OPINI
Baru Dua Pegawai Kemenkeu Tersangka Gratifikasi (TPPU), Kapan 489 Lainnya Menyusul?
Oleh Anthony Budiawan - Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) KEPALA Bea Cukai Makassar, Andhi Pramono akhirnya ditetapkan sebagai tersangka gratifikasi oleh KPK. Andhi Pramono merupakan pegawai Kemenkeu kedua yang menjadi tersangka KPK tahun ini. Sebelumnya, Rafael Alun Trisambodo sudah menjadi tersangka gratifikasi, bahkan sudah masuk penjara. https://news.detik.com/berita/d-6721325/kpk-tetapkan-eks-kepala-bea-cukai-makassar-andhi-pramono-tersangka-gratifikasi/amp Setelah jadi tersangka, Andhi Pramono hanya dicopot dari jabatannya sebagai Kepala Bea Cukai Makassar, tetapi, yang bersangkutan tidak diberhentikan sebagai pegawai Kemenkeu. Beda dengan Rafael Alun yang langsung dipecat oleh Sri Mulyani, setelah video penganiayaan David oleh Mario, anak Rafael Alun, terbuka ke publik. Padahal ketika itu Rafael Alun belum jadi tersangka gratifikasi KPK. Menurut PPATK, nama Andhi Pramono, dan juga Rafael Alun, sudah sejak lama masuk dalam daftar PPATK atas dugaan transaksi keuangan mencurigakan yang melibatkan pegawai Kemenkeu, yang totalnya mencapai 491 orang. Oleh karena itu, Kemenkeu seharusnya sudah tahu siapa saja pegawainya yang diduga terlibat dalam pencucian uang, termasuk Andhi Pramono dan Rafael Alun. Tetapi, faktanya tidak ada tindakan apapun dari Kemenkeu kepada pegawainya yang diduga korupsi atau terlibat dalam pencucian uang. Bahkan terkesan, Kemenkeu melindungi pegawainya, dan terjadi pembiaran sehingga dugaan korupsi di lingkungan Kemenkeu ini merajalela, hingga mencapai Rp349 triliun. Oleh karena itu, Kemenkeu tidak bisa dipercaya dapat memberantas dugaan korupsi di lingkungan Kemenkeu. Begitu juga dengan Satgas TPPU yang melibatkan pejabat tinggi Kemenkeu, tidak bisa dipercaya mampu memberantas korupsi dan pencucian uang di lingkungan Kemenkeu. Untuk itu, KPK wajib menindaklanjuti terus dugaan pencucian uang di Kemenkeu, hingga sampai pejabat tertinggi Kemenkeu. Jangan berhenti hanya pada pejabat yang hartanya disorot publik. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20230516202136-12-950497/kpk-buka-peluang-usut-petinggi-kemenkeu-di-kasus-rafael-alun/amp Masih ada 489 pegawai Kemenkeu yang diduga terlibat pencucian uang. Semoga KPK bisa segera mengusut tuntas. Bukan hanya lip service alias omong besar saja. (*)
Menkominfo Johnny Plate Ditahan Kejaksaan Agung, Elit Politik Saling Mempolitisasi
Oleh: Anthony Budiawan - Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) MENJELANG pilpres 2024, turbulensi politik semakin keras. Salah satu sebabnya, Jokowi dituduh mau ikut campur soal pencapresan, untuk melindungi dirinya setelah lengser 2024, sehingga cipta kondisi agar semua capres terdiri dari all the president’s men. Harapan ini hanya ilusi. Presiden yang akan datang pastinya tidak akan mau mengorbankan kehormatannya untuk membela yang salah, apalagi membela kejahatan. Di lain pihak, Anies Baswedan dianggap tidak bisa membela kepentingan rezim yang akan berakhir pada 2024, sehingga harus dijegal dari pencalonan presiden. Upaya penjegalan Anies dapat dilakukan dengan berbagai cara. Bukan satu cara, tetapi berlapis-lapis cara. Misalnya, ada dugaan Anies akan ‘dijadikan’ tersangka korupsi formula-e atau lainnya. Tetapi, cara ini tidak mudah. Perlu alat bukti yang kuat. Kalau hanya mencari-cari kesalahan tanpa alat bukti, sangat sulit dan sangat bahaya. Atau, partai politik pendukung Anies, Nasdem, Demokrat, atau PKS, dibuat mundur, baik “sukarela” atau dipaksa. Cara ini mungkin lebih mudah dari pada menjadikan Anies sebagai tersangka. Sasarannya Nasdem atau Demokrat. PKS sejauh ini aman-aman saja. Dukungan Demokrat kepada Anies bisa digagalkan dengan merebut Demokrat dari AHY. Ini sedang dilakukan Moeldoko, dengan mengajukan peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung. Sasaran tembak ke Nasdem lebih banyak, karena Nasdem menempatkan 3 menteri di kabinet 2019-2024. Yang paling menyolok adalah kasus dugaan korupsi Base Transceiver Station (BTS) 4G dan infrastruktur pendukung paket BAKTI Kominfo di kementerian komunikasi dan informasi (Kominfo). Sebelumnya Kejaksaan Agung sudah menetapkan dan menahan lima tersangka korupsi BTS. Bahkan adik Menteri Kominfo sempat diperiksa, dan mengembalikan sejumlah uang sebagai pengganti fasilitas yang diterima dari Bakti Kominfo. Menteri Kominfo Johnny Plate juga sudah diperiksa tiga kali sebagai saksi. Pada pemeriksaan ketiga, Johnny Plate ditetapkan sebagai tersangka, dan ditahan. Dampak penahanan Johnny Plate menimbulkan banyak tafsir dan saling mempolitisasi. Ada yang menuduh, penahanan ini bersifat politis dan ada unsur kriminalisasi? Artinya, Johnny Plate tidak bersalah tetapi dijadikan tersangka? Kalau ini terjadi, Jaksa Agung sama saja melakukan bunuh diri. Sepertinya, Jaksa Agung tidak punya nyali seberani itu, menetapkan tersangka terhadap menteri dan politisi high profile, tanpa ada bukti kuat. Seperti juga KPK tidak terlalu berani mentersangkakan Anies dalam kasus formula-e. Selain itu, penyelidikan kasus BTS sudah dimulai sejak 18 Juli 2022, jauh sebelum Nasdem menunjuk Anies Baswedan sebagai calon presiden 2024 pada 3 Oktober 2022. https://www.republika.id/posts/33113/jampidsus-temukan-tindak-pidana-pada-proyek-bts-4g Kejaksaan Agung menaikkan status penyelidikan menjadi penyidikan pada 2 November 2022, setelah mengumpulkan sejumlah alat bukti dan memeriksa 60 saksi, serta menggeledah sejumlah perusahaan. https://nasional.tempo.co/amp/1652441/status-kasus-korupsi-bts-kominfo-naik-ke-penyidikan Komentar Ahmad Sahroni, kader Nasdem, cukup bijaksana dalam menanggapi kasus ini. Ahmad Sahroni menduga semua ini semata permasalahan hukum. https://www.tvonenews.com/amp/berita/123011-sekjennya-jadi-tersangka-korupsi-bts-kominfo-nasdem-yakin-bukan-karena-politis-tapi?page=1 Kemudian, kalau Johnny Plate memang terlibat korupsi, maka wajar kalau yang bersangkutan menjadi tersangka dan ditahan. Meskipun mungkin, dan sekali lagi mungkin, menjadi “korban” tebang pilih. Itu tidak penting lagi. Kalau fakta hukumnya seperti itu, kalau Johnny Plate bersalah dalam kasus dugaan korupsi, seharusnya Surya Paloh belajar dari Prabowo ketika Eddy Prabowo, menteri KKP, ditangkap KPK. Atau juga belajar dari Megawati ketika Juliari Batubara, menteri sosial, ditangkap KPK. Keduanya cukup tenang menghadapi permasalahan hukum kadernya, tidak “mempolitisasi” penangkapan tersebut. Sangat bisa dipahami kalau Surya Paloh minta kasus dugaan korupsi di semua kementerian diusut tuntas. Pertanyaannya, kenapa baru sekarang bersuara? Sedangkan rakyat sudah lama berteriak agar korupsi yang semakin merajalela, diusut tuntas. Antara lain, kasus impor garam yang sudah ada tiga tersangka dari pejabat kementerian perindustrian. Atau dugaan tindak pidana pencucian uang sebesar Rp349 triliun di Kemenkeu. Atau kasus Kereta Cepat Jakarta Bandung, kasus PCR, kasus kartu Prakerja, dan masih banyak lainnya. Rakyat sudah berteriak ketika Nasdem masih menjadi partai pendukung pemerintah yang sangat loyal, termasuk mendukung revisi UU yang melemahkan KPK. Akibatnya, indeks persepsi korupsi anjlok dari skor 40 (2019) menjadi 34 (2022), dan jumlah rakyat miskin meningkat. Lebih elegan kalau Nasdem bersikap lebih ksatria. Misalnya, menuntut Kejaksaan Agung bertindak adil dan transparan dalam menangani kasus ini, sambil menegaskan Nasdem tetap independen dalam pencapresan, tidak bisa didikte meskipun langit runtuh, dan tetap mencalonkan Anies Baswedan sebagai calon presiden 2024. Pernyataan seperti itu akan mengundang simpati rakyat dan khususnya pendukung Anies. Jangan sampai ada persepsi, faktor (pencalonan) Anies dijadikan alasan untuk membela korupsi. (*)
Lonceng Kematian Moral
Oleh Ubedilah Badrun - Analis Sosial Politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ). JIKA politik hanya sekedar soal berebut kekuasaan dan perebutan kekayaan maka wajah negara akan berada pada titik nadir kehancuran. Sebab pada titik itu moralitas tidak lagi menjadi panduan dalam mengelola negara, tetapi kepentingan pragmatis transaksional yang akan memandu jalanya kekuasaan. Ketika kepentingan pragmatis transaksional memandu kekuasaan maka pintu kehancuran sesungguhnya telah dibuka. Pelan tetapi pasti kehancuran kekuasaan bahkan kehancuran peradaban sebuah bangsa kemungkinan besar akan terjadi. Sebab disitu ada pengabaian terhadap kepentingan rakyat banyak, ada semacam penghianatan terhadap kepentingan nasional (national interest). Bukankah dalam sejarah peradaban umat manusia, timbul tenggelamnya kekuasaan sangat ditentukan oleh seberapa kuat para penguasa masih memiliki pegangan moral dalam praktek kekuasaanya. Ketika moralitas dicampakan, kehancuran kekuasaan secara empirik dan historis terjadi. Kisah Firaun pada abad ke 13 Sebelum Masehi hingga kisah Adolf Hitler dan Marcos pada pertengahan dan jelang akhir abad 20 Masehi adalah pelajaran berharga tentang kehancuran kekuasaan akibat hilangnya moralitas dalam kekuasaan. Thomas Lickona dalam Educating for Character (1992) mengingatkan tanda perilaku manusia yang menunjukan arah kehancuran suatu bangsa, diantaranya adalah hilangnya kejujuran dan kaburnya panduan moral dalam hidup berbangsa dan bernegara. Elit politik maupun warga mengabaikan panduan moral dalam bernegara. Elit seolah bebas melakukan tindakan amoral apapun dan warganya cuek tak peduli pada perilaku amoral elit politiknya. Negara pada akhirnya terjebak dalam masalah besar. Moral hakekatnya merupakan ajaran tentang perilaku baik dan buruk yang berperan sebagai panduan bertindak manusia (Magnis Suseno, Etika Dasar, 1987). Moral sesungguhnya hal universal yang melekat pada nurani manusia yang memandu pilihan mana yang disebut baik dan mana yang disebut buruk. Secara etimologis Moral berasal dari bahasa latin yaitu mores yang berarti kebiasaan baik yang dipandu oleh nurani. Menjadi pembimbing tingkah laku dalam hidup. Pertanyaanya kemudian apa kabar moralitas dalam praktek kekuasaan di Indonesia saat ini? Dalam Kematian Moral Wajah kekuasaan di Indonesia saat ini jika dicermati setidaknya ada tiga yang tepat untuk disematkan sebagai representasi yang dapat diurai secara teoritik, yaitu wajah oligarchy, otocratic legalism, dan kleptocracy. Wajah oligarchy terlihat ketika kekuasaan dijalankan oleh kelompok kecil yang dengan pengaruhnya hanya bertujuan untuk mengeruk kekayaan dan mempertahankan kekayaan. Oleh Jeffrey Winters dalam bukunya Oligarchy (2011) disebut sebagai wealth defense, suatu politik pertahanan kekayaan yang dengan pengaruhnya melalui berbagai cara mengendalikan kekuasaan untuk kepentingan kekayaanya. Wajah autocratic legalism terjadi ketika kekuasaan memproduksi undang-undang yang dijadikan alat legitimasi praktek kekuasaan yang lebih ototiter. Penguasa melakukan perubahan-perubahan konstitusional dan atau undang-undang untuk kepentingan agenda yang tidak demokratis. (Kim Scheppele,2018). Wajah Kleptocracy oleh Stanislav Andreski dalam Kleptocracy or Corruption as a System of Government (1968), menegaskan ada semacam peran penguasa atau pejabat tinggi yang tujuan utamanya adalah menumpuk kekayaan pribadi. Mereka memiliki kekuatan untuk memperoleh kekayaan pribadi tersebut sambil memegang jabatan publik. Rizal Ramli pernah menyebut fenomena itu sebagai Pengpeng atau penguasa sekaligus pengusaha (20216). Wajah oligarchy, autocratic legalism dan kleptocracy adalah wajah kekuasaan yang nihil moralitas. Tidak ada pertimbangan-pertimbangan moral sama sekali dalam tiga praktek kekuasan tersebut. Ada semacam kematian moral. Nuraninya tidak sensitif pada kebaikan, keadilan dan kemanusiaan. Di negeri dengan tiga wajah kekuasaan yang mengabaikan moralitas itu dengan vulgar membuat kebijakan yang hanya menguntungkan dirinya atau kelompoknya atau keluarganya. Misalnya ada orang istana mendorong perusahaan negara untuk membeli saham sebuah perusahaan milik kakaknya yang secara akumulatif angkanya Triliunan rupiah. Lalu setelah dibeli harga saham perusahaan tersebut melorot terus, sehingga perusahaan negara rugi besar triliunan rupiah. Di atas kerugian itu perusahaan swastanya justru menuai untung besar triliunan rupiah dengan cara menggunakan uang negara tersebut. Ada semacam abouse of power. Suatu praktek penyelenggara negara yang mengabaikan moralitas. Ada juga kebijakan subsidi motor atau mobil listrik yang menguntungkan pengusaha, bukan rakyat. Ternyata diketahui bahwa pemilik perusahaan motor listriknya adalah orang istana dan ketua asosiasi atau Perkumpulan Industri Kendaraan Listriknya adalah orang istana juga. Ini betul-betul parah secara moral politik. Semakin parah perilaku tak bermoral dari lapisan elit kekuasaan ini ketika kita melihat praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) semakin merajalela. Anak, istri, menantu, ponakan, kakak, adik dan keluarga sang elit politik tak malu-malu berduyun-duyun ditarik dalam barisan kekuasaan ketika elit politik tersebut sedang berkuasa. Itu terjadi baik di legislatif maupun eksekutif. Parahnya itu dilakukan juga oleh elit politik yang berada paling puncak di republik ini. Di saat yang sama korupsi terjadi dimana-mana, merajalela. Indeks korupsi rezim ini anjlok hingga berada pada skor 34 dalam skala 0 sampai 100. Skor yang sangat rendah, kalah dari Timur Leste, Vietnam, Thailand , Malaysia dan Singapura. Data KPK menunjukan 60 % koruptor adalah politisi. Parahnya hanya di republik ini mantan koruptor boleh jadi anggota DPR lagi karena Undang - Undangnya membolehkan. Maka tidak heran mantan koruptor lantang berkhutbah tentang moralitas. Tindak Pidana Pencucian uang (TPPU) ternyata juga parah terjadi di republik ini. Tidak tanggung-tanggung skandal TPPU itu angkanya mencapai Rp.349 Triliun. Aparat penegak hukum juga terlibat dalam berbagai kejahatan, suatu keadaan yang sangat menyedihkan karena imoralitas merasuki di hampir semua lini entitas. Dalam tradisi etika klasik Yunani Kuno, era Aristoteles (350 SM) meyakini bahwa nalar dapat menggerakkan tindakan moral. Pengetahuan tentang yang baik dan buruk mendorong manusia untuk membiasakan diri melaksanakan apa yang baik dan menghindari hal-hal yang buruk. Maknanya, nalar manusia seharusnya mampu menggerakan tindakan moral. Jika realitas elit republik ini moralitasnya telah begitu rusak, berarti memang mungkin ada benarnya jika disebut elit bangsa ini kini telah berubah menjadi kumpulan para binatang. Sebab pembeda antara manusia dengan binatang adalah pada nalar rasionalnya. Moral republik ini betul-betul semakin rusak. Dengungan keras Lonceng kematian moral telah berbunyi ! Lalu apakah kita semua terus membiarkan ini terjadi? (*)
PD (Tinggi) IP (Rendah)!
Oleh: Natalius Pigai - Kritikus, Aktivis HAM “Anda tidak akan menjadi apa-apa, penganggur, jatuh miskin dan akan menderita karena oposisi terhadap kami pemerintah Jokowi”. PESAN seorang kader Partai Penguasa, orang dekat Joko Widodo di lingkaran Istana Negara pada Medio 2017. Membaca teks secara tersirat menyatakan bahwa negara menjamin Harta, Tata, Wanita/Pria dan hidup dan kehidupan. Suatu cara pandang filosofi Jawa dalam relasi feodalisme antara Raja dan Abdi Dalem yang disebut “Manunggaling Kawulo Gusti”. Pemerintahan kepemimpinan Presiden Jokowi dan sudah berlangsung hampir 9 tahun lebih lamanya. Apa yang dipikirkan, diucapkan, dituliskan dan dilakukan oleh pemerintah selama ini telah dinilai secara paripurna. Mengikuti beriring waktu apa yang dipertontonkan pemerintah. Ibarat panggung sandiwara juga bagai permainan yang membosankan. Oposisi bertahan pada kritikan-kritikan yang tajam dan menohok, sementara partisan defensif. Karena itu tahun yang ke 9 ini tulisan ini difokuskan untuk menilai para pendukung pemerintah Kepemimpinan Jokowi yang saya beri nama Jokowier. Siapa saja yang dimaksud dengan Jokowier? Jokowier di sini saya batasi pada Pejabat Pemerintah yang mengklaim diri orang-orang lingkaran dalam (iner sircle) Jokowi, Kerabat Penguasa, Pendukung Pemerintah baik Tim Sukses, Relawan. Namun tentu saja semua penjelasan berikut berbasis pada fakta peristiwa telah disuguhkan oleh media sebagai jendela bangsa. Ada yang terbukti, masih dalam proses hukum dan ada yang masih bersifat praduga tidak bersalah. Tidak terasa Pemerintah Jokowi telah menelan waktu 9 tahun berlalu. Sembilan tahun itu pula Jokow(i)er, Para Penguasa, Jokopedia, Seknas, Bara JP, Partai Pendukung dan simpatisan berkoar koar memuja-muji Pemerintah saban hari tanpa henti. Tanpa lelah dan tanpa bosan beriring bersama lapuknya waktu. Anda katakan pemerintahan Jokowi anti korupsi, anti kolusi dan anti nepotisme. Pemerintah memberantas mafia, kartel, Pemerintah menepati janji. Pemerintah tidak langgar HAM, komitmen pada rakyat, konsisten, demokratis, bermoral, menghormati kebebasan ekspresi. Semua kata-kata memang enak didengar dan itu adalah kesimpulan, tentu saja dihormatinya. Namun perlu dipertanyakan bagaimana bisa memberantas para oligarki (mafia ekonomi dan kartel dagang) yang menempatkan seorang Wali Kota ke Gubernur dan Presiden. Dalam waktu kurang dari 3 tahun, orbit bak meteor ditengah-tengah pemilihan berbiaya trilyunan. Kalau tidak dibekingi oleh kaum oligarki ekonomi maupun para mafia di negeri ini? Bagaimana kita bisa memastikan pemerintah ini bersih anti Kolusi, Korupsi dan Nepotisme. Sedangkan BUMN dijadikan alat banjakan puluhan orang penganggur jalanan dan Job seeker ditampung sebagai pemimpin perusahaan berplat merah? Sedangkan Ahok sempat keluarkan jurus jitu adanya sokongan para taipan dalam pemilihan Presiden. Udar Pristono diduga dibungkam. Sumber Waras sumber masalah tersimpan bara bahkan anak anak Jokowi dijadikan Wali Kota disaat Bapaknya penguasa negeri ini. Freeport tadinya Jokowi tolak bak seorang nasionalis tulen, namun akhirnya tunduk dan bertekuk lutut pada simbol imperialisme Amerika. Dengan mempermudah ijin eksport konsentrat dan menyetujui kontrak karya meski menentang amanat undang-undang minerba. Belum lagi 66 janji Presiden dihadapan rakyat Indonesia seperti membeli kembali Indosat, tidak Import pangan. Tidak utang luar negeri, menyelesaikan persoalan HAM dan lain sebagainya dan lain sebagainya. Semua riak di negeri ini bersumber dari untaian kata-kata manis yang keluar dari pemimpin negeri ini. Dalam pemerintahan ini, kita telah sedang menyaksikan (sambil ketawa) sandiwara murahan pemerintaha. Antar institusi negara dibentrokan, hukuman mati, penenggelaman sampan-sampan murahan. Negeri maritim yang paceklik, hukum Jahiliah kebiri, kapitalisasi politik laut Cina selatan yg suhu politiknya tidak pernah besar. Dan tidak akan pernah besar. Dengan pura pura dan menipu rakyat dengan mengobarkan semangat nasionalisme diatas geladak kapal perang Republik Indonesia pembelian rakyat kecil (wong cilik). Penipuan murahan dan omong kosong dan membantai terhadap orang-orang telanjang di Papua. Dengan mengatakan akan bangun rel kereta api di Papua, jalan tol melintasi tebing-tebing terjal. Selama 9 tahun, Pemimpin di negeri ini hadir tanpa perasaan, tanpa peduli terhadap kaum marjinal, orang-orang miskin. Pundi-pundi orang kaya tumbuh 10% / tahun. Pengusaha hanya tumbuh 3%. Orang miskin hanya turun 1 digit. Rangking IPM dunia bangsa ini turun 8 tingkat dari 108 di tahun 2014 dan 116 di tahun 2022, Ironi ditengah negara telah habiskan uang rakyat 20 ribu trilyun selama 9 tahun APBN. Akhirnya juga saya mengukur moralitas pemimpin dengan hanya dilihat dari Mobil ESEMKA bikinan Solo. Yang mendobrak citra seorang Wali Kota hingga menjadi presiden, orang nomor 1 Republik ini. Hari ini, ESEMKA tidak bisa diproduksi jadi mobil buatan domestik seperti Proton di Malaysia dan Mobil Nasional jaman Suharto. Meskipun konon katanya masih diperdebatkan atas kebenaran akan diproduksinya. Padahal Jokowi janjikan proyek ini tidak pernah kunjung usai sampai apa tahun yang ke-3. Dalam politik transaksional, bagaimana berkoalisi ke Pemerintahan. Selain tawaran menteri juga dugaan pembagian proyek triliunan rupiah. Bukankah pembangunan infrastruktur , jalan, jembatan dan lain-lain yang membutuhkan triliunan rupiah itu. Presiden menggunakan otoritas melalui kontraktor Pemerintah. Kemudian dengan diam-diam menggandeng kontraktor swasta dengan penunjukan langsung?. Memang berkuasa itu enak. Mumpung berkuasa, aji mumpung dan Itulah kekuasaan. Dengan berkuasa, secara leluasa bernafsu memanfaatkan kekuasaan untuk dirinya, sanak saudaranya, koleganya dan masa depan kariernya. Ada benarnya jika seorang Inggris, Lord Acton menyatakan bahwa kekuasaan cederung korup dan mau melakukan korupsi secara mutlak (power tends to korups, and will corupts absolutely). Karena itu kecenderungan pemimpin negeri ini berharap pada negara, pejabat dan sanak saudara. Berdagang pengaruh kekuasaan dan jabatan (trading in influences). Sebuah tindakan amoralitas yang berlangsung sejak Jaman (hukum hamurabi) babilonia, korupsi, kolusi dan nepotis. Seperti lazimnya negara berpolitik dan birokrasi patrimonial di negeri republik, egalitarian, rational dan democratis. Namun saya menghormati bangsa ini yang masyarakat masih anonim dalam politik. Sebagaimana Pengamat Politik berkebangsaan Australia Herber Feith pernah sampaikan. Kondisi pemilih tahun 1955 dan saat ini hanya terjadi perubahan pemerintahan dan politik. Sementara mayoritas masyarakat masih stagnan dan belum melek politik. Sehingga timbul kelompok solidaritas nekat, solidaritas buta, militan dan cenderung fanatis. Mereka tidak mengerti bahwa negeri mereka sedang dijarah dan rampok. Apapun argumentasinya, negara ini telah berbaik hati pada penguasa dan pendukung. Hidup bersedekah dari negara seperti rakyat dinegeri feodal berhadap rezeki berberkah ratu pandito raja. Memalukan!. Karena itu jangan pernah berpidato mengutif kata-kata kepahlawanan John F Kenedy. Yaitu jangan bertanya apa yang diberikan oleh negara tetapi bertanya apa yang Engkau berikan kepada Negara. Bulshit, omong Kosong. Tetap saja; Manunggaling Kawulo Gusti! Mereka yang hidup Manunggaling Kawulo Gusti tersebut yang sangat nampak saat ini. Adalah kelompok pendukung Jokowi, pendukung Ahok, pendukung Mega, pendukung Luhut, hampir semua pendukung penguasa. Para punggawa politik mereka oleh para pendukung menganggap sebagai titisan dewa. Kata-kata dan perbuatan tokoh-tokoh tersebut benar semua dihadapkan pendukung fanatik ini. Bahkan kata-kata dan nasehat atau perintah mereka dianggap tita dewa, Devine Right of the King, seperti yang pernah praktekkan oleh raja Jhon di Inggris abad ke 15 pada masa monarki absolut. Sekali lagi itulah perwujudan nyata dari apa yang disebut Manunggaling Kawulo Gusti. Semoga Jokower pendukung Jokowi tidak demikian. Sehingga orang-orang terdidik, komunitas masyarakat sipil harus membangun bangsa Madani yang Kritis dan rasional, Imparsial, objektif. Untuk menempatkan dan memilih pemimpin berdasarkan rasionalitas, akal yang sehat. Bukan atas dasar tahayul, fanatisme agama, suku, ras antar golongan. Kita sudah terlalu lama hidup di dalam kungkungan kebohongan dan terpolarisasi berdasarkan fragmentasi elit bangsa. Tidak berdasarkan fragmentasi ideologi. Jutaan rakyat menjadi nasionalis abangan pengikut seorang oknum Individu. Saya katakan bangsa bodoh saja yang menempatkan nasionalisme personifikasi oknum individu, bukan nasionalisme cinta tanah air dan bangsa. Pemimpin mesti memimpin secara rasional agar tiap warga negara hidup berkreasi dan kompetisi. Sangat ironis bahwa Kelompok yang mengaku priyayi dan abangan tidak memiliki doktrin ideologi. Ideologi mereka hanya kekuasaan, mereka tidak punya harapan dan cita-cita untuk bumi putera. Karena mereka hamba sahaja kolonial sebagai pemungut cukai. Lain dengan kelompok santri yang jatuh bangun berjuang membebaskan negeri. Semua pahlawan yang merintis lahirnya negeri ini adalah pahlawan kaum bersorban. Sudah 9’tahun memimpin negeri ini, berbagai sandiwara dipertontonkan para Jokowier. Mereka mengklaim diri sebagai pemilik kekuasaan, mampu mengontrol otoritas negara, orang dekat kekuasaan. Pola pikir ponga dan bedebah yang dipertontonkan ke publik sebagai pedagang pengaruh (Trading in influences). Bayangkan berbagai kasus suap dan korupsi yang merusak bangsa ini. Sebagian besar di lakukan karena memanfaatkan atau memperdagangkan pengaruh. Menjual nama pejabat, kedekatan dengan pejabat dan bahkan sanak saudaranya. Disaat yang sama selama 9!tahun juga menyerang para oposisi secara babi buta tanpa perasaan, tanpa berperikemanusiaan. Menyerang oposisi dengan berbagai kata-kata rendahan berbagai bentuk kekerasan verbal. Penyebutan monyet dan gorila oleh Jokowier kepada lawan politik, suatu tindakan yang relevan hanya dilakukan Simbol manusia tidak bernilai dan berbudaya karena cenderung diskriminatif dan rasialis. Demikian pula ancaman labilitas intergradasi vertikal dan horisontal yaitu antara negara dan rakyat dan rakyat dan rakyat selama ini, khususnya sebagaimana dialami oleh umat islam sungguh menyakitkan di negeri Pancasila yang beragama mayoritas muslim. Penyerangan, penganiayaan, pelarangan dan diskriminasi terhadap para ulama, kyai, ustad, habaib telah menyatakan secara lancang tentang adanya islamophobia di negeri ini. Hal ini merusak tatanan dan nilai agama yang dianut oleh mayoritas rakyat Indonesia. Berbagai kebijakan dan tindakan pendukung Jokowier lebih mencerminkan pemanfaatan kekuasaan, jabatan dan uang hanya untuk melanggengkan kekuasan dengan cara machiavelian sekalipun. Pertimbangan utamanya adalah karena para Jokowier tidak mau terusik dari zona nyaman mereka. Jokowier, rakyat ini sudah lama menderita, seandainya negara dan rakyat ibarat bersuami dan istri sejak jaman pancarobah 6 tahun lalu, mereka sudah kasih talak 3 ke nagara. Apakah kita tahu bahwa rakyat yang hidup di pelosok nusantara ini hidup dan berpengaruh dengan adanya negara? Mereka hidup dari hasil usahanya, ketergantungan kepada alam, hidup sangat autarkis, taken for granted anugerah Ilahi. Dengan sumber daya alam yang melimpa ruah di bumi nusantara, tanpa sentuhan negara bisa hidup. Bahkan lebih aman. Mereka tidak paham Presiden operasi pasar harga daging sapi turun sampai 80 ribu. Mereka tidak tahu operasi pasar untuk turunkan harga pangan, sandang dan papan. Mereka juga tidak paham berbagai kebijakan dan regulasi tetek bengek yang dibuat oleh negara, Mereka juga tidak tahu segala kebijakan pembangunan infrastruktur jalan-jalan bertingkat, jembatan tanpa sungai, dan juga gedung-gedung pencakar langit yg menjulang. Jutaan rakyat di bumi pertiwi ini hidup bisu, tuli cenderung sebagai orang-orang tidak bersuara. Nun jauh dari hirup pikuk modern yang hanya berkutat di Jakarta, Jawa dan kota-kota tertentu. Memang power tens to corupts, semua ini akibat kita rakus berkuasa. Kekuasaan memang penting. Namun kita lalai distribusi kekuasaan bagi putra putri di seluruh nusantara. Bagaimana mungkin Presiden selalu Jawa, menteri-menteri mayoritas selalu Jawa, lantas bisa distribusi kekuasaan. Orang Ambon sudah lama menderita, 50 tahun tidak pernah menjadi menteri, meskipun Leimena pernah menjadi wakil perdana menteri. Orang Dayak pemilik pulau terbesar kedua setelah Greenland. Sampai hari ini belum ada yang menjadi menteri. Walaupun orang Dayak di Malaysia sering menjadi menteri. Sejak Indonesia merdeka sampai saat ini, orang Buton di Sulawesi Tenggara belum pernah di kasih kesempatan. Meskipun saudara-saudara kita, Laode-Laode banyak orang hebat di negeri ini. Orang Papua jadi pemberontak dulu baru dikasih menteri. Padahal bangsa Papua adalah bangsa pemberi bukan bangsa pengemis. Jong Ambon, Celebes, Borneo dan Andalas bersatu bukan tanpa cek kosong. Mereka memberi dengan cek berisi sumber daya alam yang melimpah. Selain distribusi kekuasaan, ada aspek yang paling penting adalah distribusi pembangunan. Sangat tidak adil dan cenderung diskriminatif. Ketika pulau Jawa dan Sumatera konektivitas antar daerah baik darat, udara dan laut terbangun rapi. Sementara di seberang sana, Kalimantan, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua pembanguan jalan Trans yang dibangun saat ibu kandung saya masih kecil, sampai saat ini belum pernah selesai. Bukan berita hoax, pembangunan jalan Trans Papua dibangun tahun 1970. Ibu saya usia 15 tahun, sampai hari ini tidak ada jalan Trans Papua yang terbangun secara baik. Boleh saja percaya diri berlagak pemilik kuasa dengan Percaya Diri (PD tinggi), sementara Indeks Prestasinya (IP) rendah. Tetapi hidup manunggaling kawulo gusti. Perilaku yang memalukan karena negeri ini bukan monarki. Juga bukan oligarky, yang kekuasaan hanya berpusat pada raja dan sekelompok orang. Negeri ini REPUBLIK INDONESIA. Negeri milik bersama. Di mana kekuasaan berpusat pada rakyat Indonesia dan mereka yang mengelola hanya diberi kedaulatan oleh rakyat ( Summa Potestas, sive summum, sive imperium dominium). Karena itu esensi dari negara demokrasi. Maka satu-satunya cara untuk memperbaiki bangsa ini adalah distribusi keadilan (distribution of justice). Melalui distribusi kekuasaan ( distribution of power) dan distribusi pembangunan ( distribution of development) di seluruh Indonesia. Dan itu hanya bisa dilakukan melalui pemimpin yang dipilih secara rasional dan masyarakat Madani yang kritis tanpa pendukung fanatis, militan dan cenderung destruktif dan tahayul. (*)
Memahami Pertikaian Jokowi - Surya Paloh
Oleh Smith Alhadar - Penasihat Institute for Democracy Education (IDe) KORUPTOR memang harus dihukum. Hatta besok langit akan runtuh. Koruptor adalah musuh semua: Tuhan, rakyat, bangsa, dan negara. Kemarin, 17 Mei, Kejaksaan Agung menahan Menkominfo Johnny G Plate dari Nasdem terkait kasus korupsi proyek BTS Kominfo yang merugikan negara hingga Rp 8 triliun. Sementara, pada 2022, Johnny tercatat memiliki kekayaan Rp 192 miliar. Lepas dari apakah Johnny korupsi atau tidak, kasusnya tak bisa dilepaskan dari isu pilpres. Jokowi kecewa berat atas sikap Ketum Nasdem Surya Paloh mengusung Anies Baswedan sebagai bakal capres partainya. Dukungan Nasdem, yang diikuti PKS dan Demokrat, memungkinkan Anies menjadi salah satu bacapres yang akan bersaing di pilpres 2024. Ternyata, hal yang terlihat normal ini, dipandang Jokowi sebagai pembangkangan Paloh terhadap otoritasnya. Otoritas apa? Jokowi menganggap pilpres sebagai mainan di bawah wewenangnya. Memang sebagi partai pendukung pemerintah, Nasdem diberi 3 kursi menteri. Tapi melalui media miliknya -- koran Media Indonesia dan Metro Tv -- kontribusi Paloh bagi kemenangan Jokowi dalam dua pilpres terakhir sangat besar. Kendati mandatnya sebagai presiden akan tuntas tahun depan karena itu Nasdem berikhtiar mencari calon pengganti Jokowi yang dipandang sesuai kebutuhan bangsa saat ini -- Jokowi tak bisa menerimanya. Di mata Jokowi, Anies adalah antitesanya. Karena itu diduga ia tak bakal melanjutkan legacy dan program pembangunan Jokowi. Salahnya di mana? Di mana-mana di negara demokrasi, pilpres bertujuan menghadirkan pemimpin baru. Tentunya dengan gagasan-gagasan baru juga. Pilpres berangkat dari kesadaran bahwa tatanan sosial, aspirasi rakyat, dan tantangan internal serta eksternal negara senantiasa berubah, sehingga diperlukan pemimpin baru yang sesuai dengan setting sosial dan politik baru. Selain untuk memungkinkan terjadi sirkulasi pemimpin secara teratur, pilpres juga membuka peluang bagi terjadinya koreksi terhadap kebijakan pemerintahan sebelumnya. Maka, menjadi aneh manakala Jokowi menentang premis ini. Ia ingin penggantinya secara 100% melanjutkan legacy dan program pembangunannya. Kalau saja legacy-nya bisa dipertanggungjwbkan secara moral dan saintifik serta program pembangunannya terbukti berhasil, mungkin ada rasionalitas dan moralitas di situ untuk dilanjutkan penggantinya. Masalahnya, legacy Jokowi membahayakan negara dan menyengsarakan rakyat. Sebut saja isu IKN yang tidak layak dan tidak realistik untuk diwujudkan. Proyek ini menyita APBN yang cukup besar di tengah kemiskinan rakyat yang meluas. Tadinya, Jokowi berjanji IKN akan sepenuhnya didanai swasta. Faktanya, hingga hari ini tak ada investor yg tertarik untuk berinvestasi di sana meskipun pemerintah menawarkan sejumlah fasilitas menggiurkan bg mereka. Kenyataan ini secara eksplisit menegaskan bhw proyek ini berpotensi mangkrak. Apalagi dilakukan tanpa studi kelayakan dan amdal yg diperlukan. Legacy lain Jokowi yang bermasalah adalah sejumlah Omnibus Law, seperti UU Cipta Kerja, UU Minerba, dan UU Kesehatan, yang kesemuanya berpihak pd kepentingan oligarki. Belum lagi isu korupsi dan sejumlah proyek infrastruktur yang tak operasional. Program pembangunannya juga tak layak untuk ditiru karena hampir semuanya tak mencapai sasaran. Rata-rata pertumbuhan ekonomi era Jokowi hanya tumbuh 4%. Itu pun yang menikmati adalah oligarki. Sebaliknya, rakyat bertambah miskin. Di tengah kemerosotan daya beli masyarakat, pemerintah membebani mereka dengan berbagai pajak untuk menutupi APBN yang jebol dan bayar utang. Lalu, legacy dan program pembangunan mana yang perlu dilanjutkan? Sebenarnya masih bnyak yang perlu ditulis untuk menggambarkan kegagalan pemerintah, namun ruang untuk itu terbatas untuk diungkap. Maka, atas dasar pikiran dan moralitas apa yang dapat menjustifikasi keinginan Jokowi agar penggantinya meneruskan legacy dan program pembangunannya? Apakah bakal cawapres sedemikian bodohnya sehingga tak dapat memajukan bangsa kalau tidak menjiplak semua yang datang dari pemerintahan sebelumnya? Hal-hal yang mungkin menjadi alasan Jokowi berpihak pada bakal capres yang sesuai dengan seleranya adalah, pertama, ia menganggap legacy dan program pembangunannya berhasil sehingga perlu dilanjutkan tanpa perlu dipertanyakan. Aneh bkn? Kedua, sesungguhnya ia menyadari banyak legacy-nya yang bermasalah terkait korupsi, konstitusi, demokrasi, kebebasan dan HAM. Karena ia diduga memperalat lembaga hukum untuk meraih tujuan politiknya, otomatis ia berprasangka presiden penggantinya berpotensi melakukan hal yanf sama, yang dapat membawanya ke meja hijau. Ketiga, ia ditekan oligarki -- mungkin juga oleh Cina -- untuk menyingkirkan Anies Baswedan. Memang hrs diakui Anies dilihat sebagai bakal capres yang berbahaya bagi kepentingan mereka. Ia punya rekam jejak dalam soal ini. Sebagaimana kita ketahui, Anies menghentikan 13 pulau reklamasi milik oligarki bernilai Rp 500 triliun. Yang juga mengagetkan mereka, ia tak mempan dirayu, ditekan, diancam, dan disogok untuk meloloskan proyek itu. Sikap Jokowi yang pro-oligarki bukan lagi rahasia. Secara kasat mata hal itu dapat dilihat pada kebijakan-kebijakan dan produk-produk Omnibus Law. Keempat, Jokowi ingin mengakhiri mandatnya dengan jaminan keamanan bagi keluarganya, terutama bisnis dan karier politik anak-anak dan menantunya. Tahun lalu, Ubedillah Badrun, dosen UNJ, melaporkan anak-anak Jokowi ke KPK terkait dugaan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Terkait politik, Gibran Rakabuming kini adalah Walikota Solo yang berambisi menjadi presiden seperti bapaknya. Putera Jokowi yang lain, Kaesang Pangarep, diplot menjadi Walikota Depok pada pemilu mendatang. Menantunya, Bobby Nasution, adalah Walikota Medan yang tentunya punya keinginan untuk menduduki jabatan lebih tinggi lagi. Tapi bisnis dan karier politik keluarga Jokowi sangat sulit untuk berkembang -- bahkan mungkin dipermasalahkan presiden pengganti -- tanpa kerja sama dan dukungan oligarki. Dalam konteks ini, Anies tak dpt diharapkan mendukung kepentingan keluarga Jokowi. Dari persprktif inilah kita bisa memahami ketakutan Jokowi pada Anies. Sementara, Surya Paloh melihat Anies dari perspektif yang berbeda. Pertama, ia prihatin melihat perpecahan masyarakat sejak 2014 karena perbedaan pilihan politik. Anies, ijka dipasangkan dengan bakal cawapres dukungan Jokowi, akan menyatukan kembali masyarakat. Ini penting agar pemerintah lebih produktif dalam menjalankan pembangunan. Juga untuk membuat kebijakan luar negeri yang lebih berdaya. Kedua, Anies adalah tokoh muda bangsa yg cemerlang. Hal itu dapat dilihat dari kinerja dan rekam jejaknya ketika memimpin Jakarta. Di bawah kepemimpinannya, bukan hanya tercipta harmoni sosial, tapi juga ia mampu menyulap Jakarta menjadi kota modern yang nyaman bagi semua lapisan sosial. Ketiga, Anies disambut komunitas internasional karena integritas, kapasitas intelektual, dan komitmennya yang kuat pada sistem demokrasi. Hal ini penting ketika Indonesia harus bekerja sama dengan dunia global untuk mengakselerasi tujuan-tujuan nasional yang ingin dicapai. Memang di era globalisasi, kebijakan luar negeri yang efektif dapat berkontribusi signifikan bagi kepentingan nasional. Apalagi, legacy yang akan ditinggalkan Jokowi banyak masalahnya. Sayang, Jokowi tidak bisa menerima alasan rasional apapun terkait pencapresan Anies. Ditahannya Johnny G Plate sebagai tersangka tindak pidana korupsi sesungguhnya bertujuan ganda. Pertama, ia peringatkan Nasdem akan bahaya yang mungkin dihadapinya. Kedua, ia memperingatkan semua pihak terkait untuk tidak coba-coba bersentuhan dengan Anies. Dengan demikian, lebih mudah bagi Jokowi untuk mengatur koalisi parpol dengan bakal capres yang diinginkan. Pertikaian Ketum Golkar Airlangga Hartarto dan Ketum PKB Muhaimin Iskandar terkait posisi bakal cawapres bagi Prabowo akan mudah diselesaikan. Toh, kedua tokoh ini merupakan pasien rawat jalan. Penahanan Johnny juga merupakan peringatan kepada Ketum PDI-P Megawati Soekarnoputri untuk tidak bermanuver untuk membuyarkan skenario Jokowi. Toh, Ganjar Pranowo yang telah dicapreskan PDI-P merupakan pasien rawat jalan juga Jokowi bisa mencelakakan PDI-P bila tiba-tiba ia memerintahkan KPK mempersangkakan Ganjar dalam tipikor e-KTP. Terkait perselisihan dengan Paloh, tampak Jokowi agak ceroboh. Sejauh ini Paloh masih berkomitmen mendukung pemerintahan Jokowi dan tidak mempermasalahkan penahanan kadernya meskipun ini bisa berpengaruh pada perolehan suara Nasdem dalam pemilu serentak mendatang. Namun, kalau tuduhan terhadap Johnny tak terbukti dan Jokowi melangkah lebih jauh untuk menghancurkan Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP) yang mengusung Anies, hal itu sangat mungkin akan merugikan Jokowi. Dengan dua media mainstream itu, sesungguhnya Paloh sangat powerful. Ia bisa mempengaruhi perolehan suara bakal capres-cawapres Jokowi dalam pilpres mendatang. Kiprah bisnis dan karier politik anak-anak dan menantu Jokowi bisa juga terancam. Lebih daripada segalanya, Jokowi akan diminta pertanggungjwban bila pengganti yang didukungnya melanjutkan kerusakan yang dibuatnya. Wallahu\'alam bissawab! Tangsel, 18 Mei 2023
Anies dan Masa Depan Korupsi di Indonesia
Oleh Dr. Syahganda Nainggolan - Sabang Meraukr Circle. PARTAI Nasdem pendukung Anies Baswedan mengalami bulan-bulanan nitizen karena salah satu pimpinannya, Jhony Plate, menterinya Jokowi, ditangkap kemarin karena kasus korupsi. Surya Paloh (SP) , menanggapi langsung penangkapan itu dengan keras. Dalam video online detik20 menyatakan partainya menerima kenyataan ini. Namun, dia menantang agar pertama, aliran dana dari Jhonny Plate diungkapkan semua. Siapa aja yang kebagian. Kedua, dia meminta semua kementerian dan lembaga negara lainnya juga diselidiki secara \"fair\", agar rakyat tahu tentang bobroknya Indonesia saat ini soal korupsi. SP yang selama 5 tahun pemerintahan Jokowi \"menguasai\" Kejaksaan Agung, karena Jaksa Agungnya kader Nasdem, tentu saja memiliki data tentang korupsi di semua jajaran lembaga pemerintahan. Sehingga, tantangan SP ini dapat diisyaratkan sebagai perang terhadap Jokowi, yakni tebas semua, jangan tebang pilih. Soal tebas semua dan jangan tebang pilih telah menjadi isu lama dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Memburu koruptor di Indonesia tidaklah susah, mirip seperti berburu di kebon binatang saat pemerintah Jokowi berkuasa. Dalam perumpamaan berburu di kebon binatang, maka \"like and dislike\" akan menjadi unsur penting membidik siapa yang ditangkap hari ini dan besok. Mahfud MD dalam \"Mahfud: Sekarang Noleh Ke mana Saja Ada Korupsi, Mengapa Dulu Kita Reformasi \", Kompas online, 21/3, mengatakan “Sekarang saudara noleh ke mana saja ada korupsi kok. Noleh ke hutan, ada korupsi di hutan, noleh ke udara, ke pesawat udara, ada korupsi di Garuda (Indonesia), asuransi ada, koperasi korupsi, semuanya korupsi. Nah, ini sebenarnya mengapa dulu kita melakukan reformasi?” Dia menambahkan, jika di sektor pertambangan saja kita bebas korupsi, setiap warga negara akan punya penghasilan atau bisa disubsidi Rp. 20 juta tanpa perlu bekerja. Sebuah ironi besar soal korupsi kita. Tentu saja dalam setiap rezim ada persoalan dalam pemberantasan korupsi. Namun, di era Jokowi, Transparansi Internasional memberikan nilai terburuk sepanjang sejarah Indonesia ada saat ini, yakni indeks 34. Padahal indeks ini dikeluarkan tahun 2022, sebelum kasus menghebohkan TPPU Rp. 349 Triliun di Kementerian Keuangan terungkap. Jika hal ini dimasukkan, maka indeks korupsi kita akan semakin terpuruk lagi. Karena korupsi sudah dianggap sebagai norma normal di Indonesia saat ini, maka tidak mengherankan koruptor-koruptor yang baru keluar penjara langsung tancap gas sebagai timses capres mendatang. Kemarin saya tanyakan hal ini kepada Karni Ilyas, ketika saya diundang di ILC. Perbincangan di meja makan sebelum acara dimulai, karena Rocky Gerung menggugat koruptor-koruptor yang baru keluar penjara bukan tiarap, malu, eh malah tampil di TV dan pasang baliho besar di mana2 serta disambut bak pahlawan. Saya bertanya kepada bang Karni apakah mungkin ILC nantinya mengundang koruptor-koruptor itu sebagai pembicara di ILC? Karni memastikan tidak ada mantan Napi koruptor yang akan diundang di ILC. Orde Lama, Orde Baru dan Orde Reformasi Tiga capres yang akan bertarung adalah Ganjar, Prabowo dan Anies ke depan. Ganjar mewakili pikiran Soekarno alias Orde Lama. Prabowo adalah menantu Suharto, mewakili pikiran Orde Baru. Dan Anies adalah mahasiswanya pejuang era Reformasi98, sehingga mewakili spirit Reformasi. Beban era reformasi, seperti yang dituntut mahasiswa saat perjuangan menumbangkan Suharto kala itu adalah Demokrasi dan Hancurkan korupsi. Era Sukarno dan Suharto demokrasi tidak dikenal sama sekali. Pemimpinnya tangan besi. Korupsi merajalela tak bisa dikritik. Tapi, di era reformasi era Jokowi ini ternyata situasi lebih parah. Awalnya, sebelum era Jokowi, memang demokrasi terlalu bebas. Sehingga mencemaskan. tapi, di sisi lain korupsi diberantas dengan melahirkan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Sebelum Jokowi datang, semua koruptor seperti tikus yang mencuri dengan sembunyi, saat ini mereka terang-terangan kembali. Unsur lainnya tentunya karena budaya korupsi yang terlalu berlebihan saat ini. Untung nitizen membongkar kemewahan-kemewahan pejabat saat ini dengan istilah Flexing. Netizen membongkar harga tas menantu Jokowi merk Hermes, harga tas pejabat lainnya, yang ini bermula dari mobil mewah Rubicon anak pejabat pajak Rafael Alun. Budaya korupsi ini berasal dari budaya glamour yang entah bagaimana menjadi trend elit. Padahal rakyat kita menurut Bank Dunia dengan standar resmi meraka, mencapai 40% alias hampir setengah rakyat kita miskin. Anies dan Tantangan Menghancurkan Korupsi Nasdem adalah salah satu dari 3 partai pendukung Anies. Dua partai lainnya, PKS dan PD adalah parpol oposisi, sehingga selama sepuluh tahun ini mereka tidak banyak dihebohkan oleh isu korupsi. Kecuali korupsi ditingkat daerah. Jika melihat Nasdem tidak takut dalam isu penangkapan Johnny Plate, menterinya Jokowi dari Nasdem, maka spirit pemberantasan korupsi ke depan, Jika Anies memimpin bangsa kita akan lebih mudah. Karena, hanya dari sisi Nasdem lah yang mungkin mempengaruhi Anies dalam isu ini. Apalagi pernyataan Surya Paloh yang minta buka-bukaan secara total. Kembali kepada cita-cita Anies Baswedan, maka cita-cita Anies adalah sesuai dengan spirit Reformasi 98, yakni Demokrasi dan Hancurkan Korupsi. Itu yang sering disinggung Anies sebagai meluruskan kembali arah bangsa. Dengan Demokrasi dan Hancurkan Korupsi akan menjadi jalan mulus bagi pembangunan yang mensejahterakan rakyat miskin. Namun, tantangan terhadap Anies begitu besar. Penangkapan petinggi Nasdem ini jika dibumbui dengan kompetisi politik yang saling menjatuhkan, akan membuat goncangan besar pada soliditas dan kekuatan pendukung Anies. Oleh karena itu, seluruh kekuatan pendukung Anies, kususnya dalam jajaran elit, harus bersumpah bahwa peperangan ini harus diluruskan spiritnya. Pertama, semangat untuk sekadar berkuasa, harus berganti semangat untuk menghancurkan korupsi itu. Misalnya, kontrak-kontrak politik antar partai pendukung harus memasukkan antara lain, cita-cita meningkatkan index persepsi korupsi sebesar 20 poin selama berkuasa. Kedua, memberlakukan hukuman mati bagi koruptor. Ketiga, meminta kepada Surya Paloh, membongkar semua catatan korupsi yang dia miliki datanya kepada publik, minimal selama 5 tahun kader Nasdem jadi Jaksa Agung. Jika rakyat yakin bahwa Anies dan pendukungnya berjuang total, maka semangat perjuangan memenangkan Anies akan lebih mudah. Dan kemenangan yang dihasilkan oleh spirit anti korupsi, tentu akan membuka jalan untuk menuntaskan anti korupsi selama berkuasa nantinya. Penutup Anies adalah capres Orde Reformasi. Sementara lainnya mewakili asosiatif Orde Lama dan Orde Baru. Orde Reformasi tuntutannya adalah Demokrasi dan Hancurkan Korupsi. Anies tentu mengalami sedikit ganjalan ketika pimpinan partai pendukungnya, Johnny Plate, menterinya Jokowi, ditangkap kasus korupsi BTS. Berbeda dengan korupsi kakap Bansos dan Benur, yang mempengaruhi dua capres lainnya, kasus Johnny Plate ini sudah dekat pemilu. Efeknya akan lebih terasa. Rakyat tentu percaya Anies mempunyai spirit anti korupsi yang maha dahsyat. Namun, tentunya hal ini perlu direvitalisasi setelah kejadian Johnny Plate. Misalkan, tantangan Surya Paloh untuk tebang habis bukan tebang pilih dalam penangkapan koruptor. Anies harus meminta Surya Paloh, yang memiliki data korupsi sepanjang kadernya dulu menjadi Jaksa Agung era pertama rezim Jokowi, membocorkan semua data yang ada ke masyarakat. Biar semua transparan. Selebihnya, Anies kembali harus menegaskan janjinya bahwa meluruskan arah bangsa itu adalah arah Reformasi Politik 98, Tegakkan Demokrasi dan Hancurkan Korupsi. Artinya, menaikkan indeks persepsi korupsi yang hancur ditangan Jokowi, setinggi-tingginya. (*)
Kasus KM 50 Belum Selesai Pak
Oleh M Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan AKSI Gerakan Nasional Pembela Rakyat (GNPR) di depan Mabes Polri Jl Trunojoyo Jakarta menuntut dua hal yaitu tangkap Fadil Imran dan usut tuntas kasus Km 50.Tuntutan untuk menangkap Fadil Imran karena sebagai Kapolda Metro Jaya saat itu ia diduga kuat terlibat dan bertanggung jawab atas pembantaian 6 anggota laskar FPI. Kini Fadil Imran menjabat sebagai Kabaharkam Polri. Adapun tuntutan kedua yaitu penuntasan pengusutan kasus Km 50 karena bahwa menurut GNPF dan umat Islam pada umumnya kasus Km 50 itu belum tuntas. Ada orang atau pihak lain yang layak menjadi tersangka akan tetapi hingga kini masih disembunyikan atau belum terungkap. Ada pihak yang menyatakan bahwa mengingat dua terdakwa telah mendapatkan vonis inkracht maka kasus Km 50 harus dinyatakan sudah selesai. Aksi di depan Mabes Polri dianggap tidak menghormati Putusan Pengadilan. Pihak yang berpandangan demikian antara lain M Hassan yang menamakan dirinya aktivis Gerakan Umat Islam Kafah. Pandangan tersebut tidak benar karena bagi ormas dan gerakan Islam yang tergabung dalam GNPR serta umat Islam pada umumnya proses peradilan terdahulu itu tidak akuntabel, obyektif dan jujur. Sebaliknya menjadi peradilan rekayasa, peradilan dagelan atau peradilan sesat (rechterlijke dwaling). Peradilan yang mencoreng dan memalukan dunia hukum. Dua petugas kepolisian yang diproses hukum yaitu Fikri Ramdani dan Yusmin Ohorella adalah terdakwa yang sejak awal \"dimanjakan\", berstatus sebagai \"peran pengganti\" dan akhirnya \"dilepaskan\". Pembunuhan dan pembantaian yang diskenariokan agar berujung \"happy ending\". Proses peradilan belum selesai. Kapolri sendiri Jenderal Listyo Sigit membuka pintu periksa ulang jika ada novum dan novum itu ternyata ada bahkan lebih dari dua. Belum selesainya proses hukum ini juga menyangkut rekomendasi Komnas HAM yang belum dijalankan oleh penyidik. Masih terhutang atau menggantung. Tanpa menunggu novum, penyidik dapat dan harus menuntaskan tugasnya untuk menindaklanjuti rekomendasi Komnas HAM yaitu: Pertama, menyediki kepemilikan dua pistol atau senjata api yang ditunjukkan oleh Kapolda Metro Jaya Fadil Imran saat konperensi pers 7 Desember 2020. Realisasi amanat Komnas HAM ini akan menentukan terjadinya obstruction of justice atau tidak. Benarkah senjata itu milik 6 anggota Laskar? Kedua, rekomendasi penting Komnas HAM yang belum dikerjakan penyidik adalah menyelidiki penumpang dua mobil \"misterius\" Avanza hitam B 1739 PWQ dan Avanza silver B 1278 KJD. Ini sangat penting mengingat penumpang kedua mobil tersebut diduga \"sangat terlibat\". Komnas HAM merekomendasi adanya penindakan hukum untuk mereka. Mengingat sebagaimana diakui oleh pihak Kepolisian bahwa kedua mobil \"misterius\" tersebut bukan mobil Polisi, maka Kepolisian sesungguhnya tidak memiliki beban psikologis untuk melakukan penegakan hukum atas penumpang kedua mobil tersebut. Masyarakat menduga kuat sebenarnya Polisi mengetahui siapa penumpang kedua mobil penting itu. Ketika Mahkamah Agung menolak Kasasi JPU untuk kasus Briptu Fikri Ramdhani dan Ipda Yusmin Ohorella, maka saat itu juga Komnas HAM telah meminta agar Polri menyelesaikan rekomendasi Komnas HAM. Komnas HAM memandang kasus Km 50 belum selesai. Satu hal yang juga harus diusut segera adalah siapa yang menyiksa dan membunuh dua korban yang dibawa dalam mobil terpisah, siapa petugas yang mengawal serta dibawa kemana ? Proses peradilan terdahulu hanya terfokus pada pembunuhan empat korban. \"Komandan\" yang mengatur pemisahan kendaraan pengangkut korban pun belum terungkap. Sang komandan itu adalah penumpang mobil Land Cruiser hitam yang juga terkesan \"disembunyikan\". Aksi 17 Mei di depan Mabes Polri kemarin sudah tepat jika di samping tuntutan untuk menangkap mantan Kapolda Metro Jaya Fadil Imran, juga agar kepolisian melakukan pengusutan tuntas atas peristiwa Km 50. Kasus Km 50 itu belum selesai. Belum selesai, Pak. Bandung, 18 Mei 2023
Menjelang Pilpres: Akan Muncul Kebohongan dan Penipuan Massal
Oleh Sutoyo Abadi - Koordinator Kajian Politik Merah Putih MASUK artikel dengan judul \"AI presents political peril for 2024 with threat to mislead voters, menjadi topik khusus kajian Merah Putih, sebagai referensi gambaran bahwa tipuan dan masifnya informasi palsu pada proses Pemilihan Presiden tengah berlangsung, akan menyerbu masyarakat luas, untuk mengacaukan persepsi dan menggiring kearah Capres tertentu. Pada negara yang masyarakatnya masih agraris, penguasaan teknologi relatif terbelakang, akan menjadi permainan dan sergapan apa yang di kenal dengan deepfake adalah salah satu tipe dari kecerdasan buatan (AI) yang digunakan untuk menyebarkan informasi sesat baik berupa foto, audio, video yang semuanya hoax dan tipuan dianggap benar yang cukup meyakinkan. Dampak kerusakan dari manipulasi informasi politik akan sangat parah. Akan menimbulkan benturan, pertengkaran, dan perselisihan di media sosial bahkan akan mengena masyarakat tanpa kecuali. Ketika mereka dalam kendali rekayasa Kecerdasan Buatan (AI) ilmu komputer canggih modern yang dikhususkan untuk memecahkan masalah kognitif yang umumnya terkait dengan kecerdasan manusia, seperti pembelajaran, pemecahan masalah, dan pengenalan pola, yang semua akab dipalsukan Alat kecerdasan buatan yang murah dan kuat akan segera menjadi media bisnis politik membuat gambar, video, dan audio palsu yang cukup realistis untuk menipu pemilih dan mempengaruhi pemilihan, untuk kemenangan Capres yang telah kontrak untuk kemenangan. Deepfake dibuat menggunakan dua algoritma AI yang saling bertentangan: satunya disebut generator, yang lain disebut dis kriminatif. Alat AI generatif yang canggih ini dapat membuat suara manusia yang dikloning dan gambar, video, dan audio hiper-realistis dalam hitungan detik, dengan biaya minimal. Ketika diikat ke algoritme media sosial yang kuat, konten palsu dan dibuat secara digital ini dapat menyebar jauh dan cepat dan menargetkan audiens yang sangat spesifik, berpotensi melakukan trik kotor kampanye. Implikasi untuk kampanye dan pemilu 2024 sama besarnya dan meresahkan. AI generatif baru saat tidak hanya dapat menghasilkan email, teks, atau video kampanye yang ditargetkan dengan cepat, tetapi juga dapat digunakan untuk menyesatkan pemilih, meniru identitas kandidat, dan melemahkan pemilu dalam skala dan waktu tertentu. Tekhnolgi AI sewaan dapat dengan cepat membuat sejumlah skenario di mana AI generatif digunakan untuk membuat media sintetik untuk tujuan membingungkan pemilih, memfitnah kandidat, atau bahkan menghasut kekerasan. Robocall otomatis, akan memproduksi rekaman audio bisa untuk menyerang kandidat Capres Prabowo Subianto (PS) bersamaan akan menyergap capres Anies Baswedan (ARB), secara bersamaan dengan narasi kelemahan buatan yang akan diubah seolah menjadi benar dan meyakinkan. PS akan diserang seorang pelanggar kejahatan HAM berat, pembunuh, juga fitnah lainnya dan dibatasi partai pengusungnya, sementara ARB akan divisualkan seorang yang terpapar radikalisme, picik, sentris, politik identitas dan non pribumi. Sementara kandidat lain Ganjar Pranowo akan ditampilkan seorang hero, pahlawan, anti rasis, nasionalis dan sebutan lain yang telah dipersiapkan melalui teknologi AI membius seolah olah menjadi pahlawan besar dan seorang pembaharu. Dimunculkan iklan kampanye distopia (merupakan suatu komunitas atau masyarakat yang tidak didambakan atau terkesan menakutkan) akan dirilis dan di manipulasi seolah-olah masa depan Indonesia akan, sejahtera, selamat dan jaya di bawah sang pejuang dan hero Ganjar Pranowo (GP). \"Kajian politik Merah Putih dengan sungguh sungguh, merekomendasikan, masyarakat luas harus ada pendamping betapapun sulitnya dengan jangkauan wilayah yang sangat luas.\" Dari kampanye politik jahat musuh Taipan dan Oligargi yang terdeteksi telah memesan jasa tekhnolgi AI yang bisa membius menipu secara massal dalam hitungan detik dengan jangkauan luas. Semua lapisan masyarakat akan terkena radiasinya. Informasi yang salah dan sesat akan viral di media online saat ini dan mendatang dan menjadi sangat masih menjelang hajatan pilpres berakhir. Masyarakat kita belum dilindungi dengan memasang beberapa pagar pembatas. Orang bisa tertipu, dan hanya butuh sepersekian detik. Orang-orang sibuk dengan kehidupan mereka dan mereka tidak punya waktu untuk memeriksa setiap informasi. AI dipersenjatai senjata canggih sebagai penipu dan pembunuh sekaligus. Keadaan saat ini telah menggambarkan sangat mungkin rezim akan melakukan praktek politik kotor dengan teknologi AI. Menebar informasi bohong dan memanipulasi informasi palsu, kepada masyarakat luas. Kejahatan paling buruk adalah memanipulasi angka hasil pemilihan presiden dengan angka palsu hasil kloning angka rekayasa curiannya . Bukan hoak dan bukan mengada- ada prediksi dan kecurigaan masyarakat bahwa angka kemenangan salah satu capres 2024 saat ini sudah dipersiapkan. ****
Penyelenggara Negara dalam Krisis
Oleh: Chazali H. Situmorang (Dosen FISIP UNAS/Pemerhati Kebijakan Publik) PENYELENGGARA Negara adalah Pejabat Negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara. Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, pada diri Presiden itu menyatu satu sisi sebagai penanggung jawab mutlak penyelenggaraan pemerintahan, dan sisi lain sebagai Kepala Negara. Sebagai Kepala Negara penanggung jawab penuh terhadap seluruh wilayah, dan rakyat Indonesia. Akhir-akhir ini, penyelenggara negara dan pemerintahan kehilangan karakternya. Tidak terkecuali Presiden Republik Indonesia. Sebagai Presiden begitu saja dipanggil oleh Ketua Umum Partai yang berkuasa untuk hadir dalam acara rapat akbar dalam menentukan calon Presiden dari partai yang bersangkutan. Dalam tata cara rapat partai itu, jelas kehadiran Pak Jokowi sebagai Presiden RI. Penempatan duduk pada acara tgl 21 April 2023 yang lalu itu, posisi Presiden disamakan dengan pengurus Partai. Dalam sambutan Sekjen Partai dan Capres yang ditugaskan partai itu, dalam urutan yang terhormat, menyebutkan Ketua Umum Partai, baru berikutnya Presiden Jokowi. Ini tidak lazin sepanjang puluhan tahun saya mencermati tata protokol kegiatan Presiden. PDIP sebagai partai pemenang Pemilu, ingin menunjukkan pada dunia, bahwa kehormatan, harkat dan martabat Presiden Jokowi dibawah harkat dan martabat Ketua Umum Partai. Tapi bagi Presiden Jokowi itu bukan problem, tidak merasakan dignity nya mengalami erupsi. Suatu fenomena baru dalam penyelenggaraan negara dengan sistem Presidential seperti yang dianut Indonesia. hal ini akan memberikan preseden yang kurang baik dalam perjalanan anak bangsa ke depan. Kesibukan Presiden sekarang ini adalah mengumpulkan Ketua Ketua Partai Pemerintah. Mendorong agar partai membuat koalisi besar. Sehingga yang akan meneruskan kepemimpinan negara 5 tahun ke depan, juga tidak lepas dari peran dan dukungan Presiden Jokowi. Malam ini (2/5) Presiden mengumpulkan 6 Ketua Umum pendukung pemerintah di Istana Negara, kecuali Nasdem. Menurut petinggi PPP, karena Nasdem pilihan Capresnya beda. Mulai malam ini sudah terbuka lebar fakta bahwa posisi partai Nasdem sudah bukan lagi masuk dalam poros pendukung Jokowi. Bagaimana Surya Paloh menyikapi situasi ini, tentu ada kejutan yang agak susah juga menebaknya. Jokowi yakin betul dengan Ganjar dan Prabowo yang diusung gabungan koalisi partai besar itu, akan melindungi dan mengamankan Jokowi dari jangkauan hukum kelak jika sudah tidak jadi Presiden, atas berbagai kebijakan-kebijakan yang dibuatnya. Presiden Jokowi sudah mulai khawatir atas berbagai analisis dan opini yang disampaikan oleh berbagai kelompok masyarakat, yang akan meminta pertanggung jawaban hukum kepada Pak Jokowi. Tidak ada sahabat yang abadi. Yang ada adalah kepentingan yang abadi. Pak Presiden seharusnya menyadari kata mutiara itu. Perjalanan runtuhnya rejim Orde Baru Presiden Soeharto merupakan bukti sejarah yang nyata. Siapa yang tidak kenal Alm Harmoko loyalis kental Presiden Soeharto waktu itu. Begitu mudah berbalik arah menjatuhkan Presiden Soeharto. Apakah Presiden Jokowi dapat menjamin, jika Ganjar Pranowo atau Prabowo Subianto menjadi Presiden, dapat melindungi Jokowi, jika harus berhadapan dengan tekanan rakyat atau sudah menganggu dan mengusik kepentingan Presiden yang baru? Siapa yang bisa menjamin? Jika kita powerless semua akan menjauh. Itu adat dunia. Apalagi jika selama berkuasa banyak rakyat yang menjadi “korban” kekuasaan. Boleh jadi Anis Baswedan, Capres yang tidak diinginkan oleh Pak Jokowi, dan ternyata dipilih rakyat sebagai Presiden, akan memberikan perlindungan hukum kepada Presiden yang digantikannya. Walaupun tentu akan meminta pertanggung jawaban jika memang ada pelanggaran konstitusi yang dilakukan. Tentu dengan pendekatan manusiawai dan tidak mengabaikan harkat dan martabatnya sebagai manusia. Dengan gambaran di atas, Presiden harus benar-benar jangan sempat masuk dalam jebakan batman. Presiden Jokowi harus mampu melihat, merasakan dan bahkan disadari atau tidak menjadi pelaku terhadap krisis penyelenggaraan negara. Presiden Jokowi belum terlambat jika ingin husnul khatimah, akhir yang baik, happy ending. Atasi krisis penyelenggaraan negara yang berlangsung di depan mata. Mulai dari persoalan UU Cipta Kerja, UU P2SK, RUU Omnibus Kesehatan. Pencucian uang Rp. 349 Triliun di Kemenkeu, kereta api cepat Bandung – Jakarta, tenaga kerja asing, dan persoalan ketidakadlian sosial, ekonomi, dan ketimpangan pendapatan yang semakin mendalam. Hentikan mengelontorkan APBN untuk IKN, dan menyelesaikan KKB Papua secara lebih tegas, terukur dan menangkap para pemberontak. Masih ada waktu setahun ini untuk kembali menata penyelenggaraan negara ini. Berbagai persoalan krusial di atas, yang jika dibiarkan akan menjadi bom waktu yang akan membawa banyak korban penyelenggara negara. Sudah hampir terlambat Pak Presiden. Biarlah ketua-ketua partai itu mengkonsolidasi kekuatan partainya masing-masing. Presiden harus berada di atas semua partai, baik pendukung pemerintah maupun yang tidak mendukung. Mereka semua berada di bawah naungan Presiden sebagai Kepala Negara. Sebagai Presiden, harus memastikan bahwa semua partai itu mempunyai hak yang sama untuk berkompetesi, menyalurkan aspirasi politik anggota partainya. Jika Presiden dapat lakukan itu, kemandirian partai akan terjaga. Partai kecil tidak perlu “menjual diri” dan demikian juga partai besar jangan meremehkan partai kecil sebagai pelengkap dan asesoris, sekadar pantas pantasnya saja. Semuanya itu kembali kepada Presiden, dan kabinet penikmat semasa pemerintahan Jokowi. Tugas kita hanya mengingatkan. Sebelum bangsa ini mengalami kelumpuhan total, dan tenggelam dalam danau air mata penyesalan. (*)
Membawa Lari PDIP dari Sukarnoisme
Oleh: Fathorrahman Fadli - Direktur Eksekutif Indonesia Development Research (IDR) TEPAT 1 Syawal 1444 versi Lebaran Muhammadiyah, Megawati Sukarnoputri mengumumkan Ganjar Pranowo sebagai calon Presiden Indonesia dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Namun, begitu Megawati meluncurkan Ganjar Pranowo, di samping ada sekelompok elit PDIP yang senang, juga ada banyak rasa kecewa yang menyergap. \"Lha, kok Ganjar, apa prestasi Ganjar selama ini\", \"Lha, kok Ganjar, dia kan penyuka film bokep\", \"Lha, kok Ganjar, dia khan terlibat isu korupsi e-KTP\", dan berbagai komentar miring lainnya. Menjelang tahun politik, isu-isu tak sedap senantiasa seperti itu seringkali keluar. Sebab data digital senantiasa menyimpannya dengan sangat rapi. Berbagai kasus yang menimpa seseorang apalagi dia seorang tokoh politik, pastilah akan dijadikan peluru dalam perang merebut kekuasaan. Apalagi sudah menjadi fakta, yang bukan fakta pun sengaja dibuat untuk menjatuhkan seseorang. Saran saya, itu mesti kita baca sebagai bagian dari dinamika politik yang susah sekali dihilangkan. Satu-satunya cara yang terbaik adalah menunggu fakta baru guna menjawab berbagai tudingan yang disarungkan pada sang lawan. Itu saja! Isu tak sedap serupa juga disarungkan pada Anies Baswedan ketika Surya Paloh Ketua Umum Partai Nasdem mengumumkannya sebagai kandidat presiden pada Pemilu 2024 mendatang. Anies dituding akan membawa Indonesia seperti Suriah, akan membentuk negara khilafah, Anies boneka Amerika, Anies itu Orang Arab, Anies pendukung politik identitas, Anies akan memecah belah bangsa dan lain-lainnya. Satu lagi kandidat Presiden adalah Prabowo. Namun Prabowo belum banyak yang menyerang secara masif. Kalau ada yang akan menyerang, banyak isu juga yang mereka persiapkan untuk Prabowo mulai status Jomblo karena lama tak beristri lagi, korupsi anak buahnya di seputar bisnis udang benur, bisnis senjata, gagalnya proyek Food Estate, hingga yang lain; bisa saja diciptakan. Semua itu akan menjadi sampah politik pada waktunya. Membawa Lari PDIP Namun bagaimana ceritanya soal Membawa Lari PDIP itu sendiri. Istilah “membawa lari” ini dikenalkan oleh pengamat militer Salim Said. Istilah itu —dulu, dia populerkan saat menulis kasus Anas Urbaningrum yang berhasil memenangkan pertarungan Kongres Partai Demokrat di Bandung melawan Andi Mallarangeng yang dijagokan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Peristiwa itu dinilai Salim Said sebagai potensi untuk membawa lari Partai Demokrat dari tangan SBY. Saat itu SBY memang tidak memberi azimat Anas Urbaningrum sebagai Petugas Partai sebagaimana Megawati memberi gelar itu pada Joko Widodo. Di sinilah letak kecerdasan politik Megawati dibanding SBY. Istilah “membawa lari” itu tentu saja bersifat political warning call. Tampaknya SBY paham sekali soal itu, lalu dia membuat gerakan untuk memutus mata rantai kekuasaan baru Partai Demokrat dari tangan Anas Urbaningrum kembali ke SBY. Kalau di kalangan Kubu Politik Anas, SBY dinilai telah membegal kekuasaan Anas yang telah memenangkan Kongres secara sah. Dan, Anas pun bernasib sial, ia harus nyantri di Pondok Pesantren Sukamiskin Bandung selama 10 tahunan. Kini, ia kembali bernafas lega sambil memulihkan stamina perjuangan untuk Indonesia yang lebih baik. Nah, lain halnya dengan Megawati yang secara terbuka menyebut Joko Widodo sebagai Petugas Partai. Sebagai kosa kata politik sesungguhnya Istilah Petugas Partai itu cukup menggelikan jika disarungkan pada kadernya yang berhasil menjadi seorang Presiden. Saya meyakini dengan sepenuh jiwa bahwa Jokowi sebagai Presiden yang nyata-nyata diusung PDIP marah besar dengan istilah petugas partai tersebut. Mengapa? Sebab istilah tersebut bersifat peyoratif. Namun apa boleh buat, istilah Petugas Partai itu memang sebuah fakta politik, dan secara substansial istilah itu juga tidak salah, meski sangat peyoratif. Misalnya kalimat, \"Jokowi bukan siapa-siapa tanpa PDIP,\" ujar Megawati sebagaimana sering ia ungkapkan secara terbuka dalam berbagai acara PDIP. Itu azimat politik Megawati dalam mengendalikan Presiden Jokowi. Azimat politik tidak sepenuhnya efektif, karena Jokowi dalam hal-hal tertentu terlihat tidak tunduk pada Jokowi. Dalam soal proyek-proyek pembangunan, Jokowi lebih banyak mengikuti saran-saran dari Luhut Binsar Panjaitan (LBP). Namun ketika berkaitan dengan tiket kepartaian, Azimat Petugas Partai itu berlaku efektif dan sepenuhnya bisa dikendalikan oleh Megawati. Faktanya, deklarasi Ganjar sebagai Capres PDIP itu, Megawati mampu membawa Jokowi, meski dengan pesta yang sangat minimalis. Potensi Jokowi untuk membawa Lari PDIP itu banyak sekali tanda-tandanya. Sejak awal, sesungguhnya Megawati terlibat semacam Power Struggle dengan Jokowi. Megawati sejatinya memendam rasa kecewa karena dirinya terpaksa mundur sebagai calon Presiden PDIP ketika Jokowi dipaksa oleh politisi senior PDIP sebagai penggantinya. Rasa-rasanya saat ini Puan Maharani juga memiliki perasaan politik yang sama dengan ibunya itu. Namun Puan juga sedang belajar memendam kesabaran revolusioner pasca Lebaran tersebut demi kepentingan PDIP secara keseluruhan. Dalam situasi yang seperti itu, lagi-lagi yang untung adalah para konglomerat China yang selama ini menjadi penyokong utama pembiayaan politik dan logistik PDIP. Di sini Megawati selalu membangun keseimbangan politik. Bahkan muncul isu bahwa Ganjar Pranowo adalah \"Dadu Politik Negosiasi\" antara Megawati dengan para konglomerat tersebut. Megawati sadar betul bahwa, politik tanpa logistik akan anarkis. Di sini dia terpaksa berdamai dengan keadaan. Megawati sadar bahwa Puan Maharani belum waktunya ditampilkan sebagai calon presiden dari PDIP. Jika pola ini dibiarkan, maka ada beberapa keuntungan sekaligus kerugian dalam kasus ini. Pertama, jika Megawati yang lahir 23 Januari 1947 (usia sekarang 76 tahun), maka pada 6 tahun mendatang Megawati akan berusia 82 tahun. Padahal 6 tahun mendatang itu adalah pesta politik Pemilu 2029. Kondisi fisik dan mental Megawati sudah barang tentu akan sangat menurun. Usia tidak bisa dilawan, sedang takdir usia manusia tidak ada yang tahu. Di sinilah peluang bagi penerima mandat PDIP potensial akan membawa lari PDIP dari trah Sukarno yang mempesona dunia itu. Di sini pula kekuasaan Megawati akan rapuh, sedang kekuasaan Puan Maharani belumlah matang. Dan di titik ini pulalah Megawati mesti berfikir lebih strategis demi memelihara Sukarnoisme untuk Indonesia yang lebih beradab. (*)