OPINI

Pernyataan Sri Mulyani, Utang Meningkatkan Ekonomi: Penyesatan dan Pembodohan Publik (Bagian 1)

Oleh: Anthony Budiawan - Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) DALAM rapat kerja dengan Badan Anggaran (Banggar) DPR (30/5), Menteri Keuangan Sri Mulyani memberi pernyataan mengejutkan. Sri Mulyani mengatakan, kenaikan utang Indonesia terbukti efektif, membuat pertumbuhan ekonomi lebih tinggi dari pertumbuhan utang. Sebagai bukti, Sri Mulyani memberi ilustrasi, untuk periode 2018-2022, setiap 1 dolar utang membuat pertumbuhan ekonomi naik 1,34 dolar AS. Anggota Banggar manggut-manggut. Tidak ada yang komentar. Seperti kena hipnotis. Pernyataan Sri Mulyani tersebut, dalam kapasitasnya sebagai Menteri Keuangan, sangat bahaya. Karena bermakna penyesatan, pembodohan dan pembohongan kepada publik, khususnya secara langsung kepada anggota Banggar DPR. https://m.bisnis.com/amp/read/20230530/9/1660756/sri-mulyani-ungkap-dampak-utang-ke-pdb-ri-bandingkan-dengan-negara-lain https://amp.kontan.co.id/news/sri-mulyani-sebut-pertumbuhan-pdb-ri-lebih-besar-dibandingkan-utang-selama-2018-2022 Sri Mulyani menyatakan, seolah-olah, ada korelasi langsung antara defisit anggaran atau utang terhadap pertumbuhan ekonomi. Dalam bahasa ekonomi, seolah-olah, ada efek multiplier antara utang dan pertumbuhan ekonomi sebesar 1,34. Ada empat alasan, pernyataan Sri Mulyani tersebut menyiratkan penyesatan, pembodohan serta pembohongan publik. Pertama, ekonomi terdiri dari dua sisi, yaitu sisi supply (produksi) dan sisi demand (permintaan atau konsumsi). Sisi permintaan terdiri dari empat komponen, yaitu konsumsi masyarakat (C), investasi (I), belanja negara (G), dan ekspor dikurangi impor (E-M).  Dalam notasi: Y = C + I + G + (E-M). Teori demand ini dikembangkan oleh ekonom terkenal asal Inggris, John Maynard Keynes. Keynes berargumen, kalau konsumsi masyarakat (C) turun, maka harus dikompensasikan dengan kenaikan Belanja Negara (G), yaitu melalui defisit anggaran, atau stimulus fiskal, untuk menahan ekonomi agar tidak anjlok dan masuk resesi lebih dalam. Keynes memberi contoh, kesalahan kebijakan pada saat depresi besar tahun 1930-an karena pemerintah tidak memberi stimulus fiskal cukup memadai, sehingga membuat ekonomi global mengalami depresi berkepanjangan. Sebaliknya, ketika ekonomi “memanas”, artinya konsumsi masyarakat naik pesat, pemerintah harus mengurangi Belanja Negara, agar tidak terjadi hiperinflasi. Artinya, pemerintah harus menjalankan kebijakan destimulus fiskal, atau kontraksi, melalui surplus anggaran. Dalam hal ini, tanpa utang, ekonomi juga bertumbuh. Jadi ini alasan pertama, pernyataan Sri Mulyani tersebut menyesatkan publik, dan membodohi anggota Banggar.  Dalam notasi persamaan ekonomi menurut Keynes, tidak ada korelasi langsung antara utang (defisit anggaran) dengan pertumbuhan ekonomi.  Kedua, sisi supply ekonomi, dinyatakan dengan Y, terdiri dari Harga dikali Kuantitas: Y = P x Q. Dalam resesi, Harga (atau general price index) dan kuantitas produksi tertekan. Sehingga ekonomi (Y) tertekan. Stimulus fiskal berupaya menahan agar kuantitas produksi (Q), dan harga, tidak anjlok. Tetapi, tidak cukup. Maka itu, hampir semua Bank Sentral dunia menjalankan kebijakan stimulus moneter, menurunkan suku bunga, dan sekaligus membanjiri likuiditas melalui quantitative easing. Kebijakan ini bersifat inflationary, dan memicu inflasi. Ini yang terjadi di masa pandemi. Kebijakan moneter global, penuriammo suku bunga hingga 0 persen serta quantitative easing, memicu harga komoditas dan inflasi global naik tajam, dan membuat ekonomi (PDB) dalam nilai nominal naik. Terutama bagi negara produsen komoditas seperti Indonesia. Oleh karena itu, membandingkan kenaikan PDB nominal antar negara, khususnya negara produsen komoditas seperti Indonesia dengan negara non-produsen komoditas seperti India, seperti disampaikan Sri Mulyani dalam rapat bersama Banggar DPR, sangat tidak relevan.  Yang membuat PDB nominal naik bukan karena utang, tetapi karena kebijakan moneter inflationary. Ketiga, mengikuti logika Sri Mulyani, rasio kenaikan PDB nominal “akibat” utang, di pemerintahan Jokowi sangat rendah dibandingkan dengan pemerintahan SBY, seperti terlihat di tabel 1, tabel 2 dan tabel 3. Untuk periode 2004-2009, rasio kenaikan PDB terhadap utang sangat tinggi 11,31: setiap kenaikan satu rupiah utang, “membuat” PDB nominal naik 11,31 rupiah. Rasio ini jauh lebih besar dari rasio di pemerintahan Jokowi. Rasio pada periode 2014-2019 hanya 2,64. Dan rasio pada periode 2019-2022 hanya 1,27.  Artinya, Jokowi dan Sri Mulyani gagal? Terakhir, keempat, Sri Mulyani seharusnya membandingkan kenaikan PDB nominal dengan kenaikan utang, dalam persentase, seperti pada tabel 3. Ternyata, rasio ini pada periode 2019-2022 sangat rendah, hanya 0,38. Artinya, setiap kenaikan 1 persen utang hanya membuat PDB nominal naik 0,38 persen. Sedangkan di periode 2004-2009, setiap kenaikan 1 persen utang membuat PDB nominal naik 6,37 persen. Rasio ini juga menunjukkan Jokowi dan Sri Mulyani gagal? Tetapi, Sri Mulyani berusaha menutupi kegagalan ini dengan penyesatan opini kepada publik, dan sekaligus melakukan pembodohan dan pembohongan kepada publik dan anggota Banggar DPR? —- 000 —-

Boleh Bodoh Tetapi Jangan Terlalu Idiot

Oleh Sutoyo Abadi - Koordinator Kajian Politik Merah Putih  \"Berbuatlah apa yang baik dalam batas-batas kemampuanmu, dengan cara-cara yang terbuka bagimu, di segala tempat yang ada dalam pengetahuan mu, dalam setiap waktu yang tersedia bagimu, kepada semua orang yang ada dalam jangkauan mu, sepanjang masa hidupmu\". (John Wesley). \"Jokowi akan nekad cawe cawe,   melalui terjemahan wikipedia artinya memang ingin bermain curang, berbanding terbalik dengan ucapan Jokowi yang akan tetap netral.\" Beberapa tokoh negarawan dengan gamblang mengingatkan Presiden Joko Widodo bisa terkena impeachment atau dilengserkan dari jabatannya sebagai kepala negara jika melakukan cawe-cawe di Pilpres 2024. Apalagi, tindakan itu dilakukan menggunakan kewenangan dan fasilitas negara. Dalam semiotika, ilmu yang mempelajari  sebuah serangkaian peran dan makna yang dimiliki oleh sebuah tanda dalam suatu keterkaitan tanda. Tanda Jokowi telah menyimpang dari peran dan fungsinya bisa diamati dan dipelajari dari proses yang telah dan sedang berlangsung. Alasan  Presiden Jokowi menyebutkan istilah cawe-cawe  untuk mengawal dan memastikan Indonesia keluar dari kondisi saat, yang masih di level middle-income. Ujar Jokowi, Indonesia hanya memiliki waktu hingga 13 tahun untuk keluar dari kondisi tersebut.  \"Boleh bodoh tetapi jangan terlalu ideot , itu pengakuan Ideot dari makna cawe cawe Jokowi. Tidak ada gunanya sembunyi dan terus menerus berapologi\" Jokowi tidak sadar sedang berada di lapangan terbuka, limbung apa karena  power sudah diambil alih oleh Megawati. Perlindungan diri atas resiko macam macam termasuk resiko hukum yang bisa menerpa dirinya sudah tanpa payung lagi, semua sudah robek dan berantakan   Sinyal macam-macam  akan berbuat curang kecurangan itu sudah terlanjur masuk dalam benak masyarakat, yang ingin perpanjangan waktu bahkan ingin kekuasaannya menjadi tiga periode atau seumur hidup sudah tidak bisa di delete dari rekam jejaknya dari dunia maya. Macam macam narasi dan skenario konyol mengira masih akan mendapatkan legitimasi dari masyarakat yang dianggap bodoh, ketika masyarakat sudah paham tipuan skenarionya di rancang, di laksanakan dan didefinisikan sendiri seolah olah itu dukungan rakyat.  Gejalanya Jokowi dalam kondisi panik dan tertekan sangat mudah  pikirannya masuk di alam halusinasi. Terombang - ambing dalam gelombang ombak perubahan yang sedang berlangsung. Dramaturgi yang dimainkan sudah tidak ada  tempat lagi, makin nekad sama semakin mendekatkan diri ke  dalam jeram atau jurang politik yang makin dalam. Ucapan berbanding terbalik bahkan sudah menjadi tradisi branding konyol yang selalu di mainkan. Tetap tidak memiliki kesadaran dirinya sudah berada dalam bahaya. Didepannya gelombang laut yang siap menarik dan menghenpaskannya. Akan bermain-main politik dengan apalagi ketika semua fariabel penolong politiknya semua sudah lumpuh. Hanya politisi ideot yang berjalan asal nekad dan membabi buta. Mestinya Jokowi di ahir kekuasaannya bisa belajar lebih tenang, syukur berubah sikap menjadi negarawan. Justru terus ambil reaksi sesaat karena frustasi, panik melihat perkembangan politik yang semakin jauh dari jangkauan kendalinya  Saran dari Rocky Gerung sangat humanis dan disampaikan apa adanya : \"Jokowi yang ngomong cawe-cawe bukan jokowi yang presiden dan kepala negara jadi sebagai political player yang dalam upaya terakhir ingin menegakkan benang basah. Jadi frustasi sebenarnya tuh. Jokowi ada dalam frustasi, mau ngapain lagi, ya sudah berbuat sendiri saja,\" tambahnya.  Terlalu banyak saran saran terbaik untuk kebaikan dan keselamatan Jokowi terus dianggap sampah dan diabaikan. Bahkan saran kepekaan publik yang terus membuncah di media sosial pun dianggap angin yang hanya berdesir lewat, \"masuk telinga kanan langsung keluar di telinga kirinya\" Masih merasa jumawa akan menyelundupkan rekayasa kecurangannya, karena merasa masih menggenggam kekuasaan .  \"Ingatlah yang berbudi baik akan selamat, yang  keji , jahat dan suka berbuat curang akan hancur berkeping-keping\".  *****

Rakyat Rindu Jokowi Mundur

Oleh M Rizal Fadillah - Koordinator Kajian Politik Merah Putih  KERINDUAN rakyat atas kondisi yang kini memprihatinkan adalah bergantinya warna kekuasaan kepada yang lebih segar, lebih bersih dan ada rasa kebersamaan rakyat dengan pemimpinnya. Kondisi seperti ini yang tidak terasa. Yang dirasakan kini adalah pemimpin dan rakyat sedang berjalan sendiri-sendiri.  Penyegaran diawali dengan langkah konkrit yakni Jokowi mundur dari jabatan Presiden. Menunggu hingga berhenti sendiri pada Pemilu 2024 akan terlambat dan khawatir \"keburu busuk\". Karena ada tangan kotor yang ingin melakukan pembusukan Pemilu. Jokowi sendiri diduga terseret di dalamnya. Akibatnya tentu buruk bagi Jokowi begitu juga bagi masyarakat atau rakyat.  Bagi Jokowi yang telah gagal memperpanjang kekuasaan kini bingung mencari pengganti. Ganjar sudah diambil Megawati, Prabowo tipe puja puji yang sulit dipegang. Prabowo bukan petarung tangguh. Sementara Anies dibenci dan dianggap musuh. Hantu yang dibuat oleh Jokowi sendiri.  Bagi rakyat, bayang bayang kecurangan Pemilu sulit untuk ditepis. Mahfud MD sepertinya sudah memastikan akan kecurangan itu. Menurutnya kemarin dan esok. Lingkaran kekuasaan nampaknya tidak rela terjadi persaingan sehat antar kandidat. Rekayasa untuk menjegal lawan yang tidak pro status quo terus dijalankan.  Terbukanya peluang kecurangan yang bakal terjadi ini membuat TNI merasa perlu memberi warning. Mengancam maju sedikit untuk mengambil posisi. Etika berbangsa yang harus dikawal dan ditegakkan.   Yang terbaik di tengah kondisi seperti ini adalah Jokowi mundur dengan suka rela. Tentu akan bermakna.  Nah, manfaat bagi Jokowi jika mundur sekurang-kurangnya : Pertama, rakyat melihat ini sebagai bagian dari pengorbanan dan penghargaan Jokowi atas aspirasi kuat di masyarakat yang menginginkan penyegaran pemerintahan. Dimungkinkan rakyat memaafkan atas kesalahan Jokowi dan rezimnya selama ini.  Kedua, Jokowi tidak perlu dibebani fikiran dan pekerjaan cawe-cawe Capres yang menuai kritik dan hujatan atas sikap politiknya. Sikap kenegarawan membebaskan proses politik berjalan secara alami. Siapapun Presiden itulah yang terbaik bagi bangsa dan negara.  Ketiga, seperti yang diharapkan oleh puteranya bahwa Jokowi hendaknya pulang kampung dengan nyaman. Meski tanpa penghargaan prestasi tetapi kembali ke tempat asal adalah membahagiakan. Biarlah generasi berikut berjuang dan berkompetisi dengan sehat.  Keempat, relasi yang selama ini dibangun tidak akan putus. Pihak-pihak yang telah merasakan jasa Jokowi sebagai Presiden akan membalas dalam banyak bentuk pasca mundur. Jokowi kembali melanjutkan usaha yang selama ini dijalankan bersama mitra-mitranya.  Kelima, bila masih berminat berkiprah dalam bidang politik maka modal sosial yang dimiliki menjadi kekuatan untuk membentuk partai politik baru. Sebagai ketua partai Jokowi dapat berkontribusi bagi pengembangan politik bangsa ke depan  .  Jika tetap maju terus pantang mundur nasib Jokowi diujung tanduk. Sinyal semakin menguat. Jokowi mulai ditinggalkan partai politik di lingkarannya. Dengan Megawati dan PDIP semakin tidak rapat. Partai Nasdem berseberangan, PAN dan PPP jalan sendiri. PKB lebih asyik bermanuver. Lompat-lompatan.  Pendukung setia tinggal \"musra-musra\" itupun relawan mulai kebingungan atas sikap Jokowi yang tidak jelas. Akhirnya kini Jokowi nekad untuk cawe-cawe  Capres. Ini bakal menimbulkan konflik internal yang semakin menajam. Belum lagi jika ternyata Capres hasil cawe-cawenya ternyata kalah dalam kompetisi. Semakin ambruk Jokowi.  Setelah 2024 apapun hasilnya nampaknya wajah Jokowi tidak akan ceria. Jokowi sudah terperosok dalam gorong-gorong yang dibuatnya sendiri.  Belum lagi jika ternyata upaya mendesak MPR untuk memakzulkan Jokowi ternyata sukses. Syarat pemakzulan lebih dari cukup telah dipenuhi.  Habislah Pak Presiden yang dikenal sebagai pembawa keruwetan negeri ini.  Tuntutan agar Jokowi diadili juga kuat akibat dari dosa-dosa  politik yang  dibuatnya. Ada pelanggaran HAM berat, korupsi dan kebocoran uang negara, nepotisme, hutang luar negeri, proyek-proyek mangkrak dan merugi, memperalat hukum, meminggirkan umat Islam serta dosa politik lainnya.  Rakyat rindu Jokowi mundur. Meski semua kembali kepada kejujuran, kesadaran dan kalkulasi Jokowi sendiri. Hanya sejarah telah memberi pelajaran bahwa salah hitung atau nekad untuk mempertahankan kekuasaan dengan segala cara pasti akan berakibat fatal. Tumbang yang menyakitkan.  Rakyat rindu Jokowi mundur, maka segeralah mundur. Ajaklah Wapres untuk mundur juga. Jangan khawatir, Konstitusi telah mengatur semuanya.  Rakyat Indonesia akan bahagia dan semoga berterimakasih. Bandung, 4 Juni 2023

Raja-rajaan di Negara Demokrasi: Ketika Petruk Dadi Ratu

Maka, segala cara untuk membatalkan Pemilu tepat waktu diupayakan, dan ini pelanggaran konstitusi serius. Demokrasi sedang dipertaruhkan oleh keinginan terlarang, oleh ambisi jadi raja-rajaan di negara demokrasi. Dan, itu moral hazard. 0leh Ady Amar - Kolumnis Menjadi raja-rajaan saat kanak-kanak dulu kala, itu jadi prestasi tersendiri. Menjadi raja, meski sekelas raja-rajaan, itu penuh kebanggaan. Kebanggaan yang disimpan hingga dewasa. Bagaimana tidak, ia terpilih memerankan seolah raja seutuhnya, yang melihat semua peran lain jadi kecil. Meski terkadang peran jadi raja itu muncul cuma sekali dua kali saja sepanjang episode kisah itu dibuat. Terpilih berperan jadi raja di antara para kawan yang lain, itu punya persyaratan yang mesti dipenuhi. Semacam kesepakatan yang disepakati diam-diam, yang kemudian jadi pakem untuk tidak dilanggar. Jadi kesepakatan baku yang mesti dipatuhi. Di mana yang memerankan sebagai raja adalah yang paling segala-galanya di antara mereka. Paling tampan, tinggi semampai, dan jika mungkin dengan intonasi suara tegas menggelegar. Sedang pintar dan sikap bijaksana, sepertinya belum jadi ukuran saat itu. Menjadi raja meski sesaat, itu jadi kebanggaan tersendiri. Dikenang di antara mereka, atau dikenang pribadi yang terpilih memerankannya. Terpilih bisa atas pilihan antarkawan, atau dipilih sutradara dadakan tujuh belas agustusan, yang mementaskan lakon dengan menyertakan raja dalam kisah yang disuguhkan. Peran raja, baik dipilih antarkawan atau oleh pengatur laku tetap memegang pakem, dipilih di antara mereka yang tampan dan punya intonasi suara tegas. Dalam lakon drama masa kanak-kanak dulu, pakem yang disepakati diam-diam itu tidak boleh dilanggar. Tidak boleh si cungkring dan berwajah tak elok diloloskan menjadi raja. Lakon jadi raja-rajaan tetap dituntut sempurna, meski ukurannya sebatas fisik. Raja menjadi simbol kesempurnaan. Tidak boleh ada yang menyamainya. Maka dandanan sang raja pun dibuat berjarak jauh dengan rakyat kebanyakan, apa pun profesi yang disandang. Peran menjadi raja-rajaan ini sekadar lakon sesaat, seperti juga lakon Petruk Dadi Ratu (Petruk Jadi Raja). Kisah Petruk Dadi Ratu  itu masyhur dikisahkan dalam dunia pewayangan. Petruk Dadi Ratu itu membongkar pakem bahwa raja mesti sempurna, setidaknya sempurna fisiknya. Kisah Petruk Dadi Ratu memberi makna simbolik, yang mustahil kawula alit bisa memimpin, meski ia punya kemampuan memimpin, tapi tak sepantasnya jadi pemimpin. Tapi Petruk dalam kisah pewayangan itu mengobrak-abrik tatanan ketidakmungkinan menjadi mungkin, dan itu dengan \"merampas\" kekuasaan, meski hanya semalam. Ya, hanya semalam. Tak perlu Petruk ambil kesempatan berkuasa hingga 2 periode, dan itu 10 tahun. Itu jauh dari tabiat sikapnya. Apalagi sampai tamak ingin tambah lagi satu periode. Atau tetap ngotot jika tidak mungkin, keukeuh menawar tambahan jabatan dengan 2-3 tahun, dengan dalih ingin melanjutkan pembangunan yang belum tuntas dikerjakan disebabkan sebelumnya negeri terserang virus dari Wuhan, Tiongkok. Petruk Dadi Ratu bisa dilihat dari berbagai angle. Bisa dilihat dari kemustahilan kawula alit memimpin negeri yang disebut Mayapada, sampai munculnya pemberontakan para punakawan--Semar, Gareng, Petruk dan Bagong--yang lalu mendorong Petruk ambil kekuasaan dari tangan Arjuna, penguasa yang dilihatnya melenceng jauh dari yang semestinya. Setelah membereskan negeri dari sengkarut dan ketidakpastian, dan itu cuma butuh waktu semalam, ia kembalikan singgasana kekuasaan pada yang berhak sebagai raja. Dan, itu Arjuna. Petruk dan para punakawan lainnya kembali ke habitatnya sebagai pengabdi dan penghibur di istana. Kisah Petruk Dadi Ratu, ini memunculkan ketidakmungkinan menjadi mungkin. Dan yang lebih dahsyat lagi, Petruk tidak menghendaki kedudukan sebagai raja itu karena ambisi, dan karenanya ingin berkuasa selamanya. Tidak persis tahu mengapa Presiden Joko Widodo (Jokowi) acap distigma sebagai \"Petruk Dadi Ratu\". Menyandingkan Jokowi dengan Petruk, itu sama sekali tidak nyambung, jauh api dari panggang. Artinya, bertolak belakang. Kecuali bentuk fisik dan sama-sama berangkat sebagai kawula alit, setidaknya dari partai yang mengambil jargon  sebagai partai wong cilik. Sedang sifat lain antara Jokowi dan Petruk justru seperti berkebalikan. Petruk dalam kisah Petruk Dadi Ratu punya sifat bijak, yang tidak ingin ada ketidakberesan pemimpin dalam mengelola negara, dan karenanya ia tampil untuk meluruskannya. Memilih cukup semalam jadi Raja, setelah tugasnya selesai Petruk tahu diri bahwa bukan di situ maqam -nya. Sebagai punakawan tugasnya melayani lebih pada mengabdi, dan menghibur raja dan segenap penghuni istana. Tidak demikian dengan Jokowi yang memang mesti menjabat sebagai presiden selama 5 tahun, dan bisa dipilih lagi selanjutnya sekali lagi untuk masa 5 tahun berikutnya. Setelah itu mesti turun tahta. Demokrasi dipilih sebagai sistem, dan itu hasil rembugan founding fathers, bahwa jabatan sebagai presiden itu punya periodisasi yang disepakati, yang tertera dalam konstitusi. Moralnya mestinya berhenti, tidak memberi ruang untuk  tawar-menawar menambah periode jabatannya, meski itu permintaan sebagian rakyat pendukungnya. Atau bahkan seluruh rakyat menghendaki agar ia memimpin lagi dan lagi, meski dengan mengubah konstitusi. Bukan menyerahkan semuanya pada keinginan rakyat, dan itu menabrak konstitusi. Suara-suara menambah periodisasi, atau setidaknya menambah beberapa tahun agar Jokowi terus berkuasa, setidaknya disuarakan relawan garis keras. Seperti tak ingin Jokowi menyudahi jabatannya di tahun 2024. Tidak cukup sampai di situ, muncul pula suara-suara yang meski sulit dikonfirmasi kebenarannya, bahwa Pemilu/Pilpres akan ditunda, tanpa menyebut ditunda sebab apa. Dan, itu menjadikan Jokowi tetap berkuasa. Maka, segala cara untuk membatalkan Pemilu tepat waktu diupayakan, dan ini pelanggaran konstitusi serius. Demokrasi sedang dipertaruhkan oleh keinginan terlarang, oleh ambisi jadi raja-rajaan di negara demokrasi. Dan, itu moral hazard. Menyandingkan Jokowi seolah Petruk dalam kisah Petruk Dadi Ratu sama sekali tak mengena. Bahkan sedikit pun keduanya tak bisa diserupakan. Petruk mencukupkan hanya semalam saja merasakan singgasana sebagai raja, dan itu karena kondisi memaksanya. Sedang Jokowi, mendapat privilage layaknya raja sungguhan, dan itu 10 tahun, tapi masih merasa kurang, dan ingin menambahnya. Memang sih menambah periodisasi, atau menambah 2-3 tahun lagi jabatannya, itu tidak keluar dari mulut Jokowi. Disuarakan para pendukungnya, dan Jokowi tampak enjoy , tanpa merasa risih dengan munculnya suara-suara itu, yang menghendaki seolah Jokowi jadi \"raja-rajaan\" di negara yang memilih sistem demokrasi. Ending dari kisah raja-rajaan dengan peran Jokowi, ini sulit diprediksi akan seperti apa. Tapi yang pasti, semua akan berakhir, dan itu tidak bisa ditawar-tawar.**

Jokowi Makin Nekad dan Membabi Buta

Oleh Sutoyo Abadi - Koordinator Kajian Politik Merah Putih  SEMUA pejuang perubahan harus lebih sensitif atas perkembangan dan fenomena politik licik yang sedang terjadi  Aneis Baswedan (AB) dalam ancaman serius akan di patahkan ditengah jalan, dengan proses politik licik  kudeta Moeldoko, dugaan kuat atas restu Presiden. Resiko kegaduhan yang mungkin akan terjadi semua sudah di antisipasi oleh rezim saat ini, dengan mentor para Taipan / Oligarki. Dalam konteks ini pendukung AB tidak boleh larut pada euforia pokoknya AB menang. Ketika serius posisi AB ada di ujung tanduk menghadapi begal politik yang sedang berjalan. Politik cawe cawe sangat nekad, pragmatis dan spesifik, asal menerjang dan kawan harus hancur.  Pendukung AB lahir secara alami dan sangat kuat faktor ghiroh umat Islam yang merasakan rezim saat terus menggangu umat Islam. Tanpa menafikan pendukung AB melintas kekuatan antar agama, ras dan suku karena merasa sesak nafas hidup di alam kendali Jokowi yang lebih memanjakan para Taipan. Kekuatan AB cukup besar tetapi taktik dan strateginya belum menjadi kekuatan sergap melawan para begundal demokrasi. Sementara harus berpacu dengan waktu melawan politik rezim relatif rapi, terstruktur dan terukur dengan dukungan finansial yang melimpah. Relawan AB masih mencari bentuknya dalam komando yang terkonsolidasi belum memiliki kekuatan pemukul,  yang riil bisa digerakkan setiap saat dalam kondisi sangat kritis. Mobilisasi sikap, pernyataan, emosi dan semangat relawan AB yang masih  harus ada pemimpin kuat yang bisa mengkonsolidasikan menjadi kekutan yang terkonsolidasi dan bisa bergerak dengan taktis melawan kekuatan rezim ingin asal menang. Apabila AB terpental dari pencalonan akibat Partai Demokrat bisa dibajak dan dibegal, harus ada antisipasi dini dan rencana tindak yang riil. Reaksi pendukung AB tidak boleh hanya reaksional  dan  emosional tetapi harus  memiliki kekuatan perlawanan riil (people power), dengan perhitungan yang rinci dan terukur. Perjuangan pendukung AB harus menjauhkan diri  ego over confidence seolah tidak ada masalah degan pencapresan Anies, dan Anies dianggap akan menang dengan mudah. AB membutuhkan pembelaan  nyata, tidak cukup dengan narasi argumentatif didunia fantasi, relawan harus turun kejalan, unjuk rasa dan unjuk gigi kekuatan, di pancarkan ke rezim licik yang akan menghalalkan segala cara untuk menang. Ancaman oligarki bukan hanya akan menyergap dan memangsa AB. Capres Prabowo Subianto (PS) pun akan di lalap dan di mangsa dengan cara lain. Politik kompromi PS dengan rezim tidak ada jaminan aman. Terlalu spekulasi dan dini ada pertengkaran antara Jokowi dan Megawati, dan Jokowi akan back up PS. Semua harus sadar mereka dari kolam yang sama dan kepentingan politik yang sama untuk memenangkan capres mereka. PS tidak hati hati akan kena tipu di detik-detik ahir. Alangkah idealnya PS dan AB atau PS dan AB, mau turun ego masing-masing bersatulah melawan kekuatan rezim Jokowi yang makin nekad dan membabi buta, terang benderang akan menghancurkan demokrasi berjalan dengan normal. Sayang ego partai lebih diutamakan dari pada kepentingan dan keselamatan negara. Apabila AB dan PS tetap berjuang sendiri sendiri kemungkinan sama sama  akan  hancur, sangat besar, bersatulah. *****

Pancasila, Hidup atau Mati?

Oleh Yusuf Blegur - Mantan Presidium GMNI, Ketua Umum BroNies PANCASILA terpaku membiarkan  yang kaya menjadi kaya dan yang miskin semakin miskin. Pancasila tak berdaya melihat perampasan tanah dan penggusuran rakyat oleh pengusaha dan penguasa. Pancasila linglung membiarkan eksploitasi dan penindasan pada buruh tani dan nelayan. Pancasila salah tingkah, karena malu telanjang tanpa pakaian kemakmuran dan keadilan. Pancasila ditengah diskursus kapan hari lahirnya dan siapa yang mencetuskannya. Dalam pemaknaannya kadang menjadi pasar raya tafsir di satu sisi dan terus digugat kebermanfaatannya di lain sisi. Bagi rakyat, tak peduli soal siapa yang menemukannya, apapun pengertiannya, juga makna yang terkandung di dalamnya.  Yang dipahami rakyat, bagaimana Pancasila menjadi petunjuk teknis dari penjabaran keinginan para \"the founding farents\" dan cita-cita proklamasi kemerdekaan Indonesia. Rakyat terlalu lelah dan jumud diajak bergumul tentang pemahaman filsafat historis dan filsafat materialisme dari Panca Sila. Mungkin juga rakyat tidak tahu dan masa bodoh  dengan landasan  ideologi ataupun  dasar negara yang disematkan pada Panca Sila. Apalagi dengan istilah \"philosofishe  grondslag\" yang terdengar asing dan aneh di telinga rakyat.  Rakyat hanya ingin merasakan kehadiran Pancasila mampu menjawab problematika keseharian hidup rakyat. Tentang petani yang memiliki sawah sendiri dan mampu melakukan produksi pangan dengan maksimal. Tentang nelayan yang gagah berani dengan kapal  penangkap ikan sendiri yang layak dan modern mampu mengarungi lautan untuk menggali kekayaan laut. Tentang buruh yang  penghasilannya lebih dari cukup tanpa dibatasi upah minimum dari sistem industri. Semua tentang profesi mulia  yang menjadi soko guru revolusi tersebut, mampu memenuhi kebutuhannya sendiri dan keluarga juga bisa menopang kebutuhan rakyat keseluruhan. Petani, buruh dan nelayan yang sejahtera, yang oleh karena itu dapat menghidupi bangsa.  Rakyat juga lebih  berharap banyak pada Pancasila yang mampu membebaskan rakyat dari beban beratnya biaya pendidikan, mahalnya ongkos kesehatan dan juga sulitnya memiliki pekerjaan yang layak. Mendapat perlakuan hukum yang adil,  terlindungi dari arogansi dan represi aparatur negara. Pancasila idealnya mampu mengatasi kemiskinan, kematian rakyat karena kelaparan  dan tergilas oleh mesin pemilik modal. Pancasila yang bersahabat karena menghidupkan kesadaran kelas bukan jurang curam yang menganga pertentangan kelas dan memicu konflik. Pancasila yang menjadi sintesa dari dominasi dan hegemoni pertarungan sosialisme (komunisme) dan kapitalisme. Pancasila yang digali dari buminya Indonesia sebagai \"objective gegiven\" yang menjadi lumbung nasionalisme dan patriotisme.  Kerinduan rakyat pada persamaan hak, kesetaraan sebagai warga negara serta sikap respek para penyelenggara negara. Keinginan dan harapan yang memuncak pada Kegelisahan mewujudkan kemakmuran dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.  Bukan pada slogan atau jargon, bukan pada figura di dinding kantor pemerintahan dan sekolah atau perguruan tinggi, bukan pula pada sekedarnya status dan simbol negara  yang susah payah disusun sebagai konsensus nasional. Bukan semata fokus pada pesan kebhinnekaan  dan kemajemukan yang terkandung di dalamnya. Apalagi terpaku pada Panca Sila yang tekstual, artifisial dan semua yang hanya formalitas.  Tapi Pancasila yang sejati dan hakiki itu, adalah Pancasila yang kuat bisa mencegah perampasan tanah dan penggusuran rakyat oleh pengusaha dan penguasa.  Pancasila yang gigih melepaskan  cengkeraman mafia dan oligarki yang bercokol dalam pemerintahan dan leluasa menentukan proses penyelenggaraan negara. Pancasila yang meniadakan bangsanya sendiri bersama bangsa asing sebagai penjajah (nekolim). Tak kalah pentingnya Pancasila yang mampu membebaskan rakyat, negara dan bangsa Indonesia dari berhala materialisme dan kembali menjunjung tinggi spiritualitas. Ya, Pancasila sebagai Rahmat Tuhan Yang Maha Esa yang dapat meluruskan jalan dan menjadikan keadilan.  Dapatkah Pancasila seperti itu? Apakah mampu mengadakan Pancasila yang demikian? Sepatutnya bangsa Indonesia bergegas melakukan refleksi dan evaluasi Pancasila secara konseptual dan praksis. Jangan sampai tak tahu menjawab apakah Indonesia masih perlu Pancasila? Atau boleh jadi timbul pertanyaan, Pancasila, hidup atau mati? *) Dari pinggiran catatan labirin kritis dan relung kesadaran perlawanan. Bekasi Kota Patriot, 2 Juni 2023/13 Dzulqa\'dah 1444 H.

Cawe Cawe Kuwi Mateni Dhewe, Pak Kowi

Oleh M Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan KRITIKAN banyak orang kepada Presiden Jokowi yang terang-terangan akan ikut campur menentukan dan memperjuangkan kemenangan Capres tertentu tidak diindahkan. Sekurangnya dibiarkan. Populer dengan sebutan cawe-cawe. Sikap tidak akan netral itu dilakukan demi bangsa dan negara. Dalihnya.  Presiden itu \"memiliki segalanya\" karena kekuasaan itu ada padanya. Mungkin, menurutnya \'negara adalah aku\'. Memimpin dan mengendalikan Kabinet. Tentara dan Polisi dibawah koordinasi. Atas nama koalisi mengatur Partai Politik. Begitu juga dengan mesin uang yang dapat diputar dan terus menghasilkan walaupun harus dengan berutang.  Memang ada pengawasan tetapi prakteknya dapat diredam dan disandera. Para pengawas yang tidak dapat berbuat apa-apa. Kondisi politik negeri saat ini memang bernuansa sandera menyandera. Jokowi banyak menyandera dan tentu saja Jokowi pun tersandera. Hukum, uang, dan jabatan menjadi alat untuk sandera itu.  Dengan segala yang dimiliki maka Presiden merasa siap untuk bercawe-cawe. Disorot sebagai intervensi tidak menjadi masalah. Tuduhan menghalalkan segala cara, masa bodoh. Baginya siapa Presiden pengganti menentukan hidup atau mati, kebebasan  atau jeruji besi. Artinya masih menjadi pertanyaan apakah esok Jokowi masih berbaju putih atau berjaket oranye.  Cawe-cawe itu wujud dari Presiden yang lupa diri, bingung sendiri atau ketakutan setengah mati. Sementara masa kekuasaan terus membatasi. Di tengah solusi yang tidak pasti belum ada yang bisa menjamin keamanan untuk nanti. Kepanikan itu yang membuat kalimat akan cawe-cawe dan tidak netral dalam pilihan Presiden nanti.  Presiden yang cawe-cawe sama saja dengan seorang yang melangkah untuk melakukan hara kiri, bunuh diri demi alasan dewa matahari. Demi bangsa dan negara.  Ketika Jokowi bukan penyembah matahari, maka cawe-cawe hanya bunuh diri atau mateni dewe. Tanpa alasan yang benar selain hanya untuk menyelamatkan diri.  Sebelumnya Jokowi menyatakan tidak akan cawe-cawe Capres 2024, tapi tiba-tiba terang-terangan akan cawe-cawe untuk Capres. Kata pepatah Jawa ini artinya lapar. \"Kowe ngelih banget, po ? Nganthi mangan omonganmu dewe\"--Kamu lapar banget, sampai makan omonganmu sendiri.  Berbohong itu karakter buruk meskipun sebagai hak. \"Ngapusi kui hakmu. Nek kewajibanku yo etok-etok ora ngerti yen mbok apusi\" --Berbohong itu hakmu, kewajibanku ya hanya pura-pura tak tahu kau bohongi.  Sebenarnya harus disadari bahwa semangat rakyat untuk mendorong agar Presiden Jokowi segera mundur itu sangat tinggi. Jika cawe-cawe Capres itu dilakukan dan sebagai perbuatan tidak obyektif, benar sendiri, tidak adil dan sok kuasa maka itu bisa menjadi momentum untuk memperkuat desakan tersebut. Cawe-cawe adalah bunuh diri.  Semakin nekad dan demonstratif cawe-cawe maka semakin cepat kejatuhan Pak Jokowi. Cawe-cawe itu bunuh diri. \"Cawe-cawe kui mateni dhewe, pak Kowi\". (*)

Jokowi Tidak Akan Netral dan Cawe-cawe, Prabowo, Erlangga, Muhaimin Akan ke Mana

Oleh : Laksma TNI Pur Fitri Hadi S, MAP - Analis Kebijakan Publik DEMI kepentingan negara Presiden Jokowi akui tidak akan bersikap netral dalam pilpres 2024. Dia mengklaim langkah itu dilakukan untuk kepentingan negara, bukan untuk kepentingan pribadi atau golongan. “Saya harus cawe-cawe,” kata presiden ketika berbincang-bincang dengan para pemimpin media massa di Istana Merdeka, Senin 29 Mei 2023. “Lalu bagaimana saya cawe-cawe? Ya tidak usah diceritakan,” katanya sambil tertawa. Inilah sikap tegas Presiden Jokowi. Sikap ketidaknetralan tersebut ditunjukkan beliau di antaranya dengan mengendorse calon presiden  yang dikehendakinya dan pertemuan dengan KKIR dan KIB atau Koalisi Besar. Sebaliknya Presiden Jokowi tidak pernah mengadakan pertemuan dengan kubu KPP.  Bahasan saya kali ini tentang ketidaknetralan Presiden Jokowi, tapi bukan membahas benar tidaknya sikapnya itu. Mungkin ada yang berkata bahwa Presiden Jokowi arogan, melanggar konstitusi dan etika, saya tidak akan bicara dan membahas itu. Saya juga tidak sedang beropini dengan mengatakan bahwa presiden Jokowi bagaikan Fir\'aun yang tidak takut siapapun karena Darat, Laut, Udara dan Polisi semua dalam ganggaman, juga eksekutif, legislatif dan yudikatif semua dalam pengaruhnya. Tuhan juga tidak ditakutinya, dia tidak takut pada hari pembalasan kelak karena demi negara dan bangsa apapun akan dilakukanya, tidak!, Saya tidak akan mengatakan Presiden Jokowi seperti itu. Kalau ada orang lain bilang begitu biarlah, itu bukan urusan saya. Saya hanya ingin bicara berkaitan ucapan Presiden Jokowi tidak akan netral,  dengan kemungkinan yang akan terjadi pada pemilu tahun 2024 nanti, terutama yang diendorse oleh Presiden Jokowi atau beliau.  Saat ini 2 (dua) calon yang sudah memenuhi syarat  ambang batas atau threshold yaitu Anies Rasyid Baswedan dan Ganjar Pranowo sebagai capres pada pemilu tahun 2024. Dari kedua calon tersebut jelas Anies bukalah calon yang dikehendaki beliau. Sejak Anies dideklarasi  tidak ada perhatian Presiden Jokowi terhadap pencapresan Anies. Berbeda dengan Ganjar, begitu dideklarasikan langsung mendapat apresiasi dari beliau bahkan Ganjar mendapat kehormatan kembali ke Solo dengan pesawat kepresidenan bersama beliau. Sementara itu capres lainnya yaitu Prabowo Subianto, Erlangga Hartanto dan Muhaimin Islandar belum jelas kapan dideklarasikan oleh koalisinya yaitu KKIR untuk Gerindra dan PKB, kemudian KIR yang kini tinggal Golkar dan PAN atau Koalisi Besar (KB) gabungan KKIR dan KIR. Prabowo, Erlangga dan Muhaimin telah dideklarasi oleh partainya masing-masing untuk menjadi capres pada pemilu tahun 2024, namun tanpa berkoalisi mereka tidak bisa dicapreskan karena tidak memenuhi syarat ambang batas.  Ketua Umum Gerindra, Prabowo sebagai capres yang paling potensial karena sering menempati urutan pertama dalam sejumlah survei menegaskan dirinya telah mendapat amanat dari partai untuk maju bertarung sebagai capres di Pilpres 2024. Hal itu disampaikan Prabowo usai namanya turut disinggung oleh Presiden Jokowi sebagai salah satu tokoh yang cocok mendampingi Ganjar Pranowo di Pemilu 2024. Dari pernyataan ini jelas bahwa Prabowo tidak berkenan dijadikan wakil presiden pendamping Ganjar Pranowo, sedangkan oleh PDIP Ganjar dicalonkan sebagai presiden pula. Dengan demikian sangat kecil kemungkinannya Prabowo disandingkan sebagai wakil presiden dengan Ganjar. Apalagi bila di balik, Prabowo capresnya sedangkan Ganjar cawapres sangat tidak mungkin, PDIP adalah pemenang pemilu sebelumnya. Ada yang mengatakan Prabowo pasti mau jadi cawapres, pertimbangannya jadi menterinya saja mau yaitu Menteri Pertahanan pada Kabinet Indonesia Maju. Anggapan ini keliru karena beda konteksnya. Tahun 2019 Prabowo telah kalah sebagai presiden pada Pemilu tahun 2019. Beda dengan sekarang, pemilu belum dilakukan. Ini artinya Prabowo telah menyerah kalah sebelum berperang. Hal ini sangat bertentangan dengan  watak Prabowo yang berjiwa kesatria dan keperwiraan dalam kehidupannya. Dari koalisi yang telah terbentuk masih ada kemungkinan penambahan 2 calon presiden di samping Anies dan Ganjar. Kemungkinanya adalah Prabowo Subianto dan Erlangga Hartanto. Ganjar, Prabowo, Erlangga, Muhaimin semuanya telah menjadikan dirinya sebagai figur penerus Presiden Jokowi. Dengan demikian bila Anies Rasyid Baswedan mulus menjadi calon presiden maka ada 4 (empat) capres yaitu Anies diusung dari Kubu Perubahan untuk Persatuan dan 3 capres dari Kubu Bertahan yaitu Ganjar, Prabowo dan Erlangga. Dengan demikian ada 2 kutub capres, 1 calon dari Kubu Perubahan untuk Persatuan dan ada 3 (tiga) calon Kubu Bertahan. Calon calon Presiden Kubu Bertahan  yaitu Ganjar, Prabowo dan Erlangga semuanya sama, menyatakan adalah figur penerus Presiden Jokowi. Narasi yang mereka keluarkan menyatakan Presiden Jokowi berhasil, sukses memimpin bangsa ini. Bahkan mereka masih mengharapkan arahan dan petunjuk Presiden Jokowi siapa capres dan cawapres mendatang, sehingga tidak heran kalau kemudian beliau menyatakan tidak akan bersikap netral dan akan cawe-cawe. Sikap Presiden Jokowi ini tentu akan membuat harap harap cemas bagi  Prabowo, Erlangga, siapakah di antara mereka yang mendapat restu jadi capres nantinya? Juga Muhaimim, jika tidak jadi capres apakah jadi  cawaprespun tidak?, lalu jadi apa?. Ganjar tidak kalah cemasnya, kepada siapa sebenarnya dukungan Presiden Jokowi dialamatkan? Walau Ganjar posisinya telah aman di bawah PDIP yang tidak perlu berkoalisi dengan siapapun, namun tetap saja perlu dukungan untuk memenangkan pemilu, termasuk dukungan dari sang presiden Jokowi. Di elit cemas, lain lagi di akar rumput, mereka tidak cemas tapi bingung, kepada siapa pilihan presiden ditujukan? Ada 3 calon duplikat Jokowi yaitu Ganjar, Prabowo dan Erlangga, dari ketiga calon itu semuanya berambisi dan berpeluang maju jadi calon presiden dengan dukungan partai dan koalisi yang ada. Kebingungan di akar rumput adalah dari ke 3 calon tersebut mana duplikat yang asli atau KW1 dan KW2? Apakah Presiden Jokowi akan merekomendasikan Prabowo dan Erlangga sebagai calon presiden lainnya di samping Ganjar Pranowo? Tentunya hal ini akan membingungkan para pemilih yang berasal dari simpatisan Jokowi pada saat pencoblosan nanti. Suara mereka akan terpecah pada ketiga calon yang direkomendasi oleh Presiden Jokowi. Dihadapkan dengan kondisi ini maka ada beberapa kemungkinan yang akan terjadi yaitu: 1. Apabila Anies mulus pencapresanya dari segala gangguan dan penjegalan akan  ada  4 calon presiden, maka kondisi ini akan sangat menguntungkan Anies. Walau faktanya ada 4 calon, tapi sesungguhnya hanya ada 2 kubu, Kubu Perubahan pengusung Anies dan Kubu Bertahan pengusung 3 capres, suara Kubu Bertahan akan terpecah diketiga capres dari Kubu Bertahan yaitu Ganjar, Prabowo dan Erlangga. Bila hal ini yang terjadi sangat mungkin Anies Rasyid Baswedan akan memenangkan Pemilu 2024 dengan mutlak hanya dengan 1 kali pukul atau 1 putaran saja. 2. Anies Rasyid Baswedan berhasil dijegal, sehingga tidak jadi calon presiden pada pemilu tahun 2024, maka hanya ada 3 calon presiden yaitu Ganjar, Prabowo dan Erlangga.  Bila keinginan Presiden Jokowi hanya 2 calon saja maka harus ada 1 lagi calon yang harus dijegal jadi capres. Itu bisa Probowo atau Erlangga. Untuk itu berhitunglah siapa diantara 2 calon tersebut yang dijegal atau dikorbankan? Bukankah Jokowi akan cawe cawe dan tidak akan netral?. Bila setuju dan membenarkan bahwa presiden boleh tidak netral dan boleh pula cawe cawe maka diamlah, terimalah dengan lapang dada apa yang akan dilakukan presiden Jokowi pada Prabowo atau Erlangga.  3. Jika sudah 2 capres yang maju dalam pemilu tahun 2024, maka kepada siapa simpatisan Jokowi akan digiring? Ke Ganjar atau 1 capres lain dari Koalisi Bertahan? Ganjar dan Jokowi sama sama petugas partai dari PDIP. Sebagai petugas ada hak dan kewajiban, beranikah Jokowi tidak berpihak kepada Ganjar? Bukankah Presiden Jokowi telah menyatakan tidak akan netral? Maka relakanlah bila Ganjar yang terpilih untuk diendors. Maka relakan pula capres capres dari Koalisi Besar yaitu Prabowo dan Airlangga serta Muhaimi akhirnya hanya sebagai korban atau tumbal untuk sahnya Pemilu tahun 2024.  Demi kepentingan negara Presiden Jokowi akui tidak akan bersikap netral dalam pilpres 2024, “Saya harus cawe-cawe,” katanya. Siapa saja dapat saja bicara atas kepentingan negara, para koruptor atau para mantan menteri yang saat ini meringkuk dipenjara atau yang telah lepas dari penjara mereka juga pernah berkata untuk kepentingan negara dan mereka juga telah disumpah bekerja untuk kepentingan negara, tapi  siapapun bisa menilai benarkah yang mereka lalukan itu untuk kepentingan negara? Akan sikap Presiden Jokowi ini, Nasdem PKS Demokrat juga bersikap, mereka melawan dengan segala resikonya, mereka mendeklarasikan Anies sebagai capres. Bagaimana dengan  Prabowo, Airlangga dan Muhaimin? Mereka orang hebat dan luar biasa, mereka ketua partai besar, apabila mereka mau diposisikan sebagai pengikut, sebagai calon pengganti atau calon pendamping itu sepenuhnya urusan mereka.  Hidup ini memang pilihan, jika Prabowo, Erlangga mau jadi pengikut merapatlah ke Ganjar Pranowo, namun disana bukan sebagai  King Maker karena Ganjar adalah petugas partai PDIP, dan tidak bisa ikut ikutan mengatakan Ganjar adalah juga petugas partai Gerindra, Golkar atau PKB. Namun ada pilihan lain, Anies bukan siapa siapa, dia bukan petugas partai manapun. Jika ingin menjadi King Maker sebagaimana halnya dengan partai Nesdem, PKS dan Demokrat, bergabunglah ke KPP. Yakinlah di KPP akan menghadapi topan bandai karena disana bukan rumput yang dapat diinjak injak, tapi mereka adalah cemara tinggi menjulang ke langit yang mereka hadapi topan dan badai. Malang, Jumat 2 Juni 20023

Putusan Hakim Tidak Adil: 99 Persen Akibat Suap

Oleh: Anthony Budiawan - Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) PEPATAH mengatakan, hakim adalah wakil Tuhan di muka bumi. Karena, putusan hakim, seharusnya, ya seharusnya, sangat jujur dan adil, sangat sempurna. Artinya, putusan hakim tidak memihak, tetapi atas dasar keadilan. Maka itu, institusi yang menegakkan keadilan dinamakan lembaga peradilan, dan tempat proses untuk mencari keadilan dinamakan pengadilan. Sedangkan proses peradilan dipimpin oleh hakim, sebuah jabatan yang sangat terhormat dan mulia, dibandingkan dengan profesi lainnya. Sehingga hakim senantiasa dipanggil dengan ‘Yang Mulia’ di dalam persidangan. Karena putusan hakim selalu berdasarkan kejujuran dan keadilan. Tetapi, putusan hakim bisa menjadi bias, dan tidak adil, ketika ada intervensi dari luar, baik intervensi dari penguasa atau intervensi materi alias suap. Penyuapan kepada hakim akan mengubah putusan hakim, dari putusan yang jujur dan adil menjadi putusan yang memihak kepada penguasa, atau kepada yang bayar, meskipun mereka salah tetapi dicarikan pembenaran. Penyuapan membuat hakim tidak lagi menjadi wakil Tuhan di muka bumi, dan tidak lagi mulia. Penyuapan membuat hakim menjadi hamba setan dan terhina, karena mempermainkan keadilan serta nasib manusia. Denga kata lain, dalam lingkungan steril dan tanpa intervensi atau suap, putusan hakim akan selalu berpihak pada kebenaran, kejujuran dan keadilan. Karena tidak ada alasan sama sekali bagi hakim untuk memutus perkara dengan tidak adil. Sehingga, setiap putusan hakim yang tidak berdasarkan keadilan, hampir dapat dipastikan akibat intervensi atau suap, meskipun tidak ada bukti. Tetapi dapat dirasakan ketidakadilannya. Beberapa kasus suap kepada hakim ada yang terbongkar. Tetapi, mungkin masih banyak kasus suap lainnya yang tidak terungkap. Tetapi dapat dirasakan, karena putusannya terasa janggal dan tidak adil. https://rm.id/baca-berita/parlemen/141643/hakim-agung-tersangka-suap-banyak-aduan-masyarakat-karena-putusan-tidak-adil Memang hakim adalah manusia biasa yang tidak sempurna, dan tidak luput dari kesalahan. Sehingga bisa saja hakim membuat putusan salah dan tidak adil. Untuk mengurangi risiko kemungkinan terjadi kesalahan, maka ditempatkan lebih dari satu hakim dalam setiap proses peradilan. Sehingga kemungkinan salah dalam memutuskan perkara hukum relatif menjadi lebih kecil. Semakin banyak jumlah hakim dalam satu proses peradilan, maka kemungkinan salah dalam memutuskan perkara hukum juga semakin kecil. Oleh karena itu, proses peradilan di Mahkamah Konstitusi terdiri dari 9 hakim konstitusi, terbanyak dari semua proses peradilan di Indonesia. Hal ini nenandakan perkara konstitusi merupakan perkara yang sangat penting bagi negara. Salah satunya, antara lain, mengadili permohonan pemberhentian presiden. Belum lama berselang, Mahkamah Konstitusi, tidak dengan suara bulat, mengabulkan permohonan perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK, dari 4 tahun menjadi 5 tahun, dengan suara 5-4. Lima hakim konstitusi setuju, empat menolak. https://news.detik.com/berita/d-6738648/putusan-perpanjang-jabatan-pimpinan-kpk-5-hakim-mk-setuju-4-menolak/amp Lima hakim konstitusi berpendapat, masa jabatan pimpinan KPK 4 tahun melanggar konstitusi, melanggar pasal 28D ayat (1) UUD, karena dianggap diskriminatif terhadap masa jabatan pimpinan 12 komisi independen lainnya. Sedangkan empat hakim konstitusi lainnya menilai ketidakseragaman mengenai masa jabatan antar komisi independen tidak dapat ditafsirkan telah menimbulkan ketidaksetaraan, ketidakadilan, ketidakpastian hukum, dan diskriminatif, serta timbulnya keraguan masyarakat atas posisi dan independensi KPK dalam struktur ketatanegaraan Indonesia, sebagaimana didalilkan oleh pemohon, yaitu wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron. Masyarakatpun menilai, putusan lima hakim konstitusi yang mengabulkan permohonan perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK tersebut terasa sangat janggal, karena tidak konsisten, dan tidak berdasarkan keadilan hukum konstitusi yang berlaku. Setidaknya itulah yang dirasakan oleh sebagian besar, atau mungkin seluruh, masyarakat.  Karena, dalam uji materiil yang hampir sama, yaitu terkait masa jabatan dan periode jabatan kepala desa, yang ditetapkan 6 tahun dan 3 periode, semua hakim konstitusi setuju tidak ada pelanggaran konstitusi. Meskipun masa jabatan kepala desa tersebut sangat lama, dan berbeda dengan masa jabatan kepala daerah lainnya, yaitu 5 tahun dan 2 maksimal 2 periode. https://amp.kompas.com/nasional/read/2023/03/31/17270861/gugatan-masa-jabatan-kades-tidak-diterima-mk-tetap-bisa-menjabat-sampai-18 Apakah putusan lima hakim konstitusi yang dirasakan tidak adil tersebut termasuk yang 99 persen, yaitu akibat suap? Atau termasuk yang hanya 1 persen, yaitu hakim sebagai manusia tidak lepas dari kesalahan? —- 000 —-

Sejarah Hari Lahir Pancasila

Oleh Yusril Ihza Mahendra - Guru Besar Hukum Tata Negara  Fakultas Hukum UI SEBAGIAN orang menyebut tanggal 1 Juni adalah Hari Lahirnya Pancasila, yang sekarang sebagian orang menyebutnya dengan istilah Hari Pancasila. Pancasila adalah landasan falsafah negara sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, khususnya alinea ke-4. Saya lebih suka menyebut Pancasila sebagai “landasan falsafah negara” bukan dasar negara atau ideologi sebagaimana sering kita dengar. Istilah landasan falsafah negara itu bagi saya lebih sesuai dengan apa yang ditanyakan Ketua BPUPKI dr. Radjiman Widyodiningrat. Di awal sidang, Radjiman berkata, sebentar lagi kita akan merdeka. Apakah filosofische grondslag Indonesia merdeka nanti?. Radjiman tidak bertanya tentang ideologi negara atau dasar negara. Dia bertanya filosofische gronslag atau landasan falsafah negara. Bagi saya ucapan Radjiman itu benar. Landasan falsafah adalah sesuatu rumusan yang mendasar, filosofis dan universal. Beda dengan ideologi yang bersifat eksplisit, yang digunakan oleh suatu gerakan politik, yang berisi basis perjuangan, program dan cara mencapainya. Landasan falsafah negara haruslah merupakan kesepakatan bersama dari semua aliran politik ketika mereka mendirikan sebuah negara. Karena itu landasan falsafah negara harus menjadi titik temu atau common platform dari semua aliran politik yang ada di dalam negara itu. Ada beberapa tokoh yang menanggapi pertanyaan Radjiman. Mereka menyampaikan gagasan tentang apa landasan falsafah negara Indonesia merdeka itu. Supomo, Hatta, Sukarno, Agus Salim, Kiyai Masykur, Sukiman adalah diantara tokoh-tokoh yang memberi tanggapan.  Sukarno adalah pembicara terakhir yang menyampaikan tanggapannya pada 1 Juni 1945. Dia mengusulkan lima asas untuk dijadikan sebagai landasan falsafah. Sukarno menyebut lima asas yang diusulkannya itu sebagai Pancasila. Setelah semua tanggapan diberikan, Supomo berkata bahwa dalam BPUPKI itu terdapat dua golongan, yakni golongan kebangsaan dan golongan Islam. Golongan Islam, kata Supomo, menghendaki Indonesia merdeka berdasarkan Islam. Sebaliknya golongan kebangsaan menghendaki negara persatuan nasional yang memisahkan antara agama dengan negara. Setelah itu dibentuklah Panitia Sembilan untuk merumuskan landasan falsafah negara berdasarkan semua masukan yang diberikan para tokoh. Kesembilan tokoh itu adalah Sukarno, Hatta, Abikoesno, Agus Salim, Subardjo, Kahar Muzakkir, Wahid Hasyim, Maramis dan Yamin. Sembilan tokoh itu, empat mewakili Golongan Kebangsaan, empat mewakili Golongan Islam dan satu mewakili Golongan Kristen. Sembilan tokoh ini merumuskan naskah proklamasi yang sekaligus akan menjadi Pembukaan UUD. Naskah tersebut disepakati pada tanggal 22 Juni 1945. Yamin menyebut naskah itu “Piagam Jakarta” yang berisi gentlemen agreement seluruh aliran politik di tanah air. Dengan Piagam Jakarta kompromi tercapai, Indonesia tidak berdasarkan Islam, tapi juga tidak berdasarkan sekularisme yang pisahkan agama dengan negara. Dalam Piagam Jakarta itulah untuk pertama kalinya kita temukan rumusan Pancasila sebagai landasan falsafah negara yang disepakati semua aliran. Ketika proklamasi, naskah Piagam Jakarta tidak jadi dibacakan sebagai teks proklamasi. Teks baru dirumuskan malam tanggal 16 Agustus. Teks baru proklamasi yang dibacakan tanggal 17 Agustus adalah teks yang kita kenal sekarang “Kami bangsa Indonesia..” dst. Namun naskah Piagam Jakarta disepakati akan menjadi Pembukaan UUD yang disahkan tanggal 18 Agustus 45. Sebelum disahkan, Sukarno dan Hatta minta tokoh-tokoh Islam setuju kata Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya dihapus. Walaupun kecewa, namun Kasman Singodimedjo dan Ki Bagus Hadikusumo akhirnya menerima ajakan Sukarno dan Hatta. Kalimat Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya akhirnya dihapus dan diganti dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Jadi kompromi terakhir tentang landasan falsafah negara Pancasila dengan rumusan seperti dalam Pembukaan UUD 1945 adalah terjadi tanggal 18 Agustus 45. Jadi hari lahirnya Pancasila bukanlah tanggal 1 Juni, tetapi tanggal 18 Agustus ketika rumusan final disepakati dan disahkan. Pidato Sukarno tanggal 1 Juni barulah masukan, sebagaimana masukan dari tokoh-tokoh lain, baik dari golongan kebangsaan maupun dari golongan Islam. Apalagi jika kita bandingkan usulan Sukarno tanggal 1 Juni cukup mengandung perbedaan fundamental dengan rumusan final yang disepakati 18 Agustus. Ketuhanan saja diletakkan Sukarno sebagai sila terakhir, tetapi rumusan final justru menempatkannya pada sila pertama. Sukarno mengatakan bahwa Pancasila dapat diperas menjadi trisila dan trisila dapat diperas lagi menjadi ekasila yakni gotong-royong. Rumusan final Pancasila menolak pemerasan Pancasila menjadi trisila dan ekasila tersebut. Demikianlah penjelasan saya tentang Hari Lahirnya Pancasila atau Hari Pancasila semoga ada manfaatnya. (*)