OPINI

Dari Ganjar ke Prabowo: Frustasi Jokowi

Oleh M Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan  GANJAR awalnya digadang-gadang sebagai pengganti dan kepanjangan tangan Jokowi, akan tetapi Ganjar semakin lama justru semakin memudar dan tidak mengakar. Dengan permainan survey Jokowi berharap PDIP akan tertekan dan akhirnya terpaksa mengusung Ganjar Pranowo sebagai Capres. Namun pola tersebut tidak berhasil, Megawati ternyata tidak mau kejeblos lagi oleh akal bulus.  Upaya Jokowi \"membentuk\" Koalisi Indonesia Baru (KIB) untuk wadah Ganjar juga tidak berjalan mulus. Terakhir eksponen KIB malahan merapat kepada Anies Baswedan. Kuning Ijo Biru bukan bendera Ganjar. Pusing lah Jokowi. Ikhtiar wacana penundaan Pemilu dan tiga periode justru memperbanyak lawan. Alih-alih memperpanjang bisa-bisa memperpendek.  Segala cara dipasang untuk jaga badan. Akan tetapi semua rapuh karena berpola menggelantung. Menggelantung bagai hewan malam.  Akhirnya mencoba jurus kampret. Menjadi balad Prabowo. Figur-figur pro Jokowi yang serius maupun yang imut-imut bergeser pro Prabowo. Misalnya Hutahaean,  Abu Janda dan Noel Ebenezer.  Lucunya Abu Janda siap bagi lima puluh juta jika Prabowo tidak menjadi Presiden 2024. Habiburakhman Gerindra juga girang mendapat dukungan Abu Janda. Mendukung dan menggelantung sebenarnya beda-beda tipis.  Bagi Prabowo gelantungan ini tidak menguntungkan. Namun Prabowo jumawa bahwa \"strategi\" merapat dan menjilat Jokowi telah berbuah. Jokowi menjadi pro Prabowo.  Gebrak meja berhasil gebrak hati lewat puja puji.  Anies tetap ditakuti dan diwanti-wanti untuk patut diwaspadai. Mimpi buruk Jokowi. Ia mulai frustrasi karena usai masa jabatan akan terancam sanksi.  Jokowi terus mencari tempat untuk menggelantungkan diri. Langkahnya sudah tidak ajeg lagi.  Jokowi berharap Prabowo lawan tanding Anies dan berprediksi dukungan akan terpolarisasi. Sayangnya Jokowi lupa bahwa Prabowo dulu bukan yang sekarang. Pendukung sudah banyak berpindah dan lari ke lain hati. Fenomena Abu Janda adalah adalah fakta bahwa sekualitas ini pendukung Prabowo kini.  Jokowi lupa pula bahwa Prabowo itu mudah lari-lari. Umat dan rakyat yang dulu habis-habisan mendukung juga tega ditinggal pergi. Jokowi yang dipuja-puji esok juga akan dilepas untuk ditebas sanksi. Prabowo bukan tempat bagus untuk menggelantungkan diri.  Ketika Jokowi \"merapat\" ke Prabowo maka itu tanda bahwa memang Jokowi sedang dalam keadaan frustrasi. Ia bukan sedang timbul tetapi tenggelam. Panik hingga apapun dipegang untuk menyelematkan diri. Ia telah merasa mendapatkan pegangan, padahal itu kakinya sendiri. Dan ia terus tenggelam. Bersama kaki yang dipegangnya erat-erat.  Balonku ada lima. Rupa-rupa warnanya. Hijau, kuning, kelabu. Merah muda dan biru.  Meletus balon hijau.. door. Hatiku sangat kacau. Balonku tinggal empat. Kupegang erat-erat.  Anies adalah balon Jokowi yang meletus. Hati Jokowi kacau. Sisa balon ia pegang erat-erat. Nyatanya yang dipegang tinggal kakinya sendiri.  Bandung, 17 Februari 2023

Pinjaman Luar Negeri Kementerian BUMN untuk Kereta Cepat Terindikasi Melanggar Hukum

Oleh: Anthony Budiawan - Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) PROYEK Kereta Cepat Jakarta Bandung masih terkendala banyak masalah. Biaya proyek membengkak 1,2 miliar dolar AS. Katanya, sudah disetujui oleh China. Katanya, pembengkakan biaya (cost overrun) ini harus ditanggung oleh kedua belah pihak sesuai porsi kepemilikan saham, yaitu Indonesia 60 persen, China 40 persen. Cara pembiayaan cost overrun disepakati mengikuti cara pembiayaan proyek, yaitu 25 persen dari modal pemegang saham, dan 75 persen dari pinjaman. Artinya, 25 persen dari cost overrun sebesar 1,2 miliar dolar AS, atau sekitar 300 juta (25 persen x 1,2 miliar) dolar AS, dibiayai pemegang saham. Porsi Indonesia 180 juta (60 persen x 300 juta) dolar AS. Sedangkan sisa 75 persen atau 900 juta (75 persen x 1,2 miliar) dolar AS seharusnya dibiayai pinjaman. Dalam hal ini, yang bertanggung jawab mencari pinjaman seharusnya PT Kereta Cepat Indonesia China (PT KCIC), yaitu perusahaan patungan antara Indonesia dan China sebagai pemilik proyek kereta cepat.  Tetapi, anehnya, kenapa yang cari pinjaman malah Kementerian BUMN, seperti diberitakan di banyak media? Dan, lebih aneh lagi, kenapa jumlah pinjamannya hanya untuk porsi Indonesia, yaitu 550 juta (60 persen x 900 juta) dolar AS. Padahal yang perlu dibiayai dari pinjaman seharusnya 900 juta dolar AS.  (Perbedaan angka, 550 juta dolar AS versus 540 juta dolar AS, mungkin karena pembulatan cost overrun.) Oleh karena itu, Kementerian BUMN wajib menjelaskan kepada publik, siapa sebenarnya yang meminjam kepada China Development Bank (CDB) tersebut?  Apakah pinjaman luar negeri tersebut atas nama Kementerian BUMN, atau atas nama Kementerian Keuangan untuk diteruskan kepada PT KCIC, atau atas nama PT KCIC, atau atas nama PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PT PSBI) yang memiliki 60 persen saham di PT KCIC? Penjelasan Kementerian BUMN ini sangat penting karena, Pertama, Kementerian BUMN tidak boleh melakukan pinjaman (baik dalam negeri maupun luar negeri) untuk dirinya sendiri. Kedua hanya Kementerian Keuangan yang boleh melakukan pinjaman atas nama Republik Indonesia, setelah mendapat persetujuan dari DPR atau sudah tercantum di rencana anggaran pinjaman (pembiayaan) di APBN. Ketiga kalau pinjaman tersebut atas nama PT KCIC, kenapa harus Kementerian BUMN yang cari pinjaman? Dan kenapa hanya 550 juta dolar AS porsi Indonesia, bukan total cost overrun 900 juta dolar AS? Apakah Kementerian BUMN, dalam hal ini pemerintah, menjamin pinjaman untuk PT KCIC? Keempat, kalau pinjaman luar negeri tersebut atas nama PT PSBI, apakah berarti digunakan sebagai tambahan modal disetor untuk menambal cost overrun yang menjadi tanggung jawab Indonesia. Kalau benar, berarti Indonesia menanggung seluruh cost overrun dari modal pemegang saham, bukan dari pinjaman proyek. Hal ini tidak sesuai dengan kesepakatan pembiayaan proyek, di mana 75 persen dibiayai dari pinjaman? Apakah pihak China juga menanggung cost overrun ini dengan tambahan modal? Upaya Kementerian BUMN mencari pinjaman luar negeri bisa melanggar undang-undang keuangan negara, bahwa hanya pemerintah pusat yang dapat menerima pinjaman dari lembaga asing dengan persetujuan DPR, atau melanggar kesepakatan pembiayaan proyek bahwa 75 persen dibiayai pinjaman, atau bahkan melanggar konstitusi, karena melanggar wewenang DPR? (*)

Anies, Amien Rais dan Partai Ummat

Oleh Yusuf Blegur - Mantan Presidium GMNI  Partai Ummat menggeliat dalam panggung politik pilpres 2024. Dengan mendukung Anies sebagai capresnya, Amien Rais memberi sinyal, betapapun sekulernya negara, Indonesia tak bisa dipisahkan dari keberadaan Islam dan umatnya. Mempertahankan Pancasila, UUD 1945 dan keberlangsungan NKRI, menjadi identik dengan  umat Islam yang telah menjadi rahim dari kelahirannya. Momen perjumpaan  Anies Baswedan dan Amien Rais pada Rakernas Partai Ummat hari Selasa tanggal 14 Februari 2023, menjadi penting dan strategis. Pertama, penting bagi Anies karena bertemu dengan sosok yang kuat  secara personal maupun kepartaian. Kedua, strategis bagi Amien Rais karena partainya mendeklarasikan Anies sebagai capres potensial. Pertemuan keduanya seperti merangkai lokomotif dan gerbong yang terpisah. Anies dan Amien Rais memberi sinyal ada dinamika dan konstelasi politik yang sedang dibangun untuk menyatukan jarak yang lebar antara pemimpin dan rakyatnya. Amin Rais bersama partai Ummat, bukan saja hanya sekedar berupaya melakukan konsolidasi warga Muhamadiyah. Lebih dari itu figur penting yang berkorelasi  dengan bergulirnya era reformasi, tak ubahnya sedang membangun kekuatan umat Islam yang selama ini terpinggirkan dari panggung politik. Sementara Anies menjadi figur pemimpin yang dianggap nasionalis namun bisa mewakili kepentingan umat Islam. Antara Anies dan Amien Rais telah menjadi konfigurasi politik tertentu yang disinyalir signifikan memengaruhi pilpres 2024. Kiprah politik Amien Rais tak bisa dipandang sebelah mata, termasuk potensi dalam urusan menyiapkan transisi pemerintahan rezim kekuasaan sekarang. Akankah kolaborasi Amien Rais dan partai Ummatnya bersama Anies serta kekuatan kebangsaan lainnya bisa mewujudkan agenda perubahan?. Amien Rais yang pernah menjadi Ketua Umum PP Muhamadiyah, merupakan figur sentral yang ikut menentukan arah reformasi. Kepiawaian politiknya terlihat saat mendorong Gus Dur menjadi presiden Indonesia lewat strategi poros tengah meski figur Megawati dan PDIP begitu kuat saat itu. Amien  Rais yang menjadi pendiri sekaligus ikut membesarkan PAN, kini  dengan partai Ummat  yang mendukung Anies sebagai capresnya, seperti sedang menyusun skenario pergantian pemimpin dan sistem demi kehidupan yang lebih baik bagi negara, bangsa dan seluruh rakyat Indonesia. Anies dan Partai Umat yang sama-sama tidak disukai dan diinginkan kehadirannya oleh rezim kekuasaan, menyatu dengan koalisi perubahan yang lebih dulu dipelopori Partai Nasdem, Demokrat dan PKS. Anies dan Amien Rais, tak hanya dalam kebersamaan partai Ummat. Keduanya juga benar-benar sedang menghimpun kekuatan rakyat yang kini terancam kedaulatannya. Amien Rais dan partai Ummat terlihat bersemangat dan antusias, tak tinggal diam  berkontribusi ikut menyelamatkan Pancasila, UUD 1945 dan NKRI dari bahaya oligarki dan aneksasi bangsa asing yang kapitalistik dan komunis. Keputusan rakernas partai Ummat yang mendukung Anies sebagai capresnya, menjadi penegasan bahwasanya pemimpin tak bisa mengabaikan rakyatnya. Terlebih pada umat Islam yang bukan sekedar mayoritas, tetapi telah menjadi rahim dari kelahiran negeri bernama Indonesia. Amien Rais dengan kekuatan figur, partai politik dan organisasi Muhamadiyah,  kembali giroh dan istiqomah seraya menjalankan agenda politik Anies, Amien Rais  dan partai Ummat. *) Bekasi Kota Patriot.16 Februari 2023/25 Rajab 1444 H.

Lieus Sungkharisma, Pejuang Keadilan dan Mitigasi Stigma Tionghoa

Oleh Jon A.Masli, MBA - Diaspora AS and Corporate Advisor. BEBERAPA waktu lalu, sempat kita melihat video-video viral beberapa pejabat dan tokoh nasional melayat almarhum Lieus Sungkharisma (LS) seperti Pak Prabowo, Anies Baswedan, Jusuf Hamka, Eros Djarot, Rizal Ramli dll. Ada satu kesimpulan pesan yang mereka sampaikan kepada para anggota keluarga almarhum LS, bahwa mereka perlu berbangga punya ayah, engkong, asuk, saudara seperti LS, tokoh Tionghoa yang berani konsisten memberi kritik-kritik membangun  dan usulan-usulan solusi yang berkeadilan kepada pemerintah. Sosok LS beda sekali dengan stigma masyarakat Tionghoa selama ini, bahwa “orang Tionghoa itu dekat dengan penguasa dan hanya mau Cuan doang”. Di satu sisi kita mengakui dari fakta bahwa hampir semua orang Tionghoa yang “Sangat Sukses dan super crazy rich” itu perjalanan hidupnya memang demikian adanya, bahwa mereka dekat dengan penguasa dan dapat cuan yang berlimpah. Tapi di sisi lain bukankah mereka ini hanya segelintir dari mayoritas belasan juta masyakarat Tionghoa yang middle class yang  kebanyakan dikenal “bekerja keras, punya toko dan tekun berdagang?” Bahkan banyak juga orang Tionghoa  melarat di Kalbar, Bangka Belitung, Bagan Siapiapi dan pelosok-pelosok terpencil yang berpenghasilan di bawah Upah Minimum Provinsi (UMP). Apakah kita terus mengecap orang-orang Tionghoa dengan stigma tadi? Apalagi akhir-akhir ini meluap kasus-kasus mega korupsi oleh Henry Surya , Benny Cokro, Apeng Darmadi dan lainnya sehingga menambah lekatnya stigma negatif ini? Lebih gawat lagi kini diisukan kelompok 9 Naga dan  para pembobol BLBI yang jumlahnya puluhan Super Crazy Rich itu yang distigmatisasi sebagai oligarki yang mengatur bangsa dan negara RI. Memang ada benarnya sih. I dare not deny it! Sempat anak bungsu saya yang lulusan University of California at Riverside pun  menanyakan asal usul stigma negatif ini dengan debat kusir panas antara kami, saya yang  generasi senior asli Cina dan putraku Samson yang generasi milenial, yang ibunya/istriku Batak tulen (sepupunya Miranda Gultom). Putraku prihatin karena dia sering dibully lahir 1/2 Cina 1/2 Batak, tapi kerap dibully Cokin lho. “Some post truth” fakta bahwa memang betul adanya stigma negatif ini sudah tumbuh  terbangun sejak dari zaman Soeharto oleh sukses sekelompok orang Tionghoa “yang super crazy rich tadi dan  sangat sukses bisnisnya sampai sekarang”. Namun kata anakku tadi fakta juga mengatakan bahwa bukankah ada “para pejabat/penguasa” yang nota bene mereka adalah pejabat-pejabat dari berbagai suku etnis Indonesia  yang terlibat membantu memperkaya raya para super crazy rich  tadi dan cuan triliunan. Mereka juga dapat imbalan dari para Super Crazy Rich, tapi kok mereka  tidak berstigma demikian  seperti yang melekat pada orang Tionghoa? \"Not Fair, Daddy\" teriak anakku. \"Padahal pejabat penguasa ini juga tajir dan crazy rich, mereka pensiun diam-diam dengan tumpukan harta untuk beberapa turunan juga kok. Apakah ada yang berani mengatakan atau mengstigma “para pejabat/penguasa itu” yang mayoritas mereka itu pribumi asli yang memuluskan praktek modus operandi bahwa \"orang Cina itu dekat dengan penguasa dan mau cuan doang\" yang dari jaman Soeharto sampai sekarang masih sami mawon. Inilah yang tokoh Tionghoa nasionalis almarhum Lieus Sungkharisma perjuangkan agar jangan karena nila setitik, rusak susu sebelangah. Jangan sampai stigma ini terus melekat lalu meledak getahnya ke mayoritas orang orang Tionghoa lainnya yang de facto adalah middle class biasa seperti kebanyakan orang-orang Indonesia umumnya. LS almarhum berjuang berupaya memitigasi stigma ini. Hampir selama ini beliau lone star berjuang  sendirian. Sepertinya tokoh-tokoh top Tionghoa lainnya gak wani karena berbagai pertimbangan \"mungkin benturan kepentingan\" yang sah-sah saja, terutama mereka kalau sudah \"nempel penguasa dan cuan kenyang.\" Tapi sampai kapankah sebagai orang Tionghoa di negeri yang berasas Pancasila dan UUD45 dapat terus melawan stigma ini? Namun kita sudah lihat anak-anak milenial keturunan Tionghoa sudah mulai mengikuti jejak Lieus dengan pola pendekatan yang berbeda. Mereka membuat talk show dan podcast di medsos dengan mengundang para nara sumber tokoh  nasional, politikus dan penguasa. Mengkritik dengan lelucon-lelucon sehingga tidak vulgar. Smart move boys! Belum banyak sih, yang paling berani mungkin hanya Dedy Corbuzier. Yang lain masih malu-malu kucing, unlike LS yang kritis dan berani sampai pernah masuk penjara karena vokal mengkritk kebijakan pemerintah, sehingga almarhum sempat dicap “Kadrun Cina” oleh sekelompok orang di  WAG Tionghoa yang ngakunya intelek, orang berpendidikan, dan kaya, tapi miskin wawasan dan toleransi, eksklusif  tidak berkaca/introspeksi bahkan ngakunya mereka beragama Kristen dan Budha yang soleh. Stigma negatif memang tidak mudah “terhapus” di dalam suatu budaya apapun. Lihat saja seperti stigma orang-orang Negro di sini yang berstigma orang yang  “bermasalah, penjahat, bersenjata dll\". Memang  mereka selama ini  etnis miskin dan minim pendidikan. namun outstanding dalam hal olahraga. AS negeri demokrasi yang sudah  berabad-abad pun punya masalah sosial begini. Solusinya adalah, semoga orang-orang Tionghoa menyadari stigma ini dan berupaya memitigasi seperti almarhum LS.Sederhana saja \"Conduct yourself accordingly\" dengan penuh tangggung jawab dan toleransi  sebagai WNI yang de facto Tionghoa adalah komponen masyarakat majemuk Bangsa Indonesia. Hidup rukun dengan WNI dari beragam etnis dan agama. Ini yang dilakonin almarhum LS puluhan tahun sebagai tokoh Tionghoa teladan ikut membangun bangsa. Upaya ini sudah ada seperti kita lihat kepedulian kelompok usaha. Seperti Jarum Grup dengan kegiatan pembibit olahraga bulu tangkis. Artha graha Peduli dengan kegiatan-kegiatan sosialnya; Sedayu  groupnya Aguan dengan Tzu Zhinya yang selalu berada di garis depan membantu orang-orang miskin dan bencana nasional. They are doing great jobs. Tapi yang lebih penting lagi hai orang-orang Tionghoa “jauhilah upaya-upaya atau ulah-ulah seperti kasus Jiwasraya, Indo Surya, Apeng Darmadi dan pembobolan BLBI gitu lho. Pada saat yang sama, para pejabat dan politikus yang berkuasa tahu diri dong, intropeksilah kelakuan-kelakuan kalian yang merugikan masyarakat Indonesia. Orang Tionghoa yang sudah super crazy rich dengan kekayaan puluhan turunan CIAK BE LIAW alias gak bakal abis, intropeksilah, berbuatlah proyek-proyek kemanusian menolong those our brothers and sisters yang  facto mayoritas Muslim yang masih hidup di bawah garis kemiskinan. I am sure you already know what I “mean” , you know better LAH! Kita tidak mau mayoritas Tionghoa kena getah stigmanisasi itu berlanjut. Bertobatlah! seperti kata Kitab Wahyu 2:16. Sadarkah kita bahwa provokator2 peristiwa berdarah 98 itu masih “exist” berkeliaran. (Sws)

Anies Baswedan dan Dana Kampanye

Oleh Dr. Syahganda Nainggolan -  Sabang Merauke Circle Fahri Hamzah telah merespons secara negatif penjelasan Anies Baswedan terkait dana kampanye yang diungkapkan Erwin Aksa dan Sandiaga Uno beberapa hari lalu. Fahri mengatakan penjelasan Anies mengarah pada komitmen perencanaan korupsi, karena Anies mengatakan perjanjian dia dengan Sandi bahwa pinjaman dana kampanye tidak ditagih lagi jika mereka menang di Pilgub DKI 2017. Fahri, secara tidak langsung, menyarankan agar orang-orang model Anies, yang kurang modal sebaiknya tidak usah memaksakan diri menjadi kandidat. Atau bisa ditafsirkan agar yang didukung rakyat sebaiknya adalah orang-orang yang punya uang saja, yang bisa membiayai sendiri dana kampanyenya. Benarkah seorang tokoh besar yang mencalonkan diri harus punya uang sendiri? Apakah tidak mungkin dia menghimpun dukungan dana publik? Atau sumbangan orang-orang yang ingin menjadi sponsor?  Persoalan dana kampanye menjadi persoalan dasar di seluruh dunia yang menjalankan demokrasi. Dalam negara-negara yang maju demokrasinya, aturan dana ini begitu ketat dan detail, sehingga dana kampanye masuk dalam kerangka pemilu yang jujur dan adil. Calon presiden, meskipun mendapatkan sponsor dari pengusaha, harus membuka semua transaksi politik yng dia lakukan sebelum pemilu. Dalam hal ini, contoh \"kontrak politik\" yang tidak masuk dalam janji pemilu Jokowi 2019 adalah pemindahan ibukota, UU Omnibus Law Ciptaker dan revisi UU Anti Korupsi. Dalam demokrasi, semua unsur kebijakan strategis harus termuat, sehingga rakyat tahu konsekuensi dukungan sponsor dikemudian harinya. Di Amerika misalnya, pemerintah melalui komisi pemilihan umum, menyedialan semua biaya calon presiden yang masuk nominasi dari dua partai utama, dalam pemilu awal (premier) dan pemilu (general election), secara terbatas. Dalam \"Public Funding of Presidential Elections\" (www.fec.gov), sumbangan negara dapat mencapai 103 juta dollar kepada calon dari dua partai utama, pada pilpres, malah sumbangan pribadi kandidat dibatasi. Kandidat partai-partai kecil dapat juga meminta bantuan dalam porsi yang lebih kecil. Sebelumnya, untuk pemilu awal, pemerintah juga memberikan uang yang besar, dengan syarat kandidat pantas untuk dukung. Misalnya, kandidat mampu mengumpulkan uang sponsor sebesar $100.000 dari 20 negara bagian, atau $5000 per negara bagian. Setiap sponsor, individual, hanya boleh menyumbang maksimal $250.  Sebelum Obama, malah dana untuk calon dalam Konvensi Partai, masih didukung negara. Sehingga tiap kandidat memperoleh uang. Namun, Obama kemudian menghapuskan bantuan uang itu. Namun, bantuan pemerintah ini,  mempunyai efek yang membatasi kandidat memperoleh uang secara bebas. Sementara, pengeluaran kandidat Trump dan Biden, 2020, misalnya mencapai $6 milyar lebih. Hal itu dilaporkan CNBC dalam \"Total 2020 election spending to hit nearly $ 14 billion, more than double 2016\'s sum\". Bahkan, pada pemilu 2020 itu, disebutkan  Biden mampu mengumpulkan $1 milyar dollar dana kampanye. Apakah kemudian Biden di Amerika, terperangkap dalam keinginan oligarki? Dalam perjalanan kepemimpinan Biden belum terlihat dia tunduk pada oligarki. Meskipun tentu ada kompromi, misalnya soal besaran dan penagihan pajak. Ketakutan bahwa kandidat akan terperangkap pada kemauan oligarki, di Indonesia, telah mengarah pada Jokowi. Saat ini Jokowi dipersepsikan kelompok oposisi memanjakan kaum pengusaha daripada rakyat jelata yang mendukungnya. UU Omnibus law Ciptaker dan pemindahan ibukota negara, misalnya, lebih dimaksudkan untuk memanjakan kaum bisnis. Namun, dalam skala ibukota, Anies tidak memanjakan pengusaha. Anies, misalnya, mendengarkan jeritan nelayan miskin pantai utara Jakarta dan penggiat lingkungan hidup, sehingga membatalkan izin-izin reklamasi. Meskipun, kemudian hari kalah dengan tekanan kekuasaan pusat dan pengadilan. SBY ketika memerintah terlihat membuat keseimbangan antara memanjakan konglomerasi, namun sekaligus mengentaskan kemiskinan. Perasangka Fahri pada Anies, misalnya dengan melihat Sandiaga Uno yang dikenal sebagai pengusaha, tidak memberi peluang bahwa model pengusaha yang soleh benar-benar tidak ada. Padahal di Indonesia orang-orang seperti itu masih banyak, setidaknya ada. Jika di Amerika, kita melihat bagaimana John Kerry, capres dan keluarga kaya raya Amerika, mendukung Obama yang \"miskin\" untuk menjadi presiden Amerika sejak Konvensi Partai Demokrat 2004. Seandainya Sandi merelakan sumbangannya pada Anies, tentu itu masuk akal, apalagi Sandi menyebutnya setelah \"istikhorah\". Jejak inipun dapat dilihat pada keluarga Sandi, khususnya mertuanya, dalam berdonasi di Jakarta. Isu dana politik dan dana kampanye tentu perlu didengungkan terus menerus. Dana kampanye dalam pengertian yang sangat luas, bukan saja dana yang terkait masa kampanye, yang umumnya sekitar 2,5-3 bulan. Namun, itu juga termasuk dana-dana yang digunakan untuk persiapan seorang kandidat. Misalnya, jika Erick Tohir terbukti suatu waktu nanti akan menjadi kandidat capres/wapres, maka semua langkah yang dilakukan Erick sebagai ketua panitia Satu Abad NU, ketua panitia perkawinan anak presiden, dll, yang tidak terkait dengan jabatannya saat ini, dapat dikatagorikan persiapan untuk kandidasi, sehingga biaya yang dia keluarkn termasuk dana kampanye dalam pengertian luas itu. Begitu juga kandidat lainnya. Persoalnnya adalah KPU dan Bawaslu kita belum mengeluarkan aturan pendanaan yang tuntas. Dalam \"Aturan Dana Kampanye Pilpres Digugat\", mkri.id, penggugat misalnya meminta kejelasan berapa uang maksimal yang boleh dikeluarkan kandidat, dan bagaimana mengetahui asal-usul uang tersebut? Sebab, jika tidak ada pembatasan uang maksimal yang boleh digunakan, maka keadilan bagi para capres tidak akan terjadi. Peringatan Fahri soal kejelasan dana pemilu tentu penting, namun prasangka dia yang buruk terhadap Anies mungkin berlebihan. Justru Anies adalah fenomena bagus di Indonesia, mirip Presiden Obama di USA, menjadi kandidat presiden berbekal cita-cita yang lurus untuk bangsanya. Tidak bisa didikte oligarki. Anies adalah satu-satunya harapan, capres yang  ada dengan cita-cita untuk bangsanya, cita-cita perubahan. (*)

Tuntutan Mati Buat Henry Hernando, Pembunuh Letkol Mubin

Oleh M Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan  RUANG Sidang PN Bale Bandung Selasa siang 14 Februari 2024 bergemuruh dengan teriakan \"Hidup Jaksa.. Allahu Akbar\" setelah Tim JPU bergantian membacakan tuntutan yang diakhiri dengan pernyataan : Pertama, sah dan meyakinkan Henry Hernando bersalah melakukan perbuatan pidana Pembunuhan Berencana sesuai dengan Pasal 340 KUHP. Kedua, memohon Majelis Hakim agar memutuskan kepada Terdakwa berupa hukuman Mati.  Pembunuhan sadis Letkol Purn H Mubin yang dilakukan oleh Henry Hernando alias Aseng awalnya terkesan ada nuansa perlindungan pada terdakwa. Hal ini terindikasi dengan tidak dihadirkannya Hernando selama 13 kali di persidangan PN Bale Bandung. Demikian juga pada sidang ke 14 dengan agenda tuntutan dari JPU. Letjen Purn Yayat Sudrajat yang hadir sebagai pengunjung sidang sempat memprotes ketidakhadiran secara offline Terdakwa.  JPU secara bergantian membacakan surat tuntutannya berdasarkan bukti-bukti di persidangan. Dakwaan Primer Pasal 340 KUHP, Subsidair 338 KUHP dan Lebih Subsidair Pasal 351 ayat (3) KUHP. Diawali dengan uraian peristiwa dan telaahan rumusan delik untuk Dakwaan Primer.  Tiga elemen penting \"barangsiapa\", \"menghilangkan nyawa\" dan \"dengan perencanaan\" telah terbukti. Pasal 340 KUHP dapat dikenakan dengan titel \"Pembunuhan Berencana\". Dipenuhinya unsur ketentuan Pasal 340 KUHP menyebabkan Dakwaan Subsidair  Pasal 338 dan Lebih Subdidair Pasal  351 ayat (3) tidak perlu dibuktikan lagi.  Sebagaimana biasa ruang sidang selalu dipenuhi oleh rekan seangkatan korban Akabri 82 lengkap dengan seragam putih Pandu Tidar. Letjen Purn Yayat Sudrajat mantan Ka Bais selalu hadir memberi dukungan penyelesaian secara adil atas kejahatan Henry Hernando terhadap Letkol Purn HM Mubin, mantan Dandim dan Guru Bahasa Arab di sebuah Pesantren.  Pembunuhan Hernando dinilai sadis hanya karena kesal korban HM Mubin yang mengantar anak majikannya sekolah parkir di depan pintu ia tega menusukkan pisau lipat yang disiapkannya di celana Eiger dengan 18 tusukan ke pipi, leher, tangan dan dada dalam waktu hanya 13 detik. Korban sendiri tidak berdaya karena duduk di belakang kendaraan yang dikemudikannya. Anak di bawah umur yang duduk di sebelahnya mengalami trauma atas kejadian sadis ini.  Yang masih disayangkan adalah belum atau tidak ditariknya ayah Terdakwa Ir. Sutikno Sutrisno yang berada di sebelah Terdakwa saat terjadinya penusukkan tersebut sebagai pelaku penyerta.  Sebelum peristiwa Terdakwa telah berkomunikasi di dalam rumah dengan ayahnya tersebut.  Tuntutan Jaksa sudah jelas Hukuman Mati. Terdakwa dan kuasa hukumnya akan mengajukan pledoi pekan depan. Majelis Hakim tentu mempersilahkan.  Setelah Fredy Sambo divonis mati, kini Henry Hernando yang diharapkan oleh keluarga dan rekan serta masyarakat agar mendapat vonis mati pula. Keadilan harus ditegakkan.  Bandung, 14 Februari 2023

Partai Ummat Menolak Narasi Politik Identitas

Oleh Sutoyo Abadi - Koordinator Kajian Politik Merah Putih Jika merujuk ke Pasal 280 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, tidak ada penjelasan yang detil tentang pengertian politik identitas. \"Pasal yang mengatur hal ini hanya memuat tentang kampanye yang dilarang menghina, menghasut, mengadu domba, dan menggunakan kekerasan. Tidak ada definisi dalam penjelasan UU Pemilu sebagai rujukan tiba tiba muncul narasi politik identitas. Di tengah jalan narasi politik identitas langsung di stempel sebagai politik SARA . Sejak awal makna politik identitas tidak jelas definisinya langsung diarahkan menjadi politik agama. Atau gerakan politik yang berbasis kesamaan suku, agama, ras dan etnik adalah politik identitas yang harus dicegah atau di larang. Kalau begini nalarnya, apakah partai politik yang berbasis agama harus dilarang. Tantangan ini bisa jadi mereka akan membantah dan membela diri, itu biasa. Di negara-negara maju, teori diilhami oleh praktik. Membela diri di negara berkembang, praktik diilhami oleh teori. Gimana dengan Indonesia? Pejabat negara dan politisi kita sok merasa pintar, sehingga lain sekolahnya lain bicaranya ( DR. Mulyadi ) Kenapa politik identitas dilarang. Mereka mendalilkan bahwa politik identitas akan menggiring opini publik bahwa orang yang tidak beridentitas sama dengan mereka tidak pantas untuk menjadi pemimpin. Ini tentu saja menyebabkan kaum minoritas akan kehilangan hak yang sama dalam pemerintahan negara, khususnya dalam ranah pemilu maupun pemilihan. Padahal fakta politik politik identitas justru kebanyakan dari masyarakat minoritas. Tidak bisa di definisikan bahwa politik identitas adalah  gerakan umat Islam yang mayoritas, yang saat itu sedang menjadi sasaran untuk dilemahkan gerakan politiknya.  Dirunut sejarahnya kapanpun kaum sekular kapitalis dan komunis tidak akan suka umat Islam mengendalikan politik atau menjadi pemimpin politik sekalipun di negara mayoritas umat Islam di Indonesia. Kaum kapitalis bentuk lain kolonialis gaya baru bersenyawa dengan faham komunis tidak pernah akan merasa lelah dan berhenti menyerang umat Islam dengan berbagai rekayasa politiknya untuk melemahkan dan menelikung politik umat Islam. Semua narasi dan definisi politik identitas  tak lebih hanya rekayasa mereka, dan memaksakan kehendaknya kepada orang lain. Politik identitas adalah wacana menyesatkan. Menentang politik identitas berarti sama saja dengan menghilangkan moralitas agama dalam dunia politik. Akibatnya, politik akan kehilangan arah dan terjebak dalam moralitas yang relatif dan etika yang situasional. Anjuran bernada larangan tentang politik identitas  adalah proyek besar sekularisme, yang menghendaki agama dipisah dari semua sendi kehidupan, termasuk politik.  Dengan demikian kita tunggu kalau ada yang berani membuat definisi bahwa politik identitas adalah bertentangan dengan pancasila. Kecuali otaknya sudah sungsang dan ngawur hanya karena dapat titipan proyek membuat definisi sebagai antek asing kaun kapitalis. Sampai ada yang nekad jangan menyuarakan,  bicara dan mendiskusikan politik di masjid. Akibat ketidak ketidak pahaman fungsi masjid dan bahwa *Islam adalah rahmatal lill alamiin*, atau mereka memang terang terangan ingin melemahkan atau menghancurkan Islam. \"Bagi umat Islam, selain tempat ibadah, masjid adalah pusat inkubasi ide dan etalase gagasan, menjadi ruang pertemuan pikiran untuk menyusun rencana dan strategi keumatan, dan menjadi titik nol sebuah perjuangan, termasuk di dalamnya jihad politik (Ridlo Rachmadi). Seorang pejabat negara yang kebetulan bukan Islam begitu bersemangat melarang aktivitas politik di masjid. Hati hati itu  gagasan sesat. Itu politik provokasi dan adu domba. Bagi umat Islam, masjid tidak hanya tempat ibadah. Sedang berlangsung proses pembodohan dengan narasi menentang politik identitas disuarakan hampir seluruh partai politik di Indonesia. Bahkan narasi menolak penggunaan politik identitas ini juga menjadi pesan-pesan pemerintah pusat agar masyarakat tidak mengedepankan politik identitas. Bisa jadi suara mereka tak lebih seperti suara gerombolan domba yang sedang dikendalikan oleh majikannya kemana mereka bergerak untuk mendapatkan makanan. Mereka berdalih, politik identitas menjadi penyebab polarisasi masyarakat pada dua pemilu sebelumnya. Itu semua omong kosong awal narasi ini muncul gara gara Ahok kalah oleh Anies Baswedan dalam Pilkada DKI. Sedangkan Ahok yang senyawa dengan Jokowi merasa sangat kecewa atas kekalahan Ahok yang merupakan titipan skenario besar harus bisa menjadi Preseden di Indonesia, dan ini skenario politik asing yang sangat panjang untuk bisa menguasai Indonesia, ahirnya berantakan. Narasi politik identitas adalah rekayasa kaum sekularis dan kapitalis orderan dari Neo Kapitalis gaya baru. Partai Ummat yang menentang narasi politik identitas adalah sikap cerdas dan cemerlang. (*)

Negara Gagal

Oleh Sutoyo Abadi - Koordinator Kajian Politik Merah Putih Kwik Kian Gie sejak tahun 2018 pada forum Indonesia Business Forum, mengatakan Indonesia memang sengaja untuk dibangkrutkan. Rupiah akan terus merosot sampai tidak ada batasnya, kecuali ada pimpinan nasional yang sangat kuat, mengerti persoalan dan berani membalikkan keadaan karena memang Indonesia sedang direkayasa diinternir oleh kekuatan asing untuk menjadi terpuruk dan untuk menjadi bangkrut. Negara saat ini dalam bahaya besar menuju failed state. Fuul dikuasai kekuatan asing dan oligarki baik  politik dan  ekonomi. Kekuasaan dan kedaulatan atas nama rakyat dan demokrasi  hanya simbolis semata. Rezim ini hanyalah proxy boneka dari sebuah kekuatan besar  yang berkolaborasi dengan kekuatan elit global baik dari barat maupun timur. Orientasi dan opportunity negara di selenggarakan dengan sebesar- besarnya untuk kepentingan asing . Inilah yang disebut era Neo-Kolonialisasi, dengan menggunakan kombinasi cara Neo-Liberalisasi dan Neo-Komunisme dalam mendegradasi kedaulatan negara kita dari semua sisi. Pergeseran navigasi dan kebijakan negara sangat jauh panggang dari api.  Secara ideologis, bangsa kita saat ini terus meluncur kearah kebangkrutan dan kehancurannya. Negara ini sudah dalam kendali kekuatan asing. Sehingga banyak terjadi post truth dalam bentuk logical fallacy, yang mengaburkan segala bentuk kejahatan negara menjadi sebuah pembenaran absolute. Kebenaran objectif , dikalahkan oleh keyakinan subjectif yang ditopang kekuasaan melalui kuasa hukum, ketika kekuasaan sudah menjadi hukum  Degradasi dan neo-kolonialisasi ini juga merambah dalam hal ekonomi, politik, sosial budaya, dan Hankam, berantakan  Ketimpangan ekonomi dan penguasaan sumber daya nasional oleh segelintir orang adalah bentuk fakta nyata. Hutang berkedok investasi adalah kanker ganas yang secara bertahap melumpuhkan sendi-sendi penting kedaulatan negara. Karena hutang dan investasi dari negara luar dapat mendikte kebijakan dalam negeri kita. Tingkat pengangguran terus meningkat, kemiskinan bertambah, daya beli masyarakat melemah, nilai tukar rupiah hancur-hancuran, tapi di satu sisi sumber daya alam dan perkebunan kita dieksploitasi serta dinikmati negara asing dan dilahap hanya oleh segelintir orang.  Dan ini yang seharusnya segera menyadarkan kita semua. Kalau sudah terjadi Neo-Kolonialisasi, Neo Komunisme dan Neo Liberalisme, rakyat harus segera bertindak menyelamatkan negara ini dari kebangkrutan dan kehancurannya. Hukum  jadi alat kekuasan. Penegak hukum juga  jadi centeng kekuasaan. Agama dan Pancasila yang seharusnya menjadi patokan nilai moralitas kebangsaan,  diframing buruk dengan stigma radikalisme dan intoleran.  Harus lahir pemimpin yang kuat mampu mengkonsolidasikan kekuatan  melibatkan semua aspek dan unsur rakyat. Baik itu dari TNI, Polri, Ulama, Aktifis, Buruh, Mahasiswa, Petani, Pedagang, Guru, Nelayan, hingga pelajar. Semua harus bahu-membahu bersama bagaimana untuk menghentikan rezim ini yang sedang menjadi kekuatan asing membangkrutkan negara ini  Musuhnya sudah jelas yaitu para oligarki, elit global, yang menggunakan tangan-tangan proxy bonekanya yang sengaja diberi fasilitas dukungan untuk dapat merebut tampuk kekuasaan. Mereka itulah para pengkhianat bangsa yang menjual harga dirinya kepada penjajah oligarki. Tidak bisa dibiarkan  Indonesia menjadi negara gagal, bangkrut  bahkan bukan mustahil  negara  bisa bubar. ****

Presiden Tukang Kepret Hukum

Oleh M Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan  Ini berhubungan dengan vonis mati Sambo dan aturan baru KUHP tentang hukuman mati. Kita bahagia Majelis Hakim PN Jakarta Selatan memvonis mati Freddy Sambo atas delik pembunuhan berencana yang terbukti. Ia di samping sebagai perencana juga eksekutor.  Sambo ikut menembak dengan menggunakan  pistol Glock 17 miliknya. Menurut Hakim Ketua Wahyu Iman Santoso, tidak ada hal yang meringankan.  Kecuali Indonesian Police Watch (IPW) yang \"keberatan\" dengan vonis mati Sambo, pada umumnya berbagai elemen masyarakat setuju dan mengapresiasi keberanian Majelis Hakim untuk menjatuhkan putusan mati. Menurut Sugeng Teguh Santoso Ketua IPW Hakim tidak mempertimbangkan hal yang meringankan dan tindakan Ferdy Sambo didasarkan emosi bukan sadisme. Masih ada upaya hukum lanjutan baik banding, kasasi dan PK, katanya.  Sugeng lupa baik JPU maupun Majelis Hakim menyatakan hal sama tentang tidak ada hal yang meringankan. Ini fakta persidangan. Lalu Ferdy Sambo adalah \"model mafia\" yang berbahaya. Pembunuhan Joshua bukan semata urusan Puteri yang tidak terbukti dilecehkan melainkan puncak gunung es dari kejahatan Sambo. Puteri Chandrawati sendiri divonis penjara 20 tahun akibat persengkokolan.  Vonis sudah jatuh untuk pejabat penting institusi Kepolisian yang telah merusak citra Kepolisian Republik Indonesia di tingkat nasional maupun internasional. Sambo layak dihukum mati. Upaya hukum adalah hak yang dimilikinya. Rakyat masih menunggu putusan final peradilan. Vonis mati PN Jaksel merupakan modal besar bagi putusan serupa di tingkat berikutnya.  Yang mengejutkan justru pandangan Mahfud MD yang menyatakan bahwa Vonis mati Sambo bisa berubah jika KUHP baru telah berlaku pada ahun 2026 selama yang bersangkutan belum dieksekusi. Menurutnya hukuman berubah menjadi seumur hidup jika selama 10 tahun di penjara Sambo berkelakuan baik.  Untuk mengubah menjadi hukuman seumur hidup harus dengan Keputusan Presiden (Keppres) berdasarkan pertimbangan MA. Pasal 100 KUHP memberi ruang melalui Keppres  Presiden dapat meng-kepret hukum.  Dengan pandangan Mahfud MD itu maka juru selamat bagi Sambo kelak adalah Keppres.  Keppres seperti ini tentu janggal dan menciptakan warna otoriritarian. Presiden yang terus merangsek ke ruang yudikatif. Sudah Perppu juga sering disalahgunakan, kini ada lagi Keppres yang dapat menjadi alat kepret Presiden terhadap hukum.  Pasal 100 KUHP adalah pasal tentang bersayapnya hukum di Indonesia. Ternyata bisa ada hukuman mati dengan percobaan 10 tahun. Mengada-ada tapi itu ada dan fakta.  Sambo akan serius berharap Presiden akan menerbitkan Keppres yang meng-kepret hukum. Maklum, Sambo pun sebenarnya memang tukang tampar dan kepret.  Bandung, 14 Februari 2023

Proyek ERP: Upaya Atasi Kemacetan atau Upaya Oligarki “Palak” Warga?

Oleh: Anthony Budiawan - Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) ERP (Electronic Road Pricing) adalah jalan (dalam kota) berbayar, biasanya untuk mengatasi kemacetan. ERP lebih “kejam” dari jalan tol bebas hambatan berbayar. Dalam hal jalan tol, masyarakat mempunyai pilihan apakah akan menggunakan jalan tol atau tidak, karena selalu tersedia jalan alternatif non-tol. Tetapi, dalam hal ERP, masyarakat harus melewati jalan berbayar tersebut kalau tujuannya berada di dalam kawasan ERP. Pemerintah daerah (Pemda) Jakarta berencana menerapkan ERP dalam waktu dekat. Sebenarnya wacana ERP sudah didengar jauh sebelum ini. Apakah ini merupakan “proyek” yang tertunda? Kawasan yang masuk ERP cukup luas, sekitar 25 ruas jalan, mungkin bisa diperluas lagi. Tarif ERP juga termasuk mahal, antara Rp5.000 sampai Rp19.000 setiap kali masuk kawasan. Mungkin lebih mahal dari tarif per km jalan tol. Bahkan ada yang bilang tarif ERP bisa dinaikkan lagi, kalau perlu sampai Rp75.000. Luar biasa. Jam operasional ERP juga sangat panjang, tidak tanggung-tanggung, dari jam 05:00 hingga jam 22:00, setiap hari. Apakah benar jam operasional yang panjang ini hanya bertujuan untuk mengatasi kemacetan? Apa ada kemacetan jam 05:00 pagi? Menurut Pemda Jakarta, tujuan penerapan sistem ERP untuk mengatasi kemacetan Jakarta. Padahal Pemda Jakarta sudah menjalankan sistem ganjil-genap sejak 2016, untuk mengatasi kemacetan Jakarta tersebut. Lalu, kenapa sekarang mau diganti dengan sistem berbayar ERP?  Apa motif sebenarnya penerapan sistem ERP ini? Apakah hanya untuk pengadaan proyek semata? Untuk siapa? Warga Jakarta menuntut Pemda Jakarta menjelaskan secara transparan apa dasar  penerapan sistem ERP. Pertama, Pemda Jakarta harus menjelaskan bagaimana hasil pelaksanaan sistem ganjil-genap selama ini, apakah sudah ada evaluasi dan kajiannya? Kalau sistem ganjil-genap ternyata gagal mengatasi kemacetan, sehingga mau diganti dengan sistem ERP, Pemda Jakarta harus menyatakan secara terbuka kepada publik bahwa sistem ganjil-genap, yang sudah menyusahkan warga Jakarta, sebagai kebijakan gagal. Selama tidak ada evaluasi dan pernyataan bahwa sistem ganjil-genap gagal, Pemda Jakarta tidak berhak menerapkan sistem berbayar ERP, karena dasar diberlakukannya kebijakan publik ini tidak jelas dan tidak kuat. Terkesan hanya untuk pengadaan proyek saja untuk “memeras” warga. Kedua, Pemda Jakarta harus menjelaskan siapa investor sistem ERP, apakah Pemda langsung atau ada investor pihak ketiga. Kalau ada investor pihak ketiga, Pemda Jakarta harus menjelaskan bagaimana cara pengadaan sistem ERP tersebut, apakah beli putus atau bagi hasil? Pemda Jakarta juga harus mengumumkan siapa investor pihak ketiga tersebut. Kalau bagi hasil, berapa untuk investor dan berapa untuk Pemda Jakarta? Kalau bagi hasil, pemberlakuan jam operasional ERP yang sangat panjang tersebut (jam 5:00-22:00) patut diduga untuk menguntungkan investor? Ketiga, sistem ERP hanya diterapkan di negara maju dengan sistem transportasi sangat baik dan pendapatan (per kapita) sangat besar.  Sistem ERP sejauh ini hanya diterapkan di Singapore, Jerman, Swedia, Inggris, dengan pendapatan per kapita pada 2021 masing-masing 72.794 dolar AS, 51.204 dolar AS, 61.029 dolar AS dan 46.510 dolar AS. Sedangkan pendapatan per kapita Indonesia pada 2021 hanya 4.333 dolar AS.  Artinya, Indonesia masuk negara berpendapatan menengah (antara bawah dan atas), sehingga tidak layak menerapkan sistem ERP. Selain juga, sistem transportasi publik Jakarta masih belum baik, masih buruk. Jangan sampai ketidakmampuan pejabat Pemda Jakarta dalam mengatasi kemacetan Jakarta, dan kegagalan membangun transportasi publik, dibebankan kepada warga Jakarta dengan cara menerapkan sistem berbayar ERP. Kebijakan publik seperti ini, untuk menutupi kegagalan Pemda Jakarta, tidak boleh terjadi.  Maka itu, warga Jakarta wajib menolak solusi mengatasi kemacetan dengan cara berbayar. (*)