilai-nilai yang terpendam, disemaikan dan telah dicoba untuk dikawinkan, kemudian diusahakan untuk dikonkretkan dengan cara membuat rumusan agar lebih mendapatkan kepastian hukumnya. Terkait dengan Pancasila maka melalui  Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) para tokoh pendiri bangsa mencoba mengajukan dan merumuskan asas, dasar negara didirikan. Pada sidang BPUPK yang pertama (29 Mei sd 1 Juni 1945) ada beberapa tokoh yang mengajukan gagasan tersebut. (1) Mr Muhammad Yamin, mengajukan: Dalam pidatonya: 1. Peri Kebangsaan 2. Peri Kemanusiaan 3. Peri Ketuhanan 4. Peri Kerakyatan 5. Kesejahteraqn rakyat. Usulan secara tertulis: 1. Ketuhanan Yang Maha Esa 2. Kebangsaan Persatuan Indonesia 3. Rasa Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab 4. Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan Perwakilan. 5. Keadan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. (2) Pada tanggal 31 Mei 1945, Mr Supomo juga mengajukan lima dasar negara yaitu; 1. Persatuan 2. Kekeluargaan 3. Keseimbangan lahir dan bathin 4. Musyawarah 5. Keadilan Rakyat, (3) Pada tanggal 1 Juni 1945, Ir. Sukarno menyampaikan pidatonya. Dalam pidato itu, Ir  Sukarno juga mengajukan lima dasar negara didirikan yang kemudian diusulkan untuk diberi nama Pancasila (atas usulan ahli bahasa temannya, diperkirakan Mr Moh. Yamin). Lima dasar itu adalah: 1. Kebangsaan Indonesia 2. Internasionalisme dan perikemanusiaan 3. Mufakat atau demokrasi 4. Kesejahteraan sosial 5. Ketuhanan Yang Maha Esa. Bahan-bahan berupa usulan para tokoh pada sidang BPUPK pertama ini perlu digodog lebih lanjut. Oleh karena itu dibentuklah Panitia kecil pada tanggal 1 Juni 1945. Ada 9 orang dan diketuai oleh Ir. Sukarno. Panitia itu kita kenal dengan nama Panitia 9. Hasil kerja Panitia 9 berupa Piagam Jakarta atau juga disebut Mukadimah atau juga disebut Gentlement Agreements. Di dalam Piagam Jakarta ini termaktub lima dasar negara didirikan, yaitu: 1. Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. 2. Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. 3. Persatuan Indonesia. 4. Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan Perwakilan. 5. Keadan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Sampai di sini, usulan lima dasar negara didirikan tidak lagi pendapat perseorangan melainkan sudah menjadi MODUS, setidaknya wakil-wakil pada Panitia 9. Tidak ada ajaran pribadi di sini sekalipun oleh Ir. Sukarno. Jadi, kalau ingin menetapkan hari lahir Pancasila sebagia modus vivendi lebih tepat tanggal 22 Juni 1945 dibandingkan 1 Juni 1945.  Pada TAHAP KEEMPAT menjelang pengesahan UUD NRI 1945, atas 7 kata di belakang Ketuhanan pada sila pertama, tampaknya menimbulkan kegerahan bagi sebagian masyarakat Indonesia khususnya kalangan Non Muslim hingga menjelang sidang PPKI 7 kata itu dihapus dan pada saat pengesahan UUD 1945, 7 kata itu disepakati oleh PPKI untuk dihilangkan sehingga sila pertama Pancasila berbunyi \"Ketuhanan Yang Maha Esa\". Sila lainnya tetap bunyi dan susunannya.  Hingga di sini kita dapat menyaksikan bahwa Pancasila yang disahkan bersamaan dengan pengesahan UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945 ini benar-benar telah menjadi MODUS VIVENDI (Kesepakatan Luhur Final). Ketika sudah ada modus vivendi inilah, sebuah ide, gagasan dasar negara telah memperoleh legitimasi dan legalitasnya. Maka, lebih tepat HARI LAHIR PANCASILA ditetapkan pada tanggal 18 AGUSTUS 1945. TAHAP KELAHIRAN sebuah ide, gagasan dari sebuah bangsa tentang dasar negara RI telah tiba. C. Politik Hukum Penerbitan Keppres Harlah Pancasila Ada pertanyaan penting yang perlu diajukan yaitu: \"bagaimana legalitas dan legitimasi penetapan Harlah Pancasila tanggal 1 Juni sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Presiden (Keppres) No. 24 Tahun 2016?\" Saya akan sedikit mengkritisi Keppres ini, khususunya dari sisi politik Hukumnya, sebagai berikut: (1) Tidak ada urgensi penerbitan Keppres Dari sisi politik hukum, urgensi penetapan harlah Pancasila 1 Juni 1945 itu tidak ada karena hari kelahiran Pancasila sebenarnya sudah disepakati oleh bangsa Indonesia tanggal 18 Agustus 1945 dan tidak perlu diperdebatkan. Para ahli tata negara, dosen-dosen HTN dan Pancasila sebenarnya sudah sepakat secara legal konstitusional Pancasila lahir bersama pengesahan UUD 1945, yakni 18 Agustus 1945. Patut diduga sebenarnya tidak ada polemik, yang mungkin ada hanyalah kepentingan politik tertentu.  (2) Tidak ada cantolan hukumnya. Di sisi lain, Keppres No. 24 Tahun 2016 adalah Keppres yang sangat minim memperoleh dasar hukum berupa \"cantolan hukum\" pembentukan sebuag Keppres. Keppres ini hanya didasarkan pada Pasal 4 ayat 1 UUD NRI 1945 yakni tentang kewenangan Presiden untuk menjalankan pemerintahan menurut UU. Tidak ada satu pun UU, PP atau Perpres sekalipun yang menjadi dasar pembentukan Keppres ini.  (3) Tidak tepat status pengaturannya melalui Keppres. Sebagaimana diketahui bahwa Keppres itu dari sisi HTN dan HAN adalah sebuah produk hukum yang bersifat konkret, individual dan selesai. Lalu bagaimana bisa Hari Lahir Pancasila itu ditetapkan dengan Keppres yang punya sifat khusus dan tidak berlaku umum untuk seluruh rakyat? Saya diangkat menjadi Guru Besar itu dengan Keppres, bukan dengan PP atau Peraturan Presiden (Perpres) yang sifatnya abstrak dan umum. Menyangkut soal dasar negara, ideologi negara saya kira harlahnya tidak tepat dituangkan dalam bentuk Keppres yang pertimbanangan hukumnya lebih individual dan subjektif. Oleh karena menyangkut soal negara maka pertimbangannya tidak boleh sepihak melainkan harus melibatkan para wakil rakyat yang duduk di DPR dan MPR, sekaligus melibatkan PARTISIPASI RAKYAT sebagaimana diatur dalam UU No. 12 Tahun 2011 tetang PPP. Oleh karena itu penetapan harlah Pancasila lebih tepat dengan UU atau jika mungkin dengan Ketetapan MPR. Mengapa harus dengan UU atau Ketetapan MPR? Hal ini dilakukan agar tidak mudah diubah sesuai dengan kemauan rezim yang berkuasa secara sepihak. D. Implikasi Penetapan Harlah Pancasila 1 Juni 1945 Implikasi penetapan 1 Juni 1945 sebagai hari lahir (harlah) Pancasila.  (1) Adanya upaya untuk terus mengembangkan pidato 1 Juni 1945 sebagai Ajaran Soekarno atau Soekarnoisme oleh partai politik tertentu dan bahkan menjadikannya sebagai Visi partai tersebut plus upaya pemerasan Pancasila  menjadi Trisila dan Ekasila. (2) Pergeseran urat tunggang Pancasila dari Ketuhanan Yang Maha Esa (religiusitas) menjadi Gotong Royong (tidak dijamin religiusitasnya). Hal ini tercemin dalam RUU HIP dan Visi sebuah partai pengusungnya.   (3) Terkesan ada upaya melakukan moderasi atau deradikalisasi terhadap paham komunisme, Marxisme-leninisme melalui RUU HIP yang diusung oleh partai yang bervisi Pancasila 1 Juni 1945. Kecurigaan ini tidak berlebihan ketika kita menyaksikan keterangan dari anggota parlemen yang menyatakan bahwa mantan dan para anak cucu PKI berlindung pada partai tersebut. Jumlahnya pun tidak sedikit, mencapai 15 juta hingga 20 juta orang.    (4) Melalui penetapan harlah 1 Juni 1945, kita juga menangkap kesan bahwa Pancasila lebih dikembangkan sebagai IDEOLOGI NEGARA dibandingkan dengan Pancasila sebagai DASAR NEGARA. Sementara itu, Pancasila di Pembukaan UUD 1945 itu harus dimaknai sebagai dasar negara yang wajib diamalkan oleh para penyelenggara pemerintah negara ( legislatif, yudikatif dan eksekutif) bukan oleh warga negara. Ketika Pancasila ditekankan pada ideologi negara, maka akan mudah dilahirkan TAFSIR TUNGGAL Pancasila yang berpotensi menjadi ALAT GEBUK rezim terhadap pihak lain yang berseberangan dengan rezim penguasa. Hal ini sudah tercermin dalam RUU HIP---yang sudah kandas----maupun RUU BPIP.    Berdasarkan argumentasi tersebut di muka baik dari sisi politik hukumnya maupun implikasi penetapan harlah Pancasila 1 Juni 1945, maka Keppres No. 24 Tahun 2016 kiranya patut untuk digugat serta kembali pada Pancasila sebagaI MODUS VIVENDI yang lahir pada tanggal 18 Agustus 1945 bersamaan pengesahan UUD NRI 1945. Upaya untuk membangkitkan ajaran yang tidak sesuai bahkan terkesan hendak mengganti Pancasila Dasar Negara 18 Agustus 1945 harus dimaknai sebagai perbuatan MAKAR IDEOLOGI/DASAR NEGARA sebagaimana telah diatur dalam UU No. 27 Tahun 1999 jo Pasal 107 huruf a, b, c, d, e, dan f KUHP yang diancam hukuman penjara paling lama 12 hingga 20 tahun. Jika hal itu dilakukan oleh sebuah partai politik, maka sesuai dengan UU Parpol, parpol tersebut dapat diusulkan oleh Presiden untuk dibubarkan melalui mekanisme pembubaran partai politik di Mahkamah Konstitusi  (MK).    E. Penutup   Mungkin bagi kalangan tertentu hari lahir sebuah ide, gagasan, ideologi atau apa pun namanya itu tidak penting. Namun, ketika hari lahir gagasan atau ideologi itu dimaknai bukan sekedar istilah (wadah) melainkan persoalan konten dari sebuah ide dasar, maka hal ini merupakan persoalan yang serius karena para inisiatornya telah menyalahi konsensus nasional yang telah ada bahkan menjadi modus vivendi. Jadi, nama atau wadah itu penting, isi juga penting dan artinya keduanya ternyata tidak dapat dipisahkan. Jadi,  Hari lahir Pancasila dan Isi serta makna di dalamnya tidak dapat dipisahlepaskan. Harlah Pancasila sebagai Modus Vivendi adalah 18 Agustus 1945 bukan 1 Juni 1945.  Bukankah begitu penalaran yang benar dan bisa dipertanggungjawabkan? Tabik...!!! Semarang, Rabu: 31 Mei 2023 (Penulis pernah menjadi Dosen MK Pancasila dan Filsafat Pancasila selama 24 Tahun di Undip)

Lawan Kezaliman Tegakkan Keadilan

Oleh Muhammad Chirzin - Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta  TINDAK melawan kezaliman dan menegakkan keadilan adalah jihad di jalan Allah.  Rasulullah SAW bersabda, “A’zhamul jihadi kalimatu haqqin ‘ala sultanin ja’ir – Jihad paling agung ialah mengucapkan kebenaran kepada penguasa yang otoriter.”  Jihad berarti mencurahkan daya upaya. Menurut istilah jihad adalah perjuangan untuk melakukan transformasi guna mewujudkan ideal-ideal Islam.  Jihad ialah bekerja sepenuh hati untuk menegakkan agama Allah dan meninggikan kalimat-Nya.  Dalam sejarah Islam peperangan antara umat Islam dan kaum kafir terjadi pada tahun kedua setelah hijrah Nabi Muhammad saw bersama para sahabat ke Madinah.  Ayat jihad periode Mekah antara lain sebagai berikut.  Janganlah engkau mengikuti hawa nafsu orang-orang kafir dan berjihadlah menghadapi mereka dengan Al-Quran dengan jihad yang besar. (QS Al-Furqan/25:52).  Betapa pun beratnya beban dakwah itu, Nabi Muhammad SAW tak boleh tunduk kepada kemauan orang kafir.  Di antara pesan jihad dalam Al-Quran periode Madinah adalah sebagai berikut.  Orang-orang mukmin ialah mereka yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, dan tidak ragu-ragu, berjuang dengan harta dan jiwa mereka di jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang tulus hati. (QS 49:15).  Jihad adalah ujian keimanan. Sebagian ayat-ayat jihad adalah dalam konteks perang, sebagaimana tertera dalam surat Al-Anfal dan At-Taubah berikut.  Allah telah membeli dari orang beriman jiwa raga dan harta mereka, supaya mereka beroleh surga. Mereka berperang di jalan Allah; mereka membunuh atau terbunuh. Itulah janji sebenarnya dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Quran. Dan siapakah yang lebih menepati janji daripada Allah? Bergembiralah dengan jual-beli yang telah kamu lakukan, dan itulah kemenangan yang besar. (QS 9:111)  Mereka yang beriman, berhijrah, dan berjihad dengan harta dan nyawa di jalan Allah; dan mereka yang memberi perlindungan dan bantuan, mereka itulah yang saling melindungi satu sama lain. Sedangkan mereka yang beriman, tetapi tidak berhijrah, kamu tidak berkewajiban melindungi mereka sebelum mereka juga berhijrah. Tetapi, jika mereka meminta bantuan dalam soal agama, maka wajib kamu menolong mereka, kecuali kepada suatu golongan, yang antara kamu dengan mereka terikat oleh suatu perjanjian. Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS 8:72).  Muslim Indonesia bertanggung jawab untuk menciptakan keadilan dalam kehidupan masyarakat.  Wahai orang-orang beriman, jadilah penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri, ibu-bapak, dan kaum kerabatmu, baik ia kaya atau miskin, Allah akan melindungi keduanya. Janganlah mengikuti hawa nafsu, supaya kamu tidak menyimpang. Jika kamu memutarbalikkan atau menyimpang dari keadilan, maka Allah Mahatahu atas segala perbuatanmu. (QS 4:135).  Wahai orang-orang yang beriman, jadilah penegak keadilan, menjadi saksi dengan adil karena Allah. Janganlah kebencian orang kepadamu membuat kamu berlaku tidak adil. Berlakulah adil. Itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah. Allah tahu benar apa yang kamu kerjakan. (QS 5:8).  Katakanlah, “Jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, pasangan-pasanganmu, keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, dan perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, serta tempat tinggal yang kamu sukai lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya, dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah memberikan keputusan-Nya. Allah tidak memberi petunjuk kepada orang yang fasik.” (At-Taubah/9:24).  Jihad bertujuan mengabdi kepada Allah swt semata dengan menghilangkan segala bentuk kekerasan dan menundukkan dunia kepada kebenaran serta menciptakan keadilan.  Kaum muslim diizinkan berperang ketika diserang musuh dan untuk mempertahankan kebebasan dakwah di jalan Allah, mencegah fitnah, menegakkan keadilan, dan membela kaum tertindas, serta menjamin keamanan dari segala permusuhan.  Jihad di waktu damai membangun kehidupan yang baik dengan kekuatan tenaga, otak, dan keikhlasan berkorban dalam mengisi jiwa dan mendidik umat.  Jihad dilaksanakan berdasar tuntunan Al-Quran dan sunah Rasulullah, serta teladan langkah-langkah perjuangan Nabi saw sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi.  Sasaran jihad adalah orang-orang kafir, munafik, dan siapa pun yang menyimpang dari ajaran Al-Quran dan sunah Nabi Muhammad SAW.  Sarana jihad adalah harta benda dan jiwa-raga.  Imbalan jihad adalah kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.  Sanksi meninggalkan jihadnya ialah neraka jahanam.  Memberantas kebodohan, kemiskinan, dan penyakit adalah jihad.  Ilmuwan berjihad dengan ilmunya, pemimpin berjihad dengan kekuasaannya, pengusaha berjihad dengan hartanya.  Dalam konteks kekinian dan keindonesiaan jihad dilakukan dalam kerangka dakwah amar makruf nahi munkar, mengajak berbuat kebajikan dan mencegah segala kemungkaran.  Mengajak pada kebajikan dilakukan secara baik dan bijak. Mencegah kemungkaran dilakukan dengan baik dan elegan.  Mencegah kemungkaran secara mungkar hanya akan beranak kemungkaran belaka.  Di antara jihad yang harus diprioritaskan saat ini ialah menegakkan keadilan, melawan kezaliman, menjunjung tinggi konstitusi, melawan korupsi, manipulasi, politik uang, penistaan agama, kriminalisasi ulama dan guru, serta hoaks.  Kesadaran adalah matahari. Kesabaran adalah bumi. Keberanian menjadi cakrawala. Dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata. (WS Rendra)  Semoga ujung pena masih lebih tajam daripada ujung pedang. (Ebiet G Ade)  Berjuang  Akankah bapak-bapakmu Ibu-ibumu anak-anakmu, saudara-saudaramu, pasangan-pasangan hidupmu  Sanak kerabatmu mentor dan gurumu teman sejawatmu para pengikut setiamu  Pangkat dan jabatanmu, Afiliasi politikmu, Aliran pemikiran dan falsafah hidupmu, Organisasi sosial dan keagamaanmu, Kekayaan yang engkau puja-puja, Perniagaan yang engkau khawatiri kebangkrutannya, Tempat tinggal yang engkau suka  Lebih engkau cintai ketimbang Allah dan Rasul-Nya dan daripada berjuang pada jalan-Nya? Sungguh, keputusan Allah akan tiba. Dia takkan memberi bimbingan  Siapa pun yang menyepelekan ajaran Tuhan  Dan memperkusi hamba kinasih-Nya.

Jokowi Sembunyi di Alam Terbuka

Oleh Sutoyo Abadi - Koordinator Kajian Politik Merah Putih  \"Tatkala satu pintu kejujuran tertutup, pintu yang lain terbuka, tetapi sering kita begitu lama pada pintu yang tertutup, hingga kita tak melihat pintu lain yang terbuka di depan kita. (Helen Keller)\" Anggota kajian politik Merah Putih minta siang ini juga ( 31.05.2023 ) harus segera dibahas menyoal Jokowi sudah mengeluarkan statemen cawe-cawe dalam Pilpres 2024. Saat itu Presiden Joko Widodo (Jokowi) menepis tudingan ikut campur atau cawe-cawe dalam pemilihan calon presiden (capres) maupun cawapres di Pilpres 2024. Jokowi menegaskan pertemuannya dengan enam ketua umum partai politik beberapa hari lalu merupakan ajang diskusi politik, di Sarinah, Jakarta Pusat, Kamis (4/5/2023). Kata Jokowi \"Urusan capres itu urusannya partai atau gabungan partai sudah bolak-balik saya sampaikan\". Tiba tiba berbalik ucapan: ketika  bertemu dengan para pimpinan redaksi dan konten kreator di Istana Negara pada Senin, 29 Mei 2023. “Saya harus cawe-cawe,” kata Jokowi. Presiden menyatakan, keputusan ikut campur dalam urusan Pilpres dilakukan untuk negara dan bukan kepentingan praktis. Presiden Joko Widodo menyatakan tetap akan cawe-cawe pada pemilihan presiden (Pilpres) 2024 karena menilai pemilihan presiden dan wakil presiden 2024-2029 menjadi krusial karena Indonesia membutuhkan pemimpin yang bisa menjadikan negara maju pada 2030. \"Karena itu saya cawe-cawe. Saya tidak akan netral karena ini kepentingan nasional,\" katanya. Yusuf Wanandi mengatakan :  \"Saya kira koalisi pendukung keberlanjutan pemerintahan Jokowi ini tidak akan membiarkan lebih dari dua pasangan capres dan cawapres. Karena terlalu banyak risiko,\" ujar Jusuf di program Rosi KOMPAS TV, Kamis (25/5/2023).\" Jarak ucapan Yusuf Wanandi dan Jokowi hanya selang 4 ( empat ) hari, sebuah skenario waktu  yang cantik seperti hubungan patron dan klien politik, diorganisasikan oleh orang yang berkuasa, lalu memelihara loyalitas orang yang lebih rendah kedudukannya, untuk melaksanakan perintahnya. Stigma masyarakat Taipan Oligarki pengendali, di bawahnya loyalis yang harus menjalankan perintah majikannya (sang patron). Kalau klien ini seorang presiden, celaka negara ini. Teolog dan penulis ternama Amerika Serikat, James Freeman Clarke, mengatakan :   \"A politician thinks of the next election, a statesman thinks of the next generation\" ( Seorang politisi berpikir tentang pemilu berikutnya,  seorang negarawan memikirkan generasi berikutnya ). Presiden Jokowi itu politisi, negarawan atau jangan jangan hanya broker politik, definisi ini kita serahkan ke rakyat sebagai pemilik kekuasaan yang sesungguhnya. Yang kita kenal Istilah \"Pemimpin Boneka\" seringkali diasosiasikan untuk pemimpin yang ucapan, peran, dan sikapnya dikendalikan orang lain. Saat manggung,  dikendalikan peran panggungnya oleh sutradara. Erving Goffman menggunakan mekanisme panggung ini untuk menganalisis dunia sosialnya. Ada panggung depan (front stage), ada panggung belakang (back stage). Panggung depan sering berbeda 180 derajat dengan panggung belakang. Pemimpin boneka politik, selalu bermain watak, seperti pelawak bisa ketawa, sekalipun situasinya sedang gawat. Ini biasa terjadi. Inilah yang oleh Goffman disebut dengan dramaturgi. Perubahan sikap yang mendadak tidak akan cawe-cawe soal pemilu tiba tiba berubah sikap bukan sesuatu yang aneh bagi Jokowi. Narasi demi kelanjutan program nasional dan ini kepentingan negara, itu hanyalah dramaturgi. Narasi lanjutan apapun yang akan di keluarkan Jokowi sudah tidak penting lagi, semua rakyat dan masyarakat luas sudah lebih dari paham kemana Jokowi akan bermain dan untuk apa bermain main   Jokowi sudah tidak akan bisa bersembunyi dengan aman,  apalagi sembunyi di tempat terbuka dan terang benderang. Kajian Politik Merah Putih akhirnya memberikan catatan bahwa semua tinggal waktu  resikonya pasti akan menerpa dan menghampirinya. Tertawalah selagi masih bisa tertawa sebelum datang termenung menyesali diri *****

Mengapa Sistem Proporsional Tertutup Harus Ditolak?

Oleh: Radhar Tribaskoro - Anggota Presidium KAMI  BEBERAPA hari lalu Prof. Dr. Denny Indrayana lagi-lagi membocorkan informasi politik ke publik. Menurut Denny, MK (Mahkamah Konstitusi) sudah memutuskan untuk memenangkan judicial review yang diajukan PDIP agar pemilu legislatif 2024 menerapkan kembali sistem proporsional tertutup. Perubahan sistem proporsional terbuka menjadi sistem proporsional tertutup harus ditolak karena akan memperkuat oligarki, menghancurkan daya saing partai politik yang ada, menurunkan kualitas pemilu, meningkatkan golput dan menggagalkan pemilu sehingga membuka peluang bagi perpanjangan masa jabatan Presiden Widodo. Bagaimana penjelasannya? Sistem proporsional tertutup, apa itu? Sistem proporsional tertutup adalah sebuah sistem pemilihan di mana para pemilih tidak secara langsung memilih para kandidat, melainkan memilih partai politik mereka. Para kandidat dipilih berdasarkan posisi mereka dalam daftar kandidat yang telah ditetapkan sebelumnya oleh partai politik mereka.  Sistem ini berlaku di era Orde Lama dan Orde Baru. Setelah reformasi sistem itu berubah menjadi sistem proporsional terbuka dimana selain memilih partai para pemilih juga diperbolehkan untuk secara langsung memilih kandidat. Para kandidat dipilih berdasarkan suara terbanyak di daerah pemilihan mereka. Implikasi Sistem proporsional tertutup mendorong para politisi untuk berkonsentrasi pada masa pra-kampanye, yaitu perebutan nomor urut. Nomor urut yang diperebutkan adalah nomor urut satu karena kebanyakan partai hanya bisa memenangkan satu kursi dari setiap daerah pemilihan.  Hal ini secara langsung menimbulkan tiga implikasi. Pertama, oligarki partai semakin kuat kedudukannya. Semua politikus yang berniat menjadi caleg mesti mendapatkan dukungan mereka. Tentu saja dukungan itu tidak gratis, para oligarki akan mengendalikan partai dari ujung kaki sampai ujung kepala. Secara nasional menguatnya kedudukan oligarki partai akan menjadikan kombinasi kekuasaan mereka dengan oligarki bisnis semakin sulit ditembus.   Implikasi langsung kedua, kandidat nomor urut dua dan seterusnya cenderung pasif dalam kampanye. Akibatnya, beban kampanye di dapil hampir sepenuhnya mesti ditanggung oleh partai. Bagi partai-partai menengah bawah, beban ini sangat berat dipikul. Dengan kata lain daya saing partai politik menengah-bawah akan merosot drastis.  Sementara itu bagi pemilih perubahan sistem itu memaksa mereka untuk memilih partai, bukan memilih kandidat lagi. Preferensi mereka menjadi semakin sempit dan hal itu mempengaruhi daya evaluasi pemilih atas kualitas kandidat. Hal itu pada gilirannya akan menurunkan kualitas pemilu. Selain itu, ketiga, besar kemungkinan pemilih tidak berminat berpartisipasi sehingga berdampak kepada meningkatnya golput (turn-out).  Kesimpulan Ketiga implikasi di atas, mudah diduga, akan menimbulkan tsunami di tubuh partai politik dan KPU. Para caleg yang sekarang sudah mendaftar di KPU akan bergolak. Mereka yang sebelumnya bersedia berada di nomor urut besar karena berharap memperoleh suara terbanyak melihat bahwa iktikad mereka itu akan sia-sia. Mereka akan menuntut perubahan nomor urut pemilih, dan lebih dari itu tidak akan sedikit yang akan memilih mengundurkan diri dari pileg. Kondisi itu memungkinkan partai-partai politik untuk membatalkan partisipasi mereka dalam pileg 2024. Kegemparan di partai politik ini akan menyebabkan KPU memundurkan jadwal pemilu. Selain itu KPU juga harus melakukan penyesuaian yang tidak mudah. Misalnya, KPU berkewajiban melakukan pendidikan ulang terhadap staf KPU sampai ke tingkat TPS. Selain itu KPU juga mesti melakukan pendidikan pemilih agar perubahan tersebut tidak menimbulkan ekses negatif. Gelombang tsunami di tubuh partai dan KPU bisa jadi menimbulkan ketak-stabilan politik dan keamanan. Atas dasar itu pihak berwenang akan mengumumkan tidak dapat menjamin keamanan pemilu. Itu alasan yang cukup baik bagi Presiden untuk menunda pemilu. Presiden kemudian akan mengumumkan keadaan darurat untuk mencegah terjadinya vakum kekuasaan. Dengan keadaan darurat itu Presiden menyatakan kembali ke UUD 1945 asli. Dengan konstitusi itu ia dapat berkuasa selama dia inginkan. DPR dan DPD akan mengamini saja, sebab perpanjangan jabatan presiden berarti memperpanjang jabatan mereka juga. Sebuah kudeta konstitusi telah terjadi. Anda setuju? (*)