OPINI
Penguasa Gila
Oleh Sutoyo Abadi - Koordinator Kajian Politik Merah Putih SEPANJANG sejarah, banyak pemimpin dunia yang berpengaruh. Mereka menciptakan perubahan yang membuatnya dikenang sepanjang masa. Namun, ada juga para pemimpin yang dikenang karena kegilaannya. Ini bukanlah hal baru. \"Sejak lama, orang-orang harus menghadapi penguasa yang seakan telah kehilangan akal dan bertindak di luar nalar.\" Terlacak dalam sejarah penguasa yang gila: \"Kaisar Qin Shi Huang si pencari keabadian\". Begitu memperoleh kekuasaan, Huang terobsesi untuk mempertahankannya selama mungkin, sebagai kaisar. \"Gagasan bahwa kematian adalah satu-satunya hal yang dapat memisahkannya dari kekuasaan menyebabkan dia kehilangan akal,\" Sang kaisar pun menjadi terobsesi untuk mendapatkan keabadian. \"Charles VI dari Prancis yang percaya jika dirinya terbuat dari kaca\" Charles VI dari Prancis dikenang karena dua hal. Itu adalah kekalahan telaknya di Agincourt melawan Inggris dan fakta bahwa ia benar-benar gila. Ia mengalami banyak serangan psikosis yang terdokumentasi dengan baik. Sampai terjadi ia mengenali para pelayan dan pejabatnya, tetapi tidak dapat mengingat istri atau anak-anaknya. Sekitar waktu yang sama, dia menolak mandi atau mengenakan pakaian bersih selama lima bulan. \"Kaisar Romawi Caligula yang Sadis\". Kaisar Caligula dari Romawi pasti termasuk dalam daftar penguasa gila mana pun. Caligula adalah seorang pemimpin yang kesadisan dan kebejatannya seakan tidak mengenal batas. Ketika seseorang menghinanya, Caligula menanggapi dengan mengeksekusi keluarga pria itu di depan orang banyak. \"Kaisar Romawi Nero, si pembunuh ibu\". Nero adalah salah satu kaisar Romawi yang dicap gila. Di awal pemerintahannya, semua tampak normal. Seiring dengan berjalannya waktu, ia semakin jatuh ke dalam paranoia yang membuatnya sedikit gila. Nero juga memiliki kebiasaan membunuh orang-orang yang dekat dengannya. Semuanya dimulai dengan ibunya. Alasannya membunuh ibunya tidak jelas, tetapi tampaknya setelah kematiannya Nero mulai menderita paranoia. Nero telah kehilangan akal dan bertindak di luar nalar. \"Kegilaan Ivan yang Mengerikan\" Pada awalnya, menjadi penguasa tampak menyembuhkannya dari kegilaannya. Sang tsar membuat pengakuan publik dan meminta maaf atas berbagai tindakan kejamnya. Namun kewarasannya tidak berlangsung lama. Ivan mulai membantai rakyatnya sendiri, terutama siapa saja yang berani menantang kecenderungan otokratisnya. Kegilaang Ivan berada di puncaknya dengan pembunuhan putra sulungnya, pewaris, dan kesayangannya, Ivan Ivanovich. \"Tsar Peter III dan tentara mainannya\" Beberapa penguasa kehilangan akal sehatnya dari waktu ke waktu. Beberapa bahkan tidak pernah memilikinya sejak awal. Seperti, Tsar Peter III dari Rusia yang menderita semacam sindrom Peter Pan. \"Niyazov dari Turkmenistan\" Seperti penguasa gila dari masa lalu, Saparmurat Niyazov memiliki ego yang tidak dapat dikendalikan. Niyazov melangkah lebih jauh dengan mengubah buku yang ditulisnya menjadi setara dengan kitab suci. Egonya sedemikian rupa sehingga dia melihat dirinya sebagai dewa. Mereka yang membaca bukunya tiga kali \"dijamin masuk surga\". Itulah daftar pemimpin gila dari berbagai tempat. Beberapa di antaranya tragis, beberapa dari mereka melakukan tindakan keji, dan bahkan ada yang tampak lucu. Sayangnya, rakyat harus mengikuti semua kegilaan para pemimpin itu. Setiap orang dalam daftar ini adalah pemimpin otokrat yang memaksakan kehendak mereka pada rakyatnya. Kisah tersebut bisa sebagai cermin presiden kita, jangan memaksakan kehendaknya ketika berlawanan kehendak rakyatnya. Jangan suka membalikkan fakta dengan narasi yang dibolak balik seperti telah kehilangan akal normalnya. Ketika rakyat sudah mengatakan negara mulai dan sudah berjalan tanpa arah, jangan membuat cerita yang aneh aneh dengan ego jumawa merasa paling bisa di jalan yang salah dan arah yang sesat. Dengan nada memaksa pengganti harus meneruskan kebijakannya, yang selama amburadul. Semua dengan mudah di baca kebijakan yang diduga kearah gila (di luar akal normal). Seperti tidak disadari akibat adanya beban dan bahaya yang di luar kendali, tidak sadar kekuasaannya segera berakhir. Hanya ingin aman dengan mimpi dan menjadi gila ingin berkuasa selamanya. ***
Keculasan Jokowi dan People Power
Oleh Smith Alhadar - Penasihat Institute for Democracy Education (IDe) KETIDAKPASTIAN pilpres masih menggantung. Koalisi-koalisi parpol dengan bakal capres-cawapres definitif belum terbentuk. Sementara, Jokowi masih nekat menjegal Anies Baswedan. Kita seperti dalam suasana perang, tidak ada yang tahu apa yg akan terjadi besok. Sumber masalah terletak pada keculasan Jokowi bahwa pilpres adalah soal keberlanjutan legacy-nya. Padahal, hajat nasional itu harus dimaknai sebagai upaya mengejar tujuan bernegara. Juga untuk membuka kesempatan bagi pemerintahan baru menilai program pembangunan pendahulunya. Yang bagus dilanjutkan, yang salah dikoreksi, dan ide baru dimunculkan. Itu yang berlaku di banyak negara. Kalau presiden baru hanya meneruskan kebijakan pemerintahan sebelumnya, pilpres yang mahal akan kehilangan makna dan kesalahan yang mungkin dibuat pemerintahan lama mendapat pembenaran. Kendati telah diperingatkan tentang hal ini, Jokowi mengabaikannya. Ini karena ia memposisikan diri sebagai proksi oligarki dan Cina, yang ia bayangkan kelak dapat melindungi dinasti politik dan bisnis keluarganya. Dalam konteks perlindungan KKN keluarganya ini pula ia menegaskan tak akan netral dalam pilpres. Cawe-cawe akan ia lanjutkan. Kalau upaya menjegal Anies gagal, pesaing mantan Gubernur DKI Jakarta itu -- mungkin Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto -- harus keluar sebagai pemenang. Ini menimbulkan kekhawatiran pilpres tidak akan jurdil. Dus, bangsa besar ini dipermainkan Jokowi, orang yang seharusnya tak dikenal bangsa ini. Ia mengaku tak suka baca dan berdusta membuat mobil Esemka. Ia hanya tukang mebel yang tdk penting bagi sejarah. Kemenangannya dalam pilpres dulu bukan karena ia bersedia melanjutkan legacy SBY, melainkan mengiming-imingnya kepada rakyat dengan puluhan janji kosong. Dan kendati melakukan pelanggaran kenegaraan yang serius, untuk sementara tak ada kekuatan yang bisa melengserkannya sebagaimana yang dilakukan terhadap Soekarno, Soeharto, dan Gus Dur. Jokowi layak berbangga diri karena dengan kapasitas intelektual yang terbatas ia mampu tampil di titik pusat negara. Ambisinya membangun IKN, yang bagi para pengamat terlihat dungu dan mubazir, bagi Jokowi hal yang tidak mungkin bisa diwujudkan bila kita memasukkan unsur nekat dan primbon dalam mengambil keputusan. Banyak yang menentang wacana ini. Tapi penentangan mereka belum berguna karena lebih banyak orang yang percaya bahwa apapun yang diputuskan Jokowi pasti benar. Ia telah menjadi kultus: keyakinan, gagasan, dan sikap kekinian yang mempengaruhi kehidupan masyarakat. Orang setuju saja dengan semua pendapatnya. Tak peduli banyak proyek mercusuarnya yang tidak penting dan boros menguras sumber daya negara. Mereka juga memaafkan kebohongan publik yang dilakukan Jokowi berulang kali. Padahal, Soeharto yang sangat kuat pun tidak melakukannya. Jangan-jangan Jokowi menderita mythomania atau kebohongan patologis yang membuatnya melakukan kebohongan terus-menerus dalam waktu lama. Pengidap mythomania biasanya berbohong tanpa tujuan yang jelas untuk menutupi kesalahan, memutarbalikkan fakta atau penyebab lainnya. Misalnya, ia berjanji proyek Kereta Api Cepat Jakarta-Bandung tak akan menggunakan APBN. Yang terjadi justru sebaliknya. Demikian juga proyek IKN. Masih banyak kebohongan yang dilakukannya tanpa rasa bersalah. Padahal, pentingnya kejujuran kepala negara tersurat dalam konstitusi bahwa presiden dapat dimakzulkan bila melakukan perbuatan tercela. Ada pakar hukum tatanegara yang berpendapat kebohongan sebagai perbuatan tercela. Namun, Jokowi merasa aman. Mungkin karena ia yakin dukungan rakyat kepadanya tetap kuat. Citranya sebagai pemimpin kerakyatan yang dermawan -- karena sering membagi sembako -- tetap terpelihara. Sikap tidak kritis dan permisif pendukungnya terhadap semua yang dilakukan tukang mebel dari Solo itulah yg membuat ia terdorong untuk terus memproduksi pelanggaran. Misalnya, ia merendahkan marwah konstitusi ketika mematahkan keputusan MK dengan cara mengeluarkan Perppu. Ini terkait dengan RUU Cipta Kerja. MK menyatakan RUU itu inkonstitusional bersyarat karena pembuatannya tak mengikuti prosedur standar. Pemerintah diminta memperbaikinya dalam waktu dua tahun. Bukannya mengikuti perintah MK, ia malah mengeluarkan Perppu. Pakar hukum taranegara Prof. Jimmly Asshiddiqie melihat pelanggaran ini sudah dapat dijadikan dasar bagi pemakzulan presiden. Memang keputusan MK tak dapat dibatalkan oleh Perppu. Jokowi bukan hanya merasa memiliki previlise untuk boleh berbuat curang, tapi ia juga telah menjadi hantu yang ditakuti elite politik. Sekonyong-konyong sebagian ketum parpol berubah menjadi kancil pilek. Tak tersisa lagi kelincahan dan kecerdasan mereka. Mereka mau saja disorong ke sana ke mari oleh Jokowi tanpa mereka tahu apa maksud dan tujuannya. Hari ini mereka diperintahkan bergabung ke koalisi sana, besok mereka diminta mengubah posisi. Sampai kapan ketololan ini berlangsung? Sampai Jokowi meraih tujuannya. Tapi tujuan mengarahkan koalisi dan bakal capres yang didukungnya yang berubah-ubah sulit dipahami ketum parpol yang menjadi objek pengaturannya. Anehnya, taktik cetek Jokowi ini dianggap sebagai kehebatannya. Keanehan-keanehan ini bisa terjadi karena sebagian ketum parpol merupakan pasien rawat jalan. Ada lagi parpol yang ingin mndptkan efek ekor jas Jokowi sehingga manut pada apapun yang diperintahkannya. Yang tak patuh dikenai hukuman sangat berat. Nasdem yang mengusung Anies sudah merasakannya. Yang aman adalah mereka yang menyesuaikan diri dengan pikiran Jokowi. Dus, kita sedang bertransformasi menjadi bangsa kerdil. Rasionalitas dan moralitas menghilang diam-diam. Orang-orang pandai bersembunyi di kampus sambil menasihati mahasiswa untuk bertawakal pada Tuhan atas nasib bangsa. Kampus-kampus bukan lagi rumah juang untuk menyuarakan kebenaran. Mereka telah dipisahkan dari masyarakat untuk menjadi pertapa di hutan belantara, membiarkan rakyat tersekap dalam labirin ketidakwarasan. Proses deformasi sedang berlangsung untuk mengembalikan negara ke tatanan lama yang korup. Spirit mahasiswa 1998 untuk melahirkan tatanan baru yang beradab hari ini dikuburkan. Rakyat dibentur-benturkan menggunakan metode primitif para tiran untuk menguras tuntas energi mereka agar mudah dikendalikan. Rakyat yang bingung tak akan tahu sumber permasalahan mereka. Bagaimanapun, belakangan ini makin banyak orang yang marah menyaksikan kemerosotan indek demokrasi, korupsi, dan pembangunan manusia. Harga bahan pokok melambung tinggi dan utang luar negeri telah menyentuh Rp 7.900 triliun, belum termasuk utang BUMN yang juga fantastis. Baru-baru ini seorang pejabat Kementerian Keuangan mengatakan kalau mau utang negara dihentikan, maka rakyat harus siap berbagai subsidi dicabut. Dengan kata lain, bantuan sosial, subsidi pendidikan, kesehatan, dan energi menjustifikasi penumpukan utang pemerintah. Menkeu Sri Mulyani menyatakan utang penting untuk memacu pertumbuhan ekonomi. Setuju. Namun, utang harus produktif. Menurut ekonom senior Rizal Ramli, pertumbuhan utang kita lebih besar daripada pertumbuhan ekonomi. Kini, menurut Rocky Gerung, tiap bayi Indonesia yang lahir hari ini telah terbebani utang hingga Rp 40 jt per tahun. Seandainya pemerintah konsisten pada amanah konstitusi yang memerintahkan penegakan keadilan bagi seluruh rakyat, ada cara lain untuk menghindari utang yang tidak produktif. Rizal Ramli berpendapat seharusnya utang direnegosiasi dengan kreditor karena bunganya terlalu tinggi dibandingkan dengan bunga yang didapat negara-negara ASEAN lain. Kemudian, pemerintah harus menaikkan pajak terhadap oligarki yg mendapat durian runtuh (windfall profit) disebabkan melejitnya harga komoditas energi dan pangan dunia, bukan malah meluaskan wajib pajak hingga ke rakyat kecil untuk menambal APBN yang jebol. Keculasan-keculasan inilah yang mendorong para pemikir yang kritis meminta Jokowi dimakzulkan. Prof. Hukum Tatanegara Denny Indrayana bahkan sampai menulis surat ke DPR agar menggunakan hak angketnya untuk memulai proses politik yang diharapkan berujung pada pemakzulan (impeachment) Jokowi. Denny merinci pelanggaran berat yang dilakukan presiden. Di antaranya, korupsi yang terkait dengan KKN anak-anaknya, obstruction of justice karena membuka hubungan dengan perusahaan-perusahaan yang sedang bermasalah, dan pelanggaran etika karena membiarkan anak buahnya, yakni KSP Moeldoko, mencopet Partai Demokrat. Namun, kecil kemungkinan pemakzulan melalui DPR bisa terjadi mengingat 82% anggotanya berasal dari parpol-parpol pendukung pemerintah. Dan kelangsungan jabatan mereka bergantung pada ketum parpol. Instrumen recall memberi hak kepada mereka untuk mencopot anggotanya yang tidak sejalan dengan kebijakan partai. Kondisi ini membuat DPR mandul. Karena itulah people power dilihat sebagai alternatif. Konstitusi kita memang tak mengenal terminologi people power (kekuatan rakyat) sebagai sarana yang sah untuk meng-impeach presiden. Tetapi, de facto people power telah dipraktikkan rakyat untuk memakzulkan tiga presiden sebelumnya. Dalam hal ini people power adalah tekanan sosial kepada parlemen. People power yang kini menggema di mana-mana bisa menjadi kenyataan -- yakni gerakan massa besar untuk menekan DPR -- bila distrust rakyat terhadap pemerintah meluas atau legitimasi pemilu diragukan atau Jokowi tak berhenti menjegal Anies atau ia menerabas konstitusi maupun keculasan lainnya. Tangsel, 18 Juni 2023
Melihat Isi Kepala Rezim, Lewat Kepanikan Luhut
Makna panik bisa disebabkan situasi psikis yang tak memungkinkan mampu mengontrol emosi dengan baik. Panik pun boleh pula jika diibaratkan suasana meracau saat tertidur lelap, tapi bicara sekenanya. Bicara yang sulit difahami. Luhut pun sepertinya ada di suasana itu, dan itu berkenaan dengan suksesi kepemimpinan nasional. Oleh: Ady Amar - Kolumnis ANEH dan janggal memang, mengapa Anies Baswedan yang hampir dari seluruh rilis lembaga survei selalu bertengger di urutan nomor 3, itu mesti ditakuti. Jika hasil rilis itu memang sebenarnya, mestinya biarakan saja Anies ikut Pilpres 2024, kan mustahil bisa lanjut keputaran dua. Maka akan tamatlah Anies itu. Itu cara menghabisi Anies yang elegan. Menjadi aneh mengapa mesti diganjal segala, atau mengapa kehadiran Anies Baswedan yang diusung Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP) coba dinafikan, itu menggelikan. Lebih menggelikan lagi, jika itu muncul dari mulut pembesar sekelas Luhut Binsar Panjaitan. Itu saat Luhut tampil di Podcast Karni Ilyas--tayang di chanel Youtube Karni Ilyas Club-- dengan tema: Buka-bukaan Luhut Panjaitan. Memang benar jadi arena buka-bukaan sebenarnya. Karni Ilyas mampu membuka isi kepala Luhut dengan terang benderang. Bisa pula disebut mampu buka \"isi kepala\" rezim, jika rezim boleh diwakili suara seorang Luhut. Kekuasaan Luhut memang digdaya, ia boleh masuk ke wilayah yang bukan bagian dari wilayah kerjanya selaku Menko Maritim dan Investasi. Bahkan Luhut bisa bicara apa saja, bahkan bicara mendahului Presiden Jokowi sekalipun. Selanjutnya, Jokowi cukup mengamini apa yang dikatakan Luhut. Banyak contoh bisa diberikan. Tidak persis tahu apakah jawaban Luhut atas pertanyaan yang diajukan Karni Ilyas, itu keceplosan atau ia memang sengaja sampaikan sebuah misi terang-terangan, bahwa rezim ini tidak menghendaki tampilnya Capres di luar 2 nama yang dikenalnya. Artinya, selain 2 nama yang dikenalnya, itu tak dikehendaki rezim. Semua pastilah bisa menangkap, bahwa 2 nama yang dikenalnya, dan itu dikehendaki adalah Ganjar Pranowo, dan Prabowo Subianto. Sedang satu nama lainnya jelas tak dikehendaki, dan itu Anies Baswedan. Terang-terangan penyebutan yang dikenalnya (Luhut) hanya 2 capres, itu seakan kode keras bahwa Anies Baswedan dengan segala upaya tak akan bisa (lolos) mengikuti kontestasi Pilpres. Tak mengenal Anies Baswedan, itu pertanda akal sehat sudah tertutup, tak mau melihat bahwa ada kekuatan riil yang muncul, dan itu Anies Baswedan. Karenanya, yang keluar dari mulutnya lebih sebagai sikap kepanikan rezim, yang itu diwakili Luhut. Setidaknya itu yang tampak dari dialog dengan Karni Ilyas. Tidak itu saja tapi sepertinya Luhut perlu buat berseri kepanikan, dan itu disampaikannya saat ditemui wartawan di Ritz Charlton Pasific Place, Kamis (15/6), setelah selesai ia menghadiri sebuah acara. Mari kita bedah tipis-tipis dialog \"Buka-bukaan Luhut Panjaitan\", tentu dicukupkan pada pertanyaan berkenaan capres pada Pilpres 2024. \"Jadi menurut Pak Luhut hanya 2 calon (capres)?\" tanya Karni Ilyas. \"Yang saya kenal (2 capres),\" jawab Luhut. \"Yang satu lagi gak kenal?\" kejar Karni Ilyas. Luhut tampak mengelak melanjutkan menjawab pertanyaan Karni Ilyas, dan lalu melanjutkan bicara yang tidak punya korelasi dengan apa yang ditanyakan. \"Kalau capres itu waras, maka akan melanjutkan program Jokowi,\" ujar Luhut sekenanya. Tanpa sadar bisa jadi Luhut meletakkan demokrasi itu pada apa yang dimaui dan dikerjakan rezim. Selainnya, bolehlah ia sebut sesuka-sukanya. Luhut perlu sampai memberi penekanan pada kata \"waras\", yang apabila ikut rezim ini. Aneh memang jika kata \"waras\" disematkan pada keberlanjutan rezim untuk mengikuti pembangunan yang sudah dicanangkan Jokowi. Jika pembangunan rezim selanjutnya memilih pola gagasan perubahan, itu tidaklah sampai dimaknai akan menghilangkan semua legacy yang ditinggalkan Jokowi, tentu tidak demikian. Luhut lupa bahwa jabatan presiden (Jokowi) itu selesai setelah Pilpres dan muncul presiden baru. Rezim baru itu akan menentukan corak pembangunan yang sesuai dengan yang dibutuhkan. Selanjutnya, mari kita lihat apa yang disampaikan Luhut dihadapan wartawan. Penting untuk melihat sejauh mana kepanikan Luhut itu, yang bisa ditafsir pula kepanikan rezim--sekali lagi, jika Luhut Binsar Panjaitan bisa disebut representasi rezim--atas munculnya koalisi yang mengusung perubahan, itu sebagai sebuah keniscayaan. Makna panik bisa disebabkan situasi psikis yang tak memungkinkan mampu mengontrol emosi dengan baik. Panik pun boleh pula jika diibaratkan suasana meracau saat tertidur lelap, tapi bicara sekenanya. Bicara yang sulit difahami. Luhut pun sepertinya ada di suasana itu, dan itu berkenaan dengan suksesi kepemimpinan nasional. Luhut tidak tampil seperti biasanya, yang jika bicara penuh percaya diri, dengan narasi yang lumayan runtut dengan suara khas bariton menggelegar. Tapi kali ini tidak, yang muncul ia bicara dengan nada emosional, seolah negara dalam kegentingan yang sangat. Bicaranya gak konek. Menjadi tak tampak sedikit pun Luhut-luhutnya. Tampil panik-kalut, yang itu tak mampu disembunyikan. Karenanya, muncul narasi tak berkesesuaian dan memaksa orang lain untuk memaklumi, bahwa kita sedang berhadapan dengan seorang Luhut yang tengah panik dengan sengkarut pikiran. Bagaimana mungkin ia mengatakan, \"Jokowi tidak bisa disetop, dan jangan ada politik identitas\". Presiden Jokowi tidak perlu disetop, dia akan berhenti dengan sendirinya, jika masa jabatannya berakhir. Apa mau terus menjabat dan cawe-cawe meski jabatan itu telah berakhir. Tidak bisa juga kan. Sedang narasi \"jangan ada politik identitas\", itu seperti Luhut turun kasta layaknya buzzer yang kerap menghantam Anies dengan politik identitas. Luhut benar-benar panik tak mampu mengontrol emosinya. Di hadapan wartawan Luhut memulai dengan mengatakan, bahwa saat ini pemerintah tengah memerlukan situasi politik kondusif, agar tidak membuat program-program Presiden Jokowi terhambat di akhir masa jabatannya. Lalu, Luhut lompat menyoroti aplikasi media sosial TikTok, yang disebutnya punya dampak yang cukup besar bagi generasi muda, yang itu tidak boleh digunakan untuk berpolitik, terutama politik identitas. Memangnya siapa yang mau menghambat kerja Jokowi, itu sekadar narasi tak berdasar yang asbun tak punya makna. Sesuatu yang tak ada, itu mustahil mampu dibuktikan. Sedang media sosial, kali ini TikTok disebutnya. Sepertinya itu pun jadi kepanikan tersendiri. Sehingga ia perlu menegaskan, bahwa media sosial (TikTok) tidak boleh jadi alat politik. Seolah ada kekhawatiran, media sosial jadi alat untuk mengkritisi kebijakan rezim. Seolah itu terlarang, dan Luhut lupa bahwa rakyat punya kuasa dan berhak bicara politik. Terpenting tidak ada sebaran berita bohong (hoaks) yang diucapkan, apalagi fitnah. Karenanya, bisa jadi panik menjadikan seorang Luhut lupa pada hal sederhana yang telah disepakati, bahwa di negara ini kebebasan berbicara dan berpendapat lewat lisan dan tulisan dijamin konstitusi. Tidak ada yang boleh melarang, selama yang diucapkan itu sesuatu kebenaran dan bisa dipertanggungjawabkan. Sedangkan kebenaran bukan jadi monopoli penguasa.**
Jangan Ragu Tangkap Panji Gumilang
Oleh M Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan SIKAP pimpinan pondok pesantren Al Zaytun Indramayu semakin menunjukan dirinya tidak sehat. Arogansi tinggi. Mungkin merasa ada kekuatan yang melindunginya. Atau sekedar menggertak. Apapun itu, Panji Gumilang tidak boleh dibiarkan. Perilakunya menuai kontroversi dengan ajaran keagamaan yang dinilai menyimpang. Menafsirkan aturan agama seenaknya. Meski telah dikritik banyak pihak termasuk MUI dan PWNU Jawa Barat serta didemo oleh warga Indramayu, tetapi tetap saja ia merasa tidak bersalah bahkan terkesan menantang. Panji lupa sebenarnya kondisi sudah berubah tidak lagi seperti awal pesantren tersebut berdiri. Sangat terlindungi dan aman mengecoh santri, orang tua maupun warga sekitar. Kini kesesatan ajarannya sudah tercium menyengat. Aspek teologis ajaran Panji dinilai bid\'ah dan menyimpang. Perempuan shalat di baris depan bercampur dengan laki-laki, shaf sengaja renggang, muadzin menghadap jamaah, syahadat ditambah kesaksian Negara Islam, menyanyikan lagu Yahudi, berniat mendirikan pesantren Kristen, dosa zina dapat ditebus uang, Qur\'an adalah ucapan Nabi Muhammad SAW dan banyak lagi. Aspek hukum, penyimpangan teologis yang telah meresahkan umat Islam di atas dapat dikategorikan melanggar hukum. perbuatan Panji Gumilang memenuhi unsur delik Pasal 156a KUHP. Dapat dikenakan sanksi penjara maksimal 5 (lima) tahun. Belum bila terbukti adanya perbuatan kejahatan seksual, ia dapat diduga melakukan perkosaan atau tindak pidana kekerasan seksual atau zina (overspel). Aspek politik, Panji Gumilang dan Pondok Pesantrennya telah menciptakan ketidakstabilan politik. Masyarakat gelisah atas sikap Panji. Alih-alih bijak menanggapi kritikan ia justru menantang dengan arogan. Dibalas dengan pengerahan masa sambil menyemangati masa dengan nyanyian Yahudi \"Havenu Shalom Aleichim\". Panji merasa mendapat perlindungan politik. Jangan ragu tangkap Panji Gumilang. Ia telah menista agama dengan menyebut Qur\'an bukan firman Allah, itu sama saja dengan membakar Al Qur\'an. Ia telah mencampur Islam dengan agama Yahudi. Muslim dihancurkan keimanannya. Jangan buka peluang Al Zaytun menjadi agen Israel. Penyelesaian masalah Al Zaytun sangat mudah tidak perlu bertele-tele. Setelah pertemuan MUI Jabar, Polda Jabar, Pangdam Siliwangi dan Kejaksaan Tinggi Bandung, maka segera operasi penangkapan Sang Imam Negara Islam KW 9 Panji Gumilang. Lanjutkan dengan proses hukum untuk membongkar motif dari berbagai kegiatan termasuk penggalangan dana, penyesatan dan kesehatan jiwa sang Imam. Hanya dua pilihan untuk Al Zaytun Indramayu yaitu tutup dan bubarkan Pondok Pesantren Al Zaytun atau jika masih ingin menyelamatkan Al Zaytun, maka segera tangkap dan adili Panji Gumilang. Ambil alih pengelolaan pendidikan Pondok Pesantren Al Zaytun oleh Pemerintah atau Ormas-ormas dan Lembaga Pendidikan umat Islam. Negara tidak boleh kalah oleh oknum yang melakukan kejahatan dengan berlindung pada aspek keagamaan. Panji Gumilang tidak boleh dibiarkan berkeliaran untuk terus menyesatkan. Sudah terlalu lama ia diistimewakan. Bandung, 17 Juni 2023
Anies, Cinta Mati Surya Paloh
... Anies itu ibarat cinta mati Surya Paloh. Cinta mati menghadirkan perubahan negeri ke arah lebih baik. Oleh: Ady Amar - Kolumnis. BETAPA kokohnya seorang Surya Paloh, mental pun bak baja. Tak kecut dan panik dirundung perlakuan tak sepatutnya, dan itu karena pilihan sikap politiknya yang berbeda dengan rezim Jokowi. Karenanya, ia jadi sasaran untuk diinjak keras padahal ia masih dalam satu koalisi dengan rezim Jokowi. Tidak ada yang mampu menjelaskan mengapa Surya Paloh menerima perlakuan tidak sebagaimana mestinya, perlakuan tak patut pada kawan yang punya andil besar menjadikan Jokowi seperti sekarang ini. Perlakuan tidak dicukupkan di situ, tapi juga kader Partai NasDem, yang menjabat menteri dicokok ditersangkakan dalam dugaan korupsi. Sungguh menakjubkan sikap kokoh yang diperagakan Surya Paloh itu. Meski risiko yang dihadapi sungguh berat. Langkah mendeklarasikan Anies Baswedan sebagai Capres NasDem, yang lalu diikuti PKS dan Demokrat--3 partai tergabung dalam Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP). Tak ada yang mampu menjelaskan, kenapa Anies Baswedan tak dikehendaki rezim ini. Tidak jelas pula oleh sebab apa, yang lalu langkahnya dengan sangat keras coba dihentikan. Tapi spekulasi muncul yang itu pun sulit dibuktikan saat-saat ini, bahwa Anies tak disukai oligarki. Dan, itu berdampak menghantam keras kawan seiring--Surya Paloh dan NasDem--yang dari awal bagian utama menjadikan dan membersamai Jokowi sebagai presiden, bahkan hingga 2 periode. Sulit bisa dijelaskan dengan nalar sehat. Surya Paloh, dan itu NasDem, memilih jalan sendiri di Pilpres 2024, meski tetap membersamai Jokowi dalam koalisi sampai masa jabatan Presiden Jokowi berakhir. Artinya, NasDem memegang komitmen bersama Jokowi sampai akhir jabatannya. Sedang pasca Jokowi, NasDem memilih Anies Baswedan, pilihan yang tidak sama dengan yang diinginkan Jokowi, yang memilih figur lainnya. Kebersamaan NasDem tidak mesti sesuai dengan keinginan Jokowi perihal siapa penerusnya. Lagian apa kepentingan dan urusan Jokowi memaksakan kehendak agar pilihan NasDem sama dengan pilihannya. Sepertinya memang baru Presiden Jokowi, tidak pernah terjadi pada presiden-presiden sebelumnya, yang akan mengakhiri jabatannya sibuk mencari figur penggantinya dengan cara mengganjal dan menjegal figur yang tak dikehendakinya, dan itu Anies Baswedan. Cawe-cawe ala Jokowi dalam menentukan figur yang dikehendaki dan boleh berkontestasi di Pilpres 2024, yang itu dengan memukul siapa pun yang coba-coba bersikukuh mencapreskan Anies Baswedan, itu bentuk pengerdilan demokrasi. Karenanya, NasDem dijadikan bulan-bulanan dengan 2 menteri--Menkominfo Johnny G. Plate dan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo--dari 3 menteri yang bergabung dalam kabinet Jokowi-Ma\'ruf Amin ditersangkakan korupsi. Jika memang benar apa yang ditersangkakan itu, maka keharusan bagi yang bersangkutan mempertanggungjawabkan. Tapi pada kasus ini aroma politiknya jauh lebih terasa ketimbang hukum yang ingin ditegakkan. Mengganggu Surya Paloh personal, dan itu bisnisnya, dan mencomoti kader NasDem dengan berbagai kemungkinan yang bisa ditersangkakan oleh motif yang mudah dicari, sepertinya itu akan terus dilakukan. Hukum menjadi tajam pada yang dianggap lawan, tapi tumpul pada kawan, itu bukan isapan jempol. Kawan yang bertumpuk kasus tak diusik sedikit pun, itu agar jadi penurut dengan kemauan rezim, mudah diseret ke sana kemari. Karenanya, partai tertentu terpaksa kompromi dengan kekuasaan, jika tidak ingin perbuatan koruptif para ketua dan elite partainya diseret ke pengadilan. Partai menjadi tidak berdaya dalam dekapan rezim. Jadi sandera politik. Partai yang tersandera dosa politik tidak akan berani mengkritisi kebijakan salah rezim. Karenanya, sulit diharapkan bisa bekerja dan membela kepentingan rakyat. Tapi sikap kokoh dipertunjukkan Surya Paloh yang tak gentar meski bisnisnya dihancurkan sekalipun, dan kader partainya diprotoli dibuat tidak nyaman. Konsistensi sikap seorang Surya Paloh bukannya mengendur, tapi justru makin kokoh bak karang yang tak goyah meski digempur ombak besar. Sadar dengan pilihannya. Maka, narasi yang keluar dari mulutnya mencengangkan. Sulit terbayangkan narasi itu bisa muncul dari seorang pebisnis papan atas, dan sekaligus politisi yang biasanya berwatak pragmatis. Abang ini jangankan masuk penjara, dibunuh pun tidak akan berubah dari mendukung Anies Baswedan. Itulah sepenggal pernyataan heroik Surya Paloh di hadapan elite partainya. Dan, itu sebagai penegasan akan sikapnya yang tak mungkin berubah untuk terus mendukung Anies Baswedan. Anies itu ibarat cinta mati Surya Paloh. Cinta mati menghadirkan perubahan negeri ke arah lebih baik. Surya Paloh, dan itu NasDem, memilih Anies Baswedan sebagai capres, tentu sudah dihitung matang dan cermat, bahkan risiko yang bakal dihadapi. Maka, gempuran yang ia dapatkan saat ini tak akan menyurutkan langkah menghadirkan Anies Baswedan, anak muda yang sudah dikenalnya jauh hari sebagai pribadi yang punya integritas, intelektualitas, dan elektabilitas tinggi.**
101 Persen Nepotisme!
Oleh M Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan PRESIDEN Jokowi bukan saja bersemangat mempertahankan kekuasaan baik dengan usaha memperpanjang maupun mencari boneka pelanjut kekuasaan, akan tetapi juga mendorong anggota keluarganya untuk menjadi pejabat publik. Tentu dengan bahasa berkelit bahwa itu urusan anak-anaknya yang sudah dewasa. Tanya saja kepadanya soal jabatan-jabatan tersebut. Sewaktu dahulu Gibran Rakabuming Raka maju menjadi calon Walikota Surakarta sorotan mata terarah pada Jokowi yang mulai menjalankan perilaku menyimpang nepotisme. Seperti kebiasaan ia mengeles menyatakan tergantung rakyat memilih atau tidak. Tetapi dengan target suara 80 % kemenangan maka sudah diduga \"jaringan\" dan pengaruh sang ayah digunakan. Gibran menang tanpa perlawanan yang berarti. Awalnya Gibran menyatakan tidak berminat terjun ke bidang politik. \"Nggak, nggak tertarik\" saat ditanya wartawan pada peresmian outlet Sang Pisang dan Markobar di Cikini. Berulang pertanyaan dengan jawaban yang sama. Ia konsisten untuk tetap berada di jalur bisnis. Namun kini Gibran menjadi Walikota di tempat kota kelahiran ayah dan dirinya. Menantu Jokowi, Bobby Afif Nasution berpasangan dengan Aulia Rahman menjadi Walikota Medan. Istri dari Kahiyang Ayu ini sukses dalam perebutan suara melawan pasangan Akhyar Nasution-Salman Al Farisi. Program dorong \"naik\" keluarga juga melalui perkawinan adik Jokowi Idayati dengan Ketua MK Anwar Usman. Fenomena terbaru adalah putera bungsu Jokowi yaitu Kaesang Pangarep yang siap maju dalam Pilkada Kota Depok. Sebelumnya seperti kakaknya Gibran ia selalu menyatakan tidak mau menjadi pejabat. Ingin menggeluti dunia bisnis. Dalam video kanal YouTube Kaesang Pangarep by GK hebat 11 Juni 2023, Kaesang menyatakan: \"Saya Kaesang Pangarep, saya sudah mendapat izin dan restu dari keluarga saya insya Allah dengan ini saya siap untuk hadir menjadi Depok pertama\". Meski belum sukses, namun dengan \"izin dan restu keluarga\" maka mudah dibaca publik bahwa Jokowi lagi-lagi akan menggunakan pengaruhnya sebagai Presiden dalam menyukseskan niat puteranya untuk menjadi Walikota Depok. Apa yang dapat dikatakan untuk hal ini selain nepotisme? Kini penyakit buruk kekuasaan telah melanda Jokowi, bukan saja tidak mau turun dari jabatan tetapi ingin terus \"memperpanjang\" kekuasannya. Ditambah dengan mendorong keluarga untuk mendapatkan jabatan politik. Nepotisme yang nyata. 101 persen nepotisme. Contoh buruk Jokowi diikuti oleh banyak pejabat lain dari rezimnya. Anak, istri dan saudara menjadi pejabat-pejabat publik di negeri ini termasuk anggota Dewan. Jokowi telah sukses membangun rezim nepotisme, negara keluarga--the family state. Abai pada Ketetapan MPR No XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Ketetapan ini belum dicabut karenanya masih memiliki daya laku (validity) dan daya guna (efficacy). Dari bukti nyata 101 persen nepotisme, maka aspek kolusi dan korupsi menjadi agenda untuk diusut ke depan. Melihat banyaknya Menteri Jokowi yang terlibat korupsi berbasis kolusi, maka mungkinkah Presiden itu 101 persen bersih? Inilah PR bangsa yang harus mulai dikerjakan dan dituntaskan. Tuntas hingga 101 persen. (*)
Melawan atau Jadi Jongos
Oleh Sutoyo Abadi - Koordinator Kajian Politik Merah Putih \"Gambaran Badai: langit diam dan tenang, lalu terjadilah jeda yang menyejukkan hati. Lalu entah dari mana petir menyambar, angin bertiup kencang dan tiba tiba langit meledak. Badai yang tiba-tiba datang menyambar dengan datangnya tipuan angin merobohkan semuanya\" Jadi benar kata Napoleon (1769-1821): \"Kita harus lambat dalam merencanakan namun cepat dalam melaksanakan.\" Andaikata kita sepakat dengan kalimat itu akan menjadi kacau \"cepat dan membahana seruan cuap cuap menumpahkan ancaman, kandas dan sepi dalam tindakan.\" Itu tidak boleh terjadi. Slogan Yulius Caesar (100-44 SM) bisa jadi masih aktual \"Veni, Vidi, Vici\" (saya datang, saya lihat, saya menang). Artinya sekali menyergap harus menang. Strategi senyap dan mematikan untuk meraih kemenangan, semua penghalang di terjang dan di hancurkan, apakah cara kerja strategi ini justru milik Taipan Oligarki. Sekali Yusuf Wanandi muncul di layar kaca hanya tempo 4 (empat) Jokowi langsung menyatakan diri akan cawe-cawe. Mereka memiliki strategi senyap menyergap dan mematikan sangat terlihat pada action pada bonekanya, semua aturan konstitusi, apalagi sekedar norma dan etika di babad habis, untuk meraih kemenangan dengan segala cara. Harus ada kesadaran bersama para pejuang perlawanan, membalikan keadaan dengan serangan kejutan , ucapan Xenofon (430-355 SM) \"Semakin sesuatu hal sulit diramalkan, semakin besar ketakutan yang diakibatkan. Hal ini paling tampak dalam perang, dimana setiap serangan kejutan menciptakan teror bahkan bagi mereka jauh lebih kuat sekalipun\" Perlawanan yang tiba-tiba pasti strategi senyap, melakukan perlawanan dengan kecepatan tinggi, sangat efektif menciptakan kebingungan dan kepanikan. Sebaliknya terlalu banyak ancaman tanpa perlawanan riil, hanya akan menjadi imun, dianggap sampah dan disepelekan. Ketika para Taipan Oligarki sudah menginjak tanpa mengenal ampun, hanya ada satu cara \"harus ada perlawanan tanpa ampun.\" Yang terjadi sementara orang tetap membela diri, bermacam macam dalih dan alasan tidak mau bergerak, lebih nyaman hanya cuap cuap di tempat. Virus mental pengecut, pemain watak harus di cerahkan dan di ingatkan, dalam keadaan memaksa harus di paksa masuk dengan gerakan mendadak bergerak melakukan perlawanan. Kalau tetap bandel harus di eliminasi karena hanya akan menjadi sampah dan beban sebuah pergerakan. \"Dalam tinju yang bisa menjatuhkan, bukan tinju yang extra keras, melainkan tinju yang tidak bisa dilihat\". Keberhasilan sebuah gerakan perlawanan tergantung tiga hal : kelompok yang gesit (seringkali lebih kecil tetapi militan), koordinasi unggulan dan kemampuan mengirim perintah dengan cepat dalam rantai komandonya. Dalam kondisi stagnan perlawanan saat ini dibutuhkan pemimpin berani, sebagai magnit untuk menggabungkan kekuatan yang masing terpecah, termangu mangu dan menunggu. ini saatnya melakukan perlawanan. \"Stop jadi jongos ekonomi dan politik, It\'s now or never, Tomorrow will be to late\" (sekarang atau tidak pernah - besok atau semua terlambat), \"rotten fish from its head\" (ikan busuk dari kepalanya)\" *****
Kejar Daku Kau Kutangkap antara AHY atau Puan
Oleh: Laksma TNI Purn. Ir. Fitri Hadi S, MAP - Analis Kebijakan Publik “Ajakan kencan Puan pada AHY benar benar memabukkan”, tanpa berpikir panjang lagi AHY menerima undangan kencan itu. Betapa tidak, partainya berharap pada pemilu 2024 AHY dapat menjadi calon wakil presiden. Seakan tahu isi hati AHY, Puan mengabarkan bahwa terbuka peluang untuk AHY jadi calon wakil presiden dari PDIP mendampingi Puan atau Ganjar. Apakah ini godaan atau ujian seperti terjangan Moeldoko atas posisi AYH saat ini? Atau inilah cara AHY melepaskan diri dari terjangan Moedoko seteru abadinya selama ini? Siapa yang berani pada PDIP pemenang pemilu tahun 2019 dan majikan dari Jokowi dan juga Ganjar sang calon Presiden pada pemilu tahun 2024? Moedoko tentu akan takluk pula. Kini mereka sedang mengatur rencana, mencari tanggal dan bulan baiknya, mereka memakai baju apa, seperti apa pelaminanya, menggunakan adat apa dan lain sebagainya. Rencana akan bersandingnya Puan dan AHY benar-benar membuat cemas pesaing mereka, mengapa AHY dipilih Puan atau mengapa Puan dipilih AHY. Rencana Puan dan AHY ini benar benar akan membuat kocar-kacir para kontestan lainnya pada Pemilu tahun 2024 ini. Tidak kalah kocar- kacir pula presiden yang akan bersikap tidak netral dan akan cawe-cawe, siapa pula sekarang yang akan diendorsenya? Atau jangan-jangan rencana bersandingnya Puan dan AHY adalah hasil cawe-cawe sang Presiden? Para capres sintesa Jokowi berharap cemas mengapa AHY yang terpilih? Begitu pula dengan capres antitesa Jokowi yaitu Anies Rasyid Baswedan, mereka telah berdarah darah membentuk koalisi dan bersusah payah menjaganya agar mencapai syarat ambang batas tentu akan kecewa berat. Tetapi mengapa partai Nasdem dan PKS sampai saat ini tenang tenang saja? Sudah putus asakah mereka melawan segala jegalan yang menghadang mereka? Seharusnya Nasdem dan PKS menyantroni Demokrat atau ayahandanya AHY untuk meminta pertanggung jawaban atas sikap anaknya itu. Bahkan kini Puan dan AHY sedang merencanakan kencan pertama mereka. Semua menunggu, kapan rekonsiliasi PDIP dengan Partai Demokrat ini terjadi, tetapi apakah semua itu tergantung pada rencana Puan dan AHY saja? Hampir semua orang tahu ayahanda AHY dan ibunda Puan sudah lebih dari 10 tahun tidak saling bicara. Oleh karena itu apa kira-kira yang dipesankan oleh ayahanda SBY kepada AHY dan apa pula pesan ibunda kepada Puan? Bendera putihkah? Atau bendera palang merah? Bila pesan ibunda Mega kepada Puan untuk menjadikan AHY petugas partai mungkinkah itu terjadi? Atau pesan ayahanda kepada AHY tidak banyak, silakan menjadikan AHY sebagai calon presiden pada pilpres tahun 2024 dari PDIP dengan catatan calon presidennya Anies Rasyid Baswedan. Itu saja, mungkin lhoo.. Walah? Kok jadi gini jadinya. Wisss, wisss ambayarr. Cuma analisis kok. Lucu? Enggak! Kamis, 15 Juni 2023
DHD 45 Jawa Barat Yakin Pancasila Lahir bukan 1 Juni 1945
Oleh M Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan Dalam acara Silaturahmi Halal Bihalal 1444 H Ketua Umum DHD Badan Pembudayaan Kejuangan (BPK) 45 Jawa Barat Letjen TNI Purn Yayat Sudrajat menyatakan bahwa DHD BPK 45 meyakini bahwa Pancasila itu lahir pada tanggal 18 Agustus 1945 bukan waktu lainnya. Pancasila yang ditetapkan tanggal 18 Agustus 1945 itu resmi telah menjadi kesepakatan bangsa. Letjen Purn Yayat mengingatkan bahwa DHD 45 memiliki kesetiaan kepada negara berdasar Pancasila dan UUD 1945 yang lahir 18 Agustus 1945. Bukan Pancasila 1 Juni 1945. Perlu koreksi atas kebijakan Pemerintah yang telah menetapkan 1 Juni 1945 sebagai hari lahir Pancasila. Apalagi menjadikanya sebagai hari libur nasional. Yang jelas menurutnya, DHD BPK 45 lahir berdasarkan Keppres No. 63 tahun 1965 ditandatangani Presiden Soekarno dan Keppres No 50 tahun 1984 yang ditandatangani oleh Presiden Soeharto. Bertugas membudayakan nilai-nilai kejuangan 1945. Berupaya sekuat tenaga untuk merealisasikan tujuan bernegara sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. Yang menarik adalah penekanan Letjen Yayat Sudrajat bahwa kewaspadaan terhadap bahaya PKI gaya baru perlu ditingkatkan. Termasuk karakter PKI yang terimplementasi pada penyelenggara negara. Memutarbalikkan sejarah, menyembur fitnah serta berpolitik dengan menghalalkan segala cara. Sayangnya banyak yang alergi bahkan menafikan keberadaan PKI. Ia menyinggung Keppres dan Inpres Keppres 17 tahun 2022 dan Inpres 2 tahun 2023 mengenai PPHAM dan pelaksanaannya khusus peristiwa 1965-1966 bisa difahami bahwa PKI bukan pelaku dari suatu kejahatan bahkan dicitrakan korban. Ini pemutarbalikkan fakta seolah PKI itu tidak bersalah. Pemerintah tidak pernah membantah korban terbesar peristiwa 1965-1966 adalah aktivis PKI. Konsekuensinya adalah yang direhabilitasi, diberi beasiswa, tunjangan kesehatan serta fasilitas lain sesuai Keppres 17 tahun 2022 adalah aktivis PKI dan keluarganya. Lebih hebat lagi 17 kementrian diinstruksikan ikut berkontribusi dalam program ini. Inpres 2 tahun 2023 dinilai istimewa. Keppres 17 tahun 2022 jelas bertentangan dengan UU No 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Semua pelanggaran HAM berat harus diproses melalui Pengadilan HAM bukan penyelesaian non yudisial. Inpres 2 tahun 2023 sebagai aturan turunannya tentu lebih bertentangan lagi. Karenanya aturan cacat hukum ini layak untuk dibatalkan. Pemaksaan atas hal di atas menyebabkan munculnya anggapan bahwa pemerintahan Jokowi memang tidak berorientasi pada kemashlahatan bangsa dan negara tetapi lebih pada kepentingan politik yang dapat dimanfaatkan kelompok ketiga, khususnya pendukung PKI. Kembali pada pandangan Ketum DHD BPK 45 Letjen TNI Purn Yayat Sudrajat yang dengan tegas mengingatkan agar bangsa dan rakyat Indonesia harus tetap berpegang teguh pada Pancasila dan UUD 1945 hasil penetapan 18 Agustus 1945. Bandung, 15 Juni 2023
Politik Indonesia Terkini dan Julius Caesar
Oleh Hendrajit - Direktur Eksekutif The Global Future Institute Membaca gelagat politik negeri kita saat ini, enaknya baca sejarah politik Romawi era Julius Caesar sebagai analogi. Karena ada beberapa sosok yang tipikal mirip Julius Caesar, ada yang mirip Pompeous, dan ada juga yang mirip Crassus. Tiga serangkai penguasa kediktatoran Romawi masa itu, yang sebenarnya saling nggak suka tapi sama-sama suka masakannnya, sehingga mereka bersekutu. Namun sejatinya Caesar, Pompey, dan Crassus, merupakan suatu persekutuan yang rapuh bin aneh. Tapi di sisi lain yang boleh dibilang setengah di dalam tapi juga setengah di luar, yaitu Cicero. Cicero, pasang naik dan pasang surut nasib politiknya sebagai pemain kunci di Senat atau DPR, memang berkaitan dengan konstelasi politik Roma yang diwarnai oleh tiga serangkai Caesar, Pompey dan Crassus. Pada saat situasi kemudian berpihak pada Caesar sehingga kemudian menjadi primus interpares di antara tiga serangkai, Cicero dianggap ancaman bagi Caesar, sehingga sebelum orang nomor satu Romawi ini memasuki kota Roma setelah memenangkan peperangan di Galia, Cicero harus sudah disingkirkan dari ibukota itu dalam entah terbunuh atau lari ke pengasingan. Pokoknya jangan sampai pas dirinya masuk Roma, Cicero masih sekota dengannnya. Maka karena tidak mau terlihat bermusuhan secara langsung dengan Cicero, Caesar mendorong Clodius, salah satu dari keluarga Crassus, yang punya dendam kesumat pada Cicero, sebagai Tribunus, jabatan yang ditunjuk Raja, dan berwenang bikin undang2 dan aturan. Dan berwenang memanggil para anggota senat atau anggota DPR untuk bersidang. Nah melalui tangan Clodius inilah, Caesar menyingkirkan Cicero, sehingga Cicero daripada mati, mendingan menyingkir ke luar Roma. Sementara itu, Crassus dan Pompey, karena sama-sama berkepentingan menjaga persekutuannya dengan Caesar, seakan tutup mata dan nggak berani membela Cicero, apalagi mencegah Cicero lari ke pengasingan. Namun setelah beberapa tahun, rupanya antar tiga serangkai ini diam-diam mulai rapuh persekutuannya, sehingga Pompey diam-diam lewat seorang utusan terpercaya, menemui Cicero di pengasingan, dan membujuk Cicero untuk berdamai dengan Caesar supaya bisa kembali ke Roma. Perhitungan Pompey, adanya kembali Cicero di kancah politik Roma, Pompey dapat mengimbangi Crassus yang sama ambisiusnya untuk jadi nomor satu, seraya memelihara Cicero sebagai anak nakal, sehingga sekali-sekali bisa mengganggu Caesar. Agar supaya Pompey yang di mata Caesar merupakan orang dekat Cicero, bisa menaikkan harga tawarnya karena bisa menjinakkan Cicero. Sementara itu, karena Cicero kembali ke Roma, setelah Caesar menyetujuinya, asal nggak bikin onar, otomatis kembali jadi aktor kunci di parlemen Roma. Dan negarawan Romawi yang diperhitungkan kawan maupun lawan. Namun sepulangnya dari pengasingan, intuisi politik Cicero sudah tidak seligat waktu masa jayanya dulu, sehingga sering meleset dalam membuat perhitungan politik jangka panjang. Meskipun untuk siasat atau taktik politik jangka pendek, masih cukup cemerlang. Salah satu kesalahan strategis Cicero, memandang tiga serangkai Caesar-Pompey dan Crassus sebagai persekutuan yang tak tergoyahkan dan tetap solid, sehingga langkah2 dan keputusan politik strategisnya selalu bertumpu pada fakta yang dia yakini tersebut. Apalagi ketika tiga serangkai ini semakin meniti puncak kejayaannya, meski diwarnai oleh praktek bagi-bagi kekuasaan antar ketiganya yang cukup rumit dan penuh ketegangan. Nah pada situasi inilah, Cicero yang selama ini jeli dan cermat membaca konstelasi dan konfigurasi, meremehkan sikap Cato dan para anggota keluarganya, yang secara terang-terangan mengambil posisi melawan tiga serangkai tersebut. Cicero memandang tindakan dan sikap Cato yang berani melawan triumvirat tersebut, konyol dan tidak taktis. Rupanya Cicero lupa pada falsafah yang dia anutnya sendiri, bahwa ketika penguasa berikut formasi kekuasaan yang melekat padanya semakin meniti titik puncak, maka di situlah awal kehancuran. Artinya, kehancuran pada tahap ini hanya soal waktu. Cicero tidak memperhitungkan pemunculan dinamika Black Swan (angsa hitam) sepeti diistilahkan Nassem Taleb, peristiwa yang muncul tak terduga, yang berakibat efek berantai ke depan yang tak bisa didorong surut kembali ke belakang. Cato, dan dinasti keluarganya, termasuk keponakannya yang kelak terkenal dengan sebutan Brutus, nama yang kerap diidentikkan dengan sosok penghianat dan suka main tikam dari belakang, memang terlalu naif kalau dianggap akan jadi pesaing bagi Caesar. Namun Cicero yang biasanya penuh perhitungan dan jitu membaca langkah politik ke depan, sama sekali tidak membayangkan bahwa kelak Cato dan keluarganya, termasuk Brutus, akan jadi katalisator percepatan keruntuhan Caesar. Berikut tiga serangkai itu sendiri. Namun pada saat yang sama, muncul sebuah kekuatan baru yang tidak diperhitungkan Cicero maupun kubu tiga serangkai: Pemunculan tak terduga dari Augustus, keponakan Caesar, yang selama ini luput dari radar pengawasan para aktor2 utama dalam pentas politik Romawi. Dan ironisya, dalam perpolitikan pasca Caesar, setelah Caesar ditikam oleh beberapa anggota senat, termasuk Brutus, yang tak disangka-sangka oleh Caesar, Cicero harus membuat kesepakatan politik baru dengan keluarga Cato, yang sementara itu sudah menjalin persekutuan taktis dengan Augustus, sang keponakan Caesar. Pelajaran penting dari sejarah Romawi ini, kadang dalam mengantisipasi munculnya perubahan peta politik baru, yang kita harus jeli bukan menduga siapa aktor baru yang muncul ke depan. Melainkan siapa atau kekuatan kekuatan mana saja yang sedang memainkan peran sebagai katalisator percepatan terjadinya perubahan. Di sinilah tragedi Cicero. Ia tidak memperhitungkan kekuatan kekuatan yang sedang mematangkan percepatan perubahan sehingga tidak membayangkan bahwa pengaruh bisa melahirkan penyebab meski pengaruh dan penyebab tak saling bersinggungan secara langsung. (*)