OPINI

Sanad Keilmuan Anies, dari Pabelan hingga Tebuireng

Oleh M Chozin Amirullah -  Alumnus Ponpes Tebuireng Jombang BULAN Agustus 2023, Anies melakukan silaturahmi ke beberapa pesantren di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Di Jawa Timur, Anies mengunjungi Pondok Pesantren Islam At-Tauhid Sidoresmo Pondok dan Pesantren Walisongo Situbondo. Sementara di Jawa Tengah, Anies mengunjungi Pondok Pesantren Pabelan di Magelang.  Kunjungan ke Ponpes Pabelan, Magelang ini terasa istimewa bagi Anies Baswedan. Sebab, Anies pernah belajar di pondok pesantren ini saat duduk di bangku SMP. Saat acara ngobrol bareng santri di Ponpes Pabelan, Anies bernostalgia dan menceritakan pengalamannya belajar di pesantren tersebut. Selain itu, Anies juga menyampaikan materi dialog wawasan kebangsaan. Menjadi santri yang pintar agama sekaligus cinta tanah air adalah satu kesatuan yang tak bisa dipisahkan. Itulah salah satu ciri dari santri Ahlussunnah wal Jamaah.  Ada beberapa alasan mengapa orang tuanya memilih Ponpes Pabelan sebagai tempat belajar agama bagi Anies Baswedan. Pertama, lokasi Ponpes Pabelan di Mungkid, Magelang tidak terlalu jauh dari tempat tinggal Anies Baswedan di Yogyakarta. Dari rumah Anies Baswedan di Yogyakarta ke ponpes jaraknya sekitar 30 kilometer yang bisa ditempuh dalam waktu kurang dari satu jam.  Alasan berikutnya yang tak kalah penting adalah mengenai sanad atau jalur keilmuan Ponpes Pabelan yang bila dirunut akan sampai pada ponpes Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja) ternama di Indonesia. Agar memahami sanad atau lacak galur keilmuan Ponpes Pabelan, maka kita harus memahami awal berdirinya ponpes ini.  Ponpes Pabelan sebenarnya adalah salah satu yang tertua di Jawa Tengah. Hanya saja, pondok pesantren ini mengalami beberapa kali pasang surut. Cikal bakal Pondok Pesantren Pabelan dimulai pada tahun 1800-an, ditandai dengan kegiatan mengaji yang dirintis oleh Kiai Raden Muhammad Ali.  Namun, ketika pecah Perang Diponegoro (1825-1830), ponpes ini berhenti dalam waktu panjang. Berhentinya ponpes waktu itu disebabkan Kiai Raden Muhammad Ali ikut berjuang bersama Pangeran Diponegoro. Beliau memang salah satu pengikut Pangeran Diponegoro dan Ponpes Pabelan menjadi salah satu markas utama pendukung pernjuangan Pangeran Diponegoro. Selesainya Perang Diponegoro membuat Ponpes Pabelan berhenti dalam waktu panjang.  Pada tahun 1900-an, Ponpes Pabelan sempat bangkit di bawah asuhan Kiai Anwar dan dilanjutkan oleh Kiai Anshor. Namun kemudian Pondok Pabelan kembali mengalami kevakuman. Baru pada periode ketiga, yaitu pada 28 Agustus 1965 Ponpes Pabelan beroperasi lagi di bawah asuhan Kiai Hamam Dja\'far.  Perjalanan Kiai Hamam Dja\'far dalam menghidupkan lagi ponpes di Pabelan ini terbilang menarik. Cerita menarik tersebut termasuk usaha Kiai Hamam dalam menuntut ilmu sebagai bekal untuk menghidupkan dan mengembangkan pondok pesantren.  Setelah menyelesaikan Sekolah Menengah Islam di Muntilan pada 1952, Hamam Dja’far muda melanjutkan ke Ponpes Tebuireng yang didirikan oleh KH Hasyim Asy\'ari, Pendiri Nahdlatul Ulama. Setelah belajar di Ponpes Tebuireng, Hamam Dja’far muda lalu melanjutkan kuliah di Pondok Modern Darussalam. Hamam muda belajar langsung di bawah asuhan “Trimurti” pendiri Pondok Modern Darussalam Gontor: K.H. Ahmad Sahal, K.H. Zainudin Fananie, dan K.H. Imam Zarkasyi.  Setelah menimba ilmu di Ponpes Tebuireng dan Ponpes Darussalam Gontor, Kiai Hamam kembali ke Muntilan lalu mendirikan Ponpes Pabelan pada tahun 1965. Bila melihat sanad keilmuan Kiai Hamam Dja’far sebagai pendiri Ponpes Pabelan, tak salah bila sanad Anies Baswedan terhubung langsung dengan Hadratus Syekh KH Hasyim Asy’ari, sang pendiri Nahdlatul Ulama. Sebab, guru dari Anies Baswedan pernah belajar langsung kepada KH Hasyim Asy’ari.  Jadi tepat bila Anies Baswedan masuk sebagai seorang dengan amaliyah Ahlusunnah wal Jamaah atau aswaja. Anies adalah bagian tak terpisahkan dari Ahlussunnah wal Jamaah an-Nahdliyyah. Sebab, bila dirunut sanadnya, kakek gurunya adalah Hadratus Syekh KH Hasyim Asy’ari. (*)

Dampak Buruk Hasil Amandemen UUD 45

Oleh M.Hatta Taliwang - Aktivis MPR  sebagai rantai terkuat dalam sistem ketatanegaraan kita yang dibuat pendiri bangsa  kini lumpuh dan dampaknya luar biasa terhadap kedaulatan rakyat. MPR  sesuai namanya adalah tempat tertinggi rakyat bermusyawarah melalui wakil / utusan yang dipilihnya.  Musyawarah itu bisa berkaitan dg siapa yg akan memimpin rakyat (menjadi Presiden), bermusyawarah tentang ke arah mana bangsa mau dibawa dalam jangka waktu tertentu untuk mencapai cita-cita kita bersama (GBHN). Sekaligus juga MPR menilai prestasi dan kinerja Presiden untuk diminta pertanggung jawabannya setiap akhir masa jabatan. Bahkan dalam kewenangan tertentu sesuai rumus manajemen reward and punishment, MPR RI bisa memberi apresiasi dan penghargaan bila Presiden berprestasi dan berkinerja baik. Sebaliknya bisa juga memberi punishment baik berupa peringatan maupun pemberhentian bila Presiden tidak menjalankan tugas dg semestinya, atau melakukan korupsi, melakukan perbuatan tercela dan pengkhianatan. Secara normatif hal-hal tersebut sudah diatur dalam UUD 45 18 Agustus 1945. Masalah MPR RI Pasca Amandemen Tidak menjadi Lembaga Tertinggi negara dengan dampaknya sebagai berikut : Semua  Lembaga Tinggi Negara (LTN)  seperti Lembaga Kepresidenan, MA, BPK, DPR, DPD, MK,  dll jadi \"kerajaan\" masing-masing. Egocentrisme lembaga mengental. MPR yang biasanya menurut UUD 45 18 Agustus 45 sebagai tempat mempertanggung jawabkan tugas di akhir jabatan tidak diperlukan. Sementara rakyat banyak tidak tahu apa kerja mereka, tahu-tahu setelah 5 tahun  bubar jalan. Presiden yang memimpin 270-an juta rakyat cukup di-SK-kan oleh KPU dan selesai tugasnya tidak merasa  perlu  mempertanggung jawabkan prestasi dan kinerjanya  di forum terhormat Majelis Permusyawaratan.  Sistem ini tidak membangun rasa tanggungjawab hemat,  apakah berhasil atau gagal. Tidak ada reward and punishment, tidak ada yang perlu dirisaukan oleh Presiden yang berakhir masa jabatannya. (Sementara Kepala Desa saja ada forum pertanggungan jawab masa akhir jabatannya) Malahan  bisa ikut Pilpres  lagi kalau baru dalam masa jabatan pertama.  Menyerahkan penilaian prestasi dan kinerja Presiden ke publik atau rakyat dalam konteks demokrasi liberal yang dikendalikan pemilik modal adalah tidak bijaksana.  Karena dengan kekuatan uang, kekuatan media massa mereka bisa kendalikan opini. Sehingga yang hitam bisa jadi putih dan seterusnya seperti dalam kasus Pilpres yang kita saksikan di masa Pilpres maupun Presiden sekarang di era reformasi. MPR adalah tempat musyawarah tertinggi, tempat di mana Presiden, putra terbaik dan utama seharusnya dipilih berdasarkan perwakilan musyawarah dengan segala hikmah kebijksanaan dari para tokoh bangsa dari segala aliran, profesi, golongan, utusan daerah dll. Banyak yang mengkritik sistem perwakilan dan musyawarah ini , padahal ada partai yang mempraktekkan cara ini dan partainya sampai sekarang terus maju. Pergantian kepemimimpinannya tanpa gejolak, output partainya luar biasa. Sebuah ormas agama yang sudah mapan juga mempraktekkan cara perwakilan dan musyawarah mufakat dalam memilih pemimpinnya. Sampai sekarang ormas keagamaan tsb tetap stabil, maju dan outputnya luar biasa.  Hampir semua organisasi masyarakat termasuk parpol melakukan pemilihan kepemimpinannya dengan sistem perwakilan dan musyawarah mufakat. Tak ada yang meminta seluruh anggota yang punya kartu datang ke bilik suara untuk memilih ketumnya. Mengapa saat harus memilih Presiden dengan  sistem Perwakilan Permuysawaratan sesuai Sila ke 4 Pancasila malah dianggap kuno dan tak demokratis lalu dicampakkan begitu saja? MPR RI seharusnya menjadi tempat kata akhir segala keputusan penting dikeluarkan. Di negara negara yang katanya demokrasi seperti Inggeris, Jepang, Thailand dll sedemokrasi apapun mereka, sebebas apapun mereka, kalau ada krisis politik di negara mereka, mereka kembali meminta kata akhir dari Raja/ Ratu/Kaisar. Di Indonesia pasca reformasi, Presiden menabrak  UU, melakukan kebohongan, keributan antar/internal Lembaga Negara (KPK vs Kepolisian, DPR vs KPK, Ribut di DPD RI dll) berlalu begitu saja tanpa kejelasan penyelesaian. Bahkan dalam kasus KPK berujung KPK dikuasai kepolisian. Saling menaklukkan, bahkan terjadi  saling hujat, saling negasi di publik. Padahal masalah-masalah ini mestinya bisa diselesaikan di MPR jika MPR RI masih sebagai lembaga tertinggi negara  yang bisa mengeluarkan \"Kata Akhir\" tanpa bisa diperdebatkan lagi secara politik. Sehingga dalam perspektif kami MPR RI bagaikan \"Raja\" dalam sistem ketatanegaraan  kita. Karena memang dulu Nusantara yang bergabung ke dalam NKRI ini adalah terdiri dari raja dan sultan yang tentu saja punya pengalaman bernegara dan mengatur \"negara\" mereka masing masing, sehingga mempunyai pengalaman dan kearifan yang luhur. Negara sebesar, seluas dan memiliki tingkat heterogen yang tinggi tak mungkin stabil bila diatur dengan cara cara liberal. Ada pakar hukum tatanegara  yang  selalu membanggakan check and ballances dalam kekuasaan, sebagai argumen atas di turunkannya derajat MPR RI dari Lembaga Teringgi Negara menjadi Lembaga Tinggi Negara.  Karena check and ballances itu berdasarkan hukum permintaan dan penawaran yang dalam ekonomi disebut persaingan bebas.  Persaingan yang akan membentuk keseimbangan, padahal faktanya persaingan itu melahirkan dominasi, bukan keseimbangan. Kita saksikan bagaimana lembaga legislatif bisa dilumpuhkan oleh Presiden dengan mengeluarkan Perppu No 2/2020 yang menyunat hak budget DPR soal anggaran Covid. Juga dengan banyak Ketum Partai tersandera karena kasus korupsi dll maka anggota DPR ikut tersandera. Sehingga banyak kepentingan rakyat terabaikan.UU lahir sesuka Eksekutif. Lalu dimana check and balances yg dibanggakan olen pembela UUD 2002 itu?  UUD Amandemen itu memang berdasar prinsip check and ballances. Atas dasar itulah membagi cabang cabang kekuasaan secara setara satu dengan lainnya. Masing masing cabang kekuasaan memperjuangkan kepentingan sendiri sendiri, berusaha memperbesar kekuasaan dan mempertahankan kekuasaan agar tidak diambil yang lain. Terjadi pertarungan internal. Dalam rangka apa? Dalam rangka kekuasaan semata. Kekuasaan mengabdi pada siapa ? Ya pada pribadi, keluarga dan golongan semata (Salamuddin Daeng).  Perhatikan prilaku kekuasaan dan aktor kekuasaan era reformasi . Ribut demi negara atau ribut demi diri dan kelompoknya? Jadi buat apa saling menyeimbangkan (ballances) sementara yang diperlukan bangsa ini meningkatkan produktivitas, perbaikan dan kemajuan bangsa dlm bidang sosial, budaya, ekonomi, politik, kehormatan bangsa (penghargaan internasional) dll. Sebagai akibat dari tidak berfungsinya MPR seperti sekarang maka peran musyawarah itu diambil alih oleh oligarki pemodal dan oligarki politik atau dalam bahasa sehari-hari mereka adalah beberapa ketum partai dan beberapa taipan. Mereka yang \"bermusyawarah\" menentukan siapa capres, kemana arah bangsa dan ke mana bisnis mau diarahkan. Rakyat cuma jadi penonton atau supporter tanpa tahu arah nasib mereka. Situasi di mana rakyat tak berdaulat begini akan merusak hari depan rakyat Indonesia. Sistem itu seperti mobil, kalau ada masalah direm atau kopling maka mobil itu bermasalah. Bisa berbahaya buat keselamatan penumpang. Sehebat apapun supir,  bila mobilnya punya masalah sistemik, maka supir tak berdaya. Dalam perspektif kami, Indonesia bermasalah dengan sistem ketatanegaraannya. Masalah leadership itu masalah tersendiri. Dampak dari masalah sistem UUD kita antara lain membuat output bangsa/negara kita terus menurun. Hampir semua negara yang dulu sejajar di Asia Timur dan Tenggara telah meninggalkan kita dalam banyak hal. Bahkan Vietnam yang merdeka 30 tahun belakangan dari Indonesia, telah mengejar kita. Malaysia yang dulu banyak belajar dari Indonesia sudah jauh meninggalkan kita dalam banyak hal. Apakah situasi itu tak menyadarkan kita? Karena itu hemat kami menjadi sangat urgen kita menata UUD termasuk didalamnya menata MPR RI. (BERSAMBUNG)

Menggila Pembuatan Berhala Patung Soekarno

Oleh M Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan PATUNG Soekarno setinggi 20 meter lebih senilai 14,5 milyar yang akan dibangun di Taman Saparua masih mendapat penolakan warga. Gubernur Ridwan Kamil tidak memperlihatkan tanda akan membatalkan perizinan. Terkesan terjebak pada transaksi politik yang telah dibangun dengan elemen politik berkedok Yayasan. Yayasan Putera Nasional Indonesia. Pembangunan itu jauh dari kepentingan masyarakat Jawa Barat. Tanpa perencanaan, penelaahan atau pengkajian yang melibatkan stake holder kompeten.  Pembangunan patung Soekarno tersebut ternyata memiliki multi permasalahan baik keterlibatan wakil rakyat, konsistensi pada aturan, penggunaan lahan, sosialisasi, aspek budaya bahkan bersinggungan dengan keyakinan keagamaan. Sebutannya \"kultus\" dan \"keberhalaan\". Di tengah gonjang-ganjing rencana pembangunan patung Soekarno di Taman Saparua yang mengejutkan warga, kini rakyat Jawa Barat dikejutkan lagi dengan berita bahwa di Perkebunan Walini Kecamatan Cikalong Wetan Kabupaten Bandung Barat akan dibangun patung Soekarno denggan tinggi 100 meter.  Patung yang berada di kawasan seluas 1.270 hektar tersebut berlokasi di eks proyek Transit Oriented Development (TOD) Kereta Cepat Jakarta Bandung. Dengan nilai investasi sebesar 10 (sepuluh) trilyun rupiah. Ini namanya proyek patung raksasa berkamuflase obyek wisata. Konon kini pembuatannya masih dalam tahap perizinan.  Rupanya proyek patung Soekarno semakin menggila dan luput dari perhatian publik. Mengapa patung dan mengapa Soekarno adalah pertanyaan mendasar bagi rakyat Jawa Barat yang daerahnya \"diinvasi\" oleh patung Soekarno. Pemerintah Jawa Barat maupun Pemerintah Daerah setempat harus menjelaskan dan bertanggung jawab atas kecenderungan \"kultus\" dan \"keberhalaan\" ini.  Fir\'aun yang diktator digambarkan dengan patung-patungnya. Beragam pose Fir\'aun  ada setengah badan, lengkap berdiri, duduk maupun hanya kepalanya. Uniknya di lokasi wisata \"Water Park\" di kota Banjar ada dua patung Fir\'aun. Tentu saja ditolak keberadaannya oleh banyak pihak. Patung duplikat raja Mesir itu tak pantas untuk dipamerkan menjadi bagian dari obyek wisata.  Di samping Fir\'aun, tokoh \"diktator\" yang banyak tampilan patung adalah Vladimir Illyich Lenin. Di Ukraina sebanyak 1 320 patung Lenin diruntuhkan sebagai simbol perlawanan Ukraina melawan Rusia. Di Rusia sendiri tersebar patung Lenin dengan berbagai model. Jumlahnya sampai mencapai 6000 patung. Tokoh revolusi Bolshevik ini memang dikultuskan sebagai \"tuhan\" komunisme.  Patungisasi Soekarno di Indonesia tentu bukan dimaksudkan untuk membuat \"tuhan\" nasionalisme, akan tetapi pendidikan yang baik untuk mengajarkan nasionalisme itu bukan semata dengan visualisasi patung-patung raksasa. Bukan pencerdasan namanya, malahan bisa pembodohan.  Masa lalu warna kejahiliyahan (kebodohan) sebelum Islam diwarnai oleh banyaknya patung-patung. Dan berhala-berhala itu oleh Nabi Muhammad SAW diruntuhkan. Lalu ajaran Ketuhanan Yang Maha Esa dibangun dan dikembangkan.  Proyek patungisasi Soekarno disamping dapat mengarah pada \"kultus individu\" dan \"keberhalaan\" juga dikhawatirkan mengedukasi pengkhidmatan pada kedikatoran \"Fir\'aunisme\" dan \"Leninisme\".  Bandung, 16 Agustus 2023.

Tanpa Kembali ke UUD 45 - Kartel Merajalela

Oleh Sutoyo Abadi - Koordinator Kajian Politik Merah Putih  PRESIDEN Joko Widodo (Jokowi) telah membacakan pidato kenegaraan dan nota keuangan pada Sidang Tahunan MPR RI dan Sidang Bersama DPR RI dan DPD RI dalam rangka HUT Ke-78 Proklamasi Kemerdekaan RI, di Gedung Nusantara MPR/DPR/DPD RI, Senayan, DKI Jakarta (16/8/2023).  Tetap saja mengabaikan tujuan  negara untuk melindungi seluruh tumpah darah dan seluruh rakyat, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, hilang dari ingatannya. Yang di ingat hanya pembangunan IKN dan infrastruktur. Atas kejadian tersebut MPR nyaris tidak bisa berkutik akibat hilang fungsinya sebagai lembaga tertinggi negara. Demikian  Dewan Perwakilan Daerah tidak memiliki original power, fungsinya tidak lebih seperti \"pupuk bawang\". Para kartel  taipan oligarki yang telah diberi karpet merah leluasa mengatur dapur negara, jelas merasa tidak penting apapun yang dipidatokan Presiden. Selain harus tetap nurut dalan kendalinya. Presiden dengan jumawa memamerkan pembangunan IKN,  infrastruktur dan proyek ghaib lainnya, dengan uang hutang dan sejak itu pula di kumandangkan program investasi dengan pengawalan ketat siapapun yang menghalangi kalau hukum membolehkan bisa didor (ditembak mati). Dalan sebuah artikel Ketua MPR Bambang Soesatyo menegaskan perlunya mengembalikan kewenangan MPR RI menggunakan kewenangan subjektif superlatif MPR RI sebagai lembaga tertinggi negara. Kewenangan subjektif superlatif penting berada di MPR jika negara dihadapkan pada situasi kebuntuan politik antar lembaga negara atau antar cabang kekuasaan. Kesadarannya agak terlambat ketika para kartel ekonomi sudah sangat berkuasa mengendalikan negara ini , apalagi hanya sekedar apologi ingin melakukan pembenaran atau membela diri no ketika MPR sudah seperti bebek lumpuh. Rezin kartel atau kabinet kartel menciptakan sistem kerja sama yang mampu menjaga dan mengatur negara sesuai dengan kepentingan kelompoknya, terutama dalam mencari sumber pendanaan yang berasal dari keuangan negara. Sistem kabinet kartel telah memberikan keleluasaan bagi wujudnya korupsi politik, menghilangkan sistem checks and balances, matinya suara kebebasan, dan membawa harapan palsu kepada sistem demokrasi mapan sebuah pemerintahan negara. Mereka  menggunakan sumber daya negara untuk mempertahankan posisinya dalam sistem politik , beroperasi seperti kartel. Pengertian ini merujuk kepada eksploitasi kekuasaan untuk kepentingan kolektif para bandit palitik dan ekonomi kelompoknya . Argumen mengenai terjadinya kartelisasi adalah kepentingan penguasa bersama para kartel untuk menjaga kelangsungan hidup kolektif mengharuskan mereka membentuk kartel.  Ini harus dihancurkan  Kerika keadaan terus memburuk dan negara terus menuju jurang kehancuran, tidak ada jalan lain rakyat harus bergerak dengan cara \"revolusi\".  Kembali ke UUD 45,  sekiranya akan melakukan perubahan pintunya adalah adendum terbatas, tidak harus menghancurkan UUD 45.  Adanya keinginan anggota MPR akan melanjutkan amandemen adalah langkah konyol, bodoh dan sia sia justru hanya akan memperparah keadaan. ****

Anda Mundur Sukarela atau Dipaksa Mundur

Oleh Sutoyo Abadi - Koordinator Kajian Politik Merah Putih  Otto Iskandardinata, dengan gagah dan berani, menyampaikan pidato pada pembukaan sidang Volksraad atau Dewan Rakyat Hindia Belanda tahun 1931-1932. Intinya, “Indonesia pasti merdeka! Anda mempunyai dua pilihan. Menarik diri secara sukarela tetapi terhormat, atau kami usir dengan kekerasan.” \"Banyak orang mengatakan, tanpa adanya paksaan atau kekerasan, Anda tidak mungkin melepaskan Indonesia. Tetapi, biarpun banyak sekali yang mengatakan demikian, saya percaya bahwa suatu waktu, bila sudah tiba saatnya, Anda tentu akan melepaskan Indonesia demi keselamatan Anda.\"  Saya menggunakan kata “Anda”, karena apa yang dikatakan oleh Otto Iskandardinata dalam pidatonya di depan Volksraad berlaku universal. Kita saksikan saat ini, pemerintah  berperilaku seperti penjajah terhadap rakyatnya, dengan menghisap keringat dan darah rakyat, dan memiskinkan rakyat, untuk kepentingan para kroni kapitalisnya. Rezim saat ini sudah berubah menjadi kartel, tiran dan telah memberikan keleluasaan bagi wujudnya korupsi politik, menghilangkan sistem checks and ballances, matinya suara kebebasan, dan membawa harapan palsu kepada sistem demokrasi mapan sebuah pemerintahan negara. Waktunya, rakyat bereaksi, 78 tahun Indonesia menyatakan kemerdekaan,  apakah hari ini kita hidup di alam merdeka? Atau masih hidup di masa penjajahan. Terjajah oleh taipan oligarki dan elit partai politik yang seperti kartel, memiskinkan bangsa Indonesia. Inilah saatnya, rakyat menggugat, mengembalikan kehidupan ekonomi kepada rakyat, untuk rakyat. Kondisi saat ini bahkan lebih buruk dari masa penjajahan. Dewan Rakyat di masa penjajahan membela kepentingan rakyat, tanpa kenal takut. Sedangkan Dewan Rakyat saat ini menjadi bagian dari penguasa, menjadi antek penguasa dan oligarki, yang turut berperan aktif memiskinkan rakyat bangsanya sendiri. Kartel taipan oligarki yang sudah masuk di dapur negara, tidak akan pernah menyerah menjajah negara ini tanpa kita paksa harus menyerah. Keadaan negara ditengarai akan semakin memburuk dengan hadirnya penjajahan gaya baru , yang telah bersenyawa dengan para penguasa dan kekuatan kartel  partai politik .  Pilihan harus kembali  berjuang,  melakukan gerakan revolusi, untuk menyelamatkan negara kembali kearah cita cita kemerdekaan, bukan menjadi budak penjajahan gaya baru. Seperti pernyataan Otto Iskandardinata, anggota Volksraad di masa penjajahan, Anda semua sebagai penjajah wajib mundur sukarela atau kita paksa mundur. Pilihan ada di tangan Anda. ****

Simulasi Pilpres dengan Sistem Perwakilan Musyawarah di MPR Ala UUD 1945 Asli

Oleh M.Hatta Taliwang - Anggota DPR/MPR RI 1999-2004 1. HARI DEPAN INDONESIA tidak semata mata ditentukan oleh Partai yang sdh kita ketahui kelemahan/ keburukannya, tapi juga terlibat Utusan Daerah(UD) dan Utusan Golongan(UG) dalam penentuan siapa yang layak menjadi Presiden Indonesia. 2.Dengan demikian lengkap representasi Rakyat untuk menentukan siapa yang layak menjadi Presiden,  ada unsur keterpilihan( Partai) ada unsur keterwakilan ( UG, UD, ). Tinggal melaksanakan musyawarah dan memilih Presiden. 3.Dijamin tidak lahir capres kelas tukang tambal ban. Karena dengan sistem Pilpres Perwakilan Musyawarah ala UUD45 Asli ini, dijamin tidak akan ada calon yg tidak berkualitas, karena Panglima TNI, Kapolri, Ketum NU, Ketum Muhammadiyah, para Sultan dll sbg utusan Golongan/ Utusan Daerah akan malu mengajukan capres dibawah standar kualitas mereka. Jumlah capres bisa banyak maksimal sebanyak Fraksi ysng ada di MPR.  CATATAN : Bisa juga di MPR cuma dilakukan penyaringan capres sehingga jumlah calon banyak seperti di Iran sampai hampir 500 orang. Namun diseleksi ketat sehingga yg benar benar  muncul terbatas. Setelah itu klo tak mau dipilih di MPR bisa saja para calon itu diserahkan ke rakyat utk dipilih langsung. 4.Tetapi kalau di pilih oleh anggota MPR maka mata seluruh rakyat fokus ke gedung MPR Senayan. Kontrol rakyat lebih mudah jika ada penyimpangan. Tidak sesulit mengontrol Pilpres Langsung seperti yang terjadi sejak 2004 dimana suara Papua misalnya sulit dikontrol rakyat Indonesia lainnya. 5. Tidak mudah melakukan penyuapan karena : 5.1. Ada utusan Golongan misalnya Panglima TNI, Ketum Muhammadiyah dll yg jd filter atau kontrol moral. 5.2. Ada CCTV disemua sudut ruangan gedung MPR 5.3. Bila perlu semua HP dipantau oleh KPK atau Lembaga yg dibuat utk khusus mengontrol Pilpres jurdil. KPK punya alat canggih itu.Tiap partai pun sekarang bisa memiliki alat itu. 5.4. Bila perlu rumah atau Kantor DPP Partai dipantau lewat CCTV oleh lawan politiknya agar terjadi saling kontrol. Alat canggih sekarang banyak cara utk memantau lawan politik. 5.5. Isolasi anggota MPR seminggu sebelum Pilpres atau saat Sidang Umum sedang berlangsung. 5.6. Pasti ada tokoh bangsa yg dicalonkan. Pendukungnya pasti memantau semua gerak gerik anggota MPR dan mengawasi seluruh proses Pilpres.Mereka bisa mengepung gedung MPR RI. 5.7. Ormas, LSM, Mahasiswa dll tertuju matanya semua ke Gedung MPR ikut mengawasi jalannya Pilpres. 5.8. Tidak semua anggota MPR bisa disuap. Pasti banyak juga yg punya nurani. 6. Hampir semua parpol dan ormas melakukan pemilihan Ketumnya lewat proses perwakilan/ musyawarah. Mengapa ketika memilih Presiden mesti Pilpres langsung? Padahal mereka tak pernah mengundang semua pemegang kartu anggotanya datang mencoblos saat memilih Ketumnya? Why mempertanyakan sistem Musyawarah ini yg sdh mengakar sbg budaya bangsa dalam memilih pemimpin? 7. Output sistem Perwakilan Musyawarah umumnya melahirkan Pemimpin  berkualitas, kecuali yg musyawarah pakai duit ala preman. Dalam contoh Muhammadiyah dan PKS, mereka membuktikan prestasi organisasinya membaik dengan menggunakan sistem musyawarah yang fair dlm memilih pemimpinnya. 8. Pembiayaan negara dan pembiayaan pribadi capres boleh dibilang minim dibanding Pilpres Langsung yang butuh ratusan trilyun yg dikeluarkan negara dan para calon. 9. Presiden Terpilih tidak punya hutang budi kepada Taipan atau Konglomerat , yg menjadi sebab Presiden tersandera, sehingga kebijakannya pro konglomerat dan lupa pada rakyat saat sudah terpilih. 10. Tidak terjadi pembelahan yg mengarah pada perpecahan rakyat seperti dampak Pilpres Langsung. Sehingga Persatuan tetap terjaga dan terpelihara. Aparat keamanan bisa konsenterasi  ke hal hal yg lbh produktif bukan hanya mengawasi rakyat utk ditangkap. 11. Presiden Terpilih dilantik dan di SK atau ditetapkan secara terhormat oleh MPR dan bertanggung jawab ke MPR serta dibekali Garis Besar Haluan Negara yg disusun MPR dan Presiden tinggal mengimplementasikan dg program tanpa hsrus ngsrang2 sendiri apa yg dilakukan demi negara. 12. RRC pilih Presiden/ PM juga tidak langsung tapi lewat perwakilan berjenjang. Pemimpin yg lahir berkualitas. Saya kira capres Iran pun disaring dulu oleh para Mullah baru diserahkan ke rakyat utk diputuskan.  Negaranya kuat dan maju. Cara memilih Presiden menurut UUD45 dan Pancasila, sila ke 4, cara  yg bijak dan arif warisan pemikiran pendiri bangsa kita, tapi kita lempar ke tong sampah, dan kita telah durhaka sehingga bangsa ini menjadi rusak parah oleh lahirnya pemimpin bangsa yg lahir dari cara yang bertentangan dengan budaya bangsa kita. Silahkan kita renungkan bersama, mau teruskan Pilpressung ala kaum individualistik liberalistik ini? (*)

Koalisi Keranjang Telur

Oleh Ady Amar - Kolumnis MASIH ingatkah pada Koalisi Indonesia Bersatu (KIB), terdiri dari Partai Golkar, PAN, PPP, yang kelahirannya begitu cepat. Cukup dalam satu kali pertemuan terbentuklah koalisi itu. Saat ini inisial B pada KIB boleh jika mau diganti yang tadinya Bersatu menjadi Bubar. Tidak perlu diumumkan secara resmi bubarnya--karena ini koalisi main-main, dibuat asal-asalan--tidak seperti kelahirannya. Konon KIB itu diinisiasi istana. Pada awalnya itu dimaksudkan menekan PDIP, agar cepat-cepat mencapreskan Ganjar Pranowo. Jika tidak, maka lewat KIB kursi buat Ganjar itu disiapkan. Ganjar saat itu masih jadi \"idola\" utama, yang digadang sebagai pengganti Presiden Joko Widodo (Jokowi). Saat ini peta politik sudah berubah. Endorse Jokowi sepertinya tidak lagi pada Ganjar, tapi beralih pada Prabowo Subianto. Pertimbangan pilihan siapa pengganti Jokowi, itu bisa berubah demikian cepatnya, tentu bukan sekadar suka tidak sukanya Jokowi pada Ganjar, yang lalu beralih pada Prabowo. Tapi ada pertimbangan lain, ingin diakhirinya dominasi PDIP jadikan presiden sebagai \"petugas partai\". Jika tetap pilihan pada Ganjar, maka presiden selaku \"petugas partai\" akan tetap mengikat pada PDIP, itu yang mesti disudahi. Bukankah Jokowi juga petugas partai (PDIP), itu hal yang kerap disebut-sebut Megawati Sukarnoputri dalam berbagai kesempatan. Label Jokowi sebagai petugas partai, itu mengecilkan peran presiden dalam fungsi ketatanegaraan. Pelabelan sebagai petugas partai, itu dimaksudkan sekadar mengikat presiden untuk tahu diri dari mana ia berasal. Tapi tentu ada pertimbangan lain yang lebih utama, dan itu kepentingan \"kelompok tak tampak tapi berkuasa\" mewarnai seluruh kebijakan hampir sepuluh tahun terakhir ini. Suasana demikian yang ingin dipertahankan pasca Jokowi lengser. Buat mereka akan jauh lebih leluasa, jika presidennya tidak merangkap sebagai \"petugas partai\". Maka, KIB perlu \"dibubarkan\", dianggap tidak perlu. Anggota koalisinya dibuat bercerai berai, memilih berinduk pada koalisi lainnya. PPP jauh hari sudah memilih koalisi bersama PDIP melenggang meninggalkan Golkar dan PAN. Maka disusul berikutnya, Golkar dan PAN, yang memilih menginduk Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR), yang digawangi Gerindra dan PKB. Tuan rumah (KKIR) memilihkan tempat deklarasi di Museum Perumusan Naskah Proklamasi, Menteng Jakarta Pusat, Minggu (13 Agustus 2023), mengusung Prabowo Subianto sebagai capres. Bergabungnya Golkar dan PAN ke KKIR, bisa disebut atas arahan Presiden Jokowi. Begitu pula bergabungnya PPP ke PDIP, itu pun atas arahan Jokowi. Pokoknya gabung berkoalisi dulu, sedang soal siapa nanti cawapresnya akan dipikirkan belakangan,  mengikuti dinamika politik yang berkembang. Tentunya juga melihat tingkat keterpilihan cawapres dalam kontestasi pilpres. Dengan memasukkan Golkar dan PAN, maka PKB tidak punya nilai tawar yang kuat untuk menggertak dengan akan meninggalkan Gerindra, jika Muhaimin Iskandar (Cak Imin) tidak menjadi cawapresnya. Meski itu sekadar gertakan saja, supaya PKB masih dilihat \"berdaulat\", yang ditandai masih mampu bermanuver. Melihat semua itu, Jokowi perlu menenangkan hati Prabowo dengan mengunci memasukkan Golkar dan PAN di sana. Prabowo mengatakan bergabungnya Golkar dan PAN itu bukan atas dorongan Presiden Jokowi, itu sekadar mengesankan bahwa tidak ada campur tangan istana. Prabowo ingin menunjukkan bergabungnya mitra koalisi baru itu atas inisiatif partai bersangkutan dalam memilih dirinya sebagai capres. Tapi semua mafhum, ada skenario istana sebagai pengarah. Maka tidak perlu ditanya, mengapa pilihan Golkar dan PAN jatuh pada KKIR, tidak pada koalisi PDIP bersama PPP, tentu tidak sekadar suka-suka Jokowi. Dan bandul memang sedang berpihak pada Prabowo, maka mengarahkan Golkar dan PAN ke KKIR itu lumrah. Bolehlah jika lalu disimpulkan ekstrem, bahwa Jokowi sudah \"berpisah\" dengan PDIP, dan itu diperlihatkan dengan menguatkan KKIR. Meski memang dalam politik aliansi bergabungnya satu partai dengan partai lainnya, itu hal biasa bahkan bisa secepat membalik telapak tangan. Segalanya bisa terjadi, skenario babak-babak lanjutan pun kemungkinannya masih terbuka untuk tercerai berai satu dengan lainnya. PDIP jika masih punya marwah, tentu tidak akan tinggal diam melihat manuver Jokowi, melihat lagak \"petugas partai\" yang dibesarkan coba meninggalkan di ujung akhir masa jabatannya, dan di masa krusial akan eksistensi PDIP ke depan. Tapi soliditas PDIP saat ini memang tidak sekuat 2019 lalu, saat mencapreskan Jokowi untuk periode keduanya. Saat ini godaan pada PDIP itu berlapis. Muncul manuver di internal PDIP sendiri, kelompok yang tak menerima pencapresan Ganjar. Bisa dilihat dari manuver beberapa tokohnya yang terang-terangan memuji Prabowo itu lebih pantas menggantikan Jokowi sebagai presiden. Hal tabu itu bisa dilakukan pada masa PDIP di masa lalu, yang menganut falsafah tegak lurus bersama Megawati. Ditambah lagi gangguan eksternal yang menyengat PDIP--kasus BTS yang menyeret suami Puan Maharani, Happy Hapsoro--hal yang juga mustahil di masa lalu itu bisa menyentuh mengena keluarga Megawati. Dinamika politik sudah tidak lagi berpihak pada PDIP tanpa batas seperti di masa lalu, itu yang mesti dipahami Megawati. Jika masih berlagak seperti Megawati yang dulu, yang bisa mengendalikan sang \"petugas partai\", maka tidak mustahil hasilnya berbalik mengenaskan. Seiring itu muncul pula riak-riak kecil manuver dari PPP, yang diwakili politisi seniornya Arsul Sani. Minta ketegasan PDIP mencawapreskan Sandiaga Uno. Jika tidak, maka PPP akan berpikir untuk pindah koalisi. Meski akhirnya Arsul Sani \"diadili\" partainya dengan mengatakan, bahwa itu suara pribadinya, bukan suara resmi partai (PPP). Tapi tetap saja manuver itu tidak berdiri sendiri, tapi punya korelasi bandul endorse yang beralih dari Ganjar ke Prabowo. Tapi gertak sambal PPP ini ditantang balik petinggi PDIP, dipersilahkan jika PPP akan hengkang. Prabowo dengan Gerindra-nya pastilah sumringah melihat bandul istana memihaknya, dan itu jerih atas pengabdian tanpa batas pada Jokowi. Kepala jadi kaki dan kaki jadi kepala pun dilakukan agar Jokowi lebih melihatnya ketimbang melihat Ganjar. Semua itu dilakukan Prabowo Subianto, agar ia terpilih sebagai penerus orde keberlanjutan Jokowi. Sepertinya itu akan berhasil. Tapi tetap saja dinamika politik akan bisa berubah kapan saja, dan Prabowo harus terus tetap merawat kemesraan tanpa batas, itu jika ingin tetap dalam radar pilihan Jokowi. Nyebur-nya Golkar dan PAN ke KKIR dan PPP bersama koalisi PDIP, itu apakah sampai basah kuyup. Artinya, apa juga diikuti oleh konstituen di bawah, yang itu riil suara penyumbang kemenangan, kok rasanya tidak demikian. Mayoritas konstituen PAN dan PPP khususnya, bisa jadi juga Golkar, itu auranya memilih Anies Baswedan. Tapi jika saja yang dibutuhkan KKIR khususnya, dan itu Prabowo Subianto, sekadar banyaknya jumlah partai yang mendukungnya, itu lain soal. Itu bisa diibaratkan Koalisi Keranjang Telur. Akan tetap disebut keranjang telur, meski tak ada isi telur di dalamnya. Sekadar keranjang, namun tanpa isi. Memilih capres tidak identik dengan memilih partai pendukungnya. Tapi jika partai politik memilih capres berdasar suara konstituennya, maka itu berdampak signifikan dengan memilih partai itu. Begitu pula sebaliknya, jika abai dengar suara konstituen, maka partai bersangkutan ditinggal konstituennya. Artinya, siap-siap hengkang dari Senayan. Lalu untuk apa sampai partai politik memilih capres yang bukan suara konstituennya, ini soal yang semua pastilah tahu. Malas ah jika mesti mengulang-ulang kasus yang tak tersentuh hukum--kasus minyak goreng, hutan dan seterusnya--dan itu menjerat ketua umum partai bersangkutan, jadi sandera politik selamanya. Duh Gusti...**

Tolak Upaya MPR untuk Amandemen Penundaan Pemilu di Masa Darurat

Oleh Pierre Suteki - Guru Besar Hukum UNDIP CNN Indonesia, 9 Agustus 2023 menurunkan berita tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang hendak membuka peluang untuk mengusulkan amendemen Undang-Undang Dasar (UUD) untuk membuat aturan penundaan pemilu di masa darurat. Meski demikian, MPR menegaskan bahwa usulan itu tidak terkait penundaan Pemilu 2024 dan kontestasi akan berjalan sesuai jadwal.   Disebutkan bahwa Wakil Ketua MPR Arsul Sani mengatakan pihaknya akan mengusulkan wacana tersebut saat hari konstitusi 18 Agustus mendatang. Arsul mengakui wacana itu mulai jadi pembahasan di internal lembaganya dalam beberapa waktu terakhir menyusul pengalaman saat pandemi 2020 lalu. Pasalnya, kata Arsul, UUD yang berlaku saat ini belum mengatur soal penundaan pemilu di masa darurat seperti pandemi. Pertanyaan yang perlu diajukan adalah apakah bisa dibenarkan usulan tersebut di alam demokrasi? Apakah tidak ada strategi lain untuk menyelenggarakan pemilu di masa pandemi sehingga aspek kepastian hukum dalam penyelenggaraan negara tetap terjamin? Mungkinkan upaya penundaan pemilu di masa darurat disalahgunakan oleh rezim? Era reformasi telah berjalan 25 tahun sejak 1998. Benarkah tujuan kemerdekaan 1945 sudah tercapai atau justru jauh diselewengkan orang, menjauh dari cita-cita Proklamasi sebagaimana termaktub dalam pembukaan UUD 1945. Demokrasi dengan ketaatan pada konstitusi mestinya menjadi acuan bersama agar tujuan nasional Indonesia merdeka dapat dicapai. Hari-hari terakhir ini seluruh ruang dipenuhi wacana penundaan pemilu dengan demikian berimbas pada perpanjangan masa jabatan Presiden, DPR dan DPD. Sementara berdasarkan Pasal 4 ayat 1 UUD 45, Presiden RI memegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD dan tata cara pemilihannya diatur dalam undang-undang sesuai Pasal 6A ayat 5 UUD 45. Kemudian dalam Pasal 7 dinyatakan bahwa Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.  Sebagai negara hukum, semua pihak harus menyadari bahwa ada aturan dasar yang harus dipatuhi, yakni konstitusi. Semua aturan dan ketentuan konstitusi harus dianggap final dan mengikat secara mutlak, tidak bisa diutak-utik lagi oleh siapapun, kecuali dengan mekanisme konstitusional melalui amandemen UUD 45 oleh lembaga tinggi negara Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI. Termasuk perihal penundaan pemilu pun harus dalam bingkai konstitusional. Tidak boleh dilakukan secara \"bar-bar\", terkesan anarkhi. Terkait dengan usulan penundaan pemilu di masa darurat sekalipun harus dipertimbangkan secara matang di alam demokrasi yang berintikan pada kedaulatan rakyat, bukan kedaulatan partai. UUD 1945 asli telah mengatur bahwa pemilu dilaksanakan dalam waktu lima tahunan dengan maksud untuk membatasi masa jabatan penyelelenggara pemerintahan negara. Itu sudah baku dan dalam keadaan tertentu memang dimungkinkan pemilu dipercepat ataupun ditunda. Indonesia pernah melakukan percepatan pemilu ketika suatu pemerintahan ambruk, misalnya Pemilu di era reformasi. Setelah Presiden Soeharto dilengserkan dari kekuasaannya pada tanggal 21 Mei 1998 jabatan presiden digantikan oleh Wakil Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie. Atas desakan publik, Pemilu yang baru atau dipercepat segera dilaksanakan, sehingga hasil-hasil Pemilu 1997 segera diganti. Kemudian ternyata bahwa Pemilu dilaksanakan pada 7 Juni 1999, atau 13 bulan masa kekuasaan Habibie. Pada saat itu untuk sebagian alasan diadakannya Pemilu adalah untuk memperoleh pengakuan atau kepercayaan dari publik, termasuk dunia internasional, karena pemerintahan dan lembaga-lembaga lain yang merupakan produk Pemilu 1997 sudah dianggap tidak dipercaya. Hal ini kemudian dilanjutkan dengan penyelenggaraan Sidang Umum MPR untuk memilih presiden dan wakil presiden yang baru. Ini berarti bahwa dengan pemilu dipercepat, yang terjadi bukan hanya bakal digantinya keanggotaan DPR dan MPR sebelum selesai masa kerjanya, tetapi Presiden Habibie sendiri memangkas masa jabatannya yang seharusnya berlangsung sampai tahun 2003, suatu kebijakan dari seorang presiden yang belum pernah terjadi sebelumnya. Euforia demokrasi pasca orde baru sangat dapat dirasakan pada saat semua elemen bangsa sepakat untuk mempercepat pemilu di tahun 1999 padahal seharusnya pemilu baru dilaksanakan tahun 2003. Kita yakin di sini yang sedang berkuasa bukan rezim otoriter, melainkan rezim demokratis. Tidak ada mafia hukum antara eksekutif, legilatif dan yudikatif. Sementara itu, penundaan pemilu nasional di negeri ini belum pernah terjadi dalam keadaan apa pun. Pemilu kada memang terjadi penundaan mengingat adanya upaya untuk pelaksanaan pemilu nasional serentak pada tahun 2024.  Usulan penundaan pemilu melalui amandemen UUD 1945 harus ditolak. Kita tetap mempertahankan ketentuan bahwa \"Pemilu itu dilangsungkan berkala lima tahun sekali berdasarkan Pasal 22 E ayat UUD 1945,\" Selain menabrak prinsip demokrasi yang intinya ada pembatasan kekuasaan menurut hukum yang pasti, upaya penundaan pemilu juga bertentangan prinsip penyelenggaraan kepemimpinan nasional lima tahunan yang dianut oleh UUD 1945. Selain itu usulan penundaan pemilu juga bertentangan UU Pemilu karena dalam undang-undang tersebut hanya mengenal penundaan dalam bentuk susulan dan lanjutan serta tidak boleh ada penundaan pemilu secara nasional. Penundaan susulan kalau di tahapan tertentu terjadi upaya yang tidak memungkinkan dilakukan proses pemilu karena bencana. Maka tahapan yang tertunda disusulkan. Saudara sekalian, sebagaimana diketahui bahwa hukum dasar itu ada 2, yaitu hukum dasar tertulis (konstitusi) dan hukum tidak tertulis (konvensi). Konstitusi itu bukan peraturan perundang-undangan biasa yang mudah untuk diubah dan dijalankan semau rezim yang berkuasa.  Ada yang berpendapat bahwa \"demi keselamatan rakyat, konstitusi dapat dilanggar\". Padahal UUD NRI 1945 sebagai Konstitusi negara RI juga memuat dalil atau prinsip salus populi suprema lex esto. Oleh karena itu dalam implementasinya, penerapan dalil \"salus populi suprema lex esto\" dapat terjadi penyimpangan oleh rezim yang lebih mengutamakan kekuasaan dibandingkan hukum. Dalil itu terkesan sebagai alasan pembenar dari semua tindakan dan kebijakannya meskipun secara konstitusional tidak benar. Apalagi kebijakan dan tindakan rezim itu didasarkan atas penerapan prinsip \"negara tidak boleh kalah\" secara keliru.  Oleh karenanya, penerapannya dalil “keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi” ini perlu dipertanyakan dan dikritisi agar tidak disalahgunakan oleh rezim yang cenderung berwatak otoriter konstitusional.  Dalil ini juga tidak boleh menjadi alasan MPR untuk mengajukan usulan penundaan pemilu dalam keadaan darurat karena berpotensi disalahgunakan oleh rezim yang otoriter, apalagi telah terjadi mafia hukum antara legislatif, eksekutif dan yudikatif. Jika dalam rezim yang sedang berkuasa telah terjadi mafia hukum, maka rezim akan sangat setuju untuk dilakukannya penundaan pemilu dengan berbagai dalil, kriteria yang telah ditentukan oleh rezim itu sendiri sekarang ini. Penundaan pemilu akan lebih menguntungkan rezim yang berkuasa, baik Presiden, DPR maupun DPD. Mereka tidak perlu bersusah payah mencari suara pemilih namun masih tetap menjabat untuk jangka waktu tertentu, bisa 1 tahun, 2 tahun dan seterusnya. Tergantung dari kesepakatan rezim, dan bisa dipastikan bahwa rakyatlah yang pada akhirnya akan berpotensi dirugikan.  Meskipun ketentuan terkait dengan keadaan darurat ditentukan secara rigid oleh MPR, tetapi dalam praktiknya, rezim otoriter bisa menyiasatinya dengan berbagai upaya yang melibatkan ketiga ranah kekuasaan sekaligus. Kolusi akan dilakukan, bahkan mafia dalam industri hukum pun akan dipraktikkan. Inilah potensi-potensi buruk yang akan terjadi ketika kekuasaan sedang dipegang oleh kekuasaan yang otoriter dan memang kekuasan (status quo) itu cenderung ingin dipertahankan dengan berbagai cara baik melalui cara demokratis maupun cara otoriter dalam sistem pemerintahan yang awalnya dipilih secara demokratis pula (Ziblatt dan Levitsky: 2018). Kesimpulannya, dari pada suatu saat bangsa ini terjebak pada situasi dilematis terkait dengan penundaan pemilu pada masa darurat, lebih baik usulan MPR tersebut ditolak. Pemilu harus tetap dilaksanakan dalam kurun waktu 5 tahunan. Jika terjadi keadaan darurat, maka yang perlu dicari adalah cara penyelenggaraannya. Zaman semakin modern dan serba digital, maka cara-cara digitalisasi pemilu pun bisa ditempuh terkait dengan penyelenggaraan pentahapan pemilu. Mulai dari sosialisasi, pendaftaran, kampanye hingga pemungutan suara. Sistem itulah yang seharusnya disiapkan mulai dari sekarang, bukan membuka wacana penundaan pemilu dalam keadaan darurat melalui amandemen UUD 1945.  Tabik...! Semarang,  Selasa: 15 Agustus 2023

Kisah Pak Natsir yang Tidak Pernah Diceritakan dalam Sejarah

Meninggalnya mantan Perdana Menteri RI kelima Mohammad Natsir dirasakan bangsa Jepang seolah “ledakan bom atom ke 3” yang dijatuhkan di Kota Tokyo, mengapa Jepang begitu menghormatinya? Oleh Agus Maksum -  Anggota Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia Jatim MOHAMMAD NATSIR atau Pak Natsir, begitu orang sering memanggil beliau, adalah sebuah nama panggilan yang biasa untuk siapa saja, menunjukkan kesederhanaan hidup beliau. Saya mungkin termasuk generasi paling akhir dari da’i Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII) yang masih mendapatkan didikan langsung dari beliau walau tidak lama, sejak 1991, dan beliau meninggal Februari 1993. Saat mendengar mantan Perdana Menteri RI kelima meninggal kesedihan mendalam bagi seluruh kader dan da’i Dewan Da’wah. Saat itu sayapun langsung pergi ka kantor Dewan Dakwah Jawa Timur Jalan Purwodadi, dekat kuburan Mbah Ratu.   Sudah cukup banyak warga Dewan Dakwah berkumpul untuk mengkonfirmasi berita meninggalnya Pak Natsir. Saat itu, saya duduk di dekat telepon yang berfungsi sebagai faksimile, mode teknologi paling canggih pada waktu itu untuk mengirim dokumen. Telepon berdering tak henti-henti dari berbagai daerah menanyakan kabar meninggalnya Pak Natsir kala itu. Tiba-tiba  adalah sebuah faksimile masuk. Pesan tersebut datang dari Perdana Menteri Jepang Keiici Miyazawa. “Wah Perdana Menteri Jepang nampaknya telah mendengar juga berita meninggalnya Pak Natsir dan mengirimkan ucapan duka,” demikian guman saya dalam hati. Semua pesan faksimile itu nampak tercetak. Saya tidak sabar membaca ucapan dukanya. “Mendengar Muhammad Natsir meninggal, serasa Jepang mendapatkan serangan Bom Atom ke-3 yang tepat jatuh di tengah Kota Tokyo. Duka yang sangat mendalam bagi kami seluruh bangsa Jepang,” demikian bunyi ucapan tersebut. Saya kaget sekali saya mebaca ucapan itu. Saya segera memotong kertas faks yang lembek itu dan saya sampaikan pada Ketua DDII Jatim (alm) H. Tamat Anshori Ismail. Namun Pak Tamat meminta saya membacakan dengan keras pesan tersebut di hadapan jamaah agar semua mendengar. “Maksum kamu baca lagi supaya semua yang berkumpul di situ mendengar,” katanya. Semua orang terdiam setelah pesan dari Keiici Miyazawa saya baca. Saya bertanya kepada Pak Tamat, ada cerita dan hubungan apa antara Pak Natsir dengan Bangsa Jepang, Pak?  Pak Tamat menjawab datar saja. “Pak Natsir kan mantan perdana menteri, jadi ya mungkin pernah ada hubungan diplomatik yang spesial dengan Jepang, “ begitu gitu saja jawabnya. Saya kurang puas dengan jawaban Pak Tamat. Saya lanjutkan rasa penasaran ini kepada banyak tokoh yang lebih senior dan lebih sepuh. Salah satunya adalah Ketua Dewan Syura Dewan Da’wah Jatim yang juga Ketua MUI Jatim kala itu, KH Misbach. Sayangnya, Kiai Misbach juga tidak bisa menjelaskan maksud di balik ucapan PM Miyazawa. Sungguh aneh ini, ucapan duka yang luar biasa, dan tidak biasa, pasti ada kisah yang luar biasa, begitu guman saya dalam hati.  Akhirnya saya menyimpan pertanyaan itu lebih dari 10 tahun dan tidak ada satupun tokoh yang bisa menjelaskan makna ucapan itu. Embargo, Raja Faisal dan M. Natsir Tahun 2003, saya berkenalan dengan diplomat Jepang di Jakarta. Namanya Hamada San. Saya sering nggobrol dan ngopi bersama dia. Suatu ketika, sampailah obrolan pada aktivitas saya dll. Saya bercerita jika aktif di organisasi Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII) yang didirikan Pak Natsir, namun saya generasi terakhir yang pernah dididik langsung Pak Natsir. Tanpa saya duga, Hamada San berdiri tegak di samping saya, lalu membungkuk-bungkuk memberi hormat. Tentu saya kaget, ada apa Hamada San sampai berbuat seperti itu? Setelah itu ia duduk dan lama terdiam, sambil matanya menerawang. “Apakah kamu tahu nama Laksamana Maeda?” katanya. “Ya, saya tahu.” “Apakah kamu tahu namanya Nakasima San?” “Wah saya tidak tahu.” “Apakah kamu pernah mengdengar nama Raja Faisal dari Saudi?” “Ya saya tahu.” “Mereka adalah nama-nama yang punya hubungan spesial dengan (alm) Mohammad Natsir,” ujar Hamada San. Hamada San adalah diplomat senior Jepang yang sudah puluhan tahun bertugas di Indonesia. Dia sangat mencintai Indonesia, salah satunya adalah karena kisah yang akan dia ceritakan kepada saya. Karena itulah dia tidak mau pindah-pindah tugas dan tetap berada di Indonesia hingga puluhan tahun. Sebelum Hamada San bercerita dengan beberapa bekal nama Laksamana Maeda, Nakasima (Nakajima San), Raja Faisal dan Muhammad Natsir, saya teringat peristiwa 10 tahun lampau, tentang faksimil PM Jepang Keiici Miyazawa. Kepada Hamada San, saya ceritakan tentang bunyi faks ucapan duka cita dari PM Jepang Miyazawa tersebut. “Ada cerita apa sehingga PM Miyazawa sampai membuat ucapan duka sedemikan dramatis dan dahsyat begitu”?. Hamada San semakin tajam memandang saya, lalu sedikit meninggikan suaranya. “Kamu baca ucapan duka cita PM Miyazawa itu? Kamu benar-benar murid Pak Natsir kalau gitu, tidak salah dan kamu tidak bohong bahwa kamu adalah murid Pak Natsir, karena tidak banyak yang tahu hingga menyimpan memori selama itu hingga 10 tahun kamu masih ingat  bunyi ucapan duka cita itu,” demikian kata dia. Akhirnya, Hamada San bercerita.  Jepang pada waktu itu mengalami situasi sulit akibat embargo minyak bumi. Industri Jepang hampir kolaps. Semua industri butuh bahan bakar dari minyak bumi, tapi Jepang di embargo oleh Amerika Serikat (AS). Berbagai upaya dilakukan pemerintah Jepang untuk mendapatkan pasokan minyak bumi, tapi embargo Amerika membuat semua negara tidak ada yang berani menjual minyak ke Jepang. Untuk mendapatkan pasokan minyak bumi, Laksamana Maeda menyarankan melakukan melakukan lobi internasional. Namun bagi bangsa Jepang, Laksamana Maeda adalah pengkhianat dan tidak menjalankan perintah Kaisar Jepang. Dia dianggap telah memberikan ruang untuk Bung Karno yang telah membuat teks proklamasi kemerdekaan, juga menyerahkan senjata-senjata Nippon pada para pejuang kemerdekaan RI. Karena itu kehidupan Laksmana Maeda setelah kembali ke Jepang sangat menyedihkan. Selain mendapat hukuman, dia juga dicopot dari dinas militer serta tidak mendapatkan pensiun, demikian kata Hamada. Namun melihat kondisi Industri Jepang yang hampir kolaps, Laksmana Maeda memberikan usul dan nasehat pada pemerintah dan menyarankan untuk mengirim utusan ke Indonesia. Laksamana Maeda mengusulkan agar pemerintah Dai Nippon mengirim utusan ke Indonesia dan menemui seseorang yang sedang di penjara. Namanya Muhammad Natsir, yang tidak lain tokoh Partai Masyumi. Laksamana Maeda meminta utusan Jepang menceritakan kesulitan ini dan meminta agar Pak Natsir bersedia melobi Raja Arab Saudi (Raja Faisal kala itu), agar bersedia mengirim minyaknya ke Jepang, kata Hamada. Menurut Hamada, sebenarnya pemerintah Jepang tidak begitu percaya dengan usulan Maeda. Namun karena berbagai cara telah ditempuh dan tidak mendapatkan hasil, apapun upaya yang masih bisa di lakukan akan dicoba. Akhirnya pemerintah Jepang menugaskan orang yang namanya Nakajima  San untuk menyampaikan pesan PM Jepang pada Pak Natsir. Menurut Hamada San, misi ini sebenarnya tidak terlalu diharapkan berhasil, sebab menemui orang di dalam penjara untuk melakukan sesuatu hal besar tidaklah mungkin. Nakajima pun terbang ke Indonesia dan atas bantuan banyak pihak akhirnya ia bisa bertemu Pak Natsir di penjara. Nakajima menyampaikan pesan Pemerintah Jepang agar Pak Natsir bisa membantu Jepang mendapatkan pasokan minyak dari Arab Saudi.  Kala itu Pak Natsir tidak menanggapi dan tidak berkata apa-apa terhadap permintaan pemerintah Jepang itu. Beliau, katanya cuma bertanya apakah Nakajima San membawa kertas dan pulpen. Lalu tidak lama, Nakajima menyerahkan selembar kertas dan pulpen kepada Pak Natsir. Lalu Pak Natsir menulis dalam kertas itu pesan berbahasa Arab yang tidak panjang, kurang lebih hanya setengah halaman, dan melipatnya. Pak Natsir menyampaikan pada Nakajima agar membawa surat ini pada Raja Arab Saudi, Raja Faisal. Nakajima tidak tahu apa isi surat tersebut,  apalagi itu berbahasa Arab. Namun berbekal secarik kertas dari Pak Natsir, PM Jepang mengabarkan pada diplomat Jepang di Arab Saudi bahwa ada utusan Pak Natsir dari Indonesia yang akan menghadap Raja Faisal. Arab Saudi yang sangat menghormati (alm) Mohammad Natsir menyambut baik serta menunggu kehadiran orang Jepang yang membawa pesan dari Pahlawan Nasional tersebut.  Nakajima San sampai di Arab Saudi disambut baik bak tamu negara dan dengan mudah bisa bertemu Raja Faisal dan menyerahkan surat dari Pak Natsir. Raja Faisal membaca surat Pak Natsir dan langsung memenuhi permintaan dalam surat itu, yakni mengirim minyak ke Jepang. Kepada Nakajima, Pemerintah Arab Saudi berjanji segera mengirimkan minyak melalui Indonesia, yang akan melibatkan Pertamina. Nakajima terperangah tidak percaya, kata Hamada San. Hanya sepucuk surat yang dia tidak tahu isinya dari seseorang yang mendekam di penjara dan Jepang akan mendapatkan pasokan minyak dari “Raja Minyak Dunia”. Cerita kemudian berlanjut pada realisasi pengiriman minyak dari Arab Saudi  melalui Pertamina. Karena itulah sebabnya Pertamina menjadi perusahaan yang sangat besar di Jepang, pernah menjadi pembayar pajak terbesar di Jepang, karena Pertamina menjadi pensuplai minyak bagi Industri Jepang atas jasa Pak Natsir. Selanjutnya Industri Jepang bangkit berbagai industri otomotif merajaii pasar dunia sebut saja Honda, Toyota, Suzuki, Mitsubishi dll. Industri Jepang bangkit atas jasa baik Pak Natsir, kata Hamada. Menolak Hadiah Jepang Yang tidak kalah menarik, yang membuat bangsa Jepang sangat menaruh hormat pada Pak Natsir, tidak ada satupun hadiah dari pemerintah Jepang yang diterima Pak Natsir, semua hadiah yang diberikan Jepang dikembalikan, hingga negara itu kesulitan untuk bisa memberikan imbal balas jasanya. Hal ini  karena beliau telah berpesan pada keluarganya untuk tidak menerima apapun dari pemerintah Jepang. Beliau bahkan tidak pernah bercerita tentang surat penting itu pada siapapun di Indonesia. Itulah sebabnya tidak ada tokoh Indonesia atau tokoh Dewan Da’wah sekalipun yang tahu tentang kisah itu. Karena itu pulalah pemerintah Jepang sangat berduka yang sangat dalam saat Pak Natsir meninggal dunia. Bukan hanya pemerintah, tapi bangsa Jepang merasa ada “ledakan bom atom ke 3” yang di jatuhkan tepat di Kota Tokyo mendengar Mohammad Natsir, yang juga pendiri sekaligus pemimpin partai politik Masyumi ini meninggal dunia. “Itu bukan ucapan dramatis seperti kamu bilang. Itulah perasaan hati kami bangsa Jepang atas meninggalnya Mohammad Natsir waktu itu, “ kata Hamada San mengakhiri cerita. Saya mendengarkan kisah itu tanpa sedikitpun menyela. Saya hanya diam terpaku, mendengarkan penjelasan yang tertunda selama 10 tahun lamanya. Mohammad Natsir, adalah seorang ulama, politikus, pejuang kemerdekaan Indonesia dan pahlawan nasional. Mantan sebagai presiden Liga Muslim Dunia (World Muslim League) dan ketua Dewan Masjid se-Dunia ini mungkin agak kurang dikenal di kalangan generasi milenial. Yang tidak kalah penting, pemegang 3 gelar Doktor (HC.) adalah orang di balik gagasan kembalinya Indonesia menjadi Negara Kesatuan, 73 tahun yang lalu, sebelum banyak orang berteriak “Saya NKRI” dan ‘saya Pancasila’. Kala itu, tokoh Partai Masyumi ini mengajukan gagasan penting, yakni kembalinya Indonesia menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), setelah sebelumnya Indonesia hidup dalam Republik Indonesia Serikat (RIS). Setelah berbulan-bulan melakukan pembicaraan dengan pemimpin fraksi, sekaligus melakukan lobi untuk menyelesaikan berbagai krisis di daerah, Mohammad Natsir berpidato mengajak seluruh negara bagian bersama-sama mendirikan negara kesatuan melalui prosedur parlementer, yakni melalui Mosi Integral pada 3 April 1950.   Berkat perjuangan Pak Natsir, Parlemen RIS menerima mosi dan meminta pemerintah segera melakukan langkah-langkah untuk membentuk negara Kesatuan Republik Indonesia (NKR). Pidatonya kemudian dikenal dengan “Mosi Integral M Natsir”. (*)

Kang Emil, Sudahlah Batalkan Berhala Patung Soekarno

Oleh M Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan BANDUNG jangan dikotori dengan kultus dan keberhalaan. Patung Soekarno yang direncanakan akan dibangun di Taman Saparua dikhawatirkan menjadi bagian dari kultus dan keberhalaan tersebut. Awalnya memang semata penghormatan sebagai tokoh sejarah bangsa atau bagian untuk membangun semangat nasionalisme, akan tetapi kekhawatiran pengkultusan dan pemberhalaan ternyata semakin terasa.  Belum juga tahap pembangunan, Pemerintah Propinsi Jabar sudah melakukan, sekurang-kurangnya mengizinkan, upacara ruwatan dengan sesajen-sesajen bernuansa mistik. Pandangan budaya dapat berbeda dengan visi keagamaan. Agama melihat hal tersebut sebagai ritual yang mendekati kemusyrikan. Wajar jika umat Islam di Bandung atau Jawa Barat khawatir jika perbuatan tersebut dapat mengundang adzab dari Allah.  Penghormatan kepada Soekarno sebagai salah seorang proklamator kemerdekaan tidak harus selalu diwujudkan melalui pembuatan patung tinggi atau besar. Nasionalisme dapat dan strategis ditanamkan kepada siapapun melalui ruang pendidikan dan media lainnya. Lagi pula jika patung itu dimaksudkan bahwa Soekarno adalah proklamator maka tidaklah boleh meninggalkan Moh Hatta. Keduanya \"dwi tunggal\" yang telah memproklamasikan kemerdekaan atas nama bangsa Indonesia.  Protes atas pembangunan patung Soekarno diprediksi akan terus berlanjut. Kang Emil sebagai Gubernur Jawa Barat bersiap menanggung dosa berupa serangan kritik dan penolakan. Meski akan lengser sebentar lagi tetapi kebijakan akhir masa jabatan dengan mengizinkan dan bersukacita atas pembangunan patung tersebut akan menuai kecaman dan tuntutan dari masyarakat Jawa Barat.  Sebagai kebijakan kontroversial, maka pro dan kontra bisa saja terjadi. Akan tetapi karena masalah ini sangat sensitif dan dapat menyentuh berbagai aspek termasuk keyakinan keagamaan, maka konflik ke depan bukan mustahil akan terjadi. Bagi sebagian umat Islam keberhalaan adalah sejarah kuno yang mesti dilawan bahkan dihancurkan.  Dimensi keagamaan adalah satu faktor. Aspek lain adalah domain hukum. Sudah tepatkah perizinan yang dikeluarkan bila dihubungkan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku khususnya Perda Jawa Barat ? Bagaimana konten Perjanjian Pemprov Jawa Barat dengan Yayasan Putera Nasional Indonesia, khususnya anggaran 14,5 Milyar, mulai kapan menjadi beban APBD? Dari aspek sosial terkesan pembangunan ini minus sosialisasi. Pada tingkat DPRD saja jangankan menyetujui untuk mengetahui pun tidak. Proyek ini dipandang \"misterius\", \"ujug-ujug\" serta sarat dengan kepentingan politik. Sekjen PDIP perlu menyebut peluang Ridwan Kamil sebagai Bacawapres Ganjar Pranowo pada acara \"groundbreaking\" saat itu. Konon patung ini akan diresmikan oleh Megawati Soekarnoputeri.  Patungisasi Soekarno di berbagai daerah adalah hak jika didirikan di lahan sendiri dengan prosedur perizinan yang benar. Akan tetapi jika di tempat-tempat umum, maka perlu pertimbangan akan relevansi dengan kebutuhan masyarakat. Tidak memanipulasi nasionalisme untuk hal yang sebenarnya tidak mendesak dan relevan dengan pendirian patung tersebut.  Apalagi jika dikaitkan dengan mistisisme tentu tidak sesuai dengan ajaran Soekarno sendiri yang jika masih hidup mungkin tidak akan setuju dengan pengkultusan dan pemberhalaan dirinya melalui patung-patung yang dibuat. Bukan seperti itu cara mengenang kepahlawanan. Pandangan maju dan progresif nya akan mengkritisi dan mempermasalahkan.  Pandangan progresif keagamaan Soekarno bisa kita baca dalam buku kumpulan surat-surat atau tulisannya yang dihimpun dalam buku berjudul \"Islam Sontoloyo\".  Menarik di antara tulisannya : \"Kini mereka sudah mulai sehaluan dengan kita dan tak mau mengambing saja lagi kepada kekolotannya, ketakhayulannya, kejumudannya, kehadramautannya, kemesumannya, kemusyrikannya (karena percaya kepada azimat-azimat, tangkal-tangkal dan \"keramat-keramat\") kaum kuno, dan mulailah terbuka hatinya buat \" agama yang hidup\".  Nah, Kang Emil mumpung masih ada waktu dan menjabat sebagai Gubernur Jawa Barat, maka batalkan rencana pembangunan patung tertinggi Soekarno di lahan milik Pemprov Jawa Barat Taman Saparua tersebut.  Mudharatnya jauh lebih besar dari manfaatnya.  Bandung, 15 Agustus 2023.