OPINI

Jokowi Menyerah atau Tetap Melawan Rakyatnya

Oleh Sutoyo Abadi - Koordinator Kajian Politik Merah Putih  Orasi Rocky Gerung Provokasi  cari perkara dengan berperkara kita dapat persoalkan kebijakan presiden,  disampaikan dalam persiapan aksi akbar 10 Agustus bersama Aliansi Aksi Sejuta Buruh (AASB) di Bekasi (29/7). Kepada buruh, Rocky yakinkan sejarah reformasi 1998 akan ditulis ulang para buruh. Dari Bekasi perlawanan akan dimulai. Kita cari perkara dengan presiden. Berperkara dengan Jokowi adalah mutlak,  karena manusia yang menutupi kejahatan lebih buruk dari keledai. Dia (Jokowi) memikirkan nasibnya sendiri. Tak pikirkan nasib buruh, \"Itu bajingan yang tolol dan pengecut,\" ungkap Rocky Gerung dengan lantang. Sehingga rencana aksi 10 Agustus 2023 memiliki momentun menggalang solidaritas peserta aksi lebih banyak. Semua diskusi dan pertemuan bahas kondisi bangsa, percuma. Sudah saatnya kita buat gara-gara,\" ungkapnya Orasi tersebut spontan mengguncang percakapan politik di dunia maya, muatan orasinya menjadi inspiratif bukan hanya kepada buruh tetapi akan menjadi energi bagi para pejuang yang menginginkan perbaikan di negara  ini. Memang benar \"Bila dialektika politik menjadi imperatif bagi masyarakat untuk anti patriotisme, anti intelektual dan anti revolusi, hendaknya jangan membuat kita apatis dan menyembunyikan kebusukan tersebut.\" *Berdiam diri adalah pengkhianatan terbesar pada diri sendiri. Rakyat harus dibangkitkan untuk berjuang membangun jalan setapak yang mampu menembus bayang - bayang suram masa depan bangsa\" Bukan hanya Rocky Gerung yang sedang gelisah dan coba melawan dengan membakar semangat nasib buruh yang sangat buruk dengan gara gara. Beberapa pengamat politik sudah sangat terang benderang memberikan gambaran apa yang sedang terjadi di Indonesia. Prof. Ihsanudin Nursi dalam berbagai kesempatan telah memberikan gambaran tentang penjajahan gaya baru saat ini bahwa Indonesia saat ini sedang di Invasi, Infiltrasi, Intervensi, Interferensi, Indoktrinasi, Intimidasi, Inflasi oleh kekuatan asing. Dari serbuan tersebut, kekuataan asing di Indonesia sudah sistemik struktural dari aspek nilai hingga ke tekonologi. Kekuataan modal domestik menunggangi kebobrokan sistem konstitusi dan ekonomi dan politik sehingga tidak  ada parpol yang tidak yang tidak tergantung pada kekuataan modal domestik (bandar). Media arus utama adalah kaki tangan mereka. LSM, Tokoh masyarakat dan agama sebagian sudah terbeli. Masyarakat hanyut tersesat tanpa mengetahui ketersesatan (ultra modern slavery system). Ini ajang perebutan kuasa ( perang tanpa senjata) yg tidak disadari sebagai peperangan jangka panjang. Semuanya, nyaris 99% berpikir jangka pendek. Dari kampus UI , DR. Mulyadi terus berteriak bahwa akibat  terjadi kekacauan politik berimbas pada kacaunya negara mengurus nasib masyarakatnya adalah akibat lembaga perwakilan rakyat dan rusaknya peran partai politik yang lumpuh total. Kata DR. Mulyadi bahwa partai itu rusak karena meninggalkan empat fungsi lainnya yang fundamental:  (1) artikulasi politik: siang malam teriakkan kepentingan rakyat; (2) agregasi politik: siang malam teriakkan hukum yang rusak ; (3) sosialisasi politik: siang malam teriakan pelanggaran etika politik pemerintahan; dan (4) komunikasi politik: siang malam teriakkan penyimpangan penguasa. Keadaan negara yang carut marut nampak hanya bisa di atasi dengan \"gara gara\" seperti yang sedang menjadi umpan lambung oleh Rocky Gerung. Gaung bersambut, Prof Rizal Ramli, mengumandangkan seruan \"Saat ini kita butuh pemimpin yang berani, sikap yang tegas dengan segala konsekuensi dan resikonya. Sudah tidak waktunya lagi bicara soal teori ini itu, saat berdialog yang lebih riil riil selesaikan Jokowi\" \"Perubahan bukan karena kita ingin perubahan tetapi kondisi objektif yang memaksa harus terjadinya perubahan. Saat ini kondisi objektif sudah matang untuk terjadinya perubahan\" Kalau rezim ini terus berjalan hanya dengan mengikuti remote kekuatan asing, mengabaikan aspirasi masyarakat yang mulai marah karena kelola negara dengan ugal ugalan. Cepat atau lambat akan berlaku  slogan: live oppressed or rise up against ( hidup tertindas atau bangkit melawan ). Bukan hanya kaum butuh yang akan melawan, terapi rakyat akan bergerak melawan, rezim turun atau terpaksa diturunkan oleh rakyat. Pilihan Jokowi menyerah atau tetap melawan rakyatnya, adalah pilihan harus diambil dengan resikonya masing masing. ***

Anies dan Perubahan Paradigma Pendidikan

Oleh Yusuf Blegur - Mantan Presidium GMNI  Pendidikan itu bukan spending. Pendidikan itu bukan pengeluaran, bukan biaya. Pendidikan itu investasi. Pernyataan Anies Baswedan yang di antaranya mengulas pendidikan dalam acara Karni Ilyas Talk Show di TV One tanggal 28 Juli 2023. Sesungguhnya sebagai upaya mendekonstruksi konsep dan pelaksanaan pendidikan  di Indonesia selama ini. Anies seperti sedang melakukan refleksi dan evaluasi terhadap metode pendidikan yang telah berlangsung sepanjang Indonesia merdeka. Oleh pemerintah pendidikan dianggap  sebagai sebuah beban negara. Sehingga penanganan pendidikan dilakukan dengan sekadar pendekatan program dan pembiayaan serta menyelesaikan masalah yang menjadi tanggungjawab negara. Konsekuensi dari semua itu, membuat pemerintah terus terjebak pada regulasi yang hanya mampu  membuat terselenggaranya proses pendidikan. Sekadar membangun sekolah, menyiapkan guru, mengadakan kurikulum dan pelbagai sarana-prasarana teknis lainnya. Dari kebijakan dan penanganan model pendidikan yang seperti itu, pemerintah terus dirongrong oleh pelbagai masalah krusial yang mengekornya. Paling sering terjadi berupa berubahnya sistem dan kurikulum seiring bergantinya pemerintahan khususnya menteri pendidikan. Belum lagi ketersediaan kursi  yang terbatas,  tak mencukupi saat sekolah  menerima lonjakan penerimaan siswa-siswi baru.  Lebih parah dan miris, Indonesia belum mampu mewujudkan pendidikan bagi semua anak bangsa tanpa terkecuali, mulai dari pendidikan  dasar hingga pendidikan tinggi. Masih banyak anak putus sekolah bahkan pada pendidikan  dasar karena biaya, lemahnya pengayaan pendidikan, iklim lingkungan dan  interaksi sosial pendidikan yang tidak kondusif menyelimutinya. Pemerintah belum mampu menyelenggarakan pendidikan yang berkelanjutan, kegaduhan rutin terjadi dan saban tahun PPDB on line bergejolak. Ada praktik pungli dan jual beli bangku sekolah,  betapa menyedihkan. Beragam model kurikulum pendidikan silih berganti, infra struktur pendidikan pun giat dibangun. Namun pendidikan pada umumnya baik yang dikelola pemerintah maupun swasta, belum mampu menampung siswa didik secara kualitatif dan kuantitatif. Strata sosial ekonomi yang berlapis, membuat disparitas yang mencolok bagi keluarga yang tak berkecukupan dan kalangan yang mampu dalam mengakses dunia pendidikan. Bagi si miskin pendidikan dasar sekalipun bisa jadi hanya menjadi uthopis, kesulitan mendasar sama halnya dalam terseok-seok memenuhi kebutuhan makan sehari-hari. Namun bagi di kaya, pendidikan setinggi- tingginya begitu mudahnya diraih, bisa menjangkau seantero jagad, layaknya asyik melakukan  traveling keliling dunia. Begitulah di Indonesia sebuah negeri yang kaya,  tak hanya pada sosial  ekonomi dan sosial politik, keadilan juga tak ada tempat di sektor pendidikan. Industri dan Kapitalisasi Pendidikan Seorang Anies Baswedan memahami betul bagaimana pendidikan  itu harusnya  dapat memanusiakan manusia. Tak cuma akses, pendidikan juga harus mampu menciptakan kesetaraan bagi semua anak bangsa. Sistem pendidikan juga sepatutnya mampu membuat suasana  belajar yang nyaman dan aman bagi para peserta dan penyelenggara proses pembelajaran. Situasi dan kondisi pendidikan  tak boleh lepas dari orientasi membentuk manusia-manusia terdidik yang  mampu menjadi intelektual dan pemimpin yang bisa berkontribusi bagi kebaikan  peradaban manusia. Pendidikan khususnya sekolah apapun jenjangnya, identik sebagai laboratorium bagi tumbuh-kembangnya nilai-nilai kemanusiaan yang memiliki harkat dan martabat yang tinggi. Secara psikis dan psikologis dan tentunya wawasan, sekolah dituntut untuk melahirkan manusia-manusia yang memiliki kecerdasan intelektual  kecerdasan emosional,  kecerdasan spiritual dan kecerdasan mental.    Bagi peserta didik harus ada semangat dan motivasi menjadi manusia yang cerdas, peduli dan berahlak yang berguna bagi rakyat, negara dan bangsa Indonesia, yang menjadi tolok ukur keberhasilan produk pendikan. Jangan sampai masalah  ekonomi, apapun latar belakang keluarga dan bagaimanapun juga kondisi anak menjadi penghambat dan memupus impiannya menjadi manusia terdidik  tercerahkan dan mencerahkan. Pendidikan harus menjadi kendaraan universal bagi siapapun tanpa dibatasi kelas sosial, SARA dan faktor keturunan untuk mengarungi perjalanan menempuh  dan kemuliaan dsn derajat tinggi kemanusiaan bagi setiap orang. Begitupun bagi para guru dan karyawan, menjadi mutlak untuk diprioritaskan kesejahteraannya. Gaji, fasilitas dan tunjangan untuk  pengajar (guru dan dosen) serta karyawan juga tak kalah penting diutamakan selain  kebutuhan peserta didik. Terlebih bagi para guru yang selama ini  mengabdi menjadi pengajar di sekolah-sekolah di pelosok pedesaan dan wilayah perbatasan. Harus ada regulasi yang adaptif terhadap  supra struktur dan infra struktur pendidikan yang berkolerasi dengan   keberadaan masyarakat, keluarga dan stake holder lainnya. Pendidikan bukan hanya dilihat  menjadi produk konsumtif lebih dari itu juga harus dilakukan sebagai budaya partisipatif. Rakyat memiliki hak dan kewajiban untuk ikut menjadi peserta sekaligus penyelenggara pendidikan. Negara dalam hal ini pemerintah,  benar-benar harus tegas dan implementatif, jika ingin menjadikan pendidikan sebagai aspek funamental pembangunan manusia (human resources). Paradigma pendidikan selama ini harus berubah, tak lagi menjadikan pendidikan sebagai sebuah industri dan dibiarkan larut dalam penguasaan mekanisme pasar. Pemerintah, dalam hal ini presiden sebagai penentu kebijakan negara yang menyeluruh harus berani merubah paradigma dan persfektif pendidikan selama ini yang terlanjur  dikelola sebagai komoditi industri dan bagian tak terpisahkan dari perilaku transaksional dan kapitalistik. Harus ada keberanian kebijakan politik anggaran yang berbasis pada kepentingan pendidikan. Negara harus menggelontorkan pembiayaan sebesar-besarnya untuk kebutuhan pendidikan. Jika perlu subsidi yang yang luas diprioritaskan untuk menopang kepentingan memajukan pendidikan nasional. Anies yang begitu peduli  dan konsern pada dunia  pendidikan tentunya diharapkan rakyat bisa mengambil terobosan baru dalam dunia pendidikan di Indonesia. Kelak, in syaa Allah  saat menjadi presiden, Anies dapat menjadikan pendidikan sebagai investasi bagi pembagunan manusia yang menjadi tanggungjawab negara. Jangan hanya habis terkuras uang negara untuk praktek-praktek KKN dan proyek-proyek ambisus, mangkrak dan mubazir pula. Semoga Anies mampu mengelola negara terutama pada aspek pendidikan  yang menjadi faktor penting dan utama dalam pembangunan negara bangsa Indonesia secara integral holistik. Karena tak bisa dipungkiri, baik buruknya suatu negara dan bangsa,  bisa dilihat dari baik buruknya  sistem pendidikan yang dianutnya.   Pernah menjadi Rektor Universitas Paramadina dan menteri pendidikan,  rasanya tak sabar menunggu Anies Baswedan menjadi presiden untuk mengejawantahkan  pendidikan yang membebaskan dan pendidikan bagi semua. Anies Baswedan dan perubahan paradigma pendidikan, tentunya menyadari bahwasanya pendidikan itu investasi yang besar dan mahal. Untuk Indonesia yang kaya raya seberapapun besarnya biaya pendidikan demi kelangsungan dan masa depan Indonesia yang lebih baik. Untuk negara,  menghabiskan uang rakyat untuk pendidikan rakyat, tak akan sia-sia dan akan kembali untuk kemajuan dan kebesaran rakyat, negara dan bangsa Indonesia, tegas  Anies  di hadapan Karni Ilyas. Akhirnya, seluruh rakyat Indonesia boleh mengingat dan aware pada apa yang  disampaikan filsuf pendidikan Paolo Preire, sekolah adalah kapitalisme yang licik. Atau belum lama ini terlontar dari Faizal Assegaf seorang kritikus, kampus tak ubahnya sebagai tempat peternakan manusia. Anies Baswedan dan perubahan paradigma pendidikan layak ditunggu selekas-lekasnya untuk direalisasikan, tentunya dengan cara yang beradab, demokratis dan konstitusional. Agar sistem pendidikan yang memanusiakan manusia dapat mewujud dan out camenya  tidak melulu menjadi pekerja untuk makan, berkembang biak dan bertahan hidup dalam pusaran industri dan kapitalisasi pendidikan. (*)

Jokowi Dimakzulkan, Parpol-Parpol Menang Banyak

Oleh M. Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan MERUPAKAN pandangan yang keliru jika menyatakan bahwa gerakan makzulkan Jokowi itu bertentangan dengan peran partai-partai politik yang sedang menyiapkan diri untuk Pemilu khususnya Pemilu Presiden. Sesungguhnya makzulnya Jokowi sangat menguntungkan partai-partai politik. Makzulkan Jokowi adalah gerakan untuk membebaskan partai-partai dari sandera permainan Jokowi bersama \"inner circle\" nya. Makzulnya Jokowi menguntungkan PDIP karena semua tahu kini PDIP sedang tidak akur dengan Jokowi. Jokowi adalah petugas partai yang tidak patuh, mahir berpura-pura di depan tetapi di belakang berjalan semaunya. Ketika PDIP mencanangkan Puan Maharani sebagai Bacapres, Jokowi bergerak menjagokan Ganjar Pranowo. Megawati tentu tidak suka dan terluka. Saat Megawati mendukung Ganjar Pranowo, maka Jokowi berpaling kepada Prabowo Subianto. Meski Jokowi masih berwajah kemungkinan akan mendukung Ganjar Pranowo tetapi wajah ini tidak dipercayai Megawati sepenuhnya. Istana Jokowi memang penuh jebakan dan jampi-jampi. Tidak jelas dukungan dan pemihakan. Jokowi bagi PDIP adalah dilema. Makzul Jokowi akan membuat PDIP merdeka dan leluasa menuju Pemilu. Lengser Jokowi tentu menguntungkan Koalisi Indonesia Bangkit (KIB). Saat ini Golkar diobrak abrik dan PAN-PPP hanya bisa melompat lompat. Semua partai tersebut akan bebas dari penyanderaan jika Jokowi berhasil dimakzulkan. Jokowi memainkan hukum untuk kepentingan politik. Publik membaca bahwa KPK dan Kejagung dapat memilih kasus sesuai arahan atau keperluan. Yang sudah pasti beruntung adalah Koalisi Perubahan. Partai Nasdem, PKS dan Demokrat akan bebas dari beribu-ribu upaya Jokowi untuk menjegal Anies Baswedan. Langkah Jokowi yang mengacaukan Partai Demokrat dan Partai Nasdem harus digagalkan. Artinya makzul sebelum 2024 adalah pilihan terbaik. Ketiga partai selayaknya untuk mendukung agenda pemakzulan ini. Bagaimana dengan Gerindra dan PKB? Makzulnya Jokowi juga menguntungkan keduanya. Keburukan Gerindra di depan rakyat adalah kesan Prabowo menjadi pengemis untuk dukungan Jokowi. Saat Jokowi mulai ditinggalkan, maka bersandar pada Jokowi adalah kartu mati. Prabowo dan Gerindra yang sudah terlanjur merapat sulit keluar. Hanya satu jalan yaitu Jokowi lengser atau dimakzulkan. PKB turut lepas dari penyanderaan kasus. Gerakan pemakzulan Jokowi bukan saja menjadi aspirasi dari rakyat yang sudah bosan dengan pola dan permainan rezim, akan tetapi juga menguntungkan dan menolong partai-partai politik. Ini merupakan \"blessing in disguise\" sekaligus keunikan yang terjadi di penghujung masa jabatan Presiden Jokowi. Bagi DPR dan MPR dengan adanya aspirasi desakan \"Makzulkan Jokowi\" melalui Petisi 100 yang lalu tentu dimudahkan untuk mendasari pemakzulan. Apa yang menjadi alasan dari Petisi 100 Penegak Daulat Rakyat untuk pemakzulan Presiden Jokowi dapat didalami secara seksama. Ada KKN, pelanggaran HAM, perbuatan tercela, penghianatan negara dan lainnya. Desakan agar Jokowi mundur atau dimundurkan sangat beralasan hukum dan politik, karenanya dapat dilakukan dengan segera. Hal ini berkaitan dengan Pemilu 2024 yang semakin dekat. Demi kepentingan rakyat, maka partai-partai politik harus segera berbuat. Makzulkan Jokowi. Ini akan menjadi perbuatan dan perjuangan yang sangat bermanfaat baik bagi rakyat maupun bagi partai-partai politik itu sendiri. Slogan bangsa demi kebaikan bersama : \"Pemilu tanpa Jokowi\". Bandung, 29 Juli 2023.

Bagi Rakyat Perubahan adalah Kedaulatan

Oleh Yusuf Blegur - Mantan Presidium GMNI  Tuhan telah memberi sinyal, terbukti penguasa saling  menjegal, menebar intimidasi dan teror. Mengancam membongkar kebobrokan dan potensi penjara bagi masing-masing. Pejabat menangkap pejabat, polisi membunuh polisi dan sesama koruptor terus berperang. Tunggu saja saat Tuhan benar-benar bertindak, tak melulu hanya menyampaikan pesan. Potret paling nyata dan jujur dari republik saat  ini tak lain dan tak bukan adalah keprihatinan. Kemerdekaan Indonesia yang susah payah diperjuangkan  hanya menyajikan perpindahan kekuasaan dari bangsa asing kepada kekuasaan oligarki. Awalnya membuat getir kaum imperialis, hingga 78 tahun usia proklamasi, negeri tak berubah masih diliputi tirani. Kekayaan alam habis dikuras secara legal oleh korporasi internasional. Perampok dan maling lokal berkuasa secara konstitusional. Birokrasi dan aparat hanya berupa gerombolan elit yang emosional dan brutal. Rakyat hanya mendapat sisa-sisa remahan dari pesta pora pemilik modal, mafia dan para pejabat pembual. Hari-hari penyelenggaraan negara terus diwarnai kejahatan pribadi dan institusional. Praktek-praktek korupsi, kolusi dan nepotisme semakin kuat menjadi tradisi dan gaya hidup pemangku kepentingan publik. Mulai dari personal dan organisasi penyimpangan terus dilakukan secara terstruktur, sistematik dan masif. Kecurangan, penyimpangan dan bahkan penindasan benar-benar telah menjadi terhormat dan disegani. Penjahat berkedok pejabat begitu angkuh memamerkan uang, kekuasaan dan populeritas. Rakyat terdiam, terpaku dan  pasrah tak bisa berbuat apa-apa. Elit politik saling menjegal berebut pengaruh dan kekuasaan. Saling mengancam dan siap membongkar kebobrokan yang konspiratif. Bagi yang tersandera skandal kebusukan moral, harus rela terseret permainan politik yang rendah dan menghinakan. Pola transaksional tak selalu memburu material, tak jarang lebih karena dalam rangka keamanan dan  keselamatan diri, keluarga dan kolega. Dalam istilah yang diperhalus, konstelasi dan konfigurasi petinggi negara penat diliputi pertarungan  posisi tawar. Presiden kepada menterinya, presiden kepada lembaga tinggi negara,  presiden kepada komisi pelayanan publik dan termasuk presiden kepada partai politik dengan irisannya di legislatif, eksekutif dan yudikatif. Saling mengancam, menebar intimidasi dan teror kerap menyelimuti perilaku kekuasaan, tanpa sedikitpun peduli pada rakyat yang justru menjadi korbannya. Rakyat kehilangan tanah dan rumahnya, entah tergusur atau dirampas oligarki. Rakyat sulit mengenyam pendidikan, sekalipun di sekolah berstatus negeri, apalagi yang dikelola swasta. Rakyat kesulitan mendapat gas elpiji dan harus membayar mahal BBM. Rakyat harus terbebani berat utang negara dan membayar pajak tinggi yang mencekik, sementara subsidi kebutuhan pokok rakyat terus dicabut. Lebih miris lagi, bukan hanya lemahnya daya beli masyarakat, sebagian rakyat di pedesaan bersaing dengan perkotaan berlomba-lomba menyandang kemiskinan. Semua keprihatinan dan ketidaklayakan yang mendera rakyat itu, bahkan seiring sejalan saat segelintir penyelenggara negara bersama oligarki pengusaha dan partai politik mempertontonkan, membanggakan dan mencintai kekayaan serta tabiat kekuasaan   yang berbasis korup dan kejahatan kemanusiaan. Manipulasi konstitusi, mengebiri demokrasi dan membunuh hak asasi, tak selamanya berjaya. Kekuasaan manusiapun pun ada batasnya, terlebih saat Tuhan mulai melakukan intervensi. Ada sinyal dan  pesan dari kekuasaan Tuhan merespon doa kaum teraniaya dan tertindas yang mampu mengguncang kekuatan tirani. Doa rakyat yang terpinggirkan dan menjadi korban kekuasaan zolim, mampu menggerakan simpati dan empati pemilik jagad raya yang hakiki untuk melahirkan seorang pemimpin dan agenda perubahan yang melekat di dalamnya. Sejarah dan peradaban manusia menjadi bukti sekaligus saksi nyata, Tuhan selalu ada dan menghadirkan seorsng pemimpin yang jujur, amanah, syiar dan cerdas di antara rakyat yang lemah dan kekuasaan rezim yang absolut sekalipun. Nabi Ibrahim alaihissalam dengan Raja Namrud, Nabi Musa alaihissalam dengan Raja Firaun hingga Nabi Muhammad sallallahu alaihi wasallam menjadi pelajaran sekaligus pencerahan yang nyata bagi umat manusia di dunia. Tak ada kekuasaan yang abadi, tak ada  kejahatan yang tak bisa dikalahkan, terutama ketika Tuhan membersamai kaum yang lemah, yang tertindas dan teraniaya sembari memanjatkan doa meminta pertolongan dan perubahan. Pun, bagi rakyat Indonesia yang menjadi muslim terbesar di dunia, betapapun rezim pemerintahan meminggirkan peran umat Islam dan cenderung Islamophobia. Kebenaran akan menemukan jalannya sendiri. Perubahan itu kian  tak terbendung bersama kekuatan rakyat dan umat. Karena sesungguhnya, bagi rakyat perubahan adalah kedaulatan. Kedaulan rakyat sekaligus kedaulatan Tuhan yang hadir pada setiap pemimpin pada zamannya. Ya, setiap pemimpin ada zamannya dan setiap zaman ada pemimpinnya. Selamat datang perubahan, selamat atas doa  pemimpin yang mengiba pada kekuasaan Tuhan. *) Dari pinggiran catatan labirin kritis dan relung kesadaran perlawanan. Bekasi Kota Patriot. - 10 Muharram 1445 H/28 Juli 2023.

Resep Anti Negara Gagal

Oleh: AA LaNyalla Mahmud Mattalitti - Ketua Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia MINGGU lalu, mata dunia tertuju kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Antonio Guterres. Karena dia menyampaikan peringatan serius kepada negara-negara di dunia. Tentang ancaman negara gagal.  Dalam laporannya yang berjudul; A World of Debt (Dunia Utang), Guterres memberi peringatan serius terkait utang publik global di tahun 2022, yang mencetak rekor 92 triliun US Dolar. Angka tertinggi sepanjang masa.  Sekjend kelahiran Portugal itu mengatakan, sebanyak 52 negara, hampir 40 persennya adalah negara berkembang, berada dalam masalah utang yang serius. Katanya seperti dirilis di website resmi United Nation, Rabu, 12 Juli 2023. Yang menjadi perhatian dia, adalah tingginya angka pembayaran bunga utang (belum termasuk pokok utang), yang melebihi beberapa belanja publik pemerintah di sektor yang seharusnya menjadi mandatory. Sektor mandatory menurut Guterres yang terpenting ada dua; Kesehatan dan Pendidikan.  Beberapa negara memang tercatat membayar bunga utang lebih tinggi ketimbang belanja sektor mandatory. Terutama negara-negara di Benua Afrika. Menurut dia, jika ini diteruskan, potensi untuk menjadi negara gagal terbuka lebar.  Bagaimana dengan Indonesia? Dalam APBN kita, bunga utang yang dibayar pemerintah di tahun 2022 sebesar Rp 386,3 triliun. Sementara anggaran Kesehatan di tahun 2022 sebesar Rp 176,7 triliun. Sedangkan belanja di sektor Pendidikan mencapai Rp 472,6 triliun.  Di sisi lain, potensi angka utang Indonesia masih akan membesar. Pertama karena defisit neraca APBN. Kedua, karena pagu rasio utang dengan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) sesuai Undang-Undang No.17 Tahun 2023 tentang Keuangan Negara, masih terbuka untuk nambah utang.  Rasio utang Indoneaia tahun 2023 masih di angka 38,15 persen dari PDB. Sedangkan pagu di dalam UU 17/2023 tersebut dipatok 60 persen dari PDB. Artinya masih berpotensi untuk nambah utang berkali-kali lipat.  Dan jika betul nambah terus, maka belanja bayar bunga utang niscaya akan melampaui belanja sektor Pendidikan. Bahkan bisa saja melampaui belanja gabungan antara Pendidikan dan Kesehatan.  Artinya, Indonesia juga berpotensi menjadi negara gagal. Dan kita tidak perlu defense, atau malu-malu mendiskusikan soal ini.  Pemerintah tidak perlu nyolot dan mengelak dengan membandingkan dengan rasio utang Jepang yang mencapai 260 persen dari PDB. Karena kita harus utuh menjelaskan informasi tersebut.  Karena Jepang ternyata juga kreditur besar ke beberapa negara. Bahkan Jepang memegang surat utang Amerika Serikat sebesar 1,3 triliun USD atau sekitar 18.500 triliun rupiah. Sementara utang Jepang didominasi utang dalam negeri, dalam satuan mata uang Yen. Bukan USD.     Amerika Serkat sendiri juga utangnya tinggi. Mencapai rasio 137 persen dari PDB. Tetapi lagi-lagi, AS juga kreditur besar ke sejumlah negara. Apalagi AS ditopang oleh jaminan pemasukan pajak dari puluhan the biggest company in the world, yang berkantor pusat di AS. Jadi ojok dibandingke.   Nah, daripada sibuk membuat perbandingan yang tidak apple to apple, lebih baik kita merefleksi diri. Muhasabah. Untuk mencari resep jitu agar Indonesia tidak menjadi negara gagal. Karena negara ini milik rakyat. Pemerintah boleh shutdown. Tapi negara tidak boleh. Pentingnya Sistem   Mari kita menilik buku tentang Negara Gagal yang ditulis ekonom asal Turki-Amerika, Daron Acemoglu dari Institut Teknologi Massachusetts dan ilmuwan politik James A. Robinson dari Universitas Harvard. Buku ini pertama kali dicetak tahun 2012 silam.  Mereka mengatakan kemajuan atau kemunduran suatu negara, ditentukan oleh desain institusi politik dan ekonominya. Suatu negara dapat terus berjalan dan mencapai titik kemakmuran, bila dikelola dengan cara yang tepat. Ini artinya sistem. Bukan tergantung orang (pemimpin). Bahkan mereka mengatakan, meskipun negara kaya sumber daya alam, dan ditopang iklim yang mendukung, (seperti Indonesia), bisa saja menjadi negara gagal. Apabila tidak dijalankan dengan sistem yang tepat. Kedua akademisi itu memisahkan institusi politik dan ekonomi ke dalam dua bentuk. Yaitu; institusi politik ekonomi inklusif, dan institusi politik ekonomi ekstraktif.  Intinya, institusi politik ekonomi inklusif ini memiliki kebijakan yang tidak hanya memberi keuntungan kepada kaum elit. Tapi juga memberi kemakmuran kepada rakyat mayoritas. Secara politik, rakyat juga bisa berpartisipasi aktif. Punya saluran konstitusional. Sehingga bisa mengontrol tindakan penguasa.  Sebaliknya, institusi politik ekonomi ekstraktif merupakan wujud kekuasaan dimana sumber daya ekstraktif hanya dikuasai oleh segelintir orang (oligarki), yang didukung oleh kekuatan politik dan kekuasaan. Situasi ini akan memicu kesenjangan ekonomi yang lebar. Nah, bagaimana wajah Indonesia? Jika ditelaah dengan pisau analisis yang dipaparkan kedua penulis buku negara gagal itu.  Sistem politik Indonesia saat ini, sejak era Reformasi, menempatkan Partai Politik dan Presiden terpilih menjadi pemegang kedaulatan rakyat. Partai politik juga penentu calon presiden yang disuguhkan kepada rakyat untuk dipilih. Dan partai politik juga melalui DPR sebagai pembentuk Undang-Undang yang mengikat 270 juta rakyat Indonesia melalui paksaan hukum (law enforcement).  Di sisi lain, faktanya; 1 persen penduduk Indonesia menguasai setengah kekayaan nasional. Karena angka GINI rasio kita terhadap kekayaan nasional mencapai angka sebesar 0,381. Sedangkan GINI rasio terkait penguasaan tanah di Indonesia, yang mencapai angka 0,58, artinya 1 persen penduduk menguasai 58 persen sumber daya agraria, tanah dan ruang.  Sementara 40 persen penduduk Indonesia masuk dalam kerentanan atau kemiskinan berdasarkan angka patokan Bank Dunia.  Kemiskinan, kesenjangan sosial, dan ketidakadilan sosial mungkin tidak kita rasakan di dalam ruangan rapat pembuat kebijakan di Jakarta. Tetapi di jalanan, di kampung dan gang sempit, di daerah-daerah, di desa-desa, juga di pulau-pulau kecil di luar Jawa; Sangat terasa dan tampak nyata.  Jadi marilah kita membangun kesadaran kolektif. Republik ini harus menjadi milik semua. Bukan milik segelintir orang atau kelompok tertentu.  Hentikan kontestasi politik yang semata-mata ingin sukses meraih kekuasaan dengan cara liberal. Karena politik liberal yang transaksional, dan semata-mata berorientasi kekuasaan itu telah menjadikan kehidupan bangsa kita kehilangan jiwa, rasa, etika, dan kehormatan.  Pilpres Langsung yang kita adopsi copy paste begitu saja telah melahirkan politik kosmetik yang mahal dan merusak kohesi bangsa. Karena batu uji yang kita jalankan dalam mencari pemimpin nasional adalah popularitas yang bisa difabrikasi melalui media.  Belum lagi elektabilitas yang diframing melalui lembaga survei. Lalu diresonansi buzzer di medsos dengan narasi-narasi saling hujat atau takliq buta puja-puji. Maka, semakin mahal biaya make up-nya, semakin glowing di mata rakyat, yang disodori realita yang dibentuk.   Oleh karena itu, marilah kita kembali ke sistem bernegara yang dirumuskan para pendiri bangsa. Sistem bernegara yang tidak meninggalkan Pancasila. Khususnya sila keempat dan ketiga.  Sistem bernegara yang belum pernah secara benar dan tepat diterapkan, baik di era Orde Lama maupun Orde Baru.  Niscaya kita akan terhindar dari negara gagal. Karena kedaulatan harus benar-benar dijelmakan oleh seluruh elemen bangsa di Lembaga Tertinggi Negara. Tidak boleh ada yang ditinggalkan. Karena kita harus membangun demokrasi. Bukan membangun dominasi.  Berabad-abad bangsa Nusantara ini memiliki tradisi musyawarah dan perwakilan. Bahkan partai politik dan ormas dalam memilih ketuanya juga melalui perwakilan. Tetapi mengapa giliran memilih presiden harus dilakukan secara langsung? Dan penentu akhir siapa yang menang adalah Komisi Pemilihan Umum yang mengumumkan angka-angka suara dari 820.161 TPS. Surabaya, 28 Juli 2023.

Membaca, Mengamati, dan Menulis

Oleh Muhammad Chirzin - Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta  Sebuah patung di Jepang dibangun dengan sebuah kedalaman makna,  “Bobotmu ditentukan oleh seberapa banyak buku yang kau baca.” Berderet-deret buku menghiasai almari bapakku. Deret paling atas kitab-kitab tebal berbahasa Arab, Tafsir Al-Manar karya Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, Tafsir Ibnu Katsir, kitab hadis Shahih Bukhari, Shahih Muslim, dan Ihya` Ulumiddin karya Imam Al-Ghazali. Deret kedua buku-buku berbahasa Indonesia, antara lain Capita Selekta karya Muhammad Natsir. Deret di bawahnya buku-buku beraneka tema, termasuk sejumlah buku karya Buya Hamka. Bapak selalui menuliskan tanggal mulai membaca buku pada halaman dalam sampul depan, dan tanggal selesai di halaman dalam sampul belakang. Betapa banyak orang yang berjasa mengajari saya membaca dan menulis. Mula-mula dengan membaca buku berbahasa Jawa, Gelis Pinter Maca (Cepat Pandai Membaca) yang memuat berbagai cerita, antara lain Kancil Nyolong Timun — Kancil mencuri timun. Berikutnya membaca buku bahasa Indonesia Bahasaku. Memasuki pendidikan tingkat menengah saya belajar bahasa Inggris dengan buku Berlitz School, dan bahasa Arab dengan buku Durus Al-Lughah Al-Arabiyyah. Tumbuhlah kekaguman saya kepada guru kami KH Imam Zarkasyi yang telah menyusun sejumlah buku pelajaran untuk santri Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo. Selain buku Durus Al-Lughah Al-Arabiyyah, beliau menulis buku Ilmu Tajwid, Pelajaran Fiqih, dan Pelajaran Aqa`id. Saya pun bertekad untuk menulis buku. Memperhatikan kebutuhan santri Gontor ketika itu, mula-mula saya menyusun buku Pelajaran Kaligrafi (1982), sebagai tanda terima kasih kepada guru kaligrafi di Pondok Pesantren Pabelan, Ustadz Subagyo, dan guru kaligrafi di Gontor Ustadz Rachmat Arifin. Berkat bimbingan mereka saya meraih hadiah penghargaan Juara Harapan Kedua Kaligrafi MTQ Nasional di Aceh (1982), Juara I Lomba Kaligrafi Nasional Menyambut Tahun Baru 1407 Hijriyah di Masjid Istiqlal Jakarta, dan Sepuluh Besar Terbaik dalam Perlombaan Kaligrafi ASEAN Brunei Darussalam (1986).  Berikutnya saya menyusun buku English Course (1982). Atas amanat Pimpinan Pondok saya bersama Ustadz Mulyono Jamal dan Ustadz Ismail menyusun buku Pelajaran Berhitung (1982), lalu membukukan Pelajaran Mahfuzhat (1983) dan Tamrinul Qira`ah Al-Arabiyyah untuk santri Kelas 5 KMI (1983). Saya pun mengikuti Lomba Penulisan Karya Ilmiah Mahasiswa PTAI Nasional dan memperoleh penghargaan Juara Harapan III, diterbitkan oleh Proyek Pembinaan Kemahasiswaan Depag RI berjudul Di Bawah Purnama Bulan Syawal (1984).  Setelah berkonsultasi dengan Ustadz KH Imam Zarkasyi saya menyusun buku Petunjuk Sederhana Pembimbing Pelajar Cara Belajar (31 Desember 1983). Beliau pun memberikan kata pengantar, antara lain, bahwa tamatan Pondok Modern Gontor banyak yang berhasil dalam studi, karena mengetahui cara belajar yang baik, dan mempunyai kemauan untuk maju. Apa saja yang dilihat, dirasakan, dan dilakukan santri adalah pendidikan. Mengakhiri masa nyantri di Gontor saya menulis risalah Sarjana Muda (BA) “Al-Jihad fi Sabilillah kamazhhar lil Iman — Jihad fi Sabilillah sebagai Manifestasi Iman.” Risalah tersebut saya kembangkan menjadi dua buku saku, Konsep dan Hikmah Akidah Islam (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 1997), diterbitkan ulang dengan judul yang sama oleh penerbit Zaman, Jakarta, 2015, dan Jihad fi Sabilihah: Tinjauan Normartif, Historis, dan Prospektif (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 1997). Ketika kedua buku tersebut terbit bapak saya berpesan, “Niatkanlah menulis buku untuk menyebar ilmu.”      Memulai karir sebagai Dosen Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga (1990) saya mengampu mata kuliah Tafsir Al-Quran dan Ulumul Quran, dan menempuh studi S2 di Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, dan S3 pada Program yang sama. Terpesona oleh penguasaan ilmu-ilmu Al-Quran Ustadz M. Quraish Shihab, dan buku beliau, Membumikan Al-Quran (Bandung: Mizan, 1992), saya menyiapkan buku ajar, Al-Quran dan Ulumul Quran (Yogyakarta: Dana Bhakti Primayasa, 1997). Tesis S2 saya pun terbit berjudul Pemikiran Tauhid Ibnu Taimiyyah dalam Tafsir Surah Al-Ikhlash ((Yogyakarta: Dana Bhakti Primayasa, 1997).   Usai promosi doktor (2003) disertasi saya masuk dalam seri penerbitan disertasi Litbang Kementerian Agama RI, Perbandingan Penafsiran Rasyid Ridha dan Sayyid Quthb tentang Jihad dalam Al-Quran (2005), diterbitkan ulang berjudul Kontroversi Jihad Modernis vs Fundamentalis: Rasyid Ridha dan Sayyid Quthb (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2018). Hasil kajian kritis atas karya Ulil Absar-Abdalla, Luthfi As-Syaukani dan Abd Moqsith Ghazali, Metodologi Studi Al-Quran (Jakarta: Gramedia, 2009) terbit berjudul Fenomena Al-Quran (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2018). Disusul buku 365 Renungan Harian Al-Quran (Bandung: Mizania, 2018), dan lain-lain.  Lima dari buku-buku saya diterbitkan oleh Gramedia, Kearifan Al-Quran (Jakarta: Gramedia, 2011), Nur ala Nur: 10 Tema Utama Al-Quran (Jakarta: Gramedia, 2011), Kamus Pintar  Al-Quran (Jakarta: Gramedia, 2011), Kearifan Semesta: Inspirasi untuk Kesuksesan dan Kebahagiaan (Jakarta: Gramedia, 2015), Tafsir Al-Fatihah dan Juz Amma untuk  Usia 12 Tahun ke Atas ((Jakarta: Gramedia-Kalil, 2017). Dua judul pertama terbit iulang di Kuala Lumpur atas kerja sama Gramedia dengan penerbit Malaysia Synergy Media (2012).  Inspirasi yang memotivasi untuk menulis antara lain, “Kata terucap menguap, tulisan menetap” (pepatah Yunani), “Jika engkau tidak ingin dilupakan orang setelah meninggal dunia, tulislah sesuatu yang patut dibaca atau perbuatlah sesuatu yang patut diabadikan dalam tulisan” (Benjamin Franklin), “Menulislah; selama engkau tidak menulis, engkau akan hilang dari panggung peradaban, dan dari pusaran sejarah” (Pramoedya Ananta Toer).    Entah berapa kali saya mengikuti pelatihan menulis. Pengalaman tersebut mengakumulasikan pengetahuan tentang seluk-beluk kepenulisan, termasuk kode etik jurnalistik, bahwa sebuah berita mesti menjawab lima W dan satu H: What, Who, When, Where dan How, yang ternyata bukan hanya untuk sebuah berita saja, tetapi juga kritik sosial, dan menyuarakan kebenaran. Informasi ilmiah akademik pun tidak terhindar dari menjawab lima W dan satu H. Banyak kiat dan nasihat bijak untuk dapat menulis. Antara lain, menulis ketika pikiran segar ibarat menempa besi ketika panas; menulislah di waktu hening; tulislah segera ide yang datang tiba-tiba; tulislah apa yang ada di pikiran; tugas penulis adalah menulis, dan tugas editor mengedit tulisan; seorang penulis harus lebih banyak membaca daripada menulis. “Saran saya kepada penulis pemula hanya satu kata: Menulislah!” (Robert Payne). Sebuah pesan dari Seno Gumira Ajidarma yang membesarkan hati para penulis, “Di antara seribu tulisan, pasti ada yang terbaik.”  Sebagai guru saya memantas diri untuk diteladani dalam literasi. Alhamdulillah, dalam beberapa tahun target menulis satu buku setiap semester dapat tercapai. Untuk itu saya populerkan semboyan, “Tiada hari tanpa menulis walau cuma sebaris”, “Menulis itu belajar, jadi sangat menyenangkan”, “Sehari selembar tulisan, setahun sebuah buku”, “Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan buku”, “Kita belajar berjalan dengan berjalan, kita belajar berenang dengan berenang, kita belajar menulis dengan menulis”, “Menulis dan menulis, sampai Tuhan memanggil untuk pulang.”  Pekan lalu saya menulis “Takdir atau Ikhtiar?” http://fnn.co.id/post/takdir-atau-ikhtiarr, kemarin menulis “Kerancuan Argumen Khilafah”  https://www.zonasatunews.com/terkini/muhammad-chirzin-kerancuan-argumen-khilafah/3/, dan hari ini menulis “Membudayakan Al-Quran sebagai Sumber Ilmu di Perguruan Tinggi” untuk sebuah seminar di UKM (Universiti Kebangsaan Malaysia) bulan depan, Insya Allah. 

MUI Harus Serukan "Masiroh Kubro" Al Zaytun

Oleh M Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan  HINGGA kini pemeriksaan kasus dugaan penodaan agama pimpinan Ma\'had Al Zaytun Panji Gumilang alias Abu Toto masih berjalan. Tetapi terkesan lamban dan sangat hati-hati untuk tidak menyebut istimewa. Jarang kasus yang mendapat perhatian publik apalagi menyangkut penodaan agama sangat bertele-tele seperti ini. MUI yang menjadi lembaga kompeten pemberi fatwa keagamaan justru menjadi sasaran dari perlawanan Panji Gumilang.  Di tengah proses pidana yang sedang dijalankan oleh pihak Kepolisian, Panji Gumilang \"bermain hukum\" dengan melakukan gugatan perdata terhadap Wakil Ketua Umum MUI DR H Anwar Abbas dan MUI sendiri. Kasus gugatan ini sudah mulai masuk tahap persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Tuntutan ganti kerugian materiel berupa satu rupiah dan kerugian imateriel satu trilyun rupiah.  Dilihat dari materi gugatan nampaknya ringan dan mudah untuk mematahkan. Masalahnya Panji Gumilang sedang bermain politik melalui hukum. MUI pun harus menjawab permainan ini dengan dua hal pertama, jawaban eksepsional  bahwa masalah ini bukan kompetensi peradilan perdata. Kedua, lakukan gugatan rekonpensi (gugat balik) dengan menuntut ganti kerugian materiel sepuluh rupiah dan immateriel sepuluh trilyun rupiah. Ulah Panji Gumilang dinilai telah merugikan umat Islam.  Mengingat arogansi yang luar dari biasa Panji Gumilang baik karena merasa berkuasa sebagai \"kepala negara\" maupun mendapat \"back up\" dari banyak pejabat negara, maka perlawanan untuk meruntuhkan arogansi dan kegilaannya harus dilakukan dengan serius dan \"all out\". Panji Gumilang Menantang publik khususnys umat Islam dengan mengundang anak DN Aidit tokoh PKI dan Conni alumni Tel Aviv serta Monique aktivis Zionis ke acara di Ma\'had Al Zaytun. Eforia kemenangan ditampilkan dalam membingkai kejahatan. Umat Islam dipandang mudah untuk dipermainkan. Panji Gumilang harus dilawan keras oleh umat Islam bersama MUI.  Ketika Panji Gumilang bermain politik dengan \"main gertak\" hendaknya MUI sebagai lembaga resmi yang diakui negara tidak boleh kalah apalagi harus diinjak-injak dan dilecehkan. Hayo siapkan komando MUI untuk menginstruksikan seluruh umat agar melakukan \"masiroh kubro\" atau demonstrasi besar-besaran  mengepung Ma\'had Al Zaytun. Umat akan siap berjihad bersama MUI.  Berhala Panji Gumilang harus secepatnya dihancurkan berkeping-keping.  Perusak akidah dan syari\'at itu tidak boleh dibiarkan. Bila hukum dianggap mainan dan tidak berdaya menghadapi arogansinya, maka umat  Islam berhak untuk menentukan langkah dengan caranya sendiri. Tentu untuk menjaga wibawa agama dan moral bangsa.  Panji Gumilang adalah penghianat agama dan bangsa. Merusak tatanan dan kerukunan dengan menafsirkan keberagamaan menurut hawa nafsunya sendiri. Jika sikap seperti ini tidak ditindak dengan konsisten oleh negara, maka penyelenggara negara harus bertanggung jawab atas akibatnya.  Panji dinilai telah mengusik keyakinan keagamaan umat Islam.  Tentu umat Islam siap mengorbankan harta, tenaga bahkan nyawa dalam berjuang untuk membela agamanya.  Dahulu saat pembahasan RUU HIP yang \"berbau komunis\" MUI telah bersiap memimpin \"masiroh kubro\" untuk mengantisipasi bahaya RUU HIP jika sampai diundangkan. Kini melawan \"kekuatan besar\" yang diperankan oleh Panji Gumilang dan Al Zaytun, maka jangan dikesampingkan langkah MUI untuk menginstruksikan kepada umat Islam agar melakukan \"masiroh kubro\"--demonstrasi besar-besaran melawan \"negara dalam negara\" Al Zaytun pimpinan Panji Gumilang.  Umat Islam dalam posisi menunggu sikap dan langkah MUI selanjutnya. Ormas dan lembaga keumatan tentu siap untuk berada di belakangnya. Semoga aparat penegak hukum dapat bergerak lebih cepat. Agar tidak timbul praduga buruk \"melindungi kejahatan\" khususnya dalam pandangan umat Islam.  Panji Gumilang tidak perlu diistimewakan. Tidak perlu diistimewakan.  Bandung, 28 Juli 2023.

Prihatin Golkar

Oleh: Ady Amar - Kolumnis_. PARTAI Golkar masuk dalam radar yang mesti dibegal, dan itu dengan pergantian ketua umumnya, Airlangga Hartarto. Dimungkinkan lewat Munaslub. Sepertinya begal partai ini jadi andalan rezim dalam menempatkan partai politik dalam ketiak kekuasaan. Membegal Golkar seperti memakai-mengulang skenario saat membegal PPP dengan mencopot ketua umumnya, Suharso Monoarfa, itu memang tampak lebih efektif, tidak bertele-tele memakan waktu panjang, yang itu belum tentu berhasil. Agar tak menimbulkan riak perlawanan, maka jabatan Suharso Monoarfa sebagai Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional, tetap dipertahankan. Maka, menggusurnya cukup lewat forum Mukernas, September 2022, itu berjalan mulus. Diangkatlah orang kepercayaan Presiden Jokowi, Muhamad Mardiono, sebagai Plt Ketua Umum PPP. Tak muncul sedikit pun perlawanan _stakeholder_ PPP. Semua seperti bisa menerima keadaan saat \"Ka\'bah\" itu dirubuhkan marwahnya, tanpa ada yang bisa membelanya. Semua pengurus partai dari pusat sampai daerah diam membisu, bengong seperti saat petir menyambar. Begal PPP bisa dikatakan sukses sebenarnya. Beda saat membegal Partai Demokrat, lewat Kepala Staf Presiden (KSP) Moeldoko, itu memerlukan waktu panjang. Skenario seperti dibuat dadakan, sehingga yang muncul perang internal antara KSP Moeldoko versus Menkumham Yasonna H. Laoly. Bertele-tele dan Moeldoko kalah di semua tingkat pengadilan. Kasus begal Demokrat masih menunggu putusan MA, itu lantaran Moeldoko pantang menyerah dan mengajukan Peninjauan Kembali (PK). Rasanya juga akan keok, dan yang sah sebagai Ketua Umum Demokrat tetaplah Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Begal Demokrat bisa dikatakan gagal segagalnya. Mari fokus pada upaya begal Partai Golkar. Jika saja membegal Golkar itu tetap dilakukan, pastilah tidak semudah membegal PPP. Sedikit lebih rumit. Akan ada perlawanan internal muncul yang berharap tidak perlu ada Munaslub, memilih  konsentrasi menghadapi Pemilu 2024. Sedang yang menghendaki menggusur Ketua Umum Airlangga Hartarto juga sebanding, ditambah pasokan energi istana yang ingin menggusurnya, itu punya nilai tambah kekuatan tersendiri. Adalah Ketua Dewan Penasihat Golkar Luhut Binsar Panjaitan-lah yang bisa disebut orang di balik layar menggusur Airlangga Hartarto. Memakai beberapa senior Golkar untuk memanaskan suasana di internal Golkar untuk adanya Munaslub. Luhut memang terang-terangan di ruang terbuka menyatakan diri siap menjadi Ketua Umum Golkar. Keinginan Luhut, lebih tepat manuver Luhut, itu bukan semata untuk membesarkan Golkar, tapi lebih bersifat politis pragmatis \"mengamankan\" Golkar untuk tidak dibawa mendukung capres yang tidak \"direstui\" istana, dan itu Anies Baswedan. Langkah Luhut ini lebih pada membonsai Golkar untuk tetap dalam kendali istana. Maka, membaca kesiapan Luhut untuk menjadi ketua umum Golkar dicukupkan saja pada tataran guna menghadang Anies Baswedan mengikuti kontestasi Pilpres 2024. Tidak perlu melihatnya pasca Pilpres, itu terlalu jauh. Manuver Luhut itu lebih mudah bersambut, karena ia politisi senior yang punya jabatan prestis meski jabatannya itu bukan pengambil keputusan, tapi tetap saja ia lebih leluasa memainkan bidak-bidaknya melawan _vis a vis_ faksi di internal Golkar di pihak lain, yang itu menolak manuvernya. Sepertinya akan ada perlawanan seimbang, yang sulit diprediksi siapa pemenang dalam pertarungan di elite Golkar itu. Siapa pun pemenangnya, itu akan berdampak pada soliditas Partai Golkar. Dimunculkan pula nama-nama lain yang jika tidak Luhut yang sebagai ketua umum, maka nama Bambang Soesatyo--saat ini Ketua MPR RI--meski Bambang belum jelas-jelas menyatakan kesediaannya. Tapi ada satu lagi pembantu Presiden Jokowi, yang memang selalu pasang badan, Bahlil Lahadalia--Menteri Investasi Indonesia merangkap Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal--yang menawarkan diri siap menjadi Ketua Umum Golkar. Bahlil yang bertubuh kecil mungil, ini memang lincah bak kancil, tapi tidak dalam kisah \"Kancil Mencuri Timun\", tapi mencuri perhatian dalam memenuhi hasrat Jokowi. Bahlil pandai membaca arah angin. Tidak perlu apa yang diutarakannya itu jadi kenyataan. Terpenting buatnya, ia pasang badan dengan keinginan Jokowi dalam \"menyelamatkan\" Golkar untuk tetap pada jalur keinginan istana. Bahlil sadar betul bahwa perannya meramaikan gonjang-ganjing begal Golkar, itu sekadar peran pembantu. Tapi itu pastilah cukup bisa menyenangkan Sang Bos, Jokowi. Pastinya Itu punya tambahan nilai plus tersendiri buatnya. Kita akan lihat setidaknya dalam pekan depan \"perang\" faksi di Golkar akan dimenangkan pihak mana, dan itu akan menentukan konstelasi politik nasional menuju Pilpres 2024. Sungguh prihatin melihat Partai Golkar, yang bisa bernasib seperti PPP, atau muncul seperti Partai Demokrat yang berani melawan begal istana dengan gagah berani. Sepertinya memang cuma ada dua pilihan kemungkinan yang tersedia bagi Partai Golkar. Belum tersedia pilihan lain, meski semua dalam politik serba dimungkinkan.**

Mahfuz Sidik: Politik Jalan Tengah Jadi Solusi Minimalkan Potensi Polarisasi Yang Kebablasan di Pilpres 2024

JAKARTA, FNN  - Politik jalan tengah bisa menjadi solusi bagi para calon presiden (capres) yang akan mengikuti kontestasi dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.  Hal ini untuk meminimalkan terjadinya potensi polarisasi kebablasan dan dampak yang berkepanjangan, seperti yang terjadi pada Pilpres 2014 dan Pilkada DKI 2017. Pernyataan tersebut di sampaikan Sekretaris Jenderal (Sekjen) Mahfuz Sidik saat memberikan pengantar diskusi Gelora Talks bertajuk \'Politik Jalan Tengah: Menjawab Ancaman Polarisasi pada Pilpres 2024\', Rabu (26/7/2023). \"Saya kira ini warning yang kita sampaikan, kita menjaga betul supaya tidak terjadi lagi polarisasi kebablasan. Karena yang mendapatkan kerugian terbesar dari pembelahan ini, bukan calon presiden, tetapi bangsa Indonesia dan masyarakat Indonesia,\" kata Mahfuz Sidik. Dalam diskusi yang dihadiri Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI) Djayadi Hanan dan Mubaligh Nasional Haekal Hassan ini, Mahfuz menegaskan, bahwa polarisasi politik ini menciptakan implikasi yang panjang. \"Jadi pemilunya sudah selesai, ternyata pembelahan di masyarakatnya nggak selesai-selesai, residunya masih panjang,\" katanya. Menurut Mahfuz, potensi polarisasi kebablasan bisa terjadi pada Pilpres yang diikuti dua atau lebih pasangan calon. Jika capres lebih dari dua, maka potensi polarisasi kebablasan terjadi pada putaran kedua. \"Masih ada benih yang kelihatannya terus disiram, sumbunya akan merebak di putaran kedua Pilpres. Itu artinya ada sekitar 100 hari,  waktu yang bisa digunakan dan dikelola oleh kekuatan-kekuatan politik untuk mengarahkan kepada polarisasi kebablasan. Ini sangat mungkin terjadi,\" ujarnya.  Karena itu, penting bagi pemerintah untuk membangun dan memperkuat narasi kebangsaan di tengah masyarakat, sehingga kepentingan nasional tidak dikalahkan oleh kepentingan politik praktis. \"Agustus adalah momen terbaik bagi pemerintah untuk memperkuat narasi kebangsaan dan kepentingan kolektif kita sebagai satu bangsa. Presiden Jokowi (Joko Widodo) secara khusus bisa menghighlight pesan-pesan tersebut,\" katanya. Sekjen Partai Gelora ini mengingatkan adanya pola sama dan terus berulang yang digunakan dari tahun ke tahun. Dimana mereka yang menginginkan polarisasi kebablasan akan mengolah sedemikian rupa agar menjadi sebuah isu. \"Khusus September dan Oktober biasanya akan muncul lagi isu PKI. Lalu, nanti awal tahun ada Imlek, dan secara teknis akan membawa sentimen kepada agama Khonghucu dan anti China,\" katanya.  Mahfuz berharap agar lembaga pendidikan dan lembaga keagamaan memfaslitasi dialog-dialog kebangsaan dengan para capres dalam upaya meminimalkan terjadinya polarisasi kebablasan dan pembelahan di masyarakat. \"Dengan dialog ini kita berharap dapat membangun jembatan-jembatan yang baik. Kerasnya perbedaan, karena memang tidak ada jembatan, tidak ada komunikasi di tiap-tiap yang berbeda. Saya kira politik jalan tengahnya adalah memperbanyak jembatan-jembatan dari perbedaan yang ada,\" pungkasnya. Wirausahawan Politik Sementara itu, Direktur Esekutif LSI Djayadi Hanan mengatakan,   polarisasi sebenarnya sesuatu yang sehat dan alami, karena apabila tidak ada partai politik dan capres yang berbeda, masyarakat tidak punya pilihan. \"Cuman yang harus kita hindari adalah polarisasi yang membelah.  Kalau enggak saya mereka, kalau enggak mereka saya, kalau saya menang mereka kalah, kalau mereka menang, saya yang kalah.  Kompetisi politik dianggap sebagai bagian dari pertarungan hidup mati, itu polarisasi yang harus kita hindari,\" kata Djayadi. Menurut Djayadi, polarisasi seperti ini dalam politik dinilai sebagai polarisasi yang tidak sehat atau pernicious severe polarization, yang dalam bahasa Indonesia disebut sebagai polarisasi kebablasan.  Polarisasi kebablasan itu membelah masyarakat menjadi dua. \"Di Indonesia sumbernya banyak, selain perbedaan ideologi, ada juga keterikatan dengan pemimpin, etnis, agama, kesenjangan ekonomi dan sebagainya yang bisa menjadi sumber polarisasi yang sifatnya kebablasan,\" ungkapnya. Namun, polarisasi kebablasan itu tidak bisa berdiri sendiri jika tidak ada political entepreneur atau wirausahawan politik yang akan menggunakan mereka, termasuk di Pilpres 2024.  \"Lanskap politik Indonesia menjelang Pemilu 2024, baik itu calonnya dua atau tiga, apalagi empat, berdasarkan data perhitungan kami. Polarisasi yang sifatnya kebablasan itu tidak akan menguntungkan atau menjadi faktor salah satu kandidat atau beberapa kandidat yang menggunakannya untuk memenangkan pertarungan,\" katanya. Atas dasar itu, Direktur Eksekutif LSI ini meminta para capres yang ingin memenangi pertarungan di Pilpres 2024, sebaiknya menghindari polarisasi yang sifatnya kebablasan, demi kepentingan elektoral mereka sendiri dan kepentingan normatif kebangsaan kita ke depan.  Politik Jalan Tengah Sedangkan Mubaligh nasional Haekal Hassan menilai pemerintah harus bertanggungjawab terhadap terjadinya polarisasi kebablasan dan pembelahan di masyarakat ini, karena rakyat tidak bisa dituntut tanggungjawab. Pemerintah, lanjutnya, bisa membuat undang-undang yang bisa menjerat orang-orang yang melakukan polarisasi baik di internal pemerintah atau di luar pemerintahan demi kepentingan NKRI.  \"Panggilan kampret itu kita tahu awalnya dari mana. Saya sempat kritik temen-teman ketika ada balasan panggilan cebong. Lalu, muncul lagi kadrun akan sampai kapan terus terjadi, kalau tidak ada tindakan yang cukup. Saya minta pemerintah juga tidak memelihara, kalau perlu buat undang-undang untuk menjeratnya. Ini demi NKRI,\" kata Haekal Hasan. Babe Haekal, sapaan akrab Haekal Hasan mengaku telah berdakwah ke 1.000an masjid dan tempat sejak 2019 lalu, untuk memberikan penyadaran kepada umat mengenai bahaya polarisasi, yang bisa mengancam keuntuhan dan persatuan bangsa.  \"Satu bulan saya berbicara di 90-100 titik sejak 2019, kira-kira sudah 1.000an masjid dan tempat saya berdakwah, dan alhamdulillah Tuhan kasih kesehatan kepada saya. Ini nggak ada yang nyuruh, apalagi dibayar, ini bagian dari kontribusi saya agar Indonesia tidak pecah,\" katanya. Ia mengatakan, politik jalan tengah yang digagas Partai Gelora perlu mendapatkan dukungan dari umat dan publik secara luas. \"Politik jalan tengah merupakan politik yang baik dan Gelora sebagai salah satu pelopornya,\" ujar Babe Haekal. Karena itu, Babe Haekal mengkritik Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan yang tidak mendukung politik jalan tengah yang digagas oleh Prabowo.   \"Ucapan Pak Prabowo yang mengatakan, semua adalah putra-putra terbaik bangsa nggak dibalas oleh Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan sangat disayangkan. Padahal apa yang disampaikan Pak Prabowo itu maknanya persatuan, narasi politik jalan tengah,\" katanya. Menurut Babe Haekal, politik jalan tengah yang dilakukan Prabowo harus diikuti kandadit lain, karena menjadi ajang pemersatu bangsa. \"Wajar kalau Pak prabowo berpikir demikrian, karena pak Prabowo  adalah orang yang sudah selesai dengan dunianya. Kekayaan apa yang tidak beliau miliki, kebebasan, pangkat, jabatan seperti apa semua sudah dimiliki, termasuk positioning di masyarakat. Beliau adalah orang yang betul-betul selesai dengan dunianya. Beliau hanya berpikir untuk bangsa dan negara,\" jelasnya. Babe Haekal berharap agar kandidat lain juga berpikir seperti Prabowo, yakni selesai dengan urusan dirinya sendiri, serta berpikir hanya untuk kepentingan bangsa dan negara. Namun, Babe Haekal membantah apa yang disampaikan itu, bentuk dukungannya kepada Prabowo.  \"Mohon maaf bukan saya mendukung Prabowo. Saya menilai dari sisi normal dan wajar saja. Jadi yuk, politik jalan tengah adalah solusi yang tepat untuk NKRI harga mati dan untuk berlakunya lagi Pancaila dan UUD 1945 yang murni dan konsekuen,\" pungkasnya. (Ida)

Jokowi Lapor Xi Jin Ping

Oleh Sutoyo Abadi - Koordinator Kajian Politik Merah Putih  PRESIDEN Joko Widodo (Jokowi) hari ini akan terbang ke China, Kamis (27/7/2023).  melakukan kunjungan kerja terbatas ke Chengdu, untuk memenuhi undangan Presiden Xi Jinping, sebagaimana dimuat di Youtube Sekretariat Presiden. Balutan diplomasi dibungkus halus dengan kain sutra bahwa : \" kunjungan bertepatan dengan 10 tahun kemitraan strategis komprehensif Indonesia dan Tiongkok ( China). China adalah mitra dagang dan investasi bagi indonesia.  \"Sejumlah agenda prioritas akan saya bahas bersama Presiden Xi baik di bidang investasi maupun proyek strategis. Juga di bidang perdagangan, juga isu-isu regional dan global,\" katanya. Bisa saja info tersebut benar sebagai topik yang akan dibahas Jokowi dan Xi Jinping, tetapi sesuai dengan perkembangan politik terkini di tanah air, topik tersebut bisa jadi bukan topik utama dan prioritas. Munculnya kembali rekayasa gagasan perpanjangan masa jabatan bertepatan dengan skenario yang konon sudah direncanakan menyongsong SU MPR Agustus mendatang, patut diduga menjadi agenda paling penting pertemuan dengan Xi Jinping. Rekayasa perpanjangan masa jabatan sebagai presiden dan upaya menghentikan pilpres 2024, Jokowi tidak akan bisa merumuskan kebijakan politiknya sendirian, sekalipun para Taipan Oligarki tetap mendampinginya. Sebagai boneka dengan segala variabel politik yang melekat dengan segala kewajiban dan resikonya. Ada kewajiban harus konek langsung dengan skenario besar China di Indonesia melalui mentor politiknya Xi Jinping. Sekalipun Xi Jinping tetap menerapkan opsi kekuatan para Taipan khususnya 9 naga  bermain dengan cara lain  tetap memainkan peran sebagai pengendali. Bantuan teknis taktis politik China dan tangan-tangannya di Indonesia yaitu para Taipan Oligarki adalah Ex Officio pemain, pengatur dan pengendali politik yang sesungguhnya.  Tidak aneh Jokowi secara periodik dan dalam kondisi emergency harus lapor Xi Jinping. Semua percaturan politik di tanah air akan konek dengan Xi Jinping . Patut diduga topik pertemuan kali ini adalah membahas opsi memperpanjang masa jabatannya sebagai presiden, penundaan dan jaminan pilpres 2024 apabila  akan dilaksanakan, presiden terpilih tetap harus menjadi boneka mereka. Pilpres 2024 sesungguhnya bentuk lain perang proxy tanpa senjata fisik tetapi berupa serangan politik yang lebih mematikan, kondisi ini ada dalam kendali Xi Jinping, sebagai pimpinan tertinggi para Taipan Oligarki, sekaligus sebagai pengendali pilpres 2024. ****