OPINI
Mengapa Harus Perubahan?
Oleh: Radhr Tribaskoro - Presidium KAMI PETA pilpres 2024 sudah semakin mengerucut, alternatif menguncup. Pilpres akan menampilkan 3 capres: Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo, dan Anies Baswedan. Ketiga capres itu didukung oleh 5 partai, sementara 4 partai tersisa merasa cukup memperebutkan kursi cawapres. Tiga kursi cawapres tampaknya bakal diisi oleh tokoh Nahdlatul Ulama, TNI dan Golkar. Sayangnya, siapa bacawapres itu tidak menjadi topik artikel ini. Artikel ini memusatkan perhatian kepada pertarungan gagasan. Adakah perbedaan signifikan di antara isu-isu politik ekonomi yang ditawarkan oleh masing-masing kandidat? Saya menengarai terdapat perbedaan besar antara kandidat Ganjar dan Anies, sementara Prabowo tampaknya sedang mencari jalan tengah. Artikel ini akan berfokus kepada perbedaan Ganjar vs Anies saja. Perbedaan isu kampanye Ganjar vs Anies sangat penting kita elaborasi karena keduanya dilatar-belakangi tata-nilai dan ideologi yang berbeda, dan dengan sendirinya menawarkan masa depan yang juga sangat berbeda. Perbedaan keduanya, dikatakan oleh Benny K. Harman, sebagai perbedaan di antara kubu Pro-perubahan dengan kubu Pro-status-quo. Seirama dengan itu Jansen Sitindaon, teman separtai Benny, mengungkapkan hadirnya persaingan di antara Blok Perubahan dengan Blok Lanjutkan. Persoalannya apa yang ingin dipertahankan atau dilanjutkan? Apa pula yang perlu diubah? Objek dari perubahan dan pelanjutan tentulah kebijakan pemerintah rezim Jokowi di segala bidang. Di bawah ini akan diuraikan apa kebijakan dimaksud. Dan kemudian akan dideskripsikan pula apa arti \"pro-status-quo\" dan \"pro-perubahan\". Ekonomi Politik Jokowi Kebijakan yang ditawarkan Jokowi kepada rakyat tidak ada hubungannya dengan janji-janji kampanye. Semua janji-janji itu hanya omong kosong saja, ia sepenuhnya mengerjakan hal yang lain, hal yang ia persiapkan secara diam-diam. Apakah Jokowi telah menipu rakyat? Tampaknya begitu. Janji kampanye bukanlah hal yang mengikat bagi Jokowi. Hal itu terbukti ketika ia berkampanye pada Pilgub DKI 2012. Ia menyalakan antusiasme rakyat yang ingin Indonesia memiliki industri mobilnya sendiri. Tetapi mobil Esemka yang kata Jokowi 100% mobil Indonesia dan telah dipesan 6.000 unit ternyata zonk. Industri mobil Esemka itu tidak pernah ada, hanya komoditas palsu untuk mendapatkan suara rakyat saja. Demikian pun janji-janjinya pada pilpres. Sejak 2014 sampai dengan sekarang tidak ada revolusi mental atau pembangunan manusia, dua tema pokok yang ditawarkan Jokowi pada Pilpres 2014 dan 2019. Secara diam-diam Jokowi mengerjakan hal yang lain. Apakah itu? Saya tidak bermaksud menunjuk projek IKN atau ibukota negara baru. Walaupun projek itu juga tidak pernah disampaikan dalam kampanye 2019. Kebijakan ekonomi politik Jokowi, yang ia kerjakan sejak ia berkuasa di 2014, adalah sesungguhnya barang dagangan Jokowi. Kebijakan itu dibuat dengan cara melampaui hukum dan mengabaikan berbagai kepentingan sehingga menimbulkan resiko politik yang tinggi. Namun rejim merasa punya kendali yang kokoh atas kabinet dan DPR sehingga mereka yakin mampu mengatasi resiko itu. Namun mereka pun tahu kekerasan politik tidak bisa dijalankan dalam jangka panjang. Bukan hanya karena akumulasi ketidak-puasan yang semakin sulit terbendung, lebih dari itu adalah ancaman kebangkrutan keuangan negara yang terkuras akibat jor-joran pembangunan infrastruktur Harapan rejim adalah pada suatu ketika, yang tidak terlalu lama, kebijakan ekonomi politik itu akan berbuah manis, yaitu pertumbuhan ekonomi yang signifikan. Pada saat itulah rezim dapat memanen legitimasi, dalam arti mendapatkan kepercayaan kepada rakyat bahwa negara tidak akan bangkrut. Kapan hal itu tiba? Rezim berharap tidak melebihi masa jabatan Jokowi. Kebijakan ekonomi politik Jokowi disusun, dijalankan tanpa deliberasi oleh publik, setidaknya oleh DPR. Mengapa? Karena di dalamnya terlalu banyak kontradiksi dan kontroversi. Kalau rencana tersebut diungkap secara terbuka ke publik, rezim khawatir tidak akan mampu menahan kritisisme. Rezim pada akhirnya terpaksa menggunakan kekerasan politik juga, namun dengan punggung terbuka dari serangan-serangan publik. Big Push Jokowi dan Ciri-cirinya Kebijakan ekonomi politik Jokowi disebut Big Push. Secara teoritis kebijakan itu sama sekali tidak baru, dasar teorinya sangat tua, dapat dianggap sebagai perintis teori ekonomi pembangunan. Teori itu dikembangkan pertama kali oleh Paul Rosenstein-Rodan pada tahun 1943. Hampir setengah abad kemudian teori ini dipopulerkan kembali oleh Murphy dkk (1989), Matsuyama (1992), Krugman (1991) dan Romer (1986). Model tersebut merekomendasikan pembangunan infrastruktur (social overhead capital) secara besar-besaran sebagai “syarat minimum yang tidak dapat dipisahkan” untuk tumbuhnya industri-industri yang saling berkaitan dengan harapan akan mendapat percepatan dari efek skala ekonomi dan struktur pasar oligopolistik (Rosenstein‐Rodan 1979). Penerapan model pembangunan Big Push dilandasi oleh keyakinan rezim bahwa Indonesia membutuhkan industrialisasi. Suatu industri berkaitan dengan industri lain dalam pola yang disebut komplementaritas. Alih-alih membangun satu industri yang tidak optimal karena komplemennya tidak hadir, Rosenstein-Rodan menyarankan suatu kompleks industri dimana semua industri komplemen hadir secara simultan. Dengan begitu skala ekonomi bisa dimaksimalkan untuk menghasilkan produk berkualitas dengan harga ekonomis. Menurut skema model pembangunan ini peran negara adalah menyediakan infrastruktur (jalan, tol, jembatan, bandara, pelabuhan, dsb). Sementara swasta menanamkan modal di berbagai sektor industri. Model pembangunan ini telah banyak dijalankan oleh negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Soeharto dan SBY juga membangun infrastruktur dalam jumlah besar. Menjelang akhir masa jabatan SBY meluncurkan MP3EI atau Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia, yang pada dasarnya adopsi atas model pembangunan Big Push. Namun terdapat perbedaan yang mendasar antara Big Push di era Jokowi dengan era Soeharto maupun SBY, bahkan dengan Big Push di negara-negara lain. Ciri utama Big Push Jokowi adalah kebijakan ini dijalankan dengan sekaligus menerapkan ideologi neo-liberal. Maksudnya, tidak cukup dengan mengalokasikan ribuan trilyun untuk membangun infrastruktur, Jokowi mengubah kerangka kerja hukum pidana, pertanahan, pertambangan, kehutanan, ketenaga-kerjaan, investasi, lingkungan hidup, sistem pelayanan publik, dlsb, untuk keuntungan investor. Misalnya, apa yang ia lakukan melalui UU Minerba dan UU Cipta Kerja. Dengan kata lain, Jokowi menempatkan investor atau pemilik modal sebagai penentu utama dari kerangka kerja hukum dan adiministrasi publik di Indonesia. Kuatnya peranan pemilik modal dalam setting kenegaraan semakin kokoh setelah Jokowi juga mengerdilkan peranan Komisi Pemberantasan Korupsi. Kaidahnya sederhana, ketika tenaga counter-corruption semakin melemah, kekuatan modal semakin sulit dihalangi dalam mengatur proses pengambilan keputusan di pemerintahan. Dukungan administrasi dan hukum kepada kebijakan Big Push adalah praktik biasa, yang juga dilakukan di negara-negara lain. Masalahnya, di negara-negara lain dukungan tersebut diberikan sebagai perkecualian, seperti misalnya hak-hak istimewa yang diberikan kepada perusahaan di Kawasan Ekonomi Khusus (Special Economic Zone). Sementara oleh Jokowi, dukungan itu diberikan dengan mengubah seluruh norma standar negara. Seperti tercantum dalam UU Minerba dan UU Cipta Kerja, Jokowi menerapkan norma-norma istimewa yang menguntungkan oligarki di seluruh negeri, di seluruh sektor tanpa kecuali. Artinya, dukungan itu bukan lagi fasilitasi melainkan ideologisasi, dan dalam hal ini adalah ideologisasi neo-liberal. Ciri spesifik kedua dari kebijakan Big Push Jokowi adalah penggunaan utang sebagai sumber pembiayaan pembangunan infrastruktur. Utang pemerintah sejak 2014 telah meningkat dari Rp.2.600 trilyun menjadi Rp. 7.700 trilyun pada akhir desember 2022. Di luar itu Big Push juga dibiayai oleh utang BUMN, pada akhir tahun 2022 utang itu mencapai Rp. 1.640 trilyun. Perhitungan secara kasar, sampai akhir tahun 2022, Jokowi telah menggunakan utang sebesar Rp.6.840 trilyun untuk membiayai projek-projek Big Pushnya. Hal ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Seperti diketahui, Orde Baru juga membangun infrastruktur secara besar-besaran. Namun, semua itu dilakukan pada saat negara menikmati windfall profit dari kenaikan harga minyak pada awal dekade 1970-an. Demikian juga Presiden SBY, ia menggenjot pembangunan infrastruktur saat negara sedang menikmati booming harga komoditas, yang berakhir pada 2013 silam. Penggunaan utang sebagai sumber dana pembangunan juga hal yang biasa, semua presiden di Indonesia melakukannya. Masalahnya terletak pada nilainya. Utang yang sangat besar akan meningkatkan tekanan terhadap keuangan negara. Bunga dan cicilan utang itu harus dibayar oleh APBN. Bila kecepatan kenaikan utang tidak diimbangi oleh kenaikan pendapatan (pajak), kapasitas fiskal pemerintah dengan sendirinya akan menyusut. Hal itu akan mempengaruhi kemampuan negara memenuhi aneka kebutuhan rakyat, seperti subsidi, jaminan kesehatan, pendidikan dsb. Menteri Keuangan Sri Mulyani selalu berdalih bahwa utang telah dikelola dengan hati-hati (prudent) dan tidak membebani keuangan negara. Ia mencontohkan bahwa debt ratio kita masih 41%, masih jauh dari batas yang ditetapkan Undang-Undang Keuangan Negara, yaitu 60%. Sebagai perbandingan ia menunjuk rasio utang terhadap PDB (debt ratio) Jepang (236%), India (90%), dan Amerika Serikat (125%), yang jauh melampaui posisi Indonesia. Perbandingan ini tidak setara (apple to apple) sebab setiap negara adalah khas. Keuangan negara Jepang masih dapat dibilang sehat, dalam arti sangat mampu membayar utangnya, karena Debt Service Rationya pada tahun 2021 hanya 1,06%. Demikian juga India (8%) dan Amerika Serikat (7,7%). Debt service ratio adalah kemampuan keuangan pemerintah untuk membayar utang-utangnya, menurut BPK Debt service ratio Indonesia untuk tahun 2021 adalah 46,77%. Angka ini jauh melampau standar normal IMF yaitu pada kisaran 25-35%. Implikasi Big Push Kedua ciri di atas, membedakan Big Push Jokowi dari kebijakan Big Push Soeharto, Big Push SBY dan negara lain di dunia. Kebijakan Big Push Jokowi ini menimbulkan sedikitnya empat implikasi negatif. Pertama, Big Push Jokowi bukan konsep pembangunan yang demokratis, “semua untuk semua” seperti pernah dikatakan Soekarno. Big Push dirancang untuk menguntungkan pebisnis skala besar, konglomerat atau oligarki. Tidak mengherankan bila mereka pula yang akan menjadi pendukung utama Big Push. Oleh karena itu, Big Push membawa implikasi negatif kedua bahwa semua kepentingan yang menghalangi dan menghambat kepentingan oligarki harus disingkirkan. Di antara kepentingan-kepentingan yang harus disingkirkan adalah kepentingan buruh (kehilangan pensiun, kesempatan karir, pelatihan, dll), generasi mendatang (penumpukan utang negara, eksploitasi sumberdaya alam tak terpulihkan, kerusakan alam), pemilik tanah (akuisisi tanah oleh negara, penurunan harga tanah, perampasan tanah, dlsb), dan konsumen (harga-harga meningkat). Inilah hakikat dari disahkannya UU Minerba dan UU Cipta Kerja. Kedua undang-undang itu disahkan secara semena-mena, tanpa melibatkan partisipasi masyarakat dan tanpa melalui debat terbuka di Sidang Umum DPR. Akibat dari penyingkiran kepentingan para pihak secara semena-mena, politik bergejolak. Rezim Jokowi mengantisipasi gejolak itu dengan penindasan. Inilah implikasi ketiga yang mendorong mundur nilai-nilai demokrasi. Jokowi memperalat hukum sebagai alat penindasan. Perangkat hukum yang digunakan adalah UU ITE dan UU KUHP. Dengan undang-undang itu rejim memperluas pengertian pemberitaan sehingga mencakup opini dan percakapan pribadi di media sosial. Syahganda Nainggolan, M. Jumhur Hidayat, Anton Permana, Gus Nur, Bambang Tri, dsb, menghuni penjara karena alasan itu. Ketika opini bisa dipidanakan, bukan karena penodaan agama, pencemaran nama baik, atau penghinaan di muka umum, maka kebebasan berpendapat hanya tinggal nama. Sementara itu UU No.1/2023, yang menggantikan UU KUHP warisan Belanda, menjadi jauh lebih restriktif dalam menghadapi kontrol sosial. UU baru itu mengenakan pasal pemidanaan baru untuk penghinaan presiden, pasal makar, penghinaan lembaga negara, pemidanaan demo tanpa pemberitahuan, hingga berita bohong. UU KUHP yang baru itu bahkan jauh lebih parah daripada undang-undang kolonial yang digantikannya. Bila sebelumnya semua pasal di atas merupakan delik aduan maka pada undang-undang baru polisi dan jaksa dapat memprosesnya tanpa perlu pengaduan. Dengan kata lain, pasal-pasal itu dapat dipergunakan untuk melakukan pembungkaman politik. Implikasi keempat muncul dari utang yang jor-joran. Dengan hampir separuh anggaran negara terserap untuk membayar bunga dan cicilan utang maka negara akan semakin sulit memberikan insentif fiskal. Kalau ingin mempertahankan kapasitas fiskalnya, mau tidak mau, negara harus berutang lagi. Kalau sudah seperti ini, negara dikatakan terjerat dalam jebakan utang. Maka tidak ada jalan lain. Projek-projek infrastruktur harus mulai membuahkan hasil dan memberi dampak signifikan kepada pertumbuhan ekonomi. Bila hal itu tidak terjadi, Indonesia akan bangkrut. Hal itu akan menjadi malapetaka bagi rezim Jokowi. Pertaruhan Terakhir Jokowi Jokowi dipastikan akan terpuruk bila pertumbuhan ekonomi tidak mencapai 7%. Sebaliknya, bila pertumbuhan ekonomi cukup tinggi Jokowi akan mengklaim semua kesuksesan. Projek-projek mangkraknya dan penindasan politik yang dilakukannya akan dilupakan. Jokowi akan ditahbiskan menjadi hero. Apa yang dibutuhkan untuk meraih klaim itu hanya satu: waktu. Waktu itu ia perlukan agar infrastruktur yang dibangunnya mulai menarik kehadiran investor. Sayangnya, harapan akan ada investasi berbondong-bondong tidak terwujud. Investasi sangat seret walau perangkat hukum dan administrasi yang diciptakan Jokowi telah memudahkan hampir segala hal yang menjadi halangan investor, seperti perijinan, pengadaan tanah, perlindungan sengketa buruh dan lingkungan hidup, peraturan perpajakan, dsb. Sebaliknya, Jokowi saat ini justru menghadapi backwash effect; sejumlah jalan tol, kereta api, bandara dan pelabuhan yang selesai didirikan gagal beroperasi secara optimal sehingga berpotensi merugi. Selain itu, beberapa BUMN mulai merugi dan hal itu memicu mereka untuk menjual infrastruktur yang telah susah payah mereka bangun dengan harga murah. APBN pun terancam, hampir separuh pendapatannya mesti dialokasikan untuk membayar bunga dan cicilan utang. Keadaan ini tentu membuat Jokowi semakin frustasi. “Uang bersih” tidak datang memanfaatkan infrastruktur yang telah ada. “Uang kotor” juga tidak datang untuk memanfaatkan projek pembangunan Ibu Kota Negara (IKN). Dalam kaitan itulah Jokowi menghendaki perpanjangan masa jabatan, baik melalui amandemen konstitusi yang mengijinkan 3 periode jabatan presiden atau penundaan pemilu yang memungkinkan dirinya mengumumkan keadaan darurat dan mendapuk jabatan presiden. Bila kedua solusi itu tidak mungkin diwujudkan, pertaruhan terakhir Jokowi adalah siapa yang unggul dalam Pilpres 2024. Tentu saja ia ingin Ganjar Pranowo, putra mahkotanya, akan unggul. Kepada Ganjar, Jokowi meletakkan pertaruhan terakhir masa depan politiknya. Mengapa Perlu Perubahan Perubahan diperlukan bukan untuk memutus masa depan politik Jokowi. Biar rakyat memutus soal itu. Perubahan diperlukan karena eksperimen Jokowi sangat berbahaya dan membawa negara ke tepi jurang malapetaka. Jebakan utang sudah mengintai dan kalau hal itu terjadi Indonesia akan mengalami setbacks puluhan tahun ke belakang. Perubahan juga perlu dilakukan karena Jokowi telah menanamkan ideologi neo-liberalisme. Ideologi neoliberalisme berbeda dengan liberalisme. Bila liberalisme menjunjung tinggi kebebasan (freedom), bertujuan menciptakan kemerataan (equality) dan mendukung negara kesejahteraan, sementara neoliberalisme menjunjung tinggi pasar bebas, mempertahankan konsentrasi kekayaan, penguasaan sumberdaya, dan menolak negara kesejahteraan. Dalam filsafat neoliberal orang-orang miskin adalah kaum residual, orang-orang yang kalah dalam pertarungan hidup di pasar bebas. Kaum residual hanya punya hak filantropi alias belas kasihan. Untuk itulah ada Bantuan Sosial (bansos), Kartu Pra-Kerja, Keluarga Harapan, Kartu Indonesia Pintar, Kartu Sembako, dsb. Keseluruhan program itu disebut program Jaring Pengaman Sosial, suatu program negara sekadar mencegah orang miskin untuk mati. Mereka tidak boleh mati karena mereka adalah sumber pemasok buruh murah. Kaum neoliberal tidak mempercayai keadilan sosial (social justice), kecuali yang diciptakan oleh pasar bebas dan pertumbuhan ekonomi. Di sini muncul kontradiksi. Bila prinsip pasar bebas juga berlaku dalam politik, maka kelompok dengan ekonomi kuat akan memenangkan pasar politik. Dalam kondisi seperti itu tidak ada alasan bagi penguasa politik untuk tidak menguntungkan pemilik modal, yang adalah diri mereka sendiri. Dengan kata lain pada rejim neo-liberal keadilan sosial sama sekali bukan prioritas, dan akan berlangsung selamanya. Oleh karena itu pentas Pemilu 2024 dapat dilihat sebagai arena pertarungan kelompok Pro-Keadilan Sosial vs kelompok Pro-Pertumbuhan. Karena kelompok Pro-Pertumbuhan biasanya didominasi oleh Oligarki maka kelompok tersebut dapat pula disebut kelompok Pro-Oligarki. Anda berada di kelompok mana? (*)
Jokowi dan Ganjar, Serupa tapi Tak Sama
Oleh M Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan BANYAK yang menyebut bahwa Ganjar itu sama dengan Jokowi, bahkan menyatakan Ganjar jika menjadi Presiden merupakan kelanjutan dari kepemimpinan Jokowi. Keduanya sama-sama orang Jawa Tengah. Ganjar Pranowo adalah wajah lain dari Joko Widodo. Sebenarnya antara keduanya hanya serupa tetapi tidak sama. Keserupaannya adalah : Pertama, berpengalaman sebagai Gubernur. Satu Jawa Tengah, lainnya DKI Jakarta. Kedua, menjadikan modal politik pada pencitraan baik blusukan maupun tampilan media. Ketiga, didukung oleh PDIP untuk maju sebagai Capres. Keempat, sama awalnya Megawati bimbang. Dan kelima, bareng menggunakan pesawat kepresidenan untuk acara swasta. Sama-sama menyimpang. Adapun tidak sama antara keduanya adalah : Pertama, Jokowi periode pertama diusung empat partai politik, sedangkan Ganjar kini baru dua dan kemungkinan tetap dua partai politik. Maksimal tiga. Periode kedua Jokowi lebih banyak lagi didukung. Kedua, dukungan PDIP pada Jokowi solid karena tidak ada calon lain sejak awal, sedangkan Ganjar Pranowo kini menimbulkan kegalauan karena sejak awal PDIP menggadang-gadang Puan Maharani. Puteri Megawati. Ketiga, Jokowi berangkat dari status Gubernur DKI wilayah yang secara geo-politis sangat strategis sedangkan Ganjar Propinsi Jawa Tengah dengan prestasi memimpin yang tidak bagus. Kemiskinan jadi perbincangan. Keempat, dugaan korupsi Ganjar terungkap di persidangan PN Tipikor Jakarta, bau pornografi serta menyinggung keagamaan dengan memperolok-olok azan. Jokowi meski rezim KKN belumlah terungkap. Selain nepotisme anak mantu. Kelima, Ganjar ikut Mega tolak Israel, Jokowi dukung Israel datang ke Indonesia ikut Piala Dunia U-20. Ganjar diganjar Capres oleh Megawati, Jokowi tersakiti hati. Tidak di posisi inti. Jadi Jokowi dapat menang dan menjadi Presiden dengan segala cara sedangkan Ganjar dapat kalah dengan satu cara saja. Dukungan yang tidak solid. Jokowi pasca lengser tetap tidak merasa aman dengan kemenangan Ganjar, karena Ganjar Pranowo secara de facto dan de jure berada di bawah kendali PDIP dan Megawati. Bukan Jokowi. Ganjar Pranowo belum tentu menang melawan Prabowo dan Anies Baswedan. Jokowi dan Ganjar memang serupa tapi tidak sama. Bandung 30 April 2023
Etiskah Presiden Mendukung Calon Presiden dan Menteri Meminta Presiden Mengumpulkan Koalisi Pemerintah?
Oleh Jacob Ereste - Kolumnis SEUSAI Presiden Joko Widodo memberi kesan mendukung penuh penetapan Calon Presiden 2024 oleh DPP PDIP, Megawati Soekarnoputri di Istana Cipanas, kini sensasi seksi Zulkifli Hassan, Ketua Umum Partai Amanat Nasional yang direbut dari Amin Rais itu meminta Joko Widodo mengumpulkan koalisi pemerintah untuk membicarakan sesuatu yang maha penting, tentu saja. Karena yang harus melakukan itu adalah seorang Presiden yang tengah memangku jabatan resmi Presiden di Republik ini. Tak jelas, etika seperti apa itu sesungguhnya, mulai dari seorang Presiden harus menunjukkan sikap dukungannya kepada calon kandidat tertentu, sehingga pertanyaan lair lainnya bisa bermunculan, seperti komentar dari seorang aktivis buruh di Banten. Sulaiman Salam, aktivis buruh yang juga tertarik dengan riak politik di tanah air -- karena sejujurnya dia pun mengaku sebagai pendukung Partai Buruh -- menduga sikap Presiden yang mengekspresikan secara terbuka dan vulgar dukungannya terhadap Ganjar Pranowo yang ingin melaku ke Calon Presiden tahun 2024 itu untuk memastikan kelak bila terpilih dia akan memperoleh jaminan untuk tidak diusik atau bahkan dinistakan setelah turun dari tampuk kekuasaannya. Karena itu, dari sembelit psikologis ini sulit ditelisik etik seperti apa yang telah digunakan itu, sehingga seorang Presiden tidak mampu menjaga sikap netralitasnya untuk tidak pamer secara telanjang Ikhwal dukungannya terhadap calon presiden tertentu. Demikian juga tentang sikap neranyak yang terkesan tidak sopan untuk kurang seorang Zulkifli Hasan yang meminta seorang Presiden untuk mengumpulkan peserta koalisi pemerintah, tanpa perlu bersoal tentang keperluannya untuk mengumpulkan koalisi pemerintah itu. Artinya, dalam suasana politik yang semakin memanas dan panik sekarang ini, tata Krama dan etika tidak lagi penting ketimbang tujuan dari politik itu sendiri untuk mendapat atau bahkan merebut sesuatu agar posisi dan kedudukan secara politik tetap bisa bertengger di atas angin. Secara nalar semua itu tidaklah menjadi soal yang serius. Setidaknya, dengan ekspresi terbuka memberi dukungan kepada seorang calon kandidat Presiden, agaknya justru tidak menguntungkan bagi yang bersangkutan. Tidak kecuali untuk yang memberi dukungan maupun terhadap pihak yang menerima dukungan itu. Sebab dalam telaah psikososial, justru calon Presiden yang didukung oleh Joko Widodo itu akan menerima kekalahan, sebab pihak yang serius ingin mensukseskan Pilpres adalah mereka yang sudah jengah dengan kepemimpinan Joko Widodo. Akibatnya, orang yang tidak mau mendukung Ganjar Pranowo itu sesungguhnya adalah mereka yang tidak menginginkan lagi adanya kebijakan maupun pengaruh Joko Widodo dalam tata pemerintahan di Indonesia berikutnya. Dengan kata lain, model pemerintahan Joko Widodo cukup sudah sampai 2024. Soal permintaan Zulkifli Hasan -- bisa diartikan pula sebagai perintah itu -- sungguh terkesan tidak etis, apalagi hendak disetarakan dengan etik profetik yang lebih bersifat illahiyah. Akibatnya, mungkin model tata Krama seperti itu yang membuat banyak pihak kurang tertarik untuk berkecupak di habitat politik. Banyak hal jadi terkesan bisa dihalalkan. Tak cuma tata Krama, tapi juga moral dan akhlak bisa mungkin diabaikan. Padahal, kehormatan dan kemuliaan itu hanya mungkin tersemai baik di taman peradaban yang ugahari. Tentu saja pertanyaan jelata serupa ini hanya layak dan patut dijawab oleh Joko Widodo dan Zulkifli Hasan sendiri. (*)
Ganjar Pranowo - Api dalam Sekam
Oleh Sutoyo Abadi - Pemerhati Politik dan Kebangsaan DENGAN UUD 2002 sesungguhnya Indonesia telah sempurna mewisuda dan mengukuhkan diri sebagai negara kapitalis. Uang merupakan perangkat keras kekuasan yang terbangun, menguasai dan mengendalikan semua pranata kehidupan skenario politik dan ekonomi negara. Jangan berharap masih tersisa, bersemayam dan tersimpan, etika dan moral dalam kehidupan be berbangsa dan bernegara saat ini. Kedua nilai itu telah lama dipaksa di usir pergi bersama Pancasila. Di jaga dan ditutup pintunya untuk kembali dengan kunci maut 95 % pasal UUD 45 telah diubah menjadi UUD 2002. Demokrasi, kekuasaan, dan uang merupakan siklus yang tandem dan solid di dalam mengokohkan kapitalisme semakin tertancap kuat. Sulit dibantah sedang mewarnai wacana penetapan capres menyongsong Pilpres mendatang. Muncul sudah Koalisi Perubahan, Koalisi Indonesia Bersatu dan Koalisi Indonesia Raya. Sayang Koalisi Indonesia Raya ahirnya pecah. PPP dan PAN masih ada peluang eksis kalau dengan rendah hati minta maaf kepada umat Islam, dari khilafnya selama ini tidak memposisikan sebagai partai islam dan pusat saluran aspirasi politik umat Islam, tetapi bergeser menjadi pelayan politik taipan. Koalisi dengan siapapun adalah syah , hanya kalau tetap nekad bergabung dengan PDIP kedua partai tersebut akan mengukuhkan diri sebagai partai nasionalis berbau kapitalis , berpeluang besar akan ditinggalkan oleh konstituennya, ahirnya terpental dari senayan. Membela diri ketika petaka sudah datang adalah sia sia. Mega mendeklarasikan dan memposisikan Ganjar Pranowo menjadi Capres, indikasi kuat adalah bentuk lain seperti film perebutan sumber cuan para Taipan. Analisa Rocky Gerung logis : \"Ada dua Ganjar, yakni Ganjar yang sedang dipromosikan Mega, dan Ganjar yang tetap ingin ditempeli oleh Jokowi. Hal ini terjadi karena sesungguhnya ada persoalan amplop, apakah Ganjar akan ditempeli amplop Sandi atau amplop dari Erick Thohir\" Bandar politik sebenarnya ingin Ganjar dalam kendali Jokowi bukan dalam remot Megawati. Muatan politik transaksionalnya akan lebih besar kalau dikendalikan Megawati. \"Kalau memang Ganjar diasuh oleh Jokowi oligarki sudah tahu berapa yang harus keluar, tapi kalau diasuh oleh PDIP akan ada dua faksi yang akan meras dengan caranya masing-masing\", kata Rocky lebih lanjut Oligarki yang berposisi sebagai bandar politik ada dalam kesulitan: Pertama, Ganjar akan berada dalam pengaruh dan kendali Megawati atau Jokowi, masing-masing beresiko belanja yang berbeda. Kedua, elektabilitas Ganjar semakin melemah, akan sulit direkayasa untuk mampu menandingi kekuatan Aneis Baswedan dan Prabowo Subianto. Ketiga, rekayasa survei sudah terbongkar boroknya Keempat, KPU dalam pengawasan ketat aktifis IT oposisi . Kelima, Ganjar berpotensi akan menjadi musuh bersama kader PDIP yang jauh lebih berkualitas dan militan di bandingkan Ganjar Pranowo. Realitas politik akan membuktikan ketika Ganjar Pranowo saat mengumpulkan massa akan tenggelam dengan massa berbasis ghiroh emosi religi dengan Anies Baswedan. Bandit atau sponsor politik sangat memahami tidak mungkin akan bunuh diri, membayari massa ( massa bayaran ) untuk datang pada kampanye awal atau resmi waktu kampanye telah tiba, berupa cek kosong. Konsolidasi kekuatan Oligarki jauh lebih canggih, teliti dan terukur, karena realitas dalam pertarungan politik di Indonesia oligarki tidak ada kamus akan kalah. Sangat cepat beradaptasi dengan realitas politik yang akan terjadi Oposisi dari dalam PDIP terhadap Ganjar bisa semakin besar dan mengkristal karena bagi PDIP Ganjar itu dianggap faktor yang akan merusak trah Sukarno. Keputusan mendeklarasikan Ganjar Pranowo bisa berubah menjadi keputusan yang konyol. Puan harus menerima kenyataan ini sepertinya tetap menahan dan menyimpan dendam kepada Ganjar Pranowo. Sebagai rival yang membahayakan dirinya. Bahaya lanjut adalah indikasi kuat Jokowi akan menguasai PDIP. Kalau sampai ini terjadi Jokowi akan membawa faksi faksinya dipastikan menjelma menjadi kekuatan yang bisa merusak PDIP karena hanya sebagai tempat berlindung diri dari segala bahaya hukum yang akan menerkam dirinya. Jakowi - Ganjar Pranowo dan Erick Thohir tidak akan bisa menjelma menjadi trah Sukarno, sebagai tameng dan kebanggaan PDIP. Tetap akan menjadi duri dalam sekam PDIP. Seandainya logika politik ini akan menjadi kenyataan sama saja penunjukkan Ganjar Pranowo oleh Megawati adalah peluit awal PDIP akan runtuh dari dalam. \"Jalan merunduk memberi hormat\" \"Tanpa kata hanya terdiam\" \"Awal pura pura taat\" \"Tiba saatnya akan menerkam\" Analisa ini semoga hanya analisa liar dan salah, bahwa \"Ganjar Pranowo api dalam sekam di tubuh PDIP\". Koalisi Perubahan tetap utuh, Koalisi Indonesia Bersatu segera mendeklarasikan capresnya. Pilpres 2024 berjalan normal dengan kualitas \"langsung umum bebas, jujur dan adil\" (*).
Ayo Bangun Koalisi Rakyat untuk Perubahan
Oleh M Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan ANALISIS Hatta Taliwang tentang lawan Anies dalam Pilpres 2024 sangat menarik. Tokoh dan Direktur Institut Soekarno Hatta ini menyatakan bahwa Anies Baswedan bukan hanya akan berhadapan dengan Partai Politik tetapi kekuatan yang jauh lebih besar dari itu. Menurutnya lawan itu adalah kekuatan bersama dari partai taipan, partai intelijen, partai media massa, partai media sosial, partai buzzer, partai lembaga survey, partai kepolisian, partai KPU, partai KPK serta partai minoritas agama. Semua itu dikoordinasi oleh pemerintah Jokowi. Artinya lawan Anies Baswedan luar biasa berat. Secara tidak langsung ditempatkan seperti \"musuh negara\". Aneh Indonesia ini menganut politik licik, politik tidak sehat bahkan politik primitif. Tidak membuka ruang kompetisi yang fair dan demokratis. Pemerintahan Jokowi diawali dengan politik licik yakni soal presidential threshold 20 % dan tidak cutinya Presiden sehingga ia mampu menggerakkan seluruh organ negara untuk kemenangan dirinya. Ketika kalahpun masih bisa diubah menjadi menang. Maklum seluruh perangkat kecurangan dapat dimainkan. Pada akhir masa jabatan, politik licik dijalankan lagi. Jokowi sebagai Presiden ternyata menjadi \"Ketua Tim Pemenangan\" kandidat jagoannya. Kembali perangkat negara dimainkan. Pesawat kepresidenan saja digunakan untuk kepentingan deklarasi partai. Belum lagi Istana yang bakal menjadi Markas Besar. Apa yang diungkap oleh Hatta Taliwang adalah fenomena dari sebuah realita. Bernegara tanpa etika dan tanpa penghormatan pada martabat bangsa. Menjadi model dari prinsip menghalalkan segala cara. Rakyat tidak boleh membiarkan sistem bernegara ini rusak berkelanjutan. Ini bukan soal lawan Anies Baswedan semata tetapi masalah serius bangsa dan rakyat Indonesia. Perubahan harus dilakukan. Penjajahan harus dihapuskan. Oligarki harus diubah menjadi Demokrasi. Rakyat berdaulat kembali. Ayo bangun koalisi rakyat untuk perubahan demi tegaknya Konstitusi dan Ideologi negeri. Ada 4 (empat) urgensi koalisi, yakni : Pertama, mengawal proses Pemilu khususnya Pilpres agar berjalan secara jujur dan adil. Rakyat adalah pengawas dari berbagai intimidasi dan otak atik angka atau perbuatan curang lainnya. Kedua, mendukung elemen perubahan baik partai politik maupun elemen politik lainnya yang memiliki keprihatinan dan kekhawatiran sama akan bahaya ke depan dari kelanjutan kekuasaan oligarki. Ketiga, jika permainan menjadi vulgar dan pelanggaran konstitusi semakin nyata maka koalisi rakyat dapat mendesak MPR dan DPR untuk memakzulkan Presiden lebih cepat sebagaimana diatur dalam Pasal 7A UUD 1945. Keempat, jika terjadi kemenangan berbasis kecurangan maka dapat dikoreksi dengan langkah perjuangan berkelanjutan untuk perubahan. Termasuk mendesak proses hukum pihak-pihak yang telah melakukan perusakan negara di berbagai bidang. Pelaku KKN adalah prioritas penindakan. Koalisi rakyat untuk perubahan adalah jalan konstitusional kebersamaan rakyat untuk berjuang memperbaiki kehidupan berbangsa dan bernegara. Amar ma\'ruf nahi munkar sebagai wujud dari tanggung jawab rakyat semesta. Negara adalah milik rakyat bukan milik segelintir orang baik penguasa maupun pengusaha. Rakyat harus segera melakukan perubahan untuk mengembalikan ketaatan pada Konstitusi dan pembelaan atas Ideologi. Perusakan negara telah nyata-nyata kini dilakukan oleh kelompok oligarki. Mereka adalah perampok dan perampas kedaulatan rakyat. Bandung, 29 April 2023
Jokowi Terhenti Prabowo Serba Salah
Oleh Yarifai Mappeaty - Kolumnis MESKI lebaran adalah momentum keagamaan, namun bukan masalah bagi Megawati Soekarno Putri untuk membuatnya menjadi momentum politik. Bagaimana tidak? Di saat mayoritas rakyat negeri ini sedang menikmati suasana ledul Fitri 1444 H, Megawati justeru membuat kejutan politik dengan mengumumkan Ganjar Pranowo sebagai calon presiden dari PDI-P. Memang tidak boleh? Bukan begitu. Hanya saja, mengapa tak menunggu barang sehari dua hari, membiarkan dulu momen Iedul Fitri itu berlalu? Sehingga muncul kesan bahwa Megawati sedang berlomba untuk mendahului. Jika benar begitu, maka, Megawati dan PDI-P, kira-kira sedang berlomba dengan siapa? Sinyalemen Denny Indrayana memberi kesan bahwa pengumuman pencapresan Ganjar tersebut, terjadi karena “tekanan” Jokowi, mungkin saja Denny benar. Namun ada spekulasi lain yang berkembang dan menyatakan sebaliknya. Bahwa Megawati melakukan itu untuk mendahului Jokowi dan Koalisi Besar-nya untuk mencegah paket Prabowo – Ganjar terbentuk. Tetapi, eit, tunggu dulu. Mengapa Jokowi memaketkan Prabowo – Ganjar, bukannya Ganjar – Prabowo? Sebab dinilai tanpa dukungan PDI-P, Ganjar bukan apa-apa. Bahwa elektabilitas Ganjar dilaporkan selalu paling tinggi, itu suka-sukanya lembaga survei. Sebab terbukti, setelah paket Prabowo – Ganjar diwacanakan, muncul laporan survei yang menyebut elektabilitas Prabowo melampaui Ganjar. Lucu, bukan? Masalahnya, jika paket Prabowo – Ganjar berhasil diwujudkan oleh Koalisi Besar Jokowi, maka pilihan yang tersedia bagi PDI-P menjadi terbatas. Misalnya, jika memilih bergabung dengan Koalisi Besar Jokowi, PDI-P harus menerima konsekuensi kehilangan “tanduk”, rela tak punya kuasa mengatur. Sebaliknya, jika memilih tak bergabung, mau tak mau, PDI-P tetap harus mengusung paket Capres – Cawapres sendirian, sekadar memenuhi kewajiban konstitusi, tanpa ada keyakinan memenangkan kontestasi. Kedua pilihan yang tersedia benar-benar sangat tak menyenangkan bagi PDI-P. Itu sebabnya, saya semula menilai bahwa gagasan Jokowi membentuk Koalisi Besar, sungguh brilian. Saya membayangkan Jokowi bermaksud hendak melempar dengan sebuah batu untuk membuat dua ekor burung terkapar sekaligus. Pertama, sasaran utamanya tentu untuk menghentikan Anies. Hal itu bisa tercapai, meminjam istilah Denny Indrayana, jika Moeldoko berhasil “mencopet” Partai Demokrat. Maka niscaya partai berlambang mercy itu praktis berada dalam genggaman Jokowi. Dan, jika itu terjadi, maka, harapan Anies menjadi Capres, pun dipastikan pupus. Kedua, untuk meruntuhkan “keangkuhan” seorang Megawati dan hegemoni PDIP. Tetapi ada pula yang membacanya sebagai upaya “balas dendam” Jokowi terhadap sikap Megawati yang menolak perpanjangan masa jabatan presiden 3 priode dan penundaan pemilu. Bagi PDI-P, sebagai partai penguasa selama satu dekade terakhir, menjadi seekor banteng tanpa tanduk dalam Koalisi Besar Jokowi, tentu sangat menyakitkan. Tetapi sebaliknya, membiarkan Ganjar dimanfaatkan oleh pihak lain di luar sana, yang bisa memberi mudharat bagi PDI-P, juga bukan pilihan bijak. Sementara itu, jika masalahnya adalah Ganjar dilihat sebagai ancaman bagi trah Soekarno di PDIP, sehingga Megawati enggan mencapreskannya, maka risikonya sama saja, apakah Ganjar berada di dalam atau di luar. Sebab saat berkuasa, baik sebagai presiden maupun wakil presiden, potensi ancaman itu tetap ada, selama Ganjar memang ada niat. Menghadapai situasi pelik semacam itu, tak disangka Megawati dan PDI-P justeru membuat pilihan sendiri yang tak kalah brilian dan mematikan bagi rivalnya. Dengan mengesampingkan potensi ancaman Ganjar bagi eksistensi trah Soekarno di PDI-P, Megawati pada akhirnya memutuskan men-take over Ganjar dari tangan Jokowi. Konstelasi politik nasional pun berubah seketika, dan Koalisi Besar Jokowi menjadi berantakan. Di sini, diakui atau tidak, Megawati kembali menghentikan Jokowi setelah melakukan hal yang sama sewaktu menolak wacana perpanjangan masa jabatan presiden dan penundaan pemilu digulirkan. Penolakan Megawati itulah membuat penulis sampai cenderung mengamini pendapat bahwa pencapresan Ganjar oleh PDI-P, bukan karena tekanan Jokowi. Bahkan publik menilai kalau Megawati menghentikan Jokowi agar tak perlu “kepo” mengurusi Capres penggantinya. Hal senada pernah diserukan Hilmi R Ibrahim, Ketua Bidang Politik Partai Ummat, beberapa waktu lalu. Hemat penulis, sebaiknya memang begitu. Kekuasaan Jokowi yang tersisa dan makin renta itu, cukup diabdikan untuk memastikan Pilpres 2024 berjalan dengan jurdil. Realitasnya, Megawati tidak hanya menghentikan Jokowi, tetapi juga membuat Prabowo serba salah. Jika memutuskan bergabung dengan PDI-P untuk mendukung Ganjar yang digadang-gadang berpasangan dengan Sandiaga, maka dari sisi konstribusi, dinilai tidak berarti. Sebab sama halnya, datang tak mencukupi, pergi juga tak mengurangi. Ataukah Prabowo memilih tetap maju dengan berpasangan Airlangga Hartarto, misalnya? Sangat mungkin. Apalagi secara presidential threshold memenuhi syarat. Masalahnya, Prabowo tak punya lagi Jokowi sebagai sandaran. Sehingga peluang memenangkan kontestasi, dinilai kecil. Pada situasi yang dilematis seperti ini, pilihan paling bijak bagi Prabowo adalah kembali ke asal, bergabung dengan Koalisi Perubahan mem-back up Anies. Jika ini dilakukan, maka puluhan juta bekas pendukungnya akan berurai air mata, seperti menyambut kembalinya si anak hilang. Makassar, 28 April 2024
Judi Politik Sandiaga Uno
Oleh M Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan PUBLIK awal menduga kepindahan Sandiaga Uno dari Gerindra ke PPP adalah disain internal Partai Gerindra, akan tetapi kemudian diketahui dan terbukti tidak. Tampaknya Sandi sendiri secara pribadi yang berinisiatif. Tentu setelah lobi-lobi dengan petinggi PPP. Tawarannya entah Ketum PPP atau Cawapres dari PPP. Yang jelas Sandi sedang berjudi. Kekecewaan petinggi Partai Gerindra mudah terbaca dari komentar mengenai jasa partai yang telah membesarkan Sandi sejak Wagub DKI, Cawapres Prabowo hingga rekomendasi Menteri. Ketum Partai Gerindra Prabowo Subianto meminta agar Sandiaga Uno mempertimbangkan kembali rencana kepindahannya. Menurut Sekjen Partai Gerindra Muzani pesan Prabowo yang dititipkan padanya adalah agar Sandi sabar dalam berjuang, tetap konsisten dan menjaga kebersamaan. Pesan itu rupanya kalah cepat dengan Sandi yang telah lebih dulu melompat. Dengan cepatnya PPP mendukung Ganjar sebagai Capres menunjukkan Sandi yang sudah masuk PPP akan ditawarkan sebagai Cawapres Ganjar Pranowo. Ini mungkin kalkulasi dirinya hingga ia bersemangat kuat untuk berpindah ke Partai berlambang Ka\'bah tersebut. Persoalan muncul ketika ternyata PPP tidak solid. Penolakan dari Gerakan Pemuda Ka\'bah Al Quds Purworejo atas sikap DPP PPP yang mendukung Ganjar adalah awal dari riak. Adanya pihak yang mempertanyakan keabsahan usungan DPP pimpinan Plt Ketum Mardiono menjadi riak lain. Konon akan ada gerakan-gerakan perlawanan dari berbagai daerah. Jika PPP hangat bahkan panas dalam menyikapi dukungan kepada Capres Ganjar Pranowo maka PDIP dipastikan akan mempertimbangkan efektivitas keberadaan PPP dalam koalisi. Dan hal ini tentu berpengaruh pada posisi Sandiaga Uno. Ketika dadu Sandi tidak bergulir ke arah keberuntungan, maka bandar tidak akan memilih Sandiaga Uno untuk Cawapres Ganjar. Habil Mar\'ati mantan Bendum PPP dan Ketua Forum Membangun (FKM) PPP menyatakan beberapa senior PPP kemungkinan akan melakukan gugatan ke PTUN terhadap Plt Ketum Mardiono sehubungan turunnya surat Kemenhukham 6 April 2023 yang \"men-status quo-kan\" DPP PPP. Kondisi ini akan menambah gonjang-ganjing internal PPP. Prediksi kuat adalah bahwa aspirasi kader grass root PPP untuk Capres bukanlah kepada Ganjar Pranowo tetapi Anies Baswedan. Posisi Sandiaga Uno semakin tidak pasti, apalagi jika Plt Mardiono tidak kokoh sebagai personal yang memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan formal pengusungan Capres ke KPU kelak. PDIP sendiri memiliki kapasitas secara mandiri untuk berhak mengajukan Capres Cawapres. Karenanya PDIP tentu tidak akan mengambil risiko pencitraan buruk akibat gonjang ganjing PPP. Di sisi lain jikapun Sandi ternyata mampu berpasangan dengan Ganjar, maka pendukung Sandi dahulu saat bersama Prabowo sudah berlompatan pula. Terhitung sejak ia bergabung dengan kabinet Jokowi. Jadi Sandi sebenarnya sudah tidak memiliki \"pengikut\" selain yang kini terlokalisasi di partainya yang baru, PPP. Sandiaga Uno itu sebenarnya menjadi tidak berdaya guna. Tercitrakan sebagai figur yang mencla-mencle, terbuai php atau anak muda yang haus kekuasaan. Andaipun lompatan Uno berhasil merebut Ketum PPP, maka secara tidak langsung ia telah merusak dan mengubah PPP dari Partai para ulama menjadi Partai milik pengusaha. PPP adalah Partai umat yang telah terjual atau tergadaikan. Ka\'bah tidak lagi menjadi simbol dari spiritualitas dan kesakralan tetapi simbol perdagangan. Bahkan perjudian. Moga tidak terjadi. Bandung, 28 April 2023
PPP dan Pragmatisme Pilpres 2024: Tak Belajar dari Tamsil Keledai
Oleh Ady Amar - Kolumnis BELAJAR dari kesalahan masa lalu, itu sikap bijak yang mestinya jadi keharusan. Karenanya, tak hendak mengulanginya. Agar tak terjatuh lagi pada peristiwa yang sama berulang. Pengalaman lalu jadi guru terbaik buatnya. Namun tidak banyak yang menjadikan demikian. Kesalahan demi kesalahan yang sama terus dibuat seolah berulang. Dalam dunia fabel keledai dianggap binatang paling bodoh--tentu itu tak sebenarnya, lebih sekadar permisalan--meski demikian keledai tak hendak terperosok pada lubang yang sama hingga dua kali. Keledai belajar dari instink pengalamannya. Karenanya, ia selamat tak lagi terperosok. Tidaklah salah jika manusia belajar dari pengalaman tak mengenakkan itu dari tamsil keledai. Tak perlu merasa malu. Tak perlu pula sampai mesti menjatuhkan harkat lebih rendah dari keledai. Tidaklah demikian. Belajar dari tamsil keledai, itu mestinya jadi keharusan bagi siapa pun. Jika keledai saja tak hendak terperosok sampai dua kali pada lubang yang sama, mestinya hal yang sama tidak dilakukan manusia, mahluk sempurna ciptaan-Nya. Jika tamsil keledai tak dipedomani, itu justru mengherankan Tapi manusia acap memilih pragmatisme jadi jalan hidupnya. Jadi pilihannya. Meski sadar pilihannya itu akan membawanya jatuh pada lubang yang sama terus-menerus. Seolah memilih mengalami peristiwa kejatuhan yang sama berkali-kali. Buatnya pengalaman tak jadi guru terbaik. Jika kesalahan dilakukan pribadi tertentu tanpa mewakili kelompok lain lebih luas, itu jadi persoalan personal. Tapi jika pilihan pragmatisme itu menyeret kelompok yang diwakilinya, tentu berdampak pada eksistensi keberlangsungan kelompoknya. Ini yang terjadi pada Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Agaknya seperti tak hendak belajar dari pengalaman. Para elitnya tak belajar dari kasus Pilkada DKI Jakarta 2017. PPP mengusung pasangan calon (paslon) gubernur yang salah, yang itu tak mewakili kehendak konstituennya. Maka, PPP ditinggalkan dengan cara tidak dipilih. Berdampak kursi legislatif PPP DKI Jakarta merosot. Sebelumnya punya sepuluh kursi, dan jadi hanya satu kursi. Pada Pilkada DKI Jakarta 2017 yang lalu, PPP berkoalisi diantaranya dengan PDIP. Padahal peristiwa Ahok menista agama (Islam) saat itu masih hangat jadi pembicaraan umat dengan penuh kemarahan, tapi justru penista agama itu yang diusung. Pilkada DKI Jakarta diikuti 3 paslon: Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)-Djarot Syaiful Hidayat, Agus Harimurti Yadhoyono-Sylviana Murni, dan Anies Baswedan-Sandiaga Uno. Anies-Sandi diusung Partai Gerindra dan PKS dan memenangi kontestasi Pemilihan Gubernur (Pilgub). Dua partai pengusung Anies-Sandi itu pun mendapat cocktail effect tidak kecil dari terpilihnya kandidat yang diusungnya. Sedang PPP diganjar dengan ditinggal oleh pemilih setianya. Pilihan politik PPP yang bukan saja dinilai salah, tapi bisa disebut pragmatisme gila stadium 4. Bagaimana mungkin partai berlambang kakbah menolerir penista agama, yang diusung untuk memimpin ibu kota. Seolah PPP mengolok akal sehat umat, pemilih fanatiknya dari masa ke masa. Pragmatisme elite PPP lagi-lagi menantang akal sehat, yang itu justru menjatuhkan marwah partai. Tak belajar dari kasus Pilkada DKI Jakarta 2017. Pilihan pragmatisme dimunculkan kembali, meski itu dibungkus lewat kebijakan partai. Keputusan dibuat lewat Rapimnas di Sleman, Yogyakarta, dan sudah diputuskan. Adalah Plt Ketua Umum PPP Muhammad Mardiono yang mengumumkan secara resmi, PPP mengusung Bakal Calon Presiden (Bacapres) Ganjar Pranowo, pada Pilpres 2024. Sebelumnya, Ganjar telah resmi dideklarasikan sebagai Bacapres PDIP. Tidak menutup kemungkinan sikap pragmatisme PPP akan diikuti Partai Amanat Nasional (PAN). Partai satu ini seperti menunggu waktu yang tepat saja. Pilihan pragmatisme elit partai, tentu tidak terlepas dari berbagai sebab melatarbelakanginya. Bisa karena dosa politik elit partai, dan itu agar tuntutan hukum yang bersangkutan tidak diseret ke pengadilan. Semacam barter kepentingan. Atau bisa jadi hal lain berupa kompensasi materi, dan immateril yang didapat jika yang diusung memenangi kontestasi. Maka, pilihan berdasar pragmatisme itu diambil elit partai tidak sampai perlu menyerap aspirasi konstituen. Cukup diputuskan satu-dua elit partai bersangkutan. Dan, itu dilakukan dengan rapi. Semua agar putusan yang dibuat tampak tak menyalahi konstitusi partai. Maka, keputusan diambil (seolah-olah) lewat keputusan partai, apa pun bentuk dan namanya. Agar tidak ada celah disalahkan, dan karenanya bisa dipertanggungjawabkan, bahwa kebijakan diambil lewat forum semestinya. Akal-akalan berbasis konstitusi jadi model kebijakan pilihan pragmatisme elit PPP tampaknya. Tidak perlu menunggu waktu lama, setelah Muhammad Mardiono mengumumkan pilihan PPP untuk mengusung Ganjar Pranowo pada Pilpres 2024, Rabu (26 April 2023), reaksi spontan pun muncul di hari yang sama dari internal PPP. Setidaknya, Gerakan Pemuda Kakbah (GPK) Al-Quds, Purworejo-Kebumen, Jawa Tengah, sebuah organisasi sayap tertua PPP menolak pilihan partai yang mengusung Ganjar Pranowo sebagai Bacapres PPP. Langkah GPK itu tidak mustahil akan diikuti penolakan lebih besar lagi dari internal partai. \"Menolak dan menentang keputusan DPP PPP sebagaimana di atas karena bertentangan dengan prinsip PPP (sebagai) Partai Islam Ahlus Sunnah wal Jama\'ah, yang bertekad terus menerus memperjuangkan Amar ma\'ruf Nahi Mungkar sebagai pijakan para ulama istiqomah pendiri PPP,\" demikian ketua GPK Al-Quds Syaifurrahim dalam pernyataan sikapnya, Rabu (26 April 2023). Ditambahkan pula dalam pernyataan yang melatarbelakangi penolakan pencalonan Ganjar Pranowo, itu oleh sebab: \"Saudara Ganjar Pranowo yang menjadi pilihan PPP terbukti banyak sekali melakukan pelanggaran syariat terhadap agama, seperti suka dan bangga nonton video porno tanpa malu, selama dua periode memimpin Jawa Tengah belum bisa menyejahterakan rakyat terutama para petani, dan terindikasi terlibat korupsi EKTP.\" Ditambahkan dalam pernyataannya, sementara organisasi yang dipimpinnya (GPK) lebih memilih mendukung Anies Baswedan, yang dipandang lebih perduli terhadap kepentingan umat Islam. Memang semua kemungkinan masih bisa terjadi, sampai saat pendaftaran dan penetapan Paslon Capres dan Cawapres pada 19 Oktober 2023. Siapa tahu para elit PPP berubah sikap dengan memilih memakai tamsil keledai, yang tak mau terperosok pada lubang yang sama untuk kedua kalinya. Tapi jika pilihan pada Ganjar Pranowo itu sudah harga mati yang tak bisa dirubah, bisa dipastikan pada Pemilu 2024 hasil Pileg PPP tidak akan sampai 4 persen, batas minimal parliament treshold. Karenanya, partai klasik warisan Orde Baru ini menjadi partai yang pantas terpental dari Senayan... Wallahu a\'lam.
Anies, Jeratan Utang Negara dan Jebakan Kemiskinan
Oleh Dr. Syahganda Nainggolan - Sabang Merauke Circle FOTO Anies Baswedan kemarin lalu sedang membaca buku berjudul \"Big Debt Crisis\", by Ray Delio,mendapat perhatian besar berbagai media maupun media sosial. SindoNews, misalnya, melaporkan dalam berita “Anies Unggah Foto Baca Buku Big Debt Crises, Netizen Riuh: Berkelas!”, 26/4/23. Anies memang menunjukkan kaliber kepemimpinannya yang substansial, yakni berpikir pada problem pokok. Orang-orang yang eksistensialis masih berpikir tentang capres Jawa versus capres Islam, GMNI vs HMI, didukung Jokowi vs. tidak, dan lain sebagainya. Orang-orang sejenis ini hanya pintar menampilkan baliho-baliho wajah imut yang disemir saja. Dengan beredarnya sosok Anies plus buku tersebut, maka perdebatan ke depan diajak Anies dalam level gagasan besar, yang perlu dijawab kepemimpinan ke depan demi nasib bangsa. Buku tersebut adalah buku penting tentang utang dan membangun negara. Berbagai elit dunia telah membaca buku ini. Antara lain telah dibaca dan direkomendasikan oleh mantan Gubernur Bank Sentral Amerika, Ben Bernanke (“RAY DALIO’S excellent study provides an innovative way of thinking about debt crises and the policy\"), mantan Menteri keuangan Amerika Larry Summers (“RAY DALIO’S BOOK is must reading for anyone who aspires to prevent for or manage through the next financial crisis\"), Hank Paulson ( “a terrific piece of work from one of the world\'s top investors who has devoted his live to understanding markets and demonstrated that understanding by navigating the 2008 financial crisis well) dan berbagai elit keuangan dunia lainnya. Terbaru, buku ini juga di review dalam WallstreetJournal, awal tahun ini. Mengapa kita harus masuk kepada pertarungan gagasan besar? Pertama, generasi pemilih pada tahun 2024 mayoritas adalah generasi millenial dan generasi Z, yang berkisar 60% voters. Satu dekade ke depan mereka akan mengendalikan Indonesia. Sehingga mereka butuh kepastian regenerasi yang keberlanjutan. Mereka tidak ingin sebagai penonton pasif dari sebuah rezim yang dikelola tanpa ide dan gagasan besar. Generasi millenial ini hidup dalam era digital. Masyarakat millenial ini, semangatnya, hidup dalam tingkat independensi yang tinggi, menghormati demokrasi, dan anti korupsi. Kepemimpinan ke depan harus menjamin bahwa negara mampu memfasilitasi mereka. Terkait dengan utang yang dilakukan oleh rezim yang sedang berlangsung, tentunya harus dipastikan bersifat produktif, berkeadilan, menumbuhkan solidaritas sosial dan untuk \"sustainable development\". Sebab, mereka menyadari setiap sen dollar utang yang tercipta akan menjadi beban bagi generasi mereka di masa mendatang. Kedua, paska pandemik dan dalam situasi global kini yang penuh ketidakpastian, baik dagang maupun adu kekuatan militer, sebuah negara dipastikan akan terperangkap pada ketertinggalan dan keterbelakangan, jika tidak mampu menghadapi tantangan global tersebut. Berbagai negara mulai mengalami kekacauan, seperti Libanon dan Sudan, Ukraina, Sri Lanka, Pakistan, negara-negara eropa yang krisis pada tahun 2008/9, semisal Yunani, Potugal, Italia, serta berbagai negara lainnya di Afrika. Kenapa, karena hancurnya perekonomian global dan berbagai negara paska pandemic mengalami kesulitan uang, akan terus berlangsung merusak seluruh kekuatan ekonomi negara. Terutama akibat besarnya beban keuangan suatu negara menyelesaikan krisis kesehatan COVID-19 dan restrukturisasi perekonomian mereka. Di sisi lain, tidak gampang mendapatkan bantuan utang dari negara maju maupun lembaga multilateral, seperti IMF dan World Bank. Ketiga, sejak beberapa tahun sebelum pandemi dan dilanjutkan masa pandemi, berbagai negara telah melakukan berbagai kebijakan semu untuk memanipulasi pertumbuhan dan angka-angka keberhasilan mereka. Akibatnya, sebuah resiko tersembunyi (hidden risk) seringkali tidak terpantau, lalu akan meledak pada masanya. Hidden Risk ini sudah menjadi perhatian utama Bank Dunia saat ini. Terutama ketika \"printing money\" dijadikan kebijakan tanpa hati-hati diberbagai negara untuk menutupi defisit anggaran selama masa pandemi. Dari $400 Milyar utang Indonesia saat ini, diperkirakan $45 Milyar merupakan utang dengan resiko tinggi. Ini belum memasukkan berapa besar potensi utang beresiko yang tak terlihat itu. Utang dan Debtomania Dalam teori pembangunan, utang merupakan sumber pembiayaan penting bagi pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. Pada akhir era Orde Baru, berbagai pimpinan nasional kita mengkritik utang Orde Baru yang sebagian dianggap tidak untuk menguntungkan bangsa kita. Saat itu dikenal istilah \"Odious Debt\" atau utang haram, yakni utang yang dilakukan untuk kepentingan segelintir elit berkuasa. John Perkins, dalam \"Confession of an Economic Hitman\", 2004, menjelaskan bahwa negara-negara besar dan korporasi global mempunyai agenda menjebak negara-negara berkembang dalam perangkap utang melalui berbagai projek-projek infrastruktur dan energi yang ditentukan mereka. Dengan demikian setiap dollar utang yang masuk ke negara berkembang akan menguntungkan negara maju beberapa kali lipat. Menurut Sritua Arief dan Adi Sasono, dalam Teori Ketergantungan dan Keterbelakangan, angka ini berkisar 1:1 pada awal tahun 70an, lalu naik 1:10 di akhir era Suharto. Artinya, setiap satu dollar uang utang masuk ke Indonesia, akan menghasilkan 10 dollar buat pemberi utang itu. Pada era kekinian, Ruchir Sharma, dalam \"The Rise and Fall of Nations: Forces of Change in a Post-Crisis World,(2016)\" menguraikan lebih lanjut bahwa utang piutang yang awalnya dimaknai sebagai kebutuhan, kemudian berkembang menjadi kesenangan yang tidak terkendali, baik dari pengutang maupun penerima utang. Sharma memberi judul \"Debtomania\" pada hal tersebut. Mania, sebagaimana kita pahami, adalah sikap berlebihan, sebuah nafsu berlebihan. Jadi kekuasan sebuah negara bagi elit-elitnya, bukan lagi melihat utang sebagai keterpaksaan atau pelengkap, melainkan sebagai kenikmatan. Tentu saja tersedia keuntungan, baik nyata maupun tersembunyi, bagi pelaku elit dalam penciptaan utang tersebut. Pada era setelah Suharto, gerakan rakyat meminta dispensasi untuk menghapus utang-utang Orde Baru yang \"Odious Debt\" kepada negara donor, sempat membesar. Sayangnya, gerakan itu gagal. Indonesia harus tetap membayar utang kepada negara peminjam maupun perusahaan global. Utang Jokowi Segunung Utang Jokowi adalah utang yang dicatat bangsa ini selama rezim Jokowi memimpin. Catatan resmi pemerintah utang negara saat ini mencapai Rp. 7.755 Triliun. Utang tersebut jika ditambahkan utang swasta dan BUMN, menurut Said Didu, mantan sekretaris Menteri BUMN, akan mencapai belasan ribu triliun. Utang ini, menurut Said Didu dan Rizal Ramli seperti pinjol alias pinjaman online, yakni mengejar pinjaman terus menerus untuk membayar bunga dan pokok pinjaman sebelumnya. Jika dibandingkan era SBY, Jokowi dikatakan membuat utang Indonesia meningkat 300 persen alias 3 kali lipat. Sementara itu Rizal Ramli, menteri keuangan era Gus Dur, mengatakan bahwa bunga utang yang terbebani pada utang kita jauh di atas rerata bunga secara internasional. Pemerintah Jokowi tentu merasa bahwa utang sebesar itu tetap aman karena berada pada aturan ratio utang terhadap GDP, yakni di bawah 60%. Dalam \"Amankah Utang Ribuan Triliun Era Jokowi, CNN Indonesia, 26/1/23, pemerintah menjelaskan bahwa bersamaan dengan utang tersebut, aset Indonesia semakin besar dan ratio utang terhadap GDP terkendali. Pada sisi lainnya, \" distress loan\" atau utang yang beresiko tinggi mencapai $45 Milyar dollar, pada Februari 2022, sebagai mana dilaporkan Global Capital Asia dalam \"Clock is ticking on Indonesia\'s bad debt problems\". Meskipun ketakutan terhadap utang disepelekan rezim Jokowi, namun Anies Baswedan dan kalangan oposisi seperti Said Didu dan Rizal Ramli, mencemaskan persoalan utang ini. Tentu saja kecemasan ini beralasan karena kemampuan kita menghasilkan uang untuk membayar utang dan bunga utang semakin sulit. Dengan utang ribuan triliun tersebut, dan kemampuan negara menghasilkan pajak yang kecil, dapat dipastikan menjerat ruang fiskal kita beberapa dekade ke depan. Ini belum lagi jika mengasumsikan adanya kondisi \"unpredictable\", yang membuat kita \"shock\", seperti bencana, wabah, perang, dan lain sebagainya. Pada tahun 1998, kita mengalami \"self claimed\" pondasi ekonomi yang baik, merujuk juga berbagai lembaga rating dan multilateral Institution. Namun, ketika badai krisis terjadi di Thailand saat itu, lalu merembet ke Indonesia, langsung keadaan tenang menjadi bencana ekonomi. Selain soal kemampuan, apakah kita tidak sedang mengulangi istilah “Odious Debt” yang kita kutuk di era Suharto? Banyak rencana pemerintah dicurigai tidak untuk kepentingan nasional (national interest), misalnya kritikan banyak ekonom terhadap rencana pemerintah mensubsidi motor listrik Rp 6,5 juta permotor, ketika ruang fiskal menyempit Begitu pula rencana pemerintah memasukan beban pembengkakan biaya Kereta Api Cepat China Bandung-Jakarta ke APBN. Belum lagi soal korupsi yang terus meroket kian kemari. Itulah kenapa kemudian Anies membangunkan kita tentang tantangan pembangunan ke depan, bagaimana membangun dengan kemandirian? Bagimana keluar dari krisis utang? Utang dan Jebakan Kemiskinan Kemiskinan dan pengentasan kemiskinan di era Jokowi adalah yang terburuk dalam sejarah Indonesia. CNBC Research Indonesia dalam “Rapor Merah Angka Kemiskinan Jokowi”, 24/1/23, melaporkan perbandingan tingkat kemiskinan di awal rezim Jokowi berkuasa, sampai sebelum Pandemi Covid-19, hanya turun dari 11,22% (Maret 2015) menjadi 9,78% (Maret 2020)atau 1,44% menurun selama 5 tahun. Pada masa awal reformasi penurunan kemiskinan 1999-2004 mencapai 6,8% dan masa SBY 2004-2014 mencapai 5,7%. Fakta ini menunjukkan bahwa Jokowi secara relative terhadap SBY dan pemimpin sebelumnya benar-benar tidak pro kepada rakyat miskin. Secara teoritis, memang utang yang masuk kesebuah negara berkembang dikontrol oleh keinginan asing atau investor. Uang-uang yang mengalir ke Indonesia semakin lama hanya menguntungkan segelintir elit penikmat ekonomi kita. Struktur ketimpangan di Indonesia sangat parah, dan mereka, oligarki dan orang-orang yang berkolaborasi dengan pemberi utang, memutar uang mereka pada sektor-sektor dan bisnis yang menguntungkan saja. Ini bahkan juga terjadi ketika krisis pandemik, di mana orang-orang kaya dan banyak pejabat negara mengalami peningkaan kekayaan yang signifikan. Jika saya penyelenggara negara mempunyai watak mandiri dan mengerti tentang konsep bernegara, tentu saja kemamkmuran yang diciptakan oleh utang akan mengalir secara merata kepada semua pihak Lalu, akhrnya orang-orang miskin akan terbebas dari kemiskinannya. Dalam era Jokowi, lebih parah lagi utang-utang yang dikembangkan pada infrastuktur dan sejenisnya telah menciptakan jebakan utang, seperti membengkak dan terus membengkaknya biaya kereta api cepat Bandung-Jakarta, lamanya durasi perjanjian pemakaian lahan bagi keperluan infrastruktur, ratusan tahun jika perpanjangan terjadi, dijadikannya BUMN sebagai jaminan utang, dan lain sebagainya. Penutup Melalui postingan foto dirinya dan buku “Debt Crisis” by Ray Delio, yang dimediakan massif oleh media sosial dan online, Anies ingin menunjukkan pada Bangsa Indonesia tantang perubahan ke depan adalah keluar dari jeratan utang yang diciptakan rezim Jokowi. Rezim Jokowi telah membuat utang kita nantinya akan mencapai 300% dari jumlah utang era SBY atau belasan ribu triliun. Pada saat bersamaan kemiskinan tidak berkurang signifikan dibandingkan era SBY dan era pemimpin sebelumnya. Utang menurut Delio dapat dikurangi dengan “Austerity, Debt defaults and restructurings, Money printing by the central bank and Transfer of money from those who have more to those who have less”, tergantung sifatnya “inflationary/deflationary cycle. Pemimpin ke depan dapat melakukan itu asalkan tidak seperti rezim penghamba utang saat ini serta fokus pada kemandirian dan sektor prioritas. Namun, yang lebih penting lagi adalah utang hanya dan hanya bisa diletakkan menjadi bagian pelengkap penting dalam pembangunan bangsa apabila pemimpin ke depan adalah pemimpin perubahan, yakni cinta rakyat dan anti korupsi, bukan perpanjangan rezim Jokowi. (*)
Golkar Semakin Lemah, Akankah Terus ‘Mengekor’ PDIP?
Oleh: Anthony Budiawan - Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) PRESIDEN Soeharto mengundurkan diri pada Mei 1998, digantikan oleh wakil presiden Habibie. Pemilu (pemilihan umum) yang seharusnya dilaksanakan pada 2002 kemudian dipercepat menjadi 1999, diikuti oleh 48 partai politik. PDI Perjuangan (PDIP), partai yang dianggap korban manipulasi penguasa, sukses meraih suara terbanyak, 33,75 persen. Partai Golkar, di luar perkiraan, masih bisa bertahan, menjadi partai pemenang kedua dengan perolehan suara 22,43 persen. Pada pemilu 2004, suara Golkar turun sedikit (dari 22,43) menjadi 21,57 persen. Meskipun begitu, Golkar menjadi partai pemenang pemilu 2004, karena suara PDIP anjlok (dari 33,75) menjadi 18,53 persen. Lima tahun kemudian, pemilu 2009, suara Golkar turun tajam menjadi 14,45 persen. Suara PDIP juga anjlok menjadi 14,01 persen. Suara keduanya anjlok karena perolehan suara Demokrat melonjak dari 7,45 persen menjadi 20,81 persen. Pada pemilu 2014, suara Golkar stagnan di 14,75 persen. Meskipun begitu, Golkar tetap menjadi partai pemenang kedua, di bawah perolehan suara PDIP yang naik menjadi 18,96 persen. Sedangkan partai pemenang ketiga direbut Gerindra dengan perolehan suara naik signifikan (dari 4,46) menjadi 11,81 persen. Kenaikan suara Gerindra ini tidak lepas dari peran oposisi Gerindra selama pemerintahan SBY periode 2009-2014. Di pemilu 2019, suara Golkar turun lagi menjadi tinggal 12,31 persen, menempati posisi ketiga, di bawah Gerindra yang sukses memperoleh suara 12,57 persen. Suara PDIP di pemilu 2019 juga stagnan di 19,33 persen, hanya naik 0,37 persen dari pemilu 2014. Padahal PDIP ketika itu sebagai partai penguasa. Pencalonan Jokowi sebagai capres PDIP untuk kedua kalinya tidak membawa efek terhadap perolehan suara PDIP. Di lain sisi, sejak 2004 Indonesia menganut sistem pemilihan presiden langsung (oleh rakyat), di mana pasangan calon presiden (capres) dan wakil presiden diusulkan oleh satu atau gabungan partai politik. Pada pilpres 2004, Golkar mengusulkan capres dari kadernya sendiri, yaitu Wiranto (berpasangan dengan Salahuddin Wahid). Wiranto berhasil mengalahkan Akbar Tanjung, ketua umum partai Golkar ketika itu, dalam konvensi perebutan tiket capres dari partai Golkar. Wiranto gugur di puteran pertama pilpres dengan perolehan suara 22,15 persen. Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), capres dari Demokrat yang hanya memperoleh suara 7,45 persen, akhirnya memenangi kontestasi pilpres 2004 (dan 2009). Di pilpres 2009, Golkar masih mengusung capres dari kadernya sendiri, yaitu Jusuf Kalla, ketua umum partai Golkar ketika itu, berpasangan dengan Wiranto. Capres Golkar kalah lagi. SBY menang di pilpres 2009 dengan satu puteran. Setelah itu, pada dua pilpres berikutnya, 2014 dan 2019, Golkar tidak lagi mengusung capres dari kadernya sendiri. Di pilpres 2014 Golkar mendukung capres dari Gerindra, yaitu Prabowo Subianto (berpasangan dengan Hatta Rajasa dari PAN), melawan capres dari PDIP, yaitu Jokowi berpasangan dengan Jusuf Kalla. Prabowo kalah. Kekalahan yang menyakitkan. Katanya, Prabowo kalah oleh faktor X. Entah benar apa tidak, hanya mereka yang tahu. Yang menarik, setelah kalah di pilpres 2014, petinggi Golkar melakukan manuver. Golkar terpecah, atau dipecah (?), dengan dualisme kepemimpinan, Aburizal Bakrie versus Agung Laksono. Ketua umum Aburizal Bakrie tergeser, diganti Setya Novanto. Golkar kemudian mengalihkan dukungan kepada kabinet Jokowi. Alasannya, doktrin partai Golkar sejak dulu adalah mendukung pemerintahan yang sah. Airlangga Hartarto mendapat jatah menteri perindustrian. Doktrin Golkar ini bisa berakibat fatal. Menunjukkan Golkar tidak ada ideologi. Atau, dengan kata lain, ideologi Golkar hanyalah sebatas mencari kekuasaan? Pada pilpres 2019, PDIP kembali mencapreskan Jokowi untuk kedua kalinya, berpasangan dengan Mar’uf Amin. Golkar masih tidak ada capres dari kader sendiri, kemudian ikut gerbong PDIP. Sepertinya, Golkar kehilangan arah dan tidak percaya diri pada dua pilpres terakhir. Ekspektasi masyarakat, partai pemenang kedua atau ketiga seyogyanya mengusung calon presiden dari kadernya sendiri, agar visi dan misi partai, agar tujuan dan cita-cita partai, bisa diimplementasikan. Pada prinsipnya, rakyat memilih atau mencoblos partai tertentu karena percaya ada kesamaan ideologi, sehingga visi dan misi partai bersangkutan dapat membawa kebaikan dan kesejahteraan bagi kelompok pemilihnya, serta bagi bangsa dan negara. Hal ini hanya bisa diwujudkan kalau partai tersebut berkuasa penuh, dan kadernya menjadi presiden. Bukan mengekor. Untuk apa rakyat mencoblos partai tertentu, kalau partai tersebut tidak bisa implementasikan tujuan partainya, bahkan malah mendukung ideologi partai lain untuk berkuasa? Untuk apa rakyat mencoblos Golkar kalau akhirnya Golkar malah mendukung, misalnya PDIP, untuk berkuasa? Apalagi kedua partai tersebut mempunyai visi dan misi yang berbeda? Tidak heran, suara perolehan Golkar turun pada pemilu 2019 karena Golkar tidak berani mengusung capres dari kader sendiri pada pilpres 2014. Dan tidak perlu heran juga, kalau suara Golkar diperkirakan akan anjlok lagi pada pemilu 2024, karena Golkar tidak berani mengusung capres dari kader sendiri pada pilpres 2019. Nampaknya, rakyat hanya dijadikan komoditas politik, sebagai alat para elit partai untuk mendapat jabatan. Rakyat diminta untuk memilih partai agar para elit partai tersebut dapat membagi-bagi jabatan dan kedudukan? Bahkan Golkar tidak berani menjadi oposisi, untuk mengawasi pemerintah agar menjalankan roda pemerintahan sesuai konstitusi dan untuk kepentingan rakyat banyak. Bagaimana dengan pilpres 2024? Apakah Golkar akan mengusung capres dari kadernya sendiri, atau akan ‘mengekor’ PDIP lagi yang sudah mencapreskan Ganjar? Kalau Golkar tidak berani mencalonkan kadernya di pilpres 2024 ini, kemungkinan besar suara perolehan Golkar akan anjlok lagi. Ada yang memperkirakan, suara Golkar bisa anjlok menjadi sekitar 8 persen. Karena Golkar tidak ada nilai tambahnya lagi bagi pemilih? (*)