OPINI

Anies, Jeratan Utang Negara dan Jebakan Kemiskinan

Oleh Dr. Syahganda Nainggolan - Sabang Merauke Circle FOTO Anies Baswedan kemarin lalu sedang membaca buku berjudul \"Big Debt Crisis\", by Ray Delio,mendapat perhatian besar berbagai media maupun media sosial. SindoNews, misalnya, melaporkan dalam berita “Anies Unggah Foto Baca Buku Big Debt Crises, Netizen Riuh: Berkelas!”, 26/4/23. Anies memang menunjukkan kaliber kepemimpinannya yang substansial, yakni berpikir pada problem pokok. Orang-orang yang eksistensialis masih berpikir tentang capres Jawa versus capres Islam, GMNI vs HMI, didukung Jokowi vs. tidak, dan lain sebagainya. Orang-orang sejenis ini hanya pintar menampilkan baliho-baliho wajah imut yang disemir saja. Dengan beredarnya sosok Anies plus buku tersebut, maka perdebatan ke depan diajak Anies dalam level gagasan besar, yang perlu dijawab kepemimpinan ke depan demi nasib bangsa.  Buku tersebut adalah buku penting tentang utang dan membangun negara. Berbagai elit dunia telah membaca buku ini. Antara lain  telah dibaca dan direkomendasikan oleh mantan Gubernur Bank Sentral Amerika, Ben Bernanke (“RAY DALIO’S excellent study provides an innovative way of thinking about debt crises and the policy\"), mantan Menteri keuangan Amerika  Larry Summers (“RAY DALIO’S BOOK is must reading for anyone who aspires to prevent for or manage through the next financial crisis\"),  Hank Paulson ( “a terrific piece of work from one of the world\'s top investors who has devoted his live to understanding markets and demonstrated that understanding by navigating the 2008 financial crisis well) dan berbagai elit keuangan dunia lainnya. Terbaru, buku ini juga di review dalam WallstreetJournal, awal tahun ini. Mengapa kita harus masuk kepada pertarungan gagasan besar? Pertama, generasi pemilih pada tahun 2024 mayoritas adalah generasi millenial dan generasi Z, yang berkisar 60% voters. Satu dekade ke depan mereka akan mengendalikan Indonesia. Sehingga mereka butuh kepastian regenerasi yang keberlanjutan. Mereka tidak ingin sebagai penonton pasif dari sebuah rezim yang dikelola tanpa ide dan gagasan besar. Generasi millenial ini  hidup dalam era digital. Masyarakat millenial ini, semangatnya, hidup dalam tingkat independensi yang tinggi, menghormati demokrasi, dan anti korupsi. Kepemimpinan ke depan harus menjamin bahwa negara mampu memfasilitasi mereka. Terkait dengan utang yang dilakukan oleh rezim yang sedang berlangsung, tentunya harus dipastikan bersifat produktif, berkeadilan, menumbuhkan solidaritas sosial dan untuk \"sustainable development\". Sebab, mereka menyadari setiap sen dollar utang yang tercipta akan menjadi beban bagi generasi mereka di masa mendatang. Kedua, paska pandemik dan dalam situasi global kini yang penuh ketidakpastian, baik dagang maupun adu kekuatan militer, sebuah negara dipastikan akan terperangkap pada ketertinggalan dan keterbelakangan, jika tidak mampu menghadapi tantangan global tersebut. Berbagai negara mulai mengalami kekacauan, seperti Libanon dan Sudan, Ukraina, Sri Lanka, Pakistan, negara-negara eropa yang krisis pada tahun 2008/9, semisal Yunani, Potugal, Italia, serta berbagai negara lainnya di Afrika. Kenapa, karena hancurnya perekonomian global dan berbagai negara paska pandemic mengalami kesulitan uang, akan terus berlangsung merusak seluruh kekuatan ekonomi negara. Terutama akibat besarnya beban keuangan suatu negara menyelesaikan krisis  kesehatan COVID-19 dan restrukturisasi  perekonomian mereka. Di sisi lain, tidak gampang mendapatkan bantuan utang dari negara maju maupun lembaga multilateral, seperti IMF dan World Bank. Ketiga, sejak beberapa tahun sebelum pandemi dan dilanjutkan masa pandemi, berbagai negara telah melakukan berbagai kebijakan semu untuk memanipulasi pertumbuhan dan angka-angka keberhasilan mereka. Akibatnya, sebuah resiko tersembunyi (hidden risk) seringkali tidak terpantau, lalu akan meledak pada masanya. Hidden Risk ini sudah menjadi perhatian utama Bank Dunia saat ini. Terutama ketika \"printing money\" dijadikan kebijakan tanpa hati-hati diberbagai negara untuk menutupi defisit anggaran selama masa pandemi. Dari $400 Milyar utang Indonesia saat ini, diperkirakan $45 Milyar merupakan utang dengan resiko tinggi. Ini belum memasukkan berapa besar potensi utang beresiko yang tak terlihat itu. Utang dan Debtomania Dalam teori pembangunan, utang merupakan sumber pembiayaan penting bagi pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. Pada akhir era Orde Baru, berbagai pimpinan nasional kita mengkritik utang Orde Baru yang sebagian dianggap tidak untuk menguntungkan bangsa kita. Saat itu dikenal istilah \"Odious Debt\" atau utang haram, yakni utang yang dilakukan untuk kepentingan segelintir elit berkuasa. John Perkins, dalam \"Confession of an Economic  Hitman\", 2004, menjelaskan bahwa negara-negara besar dan korporasi global  mempunyai agenda menjebak negara-negara berkembang dalam perangkap utang melalui berbagai projek-projek infrastruktur dan energi yang ditentukan mereka. Dengan demikian setiap dollar utang yang masuk ke negara berkembang akan menguntungkan negara maju beberapa kali lipat. Menurut Sritua Arief dan Adi Sasono, dalam Teori Ketergantungan dan Keterbelakangan, angka ini berkisar 1:1 pada awal tahun 70an, lalu naik 1:10 di akhir era Suharto. Artinya, setiap satu dollar uang utang masuk ke Indonesia, akan menghasilkan 10 dollar buat pemberi utang itu. Pada era kekinian, Ruchir Sharma, dalam \"The Rise and Fall of Nations: Forces of Change in a Post-Crisis World,(2016)\" menguraikan lebih lanjut bahwa utang piutang yang awalnya dimaknai sebagai kebutuhan, kemudian berkembang menjadi kesenangan yang tidak terkendali, baik dari pengutang maupun penerima utang. Sharma memberi judul \"Debtomania\" pada hal tersebut. Mania, sebagaimana kita pahami, adalah sikap berlebihan, sebuah nafsu berlebihan. Jadi kekuasan sebuah negara bagi elit-elitnya, bukan lagi melihat utang sebagai keterpaksaan atau pelengkap, melainkan sebagai kenikmatan. Tentu saja tersedia keuntungan, baik nyata maupun tersembunyi, bagi pelaku elit dalam penciptaan utang tersebut. Pada era setelah Suharto, gerakan rakyat meminta dispensasi untuk menghapus utang-utang Orde Baru yang \"Odious Debt\" kepada negara donor, sempat membesar. Sayangnya, gerakan itu gagal. Indonesia harus tetap membayar utang kepada negara peminjam maupun perusahaan global. Utang Jokowi Segunung Utang Jokowi adalah utang yang dicatat bangsa ini selama rezim Jokowi memimpin. Catatan resmi pemerintah utang negara saat ini mencapai Rp. 7.755 Triliun. Utang tersebut jika ditambahkan utang swasta dan BUMN, menurut Said Didu, mantan sekretaris Menteri BUMN, akan mencapai belasan ribu triliun. Utang ini, menurut Said Didu dan Rizal Ramli seperti pinjol alias pinjaman online, yakni mengejar pinjaman terus menerus untuk membayar bunga dan pokok pinjaman sebelumnya. Jika dibandingkan era SBY, Jokowi dikatakan membuat utang Indonesia meningkat 300 persen alias 3 kali lipat. Sementara itu Rizal Ramli, menteri keuangan era Gus Dur, mengatakan bahwa bunga utang yang terbebani pada utang kita jauh di atas rerata bunga secara internasional. Pemerintah Jokowi tentu merasa bahwa utang sebesar itu tetap aman karena berada pada aturan ratio utang terhadap GDP, yakni di bawah 60%. Dalam \"Amankah Utang Ribuan Triliun Era Jokowi, CNN Indonesia, 26/1/23, pemerintah menjelaskan bahwa bersamaan dengan utang tersebut, aset Indonesia semakin besar dan ratio utang terhadap GDP terkendali. Pada sisi lainnya, \" distress loan\" atau utang yang beresiko tinggi mencapai $45 Milyar dollar, pada Februari 2022, sebagai mana dilaporkan Global Capital Asia dalam \"Clock is ticking on Indonesia\'s bad debt problems\". Meskipun ketakutan terhadap utang disepelekan rezim Jokowi, namun Anies Baswedan dan kalangan oposisi seperti Said Didu dan Rizal Ramli, mencemaskan persoalan utang ini. Tentu saja kecemasan ini beralasan karena kemampuan kita menghasilkan uang untuk membayar utang dan bunga utang semakin sulit. Dengan utang ribuan triliun tersebut, dan kemampuan negara menghasilkan pajak yang kecil, dapat dipastikan menjerat ruang fiskal kita beberapa dekade ke depan. Ini belum lagi jika mengasumsikan adanya kondisi \"unpredictable\", yang membuat kita \"shock\", seperti bencana, wabah, perang, dan lain sebagainya. Pada tahun 1998, kita mengalami \"self claimed\" pondasi ekonomi yang baik, merujuk juga berbagai lembaga rating dan multilateral Institution. Namun, ketika badai krisis terjadi di Thailand saat itu, lalu merembet ke Indonesia, langsung keadaan tenang menjadi bencana ekonomi. Selain soal kemampuan, apakah kita tidak sedang mengulangi istilah “Odious Debt” yang kita kutuk di era Suharto? Banyak rencana pemerintah dicurigai tidak untuk kepentingan nasional (national interest), misalnya kritikan banyak ekonom terhadap rencana pemerintah mensubsidi motor listrik Rp 6,5 juta permotor, ketika ruang fiskal menyempit Begitu pula rencana pemerintah memasukan beban pembengkakan biaya Kereta Api Cepat China Bandung-Jakarta ke APBN. Belum lagi soal korupsi yang terus meroket kian kemari.  Itulah kenapa kemudian Anies membangunkan kita tentang tantangan pembangunan ke depan, bagaimana membangun dengan kemandirian? Bagimana keluar dari krisis utang? Utang dan Jebakan Kemiskinan Kemiskinan dan pengentasan kemiskinan di era Jokowi adalah yang terburuk dalam sejarah Indonesia. CNBC Research Indonesia dalam “Rapor Merah Angka Kemiskinan Jokowi”, 24/1/23,  melaporkan perbandingan tingkat kemiskinan di awal rezim Jokowi berkuasa, sampai sebelum Pandemi Covid-19, hanya turun dari  11,22% (Maret 2015) menjadi  9,78% (Maret 2020)atau 1,44% menurun selama 5 tahun. Pada masa awal reformasi penurunan kemiskinan 1999-2004 mencapai 6,8% dan masa SBY 2004-2014 mencapai 5,7%. Fakta ini menunjukkan bahwa Jokowi secara relative terhadap SBY dan pemimpin sebelumnya benar-benar tidak pro kepada rakyat miskin. Secara teoritis, memang utang yang masuk kesebuah negara berkembang dikontrol oleh keinginan asing atau investor. Uang-uang yang mengalir ke Indonesia semakin lama hanya menguntungkan segelintir elit penikmat ekonomi kita. Struktur ketimpangan di Indonesia sangat parah, dan mereka, oligarki dan orang-orang yang berkolaborasi dengan pemberi utang, memutar uang mereka pada sektor-sektor dan bisnis yang menguntungkan saja. Ini bahkan juga terjadi ketika krisis pandemik, di mana orang-orang kaya dan banyak pejabat negara mengalami peningkaan kekayaan yang signifikan. Jika saya penyelenggara negara mempunyai watak mandiri dan mengerti tentang konsep bernegara, tentu saja kemamkmuran yang diciptakan oleh utang akan mengalir secara merata kepada semua pihak Lalu, akhrnya orang-orang miskin akan terbebas dari kemiskinannya. Dalam era Jokowi, lebih parah lagi utang-utang yang dikembangkan pada infrastuktur dan sejenisnya telah menciptakan jebakan utang, seperti membengkak dan terus membengkaknya biaya kereta api cepat Bandung-Jakarta, lamanya durasi perjanjian pemakaian lahan bagi keperluan infrastruktur, ratusan tahun jika perpanjangan terjadi, dijadikannya BUMN sebagai jaminan utang, dan lain sebagainya. Penutup Melalui postingan foto dirinya dan buku “Debt Crisis” by Ray Delio, yang dimediakan massif oleh media sosial dan online, Anies ingin menunjukkan pada Bangsa Indonesia tantang perubahan ke depan adalah keluar dari jeratan utang yang diciptakan rezim Jokowi. Rezim Jokowi telah membuat utang kita nantinya akan mencapai 300% dari jumlah utang era SBY atau belasan ribu triliun. Pada saat bersamaan kemiskinan tidak berkurang signifikan dibandingkan era SBY dan era pemimpin sebelumnya. Utang menurut Delio dapat dikurangi dengan “Austerity, Debt defaults and restructurings, Money printing by the central bank and Transfer of money from those who have more to those who have less”, tergantung sifatnya “inflationary/deflationary cycle.  Pemimpin ke depan dapat melakukan itu asalkan tidak seperti rezim penghamba utang saat ini serta fokus pada kemandirian dan sektor prioritas. Namun, yang lebih penting lagi adalah utang hanya dan hanya bisa diletakkan menjadi bagian pelengkap penting dalam pembangunan bangsa apabila pemimpin ke depan adalah pemimpin perubahan, yakni cinta rakyat dan anti korupsi, bukan perpanjangan rezim Jokowi. (*)

Golkar Semakin Lemah, Akankah Terus ‘Mengekor’ PDIP?

Oleh: Anthony Budiawan - Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) PRESIDEN Soeharto mengundurkan diri pada Mei 1998, digantikan oleh wakil presiden Habibie. Pemilu (pemilihan umum) yang seharusnya dilaksanakan pada 2002 kemudian dipercepat menjadi 1999, diikuti oleh 48 partai politik. PDI Perjuangan (PDIP), partai yang dianggap korban manipulasi penguasa, sukses meraih suara terbanyak, 33,75 persen. Partai Golkar, di luar perkiraan, masih bisa bertahan, menjadi partai pemenang kedua dengan perolehan suara 22,43 persen. Pada pemilu 2004, suara Golkar turun sedikit (dari 22,43) menjadi 21,57 persen. Meskipun begitu, Golkar menjadi partai pemenang pemilu 2004, karena suara PDIP anjlok (dari 33,75) menjadi 18,53 persen. Lima tahun kemudian, pemilu 2009, suara Golkar turun tajam menjadi 14,45 persen. Suara PDIP juga anjlok menjadi 14,01 persen. Suara keduanya anjlok karena perolehan suara Demokrat melonjak dari 7,45 persen menjadi 20,81 persen. Pada pemilu 2014, suara Golkar stagnan di 14,75 persen. Meskipun begitu, Golkar tetap menjadi partai pemenang kedua, di bawah perolehan suara PDIP yang naik menjadi 18,96 persen. Sedangkan partai pemenang ketiga direbut Gerindra dengan perolehan suara naik signifikan (dari 4,46) menjadi 11,81 persen. Kenaikan suara Gerindra ini tidak lepas dari peran oposisi Gerindra selama pemerintahan SBY periode 2009-2014.  Di pemilu 2019, suara Golkar turun lagi menjadi tinggal 12,31 persen, menempati posisi ketiga, di bawah Gerindra yang sukses memperoleh suara 12,57 persen. Suara PDIP di pemilu 2019 juga stagnan di 19,33 persen, hanya naik 0,37 persen dari pemilu 2014. Padahal PDIP ketika itu sebagai partai penguasa. Pencalonan Jokowi sebagai capres PDIP untuk kedua kalinya tidak membawa efek terhadap perolehan suara PDIP. Di lain sisi, sejak 2004 Indonesia menganut sistem pemilihan presiden langsung (oleh rakyat), di mana pasangan calon presiden (capres) dan wakil presiden diusulkan oleh satu atau gabungan partai politik. Pada pilpres 2004, Golkar mengusulkan capres dari kadernya sendiri, yaitu Wiranto (berpasangan dengan Salahuddin Wahid). Wiranto berhasil mengalahkan Akbar Tanjung, ketua umum partai Golkar ketika itu, dalam konvensi perebutan tiket capres dari partai Golkar. Wiranto gugur di puteran pertama pilpres dengan perolehan suara 22,15 persen. Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), capres dari Demokrat yang hanya memperoleh suara 7,45 persen, akhirnya memenangi kontestasi pilpres 2004 (dan 2009). Di pilpres 2009, Golkar masih mengusung capres dari kadernya sendiri, yaitu Jusuf Kalla, ketua umum partai Golkar ketika itu, berpasangan dengan Wiranto. Capres Golkar kalah lagi. SBY menang di pilpres 2009 dengan satu puteran.  Setelah itu, pada dua pilpres berikutnya, 2014 dan 2019, Golkar tidak lagi mengusung capres dari kadernya sendiri. Di pilpres 2014 Golkar mendukung capres dari Gerindra, yaitu Prabowo Subianto (berpasangan dengan Hatta Rajasa dari PAN), melawan capres dari PDIP, yaitu Jokowi berpasangan dengan Jusuf Kalla. Prabowo kalah. Kekalahan yang menyakitkan. Katanya, Prabowo kalah oleh faktor X. Entah benar apa tidak, hanya mereka yang tahu. Yang menarik, setelah kalah di pilpres 2014, petinggi Golkar melakukan manuver. Golkar terpecah, atau dipecah (?), dengan dualisme kepemimpinan, Aburizal Bakrie versus Agung Laksono. Ketua umum Aburizal Bakrie  tergeser, diganti Setya Novanto. Golkar kemudian mengalihkan dukungan kepada kabinet Jokowi. Alasannya, doktrin partai Golkar sejak dulu adalah mendukung pemerintahan yang sah. Airlangga Hartarto mendapat jatah menteri perindustrian. Doktrin Golkar ini bisa berakibat fatal. Menunjukkan Golkar tidak ada ideologi. Atau, dengan kata lain, ideologi Golkar hanyalah sebatas mencari kekuasaan? Pada pilpres 2019, PDIP kembali mencapreskan Jokowi untuk kedua kalinya, berpasangan dengan Mar’uf Amin. Golkar masih tidak ada capres dari kader sendiri, kemudian ikut gerbong PDIP. Sepertinya, Golkar kehilangan arah dan tidak percaya diri pada dua pilpres terakhir. Ekspektasi masyarakat, partai pemenang kedua atau ketiga seyogyanya mengusung calon presiden dari kadernya sendiri, agar visi dan misi partai, agar tujuan dan cita-cita partai, bisa diimplementasikan. Pada prinsipnya, rakyat memilih atau mencoblos partai tertentu karena percaya ada kesamaan ideologi, sehingga visi dan misi partai bersangkutan dapat membawa kebaikan dan kesejahteraan bagi kelompok pemilihnya, serta bagi bangsa dan negara. Hal ini hanya bisa diwujudkan kalau partai tersebut berkuasa penuh, dan kadernya menjadi presiden. Bukan mengekor. Untuk apa rakyat mencoblos partai tertentu, kalau partai tersebut tidak bisa implementasikan tujuan partainya, bahkan malah mendukung ideologi partai lain untuk berkuasa? Untuk apa rakyat mencoblos Golkar kalau akhirnya Golkar malah mendukung, misalnya PDIP, untuk berkuasa? Apalagi kedua partai tersebut mempunyai visi dan misi yang berbeda? Tidak heran, suara perolehan Golkar turun pada pemilu 2019 karena Golkar tidak berani mengusung capres dari kader sendiri pada pilpres 2014. Dan tidak perlu heran juga, kalau suara Golkar diperkirakan akan anjlok lagi pada pemilu 2024, karena Golkar tidak berani mengusung capres dari kader sendiri pada pilpres 2019. Nampaknya, rakyat hanya dijadikan komoditas politik, sebagai alat para elit partai untuk mendapat jabatan. Rakyat diminta untuk memilih partai agar para elit partai tersebut dapat membagi-bagi jabatan dan kedudukan? Bahkan Golkar tidak berani menjadi oposisi, untuk mengawasi pemerintah agar menjalankan roda pemerintahan sesuai konstitusi dan untuk kepentingan rakyat banyak. Bagaimana dengan pilpres 2024? Apakah Golkar akan mengusung capres dari kadernya sendiri, atau akan ‘mengekor’ PDIP lagi yang sudah mencapreskan Ganjar? Kalau Golkar tidak berani mencalonkan kadernya di pilpres 2024 ini, kemungkinan besar suara perolehan Golkar akan anjlok lagi. Ada yang memperkirakan, suara Golkar bisa anjlok menjadi sekitar 8 persen. Karena Golkar tidak ada nilai tambahnya lagi bagi pemilih? (*)  

Capres Disasar Ketum Diincar

Oleh Sutoyo Abadi - Koordinator Kajian Politik Merah Putih  TARGET Presiden Jokowi, siapapun presiden penggantinya adalah orang yang bisa mengamankan setelah lengser dan melanjutkan proyek proyeknya khususnya yang terkait dengan Cina. Paling tidak ada dua hal yang diinginkan Jokowi pasca beliau lengser. Pertama melanjutkan proyek yang telah berjalan khususnya proyek kerjasama dengan Cina, dengan segala dampak ikutannya.  Kedua, tidak ada kasus hukum yang akan menimpanya paska lengser dari kekuasaan dan bisa  mendarat secara aman dan nyaman. Opsi untuk mengamankan diri nya ternyata tidak cukup hanya bersandar pada capres pilihannya karena Ganjar Pranowo yang telah deklarasikan Ibu Megawati memiliki bawaan kapasitas, kapabilitas, integritas dan magnit politik relatif rendah. Keamanan  politik Jokowi paska lengser dari jabatannya tidak boleh hanya berharap dari Ganjar Pranowo capres 2024, yang reputasi dan kekuatan politiknya sangat rentan akan kalah dalam Pilpres 2024. Ganjar Pranowo prospek kemenangan politiknya diprediksi hanya akan mengandalkan skenario dan rekayasa bandar politik dan olah manipulasi suara hasil pilpres sebagai andalannya. Jokowi harus menyiapkan tempat berlindung lainnya. Masih segar rekam jejak digitalnya bahwa Koalisi Aktivis dan Milenial Indonesia untuk Ganjar Pranowo (Kami-Ganjar) menyatakan hendak menjadikan Presiden Jokowi sebagai Ketua Umum PDIP  menggantikan Megawati Soekarnoputri pada tahun 2024. Terekam saat relawan Kami-Ganjar mengadakan konsolidasi pada Ahad 30 Oktober 2022 di Bogor, Jabar.  Deklarasi Ganjar Pranowo berjalan lancar, tetapi tidak bisa dinafikan menyisakan friksi di internal PDIP, adalah peluang dan perkembangannya harus terus di buntuti sebagai target dan sasaran politiknya. Peta terbaca selagi masih dalam kendali Ibu Megawati friksi tersebut tetap bisa dikendalikan. Lain cerita kalau PDIP sudah ditinggalkan Ibu Megawati, friksi bisa menjadi besar dan liar. Berlindung dengan kekuatan partai akan menjadi opsi prioritas harus di raihnya. Dengan cara apapun Jokowi harus bisa mengambil posisi sebagai Ketum PDIP. Masa depan Puan dalan ancaman waktu. Sebagai Ketum partai bisa aman sepanjang Ibu Megawati masih ada dan kejadian sebaliknya apabila Ibu Megawati sudah melepaskannya. Megawati Soekarnoputri tetap merupakan magnit figur sentral yang menjadi penentu dalam proses alih generasi pimpinan partai selanjutnya . Tidak boleh di remehkan kekuatan politik di luar trah Sukarno bisa  mengobrak-abrik faksi-faksi yang ada di dalam tubuh partai banteng ini. Kelompok  ini di Internal PDIP cukup kuat apalagi mendapatkan  dukungan kuat dari pemilik modal (oligarki) yang menjadi sponsor Jokowi. Dalam dunia politik praktis,  manuver dan gerilya yang dilakukan oleh kelompok-kelompok yang berseteru bisa terjadi seperti Jokowi menggerakkan Moldoko  kudeta partai Demokrat untuk menyingkirkan capres Anies Baswedan saat ini. Berdasarkan pengalaman  sekuat apapun Megawati akhirnya bisa di taklukan.  Awal  mencalonkan Jokowi sebagai Capres dari PDI-P, Megawati tidak setuju setelah didesak dari semua arah akhirnya kandas dan luluh. Persis kejadiannya bahwa prestasi dan kualitas Ganjar Pranowo yang minimalis, sesungguhnya tidak disukai Megawati.  Dengan desakan dan bisikan dari berbagai arah ahirnya melemah dan luluh  mendeklarasikan Ganjar Pranowo sebagai capres 2024. Pertarungan memperebutkan Ketua umum bukan hanya atas pertimbangan politik tetapi fisik Ibu Megawati yang sudah masuk usia senja harus istirahat dan melepaskan sebagai Ketua Umum PDIP. Disadari atau tidak jabatan ketum PDIP sudah masuk dalam radar *Capres di sasar dan Ketum di incar*. Proses bisa melalui kudeta model Moeldoko mengkudeta Partai Demokrat atau berjalan dalam perebutan secara normal dan diambil alih oleh Jokowi.. ****

Menakar Kredibilitas Ganjar

Oleh Muhammad Chirzin - Guru Besar UIN Jogjakarta  KETUA Umum PDIP Megawati Soekarnoputri telah mendeklarasikan Ganjar Pranowo Gubernur Jawa Tengah, sebagai Petugas Partai, ditingkatkan menjadi Calon Presiden RI.  Ganjar Pranowo diprediksi akan didampingi oleh Sandiaga Uno sebagai Bakal Calon Wakil Presiden dari kubu PPP. Mengapa bukan Mahfud MD atau Erick Tohir atau Prabowo ataupun Gus Imin? Bu Mega dan Pak Jokowi yang paling tahu. Melacak jejak Ganjar Pranowo ke belakang, ia disebut oleh Jaksa KPK terima USD 520.000 korupsi e-KTP Ganjar Pranowo ikut dikaitkan dalam pusaran korupsi mega proyek e-KTP. Andi Narogong sebagai anak buah Setya Novanto, membagi-bagikan uang. Ganjar disebut oleh Jaksa penuntut dalam surat dakwaan menerima uang ketika menjabat Wakil Ketua Komisi II DPR di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (PN Tipikor) Jakarta, (9/3/2017). Jaksa KPK mengatakan, pemberian uang dilakukan di ruang kerja Mustoko Weni sekitar September-Oktober 2010. Saat itu, Ganjar disebut menerima USD 500 ribu selaku Wakil Ketua Komisi II DPR agar ikut membantu persetujuan anggaran proyek e-KTP di Komisi II DPR. Ganjar Pranowo kembali disebut Jaksa KPK menerima uang sejumlah USD 25 ribu sekitar Agustus 2012 dari Direktur Utama PT Quadra Solution, Anang S Sudiharjo, yang disampaikan ke Miryam S Haryani. (https://news.detik.com/berita/d-3442223/jaksa-sebut-ganjar-pranowo-terima-usd-520-ribu-terkait-korupsi-e-ktp) Rakyat harus cerdas membaca pilihan Bu Mega atas Ganjar Pranowo yang sempat berpose dengan para konglomerat/oligarki, dan notabene suka nonton video porno. Menyongsong era Indonesia Emas 2045, bangsa Indonesia tidak boleh kehilangan kesempatan dua kali. Pertama, pembegalan Reformasi yang menghasilkan Amandemen UUD 1945 yang kebablasan, hingga MPR tak berhak meminta pertanggungjawaban kinerja Presiden, ditambah dengan penyimpangan sila ke-4 Pancasila dalam pemilihan Presiden yang semestinya melalui Hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Ironi demokrasi liberal ala Barat: satu kepala satu suara, tanpa mempertimbangkan isi kepalanya, dengan segala ekses negatifnya. Kedua, kesempatan melakukan perubahan secara fondamental untuk kembali ke UUD 1945 asli, dengan salah memilih Calon Presiden yang diduga kuat anti perubahan. Calon Presiden RI yang akan datang harus sudah selesai dengan dirinya sendiri, dan bersih dari segala residu masa lalu. Ganjaran Pranowo perlu menyelesaikan tiga PR lebih dahulu sebelum melenggang ke Pilpres: Kasus E-KTP, Desa Wadas, dan Pabrik Semen Kendeng. (*)

Kegelapan Setelah Batutulis?

Oleh M Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dari Kebangsaan  DUKUNGAN PDIP untuk Ganjar Pranowo sebagai Capres masih menarik dan menjadi bahan perbincangan. Batutulis adalah tempat Megawati mengambil keputusan-keputusan strategis seperti tahun 2014 saat pencalonan Jokowi, kesepakatan Mega dengan Prabowo dan kini pengumuman Ganjar Pranowo.  Kedatangan Jokowi ke Batutulis menghadiri pengumuman dinilai mendadak. Perbincangan publik bukan sekadar kehadiran Jokowi tetapi penggunaan pesawat kepresidenan dari Solo ke Istana Batutulis Bogor untuk kegiatan yang bukan acara kenegaraan. Begitu pula dengan ikutnya Ganjar Pranowo bersama Jokowi di pesawat kepresidenan saat pulang kembali dari Batutulis ke Solo.  Sorotan tertuju pada penggunaan fasilitas negara untuk keperluan di luar acara resmi kenegaraan. Dalam makna luas hal ini termasuk korupsi. Tapi mungkin Jokowi sudah tidak peduli lagi menjelang akhir masa jabatannya. Seperti biasa, ia tidak memiliki kepekaan untuk mampu  membedakan antara urusan privat dan publik, kenegaraan atau kerja partai. Sayangnya KPK juga tidak peka. Kurang Peka Korupsi.  Anies, Ganjar, dan Prabowo tetap menjadi kandidat yang terus menggelinding. Koalisi dapat bergeser-geser. Baru saja Ganjar diumumkan PPP langsung mendukung. Dengan mengenyampingkan pengaruh PPP dan PAN, maka Partai Golkar menempati posisi strategis dan menentukan. Pasca dukungan PPP yang menandai pecahnya KIB.  Airlangga untuk menjadi Cawapres Ganjar Pranowo sangat kecil kemungkinannya. Airlangga bergoyang di antara Cawapres Prabowo atau Anies Baswedan. Bila dengan Prabowo koalisi hanya dua partai bersama Gerindra. PKB dipastikan angkat kaki. Peluang besar dan koalisi kuat jika Airlangga menjadi Cawapres Anies Baswedan. Koalisi empat partai adalah koalisi terbesar. Peluang memenangkan pertarungan juga menjadi  sangat besar.  Istana Batutulis berdekatan dengan prasasti Batutulis. Batu bertuliskan cerita tentang kesuksesan Prabu Siliwangi dalam menyejahterakan rakyat Kerajaan Padjadjaran. Prasasti ini dibuat oleh Raja Prabu Wisesa untuk mengenang jasa dan keharuman ayahnya Prabu Siliwangi. Ada tapak sejarah di sana.  Istana Batutulis membuat sejarah. Sejarah buruk. Pendukungan pada Jokowi tahun 2014 adalah sejarah awal dari karut marut penyelenggaraan bernegara. Jokowi adalah figur kerusakan dalam maraknya korupsi, kolusi dan nepotisme, pelanggaran HAM berat, rezim investasi penjual kedaulatan, serta menjadikan bangsa Indonesia kini dijajah oligarki.  Berbeda dengan Prabu Siliwangi yang membuat wangi dan menyejahterakan, Jokowi justru beraroma busuk dan menyengsarakan.  Istana Batutulis  tahun 2023 mencoba membuat sejarah untuk melanjutkan perusakan dengan mendukung figur yang potensial untuk itu. Ganjar Pranowo memiliki track record yang tidak bagus, nir prestasi, bau korupsi, rentan moralitas, menyakiti rakyat serta menyentuh ruang keagamaan. Pencitraan adalah modal sosial dan politiknya.  Bangsa Indonesia akan terus mengikuti langkah atau jejak pasca keputusan Batutulis. Apakah Batutulis akan menjadi prasasti bagi lanjutan sejarah kelam bangsa ini atau tertulis dalam batu bahwa fase itu hanya sampai 2024 ? Artinya tidak berlanjut. Batutulis menulis tentang perubahan politik bangsa.  Prabowo menang sekelumit harapan, Anies sukses memperbesar harapan. Jika Anies dan Prabowo menggabungkan kekuatan, maka harapan itu menjadi kenyataan. Batutulis hanya kenangan. Tetapi jika Ganjar menang maka yang semakin besar adalah perlawanan. Rakyat tidak mau dijajah dan tidak ingin bangsa ini tenggelam lebih dalam.  Rakyat Indonesia sadar untuk melepaskan diri dari penjajahan oligarki. Akan tergores tulisan di atas batu prasasti pekik perjuangan rakyat \"Merdeka !\".  Kaum penikmat dan penghianat harus segera diusir dari bumi Indonesia. Merdeka..!  Bandung, 27 April 2023

Prabowo Keluarlah dari Zona Nyaman

Oleh Sutoyo Abadi - Koordinator Kajian Politik Merah Putih  JIKA orang yakin bahwa ia dilahirkan untuk melaksanakan sesuatu yang tampaknya mustahil, maka hampir dapat dipastikan ia sanggup melaksanakan dan mengatasi seberat apapun masalah yang harus dihadapi  Jangan bimbang menghadapi segala penderitaan, karena makin dekat tercapainya cita-cita, makin banyak penderitaan yang kita alami.  Terbiasa menerima kekalahan bukanlah aib. Justru pada satu titik tertentu sosok manusia otentik lahir dari kemampuan antitesa yang dibangun dari konstruksi jatuh bangun, situasi keterbuangan, terjepit dan nyaris mati. Kemudian mampu mengakumulasi energi perlawanan yang memungkinkannya  reborn dengan kekuatan pendobrak yang berlipat Semoga ke tiga paragraf di atas  bisa melayang di udara maya dan ada kesempatan turun di hape dua tokoh kita Bung Prabowo dsn Bung Anies Baswedan.  Entah apa respons resonansinya, semoga itulah yang sedang tuan tuan cari dalam mimpi mimpinya  Saat ini moncong senapan kapitalis mengarah lurus ke arah Anies Baswedan dan Prabowo Subianto, untuk di lumpuhkan, dibuang dan dilenyapkan. Muncul dan lahirnya Bung Ganjar Pranowo, apakah dia adalah Capres yang ideal , jelas tidak oleh masyakarat bahkan stigma  yang sudah menimpa tidak lebih hanya calon boneka kapitalis yang lebih buruk dari sebelumnya. Lantas untuk apa dibaiat jadi Capres, bisa jadi akan mengalami nasib sama akan dilumpuhkan, ketika ahirnya muncul calon tunggal dan di tolak KPU. Lahirlah pemimpin sungsang akan memperpanjang masa jabatannya. Itu mustahil akan terjadi. Tidak ada kata mustahil dalam bayang-bayang politik durjana yang hanya mengejar nafsu untuk berkuasa. Jebakan maut JW adalah kolaborasi dengan LBP atas remote oligarki memang kejam, indikasi kuat dibawah kendali Beijing Tuan Xi Jinping, jangan dilawan dengan sopan santun dan kompromi. Politik santun dan kompromi Prabowo sudah lama dalam tebakan pakar politik, tidak waspada akan kehilangan kekuatan \"bargaining position nya atau akan kehilangan daya tawarnya\"  Ketika itu akan ditelikung menjadi lamp duck. Keluar - keluarlah dari zona aman yang berbahaya. Berbeda dengan Anies Baswedan terus jalan dalan kawalan keyakinan dan istiqomahnya dan percaya \"sesungguhnya Allah SWT bersama kita\" , tanpa peduli cacian, hinaan, cemooh kebencian yang menimpanya. Kedua capres tersebut pasti menyadari bahwa menghadapi rezim kapitalis dan liberalis mengarah ke tirani \"sesungguhnya tidak boleh ada kompromi dan negosiasi\" apapun alasannya. Tiba saatnya  Prabowo harus bangkit kemandirian politiknya jangan terus masuk di zona aman bergabung dengan rezim yang membahayakan dirinya.  JW bukan ahli strategi dan pakar politik dan bukan ahli merancang masa depan apalagi bertipe seorang negarawan. Tidak lebih hanya menjalankan tugas dari kekuatan politik yang lebih besar dari luar dirinya  Prabowo Subianto dan Aneis Baswedan sesungguhnya lebih memiliki hubungan nurani dan psikologi yang lebih utuh dan murni dalam bingkai cita cita yang sama menyelamatkan Indonesia. Bersatulah persoalan teknis, harga diri dan gengsi politik bisa di kompromikan demi kepentingan negara yang lebih besar.  Sementara abaikan para penonton yang hanya menyanjung ketika sedang gembira dan mencaci-maki ketika benci, sebagai penggembira . Prabowo harus segera keluar dari zona aman, jangan ragu dan khawatir atas serangan dan gangguan mereka. Pastilah beliau lebih paham sebagai seorang jendral tentang psikologis perang dan cara mengatasinya. Anies Baswedan relatif stabil dengan strategi alamiah sebagaimana pertahanan politiknya. Dengan ketenangan akan lebih menguasai keadaan dan muntahan politik keributan saat ini bisa jadi akan menjadi buah segar kekuatan politiknya. Kita semua harus yakin dan siap bertindak bukan hanya menyandarkan taqdir, karena taqdir hanya Tuhan yang mengetahui dan menjauhi kejumudan berpikir karena jiwa penakut dan pengecut  Manusia otentik selalu bersedia berlapang dada terhadap kenyataan, pada saat yg sama  mampu melakukan transendensi sosial historis & menyusun jejak baru guna membangun fakta empiris baru ke depan dengan semangat turun berjuang di medan perang..*****

Petugas Partai

Oleh M Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dari Kebangsaan  MEGAWATI menyebut bahwa kader PDIP yang memiliki jabatan di pemerintahan adalah petugas Partai. Jokowi sebagai Presiden yang diusung dua periode disebut pula secara berulang sebagai petugas Partai. Saat Megawati mengumumkan Ganjar Pranowo sebagai Capres PDIP untuk Pilpres 2024 maka secara tegas Ganjar dinyatakan sebagai kader dan petugas Partai.  Ternyata sebutan khas PDIP ini terdapat dalam AD PDIP Bagian Keempat \"Tugas Partai\" Pasal 10 butir f yang berbunyi \"mempersiapkan kader Partai sebagai petugas Partai dalam jabatan politik dan jabatan publik\". Untuk penugasan menjalankan visi Partai sebagaimana Pasal 6 AD ayat (1) PDIP \"alat perjuangan guna membentuk dan membangun karakter bangsa berdasarkan Pancasila 1 Juni 1945\". Menurut KBBI \"petugas\" adalah orang yang bertugas melakukan sesuatu. \"tugas\" itu (1) yang wajib dikerjakan  (2) suruhan untuk melakukan sesuatu. Petugas Partai tentu menjadi orang yang wajib melakukan sesuatu atau menjalankan apa yang disuruh oleh Partai. Petugas Partai mutlak harus menjalankan visi dan misi Partai.  Seseorang yang menjadi petugas Partai saat menjadi pejabat politik atau pejabat publik tetap diamanatkan untuk menjalankan apa yang menjadi tugas Partai. Hal ini sebagai konsekuensi dari loyalitas kepada Partai dimanapun dan kapanpun. Meskipun ia telah menjadi pejabat publik, termasuk sebagai Presiden. Partai adalah utama. Tugas Partai mutlak harus dijalankan oleh seorang petugas Partai.  Dengan pola seperti ini petugas Partai yang menjadi Presiden rentan kehilangan  karakter kenegarawanannya. Tuntutan loyalitas kepada Partai menjadi utama.  Meskipun ia secara normatif harus mendahulukan kepentingan rakyat namun perintah dan misi Partai itu dominan bahkan harus didahulukan. Presiden menjadi tidak independen.  Status sebagai petugas Partai akan bertentangan dengan esensi demokrasi dimana Presiden dipilih langsung oleh rakyat. Rakyat yang berdaulat.  Rakyat yang semestinya mengontrol dan mengendalikan Presiden. Presiden adalah petugas Rakyat. Disinilah tepatnya ucapan John F Kennedy \"my loyalty to my party ends when my loyalty to my country begins\". Hanya dalam Sistem Partai Tunggal (One Party System) suara Partai adalah suara Rakyat. Karenanya jika seorang Presiden itu menjadi petugas Partai maka hal Ini akan menjadi karakter dari perwujudan dari Sistem Partai Tunggal yang sekaligus menjadi jalan atau arah menuju negara totaliter.  Negara yang rakyatnya berfikir sehat tentu tidak ingin memiliki Presiden yang kelak  setelah dipilih oleh rakyat lalu bekerja di Istana bukan sebagai petugas Rakyat tetapi petugas Partai.  Dalam kaitan dengan PDIP nampaknya perlu evaluasi serius terutama pada tugas Partai yang mau tidak mau harus diemban oleh petugas Partai sebagaimana amanat Pasal 10 butir g AD PDIP yang berbunyi : \"mempengaruhi dan mengawasi jalannya penyelenggaraan negara agar senantiasa berdasarkan ideologi Pancasila 1 Juni 1945 dan UUD 1945 serta jalan Trisakti sebagai pedoman strategis dan tujuan kebijakan politik Partai demi terwujudnya pemerintahan yang kuat, efektif, bersih dan berwibawa\". Petugas Partai yang menjadi pejabat publik termasuk Presiden tentu harus menjalankan roda pemerintahan berdasarkan Pancasila 1 Juni 1945. Bukan Pancasila 18 Agustus 1945. Jika perjuangannya \"mempengaruhi\" dan \"mengontrol\" dengan Pancasila 1 Juni 1945, maka masuk kategori makar atau subversi kah hal ini  ?  Bahwa PDIP sekedar menjalankan \"politik identitas\" yang justru diharamkan di rezim ini sudahlah pasti dan sangat jelas.  Rezim Jokowi ini memang lucu, pandai berteriak  untuk melarang apa-apa yang dikerjakannya sendiri.  Bandung, 26 April 2023

Thinking The Unthinkable

Oleh Smith Alhadar - Penasihat Institute for Democracy Education (IDe) PADA 21 April 2023 lalu, Ketum PDI-P Megawati Soekarnoputri mendeklarasikan kader partainya, Gubernur Jateng Ganjar Pranowo, sebagai bakal capresnya. Ganjar adalah salah satu dari tiga aspiran capres dengan. elektabilitas tinggi. Karena itu, wajar bila Mega berpikir Ganjar akan menjadi magnet bagi parpol lain untuk bergabung demun PDI-P. Dalam konteks Indonesia di mana semua parpol bersikap pragmatis dan oportunistik, pemikiran Mega menemukan rasionalitas dan pembenarannya. Tapi bagaimana bila sekonyong-konyong parpol-parpol yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Bersatu atau KIB (Golkar, PAN, PPP) dan Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya atau KKIR (Gerindra dan PKB) berubah idealis dan menemukan platform baru untuk mnjwb tantangan-tantangan bangsa pasca pemerintahan Jokowi?p Platform baru artinya parpol-parpol ini melepaskan diri dari rancang bangun kebijakan dan program pembangunan Jokowi. Pada saat bersamaan, mereka menemuka landasan berpikir baru yg visioner untuk mnjwb tantangan-tantangan yang akan ditinggalkan rezim Jokowi. Tentu saja hal ini tak terbayangkan karena kita mengenal para ketum parpol ini miskin ide, tak berintegritas, dan telah lapuk dimakan zaman. Dan karena bermasalah secara hukum (terlibat korupsi), sbagian dari mereka tidak  berbuat banyak kecuali tunduk pada kemauan penguasa -- bagai kerbau dicokok hidungnya -- untuk terhindar dari kemungkinan dipenjarakan. Dus, kalau rezim menekan mereka untuk bergabung dengan PDI-P di atas kertas mereka akan patuh. Apalagi KPK, Mahkamah Konstitusi, dan kepolisian berada dalam genggaman Jokowi. Sedangkan Mahkamah Agung dikontrol PDI-P. Mungkin hanya Ketum Gerindra Prabowo Subianto yang bebas dari korupsi. Kalau sekarang mereka belum bergabung dngan PDI-P,  tampaknya karena mereka diminta menunggu hasil upaya rezim menyingkirkan Anies Baswedan dari arena kontestasi pilpres. Saat ini KPK masih bekerja mencari-cari kesalahan Anies yang dapat dipersangkakan telibat korupsi. Di jalur lain, Peninjauan Kembali di MA yang diajukan KSP Moeldoko masih dalam proses. Baik upaya KPK maupun Moeldoko tetap punya peluang untuk berhasil. Dus, kalau upaya ini berhasil -- misalnya, Anies dituduh terlibat korupsi atau Moeldoko diakui Kemenkumham yg dikuasai PDI-P sebagai pemimpin sah Demokrat sesuai KLB Deli Serdang -- maka Anies akan tersingkir dari arena kontestasi pilpres. Saat itulah rezim mendorong terbentuknya koalisi baru. Sebagian parpol dari KIB,  KKIR,   parpol-parpol yang tergabung Koalisi Perubahan untuk Persatuan atau KPP (Nasdem, Demokrat, PKS)  akan bergabung dengan PDI-P dan sebagian lain bergabung dengan Gerindra. Dengan demikian, pilpres mendatang hanya akan terdiri dari dua pasangan bakal capres-cawapres, yaitu pasangan yang didukung koalisi pimpinan PDI-P dengan Ganjar sebagai bakal capres dan koalisi pimpinan Gerindra dengan bakal capres Prabowo Subianto. Hal ini sesuai dgn rencana awal rezim yang telah menjadi rahasia umum. Tetapi rezim akan mengatur konfigurasi koalisi sedemikian rupa sehingga koalisi yang mendukung Ganjar punya peluang menang lebih besar. Dengan kata lain, koalisi pendukung Prabowo hanya jadi penggembira demi tercapainya amanat konstitusi yangg menghrskan pilpres diikuti minimal dua pasang capres-cawapres. Tetapi andaikan upaya rezim menyingkirkan Anies gagal dan KIB dan KKIR bertahan di koalisi besar dengann mengusung Prabowo, maka Ganjar  hanya didukung PDI-P akan langsung tereliminasi di putaran pertama konstestasi elektoral. Dus, dalam konteks ini, sesungguhnya Mega mengambil resiko besar ketika mencapreskan Ganjar tanpa terlbh dahulu membangun koalisi dngan parpol lain. Nampaknya, ia sangat percaya diri bahwa pencapresan Ganjar akan menarik sbagian besar parpol bergabung dgn PDI-P. Kendati hal ini nyaris mustahil akan terjadi dalam politik tidak ada yang tdk mungkin. Politik adalah membuat hal tidak mungkin menjadi mungkin. Siapa tahu diam-diam Jokowi  mendorong koalisi besar (KIB +KKIR)  yang diinisiasinya meresmikan koalisi mereka dengan Prabowo sebagai bakal capres. Ini sebagai bentuk balas dendam Jokowi kepada PDI-P yang menolak wacana perpanjangan masa jabatan  presiden dan merendahkan dirinya serta sikap Ganjar yang menolak timnas Israel sehingg ajang Piala Dunia U-20 gagal dilaksanakan di Indonesia. Atau, menurut hasil survei internal parpol-parpol di KIB dan KKIR menunjukkan sesungguhnya elektabilitas Ganjar tak setinggi sebagaimana dilaporkan lembaga-lembaga survey selama ini.  Elektabilitas Prabowo dan Anies jauh lebih tinggi daripda Ganjar. Menurut Rocky Gerung, sblm  Ganjar dicapreskan, para oligarki, lembaga survey, dan menteri utama rutin melakukan rapat di Istana, di sebuah ruang yg disebut war room, setiap pukul 4.20 pg. Katanya, ini merupakan kegiatan fabrikasi untuk menekan Mega agar segera mencapreskan Ganjar yg dilihat para oligarki sbg proksi mereka.  Atau ada tekanan dari luar agar menjauhi Ganjar yg pro-Cina, tak punya gagasan ttng Indonesia ke depan dlm konteks persaingan Cina-AS di kawasan,  pandangan ekonominya yg ekstraktif atau copy paste dari paradigma pembangunan Orde Baru, tak punya komitmen pada perlindungan lingkungan hidup yang merupakan bagian dari komitmen pada perubahan iklim, nirprestasi yg terlihat dari kegagalannya meningkatkan taraf hidup rakyat Jateng (Jateng merupakan provinsi termiskin di Pulau Jawa), integritasnya yg meragukan terkait dengan tuduhan keterlibatannya dlm kasus mega korupsi e-KTP, dangdut jg keraguan atas komitmennya pada penegakan hukum serta sistem demokrasi sbgm terlihat dari kasus kekerasan atas penduduk Desa Wadas di mana Ganjar mengirim aparat untuk mengintimidasi warga desa itu yg menolak menjual tanahnya untuk dijadikan tambang batu andesit milik oligarki. Atau sekonyong-konyong Gerindra bergabung dgn KPP dgn kesediaan Prabowo untuk tdk menjadi apa2 atau menjdi bakal cawapres Anies setelah menyadari PKB akan bergabung dgn PDI-P. Kl ini trjdi, KIB akan goyah krn dua hal. Pertama, elite tiga parpol ini akan ditekan konstituen mereka untuk bergabung dgn KPP. Kedua, peluang Anies memenangkan pilpres kian membesar. Toh, mereka tahu bhw, sesuai hasil survey, mayoritas pemilih PAN dan PPP akan mencoblos untuk Anies. Sementara paling tdk setengah dari pemilih Golkar merupakan pendukung Anies. Pembicaraan koalisi msh dinamis. Ini menunjukkan parpol2 di KIB dan KKIR blm dpt diyakinkan bhw Ganjar merupakan penjamin kemenangan. Ini, setelah Ganjar dideklarasikan sbg bakal capres PDI-P, timbul pro-kontra di medsos. Kendati banyak yg mendukung, tak sedikit jg yg menentangnya sambil mengungkap sisi2 negatifnya. Lalu, publik mulai membanding-bandingkan Ganjar dgn Anies di mana terlihat Anies jauh lbh unggul di semua aspek. Sblm Ganjar dipastikan sbg kompetitor Anies, publik hanya berimiginasi ttng kualitas masing2 secara terpisah. Begitu mereka dihadap-hadapkan, terlihat Anies punya kepemimpinan konseptual yg operasional, berintegritas, punya rekam jejak yg kinclong, dan capaian2 gemilang ketika memimpin Jakarta yg tak sebanding dgn capaian2 Ganjar. Dus, Ganjar kini terlihat tdk sehebat dari yg dibayangkan sebelumnya. Tp PDI-P sdh berada di point of no returun, titik yg tdk memungkinkannya lagi untuk mundur. Dgn demikian, tindakan Mega memungut kembali Ganjar dari tmpt sampah -- sebelumnya, atas perintah Mega, pengurus teras PDI-P mendiskreditkan Ganjar sbg tokoh pencitraan tanpa prestasi -- sangat bersifat spekulatif, pragmatis, dan oportunistik menghadapi realitas politik yg tdk menguntungkannya.  Kini Mega bergantung pd belas kasih Jokowi dan Prabowo, yg apabila mereka berniat menyingkirkan Ganjar dari arena pilpres, yg jg berarti menyingkirkan PDI-P dari pemerintahan mndtg, hal itu mudah saja dilakukan dgn cara menghalangi KIB dan KKIR bergabung dgn PDI-P. Kl itu terjadi, PDI-P tak akan pernah lg mnjdi partai terbesar klpun ia msh eksis pasca pilpres krn dua hal. Pertama, terjadi perpecahan di internal partai di mana wibawa Mega sbg pemimpin partai akan runtuh. Kedua, kemungkinan trah Soekarno tak lg berperan pd pilpres 2029 ketika saat itu usia Mega sdh sgt uzur (82 thn). Kendati yg dipaparkan ini merupakan \"the unthinkable\", sejarah mengajarkan kpd kita bhw hal2 yg tadinya tdk terbayangkan akan terjadi, ternyata terjadi dgn mudah. Sblm tragedi G30S, tdk ada org Indonesia yg berpikir Soekarno, tokoh besar yg disegani, dpt dijatuhkan. Sblm krisis moneter 1997, jg tdk ada org Indonesia yg berpikir strong man Soeharto bisa dilengserkan. Dus, pencapresan Ganjar yg dianggap aset politik PDI-P untuk menghegemoni parpol lain, mungkin sj merupakan langkah yg keliru. Artinya, bisa jd PDI-P telah msk perangkap yg diciptakan sendiri akibat tindakan kedaruratan yg didorong pragmatisme,  oportunisme, dan tekanan oligarki, yg biasanya bekerja di luar keniscayaan sosial dan politik. Hrs diingat bhw pd akhirnya penentu akhir dari permainan yg diciptakan elite penguasa ini adalah rakyat, yg belakangan makin kritis dan militan dlm menyikapi aksi2 elite yg jauh dari aspirasi mereka. Kita tunggu saja apakah the unthinkable bisa diwujudkan. Tangsel, 25 April 2023

Ahlan Wa Sahlan Perubahan

Oleh Dr. Syahganda Nainggolan - Sabang Merauke Circle. Change! Yes, We Can. Perubahan! Ya, kita bisa lakukan. Inilah fenomena keberhasilan yang saat ini kelompok oposisi dan kaum tertindas peroleh setelah bulan suci Ramadhan kita lewati. Sebuah kemenangan. Perubahan apakah itu? Perubahan dari keinginan Jokowi atau rezimnya untuk terus berkuasa dengan memperpanjang masa jabatan presiden maupun presiden 3 periode, menjadi terwujudnya keinginan rakyat untuk terlaksananya pesta demokrasi, pemilu 2024. Tuhan YME tentu membantu rakyat untuk mendapatkan pesta demokrasi tersebut, sebagiannya karena do\'a, namun, tentu saja sebagian besar lainnya karena keinginan rakyat untuk adanya pesta demokrasi itu sendiri.  Kita tahu, sejak Bahlil Lahadahlia menggelontorkan rencana perpanjangan masa jabatan Jokowi pada awal Januari 2022, berbagai gerakan besar dan sistematis untuk mendukung perpanjangan jabatan Jokowi, selama dua tahun, maupun ide Jokowi berkuasa 3 periode, berkembang pesat. Gerakan ini telah berhasil menggaet tokoh-tokoh nasional, baik dari kalangan eksekutif, partai politik, DPD-RI dan DPR-RI, MPR-RI, cendikiawan, tokoh agama, kalangan kampus, LSM, dan lainnya untuk memperkuat keberhasilan ide tersebut di atas. Namun, kekuatan \"civil society\", ulama, mahasiswa dan cendikiawan kritis terus berusaha melawan ide inkonstitusional itu. Perlahan tapi pasti, seperti yang dilakukan, misalnya, Perhimpunan Menemukan Kembali Indonesia (PMKI) sepanjang tahun 2022, menentangnya terbuka, mengimbangi secara kontra ide, dan akhirnya rencana rezim Jokowi tersebut terhenti. Kekuatan rakyat yang terbangun untuk melawan ide inkonstitusional rezim Jokowi tentu saja harus dimaknai dua hal, pertama, kita, bangsa ini, tidak mempunyai keinginan untuk kembali kepada era anti demokrasi, baik masa Soekarno berkuasa, maupun Suharto. Kedua, kekuatan anti rezim Jokowi, sebagai kekuatan pengimbang dari arus rakyat, ternyata mempunyai gelombang besar dan dahsyat, yang mampu membendung keinginan penguasa untuk membelokkan sistem demokrasi yang sudah diterima bangsa ini sejak Reformasi Politik 1998. Pengumuman Ganjar Pranowo sebagai Capres 2024 oleh PDIP, menyusul pengumuman Koalisi Perubahan terhadap Anies Baswedan, beberapa bulan sebelumnya, melengkapi kemenangan demokrasi atas anti-demokrasi di Indonesia. Jika Prabowo mempunyai keberanian sebagai pemimpin, maka tentu saja pencapresan tokoh ketiga segera muncul. Namun, tanpa capres ketiga maupun ke empat, misalnya, dengan adanya dua capres tersebut, maka pemilu 2024 akan tetap berlangsung. Mungkinkah pemilu 2024 berlangsung tanpa perubahan substansial? Atau dengan kata lain, pemilu hanya aspek prosedural belaka untuk adanya stempel demokrasi? Pertanyaan ini merupakan pertanyaan umum, yang banyak pihak khawatirkan. Selama ini kekuasaan rezim Jokowi ditenggarai ingin mengontrol jalannya pemilu untuk mengontrol kemenangan. Hal itu diindikasikan dengan upaya Jokowi yang terlalu sibuk melakukan politik dukung mendukung terhadap kepemimpinan ke depan, melakukan politik tanpa etika untuk menghalangi kandidat Anies Baswedan masuk dalam pertarungan pilpres, memilih panitia pemilu (KPU) yang bobrok, dan lain sebagainya. Berbeda dengan rezim SBY, di mana pada akhir masa jabatannya SBY tidak terlibat dalam dukung mendukung capres tertentu, termasuk besannya sendiri. SBY ingin mempertahankan demokrasi berjalan baik, dan itu terjadi, sehingga Jokowi menang dalam pilpres saat itu. Menurut hemat saya, berbagai indikasi yang seolah-olah memberi kesan Jokowi akan mampu mengontrol siapa yang akan dipilih rakyat ke depan hanyalah isapan jempol belaka. Kekuatan rakyat saat ini, yang menginginkan adanya kehidupan bernegara dan berbangsa, yang beradab, melebihi kekuatan apapun yang ada, baik kekuasan Jokowi. Sudah kita lihat, rencana-rencana menggagalkan pemilu telah terkalahkan secara telak oleh kekuatan rakyat. Ini adalah hal utama. Sedangkan pembicaraan kita selanjutnya, menjawab pertanyaan di atas, sekedar demokrasi palsu tersebut, adalah persoalan turunan alias derivatif saja. Mari kita dalami 3 hal berikut ini. Pertama, penggagalan Anies sebagai capres. Hal ini diasumsikan dengan pentersangkaan Anies oleh KPK dalam kasus Formula-E. Selain itu, pengambilan alihan Partai Demokrat dari kelompok AHY kepada Moeldoko dan atau Anas Urbaningrum. Sejak isu pentersangkaan Anies (googling tulisan saya \"Jika Anies Ditersangkakan\", 2/10/22 dan \" Firli Bahuri, Anies Baswedan dan Kegilaan Adam Wahab\", 20/10/22), kita menyaksikan KPK mengalami keguncangan-keguncangan besar. Keguncangan itu antara terkuaknya rencana pentersangkaan Anies di luar prosedur hukum secara wajar, seperti pengakuan beberapa petinggi KPK yang mundur terkait isu tersebut, bahwa mereka mengalami tekanan untuk mentersangkakan Anies, maupun adanya tekanan publik agar KPK kembali menjadi lembaga yang benar.  Mahfud MD, tokoh rezim Jokowi, misal, dalam sebuah video beredar mengatakan  Anies seharusnya menjadi tersangka jika tidak ada tekanan publik terhadap KPK, karena kata Mahfud, Anies bersalah. Bersalah karena  meminjamkan uang APBD pada event non rakyat, Formula E. Kalau sepakbola tidak masalah.  Pernyataan Mahfud, yang menyatakan Anies bersalah, sangatlah sumir dan tendensius, sebalik pendukung Anies justru melihat KPK menjadi instrumen politik penjegal Anies untuk capres. Kriminalisasi dalam era rezin Jokowi memang seringkali merupakan modus, dengan berbagai latar belakang motif kekuasaan. Kita tahu, kasus Anies tentang Formula E  jelas-jelas bukan sebuah pidana, melainkan kebijakan atau deskresi gubernur DKI, agar event internasional bisa menjadi bagian penting sebuah ibukota. Tidak ada fee bisnis yang diterima Anies. Bahkan, bila dibandingkan kasus pengadaan atau pengeluaran uang triliunan untuk event balapan MotoGP di Mandalika, NTB, uang negara/BUMN/BUMD yang digunakan di Formula E hanya secuil saja. Apalagi jika membandingkan dengan skala pencucian uang Rp. 349 Triliun di kementerian keuangan, seharusnya KPK malu memikirkan soal Formula E tersebut, dalam konteks mencari cari kesalahan Anies. Kita juga dapat membandingkan kasus E-KTP yang mengaitkan Ganjar Pranowo dengan kasus Anies. Ganjar Pranowo namanya terungkap dalam pengadilan kasus korupsi E-KTP, dia menerima uang $ 500 ribu. Setya Novanto dan Nazaruddin, dalam persidangan, memberi kesaksiannya. Jika KPK konsisten memprioritaskan penyelidikan pada Anies dibanding Ganjar Pranowo, tentu saja logikanya terlebih dahulu Ganjar, sebab keterlibatan Ganjar dalam korupsi E-KTP lebih terlihat (terang benderang) untuk ditingkat penyelidikannya. Sehingga, ke depan, kita melihat KPK tidak mungkin memiliki keberanian untuk menjadikan Anies tersangka. Seperti kata Mahfud, bahwa pendukung Anies akan marah. Ya, tentu saja pendukung Anies wajar marah. Bagaiman dengan pengambil alihan Partai Demokrat? Spekulasi beredar bahwa penangkapan-penangkapan hakim agung akan dikaitkan dengan \"bargain\" mengalahkan AHY di PK (Peninjauan Kembali). Atau spekulasi hakim MA dapat disuap oleh berbagai bandar yang berkepentingan menjatuhkan Anies. Pendapat ini juga terlalu sumir. Dalam politik, semuanya tergantung pada power yang bertarung. Apakah lebih kuat Moeldoko versus Susilo Bambang Yudhoyono? Dalam kondisi akhir pemerintahan Jokowi, kita melihat bahwa Jokowi tidak tertarik melibatkan diri pada \"power game ini\". Kenapa? Karena \"power game\" mengambil \"partai orang lain\" akan menjadi preseden buruk bagi semua partai-partai yang ada. Kasus \"pemindahan kekuasaan\" Suharso Manoarfa kepada Margiono, sebagai ketua PPP, misalkan dapat terjadi karena Margiono adalah tokoh PPP juga. Sebaliknya, Moeldoko adalah pimpinan partai lain, yakni Hanura. Begitu pula Jika L. Binsar Panjaitan, misalnya, akan mengambil alih ketua umum Golkar dari Airlangga Hartarto, sekali lagi misalnya, itu karena Binsar Panjaitan juga pemimpin Golkar. Perebutan internal.  Tanpa keterlibatan Jokowi dalam perebutan ketua umum Partai Demokrat, seharusnya kekuatan SBY dapat menaklukkan Moeldoko. Artinya, lebih lanjut, Mahkamah Agung tidak bisa diintervensi. Tanpa intervensi, maka kasus seperti Partai Demokrat, pasti akan merujuk pada hasil KASASI, sebagaimana semua perkara pidana/perdata yang ditangani Mahkamah Agung. Kedua, global politik. Hal kedua yang kita perlu dalami adalah pengaruh global di Indonesia. Dalam situasi \"perang dingin\" China/Rusia melawan Amerika dan barat, khususnya setelah perang Ukraina-Rusia, dan perang dagang \"US-China\", para pemimpin bangsa kita menginginkan politik tidak memihak. Indonesia saat ini mempunyai ketergantungan dagang terhadap China, namun ketergantungan pembiayaan terhadap Amerika dan sekutunya.  Anies Baswedan, dalam wawancaranya di ABC News, Australia beberapa waktu lalu, menyebutkan bahwa dia akan mendekatkan diri pada negara-negara yang mempunyai kepentingan di kawasan ini, baik Australia, ASEAN, China dan Amerika. Kebijakan Jokowi juga, terakhir ini, menunjukkan arah kepada keseimbangan, dari dominan ke RRC sebelumnya. Hal ini dapat kita lihat kebijakan Indonesia dalam hal Myanmar. Indonesia tidak mendukung rezim anti demokrasi di Myanmar, meskipun ditekan oleh China. Sikap Indonesia yang ingin terus dipertahankan, mempunyai kedekatan yang seimbang, membutuhkan komitmen seluruh pemimpin bangsa untuk menghadirkan pemilu yang jujur dan adil. Pada masa lalu, kita menuduh adanya pembrontakan di Indonesia karena keterlibatan global power, seperti kasus pembrontakan Komunis 1948 dan 1965, melibatkan China dan Rusia, maupun pembrontakan PRRI Permesta yang melibatkan Amerika.  Tuduhan ini tentu saja dapat berulang apabila kekuatan yang ingin berkuasa di Indonesia melakukan kejahatan politik, yakni curang untuk berkuasa. Hasrat untuk menjadi pengkhianat bangsa, dengan bersekutu pada kekuatan asing, untuk menjadi penguasa kolabutor, kelihatannya merupakan godaan kecil ke depan. Kenapa? Karena resiko perpecahan bangsa akan sangat besar jika itu terjadi.  Apabila kekuatan kekuatan politik berhasil membangun kompetisi secara demokratis, maka dapat dipastikan juga kekuatan politik global akan menahan diri untuk masuk dalam politik Indonesia 2024 ini. Ketiga, Anies versus Ganjar yang representatif. Kita lihat soal ketiga, yakni capres yang muncul. Dua capres yang muncul saat ini, Anies dan Ganjar merupakan representasi dari aspirasi besar masyarakat Indonesia. Anies mewakili aspirasi umat Islam, sedangkan Ganjar mewakili aspirasi kelompok non-Islam. Aspirasi disini bukan eksistensinya melainkan esensinya. Orang Islam dapat juga secara esensial memiliki aspirasi sekuler. Begitu juga sebaliknya. Sebab, dalam lapisan-lapisan aspirasi tersebut banyak varian yang membuat perbedaan dalam pilihan. Misalnya, ada orang Islam yang tidak ingin memilih Anies karena dianggap bukan Jawa. Sebaliknya pula, ada kaum sekuler, tidak akan memilih Ganjar, karena sikapnya permisif dalam pornografi, misal lainnya.  Berbeda dengan pertarungan Jokowi versus Prabowo di masa lalu, kelompok utama non Muslim, seperti kaum Soekarnois/Marhaenis, memilih Jokowi bukan karena kesamaan ideologis maupun aspirasi, namun merupakan pilihan tanpa alternatif. Begitu pula kelompok Islam memilih Prabowo, bukan karena Prabowo mewakili aspirasi Islam, namun karena keterpaksaan tiada pilihan. Saat ini, dua aspirasi besar yang hidup dalam bangsa kita akan terwakili oleh Anies dan Ganjar. Dengan demikian, karena Anies dan Ganjar representasi rakyat Indonesia, maka pemilu 2024, atau pilpres, bisa menjadi tolak ukur sempurnanya rezim 2024, dari sisi kepemimpinan yang mewakili aspirasi rakyat itu. Dengan demikian, dari pendalam tiga hal di atas, kita yakin bahwa kekuatan-kekuatan anti demokrasi pasti akan tersingkir nantinya. Begitu juga pelaksana dan pelaksanaan pemilu, khususnya pilpres, akan mengarah pada arah yang benar. Perubahan Pertarungan ke depan adalah pertarungan \"Perubahan\" versus \"Status Quo\". Sejauh ini Megawati, sebagai penentu utama nasib Ganjar, menyatakan kepuasan pada Jokowi sebagai presiden. Artinya, kerja Jokowi 2014-2024 akan tetap dilanjutkan dan disempurnakan oleh Ganjar. Kita melihat hal-hal besar yang dapat di klaim kelompok Status Quo, seperti fenomena maraknya pembangunan infrastruktur fisik dan program Bansos. Sebaliknya, kelompok pengusung isu perubahan yang diwakili Anies Baswedan mengetengahkan pembangunan untuk rakyat, yakni keadilan sosial.  Dalam berbagai kesempatan Anies mengetengahkan bahwa Sila Kelima Pancalisa, yakni Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia merupakan kata kunci kepemimpinan yang dia sudah jalan kan di Jakarta maupun nantinya jika menjadi presiden. Di Jakarta tema Anies adalah \"Maju Kotanya Bahagia Warganya\". Anies akan memusatkan perhatian pada \"growth through equity\", bukan \"growth with equity\", apalagi seperti pikiran Rostow yang terkenal, \"Growth then Equity\", atau teori \"merembes kebawah\".  Dalam konsep \"Growth through equity\", maka sektor produksi rakyat harus menjalani kerja utama. Rakyat tidak boleh bersandar pada bansos, ketika bersamaan orang-orang kaya menggarong semua sumber daya alam untuk mengekslarasi kekayaan mereka.  Infrastruktur tidak boleh berjalan liar, apalagi mubazir. Contoh infrastruktur mubazir adalah pembangunan kereta api cepat Bandung-Jakarta, ketika kebutuhan pembiayaan lainnya di daerah lain, maupun sektor lain mengalami kebutuhan mendesak.  Kedua, Anies akan menghancurkan korupsi. Korupsi yang istilah Mahfud MD jaman ini ada di mana-mana, harus dihancurkan sebelum menjadi budaya sentral yang tidak bisa ditangani. Tanpa korupsi, maka kesejahteraan rakyat dapat ditingkatkan sedikitnya 30%. Untuk itu Anies sebaiknya menyiapkan 1000 peti mati untuk membunuh semua koruptor di masa nanti. Hal ini lebih sedikit tentunya jika dibandingkan kematian 500 orang di Siberia pada era Revolusi Bolshevik maupun kematian koruptor pada Revolusi Iran 1979. Tapi, dengan menyiapkan peti mati bagi koruptor, Anies akan bekerja untuk isu perubahan. Ketiga, Anies harus mengembalikan demokrasi dan kedaulatan bangsa. Perubahan artinya menggeser situasi saat ini yang anti \"balance of power\" menjadi sistem yang seimbang antara penguasa dan oposisi. Dalam dunia perburuhan misalnya, buruh harus mendapatkan dukungan negara untuk memiliki kekuatan berunding dengan pengusaha. Konsekuensinya serikat buruh harus dikuatkan untuk membawa aspirasi kaum buruh pada perundingan upah dan kesejahteraan lainnya. Arti lainnya adalah, perubahan harus dimaksudkan mengkorekai UU Omnibus Law Ciptaker yang diproduksi Jokowi. Dalam demokrasi, kekuatan penjaga kedua bangsa tidak boleh dikompromikan. Misalnya, dalam kasus Papua, separatisme harus dihancurkan. Dialog dengan pembrontakan tidak boleh ditolerir. Dialog hanya boleh dilakukan untuk urusan kemanusiaan, sedangkan separatisme harus disingkirkan. Konsekuensinya, Anies dan gerakan perubahan harus mendudukkan kembali peranan TNI pada porsi yang besar untuk menjaga kedaulatan. Jika perubahan dan \"status quo\" bertarung secara terhormat pada pilpres 2024, maka kita yakin rakyat akan menyongsong kemenangan, yakni perubahan (Change!). Ahlan wa sahlan (selamat datang) perubahan!. (*)

Gde Siriana: Pilpres Mirip Kontes Idol Televisi

Jakarta, FNN -  Masyarakat memiliki peran penting menyambut Pilpres 2024. Mulai dari partisipasi hingga pengamatan terhadap pergantian elit politik dapat dilakukan masyarakat untuk mencegah munculnya penyelewengan. Partisipasi masyarakat, antara lain ikut mengawasi dan mengawal berbagai tahapan pemilihan agar berjalan lancar sehingga menghasilkan para pemimpin yang bisa dipercaya atau amanah. Masyarakat punya hak demokrasi, memilih pemimpin sesuai keinginan masing-masing. Masyarakat tidak hanya berperan saat pemungutan suara di pilpres tetapi seyogyanya ikut mengawal dalam proses pesta demokrasi. Namun menurut Gde Siriana masyarakat hanya jadi menonton saja mirip Indonesia Idol. “Pilpres Indonesia semakin mirip dengan lomba idol di televisi. Rakyat hanya menonton dan memilih yang mereka suka. Yang dominan dan mengatur siapa yang menang adalah promotor yaitu partai politik sebagai pemilik panggung dan sponsor yaitu oligark yang jadi bandar Capres,” demikian disampaikan Direktur Indonesia Future Studies (INFUS), Gde Siriana Yusuf kepada FNN (24/04/2023). Gde Siriana menegaskan, ada lembaga SurePay yang menentukan Capres unggulan agar kelihatan jadi menarik. Perasaan rakyat ditarik dan dipermainkan seperti roller coaster dalam pertunjukan sebuah drama lima tahunan. Rakyat tak punya peran menentukan kritera capres atau memajukan capres yang mereka suka. “Hak rakyat sebatas datang menonton dan memilih, serta bersorak sorai layaknya alay-alay yang mendukung favoritnya, sebagai konsekuensi rakyat telah memilih mereka yang menyebut dirinya wakil rakyat” pungkasnya. (*)