OPINI

Coldplay "LGBT" Kok Kagum Tokoh Syiah?

Oleh M Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan  GROUP Band \"Coldplay\" asal Inggris yang akan manggung di Stadion GBK tanggal 15 November 2023 terus menuai kontroversi. Banyaknya penolakan disebabkan Group Band ini selalu mengkampanyekan dukungan pada LGBT melalui simbol-simbol pelangi yang dikenakan dan dikibarkan. Dinilai merusak moral generasi muda bangsa.  Memang yang paling demonstratif berkampanye adalah Vokalis Chris Martin. Tetapi tentunya personel lain mendukung baik gitaris Johny Buckland, bassis Guy Berryman, maupun drumer Will Champion. Pengarah artistik Phil Harvey tidak ketinggalan. Band yang sebelumnya bernama Starfish ini gemar melakukan tour pertunjukan, tentu dengan misi suci eh misi kotor dukungan pada LGBT.  Di tengah kontroversi ternyata muncul pembelaan dari seorang yang bernama Haidar Bagir pendiri Mizan yang pernah ditolak kehadirannya oleh ulama dan tokoh Islam di Solo dalam bedah buku \"Islam Tuhan, Islam Manusia\" karena yang bersangkutan dianggap sebagai pegiat Syi\'ah.  Pembelaan terhadap \"Coldplay\" adalah ungkapan bahwa personel Coldplay kagum kepada dua tokoh sufi berdarah Persia yang merupakan penganut Syi\'ah yaitu Sa\'di Shirazi dan Jalaluddin Rumi. Menurut Haidar Bagir Coldplay mengidolakan keduanya. Bahkan syair Sa\'di Shirazi (Iran) dikutip dalam instrumen lagu Coldplay \"Bani Adam\". Semua tahu Adam adalah laki-laki.  Chris Martin kecil adalah orang yang homophobia takut berlebihan terhadap perilaku menyukai sesama jenis. Tapi entah mengapa kampanye LGBT di setiap panggung konsernya menunjukkan bahwa dirinya berubah menjadi homomania. Bukan semata menerima keberadaan tetapi menyebarkan atau mensosialisasikan. Mendukung komunitas LGBT.  Adakah kekaguman Coldplay pada tokoh sufi Syi\'ah itu berhubungan dengan paham LGBT-nya atau semata nilai seni dari syair Shirazi dan Rumi? Entahlah.  Hanya mengejutkan pandangan seorang tokoh Syi\'ah yang nyata-nyata permisif terhadap hubungan sesama jenis.  Satu risalah ditulis oleh seorang ahli tafsir, ahli hadis, dan ahli sejarah versi Syi\'ah bernama Samahah Sayid Mulah Zadah Ridha. Ketika menafsirkan QS Al Baqarah 223  Zadah Ridha menyatakan : \"Saya mendengar dari Mirza Ja\'far bin Sayid Ridha Al Qumi tentang tafsir ayat tersebut bersetubuh di dubur halal, termasuk dubur lelaki\".  Menurutnya, Imam Ja\'far menyatakan \"Bersenggama di farji pahalanya seperti umrah dan bersenggama di dubur pahalanya seperti haji, sempurna\". Di bagian akhir tulisan Zadah Ridha menyatakan \"Ibadah dengan menyetubuhi dubur diberkahi, pahala berlipat dan bagian dari tanda iman. Terdapat riwayat shahih dimana Rosul bersabda \'Rahmat Allah yang melakukan perbuatan kaum Luth\". Tiga kali Zadah mengulangi.  Pemahaman agama yang aneh jika ada yang membenarkan homo (liwath). Pendapat Syi\'ah ini mengejutkan. Atau mungkin dianggap lazim saja seperti lazimnya kawin kontrak (muth\'ah) ? Berganti-ganti pasangan.  Nah, dengan kampanye LGBT sebenarnya \"Coldplay\" tengah mengibarkan bendera pelangi \"Hotplay\". Permainan yang panas. Untuk membuat penonton berjingkrak-jingkrak seperti cacing kepanasan.  Pantas dan sudah semestinya PA 212, MUI, organisasi dan elemen umat Islam lainnya menolak keras kehadiran Group Band \" Coldplay\" yang nyata-nyata merusak moral umat manusia khususnya generasi muda bangsa.  Bandung, 7 Juni 2023

Tersirat Mahfud MD (Seperti) Berharap Anies Jadi Presiden Berikutnya

Prof Mahfud tentu tidak sedang berkelit apalagi berselancar ngeles ombak, tapi jelas ia berupaya agar apa yang diikhtiarkan meminta pada Prof Denny untuk menjaga Anies, itu tidak disalahpahami. Ia hanya ingin memastikan, bahwa Anies tidak sampai dijegal, dan ia tidak mau pemerintah yang lalu dituduh sebagai pihak yang menjegal. Oleh: Ady Amar - Kolumnis JIKA tidak saja mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM Prof Denny Indrayana membocorkan, mustahil kita tahu akan keinginan Menko Politik, Hukum dan Keamanan Prof Mahfud MD, yang memintanya agar membantu Anies Baswedan jadi Capres. Saat meminta Denny itu, suara hati Mahfud pastilah tanpa sekat kepentingan apa pun, kecuali didasarkan pada pandangan umum agar negeri ini ke depan lebih baik lagi. Anies memang dikenalnya cukup lama.  Ayah Anies, Rasyid Baswedan, adalah kolega Mahfud saat sama-sama menjadi staf pengajar di Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta. Meski keduanya beda fakultas. Ayah Anies di fakultas Ekonomi, dan Mahfud di fakultas Hukum. Tapi menurut penuturan Mahfud, bahwa mereka amatlah akrab. Itu disampaikan Mahfud saat hadir di sebuah podcast beberapa saat lalu. Tambahnya, Anies pernah dibawa ayahnya menemuinya, dan sang ayah mengatakan agar Anies kelak meniru pintarnya Mahfud. Sampai di sini kita jadi tahu betapa jalinan kedekatan di antara mereka. Anies dan Prof Mahfud itu punya kedekatan khusus bahkan istimewa. Tentu kedekatan yang tak tersekat oleh kepentingan politik sesaat. Maka itu, sampai Mahfud perlu meminta Prof Denny yang dikenalnya dengan baik untuk membantu memastikan Anies jadi Capres. Kenapa sampai perlu meminta Prof Denny hal yang mestinya bisa ia lakukan sendiri, apalagi ia punya jabatan mentereng. Spekulasi pun muncul, bahwa penjegalan pada Anies itu dahsyat, maka perlu ia ajak pihak lain menjaga untuk memastikan Anies bisa ikut kontestasi Pilpres 2024. Tidak persis tahu kenapa Denny membocorkan hal yang mestinya jadi rahasia itu pada publik. Bocoran Denny itu dibenarkan oleh Mahfud, bahwa ia memang mengatakan pada Denny hal demikian. Bahkan ditambahkan pula, bukan hanya pada Denny saja hal itu dipesankan, tapi ia juga titipkan Anies pada Presiden PKS Ahmad Syaikhu. Tidak persis tahu apakah langkah Prof Denny Indrayana yang lalu gas pol membombardir pemberitaan, itu karena ia tengah menjalankan amanah yang diberikan Prof Mahfud, atau memang ia melihat ada hal tidak beres untuk menjegal Anies. Karenanya, ia perlu suarakan dengan caranya. Maka, pilihannya membocorkan upaya sistemik yang dirasakannya, itu bagian dari penjegalan pada Anies, baik langsung maupun tidak langsung. Prof Denny mengawalinya dengan membocorkan keputusan MK, yang belum dibacakan hasilnya ke publik, berkenaan diterimanya uji materi atas pelaksanaan Pemilu dengan sistem Proporsional Tertutup. Bahkan bocoran Denny ini sampai menyebut hasil voting, berapa anggota MK yang setuju dengan sistem Proporsional Tertutup, dan berapa yang menolak. Prof Denny tidak menyebutkan dari siapa ia terima bocoran keputusan MK itu. Hanya ia katakan, bahwa ia terima dari sumber yang kredibel bisa dipercaya. Dan, Prof Mahfud justru tampak menjadi orang paling meradang atas pilihan Prof Denny membocorkan keputusan MK yang belum resmi diumumkan. Sampai ia perlu meminta polisi menyelidiki dari mana sumber informasi yang didapat Denny itu. Disebutnya pula, bahwa Denny bisa terkena sanksi melanggar membocorkan Undang-undang kerahasiaan negara. Bla bla bla... Melihat Prof Mahfud meradang, itu hal yang semestinya ia lakukan. Dan, ia memang terbilang pejabat tingkat menteri yang tergolong aktif berceloteh, mengomentari apa saja yang menyangkut wilayah kerjanya. Seperti baru ia saja yang melakukan hal demikian, bahkan terkesan berlebihan. Tapi itu tidak masalah, setidaknya mengesankan bahwa yang ia lakukan itu juga keinginan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Sebelumnya, Mahfud dengan gagahnya membongkar mega skandal Rp 349 Trilyun di Dirjen Pajak Kementerian Keuangan, membuat kehebohan tersendiri. Setelah itu seperti tidak ada kejelasan lebih lanjut tentang mega skandal itu. Hilang seperti ditelan bumi. Menjadikan orang menduga bahwa itu sekadar permainan Prof Mahfud menjelang Pemilu. Banyak lalu yang menyangkutpautkan apa yang dilakukan Mahfud itu tidak terlepas keinginan lamanya yang tertunda, agar ia bisa dilirik setidaknya sebagai Cawapres potensial, yang bisa berkontestasi dengan yang lain. Kesan \"membongkar\" mega skandal, meski cuma menggedor pintunya saja, setidaknya itu yang ingin \"dijualnya\", bahwa ia pejabat berani dan bersih. Saat Ahmad Syaikhu, Presiden PKS, mendatangi Prof Mahfud di rumah dinasnya, ada tawaran untuknya jika saja ia bersedia disandingkan dengan Anies Baswedan dalam Pilpres 2024. Tapi Mahfud menolaknya, dan itu wajar. Bukan karena tawaran itu tidak seksi, tapi tentu Mahfud menghitung Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP), itu penentunya bukan cuma PKS, tapi ada partai koalisi lain yang belum tentu setuju dengan tawaran PKS mengajukan dirinya. Prof Mahfud menghitungnya cermat, dan menolak \"pinangan\" PKS, itu memang selayaknya. Ditambah lagi pastilah ia akan terima tentangan istana yang dahsyat, jika coba-coba nekat berjalan tidak sesuai dengan kemauan Presiden Jokowi. Pertaruhan itu pastilah dahsyat, dan Mahfud sudah memperhitungkan kekuatan yang dengan keras akan mengganjalnya. Risikonya terlalu besar jika ia nekat menerima pinangan yang belum digodok matang di KPP, dan yang hanya sekadar keinginan PKS semata. Tapi meski demikian, Mahfud perlu menitipkan pesan agar PKS \"menjaga\" dan memperjuangkan Anies untuk bisa dicapreskan. Soal ini tidak perlu \"dibuka\" oleh Ahmad Syaikhu, Mahfud memilih menyampaikannya sendiri, itu setelah Prof Denny Indrayana mengungkap bahwa Mahfud memintanya untuk bantu Anies Baswedan. Tentu apa yang disampaikan Prof Mahfud, soal ia juga \"menitipkan\" Anies pada Ahmad Syaikhu, tentu bobot pemberitaannya tidak sedahsyat apa yang \"dibocorkan\" Prof Denny Indrayana. Apa yang disampaikan Prof Denny, itu bisa ditarik pada berbagai tafsir susulan. Salah satunya, bahwa diam-diam Prof Mahfud menaruh minat yang besar pada terpilihnya Anies Baswedan. Maka, ia sampai perlu \"menitipkan\" Anies Baswedan yang dikenalnya dengan baik itu untuk diperjuangkan. Selanjutnya, Prof Denny dari Melbourne terus membombardir lewat pernyataan tertulisnya. Bahwa ada upaya Mahkamah Agung (MA) memenangkan gugatan Peninjauan Kembali (PK) Moeldoko, yang itu ditukar guling dengan kasus hukum pejabat MA di Kejaksaan. MA memenangkan Moeldoko, itu sarat politik ketimbang hukum, dan itu upaya menjegal Anies untuk bisa dicapreskan. Jika apa yang dibocorkan Prof Denny itu terbukti, maka caplok-mencaplok partai politik oleh penguasa, itu akan terus berulang. Dan, itu lonceng matinya demokrasi. Hanya untuk menjegal agar Anies tidak sampai dicapreskan, maka segala cara absurd di negara demokrasi itu bisa dilakukan, dan dengan semena-mena. Pantas saja jika Prof Mahfud sampai perlu nitip memastikan Anies bisa ikut dicapreskan, karena begitu dahsyatnya upaya penjegalan Anies itu. Langkah yang dilakukan Prof Mahfud itu manusiawi, dan itu sulit bisa dihindarkannya. Maka langkahnya itu bukan hal terlarang. Itu suara hatinya, yang itu bisa dialami siapa saja. Mustahil suara hati itu bisa dibendung. Maka, meminta untuk menjaga Anies, itu ikhtiar yang bisa dilakukannya. Meski setelah Prof Denny Indrayana \"membocorkan\" pesan itu, Prof Mahfud perlu membela diri seperlunya. Bahwa ia meminta untuk menjaga, itu agar pemerintah tidak dianggap bagian dari yang menjegal Anies. Prof Mahfud tentu tidak sedang berkelit apalagi berselancar ngeles ombak, tapi jelas ia berupaya agar apa yang diikhtiarkan meminta pada Prof Denny untuk menjaga Anies, itu tidak disalahpahami. Ia hanya ingin memastikan, bahwa Anies tidak sampai dijegal, dan ia tidak mau pemerintah yang lalu dituduh sebagai pihak yang menjegal. Sedang saya sendiri menangkap pesan tersirat, bahwa Prof Mahfud MD itu punya keinginan kuat agar ke depan negeri ini dipimpin pemimpin yang selayaknya. Dan, itu Anies Baswedan... Wallahu a\'lam. **

Mochtar Pabottingi dan Nawacita

Oleh Farid Gaban - Kolumnis MOCHTAR Pabottingi, yang meninggal beberapa hari lalu, seorang ilmuwan yang berintegritas. Beliau favorit saya untuk tulisan-tulisannya yang sangat kritis terhadap Orde Baru. Mendalam, jernih dan jauh dari kesan partisan. Itu sebabnya saya agak terkejut membaca komentar-komentar beliau mendukung Jokowi hampir secara partisan pada 2014 dan 2019. Saya pernah sekali menyapa beliau lewat facebook dan menanyakan sikapnya. Belakangan, saya mencoba memahami beliau.  Pak Mochtar itu anti militerisme. Mendukung Jokowi ketimbang Prabowo Subianto sudah hampir otomatis saja. \"Mendukung Prabowo hampir \'out of question\' buat saya,\" tulisnya dalam sebuah komentar di facebook. Ketika Jokowi bersaing dengan Prabowo, bahkan bersikap netral saja tidak cukup bagi Pak Mochtar. Beliau hampir sama pandangan dengan Romo Magnis Soeseno yang cenderung mengecam golput. Alasan lain Pak Mochtar mendukung Jokowi adalah Nawacita. Dalam beberapa tulisan, Pak Mochtar menyebut Nawacita yang diusung Jokowi sebagai upaya meremajakan cita luhur Indonesia: \"a feasable, up-to-date, and convincing restatement of the bulk of Pancasila ideals.\" Sampai 2019-2020, Pak Mochtar masih tampak menjadi \"pendukung Jokowi garis keras\". Tapi, sepertinya, harapan beliau terhadap Pemerintahan Jokowi luntur dari hari ke hari. Tulisan beliau di Kompas pada awal tahun ini (Panggilan Kerinduan, 8 Maret 2023) melukiskan kekecewaan besar. \"Tapi sungguh sangat menyakitkan bahwa wacana (Nawacita) ini segera tersimak sebagai tak lebih dari manipulasi kerinduan.\" Pak Mochtar tak hanya menyesali \"Nawacita bagai ditelan Bumi\", beliau mengecam 4 produk legislasi selama Pemerintahan Jokowi yang \"miskin legitimasi dan mencekik reformasi\". Yaitu revisi-revisi UU ITE, UU KPK, UU Minerba, serta legislasi baru UU Cipta Kerja.  Lebih dari itu: \"Kini pun terbetik kemungkinan pelecehan integritas kepentingan bangsa dalam pemaksaan liberalisasi lewat RUU Kesehatan (omnibus law).\" Pak Mochtar juga mengeluhkan matinya gairah dan inisiatif di lingkungan pendidikan serta makin terpuruknya lembaga penelitian yang \"kini diringkus paksa dalam BRIN.\" Pak Mochtar tak hanya melihat mimpi meremajakan cita-cita bangsa gagal. Situasi justru makin buruk. Bagaimanapun, salah memilih dan bersikap adalah manusiawi. Selamat jalan dalam keabadian, Pak Mochtar Pabottingi. (*)

MK, MA: Algojo Jegal Anies dan Tunda PEMILU?

Oleh: Tamsil Linrung - Anggota DPD RI Lembaga peradilan seharusnya dominan dipercakapkan dalam diskursus hukum dan ketatanegaraan, namun faktanya lembaga ini acapkali justru menjadi buah bibir politik. Tidak saja karena kasus yang diadili asalnya menyerempet politik, akan tetapi juga karena arah putusan terkesan memberi angin segar pada kepentingan politik penguasa jelang Pemilihan Presiden 2024. Perkara di Mahkamah Konstitusi (MK) misalnya, dua perkara terakhir dalam satu bulan ini begitu mengundang kegelisahan. Perkara pertama adalah keputusan MK menerima gugatan perpanjangan masa jabatan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diajukan Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron.  Biasanya MK mengembalikan perkara yang substansinya open legal policy kepada DPR selaku pembuat UU, namun, kali ini tidak. Pun begitu dengan asas retroaktif (berlaku surut), umumnya, putusan MK non-retroaktif, akan tetapi kali ini tidak. Akibatnya, masa jabatan Firli Bahuri Cs  yang tadinya berakhir tanggal 23 Desember 2023 diperpanjang hingga 23 Desember 2024.  Dari perspektif hukum, sejumlah pakar hukum mengaku tidak menemukan basis argumentasi MK dalam ratio decendi atau pertimbangan putusan. Sedangkan dari perspektif politik, putusan ini seolah memberi napas kepada pimpinan KPK periode saat ini untuk menuntaskan “misi”-nya menjegal Anies melalui kasus Formula E. Tentang kasus Formula E dan relasi dugaan penjegalan terhadap Anies telah banyak diulas pengamat dan media massa.  Presiden Joko Widodo menyatakan akan cawe-cawe dalam politik menuju 2024. Meski Deputi Bidang Protokol, Pers, dan Media Sekretariat Presiden mengatakan bahwa cawe-cawe yang dimaksud adalah mengawal Pemilu Serentak 2024 agar berlangsung jujur, adil, dan demokratis, namun kalimat presiden tetap saja dimaknai bersayap oleh banyak pihak. Teks melekat pada konteks. Tentu saja, publik akan melekatkan pernyataan presiden pada kegiatan politiknya yang terkait Pemilu 2024. Dari perspektif ini, memori publik diisi penuh oleh banyak peristiwa yang mengiringi dukungan terbuka Jokowi kepada Prabowo Subianto dan atau Ganjar Pranowo. Sebutlah pertemuan para Ketua Umum Partai Politik pendukung pemerintah di istana negara tanpa mengundang Partai Nasdem. Ambisi Jokowi mencari “penerusnya” membuat kekuasaan terlihat begitu bersimpati pada kepada Ganjar dan Prabowo, namun sentimen pada Anies Baswedan. Perkakas negara yang punya relasi langsung atau tidak langsung dengan pemerintahan diduga menampakkan gejala yang sama. Salah satu yang dikhawatirkan adalah MK yang sejatinya kudu super independen. Perkara kedua di MK yang terkait langsung dengan Pemilu 2024 adalah gugatan terhadap sistem pemilu proporsional terbuka menjadi tertutup. Bila MK memutus sistem Pemilu kita tetap proporsional terbuka, tidak akan ada masalah karena selama reformasi Pemilu diadakan demikian.  Masalah itu mengemuka bila MK memutuskan sistem Pemilu diadakan dengan proporsional tertutup. Dapat dipastikan, partai politik dan calon legislatif yang selama ini tidak memperhitungkan nomor urut akan kalap, gaduh, sekaligus bingung. Dalam bahasa Presiden RI ke-enam Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY), akan terjadi chaos politik.  Potensi chaos muncul karena perubahan sistem dilakukan di tengah-tengah tahapan Pemilu oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Jadi, chaos sebagaimana kekhawatirkan SBY hanya dampak. Problem sebenarnya adalah perubahan sistem di tengah-tengah tahapan Pemilu. Efek domino lainnya adalah penundaan Pemilu. Bila MK memutus perubahan sistem proporsional terbuka menjadi tertutup, maka tentu akan dilakukan penyesuain terhadap UU dan berbagai aturan lainnya yang membutuhkan waktu cukup lama. Sementara Pemilu diagendakan terlaksana pada 14 Februari 2024, hanya tersisa tujuh-delapan bulan lagi. Akibatnya mudah ditebak, yakni penundaan pemilu. Perubahan mekanisme Pemilu menjadi proporsional tertutup harus mendapat legitimasi kuat dari UU, bukan sekadar putusan MK. Dan pembahasan untuk proses tersebut akan melalui kajian dan diskusi yang sangat panjang, karena tidak sedikit pasal dalam sebuah UU terkait dengan pasal lainnya, bahkan ada pula yang terkait dengan pasal lainnya dalam UU yang berbeda.  Selain MK, Mahkamah Agung (MA) juga menjadi sorotan publik terkait Peninjaun Kembali (PK) kepengurusan Partai Demokrat oleh Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko. Bila PK dikabulkan, Moeldoko berhasil menikung Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono.  Buntutnya, besar kemungkinan Partai Demokrat akan mundur sebagai partai pengusung Anies dalam Koalisi Perubahan. Partai tersisa otomatis tidak dapat mengajukan calon presiden karena terhambat syarat presidential threshold. Dan pencalonan Anies sukses dikebiri. Yang mengherankan, di tengah berbagai argumentasi normatif Presiden Jokowi tentang demokrasi, tidak terlihat teguran presiden kepada kepala stafnya itu. Proses pembegalan dibiarkan berlanjut, seolah perkara begal Partai Demokrat adalah persoalan internal. Bukan. Moeldoko tidak sekalipun pernah menjadi kader Demokrat, apalagi pengurus. Ini menjelaskan bahwa ada pembiaran pencopotan Partai Demokrat, sebagaimana istilah praktisi hukum Denny Indrayana.  Kaidah hukum tentu bukan an sich tentang bunyi pasal, melainkan juga melingkupi nilai-nilai moral atau etik. Dimensi etik justru menjadi bagian penting dalam penyusunan struktur kaidah hukum. Para hakim yang mulia tentu lebih memahami situasi ini. Soalnya adalah bagaimana pemahaman itu muncul secara kongkrit dalam setiap putusan hukum.  Kita berharap lembaga peradilan dapat bersikap independen, adil, dan bijak memutus perkara, khususnya perkara hukum yang memengaruhi dinamika politik di tahun politik jelang Pemilu 2024. Nomokrasi atau kedaulatan hukum harus dijaga agar seimbang dengan demokrasi atau kedaulatan rakyat.  Karena itu, gerakan masyarakat sipil harus saling terkoneksi menjaga keseimbangan itu. Kita memerlukan orang-orang seperti Denny Indrayana yang lantang mempercakapkan situasi teknis pelaksanaan hukum kita di ranah publik agar masyarakat ikut mengawal. Bagaimana pun juga, setiap warga negara punya hak memilih dan dipilih. Negara, melalui perangkat-perangkatnya, harus melindungi hak tersebut, tidak justru menjadi algojo yang memenggal hak warga negara. Akankah MA dan MK menjadi algojo itu? Semoga tidak, kita tunggu saja.***

Membunuh Capres

Oleh M Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan  SEMESTINYA proses politik menuju Pilpres 2024 berjalan tertib dan sehat tanpa ada pola penjegalan terhadap salah satu Capres yang didukung oleh partai politik yang telah memenuhi syarat. Tetapi prakteknya ada Capres yang harus \"dipotong\" dengan mempersalahkan kasus hukum.  Adalah Anies Baswedan yang selalu menjadi target tersebut. Formula E menjadi isu pengganjalan. Ngototnya Ketua KPK untuk mentersangkakan Anies menjadi tontonan publik. Ada perbedaan pandangan Ketua dengan Tim KPK yang menelaah kasus Formula E. Ketika KPK menjadi alat politik, maka Anies potensial dipaksakan untuk diproses hukum.  Upaya penjegalan juga dilakukan melalui jalur lain yaitu PK Moeldoko di MA. Rekayasa Putusan  MA yang kelak memenangkan Partai Demokrat kubu Moeldoko membuat Partai Demokrat kubu AHY tidak dapat menyokong pemenuhan persyaratan Anies Baswedan untuk maju sebagai Capres.  Jika skenario jahat memperalat hukum di atas sukses mengganjal Anies Baswedan, maka pendukung Anies khususnya kelompok relawan mungkin akan melakukan perlawanan melalui dua jalur, yaitu:  Pertama, unjuk rasa masif atas kezaliman rezim yang telah memperalat hukum untuk tujuan menjegal. Unjuk rasa pembelaan pada Anies Baswedan yang bersinergi dengan aksi-aksi perlawanan pada rezim Jokowi untuk elemen dan isu lain seperti omnibus law, km 50, korupsi, dan lainnya. Potensial menjadi gerakan \"people power\" untuk menumbangkan Jokowi.  Kedua, pendukung baik relawan maupun partai politik melakukan desakan proses hukum untuk dua kandidat lain baik Ganjar Pranowo maupun Prabowo Subianto. Ganjar diduga kuat terlibat dalam kasus suap E-KTP. Angka 525 ribu USD menjadi pintu untuk pengejaran dan proses hukum lebih serius. Prabowo rentan dalam proyek \"food estate\" yang gagal dan meninggalkan bau korupsi. Skandal merugikan uang negara harus dipertanggungjawabkan di ruang pengadilan.  Membunuh Capres dapat pula menjadi proyek politik strategis untuk kepentingan yang bersifat multi dimensional. Jika proses politik diawali dengan niat dan cara yang tidak sehat maka biasanya berujung pada situasi yang semakin tidak terkendali. Bukan saja Calon Presiden yang mungkin \"terbunuh\" tetapi juga Presiden. Ketika situasi membuat frustrasi, maka bunuh diri adalah solusi. Solusi dari suatu kebodohan.  Proses politik bangsa kini terindikasi sedang menjalankan politik \"dumbing down\". Pembodohan dan kebodohan. Meciptakan kondisi krisis yang sulit diprediksi untuk akhirnya. Inilah mungkin saatnya \"TNI harus maju sedikit mengambil posisi\". Rakyat pun nampaknya tidak keberatan.  Bandung, 6 Juni 2023

Robohnya Demokrasi Kami

Oleh Dr. Anton Permana - Aktivis KAMI, Pemerhati Sosial dan Politik SEPERTI cerpen lawas karangan Sastrawan AA Navis asal Ranah Minangkabau Provinsi Sumatera Barat berjudul “Robohnya Surau Kami”, judul tulisan di atas memiliki makna filosofis yang dalam. Makna kalimat Robohnya Surau Kami, bukan saja bermakna hakiki (tersurat) robohnya sebuah surau (dalam bahasa Minang berarti Mushola atau Masjid kecil) secara fisik, tetapi juga bermakna kiasan (tersirat) bahkan juga memiliki makna tersembunyi (tersuruk) ala berpikir orang Minangkabau yang holistik. Yaitu, kegelisahan seorang budayawan, dan sastrawan tentang kondisi kampung halamannya yang secara pranata dan kondisi sosial budaya yang mulai bergeser. Dari kondisi konservatif kultural religius, bergeser menjadi liberal-sekuleris atas nama kehidupan moderen saat itu. Sosial kultural masyarakat Minangkabau yang sebelumnya terkenal fanatis, religius akan agama, adat dan norma budayanya, bergeser menjadi matrealistis-hedonis-plural-liberalis dan sekuler. Surau sebagai simbol penyangga ketahanan sosial religius masyarakat Minangkabau, di mata sastrawan AA Nafis sudah “roboh”, kehilangan peran dan fungsinya sebagai tempat pembinaan, belajar, kaderisasi, dan basis pergerakan dakwah orang Minangkabau yang secara notabone di masa sebelumnya berhasil melahirkan para tokoh nasional dan internasional yang unggul dan berkarakter. Begitu juga setidaknya, ketika kita mengamati kondisi kehidupan demokrasi kita hari ini. Dimana pasca reformasi menjadi icon utama pengharapan setelah Orde Baru, bahwa demokrasi akan membawa kesejahteraan, memberangus Korupsi, Kolusi, Nepotisme, memberikan kebebasan berekspresi bagi siapa saja, menjunjung tinggi Hak Azazi Manusia, serta tak akan terjadi gaya pemerintahan otoriter dan penyalahgunaan kekuasaan. Fakta yang kita lihat hari ini justru sebaliknya. KKN semakin tumbuh subur dan sistemik. Kalau pakar ilmu pemerintahan Jhon Girling dalam bukunya “Coruption, Capitalism, and Democracy”(1997),mengatakan korupsi itu terdiri dari tiga dimensi ; Individualistis-Insidentil, Institusional, dan Social Sistemic. Silahkan nilai dimana posisi kita hari ini? Hal ini selaras dengan laporan Transparacy International yang menyatakan IPK korupsi Indonesia berada pada urutan ke 110 dari 180 negara. Artinya boleh dikatakan, korupsi di negara kita hari ini sudah seperti watak dan prilaku yang sistemik alias menuju negara “kleptokrasi” kalau kita menggunakan parameternya Joseph Nye dalam bukunya berjudul “Coruptioan and Political Development” (June, 1967). Dalam hal penegakan hukum kita juga secara kasat mata melihat bagaimana terjadi ketidakadilan dan tindakan diskriminatif. Tajam ke bawah dan pihak yang berseberangan dengan pemerintah, tumpul apabila berhubungan dengan kelompok kekuasaan. Sehingga marak terjadi “Abuse of Power” dan kriminalisasi. Para aktifis dan Ulama banyak dikriminalisasi, dipenjarakan hanya karena bersuara berbeda dengan penguasa. Kejahatan dan kriminalisasi semakin marak dan parahnya lagi bahkan melibatkan para aparat penegak hukum yang seharusnya menjadi Bhayangkari negara. Kasus Sambo, Tedy Minahasa, dua  Jendral muda yang viral di publik cukup menjadi catatan buruk bagi wajah penegakan hukum kita hari ini. Dan itupun baru yang mencuat ke publik ?  Harmonisasi kehidupan sosial, HAM dan kebebasan menyuarakan kebenaran juga mengalami mimpi buruh di negeri kita saat ini. Penguasa hari ini justru menggunakan tangan-tangan para Buzzer dan influencer dalam membangun opini dan menutupi kebusukan serta kejahatan-kejahatan demokrasi yang mereka lakukan. Sesama anak bangsa diadu domba tanpa pernah ada upaya untuk menyatukan. Kehidupan ber-Agama yang sebelumnya menjadi entitas yang begitu sakral dan dihormati, saat ini diframming, distigmakan begitu sistematis seakan menjadi masalah utama dan ancaman terbesar kehidupan bernegara kita hari ini. Spritualitas kehidupan beragama seakan ditendang jauh tidak boleh berada dalam pusaran ekosistem kekuasaan. Dengan narasi dan terminologi mengerikan seperti ; Politik Identitas, Intoleransi dan Radikalisme yang difrasakan buruk secara sepihak. Parahnya lagi, mata anak panahnya tajam menunjuk ke arah ummat Islam yang tidak mau tunduk dan kritis terhadap kemungkaran. Bagi siapa yang ikut manut kepada kemauan kekuasaan, maka akan diberikan kenikmatan fasilitas kekuasaan, uang dan jabatan. Tapi bagi mereka yang tidak ikut, maka akan dicari-cari kesalahan dan cara untuk membungkamnya. Begitu juga dengan prilaku para elit kekuasaannya. Membuat regulasi perundangan sesuai dengan kehendak hati dan kepentingan politik kelompoknya. Ada yang tak sesuai dengan aturan, aturannya yang diganti. Politik sudah jadi Panglima, dan hukum menjadi alat kekuasaan. Belum lagi kita bicara konstitusi, dimana konstitusi itu yang seharusnya menjadi hukum dasar (utama) untuk “Mengekang Kekuasaan”, saat ini justru menjadi instrumen legitimasi kepentingan kekuasaan. Hanya di Indonesia yang katanya negara Demokrasi, ketua hakim Mahkamah Konstitusinya secara terbuka punya hubungan kerabat dengan Presiden. Jadi wajar, banyak pihak yang gelisah dan geram ketika dengan tanpa rasa malu, ketika seorang Presiden yang seharusnya secara konstitusi sudah mau habis masa jabatan, tetapi begitu kekeuh dan agresif berupaya melakukan manuver politik untuk memperpanjang kekuasaanya meskipun menggunakan tangan-tangan orang lain. Terakhir malah dengan terbuka akan ikut “Cawe-Cawe” dalam urusan pencapresan Pilpres yang akan datang. Sungguh terlalu ! Pilar utama dari Demokrasi itu adalah penegakan hukum, etika, dan norma. Sedangkan instrumen dari pelaksanaan dari sistem Demokrasi itu juga adalah : Berjalannya Trias Politika dalam pemerintahan, sehingga ada terjadi “Check and Balance” dalam pemerintahan. Serta tegaknya kedaulatan rakyat dengan terjaminnya hak rakyat dalam menyampaikan pendapat, perlindungan atas HAM masyarakat baik secara individual, kelompok dan kehidupannya. Dan terakhir, Demokrasi melahirkan kesejahteraan bagi masyarakat yang berkeadilan sosial bukan hanya untuk satu kelompok saja. Namun faktanya hari ini, semua berubah menjadi mimpi buruk bagi keberlangsungan reformasi yang dahulu begitu kita agung-agungkan. Demokrasi hari ini sudah runtuh menjadi Otokrasi Diktatorianisme. Kedaulatan rakyat sudah dirampok partai politik dan okigarkhi. Reformasi sudah berubah jadi “Deformasi” seperti kata Begawan Ekonomi Dr Rizal Ramli. Mimpi negara “Walfare State” sudah bergeser menuju negara “Coorporate State” yang dikuasai oleh hanya sekelompok orang saja. Masyarakat hari ini seperti terperangkap dalam samudera aliena yang ambiguitas. Bingung membaca arah navigasi perubahan. Karena semua lini seakan terkunci hegemoni status quo kekuasaan. Semua seakan menemukan jalan buntu. Tidak cukup sampai disitu. Proses sakral Pemilu dan Pilprespun saat ini terancam “di begal”. Ada upaya kuat dari anasir kekuasaan untuk memperpanjang masa kekuasaanya dengan bahasa ufimisme “Penundaan”. Penundaan tentu dengan banyak alibi dan dalih. Sangat mudah kekuasaan merancang itu. Karena system control dan early warning bernegara kita saat ini seakan lumpuh. Bahkan Partai dan proses pencalonan kandidat Capres pun yang bersebrangan dengan penguasa, juga terancam di bajak atas nama pemaksaan kehendak. Sehingga rakyat tak ada pilihan selain ikut hanyut dalam koridor peta jalan buatan oligarkhi. Demokrasi pun sakratul maut menuju mati. Berharap pada Senayan, mulut mereka terkunci takut pada ketua Partai. Melapor pada Partai, hampir semua Partai merupakan bahagian oligarkhi. Mengadu pada pemerintah dan aparat, semua tunduk manut pada kekuasaan. Mau bersuara pada media massa yang katanya juga jadi pilar demokrasi, faktanya media mainstream juga di bawah kendali para taipan dan oligarkhi. Berharap pada Mahasiswa, aktivis dan Ulama, tak henti/hentinya mereka justru jadi korban intimidasi dan kriminalisasi. Kesimpulannya Demokrasi kita hari  ini adalah Demokrasi Palsu dan halusinasi. Jadi teringat pernyataan tokoh sufi Syekh Atthaillah Iskandar yang mengatakan “Kalau baju kotor cucinya di air, tapi kalau air kotor cucinya dimana ? Manusia mati kuburnya di tanah, tapi kalau tanah mati, kuburnya dimana ?” Hampir sama dengan tulisan Pangdam Siliwangi Mayjen TNI Kunto Ari Wibowo dalam tulisannya yang viral di Kompas berjudul “Etika Pemilu 2024” yang mengatakan istilah “Tonggak Membawa Rebah” yang artinya adalah ; Akan menjadi malapetaka besar apabila pemerintah, aparatur, yang seharusnya menjadi penyangga (tonggak) utama pelaksana roda pemerintahan, tetapi juga menjadi aktor utama yang melakukan kejahatan dan pelanggaran terhadap hukum serta konstitusi. Negara pasti akan rusak dan hancur lebur apabila hal ini terus terjadi. Tapi kita mesti yakin, secara hukum Demokrasi dan Sunatullah bahwa ; Yang abadi itu adalah perubahan. Kekuasaan dalam hukum besi demokrasi itu adalah pergantian kekuasaan. Itu pasti. Kebuntuan-kebuntuan dan koptasi intimidasi yang diperagakan penguasa hari ini, justru akan melahirkan tekanan balik energi perlawanan yang semakin besar. Begitu juga nasihat Ibnu Khaldun,”Kekuasaan itu seperti menggenggam pasir. Semakin kuat menggenggam maka pasirnya semakin lepas berjatuhan”. Dan apabila sebuah kekuasaan semakin sewenang-wenang maka itu bertanda kekuasaan itu semakin dekat dengan kehancurannya dan segera berakhir. Ibarat Matahari, ada saatnya terbit di pagi hari, tapi juga ada saatnya Matahari itu akan segera tenggelam bersama gelapnya malam. Itulah hukum Alam. Tak bisa di lawan. InsyaAllah. Jakarta, 06 Juni 2023.

Fir'aun Kalap dan Nanar

Oleh Sutoyo Abadi - Koordinator Kajian Politik Merah Putih  KISAH mukjizat yang direkam secara jelas dalam al-Qur’an, adalah petunjuk yang hak sebagai kaca benggala bagi orang mukmin. Kisah Fir\'aun  bukan sekadar sejarah masa lalu tetapi menjadi ibrah, kondisi saat ini ketika harus berhadapan dengan rezim Fir\'aun kecil nyaris akan sama.  Sebab sejarah bukan cuma bercerita tentang peristiwa, nama, tempat, atau tanggal kejadian. Di sana ada telaga jernih, tempat setiap insan beriman berkaca akan perjalanan keimanannya. Raja mengaku dirinya sebagai Tuhan, Dialah Fir\'aun sang diktator dari Mesir pada jamannya. Nabi Musa As sesuai tugas kenabiannya tetap mengajak Fir\'aun sebagai makhluk yang lemah untuk berhenti mengaku sebagai Tuhan. Sifat angkuh, sombong merasa memiliki apapun yang ia kehendaki termasuk harta benda yang melimpah menolak ajakan N. Musa As. Merasa memiliki tukang sihir yang hebat dan kuat ingin Musa As harus di musnahkan.  Maka terjadilah adu kekuatan dan berahir ketika mukjizat tongkat N. Musa As,  berubah menjadi ular besar yang menelan puluhan hingga ratusan ular-ular ciptaan tukang sihir Fir’aun. Sontak Fir\'aun menjadi gagap, nanar, frustasi, galau dan kalap, ketika menyaksikan para tukang sihir yang selama ini menjadi orang kepercayaannya, mendadak sujud didepan N. Musa As. Mereka mengakui mukjizat Nabi Musa As. dan menyadari ada kekuatan Tuhan yang Maha Kuasa seraya serempak mengucapkan baiat \"sesungguhnya kami menyatakan beriman kepada Rabb semesta alam.Tuhan yang disembah Musa dan Harun\". Emosi Fir’aun langsung mendidih. Seraya berkata : \"tak ada yang bisa berbuat apapun kecuali atas seizinku\" dengan sombong dan angkuhnya. Dengan kalap dan murka langsung mengancam  : “Sungguh kalian harus bersiap menanggung semua akibat perbuatanmu\". Ia  mengancam akan membunuh bahkan akan memotong tangan dan kakinya, siapapun yang tak sepaham dengannya. Ibrah dari rekaman sejarah dalam Al Qur\'an, akan terus terjadi para penguasa Fir\'aun kecil yang salim dan otoriter akan selalu mengancam akan menyiksa dan membunuh siapapun yang menentang atau tidak sejalan dengan keinginannya. Fir’aun, adalah kehidupannya dilimpahi materi dunia. Dan dengan harta bisa membeli dan menaklukkan manusia siapapun harus tunduk kepadanya. Banyak manusia biasa atau yang suka mengaku sebagai ilmuan terpaksa limbung karena  silau dengan imbalan harta,  tidak peduli dengan menjual aqidahnya.  Itulah hakikat kehidupan manusia. Ketika benteng keimanannya lemah mengira kesenangan hidup di dunia, kehidupannya menjadi nihil.  Mereka menyeret dan menggemakan hanya yang bersekutu dengan rezim yang akan mendapatkan kemudahan, kekayaan dan kesenangan. Tak segan segan menyuarakan suara Iblis bahwa mengharapkan kenikmatan setelah mati adalah konyol dan fatamorgana. Lupa bahwa seluruh kemegahan, kemewahan dunia sesungguhnya hanya semu dan metaforgana, ilusi dan menipu. Demikianlah Fir\'aun, harus kalap dan frustasi ketika berhadapan dengan manusia yang Allah SWT, telah membenamkan keimanan dalam jiwa dan hatinya. Tukang sihir seketika berubah, memancar kan keimanan hanya Allah SWT pemilik alam dan nyawa manusia.  Jangan takut menghadapi rezim yang angkara murka dan bahkan sudah membabi buta asal tetap kuasa. Ketika sudah tiba waktunya berhadapan dengan manusia jiwanya sudah tercelup oleh  hidayah iman, seketika itu iman akan menjadi motor yang menggerakkan dan pasti akan menghancurkan mereka yang zalim dan otoriter. Seperti kaumnya Fir\'aun yang selama ini ditindas, mereka bangkit dengan gagah berani  mendeklarasikan keimanannya di hadapan Fir’aun. Bahkan secara heroik mereka menyatakan tidak masalah dengan ancaman teror Fir’aun. Bahkan dengan pertolongan Allah SWT, akhirnya Fir\'an dan pasukannya harus tenggelam di sungai Nil dengan mukjizat Nabi Musa As. Penguasa  yang kalap, nanar, frustasi, dan membabi buta, harus mengakhiri hidupnya dengan tragis. (*).

Partai Demokrat Perjuangan, Mungkinkah?

Oleh Yusuf Blegur - Mantan Presidium GMNI, Ketua Umum BroNies Soekarno, Soeharto, Habibie, Gus Dur,  Megawati dan SBY telah mendapat pelajaran berharga dan bisa mengambil hikmah bagaimana menghadapi transisi kekuasaan dari satu rezim ke rezim yang lain. Megawati Soekarno Putri pernah berseteru dengan Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) usai gelaran pilpres 2004. Hubungan dingin kedua pemimpin partai politik besar  itu, masih terasa setelah hampir memasuki waktu 20 tahun, hingga menjelang pilpres 2024.  Siklus sejarah seperti terus berulang. Jauh masa sebelum itu, presiden pertama dan kedua RI, juga memiliki friksi yang akhirnya cenderung menjadi pertentangan abadi. Konflik yang bernuansa politik dan ideologi, bahkan  tak terukur sampai kapan terus melewati zaman ke zaman dan generasi ke generasi.  Pertikaian faham Soekarno Soeharto menjelang dan sesudah transisi pemerintahan era 1965, seperti mewarisi dendam sejarah yang Tak berkesudahan hingga kini. Soeharto harus menghadapi Megawati yang memiki hubungan darah, gen politik dan kepemimpinan dari Soekarno    yang tersingkirkan olehnya.  Publik mengingatnya dengan peristiwa 27 Juli 1996 (kudatuli) yang menjadi tonggak perjuangan dan  karir politik Megawati, sekaligus mengakhiri kekuasaan Soeharto. Posisi Megawati sebagai Ketua Umum PDI, berusaha dikudeta oleh Soeharto melalui Soeryadi yang menjadi kaki tangan rezim kekuasaannya. Langkah Soeharto saat itu blunder, justru malah membesarkan Megawati sekaligus menjadi benih untuk menjatuhkannya. Momen fenomenal yang salah satunya ikut menjadi cikal bakal orde Reformasi.  Terlepas dari polarisasi Orde Baru dan Orde Lama yang terus melegenda. Ada kecenderungan muncul skenario peristiwa yang resep dan olahannya masih sama dengan peristiwa 1996, terkait akuisisi partai politik dan motifnya dengan suksesi  kepemimpinan nasional.  Menjelang pilpres 2024, SBY yang pada tahun 2004 berhasil menghentikan langkah Megawati menjadi presiden 2 periode. SBY kini harus menyaksikan putranya Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) saat menjadi Ketua Umum Partai Demokrat yang didirikan dan pernah dipimpinnya. Terancam dibegal syahwat politik.  Memang bukan oleh Megawati, melainkan oleh Moeldoko, yang mengancam posisi Ketua Umum  AHY dan keberlangsungan partai Demokrat. Namun manuver Moeldoko sebagai kepala KSP yang menjadi anak buah presiden dalam pemerintahan Jokowi, tak bisa lepas dari pengaruh dan kekuasaan Megawati. Selain sebagai Ketua Umum PDIP dan partai pemenang pemilu, bos Moeldoko yaitu Jokowi merupakan  petugas partai  yang dipimpin Megawati. Memori kolektif bangsa Indonesia menangkap ada jiwa kenegarawanan, dus aroma kekecewaan dan sakit hati Megawati terhadap SBY yang  ditumpahkan ke AHY menggunakan tangan Jokowi dan Moeldoko. Dalam drama action partai Demokrat,  rakyat akan menunggu keputusan Megawati, memilih menjadi begawan atau menjadi penguasa yang menidas sebagaimana ia pernah menjadi korbannya. Bisa saja ini menjadi pengulangan sejarah yang menyelimuti setiap pergantian kekuasaan setiap rezim di republik ini.  Pada Megawati dulu, iya mengalami penindasan sekarang telah menjadi penguasa, meski bukan presiden namun menjadi figur yang memegang peran penting dan utama.  Sementara SBY juga pernah berkuasa karena memenangkan kontestasi pilpres saat berhadapan dengan Megawati. Kini putranya AHY, harus berjuang menghadapi dugaan konspirasi Jokowi dan Moeldoko yang beririsan dengan Megawati.  Akankah Moeldoko, Jokowi dan Megawati melakukan blunder politik seperti Soeharto pada Megawati?. Apa iya, Megawati harus seperti Jeruk makan Jeruk?. Ataukah  memang ini sudah  menjadi suratan takdir bagi SBY khususnya AHY melalui Megawati?. Rasanya sekelas SBY seorang mantan presiden yang berasal dari TNI, tak akan diam  saat partai Demokrat besutannya diobok-obok Moeldoko dan merampoknya menggunakan MA yang menjadi alat kekuasaan. Mungkinkah akan lahir Partai Demokrat Perjuangan (PDP) mengikuti PDIP?, sebagai penegasan  sejarah selalu berulang dan perubahan akan selalu tampil sebagai pemenangnya.  Entahlah, tapi yang jelas baik SBY maupun Megawati tak  seperti Jokowi.  *) Dari pinggiran catatan labirin kritis dan relung kesadaran perlawanan. Bekasi Kota Patriot, 5 Juni 2023/16 Dzulqa\'dah 1444 H.

Mana 349 Triliun, Tuan Tuan dan Puan Puan?

Oleh M Rizal Fadillah  - Pemerhati Politik dan Kebangsaan  Sebelum kasus korupsi BTS yang merugikan negara Rp8 Trilyun terbongkar dan berdampak hukum kepada Menkominfo Johny G Plate serta konon menyeret beberapa tuan-tuan dan puan-puan lain, maka kasus besar TPPU Rp349 Trilyun di Dirjen Pajak Kemenkeu telah menghebohkan lebih dulu.  Kedua kasus \"diledakkan\" oleh Mahfud MD Mekopolhukam dan \"dijinakkan\" oleh Mahfud MD juga. Khusus kasus pencucian uang Rp349 Trilyun pola penjinakkannya melalui Satgas \"cawe-cawe\" TPPU yang melibatkan banyak instansi termasuk Kemenkeu sendiri. Proses pemeriksaan tertutup dari pandangan publik. Rakyat dibutakan dan ditulikan hanya disuruh menunggu hasil kerja \"cawe-cawe\" Satgas TPPU bentukan Mahfud MD tersebut.  349 Trilyun itu besar sekali tuan-tuan dan puan-puan, ini rekor terbesar dari \"pencurian\" uang negara dalam sejarah bangsa merdeka ini. Sulit membayangkan betapa besarnya uang tersebut. Iseng-iseng melihat harga sebuah Kapal Induk termegah dan terbesar serta termoderen milik AS yaitu USS Gerard Ford ternyata \"hanya\" Rp169,1 Trilyun.  Wuih, jika uang Rp349 Trilyun yang diduga dicuri itu kembali, Indonesia dapat menjadi negara yang luar biasa hebat dapat membuat atau membeli 2 Kapal Induk sekelas USS Gerard Ford.  Ini jika bandingan dengan harga Kapal Induk terbesar di dunia. Nah, jika dibandingkan dengan harga kerupuk atau serabi maka akan jauh lebih dahsyat lagi.  Kini Rp349 Trilyun bagai tenggelam dalam ruang \"kongkow-kongkow\". Semestinya itu pekerjaan Pansus DPR RI atau langsung disidik Kejaksaan Agung. Pencucian uang gila-gilaan nampaknya dicoba ditutup-tutupi, apakah benar hanya \'ditilep\' oleh oknum pegawai Kemenkeu saja ataukah juga mengalir ke partai politik tuan-tuan dan puan-puan ? Bersihkan istana dalam kasus besar seperti ini ?  Lalu bagaimana nasib RUU Perampasan Aset yang katanya sudah ada Surat Presiden (Surpres) ke DPR itu, kok senyap-senyap saja ? RUU gandengan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) itu harus segera diproses. Jangan dibuat \"surprise\" menjadi menguap. DPR yang tidak kunjung melakukan pembahasan.  Kita boleh sibuk dengan isu Capres dan cawe-cawe Capres yang dinyatakan secara terang-terangan oleh Presiden Jokowi, tetapi kita tidak boleh lupa dengan berbagai skandal keuangan negara yang dinilai spektakuler tersebut. Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) adalah borok bangsa yang harus segera disembuhkan. Rezim Jokowi telah berprestasi besar dalam menciptakan borok ini.  Satgas TPPU seharusnya menyampaikan \"progress report\" kepada publik atas pelaksanaan tugasnya, jangan diam-diam saja. Atau sang jagoan \"blow up\" Mahfud MD mengomentari langkah, menyentil atau mengkritisi atau apapun yang memberi informasi kepada publik tentang perkembangan kasus.  Jika tenggelam kasus ini maka sebaiknya tinjau ulang keberadaan Satgas TPPU. Bubarkan dan kembalikan pada mekanisme kedewanan atau langsung proses hukum. Kembangkan dan tindak lanjut temuan penyelewengan Rafael Alun Trisambodo, anak buah Sri Mulyani.  Publik sudah terlanjur mengetahui adanya dugaan penyimpangan keuangan pada kasus 349 Trilyun tersebut. Sulit menghapus begitu saja. Publik menuntut adanya \"financial crime investigation\". Dugaan itu berbasis laporan PPATK.  Sekarang publik sedang bertanya \"Mana 349 Trilyun, tuan-tuan dan puan-puan  ?\" Itu uang besar. Sangat dibutuhkan untuk menolong beban berat kehidupan rakyat kecil.  Pak Mahfud, mbak Puan, bu Sri Mulyani dan mas Jokowi ayo jawab serius pertanyaan itu dengan langkah nyata untuk menyelamatkan, bukan berputar-putar mengatur cara untuk dilupakan dan ditenggelamkan.  Jika demikian, betapa jahatnya kalian itu. Patut untuk mendapat predikat sebagai rezim kriminal. Rezim para perampok.  Bandung, 5 Juni  2023

Renungan Imajiner Anies Baswedan, Abu Jahal Harus Dilawan

Oleh Smith Alhhadar - Penasihat Institute for Democratic Education (IDe) BENCANA bisa datang kapan saja. Ibarat musim pancaroba, politik nasional hari ini sedang memasuki fase tak menentu. Keadaan memang sulit. Tapi di situlah perjuangan menemukan maknanya. Kuhabiskan malam-malamku memikirkan nasib bangsaku. Bangsa yang hampir selalu dikalahkan oleh pemimpinnya sendiri. Karena itu, aku mencintainya. Tapi cintaku tak akan berarti tanpa aku menjadi pejuang. Nasib manusia bukan milik manusia. Pada akhirnya Allah yang akan menentukan seperti apa jalan hidup tiap-tiap orang. Tapi ikhtiar wajib dilakukan untuk membuka kemungkinan manusia mengendalikan nasibnya sendiri.  Tidak banyak orang yang berhasil. Tapi Allah lebih menghargai proses daripada hasil akhir. Aku periksa kembali perjalanan hidupku hingga aku sampai pada titik ini. Terus terang tidak semua berjalan sesuai rencanaku. Aku takjub pada takdir yang -  kendati kadang membelokkan rencanaku - ia mengganti dengan sesuatu yang lebih menantang. Dan aku selalu membuka diri untuk menerima semua yang dihadirkan nasib. Apapun jenis tantangan dan cobaan itu. Dengan begitu, aku bisa bangga pada diriku. Keadilan Ilahi tak dapat diukur dengan konsep-konsep keadilan manusia. Memang kadang aku kecewa atas cobaan dadakan yang datang tengah malam. Walakin, kekecewaan itu selalu sembuh sendiri. Pada hakekatnya, ia adalah sarana yang disediakan alam untuk mendewasakan manusia. Menolaknya sama artinya kita berhenti menjadi manusia. Maka kukatakan pada diriku: \"Anies, lawan! Jangan sekali-kali kau biarkan kemungkaran berjalan di muka bumi dengan sombong. Kau tak akan kalah dalam keadaan bagaimanapun. Mana ada pejuang yang ikhlas dihina Tuhan.\" Namun, jangan mengira aku berambisi menjadi presiden. Sama sekali tidak! Aku tak punya instrumen apapun yang bisa membawa aku ke sana. Aku bkn pemimpin partai, kader pun bukan, apalagi dana. Padahal, kader partai dan logistik syarat kunci menjadi presiden di negeri ini, bukan integritas, prestasi, dan kapasitas intelektual. Lihat, Jokowi saja bisa menjadi presiden! Dua kendala yang kuhadapi itu mestinya menggugurkan imajinasi orang bahwa jihadku hanyalah meraih kekuasaan, duduk di Istana yang \"sakral\" sambil mengagungkan diri. Dan mengancam siapa saja: Aku berkuasa atas nasib kalian, bukan Tuhan. Maka, hiduplah dengan tertib dengan kepala menunduk sebagaimana rakyat Korea Utara. Aku maafkan orang yang berasumsi demikian atas diriku. Toh, mereka mengalami mimpi buruk menyaksikan perilaku presiden yang sekarang. Dulu, melihat wajah dan penampilannya, mereka yakin dia bukan dari kalangan Fir\'aun. Mana mungkin tawa dan cara jalan Fir\'aun seperti itu. Nyatanya mereka salah besar. Penguasa fir\'aunik selalu muncul di semua zaman, di semua bangsa. Mereka hanya perlu bersalin diri untuk mengelabui rakyat. Tak apa rakyat menduga aku calon penguasa sejenis itu. Dulu juga mereka menuduh aku akan menindas minoritas, membuang Pancasila, sampai aku membuktikan sebaliknya. Aku memang punya cita-cita. Tapi bukan untuk menjadi presiden. Itu terlalu jauh dan aku tahu diri. Kukejar pendidikan setinggi-tingginya hingga ke mancanegara hanya untuk membuat aku lebih arif dan awas dalam menapaki kehidupan yang penuh misteri. Dan kelak bisa memberdayakan bangsaku melalui transfer ilmu. Aku membaca sejarah bangsa-bangsa yang mengungkapkan bahwa banyak bangsa kere menjadi maju karena mengapitalisasi bidang pendidikan. Tak sedikit juga yang surut ke belakang karena penguasa tak serius mencerdaskan bangsanya. Segera kudirikan \"Gerakan Indonesia Mengajar\". Kukirim anak-anak muda terbaik yang berbagi visi denganku ke pelosok-pelosok terjauh negeri ini demi memberdayakan mereka yang terbuang. Berdirinya Republik ini didasarkan pada janji menegakkan keadilan sosial bagi semua. Tanpa kecuali. Kalau semua mendapat kesempatan ekonomi, politik, dan sosial secara proporsional, energi bangsa akan berlipat ganda, persatuan akan terbangun, sehingga mimpi kita bangsa besar dan beradab menjadi masuk akal. Lalu, lingkungan dan dinamika politik nasional berubah. Sistem demokrasi dirayakan di mana-mana, lebih meriah dari Idul Fitri, seolah kita baru saja terbebas dari penjajahan. Rakyat berjalan penuh percaya diri. Dan optimis mereka akan segera sejahtera di bawah negara yang humanis dan pemimpin yang rendah hati. Aku terharu dan ikut hanyut di dalamnya. Kini presiden Indonesia boleh berasal dari kalangan rakyat biasa. Asal mampu, siapa saja boleh memasarkan diri untuk dinilai rakyat. Tiba-tiba slogan Abraham Lincoln \"demokrasi adalah kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat\" berkumandang. Aku mulai tergelitik. Mengapa tak aku coba bersaing untuk menjadi pemimpin puncak? Dengan kekuasaan besar yang dimiliki presiden Indonesia pasti lebih mudah memajukan bangsaku. Tapi peluang berkompetisi dalam pilpres belum datang hingga aku membuktikan mampu memajukan DKI Jakarta yang kompleks secara sosial. Meskipun para pembenciku terus menebarkan dusta tentang diriku, lebih banyak yang mengapresiasi kinerjaku. Biar begitu, dalam konteks pilpres, aku menyadari aku bukan siapa-siapa. Tak punya partai, miskin pula. Sekonyong-konyong sebuah partai yang dulu memojokkan aku dalam Pilgub DKI 2017, meminta aku bersedia menjadi bakal capresnya. Bukan main kagetku. Apakah aku tak sedang bermimpi? Ini partai pendukung penguasa yang membenci aku hingga ke tulang sumsum. Yang juga menakjubkan, partai ini rela kehilangan segalanya sebagai resiko mengusung aku. Tidak mungkin hal semacam ini bisa terjadi di negeri ini, di mana nyaris semua partai berwatak pragmatis dan oportunistik. Maka kita menyaksikan penguasa mengintimidasi dan mengkriminalisasi menteri-menteri dari partai ini dan menghancurkan kerajaan bisnis pemimpinnya. \"Tidak msk akal, demi aku, semua dikorbankan hingga ludes.\" Dua partai lain yang ikut mencapreskan aku, menghadapi rayuan, tekanan, dan ancaman yang nyaris sama. Persis seperti Orde Baru memperlakukan Megawati Soekarnoputri. Aku menangis menyaksikan durjana ini. Bagaimana menjelaskan fenomena ini ketika kita menganggap demokrasi telah menjadi konsensus nasional? Pertanyaan ini muncul lantaran banyak sekali cerdik-pandai yang fasih bicara tentang demokrasi, namun membiarkan konstitusionalisme dilanggar secara kasat mata. Berkali-kali pula. Semoga mereka tak membenarkan pendapat Mochtar Lubis bahwa orang Indonesia memiliki watak munafik dan enggan bertanggung jawab. Gagal menyingkirkan aku dari arena kontestasi melalui cawe-cawe pilpres, penguasa memperalat lembaga-lembaga hukum untuk tujuan yang sama. Tak malu pula presiden mengaku tak bisa netral demi bangsa dan negara ke depan. Mati aku. Bukan main presiden kita ini! Berani nian dia berdusta pada semua orang. Tak perlu aku ungkap mengenai kebobrokan negara selama kepemimpinannya. Toh, kalian semua sudah tahu. Maka aku putuskan keluar dari zona aman dan menantang penguasa. Bukan demi aku menjadi presiden, melainkan tegaknya aturan main dan norma demokrasi. Terlebih, menahan laju kemerosotan bangsa. I mean it. Tak menjadi presiden bukan masalah bagiku. Tapi cita-cita kemerdekaan dan reformasi harus tetap menyala biar bangsa ini tak masuk kembali ke dalam terowongan gelap. Esensi pemilu bukan untuk melanjutkan program pembangunan sebelumnya, melainkan membuka peluang bagi terjadinya koreksi terhadapnya, melanjutkan yang sudah baik, dan menawarkan konsep baru. Aku akan menjadi orang tak berguna, bahkan pengecut, bila membiarkan aniaya atas partai-partai yang mengusungku terus berlangsung. Sungguh, kalau kemarin aku agak hati-hati merespons sikap culas penguasa untuk memberi pesan perlunya keadaban dalam politik, hari ini sikap seperti itu tak relevan lagi. Apalagi kita bukan sedang berhadapan dengan kekuatan yang rasional, melainkan kekuatan jahil, pongah, dan rakus. Kuakui aku adalah antitesa penguasa. Mengapa juga aku harus melanjutkan legacy pembangunan penguasa yang nyaris berantakan semuanya? Intinya, pembangunan harus menyejahterakan rakyat lahir-batin, bukan memperkaya orang yang sudah kaya sambil membiarkan kemiskinan meluas. Cina dibiarkan mengeruk sumber daya alam kita untuk memperkaya dirinya sendiri. Rakyat kita dibiarkan jadi penonton yang teriris hatinya. Yang seperti ini yang harus dilanjutkan pemerintah berikutnya? Sudah hilangkah rasionalitas dan nurani kita? Tidak. Sekrang aku bersemangat untuk menjadi presiden. Akan aku babat habis korupsi, membasmi politik dinasti, menata ulang aturan yang hanya melayani kepentingan oligarki, dan mengangkat kembali martabat rakyat yang hak-haknya dipreteli tanpa mereka sadari, atau barangkali mereka sudah berdamai dengan kegetiran hidup yang diwariskan dari generasi ke generasi sebagai takdir. Aku harus katakan kepada mereka: ini bukan takdir dari Tuhan. Ini belenggu yang diciptakan penguasa zalim. Kita bisa berubah. Pasti bisa! Aku tak menjanjikan yang muluk-muluk, tapi kita punya modal besar untuk kelak menjadi bangsa besar. Kuncinya sederhana: ubah paradigma pembangunan kuno yang digunakan penguasa sekarang. Modal kita bukan pada sumber daya alam dan investasi asing yang eksploitatif, melainkan pada sumber daya manusia. Artinya, rakyat yang cerdas dan tercerahkan otomatis akan menghela bangsa ini ke ujung terjauh kemajuan seiring dengan meningkatnya kemampuan mereka berlipat ganda. Tetapi tantangan masih melintang di jalan, seperti ranjau yang dipasang ISIS di Afghanistan. Tugas kita sekarang adalah rekayasa busuk penguasa dan memastikan tahapan pilpres berjalan fair hingga akhir. Abu Jahal harus dilawan! Kemenangannya akan berarti kita kembali ke jalan kebodohan yang menghina manusia. Jalan Abu Jahal adalah jalan yang dilawan para Nabi dan filosof dari semua zaman, dari semua bangsa. Dengan usaha, kearifan, moral, dan ilmu pengetahuan, insya Allah Abu Jahal kita kalahkan. Wallahu \'alam bissawab! Tangsel, 4 Juni 2023