OPINI

Hasil Kerja Tim PPHAM sebagai Ajang "Bersih-bersih" Rezim dan Moderasi Komunisme?

Oleh Profesor Pierre Suteki - Guru Besar Universitas Diponegoro  PRESIDEN Joko Widodo (Jokowi) menerima laporan dari Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia (PPHAM) di Istana Negara pada Rabu (11/1/2023). Dari laporan yang diberikan oleh PPHAM, Presiden Jokowi mengakui bahwa pelanggaran HAM berat terjadi di Indonesia. Sepintas sangat beralasan jika pengakuan Presiden Joko Widodo terhadap beberapa peristiwa pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat, patut diapresiasi. Harus diapresiasi seberapa pun urgensi pengakuan tersebut. Hanya yang saya sayangkan, keputusan apakah suatu peristiwa masa lalu itu dikualifikasikan sebagai pelanggaran HAM berat atau tidak itu tidak ditindaklanjuti secara Yudisial melalui tata cara sebagaimana diatur dalam UU No. 26 Tahun 2000 melainkan dilakukan secara Non-Yudisial melalui PPHAM yang dibentuk oleh Presiden dengan Keppres 17 Tahun 2022. Apa itu pelanggaran HAM berat, tentu mengacu pada UU Pengadilan HAM 2000. Pada Pasal 7 disebutkan bahwa: Pelanggaran hak asasi manusia yang berat meliputi: a. kejahatan genosida; b. kejahatan terhadap kemanusiaan Pasal 8 Kejahatan genosida sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara: a. membunuh anggota kelompok; b. mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok; c. menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya; d. memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok; atau e. memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain. Pasal 9 Kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa: a. pembunuhan; b. pemusnahan; c. perbudakan; d. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa; e. perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secarasewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional; f. penyiksaan; g. perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara; h. penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional; i. penghilangan orang secara paksa; atau j. kejahatan apartheid. Lalu siapa yang menentukan adanya pelanggaran HAM berat? Komnas HAM melalui Panitia Ad Hoc yang terdiri dari Komnas HAM dan unsur masyarakat (Pasal 18 ayat 2 UU PHAM). Apakah Komnas HAM sudah membentuk Panitia Ad Hoc secara khusus untuk penyelidikan peristiwa dari  tahun 1965 sampai  tahun 2020? Setahu saya sudah dibentuk sehingga ditetapkan setidaknya 12 jenis pelanggaran HAM berat di masa lalu. PPHAM ini dibentuk oleh Presiden dengan Keppres 17 Tahun 2022, bukan oleh Komnas HAM sebagaimana Panitia Ad Hoc yang diatur dalam Pasal 18 ayat 1 UU PHAM. Sesuai dengan Keppres No. 17 Tahun 2022, Tim Pelaksana (PPHAM) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b mempunyai tugas: a. melakukan pengungkapan dan analisis pelanggaran hak asasi rnanusia yang berat masa lalu berdasarkan data dan rekomendasi yang ditetapkan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia sampai dengan tahun 2O2O; b. mengusulkan rekomendasi langkah pemulihan bagi para korban atam keluarganya; c. mengusulkan rekomendasi untuk mencegah agar pelanggaran hak asasi manusia yang serupa tidak terulang lagi di rnasa yang akan datang; dan d. menyusun laporan akhir. Tugas awal Tim PPHAM seharusnya dilakukan oleh Panitia Ad Hoc Komnas HAM untuk menentukan mana peristiwa masa lalu dari tahun 1965 sampai tahun 2020 yang merupakan pelanggaran HAM berat. Barulah kemudian atas penetapan Komnas HAM Tim PPHAM melakukan upaya penyelesaian secara NON Yudisialnya. Di sisi lain, muncul pertanyaan apakah pengakuan Jokowi itu bisa menjadi kehilangan makna karena tidak mengakui hilangnya nyawa Laskar FPI yang dikenal sebagai Peristiwa KM50 sebagai pelanggaran HAM termasuk ratusan terduga teroris, baru diduga sudah dibunuh. Apakah ini seperti pepatah \'gajah di depan mata tidak terlihat, semut dikejauhan tampak besar. Menurut saya, kita perlu kembali ke  prinsip \"due process of law\"-nya. Pengakuan  Presiden Jokowi juga tergantung temuan dan penetapan status pelanggaran HAM oleh Panitia Ad Hoc Komnas HAM, yang dalam hal ini secara keliru dilakukan oleh Tim PPHAM. Menurut PPHAM yang tidak berkompeten tersebut, peristiwa pembunuhan 6 laskar FPI bukan merupakan pelanggaran HAM berat dan dengan demikian mustahil Presiden yang berkuasa (Jokowi) akan menyatakan dan mengakui peristiwa tersebut sebagai pelanggaran HAM berat. Beda dengan extrajudicial killing terhadap para terduga teroris,  hal ini  memang ada pelanggaran HAM tetapi, sama nilainya tidak dikualifikasikan sebagai pelanggaran HAM berat bahkan tidak banyak APH yang dipidana karena perbuatan unlawfull killings tersebut. Semua tergantung rezim yang berkuasa, apalagi rezim ini mengamini \"war on terrorisme\" yang diduga merupakan perpanjangan tangan AS. Atas temuan Tim PPHAM dan pengakuan Jokowi atas tragedi 1965,  apakah ada potensi untuk menghidupkan NEO - PKI? Apakah saat ini ada penunggang gelap yang berupaya membangkitkan komunisme? Jika merujuk pada pernyataan Menkopolhukam yang sekaligus Ketua Tim PPHAM, Mahfud MD menegaskan agar khalayak tidak lagi menuduh bahwa kerja Tim PPHAM sebagai upaya untuk mengerdilkan umat Islam atau menghidupkan kembali komunisme. Justru ini yang direkomendasikan sekurang-kurangnya ada empat yang basisnya itu Islam. Mahfud mencontohkan bahwa tiga dari 12 peristiwa yang diakui pemerintah Indonesia sebagai pelanggaran HAM berat terjadi di Aceh, sehingga tidak masuk akal untuk menyebut kerja Tim PPHAM untuk mendiskreditkan umat Islam. Kemudian (peristiwa pembunuhan) dukun santet, itu ulama semua 142 jadi korban dan keluarganya ya sampai sekarang masih menderita sehingga kita harus turun tangan. Soal kemungkinan adanya sikap keberpihakan terhadap ideologi komunisme, pengakuan Presiden Jokowi bernuansa orde lama. Hal itu terlihat pada statement Presiden yang mengakui ada pelanggaran HAM berat pada 12 peristiwa. Mulai dari peristiwa 1965-1966, tragedi yang mewarnai reformasi 1998, sampai insiden-insiden besar di Papua dan Aceh pasca reformasi. Yang disayangkan adalah, tidak terdengar dari mulut Presiden Joko Widodo akan menyeret para terduga pelaku pelanggaran HAM berat ke pengadilan, padahal mereka masih bernafas, dan diperkirakan ada di sirkel sendiri. Malah menurut M. Rizal Fadilah, di antara mereka ada yang jadi pendukung saat kampanye 2014 dan 2019. Selanjutnya Rizal menyatakan bahwa pengakuan terhadap 12 peristiwa yang dianggap melanggar HAM berat juga terkesan politis, dan terkesan sekadar ingin permalukan dan salahkan Orba, bahkan ada maksud tertentu. Ini seperti Pintu Awal untuk minta maaf ke PKI. Dan lanjut  arahnya seperti ke pembersihan nama dan juga keturunan PKI. Benarkah demikian? Apakah hal ini akan menghidupkan kembali komunisme di Indonesia? Dalam pandangan saya,  soal upaya menghidupkan kembali komunisme semua sangat mungkin baik dengan kembali mengaktifkan organisasinya atau menunggangi kendaraan ormas dan orpol yang ada. Namun, kita harus ingat, apa pun harus dipegang Tap MPRS No. XXV Tahun 1966 masih berlaku, begitu pula UU No. 27 Tahun 1999 masih berlaku, begitu pula KUHP Baru juga menegaskan larangan penyebaran ideologi komunisme, maka di negeri ini tetap tidak ada tempat untuk persemaian komunisme, dan bangkitnya organisasi PKI. Jika mau jujur, penyelesaian kasus Penumpasan PKI 1965-1966 adalah pekerjaan yang pelik hingga saat ini. Penumpasan itu terjadi tidak dapat dipisahkan dari makar PKI khususnya pada tahun 1956. Rupanya di Indonesia, lebih mudah untuk memasukkan unta ke dalam lubang jarum daripada menyelesaikan kasus Penumpasan PKI ’65. Rekonsiliasi yang berusaha mengklaim bahwa PKI adalah korban, bukan pelaku makar pada 30 September 1965 tampaknya akan sulit terwujud bahkan akan terus membuka luka lama, berupa dendam politik yang tidak berkesudahan. Sejarah telah membuktikan bahwa makar partai yang berpaham komunisme telah merenggut ribuan jiwa di negeri ini. Ini sebuah fakta yang tidak dapat dipungkiri. Jadi, masih perlukah kita melakukan rekonsiliasi? Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak pernah mengabaikan sejarahnya. Moshe Dayan, seorang ahli strategi militer Israel  bahkan menyatakan bahwa suatu bangsa  tidak akan bisa bangkit kembali ketika (1) Tidak peduli dengan sejarahnya; (2) Tidak memiliki perencanaan yang matang dan detail melainkan spontanitas dan tidak detail; (3) Tidak memiliki literasi tinggi (malas baca). Bangsa ini pun telah mengalami pahit getirnya kehidupan akibat sering melupakan sejarah, tidak mengambil pelajaran darinya dan membiarkan sejarah pilu terus berulang.  Komunisme yang pernah mengejawantah ke dalam PKI telah terbukti melakukan makar, baik terhadap ideologi Pancasila maupun kekuasaan pemerintahan yang sah namun moderasi demi moderasi terhadapnya melalui kebijakan publik makin terasa. Jika kita tidak waspada, pasti ideologi yang jelas bertentangan dengan sebagian besar anak bangsa Indonesia ini akan bangkit kembali melalui kebijakan publik yang makin menguatkan posisinya.  Ideologi tidak akan pernah mati, sekali pun ideologi itu tidak bersesuaian dengan fitrah manusia. Eksistensinya untuk menguji seberapa tangguh bangsa ini memahami, mematuhi serta mengadaptasikan ideologi bangsa yang dianut, yakni Pancasila. Pancasila sebagai mahakarya umat Islam bersama kaum nasionalis mesti dijadikan tameng perlawanan terhadap komunisme. Namun, perlawanan itu akan tak berarti ketika religiusitas bangsa ini makin ambyar alias rapuh.  Musuh bersama kita adalah komunisme dengan segala pengejawantahannya, bukan Islam dengan segala ajarannya, termasuk fikih siyasah perihal kekhalifahan. Umat ini seharusnya memahami bagaimana menempatkan fikih untuk diyakini, dipelajari, didakwahkan. Yang penting tidak pernah ada pemaksaan, kekerasan apalagi makar. Lalu, bagaimana seharusnya langkah negara untuk menangkal kebangkitan PKI dan penyebaran paham komunisme termasuk ideologi radikal kapitalisme di Indonesia? Kewaspadaan tetap harus digalakkan oleh siapa pun yang peduli terhadap kelestarian negeri ini berbasis Religious Nation State. Hukum tidak boleh dipakai sbg alat melegitimasi ideologi yang bertentangan dengan Pancasila baik ideologi kiri (komunisme) maupun ideologi kanan (liberal kapitalisme). Keduanya bertentangan dengan prinsip Indonesia sebagai religious nation state.  Sepanjang sejarah reformasi, kita patut menduga telah terjadi upaya moderasi ideologi komunisme plus organisasi terlarang PKI. Mulai dari upaya penghapusan Tap MPRS No. XXV Tahun 1966, Putusan MK tentang Hak Dipilih Orang yang terlibat G 30 S PKI dan Keturunan PKI, Pemberian SKKPH kepada korban G 30 S PKI dan yang terkait dengan PPHAM ini adalah soal rekonsiliasi korban G 30 S PKI. Lebih tepatnya, \"Upaya Rekonsiliasi PKI sebagai \"Korban\".\" Balairung tanggal 27 Juli 2019 menurunkan suatu pawarta tentang rekonsiliasi korban \"pembantaian 1965\". Upaya untuk melakukan rekonsiliasi antara pihak \"korban\" pemberontakan PKI terus dilakukan. Namun demikian, dari pihak pendukung rekonsiliasi, ada dua kelompok yang saya kira cukup sulit untuk menerima upaya rekonsiliasi seperti angkatan bersenjata dan beberapa kelompok keagamaan. Mengapa perlawanan tersebut terjadi? Menurut versi pendukung rekonsiliasi, ada 2 kelompok penolak upaya rekonsiliasi. Kelompok pertama adalah militer dan keluarganya. Tentu saja karena merekalah yang ikut memproduksi penyeragaman sejarah. Mereka memproduksi narasi tidak seimbang bahwa PKI adalah dalang tunggal penculikan dan pembunuhan perwira militer. Kelompok kedua mereka sebut Islam Konservatif. Kesalahan memahami sejarah juga terjadi dalam faksi Islam konservatif. Mereka masih mewarisi pandangan sejarah yang manipulatif baik setelah maupun sebelum kemerdekaan Indonesia.  Dapat diambil kesimpulan bahwa beberapa elite yang terang-benderang menolak agenda rekonsiliasi ini memang tidak memiliki jarak dengan masa lalu. Sehingga rekonsiliasi menjadi sulit terwujud selain karena larangan resmi terhadap komunisme dalam TAP MPRS No. XXV 1966 dan Kepres No. 28 Tahun 1975, disebabkan juga karena dua kubu itu. Militer, khususnya TNI AD, dan Islam \"konservatif\" masih tidak berjarak dengan masa lalu.  Ada yang berpandangan bahwa rekonsiliasi itu mustahil dilakukan bahkan dikatakan penyelesaian kasus Penumpasan PKI 1965-1966 adalah pekerjaan yang pelik hingga saat ini. Penumpasan itu terjadi tidak dapat dipisahkan dari makar PKI khususnya pada tahun 1965. Rupanya di Indonesia, lebih mudah untuk memasukkan unta ke dalam lubang jarum daripada menyelesaikan kasus Penumpasan PKI ’65. Rekonsiliasi yang berusaha mengklaim bahwa PKI adalah korban, bukan pelaku makar pada 30 September 1965 tampaknya akan sulit terwujud bahkan akan terus membuka luka lama, berupa dendam politik yang tidak berkesudahan. Sejarah telah membuktikan bahwa makar partai yang berpaham komunisme telah merenggut ribuan jiwa di negeri ini. Ini sebuah fakta yang tidak dapat dipungkiri. Jadi, masih perlukah kita melakukan rekonsiliasi? Jawabnya, ternyata menurut rezim ini perlu, sebagaimana bisa kita maknai dari rekomendasi PPHAM. Kembali ke persoalan pengakuan Presiden Jokowi atas 12 pelanggaran HAM berat periode 1965 s/d 2020, menurut saya yang terpenting justru aspek yudisialnya harus dibereskan dulu agar generasi sekarang dan yang akan datang mempunyai kepastiannya. Baru setelah kepastian itu diupayakan langkah secara yudisial maupun non yudisial seperti yang direkomendasikan oleh Tim PPHAM bentukan Presiden. Bagaimana bisa sebuah peristiwa besar berupa pelanggaran HAM berat belum diadili baik secara penal maupun non penal lalu sudah dilakukan penyelesaiannya secara non yudisial? Siapa pelaku, siapa korbannya saja belum jelas, lalu bagaimana bisa menentukan kualitas dan kuantitas penyelesaian non yudisial? Bukankah hal ini terkesan hanya sebagai lips service dalam penyelesaian kasus-kasus HAM masa lalu sebelum rezim ini berkuasa sekaligus sebagai media \"bersih-bersih\" atas semua dugaan pelanggaran HAM berat karena Komnas HAM dan Tim PPHAM tidak pernah menetapkan satu pun peristiwa terbunuhnya banyak orang, puluhan hingga ratusan orang di masa pemerintahan Presiden Jokowi (2014 s/d 2024). Lalu siapa yang akan mengoreksi, menyelidikinya untuk menetapkan ada atau tidak adanya pelanggaran HAM berat dalam periode tersebut? Mau menunggu komitmen Presiden berikutnya? Tabik...!!!

Sebira versus Siberia: Catatan untuk Anies Baswedan

Oleh Dr. Syahganda Nainggolan - Sabang Merauke Circle. SEBIRA, demikian Anies Baswedan memulai proposisinya tentang demokrasi dan keadilan sosial, pada tulisan \"Meluruskan Jalan, Menghadirkan Keadilan\", Kompas, 16/02/23 lalu. Karena tulisan itu viral via medsos dalam potongan copy koran, hurupnya terlalu kecil, saya berpikir tadinya Siberia. Sebira adalah sebuah pulau di utara Jakarta, jauh dari Jakarta. Sedangkan Siberia adalah tanah di Rusia, eks Uni Soviet. Baik Sebira maupun Siberia, keduanya berbicara tentang peristiwa, yang menghadirkan pilihan politik dalam memajukan sebuah kehidupan.  Anies Baswedan, melalui tulisan tersebut, sudah mulai memperlihatkan platform politik perjuangannya.  Tulisan ini menyebar luas melalui media sosial dan jadi perbincangan publik. Pulau  Sebira, cerita Anies, adalah tentang tanah dan rakyat marginal, terpinggirkan, padahal masuk di ibukota.  Pulau ini terlalu jauh dari pusat pemerintahan.  Penduduknya kesulitan akses listrik, air bersih dan kapal hanya seminggu sekali. Namun, ketika Anies menjadi gubernur, perspektif pulau terluar, yang kurang diperhatikan, ditiadakan. Semua pulau, menurut Anies, punya hak dasar yang sama. Olehkarena itu, tidak ada perspektif berbasis jarak, semuanya berjarak nol dari ibu pertiwi. Republik menurutnya tidak boleh bekerja berdasarkan perspektif untung rugi, melainkan perspektif keadilan. Dengan demikian, hak-hak pulau Sebira dipenuhi Anies, setara dengan daerah lainnya. Di sini proposisi Anies Baswedan tentang peran negara harus melihat semua daerah mempunyai hak dan kesempatan yang sama, equal, tidak ada alasan geografis, jarak dari pusat pemerintahan. Untuk memanifestasikan keadilan sosial itu Anies mengajukan proposisi dalam 3 hal, pertama, demokrasi dan kesetaraan hukum. Kedua, ekonomi untuk semua. Dan ketiga, masyarakat yang guyub. Demokrasi penting untuk memberi ruang yang setara bagi semua. \"Demokrasi dan keadilan hukum yang akan mendorong kemajuan ekonomi yang berkeadilan\", menurut Anies. Ekonomi untuk semua, maksudnya merubah institusi market yang \"purely\" liberal menjadi \"social market economy\". Orang-orang miskin atau pengusaha kecil, bukan sekedar penunggu \"Charity\", melainkan ikut bertumbuh, tanpa mematikan pengusaha besar. Terakhir, Anies menjelaskan perlunya masyarakat guyub. Maksudnya terjadi interaksi sosial yang kuat antar warga dan penyelenggara negara. Kuncinya pada aspek kolaborasi dan meritokrasi. Kedua aspek ini akan memunculkan pemerintah(an) yang berintegritas. Pemerintah seperti ini yang akan meluruskan jalan dan memberikan keadilan untuk semua. Tentu kita mengapresiasi pikiran politik Anies ini. Karena ini adalah yang ditunggu-tunggu rakyat Indonesia untuk tidak \"membeli kucing dalam karung\". Sebelum ini kita hanya melihat survei2 elektabilitas dan popularitas capres-capres, naik turun, dipilih responden, padahal pikiran mereka belum disampaikan ke publik. Pikiran ini tentu saja belum bisa menjadi acuan pasti tentang komitmen menjalaninya setelah terpilih. Misal, Jokowi, pada 10/5/2014 menyampaikan pikiran pertamanya, juga di Kompas, dengan tema \"Revolusi Mental\". Maksudnya adalah melakukan transformasi budaya kekuasaan yang materialistik dan hedonis kearah pengabdian tulus ikhlas. Namun, fakta sebaliknya, koruptor merajalela di era Jokowi. Dengan  indeks persepsi korupsi sebesar 34, tahun 2022, Jokowi memperlihatkan mental pejabat negara sama buruknya dengan era Orde Baru yang penuh KKN. Apakah pikiran Anies tentang jalan menuju keadilan akan bernasib gagal seperti gagalnya Revolusi Mental Jokowi? Kenapa Jokowi gagal? Kunci kegagalan Jokowi adalah kegagalan dalam menghadirkan kritik atas situasi yang semula akan dirubahnya. Tidak ada juga \"Siberia.\" Siberia apa itu? Itu adalah sebuah tempat dipenghujung Rusia, yang membunuh 500 ribu kaum bangsawan Rusia setelah Revolusi Bolshevik 1917. Ada 14 juta pembangkang dikirim kerja paksa di kamp-kamp konsentrasi, di sana. Sebuah revolusi, mampu menunjukkan perbedaan antara masa lalu dan esok. Revolusi Bolshevik melihat bahwa kesengsaraan petani dan rakyat Rusia disebabkan pengkhianatan kaum bangsawan kala itu. Mereka menghisap rakyat kecil. Selanjutnya mereka harus menjalani hukuman, kerja paksa di Siberia. Jadi Siberia itu adalah sebuah simbol, pendukung Revolusi Bolshevik. Revolusi Mental Jokowi juga tidak seperti Revolusi Mental Mao Zedong di RRC. Revolusi Mao yang disebut Revolusi Kebudayaan telah merubah struktur sosial masyarakat dengan mengambil semuan anak-anak dari keluarga mereka, untuk dibina negara, sebagai anak negara, dengan kebudayaan baru. Sifat orang-orang Cina yang korup dan malas diubah Mao menjadi pekerja keras dan hidup sama rata sama rasa. Jutaan orang tewas sebagai korban Revolusi Mental Mao, kelaparan, namun China terus bergerak ke arah kehidupan baru. Pikiran Anies,  tentu layak untuk dibedah. Agar tidak bernasib buruk dengan pikiran Revolusi Mental. Merespon sebuah gagasan, apalagi yang dianggap berbasis pengalaman, dapat melahirkan pembaharuan atau penyempurnaan, sebelum menjadi acuan final sebagai platform politik. Untuk itu, ijinkanlah saya merspon pikiran Anies tersebut sebagai berikut, pertama soal ketimpangan sosial. Dalam menguraikan Pulau Sebira yang tertinggal, Anies tidak memperlihatkan relasi struktural antara segelintir oligarki dengan rakyat miskin di Indonesia. Urusan pulau Sebira adalah urusan pelayanan negara terhadap rakyatnya. Sedangkan ketimpangan yang ada saat ini terjadi dimana segelintir elite pengusaha mengendalikan mayoritas aset/sumber kekayaan nasional. Ada, umpamanya, satu dunia usaha yang mengendalikan jutaan hektare lahan perkebunan, ketika rakyat kesulitan mendapatkan sedikitpun lahan untuk bertahan hidup. Ada segelintir pengusaha yang mengendalikan seluruh tanah-tanah strategis perkotaan. Ada segelintir orang yang mengendalikan minyak goreng, yang membuat rakyat pernah terbukti tidak berdaya mendapatkannya secara bermartabat.  Ada segelintir orang yang mengendalikan aliran modal pembiayaan usaha. Dan lain sebagainya. Struktur ini berkembang cukup lama, yang membuat  kekayaan orang-orang kaya semakin kaya. Menurut Thomas Pikkety dan Professor Jeffrey Winters, pengali kekayaan mereka bersifat eksponensial. Bahkan, Jeffrey Winters dalam teorinya tentang oligarki, mereka ini kemudian menjadikan negara sebagai kaki tangan mereka. Kedua tentang \"Social Market Economy\". Konsep ini lahir di Jerman setelah Perang Dunia II. Wilhelm Ropke dan kawan-kawan yang menginisiasi  \"middle way\" (fee.org/articles/the-german-economic-miracle-and-the-social-market-economy/amp), tidak berani mendorong \"free market economy\" secara utuh disana, dari \"Planned Economy\" Era Hitler, karena Jerman mengalami kehancuran sosial yang begitu dalam paska perang. Kehancuran sosial ini, dianggap sebuah kejahatan kaum oligarki di sana, yang bersekongkol dengan Nazi/Hitler. Sehingga, konsekuensinya, ketika ekonomi bangkit kembali, paska perang, pengaturan ekonomi menjadi keharusan di mana kepastian redistribusi dan co-determination dalam dunia usaha, antara buruh (kaum miskin) dan pengusaha, dijadikan prinsip berbangsa yang adil. Pengusaha tidak diberikan kesempatan mengatur seenaknya ekonomi nasional. Ini adalah \"middle way\". Apakah mungkin menjalankan \"social market economy\" jika tidak ada pengakuan kehancuran sosial di Indonesia? Apakah mungkin mengajukan prinsip \"co-determination\" antara kaum pengusaha dan kaum buruh, tanpa ada sebab yang memperlihatkan struktur ketimpangan kita adalah sebuah kejahatan terhadap konstitusi? Sebuah pengkhianatan? Apakah mungkin berbicara tentang redistribusi jika kerakusan oligarki dianggap legal? Tentu saja ini akan menjadi mimpi belaka. Sebab, merujuk pada situasi Jerman dahulu, memang pengusaha di sana mendukung Hitler membunuh jutaan manusia. Sehingga mereka merasa sebagai pengkhianat, setelah Hitler kalah. Anies dapat saja mengasosiasikan prinsip-prinsip Social Market Economy dengan ekonomi kerakyatan yang digagas pendiri bangsa. Namun, keinginan itu bisa menjadi utopia, ketika rakyat tidak mempunyai kekuatan untuk marah. Rakyat tidak bisa marah kalau mereka bepikir bahwa kemiskinan mereka terjadi sebagai hal yang natural saja. Dengan demikian, maka para pemimpin rakyat harus bisa memperlihatkan bahwa kaum oligarki selama ini telah menjadi penindas. Pikiran Anies belum sampai kepada menunjukkan adanya kritik atas ketimpangan sosial. Padahal, berbagai kemarahan rakyat selama satu dekade belakangan ini, berreferensi pada fakta kerakusan oligarki tersebut. Bahkan, kaum oligarki telah dipersepsikan bersekongkol dengan kekuasaan lokal dan internasional untuk mengeruk sumber daya alam kita. Tanpa masuk pada kritik ini, dikhawatirkan pikiran Anies akan serba tanggung untuk menjadi platform perjuangan rakyat yang militan. Ketiga, soal demokrasi dan kesetaraan hukum. Demokrasi dan kesetaraan hukum merupakan turunan dari keseimbangan sosial dalam relasi power. Jika kita gagal menyeimbangkan distribusi kekayaan rakyat, maka segelintir oligarki akan terus berupaya mengontrol jalannya pemilu. Ini terlihat seperti \"teka-teki telur dan ayam\", mana duluan. Atau lingkaran setan. Kita mulai dari mana? Begitu juga soal guyub. Persatuan sesama warga dan persatuan warga dengan pemerintah, berkolaborasi, juga merupakan kepentingan natural, jika struktur ekonomi yang mendominasi dieliminasi. Sebaliknya, perpecahan seringkali merupakan produk yang sengaja direkayasa untuk membuat kontrol vertikal rakyat terhadap negara maupun oligarki melemah. Bagaimana selanjutnya?  Anies telah memulai menguraikan pikiran politiknya atau platform perjuangan di media massa, yang membuat kita mengerti sosok Anies untuk memimpin bangsa. Secara relatif, pikiran Anies menjanjikan adanya perubahan yang akan membawa bangsa Indonesia ke arah yang lebih baik, lebih berkeadilan. Ini relatif. Namun, secara absolut, tentu saja tawaran Anies, dalam pikiran perubahan tersebut, terlalu sedikit di tengah hausnya tuntutan rakyat saat ini. Rakyat benar-benar butuh perubahan besar.  Misalnya, mungkinkah 5 juta hektare lahan perkebunan yang dimiliki sebuah perusahaan, misalnya, dibagikan kepada  satu juta Rakyat Indonesia, dalam sebuah koperasi rakyat? Mungkinkah tambang-tambang batubara, nikel, bauksit, emas dalam  skala besar diberikan kepada koperasi rakyat? Sehingga rakyat mempunyai alat produksi untuk hidup.  Kemungkinan Anies dapat melakukan itu cukup berat. Namun, Anies tentu lebih mungkin secara relatif melakukan cita-cita perubahan dibandingkan capres dari kalangan pemerintahan saat ini, yang mungkin sama dengan rezim Jokowi saat ini. Bagaimana Anies bisa melakukan itu? Untuk dapat melakukan hal tersebut, sebuah revisi pemikiran harus dilakukan. Pertama, Anies harus memulai juga berpikir tentang Siberia, bukan hanya Pulau Sebira. Kedua, Anies harus mengungkap adanya kejahatan berbasis legal yang memiskinkan rakyat Indonesia selama ini. Harus ada pengkhianat negara yang di \"Siberiakan\". Dihukum sebagai koreksi sosial.  Namun semua tergantung kolaborasi Anies dan rakyat semesta. Jika Anies mengikuti gelombang hasrat rakyat untuk perubahan, mengalami energi bersama untuk perubahan, antara pemimpin dan rakyatnya, maka sangat mungkin Indonesia ke depan akan berubah. Mungkin keadilan yang didambakan rakyat akan tercapai. Mungkin cita-cita proklamasi kemerdekaan dapat diwujudkan Anies nantinya. Semoga. Itulah pentingnya \"mengubah\" Sebira menjadi \"Siberia\". (Sukamiskin - Bandung)

Kriminalisasi Anies, Apa Yang Akan Terjadi?

Oleh Tony Rosyid  - Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa TEMUAN Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), ada enam penyimpangan terkait pembelian Rumah Sakit Sumber Waras oleh Pemprov DKI Jakarta. Enam penyimpangan itu ada diproses perencanaan, penganggaran, penyusunan tim pembelian tanah, penetapan lokasi, pembentukan harga dan penyerahan hasil pengadaan tanah. Temuan BPK ini telah disampaikan ke KPK. Tapi, KPK terkesan tidak serius menindaklanjutinya. Malah, kasus ini berhenti. Menurut BPK, jelas ada kerugian negara yaitu 191 miliar. Sejumlah saksi telah bicara.  Di kasus Sumber Waras, jelas ada ketidakberesan. Diduga ada yang maling uang negara. KPK diam. KPK tidak bergeming. KPK tidak menindaklanjuti kasus tersebut. Bahkan cenderung membiarkan Ahok, Gubernur DKI saat itu berseteru secara terbuka dengan pimpinan BPK DKI di depan publik.  Giliran terkait Formula E, publik jelas membaca KPK terkesan sengaja memburu Anies. Ada semacam upaya paksa untuk mentersangkakan Anies. Formula E diubek-ubek. Dicari-cari kesalahannya. Padahal, rekomendasi BPK terhadap Formula E clear. Tidak ada masalah, dan Formula E bisa digelar. Tidak ada korupsi. Tidak ada kerugian negara. Tidak ada yang maling. Masalahnya hanya satu: karena Formula E itu pekerjaan Anies. Bukan hanya tidak boleh sukses, tapi dicari-cari kesalahan yang memungkinkan untuk menjadikan Anies tersangka. Perlakuan KPK terhadap Formula E berbanding terbalik dengan perlakuan terhadap Rumah Sakit Sumber Waras. Yang menurut BPK, Rumah Sakit Sumber Waras jelas ada unsur korupsi, tapi dibiarkan. Yang clear, dicari kesalahannya. Publik melihat perbedaan perlakuan ini begitu jelas. Coba bayangkan, gelar perkara Formula E dilakukan delapan kali. Dipaksakan untuk naik ke penyidikan tanpa tersangka. Majalah Tempo bahkan mengungkap ada pressure yang begitu kuat kepada penyidik untuk menetapkan Anies tersangka. Menolak, lalu ada yang laporkan para penyidik itu ke Dewan Pengawas KPK, dengan tuduhan tidak jalankan perintah atasan. Kalau perintah atasannya tidak benar, kenapa harus diikuti? Sejumlah penyidik kekeuh dan bertahan dengan memegang hasil penyelidikan. Intinya, tidak ada dua alat bukti, maka Anies tidak bisa ditersangkakan. Akibat kekeuhnya mereka, beberapa penyidik senior dikembalikan ke institusinya. Apakah ini artinya para penyidik itu sengaja diiusir dari KPK? Beberapa bulan lalu, seorang mantan penggede di KPK bilang ke saya: Anies hanya bisa dijadikan tersangka kalau para penyidik itu diganti. Ternyata, mereka sekarang telah disingkirkan. Apakah ini tanda akan adanya kenekatan KPK untuk tersangkakan Anies? Rusaklah penegakan hukum di negeri ini jika aparat penegak hukum ikut bermain politik. Ini semua terjadi karena Anies kandidat kuat untuk menjadi Presiden RI 2024. Publik membaca semua kegaduhan di KPK adalah bagian dari upaya menjegal Anies nyapres. Atas kenekatan ini apakah Koalisi Perubahan akan diam? Apakah para relawan Anies juga diam? Apakah para aktifis hukum diam? Apakah kelompok-kelompok aktifis yang tidak mendapat panggung di 2024 tidak akan memanfaatkan situasi ini untuk menciptakan ledakan politik? Nekat, dan benar-benar nekat jika Anies dikriminalisasi. Rakyat akan putus asa jika kriminalisasi nekat dilakukan. Frustasi rakyat yang terlanjur berharap adanya perubahan di 2024 akan mendorong lahirnya tindakan-tindakan yang sama nekatnya. Nekat ketemu nekat, ini bisa menyebabkan terjadinya ledakan yang dahsyat.  Jika itu terjadi, lenyap sudah demokrasi yang kita rintis sejak era rreformasi berdiri. Lenyap sudah stabilitas keamanan dan politik yang selama ini kita jaga bersama. Ledakan berpotensi memporakporandakan semuanya. Yang tersisa adalah permusuhan yang berkepanjangan. Persatuan sebagai anak bangsa akan terkubur seiring dengan ambisi dan ego sejumlah elit yang gegabah mempermainkan dan mempertaruhkan hukum di meja politik. Jakarta, 23 Pebruari 2023

Politik Dracula

Oleh M Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan  KETIKA dituliskan sejarah tokoh jahat Dracula muncul komentar atau ungkapan tentang bagaimana keterkaitan antara Dracula dengan kehidupan politik kini. Dahulu juga Dracula itu bermain di wadah politik. Ia adalah raja di Wallachia Rumania. Kekuasaan kerajaan yang berwatak otoriter dan tidak berperasaan.  Sekurangnya ada lima hal yang menandai Politik Dracula, yaitu : Pertama, ringan menghianati teman. Vlad III atau Dracula adalah teman \"seperguruan\" Mehmet II yang bersama dididik di lingkungan Kesultanan termasuk pendidikan kemiliteran. Kemudian ia menghianati dan berpolitik \"tidak ada teman abadi, yang ada adalah kepentingan\". Anak buah Mehmet II dibantai dan disiksa dengan sadis.  Kedua,  politik menakutkan. Untuk memperkokoh kekuasaan dan menekan perlawanan segala sikap berlawanan harus diberi \"pelajaran menakutkan\". Dipaku kepala dan disula  adalah kekejian yang menggentarkan. Kekerasan menjadi habitat dari kekuasaan Dracula.  Ketiga, misticism atau klenik. Baik dalam film maupun fakta historis Dracula dekat dengan perilaku mistik dan dunia hitam. \"Drac\" dalam bahasa Rumania itu artinya Iblis. Berpolitik dengan merapat pada dunia klenik dan mistik adalah Politik Dracula. Dikelilingi dukun dan tukang sihir.  Keempat, gemar menipu, berbohong dan menjebak. Pangeran Dracula mengundang bangsawan Bulgaria dalam perjamuan Istana tetapi itu jebakan untuk pembantaian. Semua berujung disula. Begitu juga dengan 500 pedagang Jerman yang diundang perjamuan diperlakukan sama. Disiksa dan dibunuh.  Kelima, tujuan menghalalkan segala cara. Cara berpolitik Dracula itu nir-moral, apapun dapat ia kerjakan. Menghalalkan segala cara. Perilaku Raja Rumania ini diteruskan dalam konsepsi \"Il Principe\" Niccolo Machiavelli. Saat Dracula tewas 1476 usia politikus Italia ini baru 7 tahun. Ia lahir pada tahun 1469.  Politik Dracula \"penghisap darah\" dipraktekkan oleh banyak penguasa dunia. Menciptakan teror ketakutan pada rakyat dan lawan politik. Namun satu hal yang ia dan penguasa teroris dimanapun lupa adalah bahwa semua ada ujungnya. Kematian.  Dracula menemui ajal tragis di bawah kilatan pedang pasukan Al Fatih dan Radu Cel Framos, saudara Vlad III atau Dracula sendiri.  Biarlah para penguasa zalim bebas berbuat di di dunia dengan semena-mena kelak setelah mati akan banyak teriakan yang memekakkan telinganya \"Go to Hell  !..Go to Hell  !\".  Neraka dengan siksaan abadi yang tidak membuat mati-mati. Bersama Iblis yang dulu dipuji dan kini dilaknati.  Bandung, 23 Februari 2023

BPKH Cemas dan Panik

Oleh Sutoyo Abadi - Koordinator Kajian Politik Merah Putih BADAN Pengelolaan Keuangan Haji (BPKH) adalah lembaga yang melakukan pengelolaan Keuangan Haji. Keadaan internal BPKH lagi goyang.  Pejabatnya cemas, khawatir, panik karena makin banyak jemaah mengajukan penarikan kembali dana pelunasan BPIH haji.\" \"Sejak awal tahun, sudah ada sekitar 500 jemaah yg ajukan penarikan\". Kena apa panik, masa cuma 500 jemaah ajukan penarikan bikin cemas dan  panik BPKH. Padahal total penarikan dana 500 orang kan hanya = Rp 39 jt x 500 = Rp 19,5 M ( sangat kecil ). Ada sinyal ada kesulitan untuk membayarnya. Laporan BPKH Desember 2022 unaudited menyatakan:  total dana kelola adalah Rp 166 T, penempatan di Bank Rp 48,97 T, nilai manfaat ada Rp 10 T. Kalau memang itu benar dan uang  ada di bank pasti aman dan segera bayar. Kenapa untuk bayar penarikan Rp 19,5 M saja harus panik Bukankah lebih dari cukup untuk melunasi? Kalau benar uangnya ada, bayarlah penarikan kembali biaya ibadah haji untuk para jamaah yang mengundurkan diri karena tidak mampu untuk bayar tambahan yang diminta karena ada kenaikan biaya ditahun 2023. Jangan-jangan benar apa kata Bang Rizal Ramli: Bahwa dana haji yg dikelolah BPKH hanya tersisa Rp 18 M..  Sisanya lagi jalan-jalan, entah diinvestasikan ke mana dengan posisi hasil yang tidak jelas untung atau rugi.  Pernyataan Bang Rizal belum tentu salah, bisa jadi benar, kenapa?. Karena laporan keuangan BPKH belum pernah diaudit. Kalau benar kata Bang Rizal, dana haji hanya tersisa Rp 18 M, maka menjadi benar kurang dan BPKH kesulitan untuk membayar penarikan Rp 19,5 M. Kalau yang mundur terus bertambah dari sekitar 500 jamaah haji saat ini, risiko BPKH harus mengembalikan uang ke calon jamaah haji akan lebih besar lagi. Berapapun jumlahnya karena itu uang jamaah dan diminta kembali, sesuai amanah UU harus dibayar atau dikembalikan. Atas kejadian itu BPKH jangan membuat rekayasa atau menyusun strategi demi meyakinkan jemaah untuk batalkan penarikan dana atau mencegah penarikan dana oleh jemaah lainnya secara luas, karena tidak bisa membayar. BPKH panik karena berdasarkan laporan BPKH sendiri, dari total Rp 166 T dana haji yang dikelolah BPKH, bahwa dan Rp 116 T nya tidak ada di tempat. Konon sedang diinvestasikan jangka panjang dengan posisi pengembalian yang tidak transparan dan tidak jelas untung atau rugi. Maka ketika  jemaah ramai-ramai tarik dana, BPKH mau ambil duit dari mana buat membayarnya. Pantas cemas dan panik. Risiko bukan hanya kepada BPKH otomatis akan berdampak pada APBN dan memicu masalah saldo debet serta ambruknya CAR Bank Muamalat.  Dari Rp 116 T dana haji yang diinvestasikan BPKH, 70,05% atau setara Rp 115 T dialokasikan untuk investasi atau membeli Surat Utang Negara (obligasi pemerintah).  Kata lain uang sedang dipinjamkan lewat pembeli obligasi. Maka BPKH harus menunggu jatuh tempo pelunasan atau pengembalian dana jemaah haji yang sedang dipinjam pemerintah agar bisa lunasi penarikan dana jemaah.  Masalahnya kapan dikembalikan oleh pemerintah. Tidak tahu kapan dan berapa lama Pemerintah mau dan mampu mengembalikan dana jamaah haji yang di pinjam. Dana haji yang diinvestasi di SUN masuk APBN.  Jamaah haji yang mengajukan penarikan dana harus nunggu pemerintah kembalikan uang mereka terlebih dahulu.  Situasi terkini  APBN 2023 sedang mengalami defisit atau rugi Rp 598,2 T. Bahkan primary balance APBN 2023 defisit Rp 156,8 T.  Artinya dana ibadah haji yang dipinjam pemerintah dan masuk dalam APBN kondisinya tidak aman, baik pengembalian, apalagi tentang bunga utang dan hasil investasinya. Giliran keadaan darurat, jamaah haji yang disuruh memikul beban lewat kenaikan biaya-biaya.  Giliran jamaah keberatan, milih narik dana dan batalkan haji, mereka malah balik menjawab dengan siasat macam-macam untuk saling melindungi.  Inilah salah satu alasan terbesar BPKH panik menanggapi penarikan dana jemaah. Sangat disesalkan DPR (khususnya Komisi VIII),  mestinya bisa menjaga dan mengamankan uang jamaah haji, sejak awal sudah menyerah dengan pemerintah. Tak berdaya menjalankan fungsi pengawasannya. ****

Misteri Ijazah Palsu

Oleh Sutoyo Abadi - Koordinator Kajian Politik Merah Putih  BUKU Jokowi Under Cover 2 ( dua ) setebal 226 halaman, adalah  petunjuk awal tentang dugaan ijazah palsu P. Jokowi.  Benar atau tidak lebih tepat kita bersabar menunggu hasil pengadilan yang sedang berlangsung di kota Surakarta.  Sekalipun proses pengadilan Gus Nur dan Bambang Tri di Solo adalah perkara mubahalah. Tetapi terkait dugaan ijazah palsu, dalam pengadilan tersebut justru lebih kuat pembuktian pada ijazah Jokowi palsu atau tidak, merambah liar kemana mana. Keributan atau gaduh tentang misteri ijazah palsu Jokowi akan  segera berahir, seandainya Pak Jokowi secepatnya menunjukkan ijazah aslinya. Sayang sampai saat ini belum terjadi adalah misteri lain yang harus diungkap. Rujukanya kembali ke buku *Jokowi Under cover 2 ( dua ). Dari buku tersebut sekedar gambaran dugaan ijazah palsu Jokowi tidak sulit untuk di mengerti dan ditangkap ceritanya. Cukup menarik tentang dugaan ijazah palsu ini dilengkapi dengan bukti bukti dokument dan petunjuk proses pemalsuannya. Bambang Tri sampai pada kesimpulan bahwa \"Ijazah Jokowi khususnya ijazah SMA diduga kuat palsu.\" Misteri dugaan palsunya ijazah Jokowi ternyata juga merambah pada Ijazah SD dan SMP dan SMA nya.  Sekalipun hanya  ijazah SMA nya yang saat itu menjadi syarat kelengkapan administrasi saat maju sebagai Walikota, Gubernur dan Presiden. Berdasarkan informasi, penjelasan dari anak P Joel Martono yang menyatakan bahwa ijazah Jokowi di SMA Negeri Surakarta dari kelas 3 IPA 2 tahun 1980 bernomor seri  008112 adalah palsu ( h. 33 ) Karena nomor ijazah dengan nomor seri tersebut adalah milik Joko Wahyudi bukan milik Joko Widodo. Terbaca  proses cara pembuatan ijazah palsu di otak atik nomor induk yang di palsukan ( h.51 ) Dalam proses pelacakan yang cukup rumit dan memakan waktu panjang Bambang Tri menemukan petunjuk lebih lanjut dari Ibu Sri Handayani ( lulusan kelas 3 IPA 1- SMA 6 Surakarta ) menjelaskan yang bersangkutan tidak mengenal yang namanya Joko Widodo dan memastikan ijasahnya palsu (  h. 52 ) Pada halaman tersebut Bambang Tri sudah bersumpah : \"tembak kepala saya kalau saya tidak bisa membuktikan ijazah Jokowi palsu SD - SMP - SMA dan UGM\" Terlihat ijazah asli Ibu Sri Handayani setelah disandingkan dengan copy ijazah Jokowi,  Bambang Tri menyimpulkan bahwa _\"no urut dan nomor seri ijazahnya asli hanya no induknya yang palsu ( diduga hasil rekayasa editan ) - ( h.53 ) Ada penjelasan bahwa dalam ijazah seharusnya tertulis angka (tujuh, delapan, enam) bukan berupa huruf (a, b, c, d ) - ( h. 58) Penjelasan dari Ibu Handayani bahwa ijazah asli hitam putih (tidak kenal editan) karena di tahun 1980 belum ada foto editan ( h. 65). Ada  kedekatan Ibu Sri Handayani sebagai teman Jokowi sejak di SMP 1 Negeri Surakarta. Pada tahun 2014 Cemplon ( almarhum ) juga bersumpah : \"tembak kepala saya bila Jokowi asli lulusan UGM - SMA saja nggak lulus kok\". Lebih lanjut ulasan Cemplon ( h.83 ) Dalam buku tersebut tidak kalah banyak saksi saksi hidup yang membenarkan bahwa ijazah Jokowi adalah asli . Silah sengkarut tak ada artinya kalau masing bersikukuh benar dengan pendapatnya masing masing . Jalan terbaik adalah : Lewat pengadilan, tunjukan ijazah asli Jokowi langsung ke masyarakat. Ada tanda tanya dari mana Bambang Tri bisa mengatakan dokumen yang dimiliki adalah palsu atau tidak palu . Perlu chek rechek terdengar info ternyata Bambang Tri ada bantuan dari ahlinya yaitu Roy Suryo di Jogjakarta. Roy Suryo  sering menjadi narasumber di berbagai media massa Indonesia untuk bidang teknologi informasi, fotografi, dan multimedia. Oleh media masa Indonesia ia sering dijuluki sebagai pakar informatika, multimedia, dan telematika. Seandainya ternyata benar bahwa ijazah SD, SMP dan SMA Jokowi benar benar palsu. Ini aib besar bagi bangsa Indonesia. Dan hal tersebut cepat atau lambat akan berakibat hukum yang sangat berat bagi Jokowi. ****

Pertarungan Luhut Melawan Anies

Oleh - Smith Alhadar, Direktur Eksekutif Institute for Democracy Education (IDe) DALAM konteks pilpres 2024, hiruk-pikuk dan polarisasi politik masyarakat Indonesia hari ini berpusat pada dua tokoh antagonistik ini: Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan dan mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan. Sengaja saya mengabaikan Jokowi dalam hal ini karena yang menjadi otak rezim adalah Luhut. Ini tidak berarti Jokowi bisa cuci tangan terkait kebijakan-kebijakan Luhut yang kontroversial. Juga berbagai upaya menjegal Anies menjadi peserta pilpres. Toh, Jokowi berperan sebagai pemberi legitimasi atas semua gagasan dan tindakan pemerintah, yang notabene dirancang Luhut. Ini terjadi karena Jokowi adalah presiden karbitan, yang diorbitkan oligarki ekonomi dan oligarki politik. Luhut-lah orang yang punya visi, yang berakibat pada ketergantungan Jokowi padanya. Secara alami, pihak inferior akan tunduk pada pihak superior. Dalam polarisasi masyarakat ini, saya juga mengabaikan peran elite politik lain, khususnya para aspiran capres, karena mereka semua hanyalah penari yang menari mengikuti gendang yang ditabuh Luhut. Dengan cerdik, Luhut memanfaatkan elite parpol yang punya masalah hukum untuk menjalankan koreografi yang diciptakannya. Lebih dari itu, mereka hanyalah wayang-wayang Jokowi berwajah Luhut. Namun, wibawa Luhut ditantang Anies, satu-satunya aspiran capres yang dipandang sebagai pembangkang terhadap rancang-bangun program pembangunan pemerintah yang disusunnya. Dus, Luhut melambangkan kekuatan status quo, Anies simbol kekuatan pro-perubahan. Tak heran, Luhut didukung Cina, Anies disukai Barat. Kedua tokoh datang dari generasi berbeda. Luhut disusui Orde Baru, Anies dibesarkan Orde Reformasidengan rekam jejak sebagai oposan rezim Soeharto. Pendidikan militer yang ditempuh Luhut, yang tugas pokoknya adalah membunuh lawan, membuatnya cenderung mengabaikan prosedur dan konsensus — yang prosesnya bertele-tele — dalam membuat public policy. Itu terlihat dari produk-produk hukum pemerintah yang menerabas konstitusi. Anies adalah sarjana ekonomi dan politik tamatan AS yang terlatih melihat setiap fenomena sosial dengan “pandangan mata burung”. Artinya, dalam membuat public policy, ia mempertimbangkan semua aspek yang relevan dengan melibatkan semua stake holders guna melahirkan kebijakan yang matang. Perlu juga dicatat bahwa Luhut adalah pebisnis besar, sedangkan Anies adalah aktivis sosial. Ini membuat keputusan Luhut hanya berdasarkan pada pertimbangan untung-rugi. Sementara kebijakan Anies berorientasi pada kemaslahatan sosial. Perbedaan keduanya juga tak bisa dipisahkan dari latar sosial-budaya yang membesarkan mereka. Menimbang pandangan politik dan ekonominya, yang diimplementasikan rezim Jokowi, Luhut secara sempurna mewakili Orde Baru. Anies, yang tak jauh-jauh amat dari generasi milenial, menghadirkan paradigma baru yang dinamis. Pertentangan Luhut-Anies sudah terlihat sejak awal Anies memimpin Jakarta. Misalnya, dalam kasus penghentian proyek reklamasi di Teluk Jakarta. Luhut mewakili oligarki yang menghendaki proyek dilanjutkan. Sebaliknya, Anies bergeming, karena proyek ini mengancam lingkungan dan nafkah nelayan kecil. Contoh lain, beberapa kali Luhut membatalkan kebijakan Anies terkait penanggulangan epidemi covid-19. Dari latar belakang perbedaan sosiologis dan ideologis tersebut, tak heran kalau Luhut kurang menghargai demokrasi dan perbedaan pendapat, serta mengutamakan pertumbuhan ekonomi dengan mengorbankan semua aspek dan mekanisme tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Maka kita menyaksikan pemerintah memanjakan oligarki dengan mengabaikan hak buruh melalui UU Cipta Kerja yang keabsahannya di tolak Mahkamah Konstitusi. Rezim juga mencobloskan oposisi kedalam penjara, menjustifikasi kekerasan negara terhadap anak bangsa, dan menghalang-halangi munculnya pemimpin tandingan yang dipandang mengancam kelangsungan hidup status quo. Ini sama persis dengan kelakuan rezim Soeharto. Sebaliknya, ketika memimpin Jakarta, Anies memberi contoh tentang good governance. Artinya, kemajuan ekonomi tetap bisa dicapai tanpa harus berpegang pada trilogi pembangunan Orba yang kaku: stabilitas yang ditegakkan dengan penindasan, pertumbuhan ekonomi yang mengandalkan konglomerat (trickle down effect), dan pendistribusian kue ekonomi yang tentu saja tidak merata. Anies membuktikan bahwa pembangunan berbasis humanistik, berkeadilan, dan kolaboratif, justru akan membuahkan hasil yang berkualitas: yang kecil dapat membesar, yang besar tidak mengecil. Dan berbeda dengan Luhut, Anies menghadapi kritisisme secara arif, menciptakan stabilitas Jakarta melalui narasi persatuan yang tercipta melalui kesamaan tujuan semua warga. Di bawah kepemimpinannya, angka kemiskinan Jakarta turun signifikan. Pertumbuhan ekonominya termasuk yang tertinggi di antara 34 provinsi. Dan Anies mendistribusikan hasil-hasil material maupun nonmaterial pembangunan kepada semua secara merata. Komunitas-komunitas agama minoritas yang dulu tak memilihnya, dan awalnya meragukan kualitas kepemimpinannya, pada akhirnya bangkit mengapresiasi kebijakan-kebijakannya. Memang masih banyak yang harus dikerjakan untuk menciptakan Jakarta yang lebih baik, nyaman, dan indah. Tapi apa yang sudah dicapai dalam waktu relatif pendek menggambarkan keberhasilan konsep pembangunan alternatif dan model kepemimpinan baru yang ditawarkan Anies cukup berhasil. Terbukti hasil jajak pendapat lembaga-lembaga survey yang kredibel menunjukkan 83 persen warga menyatakan puas pada kinerja Pemprov DKI. Kembali ke konteks pilpres, terkesan kuat Luhut masih berusaha agar gagasan memperpanjang masa jabatan presiden atau Jokowi tiga periode dapat direalisasikan. Karena gagasan ini ditentang publik, kini dicurigai ia bikin skenario alternatif: menyiapkan capres yang akan meneruskan kebijakan dan program pembangunan pemerintah. Karena berpotensi menggantikan Jokowi, Anies dianggap musuh besar. Maka, bukan tidak mungkin orkestrasi tentang Anies mengusung politik identitas, yang akan menegakkan khilafah, bersumber dari Luhut untuk menakut-nakuti rakyat. Ini sama persis dengan strategi Orba yang setiap memasuki tahun politik, isu bahaya laten PKI dan DI/TII diamplifikasi untuk mengintimidasi rakyat. Pada 10 Februari lalu, sambil mengungkap harapannya agar presiden terpilih 2024 — kalau pilpres jadi diselenggarakan — melanjutkan kebijakan dan capaian yang telah ditorehkan Jokowi (baca: Luhut), Menko Marves itu menyatakan bodoh presiden yang tidak melakukannya. Pernyataan ini menegaskan tiga hal. Pertama, ia mengklaim dirinya pintar. Toh, apa yang dipandang sebagai capaian rezim Jokowi adalah hasil dari buah pikiran dan kebijakannya. “Presiden berikut tak perlu malu meneruskan periode sebelumnya,” katanya. Artinya, dia berasumsi presiden berikut tidak mungkin sepintar dia dan tidak mungkin pula menghasilkan kebijakan yang lebih baik daripada dia, sehingga wajar kalau mengadopsi rancangan pembangunan yang dibuatnya. Memang melihat kapasitas aspiran capres yang ada, di luar Anies, klaim Luhut ada benarnya. Kedua, ia mengklaim rezim Jokowi berhasil secara gilang-gemilang. Menurutnya, pemerintah telah menciptakan ekosistem yang baik. Ini merupakan “gebrakan baru” dalam sejarah Indonesia, katanya. Salah satu ekosistem yang dibangun adalah hilirisasi industri, yang ia klaim akan memberikan nilai tambah yang besar bagi perekonomian Indonesia. Ketiga, secara tak langsung ia menganjurkan publik untuk tidak memilih Anies, karena Anies sebagai anti-tesa Jokowi adalah orang bodoh. Tentu saja pernyataan Luhut ini gegabah dan arogan. Toh, orang bisa dengan mudah membuktikan kemunduran Indonesia di hampir semua lini kehidupan bernegara dibawah “kepemimpinan Luhut.” Sebut saja utang negara yang terus menggelembung, pengangguran dan kemiskinan meluas akibat banyak perusahaan manufaktur gulung tikar dan daya beli masyarakat anjlok. Mengenai keberhasilan hilirisasi industri sebagai salah satu ekosistem yang diklaim Luhut, anggota Komisi VII DPR mengungkapkan ketidakyakinannya atas program hilirisasi nikel dan mineral lainnya. Ekonom Faisal Basri malah mengecam kebijakan itu karena hanya memberi keuntungan pada Cina, oligarki, sementara negara tidak mendapat apa-apa. Indeks pembangunan manusia, korupsi, dan demokrasi anjlok. Penegakan HAM dan hukum juga memprihatinkan. Dan pembangunan infrastruktur yang massif ternyata melahirkan banyak masalah. Di antaranya, pertama, pembayaran bunga utang untuk membiayai infrastruktur saja sudah mencapai hampir Rp 500 triliun setahun, yang dibayar melalui perluasan pajak hingga ke rakyat kecil dan menambah utang baru hanya untuk membayar bunganya saja. Kedua, banyak infrastruktur yang mangkrak atau disfungsi. Ketiga, infrastruktur yang dimaksud untuk membangun konektivitas guna meningkatkan daya saing dan kinerja ekonomi bangsa tidak terbukti. Maka, klaim Luhut tentang program pembangunan pemerintah yang dikendalikannya sebagai “gebrakan baru dalam sejarah bangsa” doesn’t make sense. Memang itu bukan gebrakan baru, karena semua itu hanyalah copy paste konsep pembangunanisme (developmentalism) Orba, yang berupa sistem ekonomi ekstraktif yang memanjakan oligarki. Dengan demikian, pantaskah pengganti Jokowi melanjutkan blue print pembangunan yang dirancang Luhut? Bodoh kalau ada yang melanjutkannya. Sekarang mari kita tengok konsep dan paradigma pembangunan Anies yang telah ia wujudkan di Jakarta. Melalui tulisannya yang bagus di Kompas, 17 Februari, di bawah judul “Meluruskan Jalan, Menghadirkan Keadilan”, kita dapat menangkap pesannya bahwa ia melihat ada kesalahan fundamental pemerintah dalam menjalankan pembangunan selama ini sehingga perlu diluruskan demi mewujudkan cita-cita kemerdekaan. Anies menegaskan, pemerintah harus melayani kebutuhan rakyat secara adil tanpa memperhitungkan untung-rugi. Menurutnya, “Republik ini berdiri dengan janji menghadirkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Tanpa kecuali.” Karena itu, ia memanifestasikan keadilan sosial melalui gagasan yang konkret, yang bisa meluruskan jalan bagi masa depan republik ini. Ia juga mendorong penguatan demokrasi melalui beberapa prinsip: menjalankan amanah reformasi, menghadirkan kesetaraan hukum, mendorong masyarakat sipil yang kritis, menguatkan landasan demokrasi elektoral. Ia mengingatkan, demokrasi adalah sebuah jalan panjang yang harus kita rawat bersama. Salah besar jika kita memandang demokrasi sebagai sesuatu yang bisa tumbuh dan bertahan begitu saja. Jalan demokrasi bukan jalan pintas pembangunan. Demokrasi adalah ikhtiar mewujudkan manusia yang bermartabat. “Manusia yang merdeka berpikir, berpendapat, dan menentukan tindakan.” Dari aspek pertumbuhan ekonomi, Anies mengkritik cara pandang kita — mungkin terutama cara pandang Luhut — yang hanya berhenti pada angka-angka makro, yang diibaratkan potret dua dimensi. Menunjukkan yang dipermukaan, tapi tak selalu menggambarkan kedalaman dampak yang dirasakan warga. Karena itu, yang didorong Anies adalah pertumbuhan ekonomi yang berkualitas. Bukan sekadar dilihat dari aspek makro, tapi dampaknya bisa menjangkau semuanya. Semakin merata, semakin tinggi pertumbuhannya. Tentu saja pemikiran pembangunan Anies berbeda dengan Luhut. Sebenarnya pemikiran dan kebijakan Anies inilah yang mestinya dilihat Luhut sebagai “gebrakan baru dalam sejarah Indonesia.” Pertarungan Luhut dan Anies akan berakhir di kotak suara pada 14 Februari. Siapakah pemenangnya, Orde Baru atau Orde Reformasi? Rakyat yang menentukan. Melihat sambutan massif rakyat di mana pun Anies hadir menggambarkan rakyat menghendaki perubahan. Walakin, Luhut sangat powerful, yang mampu mengubah apa saja yang dia kehendaki, termasuk mengubah harapan rakyat menjadi mimpi buruk. Wallahu ‘alam bishshawab! Tangsel, 19 Februari 2023

Presiden Jokowi Sengaja Melanggar Undang-undang

Oleh M Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan  PRESIDEN Jokowi disinyalir melawan Putusan MK dalam kasus UU Cipta Kerja. Alih-alih menjalankan Putusan MK, Presiden justru menerbitkan Perppu. Di samping itu Presiden Jokowi juga terang-terangan telah melanggar UU No 39 tahun 2008 tentang Kementrian Negara khususnya yang berkaitan dengan perangkapan jabatan.  Pasal 23 UU No 39 tahun 2008 tersebut menyatakan bahwa :  Menteri dilarang merangkap jabatan sebagai : a. pejabat negara lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan; b. komisaris atau direksi pada perusahaan negara atau perusahaan swasta; atau c. pimpinan organisasi yang dibiayai dari APBN dan/atau APBD. Perangkapan jabatan menurut Ombudsman potensial untuk terjadinya tindak pidana korupsi.  HU Pikiran Rakyat memberitakan dari 144 BUMN atau sejenis terdapat 541 jabatan komisaris atau dewan pengawas yang 41 % atau 222 merangkap jabatan sebagai pejabat pemerintah. Belum BUMD yang menempatkan Sekda sebagai komisaris BUMD.  Yang kini diramaikan adalah \"pemaksaan\" dua Menteri untuk merangkap sebagai Ketum dan Waketum PSSI. Keduanya yaitu Menteri BUMN Erick Thohir dan Menpora Zainudin Amali. Izin Presiden atas kedua Menteri ini adalah bentuk nyata adanya izin untuk melanggar Undang-Undang. Sementara pola pemilihan pada KLB PSSI itu sendiri tercium aroma rekayasa agar kedua Menteri tersebut dipaksakan untuk menjabat.  Kekacauan luar biasa terjadi dimana Waketum PSSI adalah Menpora Zainudin Amali. Saat Menpora memanggil dan memberi arahan kepada Ketum PSSI maka sama saja Waketum memanggil dan mengarahkan Ketum nya sendiri.Sistem yang berantakan secara hukum dan etika.  HU Pikiran Rakyat juga memberitakan bahwa ada sejumlah Menteri yang rangkap jabatan sehingga dapat dikualifikasikan melanggar Undang-Undang. Menteri Basuki Hadimuljono merangkap sebagai Ketum PB PODSI, Hadi Tjahjanto merangkap Ketum Forki.  Lalu, Ketua BPK Agung Firman Sampurna merangkap Ketum PBSI, Luhut Binsar Panjaitan merangkap Ketum PB PASI, Airlangga Hartarto merangkap PB Wushu dan Prabowo Subianto merangkap PB IPSI.  Dengan Erick Thohir dan Zaenudin Amali yang merangkap Ketum dan Waketum PSSI maka sempurnalah pelanggaran itu.  Potensi korupsi dan conflict of interest sangat terbuka. Perlu ada pengawasan dan pemeriksaan seksama. Sayangnya sekelas Ketua BPK saja ikut-ikutan rangkap jabatan. Berat kondisinya, bisa-bisa nantinya maling teriak maling.  Mau dibawa kemana negara ini?  Jokowi itu Presiden tukang labrak hukum. Jika tidak menggunakan hukum untuk kepentingan kekuasaan maka yang dilakukan adalah mengabaikan atau menabrak hukum. Negara hukum hanya slogan sebab prakteknya adalah negara kekuasaan. Negara maling yang memanfaatkan jabatan. Olahraga dijadikan ajang kepentingan politik bahkan diduga tempat mengeruk dana negara untuk bancakan. Pantas mafia sulit diberantas.  Ahli Hukum Tata Negara menyatakan bahwa Presiden yang melakukan pelanggaran atas Undang-Undang maka kualifikasinya sama dengan melakukan penghianatan terhadap negara. Jika dihubungkan dengan Pasal 7A UUD 1945, maka hal itu sudah menjadi dasar bagi terpenuhinya syarat bahwa Presiden dapat segera untuk dimakzulkan (impeachment).  Pelanggaran itu sangat terang benderang seterang sinar bulan purnama di tengah malam bahkan matahari di siang bolong. Kini, ayo DPR dan MPR berdayalah. Bangun keberanian dan tanggung jawab.  Wakil Rakyat itu bukan Aparatur Pemerintah. Bandung, 22 Februari 2023

Pelaksanaan APBN (Diduga) Melanggar Konstitusi, Masihkah Bisa Ditoleransi?

Oleh Anthony Budiawan - Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Pada Bab VIII , Hak Keuangan, Pasal 23, ayat (1), Undang-Undang Dasar menyatakan: (1) Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Atas dasar perintah konstitusi ini, maka Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk tahun anggaran 2022 ditetapkan dengan Undang-Undang (UU) No 6 Tahun 2021 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2022. Sebagai konsekuensi, perubahan pada APBN juga harus ditetapkan dengan undang-undang, biasanya dinamakan undang-undang APBN Perubahan atau UU APBN-P. Oleh karena itu, Pertama, Peraturan Presiden No 98 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 104 Tahun 2021 tentang Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2022, pada dasarnya tidak bisa dan tidak boleh mengubah UU No 6 Tahun 2022 tentang APBN 2022. Artinya, Peraturan Presiden No 98 Tahun 2022 tidak sah dijadikan dasar untuk APBN Perubahan 2022. Kedua, defisit APBN 2022 direncanakan Rp868 triliun, dengan pembiayaan defisit anggaran direncanakan juga dalam jumlah yang sama, yaitu Rp868 triliun. Sedangkan realisasi defisit APBN 2022 hanya Rp464,3 triliun, jauh di bawah pagu anggaran defisit 2022 sebesar Rp868 triliun tersebut, atau lebih rendah Rp403,7 triliun. Tetapi, di lain pihak, pemerintah sengaja menaikkan harga BBM pertalite dari Rp7,650 menjadi Rp10.000 per liter, dan harga solar dari Rp5.150 menjadi Rp6.800 per liter pada 3 September 2022, yang membuat defisit anggaran menjadi lebih rendah. Masalahnya, meskipun pagu defisit anggaran masih memungkinkan harga BBM untuk tidak naik, tetapi tetap dinaikkan, sehingga kebijakan menaikkan harga BBM ini mengakibatkan jumlah rakyat miskin pada September 2022 bertambah 200.000 orang dibandingkan Maret 2022. Artinya, APBN tidak dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab *untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat*, sesuai perintah konstitusi, tetapi malah dilaksanakan untuk memiskinkan rakyat.   Hal ini diperkuat dengan fakta bahwa realisasi pembiayaan defisit APBN 2022 mencapai Rp583,5 triliun, atau Rp119,2 triliun lebih besar dari realisasi defisit APBN 2022.  Tetapi kelebihan pembiayaan (atau utang) untuk menambal defisit anggaran ini tidak digunakan untuk sebesar-besarnya Kemakmuran rakyat Indonesia. Kelebihan menarik utang ini dibiarkan mubazir, ditengah kenaikan jumlah penduduk miskin. Padahal, biaya bunga tetap harus dibayar. Bukankah praktek kebijakan pemerintah ini bertentangan dengan konstitusi untuk melaksanakan APBN untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat? Rakyat salah apa, kok tega-teganya sampai memiskinkan rakyat, padahal pemerintah mempunyai kapasitas Rp119,2 triliun (kelebihan pembiayaan anggaran), bahkan Rp403,7 triliun (selisih pagu dengan realisasi defisit), untuk mencegah jumlah rakyat miskin bertambah? Sampai kapan negara ini masih bisa memberi toleransi kepada Pemerintah untuk melanggar konstitusi yang mengakibatkan memiskinkan rakyat? (*)

Kejahatan Dracula Dihentikan oleh Muslim

Oleh M Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan  TIDAK ada yang bisa membantah kejahatan dan kekejaman Dracula. Dalam film pun Pangeran Dracula adalah penghisap darah. Dracula atau Vlad III adalah putera Vlad II \"Dracul\" sang naga Raja Wallachia. Dracula hobby membantai dan menyiksa. Penyiksaannya mengerikan dari dipaku kepala hingga yang paling terkenal adalah penyulaan. Pesakitan ditusuk hidup-hidup dari dubur hingga ke atas dengan tumbak runcing. Ribuan tiang penyiksaan dijajarkan dan dipamerkan. Dracula memang sadis.  Masa kecilnya Dracula atau Vlad III bersama saudaranya dititipkan untuk dididik di lingkungan Muslim di bawah binaan Turki Osmani. Saudaranya Radu Cel Frumos menjadi Muslim sedang Vlad III tetap beragama Kristen. Setelah dewasa ia kembali ke Wallachia dan menjadi Raja. Sayang perilakunya buruk, zalim dan haus darah. Dracula adalah \"anak iblis\" karena dalam bahasa Rumania Drac artinya Iblis.  Dracula mengundang pembesar dan warga Kristen Bulgaria, ternyata setelah datang justru dibantai habis saat perjamuan. Tentu disiksa dan disula. Dracula bergelar The Impaler atau Sang Penyula. Dracula juga membantai utusan dan pasukan Muslim. Sikap berlebihan Dracula teman dekat Al Fatih saat kecil di Turki itu membuat marah Al Fatih pemimpin Turki Osmani. Ia mengerahkan pasukan untuk berperang melawan Dracula Raja Wallachia Rumania.  Pada bulan Desember 1476 di tepi Danau Snagov pasukan Dracula dikalahkan oleh Sultan Muhammad Al Fatih. Dracula dipenggal kepalanya dan dibawa ke Konstantinopel sebagai bukti kekejian Dracula telah berakhir. Sementara badannya dikubur di Biara Snagov oleh biarawan.  Muslim telah menyelamatkan manusia dari kejahatan Dracula. Sayang film yang dibuat Barat hanya mampu menampilkan Dracula sebagai vampir doyan wanita dan hantu penghisap darah. Kekejian Vlad III atau Dracula tidak diungkap. Sejarah penyelamatan Sultan Al Fatih atas kejahatan Dracula juga dikaburkan. Bahkan diputarbalikkan.  Dalam film \"Dracula Untold\" tahun 2014 Al Fatih digambarkan serakah dan bengis sedangkan Dracula adalah figur yang baik pembela bangsa. Sungguh jahat pembuat skenario film tersebut. Islamophobia dengan cara mengemas cerita bohong. Tentang dua orang yang asalnya berteman Mehmet II dan Dracula. Lucunya Al Fatih dalam film itu mati digigit Dracula. Ini bukan \"untold story\" tetapi \"untrue history\". Tipu-tipu sejarah.  Kehebatan Sultan Muhammad Fatih atau Sultan Mehmet II ternyata bukan saja berhasil membobol benteng kokoh Romawi Timur Konstantinopel dan menaklukan kerajaan Byzantium tersebut, tetapi juga sukses membasmi gerombolan penjahat kemanusiaan Raja Wallachia Rumania yang bernama Vlad III atau Dracula.  Sultan Mehmet II telah berhasil menyelamatkan Muslim dan Kristen dari kebiadaban Dracula sang Penyula.  Bandung, 21 Februari 2023.