Sinisme
Tulisan Rocky Rocky 2014 lalu, tetap relevan sampai kapanpun untuk merawat demokrasi, merawat bangsa ini.
Oleh Rocky Gerung - Staf Pengajar Departemen Filsafat, FIB – UI
POLITIK adalah gairah. Yaitu luapan energi untuk menghasilkan perubahan: bahwa "sesuatu" harus terjadi, agar sejarah bergerak. Fantasi mendekatkan ekspektasi pada urgensi, dan dalam gairah itulah politik menghidupkan harapan.
Tetapi hari-hari ini, luapan itu justru tumpah menjadi arogansi intelektual untuk mengendalikan opini publik, semata-mata dengan dalil buta "kebenaran mutlak". Politik dalam kondisi pengendalian itu menjadi soal teknis semata-mata: ditampilkan dalam grafik lalu dirayakan sebagai "kemenangan".
Dalam tema palsu "politik nilai", konfrontasi diselenggarakan seolah-olah sebagai "duel etik", dan kaum intelektual tampil sebagai pemuka-pemuka radikal. Di belakangnya pers berbaris rapih. Profesor versus profesor, budayawan versus budayawan. Editorial versus editorial.
Surveyor versus surveyor. Dalam gegap gempita itu, kritisisme berhenti. Kita atau mereka! Di sini atau di seberang!
Doktrin "sini-seberang" inilah yang memalsukan politik nilai itu. Politik nilai memerlukan kritisisme sampai ke ujung rambut pengendali politik. Politik nilai menuntut kejujuran pers untuk membuka kamar terakhir, tempat para "narasumber utama" berdiam. Inilah kamar-kamar kepentingan yang tak terlihat rakyat, tetapi yang sesungguhnya menentukan isi dan arah pemerintahan kelak.
Politik memang mengandung cacat bawaan. Yaitu godaan manipulasi. Kekuasaan berwatak absolut itulah yang hendak dikontrol oleh demokrasi. Pada prinsip kontrol itu, demokrasi meluaskan partisipasi politik agar seluruh segi kekuasaan - ambisi, integritas, jejak- diuji ketat di forum publik. Itulah asas publisitas. Pers adalah pembuluh darah demokrasi yang bertugas mengedarkan publisitas demi menjaga kewarasan pendapat umum.
Paralel dengan kerja pers adalah kerja akademisi dalam meluaskan akal kritis untuk selalu memberi sinisisme kepada kekuasaan.
Sinisisme adalah enzim publik untuk mencegah politik tumbuh dalam eforia kembang api yang habis dibakar sesaat untuk kemudian gelap.
Sinisisme bukan sikap apatis. Juga bukan sikap netral. Sinisisme adalah aktifitas kritik untuk mengingatkan demokrasi bahwa selalu ada jarak antara harapan dan para pembuatnya. Bahkan jarak antara pembuat dan para pengharap.
Sinisisme tak berdiri netral di antara para pihak. Juga tak berdiri di kerumunan massa. Sinisisme berdiri di atas tribune, agar dapat melihat yang di dalam dan di luar arena.
Pada akhirnya, seorang warga negara harus terpilih sebagai pemimpin negeri. Tetapi setelah itu, kita harus membenahi demokrasi yang porak-poranda ini.
Kambing hitam selalu tersedia. Tapi demokrasi adalah kemarahan yang dilembagakan. Taruhan ini harus dibayar, juga oleh mereka yang menolak ke kotak suara, mereka yang telah melihat kekonyolan politik ini sejak awal. Tak adil memang, tapi kedewasaan memerlukan sedikit pengorbanan. Dengan itu kita bertumbuh sebagai bangsa yang bertenaga.
Demokrasi memerlukan sinisisme agar ruang politik tak dihuni oleh doktrin. Tetapi hari-hari ini, sinisisme telah berubah jadi sekedar sikap sinis. Yaitu cibir-mencibir dalam dengki. Sinisisme memerlukan pikiran. Sinis cukup dengan cibiran. Demokrasi, jelas bukan itu.
Depok, 21 Juli 2014