OPINI

Rezim Main Kayu atau Begal?

Oleh Syafril Sjofyan - Aktivis Pergerakan 77-78, Sekjend FKP2B, Presidium KAMI Jabar JIKA penusukan Kolonel Purnawirawan Sugeng Waras, Ketua Umum FPPI (Forum Purnawirawan Perjuangan Indonesia) karena kegiatan  sebagai aktivis oposisi yang sering demo dan bersuara lantang dalam orasinya, serta tulisan-tulisan beliau yang tajam mengkritisi rezim Jokowi, maka ini jelas sangat keterlaluan di negara demokrasi. Artinya yang “berkuasa” melakukan “kekejian”, tidak lagi melalui buzzerRP, atau pengaduan kepada polisi dengan tuduhan radikal, intoleran, menghina seperti selama ini dilakukan kepada berbagai kalangan aktivis dan ulama yang berseberangan dengan pejabat/ pemerintah.  Kekejian rezim meningkat menjadi kekerasan “main kayu” (istilah main kasar di sepak bola zaman baheula). Ini lebih keras lagi dengan “sajam”. Dilakukan di tengah hari di siang bolong. Di jalanan utama kota Cimahi yang ramai lalu lintas. Benarkah ini penusukan karena begal yang nekad? Konon sebelum kejadian, Kol. Sugeng melakukan pertemuan dengan teman-teman FPPI, kemudian pamit duluan karena ingin bertemu dengan  tamu penting dari Jakarta, katanya. Kolonel Sugeng membawa mobil. Berhenti setelah pelaku dengan kendaraan bermotor, berteriak minta buka kaca. Begitu Kolonel Sugeng keluar pelaku langsung melakukan penusukan. Menghindar dari tusukan yang mematikan, akhirnya kena dua tusukan di paha dan tangan luka. Setelah itu pelaku lari dengan kendaraannya.  Menurut keterangan keluarga, tidak ada barang berharga yang hilang sewaktu penusukan terjadi. Kecuali handphone yang raib, entah kapan. Dipegang oleh pihak ketiga? Namun jika di flash back ke belakang. Kurang lebih sebulan yang lalu, Kolonel Purn. Sugeng  menyampaikan bahwa beliau pernah “diteror”,  kaca mobilnya dipecahkan di depan rumahnya.  Polisi harus segera menangkap dan mengungkap tujuan si pelaku secara cepat dan tuntas, agar persepsi di tengah masyarakat tidak berkembang liar.  Bandung, 30 Desember 2022

Proporsional Tertutup? Distrik Saja

Oleh M Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan  KETUA KPU Hasyim Asy\'ari menyatakan kemungkinan Pemilu 2024 menggunakan sistem proporsional tertutup. Jika gugatan terhadap sistem proporsional terbuka dikabulkan oleh MK. Menurut Hasyim dahulu yang mengubah proporsional tertutup menjadi terbuka adalah MK, maka kini yang berhak menutup kembali harus MK.  Kegalauan mengenai sistem proporsional tertutup atau terbuka harus dijawab bukan dengan bolak balik seperti setrikaan. Jika sudah memahami bahwa sistem proporsional itu tidak demokratis, maka harus diubah menjadi sistem distrik. Telah terbukti banyak kelemahan pada  sistem proporsional baik terbuka maupun tertutup.  Pertama, dengan sistem Pemilu proporsional tertutup maka partai menjadi penentu. Kader atau figur  hanya menjadi pajangan. Vote getter muncul untuk mendulang suara dengan cara menipu pemilih. Pada proporsional terbuka yang  terjadi adalah ambivalensi. Pura-pura memilih orang, prakteknya tetap Partai dominan. Pertarungan internal tidak sehat antar kader sangat dimungkinkan.  Kedua, sistem Pemilu proporsional menyebabkan muncul kedaulatan Fraksi di lembaga legislatif. Peran personal anggota Dewan dibatasi bahkan dikendalikan. Karenanya sistem ini sulit atau minim menghasilkan anggota Dewan yang berkualitas dan kritis. Patuh pada arahan Fraksi adalah jalan aman.  Ketiga, berlaku Hak Recall (penarikan/penggantian) terutama pada proporsional tertutup. Partai dapat menarik anggota Dewan yang berseberangan dengan kebijakan Fraksi atau Partai. Pada proporsional terbuka pola penggantian disiasati dengan pemecatan terlebih dahulu. Sistem ini memunculkan anggota Dewan yang penakut. Anggota yang senantiasa  merasa terancam dan tersandera.  Keempat, membangun otoritarian. Anggota Dewan tergantung Fraksi dan Fraksi tergantung  kemauan Partai. Sulit dipungkiri bahwa kebijakan Partai sangat tergantung pada peran dan keputusan Ketua Umum. Jadi sistem ini secara tak sadar turut andil dalam menciptakan kepemimpinan yang bersifat otoriter.  Kelima, budaya membayar \"mahar\" tumbuh subur. Kader harus berikhtiar masuk dalam nomor bagus dalam urutan yang diajukan. Rakyat disodori bacaan bahwa nomor urut kecil adalah unggulan Partai. Untuk mendapat nomor bagus itulah \"mahar\" diiperlukan.  Nah keburukan sistem proporsional baik terbuka maupun tertutup harus dijawab dengan sistem Pemilu Distrik.  Sistem distrik dipastikan lebih demokratis karena rakyat betul betul memilih wakilnya secara personal. Memilih langsung orang yang ditawarkan oleh Partai dalam kompetisi dengan figur dari Partai lain dalam satu distrik. Peluang besar untuk menghasilkan wakil rakyat yang lebih kualitatif dan representatif.  Tidak ada dominasi Partai melalui Fraksi di Parlemen. Peran politik dari wakil rakyat lebih menonjol. Lebih bebas untuk menyuarakan atau memperjuangkan aspirasi rakyat.  Sistem distrik berkonsekuensi pada terjadinya penyederhanaan Partai Politik secara alami. Dua atau tiga Partai dapat mengajukan satu calon kuat untuk berkompetisi. Pilihan apakah sistem proporsional tertutup, proporsional terbuka atau sistem distrik tentu tergantung pada peraturan perundang-undangan yang mengaturnya. Gugatan MK harus dijadikan mekanisme untuk menguji kelayakan suatu produk hukum. Bahan untuk menentukan pilihan.  Wacana tentang penerapan kembali sistem proporsional tertutup adalah suatu kemunduran. Jika ingin maju maka pilihannya adalah Pemilu dengan Sistem Distrik.  Bandung, 30 Desember 2022

Partai Ummat Menang

Oleh M Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan  PENGUMUMAN resmi KPU tanggal yang menetapkan 17 Partai Politik lolos sebagai peserta Pemilu tahun 2024 mendapat protes bahkan gugatan. Salah satunya adalah Partai Ummat yang segera melaporkan KPU kepada Bawaslu karena tidak meloloskannya.  Bawaslu memfasilitasi mediasi dan para pihak sepakat melakukan verifikasi ulang baik administrasi maupun faktual di dua Propinsi yaitu Sulawesi Utara dan Nusa Tenggara Timur. Setelah di lakukan verifikasi maka Partai Ummat dinyatakan lolos sebagai peserta Pemilu tahun 2024.  Keberhasilan ini menunjukkan Partai Ummat berhasil mewujudkan moto perjuangannya \"Melawan Kezaliman, Menegakkan Keadilan\". Ketidaklolosan Partai Ummat diduga akibat dari penjegalan yang melibatkan KPU. Dugaan kuat ini cukup ramai diangkat dalam berbagai media.  Lolosnya Partai Ummat adalah kemenangan moral dan politis. Bahkan hukum.  Secara moral nilai kebenaran, kejujuran dan keadilan berhasil mengalahkan kezaliman dan rekayasa. Misi buruk menghalalkan segala cara telah gagal. Revolusi moral Amien Rais mengalahkan revolusi mental Jokowi. Hijrah yang berhasil.  Secara politis, Istana yang berusaha menyingkirkan Partai Ummat dikalahkan oleh perjuangan \"oposisi\". KPU yang tidak netral dan menjadi kepanjangan kepentingan politik Istana bertambah babak belur. Demikian juga \"perseteruan\" dengan PAN yang \"dilindungi\" Istana dimenangkan oleh Partai Ummat.  Secara hukum adanya verifikasi ulang merupakan \"fact finding\" atau pembuktian hukum. Partai Ummat mampu membuktikan gugatannya. Penyalahgunaan kekuasaan yang telah dilakukan KPU ternyata terbukti. Keputusan KPU illegal.  Kemenangan Partai Ummat menjadi modal moral, politik dan hukum bukan semata bagi Partai Ummat sendiri tetapi juga bagi umat dan rakyat yang selama ini menjadi sasaran dari penzaliman dan ketidakadilan rezim.  Perlawanan politik ke depan akan semakin seru. Jokowi yang sudah berat menghadapi Habib Riziek Shihab dan Anies Baswedan kini harus berhadapan dengan Amien Rais yang sukses meloloskan Partai Ummat. Belum lagi menepis sorangan kritis dari figur seperti Rizal Ramli, Gatot Nurmantyo atau lainnya.  Ke depan potensial pula Surya Paloh dan Megawati yang kini terus mengasah dan menajamkan konflik kepentingan.  Untuk tahap ini, kita ucapkan selamat dan sukses Partai Ummat, mabruk Pak Amien Rais. Tahun 2023 dan 2024 adalah tahun eskalasi politik dan pertarungan. Kebenaran, kejujuran dan keadilan harus menang. Harus menang.  Bandung, 29 Desember 2022

Ulama (Seolah) Ban Serep

Oleh Ady Amar - Kolumnis  BAN serep memang dibutuhkan. Tanpanya pastilah kesulitan yang didapat. Ban serep dibutuhkan saat sedang dibutuhkan. Jika tak dibutuhkan, ban serep cuma nongkrong saja di tempatnya. Melihat saja \"kawan\" lainnya, empat ban dalam roda, yang bekerja keras mengantar sang tuan ke mana pun ia berkehendak. Ban serep serasa dicueki. Tak pernah barang sekalipun ditengok. Tempatnya pun disembunyikan, agar tak terlihat mata memandang. Adanya seperti tak adanya, sama saja. Kasihan nasibnya. Tapi pada saatnya, saat dibutuhkan, ban serep tampak sumringah, dan tak mempermasalahkan perlakuan terhadapnya. Sikapnya tulus ikhlas, tak mengundat-undat apa yang sebelum ini dialaminya, yang sebelumnya tak pernah disapa. Kapan saat ban serep itu dibutuhkan, ia dipuja-puja bagaikan pahlawan. Puji sang juragan, bahwa tanpanya mobil tak mungkin bisa dilajukan. Dan, ia akan terlambat sampai tujuan. Rasa kesyukuran lalu muncul, dan mobil pun melaju kencang. Saat itu ia tak lagi disebut ban serep. Kehadirannya sungguh dibutuhkan. Puja-puji terus  dimunculkan, tak merasa sungkan sekian lama diabaikan. Ban serep mengingatkan pada ulama. Ya, ulama. Memang serasa tak pantas, dan bahkan bisa dikonotasikan jahat menyerupakan ban serep dengan ulama. Menyerupakan itu tentu tidak dimaksudkan menghinanya. Siapa yang berani menghina pewaris para Nabi itu, warisatul anbiya. Itu jika tidak ingin Tuhan murka karenanya. Tidak, sama sekali tak bermaksud menghina. Sekadar menyerupakan, itu tentu tidak sama dengan menyamakan ulama dengan ban serep. Ulama, bisa pula disebut kiai atau ustadz, atau bahkan tuan guru. Itu tentang seseorang yang punya kapasitas ilmu agama memadai. Tidak semua ulama bisa \"diserupakan\" ban serep. Justru lebih pada ulama yang punya basis massa tidak kecil yang bisa diserupakan dengan ban serep. Dibutuhkan saat dibutuhkan. Segala cara dilakukan untuk mendekati, sowan menjadi satu keharusan. Ulama diserupakan ban serep, itu seperti jadi keharusan didekati menjelang hajat pesta demokrasi. Pesta demokrasi lima tahunan. Dari mulai kepala desa sampai kepala pemerintahan (presiden), semua menjadikan ulama bagai ban serep untuk melaju, sebuah ikhtiar bisa terpilih. Maka, memakai jasa ban serep (ulama) menjadi keharusan. Saat-saat ini ulama ban serep mulai didatangi berbagai calon peserta pemilu. Semua minta restu-pangestu, dan karenanya doa-doa dilantunkan untuk kemenangan calon yang mendatanginya. Ulama ban serep memang baik hati, tak pendendam, meski sekian lama tak pernah disapa apalagi ditengok. Dilepas begitu saja saat hajatan sudah selesai. Dan didatangi lagi saat dibutuhkan. Tamu tak boleh ditolak kedatangannya, itu adagium yang dipakai. Maka, nyaris tak pernah terdengar ulama menolak kedatangan tamu, apalagi pada pejabat yang datang untuk mendapat semacam jampi-jampi doa. Pantang pula ditolak jika sang tamu, karena sudah menerima doa yang sebagaimana dihajatkan, itu memberi amplop sekadarnya--biasa dikenal dalam terminologi pesantren sebagai bisyaroh --walau itu bukan semata yang diharapkan. Tapi kalau tidak ada bisyaroh yang diberikan, ya itu kebangetan. Amplop itu pun bisa diibaratkan dengan membesihkan ban serep dilap dari debu yang menempel, karena sekian waktu tak disentuh, tak diperlukan. Memaknai itu sekadar lip service yang seperti jadi keharusan, meski bukan keharusan. Satu hal lagi. Biasa jika akan bertamu pada ulama tertenu perlu diutus dulu hulubalang, yang juga orang yang dianggap kenal dekat dengan ulama yang dituju. Kira-kira nantinya penerimaannya bagaimana. Ada pula yang disatukan sekaligus sekian ulama di satu titik. Dan sang pejabat cukup mendatangi tempat itu, maka sekian ulama bisa dirangkulnya. Seperti biasanya, adegan puja-puji satu per satu ulama yang ada di hadapannya itu sebagai kawan lama.  Nama-nama mereka satu-per satu disebutnya, meski mengingat nama-nama itu bukanlah perkara mudah. Lalu sang pejabat bercerita tentang tugasnya yang amat berat, sehingga tak bisa sering berjumpa. Dan saat ini karena ada waktu sedikit, sambungnya, kita bisa dipertemukan. Setelah itu dengan sedikit mencari celah menunggu momen yang pas di antara sambutannya, ia sampaikan hajatnya yang akan maju sebagai Capres/Cawapres, atau apa pun jabatan yang dikehendaki. Meminta doa dan pangestu. Lalu satu ulama yang dituakan di situ yang disebut kiai utama mendoakan dengan doa super-doa khusus, dan yang lain cukup mengaminkan. Upacara doa selesai, dan lanjut seperti biasanya makan-makan bersama, sambil sesekali derai tawa muncul di tengah hidangan yang disediakan. Layaknya keakraban kawan lama yang dipertemukan kembali. Tapi ada juga pejabat, yang santer kabarnya akan nyapres,  hadir di perhelatan pengajian yang diasuh Kiai Mbeling, yang jamaahnya memang membludak. Entah kenapa nama mbeling jadi pilihan anonim namanya. Kiai yang satu ini bukan sembarang kiai, meski pada tamu siapa pun ia terbiasa menggojlok dengan canda khasnya. Kadang me- roasting sang tamu sampai gelagapan seperti orang sedang tenggelam dan timbul lalu tenggelam lagi. Pejabat yang nekat hadir di tengah pengajiannya ini, seperti kurang mempelajari anatomi Kiai Mbeling, yang tidak sama.dengan kiai atau ulama kebanyakan, yang bisa \"ditaklukkan\" dengan basa-basi komunikasi ala kadarnya. Mendatangi Kiai Mbeling dengan mengandalkan komunikasi khas yang biasa dipakainya, \"Ini kawan lama saya, yang sudah lama tidak bertemu.\"  Itu tidak akan mempan \"menaklukkan\" hati Kiai Mbeling untuk \"ibah\". Pakem itu sepertinya tak bisa berubah: menggarap tamu yang hadir, dan itu jadi hiburan jamaah pengajiannya. Kiai Mbeling tentu tidak bisa disamakan dengan ulama (seolah) ban serep, yang dibutuhkan saat dibutuhkan. Ia tetap tampil dengan ciri khasnya, siapa pun tamu yang hadir dihidangkan gojekan (kelakar) yang disesuaikan dengan perangai si tamu. Gojekan yang disesuaikan bahkan dengan perjalanan masa silam sang pejabat. Dan sepertinya itu jadi keriangan tersendiri pada batin Kiai Mbeling, saat bisa menyampaikan hajat publik yang diwakilinya. Dan, itu cukup lewat gojekan. Asyik juga lihat gesture dan mimik sang pejabat saat roasting dimainkan. Video singkatnya beredar ke sana kemari. Era sudah berubah, bukan lagi tahun 2014 dan, atau 2019, teknologi digital apa pun namanya sudah jauh berkembang, dan semua bisa hadir lewat video singkat sekalipun, momen pejabat salah tingkah tak sepatutnya, lucu meski tak menggemaskan. (*)

Ruang Publik Jakarta, Ruang Publik Tanggap Bencana

Oleh Hari Akbar Apriawan - Direktur Eksekutif IRES (Indonesia Resilience) AKHIR tahun ini, ada kabar gembira datang dari Jakarta. Tebet Eco Park mendapatkan penghargaan Gold Award di ajang Singapore Landscape Architecture Awards 2022 untuk kategori Parks and Recreational. Pencapaian tersebut terasa istimewa, karena Tebet Eco Park adalah karya kolaborasi anak bangsa. Sejak awal mula pembangunan, Anies Baswedan dan pemprov DKI Jakarta melibatkan para ahli lanskap dan juga warga sekitar taman.  Apa yang disebut sebagai kolaborasi benar-benar hadir dan diterapkan dalam proses pembangunan Tebet Eco Park. Tidak ada satu pihak pun yang ditinggalkan. Jadi semua pihak akan merasa memiliki dan rela menjaganya.  Di luar penghargaan dan pencapaian dari Tebet Eco Park, ada satu hal penting yang mungkin kurang disadari oleh khalayak, yaitu fungsi kesiagabencanaan dari Tebet Eco Park. Taman ini, selain jadi ruang publik terbuka yang bisa diakses tanpa biaya, juga jadi tempat untuk kesiagaan bencana.  Tebet Eco Park adalah tempat retensi atau penampungan air saat musim penghujan. Tujuannya untuk mengantisipasi adanya banjir. Jadi bila terjadi peningkatan volume air di sungai-sungai sekitar Tebet, air akan dialirkan ke taman ini.  Cara ini, membuat pemukiman warga akan aman dari risiko dan dampak banjir, karena air akan dialirkan di tampung di taman ini. Ketika air tertampung di taman ini, perlahan akan terserap ke dalam tanah dan taman bisa digunakan seperti semula.  Konsep ruang publik sekaligus ruang kendali dan siap siaga bencana bukan hanya ada di Tebet Eco Park. Untuk tujuan pengendalian banjir, Anies Baswedan juga membangun Ruang Limpah Air Brigif di daerah Jagakarsa, Jakarta Selatan.  Ruang limpah ini selain bisa digunakan untuk aktivitas luar ruang warga, juga digunakan untuk mencegah terjadinya banjir. Apakah ruang publik yang dibangun Anies Baswedan hanya untuk mencegah banjir? Jawabnya tidak.  Berbagai ruang publik yang dibangun di masa Anies Baswedan juga jadi titik-titik kumpul seandainya ada bencana seperti gempa bumi. Saat terjadi gempa, tentu diperlukan sebuah ruang khusus yang aman dan nyaman bagi warga untuk berkumpul.  Titik kumpul yang ideal harus memenuhi empat kriteria yaitu mudah diakses, areanya cukup luas, aman digunakan, dan ada penanda titik kumpul. Ruang-ruang publik di Jakarta sudah memenuhi keempat syarat tersebut.  Bila melihat taman dan trotoar yang dibangun dan direvitalisasi, hampir semua area tersebut memenuhi syarat untuk jadi titik kumpul. Misalnya trotoar yang luas di sepanjang Sudirman-Thamrin. Sudah pasti aman untuk dijadikan titik kumpul dan bisa menampung orang dalam jumlah banyak. Taman-taman Maju Bersama tentu saja juga jadi titik kumpul yang aman.  Kebijakan-kebijakan Anies Baswedan dalam membangun ruang publik yang siaga bencana tersebut sudah seharusnya dilanjutkan dan juga diadopsi oleh pihak-pihak lain. Inilah bukti kebijakan Anies Baswedan yang visioner dengan menyiapkan ruang publik dengan konsep siaga bencana.  Semoga, konsep ini akan semakin banyak diterapkan di berbagai daerah, saat Anies Baswedan menjadi Presiden Indonesia. (*)

Anies Didemo Karena Semakin Bikin Ketar-ketir

Oleh Ayu Nitiraharjo, Pengamat Sosial-Politik Ada kejadian unik, lucu, dan mengagelikan di akhir tahun 2022. Akhir Desember 2022, Anies Baswedan bertandang ke Colomadu, Karanganyar untuk jagong manten alias kondangan ke salah satu teman kuliahnya saat di Jogja. Eh di jalan menuju lokasi, ada orang mendemo Anies.  Hal ini tentu jadi kejadian luar biasa, orang mau kondangan saja sampai didemo. Siapa orang-orang tersebut dan apa motifnya? Agak sulit dijelaskan memang, sebab mereka tidak menuliskan identitas lembaga saat berdemo. Selain itu, mereka juga menutup wajah mereka dengan masker.  Bagaimana jumlahnya? Hanya segelintir saja. Paling hanya sekitar 10 orang atau belasan saja. Waktu berdemo pun hanya 10 menit. Terbilang sangat acak demo tersebut. Yang perlu kita tanyakan, siapa sebenarnya para pendemo yang hanya segelintir orang tersebut? Apakah mereka berdemo murni keinginan sendiri atau ada yang menyuruh? Mari kita bahas.  Bila dilihat dari caranya berdemo dengan menutupi identitas mereka, yaitu  dengan masker dan tanpa identitas lembaga atau warga dari mana, rasanya mereka hanya orang suruhan. Lantas siapa yang menyuruh? Dugaan saya, yang menyuruh pendemo ini adalah orang yang khawatir dengan popularitas Anies Baswedan yang terus meningkat.  Dalam beberapa survei, elektabilitas Anies memang konsisten meningkat. Sementara yang lain stagnan bahkan cenderung turun. Karena hal ini, orang-orang tersebut merasa ketar-ketir dengan popularitas Anies Baswedan.  Rasa khawatir dan ketar-ketir tersebut tentu saja aneh. Sebab,  Anies kan terbukti berkinerja baik saat memimpin Jakarta. Bila dia mendapat amanah untuk memimpin masyarakat Indonesia secara luas, seharusnya semua orang merasa bangga dan bahagia.  Entah apa motif para penyuruh tersebut sehingga harus menggunakan rakyat kecil yang sebenarnya tidak terlalu paham politik untuk melakukan tindakan demo segala, yang sebenarnya tidak punya efek apa pun. Semakin terlihat niat buruk mereka, justru semakin meningkatkan popularitas Anies Baswedan.  Terasa janggal memang mendemo orang saat kondangan. Harusnya mereka mendemo orang yang menyalahgunakan kewenangannya sebagai pejabat publik. Misalnya memajang wajahnya di mesin ATM, baliho  tempatnya menjabat, atau di bus transportasi publik. Apakah para pendemo berani melakukannya? Tentu tidak. Karena tidak ada yang membayar mereka.   Tapi demo segelintir orang tersebut memang sebaiknya diabaikan saja. Sudah  jumlahnya sedikit, pesan yang disampaikan pun tak jelas. Hal ini berbeda dengan simpatisan dan massa yang menyambut Anies Baswedan saat ke luar kota.  Para simpatisan rela datang ke lokasi tanpa dibayar, selain itu pesan yang disampaikan juga jelas. Mereka ingin mengajak kepada kebaikan dan tak ingin membuat perpecahan. Jelas ya. Jadi ya, ojo dibanding-bandingke. Jangan dibanding-bandingkan. Memang beda kelas sih. (*)

Rakyat Pilih Anies, Upaya Menyelamatkan Demokrasi dan NKRI

Oleh Yusuf Blegur - Mantan Presidium GMNI  Ketiadaan prestasi dan  jejak rekam buruk yang dipenuhi skandal korupsi dan kebijakan yang menyakiti rakyat. Capres-capres boneka oligarki berusaha menutupi kelemahan dan ketidaklayakan kepemimpinannya dengan politik uang dan kekuasaan. Bagi-bagi sembako, seolah-olah berubah baik dan peduli,  tiba-tiba terkesan religius dengan sorban dan jilbab (politik identitas) serta mati-matian membeli suara rakyat dengan uang dan fasilitas negara. Menjadi satu-satunya  modal tak tahu malu dan  percaya diri sekaligus bengis dari capres-capres budak kapitalis dan komunis itu. Gelombang besar dukungan rakyat pada Anies, terus dibayangi siasat politik kekuasaan untuk menggagalkannya menjadi capres. Segala cara dilakukan kekuatan tertentu dengan melibatkan para pejabat, institusi negara dan para buzzer. Anies dibuat sedemikian rupa seakan menjadi ancaman kepentingan kekuasaan, baik yang sedang berlangsung, yang ingin mempertahankannya dan yang ingin memperpanjang jabatannya. Segala daya upaya dikerahkan demi melemparkan isu, intrik dan finah demi menjegal Anies menduduki kursi nomor satu di republik ini. Mulai dari framing politik identitas, persekongkolan jahat membuat politisasi dan kriminalisasi, hingga gerakan menghapus jejak kepemimpinan dan prestasi  Anies, gencar dilakukan secara terstruktur, sistematik dan masif.  Tak kurang dari politisi, pejabat pemerintahan hingga buzzer, berlomba-lomba menjilat dan mencari muka serta mengejar bayaran dan kedudukan sebagai kompensasi menjatuhkan Anies. Semakin kuat menyerang Anies, semakin besar bayarannya. Semakin besar bayarannya semakin brutal serangan kepada Anies. Kekuasaan sepertinya sedang memainkan politik dua muka, mendukung capres tertentu untuk menyelamatkan kepentingannya dan menghancurkan capres tertentu lainnya yang dianggap sebagai lawan politik dan mengancam kepentingannya. Kecenderungan dan faktanya, Anies menjadi satu-satunya capres yang tidak disukai rezim dan berbahaya bagi eksistensi oligarki. Dalam kehidupan rakyat yang diselimuti kekuasan represi, anti demokrasi dan korup. Rakyat terus disuguhi dagelan dan kekonyolan proses pelaksanaan pilpres 2024 yang sarat rekayasa dan kebohongan. Termasuk yang paling fatal dengan mengatur dan  menguasai KPU untuk mengikuti kemauan pemerintah yang berkuasa. Politik uang dan pemimpin-pemimpin boneka marak memenuhi bursa capres. Fenomena bagi-bagi uang dan sembako, kembali menghiasi kampanye capres-capres miskin ahlak, miskin prestasi dan miskin karakter dan keteadanan  kepemimpinan. Dengan modal  dukungan oligarki dan birokrasi sebagai mesin politik dalam pilpres 2024, capres-capres tak bermutu, penuh skandal korupsi dan dengan tabiat buruk dan tak tahu malu, berusaha secara telanjang mengebiri konstitusi dan mengangkangi demokrasi sembari berupya membeli suara rakyat dari uang hasil merampok  dan menguras kekayaan negara. Korporasi yang bernaung di bawah bendera swasta maupun badan usaha milik negara, dengan  modal besar telah menjelma sebagai kekuatan dominan dan hegemoni bagi penyelenggaraan kegiatan hajat hidup rakyat. Bukan hanya pada aspek ekonomi, jejaring dan pengaruhnya sudah ikut menentukan kebijakan politik dan hukum dalam pemerintahan. Bersama partai politik dan pengusaha, pemerintah  bahu-membahu merekayasa konstitusi, proses demokrasi dan kehidupan keagamaan. Rezim kekuasaan bukan hanya mengusung liberalisasi dan sekulerisasi di negeri Pancasila, lebih dari itu mengabaikan prinsip-prinsip Ketuhanan dan kemanusiaan dalam penyelenggaraaan negara. Demi harta dan jabatan, elit politik dan pemangku kepentingan publik tega melukai, menganiaya dan membunuh bangsanya sendiri. Lewat kekejaman pemerintahan yang cenderung diktator dan otoriterian, pemimpin birokrasi, partai politik dan korporasi mengancam keutuhan dan keselamatan NKRI. Melalui pilpres 2024, pelbagai upaya rezim dengan kekuatan oligarki dan para ternaknya, upaya mewujudkan presiden 3 periode atau perpanjangan jabatan dan penundaan pemilu sebagai solusi alternatif. Kekuasaan secara telanjang dan vulgar menghadirkan capres-capres boneka yang menjijikan sekaligus berbahaya bagi rakyat, negara dan bangsa. Anies hadir untuk menjawab kerinduan rakyat akan pemimpin yang dapat merangkul sekaligus memberikan harapan perubahan. Bukan hanya sekedar melayani, melindungi dan mengayomi rakyat, Anies telah membuktikan bahwasanya kerja-kerja kepemimpinan itu bertujuan membawa rakyat pada cita-cita kemakmuran dan keadilan  sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Anies seperti pemimpin yang menjadi antitesis terhadap realitas kebangsaan yang kini semakin terpuruk. Dengan krisis multidimensi dan terjadinya dekadensi moral dalam banyak aspek penyelengaraan  kehidupan  negara yang semakin membuat rakyat hidup sengsara dan menderita. Anies dengan jejam rekam yang mampu membuktikan pemimpin dengan kinerja dan prestasi yang membanggakan, kini benar-benar menjadi harapan bagi upaya perbaikan dan pemulihan kebangsaan. Satunya ucapan dan tindakan seorang pemimpin yang ada dalam diri seorang Anies, membawa rakyat pada angin perubahan ke arah kehidupan bernegara dan berbangsa yang jauh lebih baik. Transisi kepemimpinan nasional dengan perspektif dan paradigma politik yang lebih membumi mengangkat derajat kehidupan rakyat, menjadi agenda penting dan utama dalam pilpres 2024 mendatang. Sudah saatnya rakyat memiliki kesadaran untuk bangkit, melakukan langkah nyata dan mempunyai keberanian menyelamatkan Indonesia dari kehancuran dan ketiadaan sebuah negara bangsa yang berlandaskan Pancasila, UUD 1945 dan berada dalam naungan NKRI. Tak boleh lagi ada pembiaran dan ketakutan terhadap segala bentuk distorsi penyelenggaraan negara, terlebih terhadap pelaksanaan konstitusi dan kehidupan demokrasi. Untuk pemimpin baru dan kehidupan kebangsaan yang menghadirkan negara kesejahteraan, selain tentunya lebih mendesak memanfaatkan pilpres 2024 sebagai momentum terbaik dalam menyelamatkan keberadaan dan eksistensi NKRI. Dalam konstelasi politik pilpres 2024 yang dipenuhi rekayasa dan kebohongan, tampilnya capres-capres boneka oligarki, serta pelbagai agenda kekuasaan jangka panjang yang korup dan distortif. Kini rakyat memiliki peluang mewujudkan harapan perubahan melalui figur pemimpin Anies Rasyid Baswedan. Rakyat  tak lagi membutuhkan pemimpin yang dikatrol dari proyek pencitraan dan gagal karakter keteladanan. Hanya Anies yang berbeda, dari sekian banyak capres abal-abal yang miskin prestasi dan kehormatan mengikuti kontestasi demokrasi prosedural yang rentan dipenuhi rekayasa, manipulasi dan kamuflase kekuasaan dalam pilpres 2024. Tiada keraguan, hanya ada kesadaran dan keberanian rakyat mendukung dan memperjuangkan Anies sebagai presiden yang mampu mengemban amanat rakyat, keinginan para \"the founding fathers\" dan cita-cita mewujudkan proklamasi kemerdekaan Indonesia. Republik kini tengah bersiap dimana rakyat pilih Anies, sebagai satu-satunya upaya menyelamatkan demokrasi dan NKRI, selain cara-cara people power atau revolusi. *) Dari pinggiran catatan labirin kritis dan relung kesadaran perlawanan. Bekasi Kota Patriot, 29 Desember 2022/5 Jumadil Akhir 144 H.

Klarifikasi Hasnaeni Semakin Mempersulit Posisi Ketua KPU

Oleh Asyari Usman - Jurnalis Senior FNN  HASNAENI Moein alias Wanita Emas membuat klarifikasi. Intinya, dia mencabut pengakuan pertama bahwa dirinya telah dileceh-seksualkan oleh Hasyim Asy’ari, Ketua KPU, berkali-kali. Hasnaeni mengatakan tuduhan awal terhadap Ketua KPU, tidak benar. Rekaman video tuduhan itu, kata Hasnaeni, dia buat ketika dia dalam suasana depresi. Siapa pun yang memprakarsai klarifikasi itu tentu bertujuan untuk menyelamatkan Hasyim Asy’ari. Tetapi, akhirnya klarifikasi model begini malahan sekarang memperburuk dan mempersulit posisi Ketua KPU. Mengapa memperburuk dan mempersulit posisi Hasyim Asy’ari? Pertama, belum sempat sehari klarifikasi itu berlalu, Hasnaeni muncul lagi dengan pernyataan bahwa dia membuat klarifikasi itu karena ada tekaman dan ancaman. Kuasa hukum Hasnaeni, Dr Farhat Abbas SH, menerima surat dari Hasnaeni tentang tekanan dan intimidasi dari Ketua KPU. Mengutip REPUBLIKA online edisi 26 Desember 2022, Hasnaeni mengatakan: \"Atas intimidasi, tekanan, dan ancaman tersebut di atas saya dengan terpaksa membuat video (klarifikasi).\" Ini merupakan cuplikan dari surat keterangan tertulis Hsnaeni yang dikirimkan lewat kuasa hukumnya, Farhat Abbas, Senin, 26 Desember 2022. Farhat membagi-bagikan surat ini kepada para wartawan. Kedua, pengakuan Hasnaeni bahwa dia diancam dan diintimidasi oleh Ketua KPU akan memperpanjang drama ini. Kalau semula Ketua KPU berharap klarifikasi Hasnaeni akan menghentikan ekspos kasus dugaan pelecehan atau gratifikasi seks sebagai imbalan lolos verifikasi Partai Republik Satu (PRS) yang di ketuai Wanita Emas, sekarang kasus ini semakin “trending”. Tuduhan ancaman dan intimidasi Ketua KPU terhadap Hasnaeni kini menjadi episode lanjutan yang akan terus menggelayuti Hasyim Asy’ari. Pak Ketua akan disibukkan oleh pengakuan terbaru Hasnaeni. Skandal gratifikasi seks ini akan menjadi lebih rumit lagi. Ketiga, Hasnaeni pasti paham bahwa dia harus bertempur habis-habisan alias “gaspol” menghadapi Ketua KPU menyusul pengakuan intimidasi dan ancaman itu. Sebab, pengakuan terbaru ini akan membawa dia memasuki babak “sepala mandi, biarlah basah kuyup”. Diperkirakan, suasana psikologis Hasnaeni akan berubah dari pecundang menjadi pejuang. Sangat mungkin Hasnaeni akan mengadopsi slogan “fight till the end” (bertempur sampai tamat) melawan Ketua KPU. Kemungkinan dia menyadari bahwa dia sedang dikejar menuju jalan buntu. Di ujung jalan buntu itu dia tidak melihat bakal ada pertolongan. Posisi ini bisa saja memicu perlawanan yang semakin sengit. Keempat, Ketua KPU bakal kerepotan kalau perkara dengan Hasnaeni berlanjut. Sebab, perhatian dan simpati publik akan semakin besar. Di mata publik, Ketua umum PRS itu akan dilihat sebagai “cicak melawan buaya” dalam menghadapi Hasyim Asy’ari. Pasti muncul dukungan publik yang sangat kuat. Dan pada gilirannya, pertempuran yang tak seimbang ini akan menjadi perhatian segelintir orang yang masih waras di pemerintahan seperti Menko Polhukam Mahfud MD yang dikenal tidak suka pejabat yang sewenang-wenang. Kalau ini yang terjadi, posisi Ketua KPU semakin rapuh. Presiden Jokowi sendiri boleh jadi “jengkel” juga kepada Hasyim Asy’ari. Sebab, dengan entengnya Ketua KPU membocorkan ke Hasnaeni tentang skenario para penguasa, termasuk Jokowi, untuk memastikan kemenangan pasangan Ganjar Pranowo dan Erick Thohir di pilpres 2024. Selama ini memang banyak orang yang tahu tentang skenario Ganjar-Erick 2024. Tetapi, konfirmasi Ketua KPU yang didengar sendiri oleh Hasnaeni punya nilai tambah yang bisa memberatkan Jokowi. Bocoran dari mulut Hasyim itu menunjukkan bahwa dia, sebagai ketua KPU, “resmi” menjadi bagian dari skenario Oligarki ini. Jadi, dilihat dari sisi mana pun juga, klarifikasi Hasnaeni bahwa tidak benar Hasyim melakukan pelecehan seksual terhadap dirinya semakin mempersulit posisi Ketua KPU itu. Solusi terbaik adalah pengunduran diri. Barulah setelah itu mantan petinggi Banser tersebut tidak lagi menjadi fokus pemberitaan.[]

Tujuh Tantangan Terbesar Indonesia 2023: Pemberantasan Korupsi (Catatan Akhir Tahun - 4)

Oleh Dr Syahganda Nainggolan - Sabang Merauke Circle HARI ini saya membahas tantangan ke empat Indonesia tahun depan, yakni  pemberantasan korupsi. Pembahasan ini menyangkut aspek struktural maupun kultural. Struktural berhubungan dengan kekuasaan, sistem legal dan \"power relation\". Sedangkan kultural berhubungan dengan moralitas, norma dan gerakan serta dinamika sosial dalam masyarakat.  Negara-negara besar selalu berhasil memperlihatkan indeks persepsi korupsi yang tinggi, pada indeks versi \"Transparancy International\" artinya penanganan korupsi sangat baik. Indonesia selalu berada pada indeks yang rendah, di bawah rerata dunia (44).  Tahun lalu indeks Indonesia mencapai 38, jauh di bawah Singapura dan Malaysia.  Transparansy International mengaitkan tingginya korupsi dengan rusaknya kebebasan sipil dan banyaknya pelanggaran hak-hak asasi manusia di suatu negara (lihat: ti.or.id/indeks-persepsi-korupsi-2021-korupsi-hak-asasi-manusia-dan-demokrasi/). Musuh koruptor adalah control sosial. Tapi sebenarnya ini juga berkaitan dengan ideologi. Ketika saya menulis ”Matinya Reformasi, Budaya Korupsi dan Tamatnya Nasib KPK”, 2019, disitu diperlihatkan cerita Jung Chang, seorang novelis asal China, dalam novelnya yang sangat terkenal, “Wild Swans: Three Daugters of China”, terjadi perubahan kultur pada ayahnya yang menjadi pimpinan Komunis sebuah kota di era Mao Ze Dong. Ideologi itu mengantarkan budaya baru pada ayahnya untuk masuk pada “rule of thumb” promosi karir orang bukan berdasarkan hubungan keluarga (anak, istri, ponakan, dll), melainkan berdasarkan pemahaman nilai-nilai komunis.  Di China, keberhasilan menolong keluarga, apalagi mendorong anak dan keponakan menjadi pejabat negara, menjadi kebanggaan. Budaya kita juga begitu, masih. Jung Chang menceritakan tindakan ayahnya itu, tidak menolong keluarga, membuat mereka dikucilkan keluarga. Sisi kultural ini adalah sisi yang menyangkut nilai yang dianut oleh masyarakat. Indonesia, sebagai masyarakat mayoritas muslim, seharusnya terikat dengan nilai-nilai anti korupsi, kolusi serta nepotisme. Sebuah ilustrasi ajaran Islam misalnya diuraikan sebagai berikut: Ibnu Zanjuwaih (wafat 247 Hijriyah) meriwayatkan dalam bukunya Al-Amwal, ia berkata, \"Umar Bin Khattab memiliki seekor unta. Budaknya memerah susu unta setiap hari untuknya. Suatu ketika, budak membawa susu unta ke hadapan Umar. Umar berfirasat lain dan dia bertanya kepada budaknya, \"Susu unta dari mana ini?\" Budaknya menjawab, \"Seekor unta miIik negara (Baitul Maal) yang telah kehilangan anaknya, maka saya perah susunya agar tidak kering, dan ini harta Allah\". Umar berkata, \"Celakalah engkau! Engkau beri aku minuman dari neraka!\". (Sumber: Republika, 14/12/20, “Teladan2 Umar yang tak Aji Mumpung Gunakan Fasilitas Negara”). Nilai yang diajarkan pada peristiwa itu adalah tidak mencampur-adukkan barang publik dengan barang pribadi. Selain itu, sebagai penguasa utama, Umar Bin Khattab, memberikan teladan bahwa membersihkan diri dari harta haram harus dimulai dari khalifah (presiden atau raja). Rasa malu atas prilaku korupsi dalam budaya, juga seharusnya dicontohkan oleh masyarakatnya. Masyarakat yang sadar selalu menolak mengambil hak orang lain. Hal ini terlihat pada masyarakat yang tertib dalam antrian, misalnya bertransportasi atau di pusat pelayanan lainnya. Masuk perguruan tinggi negeri, melalui titipan dan sogokan, seperti yang terjadi di Unila baru-baru ini, menunjukkan kerusakan struktural dan kultural sekaligus, karena melibatkan katabelece orang yang berkuasa, dan menunjukkan calon mahasiswa yang tidak menghargai hak-hak orang lain.  Berbeda dengan masyarakat biasa, bagi seorang pemimpin, rasa malu harusnya ditebus dengan cara-cara yang luar biasa, misalnya bunuh diri, seperti yang dilakukan Roh Meehyong, eks presiden Korea Selatan, atau mengundurkan diri dari jabatan, seperti yang sering dilakukan pejabat di negara beradab. Korupsi merupakan cerita lama. Lalu dari mana kita memulai telaahan? Kita harus fokus pada korupsi yang menyangkut kekuasaan. Sebab, kekuasaan yang dibangun oleh sistem dan orang-orang yang korup akan memastikan negara itu menjadi negara gagal (failed state). Marilah kita lihat yang terbaru dari kekuasaan rezim Jokowi. Kita dikejutkan oleh Luhut Binsar Panjaitan (LBP), Menko Maritim dan Investasi, beberapa hari lalu dalam sebuah pidatonya yang menyebar luas, bahwa KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) seharusnya tidak terus-menerus melakukan OTT (Operasi Tangkap Tangan). Alasannya, kita hidup di dunia, bukan di surga. Menurutnya, OTT memalukan Indonesia di dunia internasional. Operasi KPK ini padahal sejak awalnya merupakan andalan KPK untuk membongkar korupsi, karena KPK sebagai institusi memang didesain untuk bekerja “extra ordinary”. Melakukan penyadapan dan tangkap tangan adalah kekuatan KPK dibanding institusi Kejasaan Agung. Kita harus mengecam pernyataan LBP ini sebagai pelemahan pemberantasan korupsi saat ini. Pemberantasan korupsi memang harus dilakukan di dunia, bukan di surga. Pernyataan LBP yang didukung oleh Mahfud MD soal KPK terbaru ini juga adalah tanda-tanda terbukanya sikap rezim Jokowi yang tidak mendukung lagi upaya pemberantasan korupsi. Dulu, Jokowi, ketika pertama kali menyusun kabinetnya,  menyingkirkan Budi Gunawan (BG) dari calon Kepala Kepolisian Republik Indonesia, karena alasannya KPK memberikan rapor merah (tidak bebas korupsi) pada BG. Saat itu Jokowi memberi pesan kepada rakyat Indonesia bahwa dia akan memulai sebuah pemerintahan yang bersih, anti korupsi. KPK sebagai institusi  yang kala itu sangat dipercaya publik sebagai penyaring calon-calon pejabat negara, yang terkait bebas korupsi, menjadi partner Jokowi dalam menseleksi semua calon kabinetnya. Menyingkirkan BG kala itu tentu saja menjadi spektakuler karena BG merupakan inti dari partai pendukung utama Jokowi, yakni PDIP. Namun, kemesraan dengan KPK berangsur sirna, bersamaan dengan hilangnya tema-tema anti korupsi. Pada tahun 2019 KPK dilemahkan dengan revisi UU KPK, yang menempatkan KPK dalam kontrol pemerintah via Dewan Pengawas. KPK tidak dilibatkan lagi dalam seleksi pejabat yang bersih, bahkan KPK disterilisasi dengan isu Taliban pada tahun 2021, dan terakhir KPK terkesan diintimidasi oleh LBP.  Pada era Jokowi jilid satu, berbagai persoalan korupsi muncul, baik dalam skala besar maupun menengah. Skala besar terkait isu “Papa Minta Saham”, dan penangkapan dua menteri Jokowi, Imam Nahrawi dan Idrus Marham. Dalam catatan Kompas 2019, malah ada lebih banyak lagi menteri/mantan menteri Jokowi yang terkait dengan masalah korupsi (nasional.kompas.com/read/2019/12/19/10474081/kaleidoskop-2019-menteri-era-jokowi-yang-berurusan-kasus-korupsi). Sedangkan skala menengah adalah penangkapan kepala-kepala daerah yang jumlahnya tetap besar. Pada era Jokowi jilid dua, korupsi sepertinya mulai subur seperti di era orde baru. CNBC melukiskan bawa hanya di era Jokowi ini jumlah uang dikorupsi hampir sama dengan kasus BLBI Orde Baru, yakni kasus Apeng, korupsi Jiwasraya, dan Asabri. (sumber: www.cnbcindonesia.com/market/20220817183001-17-364517 ini-daftar-3-kasus-korupsi-terbesar-ri-nyaris-samai-blbi/2). Di era Jokowi ini juga kejahatan terhadap orang miskin dilakukan, ketika bencana kematian datang,  yakni  dengan korupsi dana Bantuan Sosial Covid-19. Selain korupsi oleh Menteri Sosial, Menteri Jokowi lainnya juga melakukan korupsi, yakni Edhy Prabowo, Menteri KKP. Terakhir, yang menggemparkan pada tahun 2022 ini adalah PPATK temukan transaksi keuangan misterius sebanyak Rp. 183,8 T,  korupsi dalam skandal ijin ekspor minyak goreng, serta skandal korupsi dan mafia kasus dua Hakim Agung (Sudrajat Dimyati dan Gazalba Saleh). Hakim Agung sebagai simbol “malaikat” atau perwakilan Tuhan Y.M.E di muka bumi  ternyata sudah bobrok juga. Tak kalah penting juga, jumlah harta anak-anak Jokowi, yang begitu besar menimbulkan pertanyaan, seperti yang dilaporkan Ubaidillah Badrun ke KPK, terkait dengan perolehan dana untuk pembelian saham  senilai Rp. 92 Milyar (www.tribunnews.com/bisnis/2022/01/14/perihal-pembelian-saham-rp-92-miliar-yang-bikin-putra-presiden-jokowi-kaesang-dilaporkan-ke-kpk).  Akhirnya, kini kita menyadari bahwa era Jokowi saat ini sebanding atau bahkan lebih buruk dari era Orde Baru dalam lilitan dan pusaran kasus korupsi. Sebagian besar pendukung Jokowi melihat peristiwa yang ada dari kacamata sebaliknya dan sebagian lagi melihat dengan “kacamata kuda”. Kelompok pertama berargumentasi bahwa justru di era Jokowi inilah kasus korupsi besar terungkap dan ditangani. Ini adalah prestasi Jokowi, menurutnya. Argumentasi ini sangat lemah tentunya. Sebab, dalam teori kepemimpinan, jika menteri-menteri Jokowi dan mitranya, seperti petinggi parpol melakukan korupsi, maka dipastikan ada “share responsibility” yang harus ditanggung oleh Jokowi sebagai presiden. Kelompok kedua, yang melihat dengan “kacamata kuda”, melihat bahwa yang salah pasti bukan pemerintah, melainkan keadaan. Istilah kita hidup bukan di surga, seperti yang diargumentasikan LBP, menunjukkan kondisilah yang salah. Argumen ini tentu sangat konyol. Pemerintahan SBY telah menaikkan 14 poin, dari 20 ke 34, selama 10 tahun berkuasa, index persepsi korupsi Indonesia versi Transparancy International. Sedangkan rezim Jokowi hanya menaikkan 4 poin, dari 34 ke 38, index yang sama, selama 8 tahun berkuasa.  Seandainya prestasi Jokowi bisa sama dengan SBY, atau rata-rata peningkatan 1,4 poin pertahun, maka seharusnya Indonesia akan mempunyai Indeks di atas rata-rata dunia, yakni 45,2, pada tahun lalu. Sayangnya, persoalan korupsi semakin merajalela. Sebab utama yang bersifat struktural atas merajalelanya korupsi adalah pengebirian KPK. KPK meskipun saat ini tetap diapresiasi, namun dianggap tidak lagi mempunyai tingkat “kesucian” dan sakral yang sama seperti awalnya dulu. KPK yang semula dibentuk sebagai lembaga “extra ordinary”, yang sejajar dengan pemerintah, akhirnya dikontrol oleh pemerintah melalui revisi UU KPK 2019. Misalnya, dalam kasus laporan Ubeidillah Badrun pada kasus anak Jokowi yang di drop KPK dari kasus yang layak ditindak lanjuti, serta, kasus Formula-E yang dianggap akan mentersangkakan Anies Baswedan, terjadi kecurigaan bahwa KPK mengalami intervensi dari kekuasaan. Selanjutnya, KPK juga tidak lagi menjadi lembaga yang mengkordinasikan Kejaksaan Agung dan Kepolisian dalam penanganan kasus korupsi. Dalam skandal minyak goreng, yang melibatkan pejabat negara dan kerugian (penderitaan) rakyat yang begitu besar, tahun ini, kepolisian dan kejaksaan agung malah terkesan “adu cepat” merespon kasus ini. Sedangkan KPK tidak terlibat didalamnya.  Sebab kedua adalah hilangnya keteladanan pemimpin. Langkah berani Jokowi menyingkirkan Budi Gunawan (BG) di awal berkuasa, memperlihatkan kesan spirit anti korupsi yang tinggi. Tapi langkah ini menjadi diragukan karena tujuan menyingkirkan BG bisa jadi bukan utamanya untuk pemerintahan bersih, karena tuduhannya BG terlibat korupsi (rekening gendut), melainkan Jokowi mungkin sekedar memperalat KPK untuk kepentingannya sendiri. Sebab, BG kemudian menang di pengadilan dalam membersihkan nama baiknya dan Jokowi kemudian memberikan jabatan kepala BIN kepada BG.  Semakin lama Jokowi berkuasa, memasuki tahun ke -9 sebentar lagi, keteladanan Jokowi semakin dipertanyakan. Jokowi terlihat membangun dinasti dan kongsi politik yang sarat dengan KKN (Kolusi, Korupsi dan Nepotisme). Misalnya, selain perkawinan anak Jokowi baru-baru ini yang terkesan super mewah, ketika rakyat kesulitan makan. Kemudian anak Jokowi lainnya, Walikota Solo, mendapat previlage berhubungan langsung dengan Raja negara berdaulat Uni Emirat Arab, Mohammad Bin Zayed, untuk urusan uang ratusan milyar rupiah, yang banyak diberitakan saat ini (lihat: regional.kompas.com/read/2022/12/23/110218178/dapat-izin-dari-kemendagri-gibran-berangkat-ke-uea-tanggal-25-desember-2022?page=2). Bukankah itu seharusnya dilakukan dalam hubungan bilateral kedua negara?  Sebab ketiga adalah hilangnya ideologi. Selama pemerintahan SBY, yang mampu meningkatkan indeks persepsi korupsi begitu besar, SBY mengadopsi demokrasi ala barat di Indonesia, secara konsisten. Dia mengadopsi ideologi liberal. SBY memperkuat kontrol sosial untuk mengawasi pemerintah. Di era Jokowi, pembungkaman atas kontrol sosial dilakukan dengan masif, termasuk pemenjaraan aktifis pro demokrasi dan ulama. Namun, berbeda dengan di China era Mao Ze Dong, maupun kisah Umar Bin Khattab, yang saya singgung di awal, rezim Jokowi berjalan tanpa ideologi. Selain itu, bahkan kebanyakan lingkungan penguasa disekitar Jokowi adalah pebisnis. Cara pandang pebisnis terhadap negara sangat berbeda dengan politisi yang tumbuh sebagai kader-kader ideologi. Rizal Ramli, yang mempopulerkan istilah Peng-Peng (Penguasa-Pengusaha), menunjukkan bahwa penguasa dan sekaligus pengusaha membuat negara tersandera pada kepentingan keuntungan pengusaha itu, bukan untuk rakyat. Lalu apa yang menjadi kekhususan pembicaraan kita untuk tahun depan? Tahun depan adalah tahun politik. Kekuasaan dan segala sumberdaya berpotensi dibelokkan untuk kepentingan yang berkuasa. Apalagi kita sudah bahas situasi saat ini yang tanpa kontrol sosial. Kita harus bekerja keras untuk pemberantasan korupsi. Pertama, kita harus mempropagandakan dibubarkannya \"Peng-Peng\", pengusaha yang sekaligus menjadi penguasa. Orang-orang bisnis harus meninggalkan bisnisnya secara total jika terjun ke politik. Begitu juga keluarga inti harus bebas dari bisnis. Tidak ada lagi penguasa yang pengusaha sekaligus. Kedua, kita harus mendorong ideologi politik ke depan yang berbasis nilai nilai sakral. Ideologi itu akan mengontrol pemerintahan agar berbasis nilai-nilai, di mana keberhasilan seorang ditentukan oleh kontribusinya pada \"public goods\" dan kehidupan sosial. Negara harus berfungsi sosial dan untuk kebaikan. Olehkarena itu, eksistensi pemerintahan bersih menjadi mutlak. Ketiga, mengembalikan KPK pada fungsi awalnya. Yakni sebagai institusi \"extra ordinary\" dalam pemberantasan korupsi dan independen. Keempat, keteladanan pemimpin harus terjadi. Pemimpin yang bersih harus diperjuangkan. Budaya anti korupsi hanya bisa dimulai jika pemimpinnya anti korupsi. Presiden harus bebas korupsi dan kabinet harus bebas korupsi, itu cita-cita kita tahun 2024.  Tahun 2023 adalah tahun penentuan nasib bangsa. Bangkit atau punah. (*)

Dugaan Abuse of Power KPU Harus Dituntaskan

Oleh Tony Rosyid - Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa KPU sedang disorot. Publik kecewa dan curiga terhadap kinerjanya. Sedari awal, banyak tuduhan bahwa KPU tidak netral. KPU dianggap tangan panjang dari elit kekuasaan. Ada pihak tertentu yang diduga telah menitipkan sejumlah pesan kepada KPU:  meloloskan parpol tertentu dan menghadang parpol lainnya. Memenangkan capres-cawapres tertentu, dan menggagalkan calon lainnya. Kecugiaan ini menggaung sudah lama di media dan medsos. Meledak ketika Indonesia Corruption Watch (ICW) dkk membongkar tudingan bahwa sekjen KPU bermain. Tidak hanya ICW, seorang wanita bernama Mischa Hasnaeni Moein juga membuat kesaksian. Videonya viral dan menggemparkan. Perempuan yang dijuluki Wanita Emas ini menuding ketua KPU bekerja untuk memenangkan Ganjar-Erick di pilpres 2024. Tudingan ini seperti menguatkan rumor sekenario pemenangan Ganjar-Erick yang telah lama ramai jadi perbincangan publik di seantero jagat maya. Selain isu capres‐cawapres (Ganjar-Erick) yang akan dimenangkan, KPU juga dituduh diberikan tugas untuk menyelamatkan sejumlah partai. Partai Gelora dan Partai Kebangkitan Nasional (PKN) ikut disebut-sebut. Dua partai ini dituding mendapat rekomendasi untuk diloloskan. Ini perintah, kata oknum di KPU yang dituding oleh ICW, dkk. Siapa yang memberi perintah? Telunjuk publik langsung otomatis mengarah ke penguasa. Karena logika publik menganggap, tidak ada yang bisa mengendalikan KPU kecuali yang punya kekuasaan  Diduga pula Partai Umat besutan Amien Rais menjadi partai yang dipesan untuk digagalkan. Tidak boleh ada dan ikut kompetisi di pileg 2024. Saya  masih dianggap menakutkan, seloroh Amien Rais. Kata ICW dkk, ada 7 KPUD Provinsi dan 12 KPUD Kabupaten telah mengikuti arahan KPU Pusat. Menurut temuan, 7 KPUD Provinsi dan 12 KPUD Kabupaten diduga dipaksa untuk bermain curang dalam proses verifikasi data parpol. Dikembalikan ke publik, lebih percaya KPU atau ICW dkk? Ini baru dugaan. Ini baru tuduhan. Ini persepsi publik yang dibangun oleh pengakuan-pengakuan sejumlah pihak bahwa ada oknum KPU yang beroperasi  menunaikan tugas dari pihak tertentu untuk melakukan kecurangan. Media bahkan telah menyebut nama jelas oknum KPU itu. Siapa? Dugaan ini semakin kuat ketika ada sejumlah pihak yang mengaku diintimidasi \"masuk rumah sakit\" jika tidak mengikuti instruksi dari KPU pusat. Ngeri... Apa yang dimaksud \"masuk rumah sakit\"? Dilukai? Dibunuh? Publik kemudian menerka-nerka tafsir \"masuk rumah sakit\" itu.  Jika tuduhan ini benar dan terbukti, maka KPU betul-betul sudah terpapar dan teramputasi. KPU dianggap tidak lebih dari agen dan petugas yang akan mengatur siapa pemenang dan siapa yang harus dikalahkan. Mendesain siapa yang dijaga dan siapa yang harus disingkirkan. Rusak sekali. Parah! KPU punya hak jawab atas semua tuduhan itu. Akan tetapi, proses hukum dan etik mesti ditempuh. Ada pihak yang telah melaporkan KPU. Ini harus diproses dan dilakukan investigasi. Ada dugaan \"abuse of power\". Bahkan tuduhan ancam mengancam ini bisa diproses secara pidana jika pihak yang diancam melaporkan ke polisi. Jika semua tuduhan itu betul, maka para oknum KPU harus diganti. Pelanggar hukumnya harus diproses hukum. Jika tidak terbukti, KPU harus melaporkan balik kepada pihak penuduh sebagai pencemaran nama baik. Supaya clear dan harus tuntas. Ujung kasus ini harus jelas. Mana yang benar dan mana yang salah.  Yang perlu dipahami, ini bukan semata perseteruan antar dua pihak. Ini bukan hanya soal oknum. Ini menyangkut kredibilitas komisioner KPU. Ini menyangkut kualitas proses pemilu. Ini akan mempengaruhi secara signifikan hasil pemilu. Pada akhirnya, ini akan berpengaruh terhadap nasib masa depan bangsa.  Kasus ini tidak boleh berhenti di isu dan berita media. Tidak boleh selesai dengan mediasi dan klarifikasi. Ini tidak bisa diselesaikan dengan somasi dan permintaan maaf antar pihak. Publik berhak terlibat dalam kasus ini. Rakyat butuh kepastian. Rakyat butuh kejelasan, agar ada jaminan pemilu 2024 jurdil. Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) sebagai pihak yang mendapat laporan harus segera menggunakan kewenangannya untuk menelusuri laporan itu. DKPP harus panggil para pihak yang dituduh mengaku akan memenangkan bakal capres-cawapres tertentu. Namanya masih ingat kan? Panggil juga oknum yang diduga main ancam terhadap sejumlah KPUD Provinsi. DKPP dituntut bersikap tegas dengan memberikan sanksi bagi mereka yang ternyata terbukti bersalah. Gak boleh memble. DKPP tidak boleh masuk angin. DKPP mesti menuntaskan kasus dugaan \"abuse of power\" yang dilakukan para oknum KPU. Prosesnya harus betul-betul transparan. Harus terang benderang.  Komisioner KPU hendaknya juga muncul ke publik dan memberi penjelasan terkait dugaan ancam mengancam itu. Juga dugaan bahwa KPU akan memenangkan bakal capres-cawapres tertentu. Bukan hanya membantah, tapi memberikan bukti dengan melaporkan balik pihak yang dianggap melakukan pencemaran nama baik itu. Rakyat butuh hasil investigasi dari pihak ketiga. Sekali lagi, harus clear. Tidak boleh menguap. Komisionir KPU harus menjamin bahwa KPU netral. Tidak hanya dalam ucapan, tapi harus mampu meyakinkan publik dengan realisasi kinerja-kinerja berikutnya yang menunjukkan integritas dan profesionalismenya. Para penuduh mesti dilaporkan balik jika KPU yakin bahwa tuduhan itu salah dan fitnah. Ini masalah serius. Ini menyangkut persepsi publik terkait integritas dan kinerja KPU. Pada akhirnya ini akan berpengaruh terhadap hasil pemilu yang akan amat berpengaruh bagi nasib dan masa depan bangsa. Tuduhan adanya kasus \"abuse of power\" dalam bentuk ancam mengancam dan segala indikator kecurangan tidak boleh terdengar lagi kedepan, setelah semua proses etik dan pidananya tuntas. Jika tidak, kerja KPU bukan saja berpotensi menciptakan kegaduhan tapi juga dapat memicu konflik horisontal. KPU akan terus menjadi obyek tuduhan kecurangan dan caci maki publik. (*)