OPINI
Reshuffle dan Pemantik Gerakan
Oleh M Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan ISU reshuffle muncul kembali. Semakin kencang setelah salah satu partai koalisi Pemerintah Partai Nasdem mengajukan Anies Baswedan sebagai calon presiden. Anies tidak disukai bahkan cenderung dimusuhi oleh Istana. Segera setelah Partai Nasdem mendeklarasikan Anies, PDIP langsung menemui Jokowi. Konon minta agar Menteri yang berasal dari partai pimpinan Surya Paloh itu agar segera diganti. Selama periode kedua, Jokowi sudah tiga kali melakukan reshuffle yaitu bulan Desember 2020, bulan April 2021 dan terakhir Juni 2022. Saat meresmikan pengembangan Stasiun Manggarai tahap 1 (26/12) Jokowi ditanya oleh awak media soal reshuffle. Jawabannya singkat- singkat seperti \"ya dengar\", \"oke\", \"cluenya.. ya udah\", \"mungkin\" atau menggerakkan tangan. Ketika ditanya kapan ? jawabannya \"ya nanti\" adapula dengan angguk-angguk kepala. Ada tiga Menteri Nasdem yang jadi gunjingan untuk diganti yaitu Menkominfo Johnny G Plate, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo serta Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya. Wakil Ketua Umum Partai Nasdem Ahmad Ali menyatakan meski reshuffle adalah hak prerogatif Presiden namun pertimbangannya harus berdasar kebutuhan bukan alasan politis atau lainnya. Tiga dampak politik yang mungkin akan terjadi jika Jokowi melakukan reshuffle kabinet dengan mengganti Menteri yang berasal dari Partai Nasdem baik seluruh maupun sebagian, yaitu : Pertama, hak prerogatif Presiden itu menjadi slogan semata sebab faktanya penggantian Menteri berdasarkan keputusan tekanan politik. Adalah PDIP yang gencar menekankan soal reshuffle. Terakhir Ketua DPP PDIP Djarot Saeful Hidayat yang meminta agar Presiden Jokowi mengevaluasi dua Menteri asal Nasdem. Kedua, jika terjadi reshuffle maka suasana politik akan memanas. Nasdem yang merupakan partai koalisi Pemerintah berubah menjadi kekuatan oposisi. Bahayanya, Partai Nasdem yang diduga banyak mengetahui hal ikhwal Istana termasuk borok-borok di dalam akan melakukan manuver aksi bongkar-bongkar. Semangat restorasi menemukan momentum. Ketiga, rakyat akan membaca dengan jelas kezaliman Jokowi kepada Anies Baswedan. Reshuffle yang disebabkan Partai Nasdem mendukung Anies adalah kebijakan naif, brutal dan bodoh. Berpolitik tidak elegan. Menjadi bukti atas kebohongan Istana yang katanya tidak ikut melakukan intervensi politik. Faktanya kewenangan partai politik digerus dan didikte oleh Istana. Jika Jokowi tidak hati hati dalam mengambil keputusan mengenai reshuffle khususnya terhadap partai koalisinya, maka guncangan politik akan terjadi. Tiga partai oposisi PKS, Partai Demokrat dan Partai Nasdem bukan sekadar menjadi kutub bagi dukungan Capres, tetapi lokomotif dari perlawanan rakyat terhadap rezim yang dinilai zalim, sewenang-wenang dan kriminal. Ujungnya jangan harap Jokowi dapat mengakhiri jabatan dengan baik. Dua tahun ke depan adalah waktu yang krusial untuk membangun stabilitas politik. Reshuffle Kabinet dapat menjadi pemantik dari sebuah gebrakan dan gerakan. Bandung, 28 Desember 2022
Ibarat Baju, Partai Ummat Kekecilan Buat Amien Rais
Oleh Dimas Huda - Wartawan Senior FNN KOMISI Pemilihan Umum atau KPU meloloskan Partai Ummat pada tahap verifikasi administrasi ulang di Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Sulawesi Utara (Sulut) sebagai calon peserta Pemilu 2024. Setelah tahap ini, Partai Ummat akan menjalani tahap verifikasi faktual untuk menentukan lolos atau tidaknya partai besutan Amien Rais ini sebagai peserta Pemilu 2024. Sebelumnya, KPU sempat memutuskan Partai Ummat tak memenuhi syarat sebagai partai peserta Pemilu 2024. Mereka tak memenuhi syarat di beberapa kabupaten kota di Sulut dan NTT. Partai Ummat sempat melayangkan gugatan ke Bawaslu terkait keputusan itu. Kemudian, Bawaslu memutuskan Partai Ummat diberikan kesempatan untuk mengikuti verifikasi ulang dan faktual selama sembilan hari, yaitu mulai 21 sampai 30 Desember 2022 untuk memenuhi sejumlah syarat sebagai calon peserta Pemilu 2024. Kini, Partai Ummat punya peluang besar untuk lolos. Sudah barang tentu ini salah satunya karena hebatnya Amien Rais. Gerakan tokoh reformasi ini sungguh lincah dan terukur. Di luar itu, taji Amien memang masih tajam. Tengok saja bagaimana Amien bergerak menyelamatkan Partai Ummat agar tak layu sebelum berkembang. Sehari sebelum pengumuman hasil verifikasi faktual partai oleh KPU, Amien Rais membuat pernyataan bahwa ada upaya penjegalan terhadap partainya untuk ikut Pemilu 2024. Dia menduga ada kekuatan besar dari rezim penguasa politik yang berusaha menyingkirkan partainya. Benar saja, pada saat diumumkan pada Rabu, 14 Desember 2022, dari 18 partai, 17 di antaranya lolos. Hanya Partai Ummat yang gagal verifikasi faktual. Tuduhan Amien Rais ini langsung membuat Istana meradang. Presiden Joko Widodo mengeluh. \"Itukan sebetulnya urusan KPU, urusan KPU itu,\" ujar Presiden Jokowi menjelaskan bahwa Istana tak ikut campur perihal lolos tidaknya partai politik. Pernyataan presiden ini disampaikan saat memberikan pidato HUT ke-16 Partai Hanura di JCC, Senayan, Jakarta, Rabu (21/12/2022). Sekendang sepenarian, Wakil Presiden Ma\'ruf Amin juga gerah. \"Kalau tidak lolos berarti memang tidak didukung oleh cukup (persyaratan). Jadi, tidak perlu menyalahkan siapa-siapa, karena sudah garis tangannya begitu, garis tangan namanya itu,\" ujar Ma\'ruf Amin di Nusa Dua, Bali, Jumat 23 Desember 2022. Respon RI-1 dan RI-2 tampaknya menjadi amunisi bagi Partai Ummat untuk menekan KPU. Hasilnya ya itu tadi: Partai Ummat berkesempatan besar untuk ikut Pemilu 2024. Kita tahu, Partai Ummat penting buat Amien Rais. Bisa jadi ini menjadi pertaruhan bagi politisi senior tersebut setelah dirinya hengkang dari partai yang didirikannya: Partai Amanat Nasional atau PAN. Bisa dibilang, Partai Ummat bagi Amien adalah sebagai penegasan tentang ideologi politik dirinya. Kini ia dengan tegas berada di kanan. Naga-naganya Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah ini sudah letih mengenakan baju nasionalis. Soalnya, sejak awal PAN terbukti gagal merangkul kaum nasionalis. Inilah yang membuat di masa tuanya, Amien mendirikan Partai Ummat yang berasaskan Islam Rahmatal Lil Alamin. Ya. Jika kita menengok perjalanan politik Amien, kita bisa bilang partai ini akan menjadi partai pertobatan bagi Amien Rais. Lazimnya orang Jawa, makin tua memang makin mendekat kepada Sang Pencipta. Amien Rais kelahiran Surakarta, 26 April 1944. Empat bulan lagi usianya sudah 79 tahun. Sudah sepuh. Pertobatan Amien Rais Lalu untuk apa dia bertobat? Pada saat reformasi, tokoh-tokoh politik Masyumi sempat menggadang-gadang Amien Rais untuk memimpin partai Islam. Kala itu, mereka mendirikan Partai Bulan Bintang atau PBB. Mereka ingin menduetkan Amien Rais-Yusril Ihza Mahendra. Upaya ini gagal karena Amien menganggap ibarat baju, format PBB terlalu sesak buat dirinya. PBB mengambil banyak aspirasi dari Masyumi dan kemudian belajar dari pengalaman-pengalaman Masyumi. Masyumi lahir dari ide besar yakni Isilamic modernization. Kala itu, tokoh eks Masyumi kecewa berat. Padahal, semula Amien sendiri datang ke rumah tokoh Masyumi Anwar Harjono. Mereka bertangis-tangisan menyatakan siap berdampingan dengan Yusril memimpin PBB. Kala itu Yusril tengah berada di Banyuwangi, Jawa Timur. Yudi Pramuko dalam buku “Sang Bintang Cemerlang” (1999) menceritakan dialog antara Yusril dengan Anwar Harjono, saat Yusril diberitahu tentang upaya para pendiri PBB untuk menyatukan Amien-Yusril. “Saudara Yusril,” ujar Anwar Harjono serius, “Pak Amien Rais sudah datang dan perkembangan sudah mencapai 90%. Alhamdulillah, Pak Amien Rais menjadi Ketua, dan bagaimana kalau Saudara menjadi Sekretaris Jenderal Partai Bulan Bintang?” Tanpa ragu-tagu Yusril menjawab, “Kalau semua orang menerima, InsyaAllah saya terima.” Semua tokoh Islam, dalam pertemuan yang dihadiri beberapa pimpinan organisasi Islam, menyatakan setuju dengan komposisi ideal itu. Ketua umum Amien Rais dan Sekjen Yusril. Sayangnya, beberapa jam kemudian usai sholat Jumat di masjid PP Muhammadiyah, Jalan Menteng Raya Jakarta, Amien membuat peryataan pers seraya mengatakan dirinya tidak sesuai duduk sebagai Ketua Umum Partai Bulan Bintang. Ibarat baju, format PBB terlalu sesak buat dirinya. Kegagalan memadukan kedua tokoh, Amien-Yusril, sebagai “dwitunggal” mengecewakan tokoh-tokoh Masyumi. “Memang ada inti perbedaan di antara kami, saya ingin membentuk partai yang berasaskan Islam, sementara Pak Amien Rais ingin membentuk partai yang multiagama, multi-etnis,” ujar Yusril. “Pak Amien Rais bilang PBB platform-nya kekecilan, ibarat baju sesak dipakai, memang saya katakan bahwa PBB ini partai tertutup, soalnya tidak ada di dunia ini partai yang sesungguhnya terbuka, semua partai itu aliran, kalau tidak ada aliran, orang tak membuat partai,” tambah Yusril mengomentari kegagalan tandem dirinya dengan Amien. Selanjutnya, seperti kita tahu Amien mendirikan PAN dan menjadi ketua umum partai itu. Yusril memimpin PBB. PAN berhasil menempatkan wakil-wakilnya di DPRRI sampai sekarang. Sedangkan PBB gagal. Kalkulasi Politik Secara kalkulasi politik, langkah Amien Rais mendirikan Partai Ummat sungguh aneh. Soalnya, ia membidani partai Islam, di saat partai sejenis tengah terpuruk. Aneh bin ajaibnya keterpurukan partai Islam itu justru di saat hijrah tengah menjadi tren. Pemilu 2019 adalah Pemilu paling sulit bagi partai Islam dan berbasis Islam. Tengok saja perolehan suara PKS, PBB, dan PPP, serta partai berbasis massa Islam seperti PKB dan PAN. Partai-partai ini hanya mengoleksi 29,05% suara. Ini adalah angka kecil bahkan terkecil dalam sejarah Pemilu di Indonesia. Perolehan angka 29,05% itu adalah dari hasil penjumlahan perolehan suara Partai Keadilan Sejahtera (PKS) 7,21%, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) 4,52%, Partai Bulan Bintang (PBB) 0,79%, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) 9,69%, dan Partai Amanat Nasional (PAN) 6,84%. Partai nasionalis justru mengantongi suara signifikan. Total suara partai nasionalis menguasai 70,95%. Selama ini, pilihan politik pemeluk Islam menyebar dan terbanyak justru dijatuhkan ke parpol nasionalis. Dari data KPU, perolehan suara partai-partai Islam dan yang berbasis massa Islam terus menurun pasca-reformasi. Bahkan jauh sebelum itu. Pada Pemilu 1955 parpol Islam meraih suara 43,7%, lalu pada 1999 menurun drastis menjadi 36,8%. Meski sempat meningkat kembali pada Pemilu 2004 dengan presentase 38,1%, namun Pemilu 2009 turun tajam dengan hanya mendapat 29,16%. Gap curam kembali terjadi pada Pemilu 2009. Jika keterpilihan gabungan parpol Islam 29,16% pada tahun itu, gabungan elektabilitas parpol nasionalis mencapai 70,84%. Nahasnya, Pemilu 2009 seolah menjadi “kuburan” bagi partai yang berideologi Islam. Dari enam partai politik berideologi Islam yang ikut serta dalam Pemilu--PKS, PPP, PBB, PKNU, PBR, dan PMB--hanya 2 partai yang lolos aturan parliamentary threshold 2,5%, yakni PKS dan PPP. Peneliti LSI Denny JA, Ikram Masloman, menilai tren penurunan perolehan suara partai Islam seiring dengan terjadinya proses sekulerisasi politik. \"Pemilih ini saleh secara agama dan ritual. Tapi secara politik, menurut mereka, agama tidak serta-merta sakral kemudian muslim memilih partai muslim,\" katanya suatu ketika. Nah, di saat paceklik seperti itu Amien mengibarkan partai Islam, Partai Ummat. Kalau bukan untuk pertobatan, rasanya sulit berharap partai ini menjadi besar di kemudian hari. Bahkan, baru akan ikut pemilu saja Partai Ummat sudah tertatih-tatih. Jika NTT dan Sulut tak lolos dalam tahab verifikasi faktual, maka kita bisa bilang: Ibarat baju, Partai Ummat memang kekecilan buat Amien Rais. (*)
Malapetaka Negara, KA Cepat Jakarta Bandung!
Padahal bunga pinjaman dari Jepang 0,1%, jauh lebih ringan dari China yang 2% jauh lebih mahal pertahunnya. Oleh: Sugengwaras, Aktivis JANGAN hanya berpikir cebong kampret, Anies-Prabowo, Ganjar-Ahok atau Erick-Puan saja, sistem dan perangkat pemilu/pilpres 2024 juga terindikasi sarat penyelewengan yang lebih parah, disamping proyek-proyek pemerintah yang mangkrak dan membengkak di bawah tekanan China yang diamini oleh para pengkianat negara di bawah pimpinan Presiden Joko Widodo! Itulah sebabnya dilahirkan secara haram dan keburu UU KUHP yang penuh kontroversial dan sunsang baik proses, prosedur, mekanisme dan dinamika persidanganya, yang rencananya digunakan sebagai alat gebuk dan pembunuh demokrasi untuk menyengsarakan rakyat Indonesia! Gagalkan dan Lenyapkan UU KUHP Ciptaan Para Pengkianat Negara! Tidak usah ragu dan tidak perlu takut, lawan dan musnahkan UU KUHP yang baru, daripada NKRI hancur dan luluh-lantak! Saya yakin TNI-POLRI tak akan mau masuk perangkap yang kesekian kalinya! Kita sayang dan mencintai TNI-POLRI, tapi tunggu dulu untuk para pimpinan yang mengawakinya! TNI-POLRI sebagai Garda terdepan dan Benteng terakhir negara, harus benar- benar paham dan sadar terhadap peran, fungsi dan tugasnya yang dilandasi doktrin-doktrin yang ada untuk menjaga, membela dan mempertahankan kedaulatan negara, keutuhan wilayah dan segala isi di atasnya, keamanan dan keselamatan rakyat serta keseimbangan dan keharmonisan hubungan dengan negara negara lain didunia bersama komunitas dan elemen elemen bangsa lainnya. Itulah yang harus dipahami, disadari dan disikapi oleh seluruh bangsa Indonesia, dalam menuju kejayaan dan kesejahteraan Indonesia! Saya kerucutkan perihal KA Cepat Jakarta Bandung. Akhir tender diperebutkan oleh Jepang dan China yang dimenangkan oleh China karena lebih murah. Namun dalam perjalanannya dengan akal bulusnya ternyata biaya jauh lebih mahal (membengkak) dibanding Jepang. Padahal bunga pinjaman dari Jepang 0,1%, jauh lebih ringan dari China yang 2% jauh lebih mahal pertahunnya. Belum lagi dalam konsorsium Indonesia China, telah terjadi pembengkakan konsesi dari 50 tahun menjadi 80 tahun oleh China. Siapa yang salah, siapa yang lemah, siapa yang bodoh, siapa yang rugi dan siapa yang menderita? Pikir sendiri..... Secara detail, baca ulasan para pengamat! Bandung, 27 Desember 2022. (*)
Kok The Week Mirip Dhewek?
Oleh M Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan THE Week Magazine yang beredar di Inggris dan Amerika pada edisi 24 Desember 2022 membuat cover bertema \"The Faces of 2022\". Dalam Cover tersebut terdapat karikatur beberapa Kepala Negara dan tokoh yang sedang menikmati hidangan hari Natal \"Christmas Double Issue\". Di meja besar duduk Raja Charles, PM Inggris Rishi Sunak, Presiden Ukraina Zelensky, PM China Xi Jinping, Aktor Will Smith dan lainnya. Presiden Rusia Putin tampak di luar sedang marah-marah. Menendang boneka salju. Ada juga foto dinding Queen Elizabeth. Yang menarik di antara pemimpin dunia yang merayakan hari natal tersebut ada seseorang yang mirip Presiden RI Joko Widodo. Duduk berdampingan dengan PM China Xi Jinping yang berpenampilan kalem, berwibawa dan bermasker. Sementara di sebelahnya adalah pasangan Charles dan Camilla. Orang seperti Jokowi itu terkesan rakus, jorok dan primitif. Rakus karena di piringnya penuh makanan yang dilahap sendiri, jorok di samping kotoran juga di kepalanya ada laba-laba dan kodok. Primitif karena yang dimakan adalah hewan kalajengking. Menurut yang juga beredar di medsos orang seperti Jokowi itu adalah Matthew Hancock Menkes Britania Raya yang mengundurkan diri bulan Juni 2021 akibat skandal moral. Sebelumnya aktivis Partai Konservatif ini menjabat sebagai Menteri Digital, Budaya, Media dan Olahraga. Matt Hancock bulan lalu ikut dalam program I\'m A Celebrity..Get Me Out of Here dan sukses menjadi finalis Raja Hutan bersama Owen Warner dan Jill Scott. Selama di hutan tentu ia makan segala untuk survive. Hancock pernah ikut atraksi menyelam dan berfoto bersama kodok di kepala. Masalahnya adalah karikatur Matt Hancock dalam The Week itu ternyata mirip Jokowi, termasuk kerut di keningnya. Wajar orang bertanya apa benar itu Jokowi yang dimaksudkan. Hebatnya ia duduk di sebelah PM China yang selama ini disorot kedekatannya. Jokowi memang hobby memelihara kodok. Gaya kodok itu melompat-lompat. Berada di dua alam darat dan air. Kodok jarang ditemukan di tempat bersih kadang ia hidup di semak-semak dan area lembab. Kebanyakan orang jijik melihat kodok. Laba-laba yang menempel di kiri kepala orang seperti Hancock atau Jokowi itu bukan sembarang laba-laba tetapi jenis tarantula hitam yang beracun. Sifat laba-laba atau tarantula itu menjebak, menjerat dan memangsa. Entah apa yang ada dalam bayangan karikaturis sehingga di kepala harus menempel tarantula hitam. Yang dimakan dalam tusukan garpu adalah kalajengking. Berbeda dengan makanan kepala negara lain. Ada yang makan ayam, bercengkrama, membawa kue serta berebut trophi. Dengan didamping Xi Jinping ia asyik memakan kalajengking. Makanan di piringnya pun aneh ada seperti bola mata. The Week membuat kejutan untuk profil yang memungkinkan orang mengasosiasikan dengan Presiden Republik Indonesia. Belum ada penjelasan resmi The Week siapa dimaksud orang disebelah Xi Jinping itu. Karikaturis bisa mengeles untuk proteksi hukum. Bila ia diserang oleh Hancock ia bisa bilang itu Presidency G-20, begitu juga sebaliknya. Lagi pula di Indonesia sulit untuk melaporkan penghinaan sebagaimana ketika Tempo menampilkan bayangan Jokowi berhidung panjang. Itupun ternyata dibenarkan oleh Dewan Pers. Nah karikatur The Week yang menjadi Cover edisi \"The Faces of 2022\" menjadi cermin dari bacaan dunia tentang wajah dan karakter pemimpin yang buruk. Orang terhormat yang bergaul atau berperangai buruk. Ada kotoran kodok, adapula laba-laba dan kalajengking. Mengapa mirip Jokowi ? Jokowi adalah penggemar kodok dan pendukungnya disebut cebong. Jokowi pernah meresmikan produk truk \"laba-laba\" Mitsubishi. Jokowi pula yang tahun 2018 menyatakan jika ingin kaya maka beternaklah kalajengking. Racunnya mahal. Apakah kebetulan atau sengaja sebagai \"Christmas Double Issue\" ? Karena itu sekedar karikatur maka jawabannya, entahlah !. The Week hanya memberi tempat bagi bacaan dan tafsiran dhewek. Bandung, 27 Desember 2022
Tak Mustahil Prabowo Akan Dukung Anies
Sementara di sisi lain, dukungan Istana juga tak pasti. Apalagi, jika nyanyian Hasnaeni Moein terkait skandalnya dengan Hasyim Asyari, Ketua KPU, itu benar, maka dapat dipastikan Prabowo bakal kandas lagi untuk kali ketiga. Oleh: Yarifai Mappeaty, Pemerhati Masalah Sosial Politik, Tinggal di Makassar NYARIS semua kawan-kawan di Garindra yang saya temui, meradang, tak terima Anies Baswedan menjadi Capres. Bahkan, Anies dianggap manusia yang tak tahu membalas budi, bak kacang lupa kulit. Tak hanya itu, malah ada yang menyebut Anies pengkhianat. Kata mereka, setelah didepak dari kabinet pada 2016, Anies bukan sesuatu dan tidak pernah menjadi seperti sekarang ini, kalau bukan karena Prabowo. Kalau dipikir-pikir, tidak salah, tetapi tak sepenuhnya benar. Saya sebenarnya sangat bisa memahami perasaan kawan-kawan itu, kendati pihak lain menyebutnya lebai. Maklum, saya saat pernah bersama mereka. Setidaknya, dalam Pilkada DKI Jakarta 2017, kami sama-sama berjibaku memenangkan Anies Baswedan – Sandiaga Uno, meski saya hanya semacam baut kecil dari sebuah mesin pemenangan yang bernama “Roemah Djoeang Anies – Sandi”. Karena itu, sedikit banyaknya saya mengetahui, merasakan dan mengalami perjuangan pada Pilkada DKI kala itu. Mulai dari saat Prabowo memutuskan memasangkan Anies dengan Sandi untuk diusung Partai Gerindra, hingga dinyatakan secara resmi sebagai pemenang. Namun, perlu dicatat bahwa Prabowo melakukan itu dalam kerangka semangat perjuangan oposisi. Bahwa Jusuf Kalla kemudian disebut-sebut juga punya andil di dalamnya, itu hal lain. Tapi keputusan jadi tidaknya pasangan Anies – Sandi maju di Pilkada DKI 2017, tetap saja ada di tangan Prabowo. Tak ada seorangpun yang bisa membantah hal itu. Saya masih ingat pada sebuah diskusi kecil dengan kawan-kawan Gerindra ketika Anies – Sandi dilantik sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta. “Apa kira-kira Anies tidak ikut nyapres pada 2019, mengikuti jejak Pak Jokowi?” lontar seorang kawan. “Lihat saja nanti,” sambut seorang kawan lainnya. “Sebab meskipun Anies telah berjanji menyelesaikan lima tahun di Jakarta, tapi tidak ada yang bisa menjamin kalau Anies tetap konsisten, tidak tiba-tiba berubah pikiran lalu ikut nyapres?” sambungnya. “Kalau Anies melakukan itu, ia tidak hanya mengkhianati Pak Prabowo, tetapi juga mengkhianati rakyat Jakarta,” kata saya menimpali. Namun terbukti kemudian kalau Anies dapat memupus kekhawatiran kawan-kawan itu. Ia membuktikan komitmennya untuk tetap memimpin DKI Jakarta. Padahal tak kurang partai politik mencoba datang menggodanya. Bahkan, konon, Prabowo sendiri menawarinya untuk menjadi pasangannya. Tapi Anies tetap bergeming tak ingin mengkhianati rakyatnya. Itu konteks Pilpres 2019. Pasca itu, konteksnya berubah, terutama setelah Prabowo memutuskan memilih bergabung dengan Istana. Prabowo mengambil langkah itu, mungkin karena prihatin melihat kondisi bangsa ini sedang tercabik-cabik oleh Pilpres. Namun motif sesungguhnya, hanya Prabowo sendiri dan segelintir elit Gerindra yang tahu pasti. Tetapi pilihan itu, bukan tidak punya konsekuensi. Lebih dari separuh dari pendukung Prabowo meninggalkannya karena kecewa dan merasa dikhianati. Apakah Prabowo menyadari hal itu? Tentu saja. Tapi itulah harga yang harus ia bayar dengan amat sangat mahal. Bayangkan, massa pendukung Prabowo di luar Gerindra itu adalah massa pemilih PKS, Demokrat, PAN, dan PPP, jumlahnya mencapai 38 juta. Jumlah itu equal dengan 56% dari total pemilih Prabowo – Sandi pada Pilres 2019, yang mencapai 68 juta. Lalu, kemana perginya massa sebesar itu? Satu-satunya alternatif bagi mereka adalah Anies Baswedan. Mereka pun mulai menyebut-nyebut nama Anies semenjak itu. Mula-mula samar, tapi lama kelamaan nyaring juga. Merekalah yang menyuarakan nama Anies hingga beresonasi di suluruh penjuru tanah air. Bukti terjadinya peralihan dukungan sejumlah besar massa kepada Anies bisa terbaca pada survei di penghujung 2021. Dapat dipastikan bahwa massa besar itu nyaris seluruhnya adalah eks-pendukung Prabowo. Tidak hanya itu, sepanjang 2022, dukungan massa kepada Anies tetap terus mengalir, seiring dengan meningkatnya apresiasi publik terhadap kinerja Anies di Jakarta. Sedangkan Prabowo, terjadi sebaliknya. Memandang relasi Prabowo – Anies pada konteks Pilpres 2024, tentu saja semangatnya sudah tak sama dengan Pilpres 2019. Diakui atau tidak, Anies saat ini lebih dilihat sebagai tokoh utama oposisi, sedangkan Prabowo adalah bagian dari Istana. Konteks semangat itulah yang sulit dipahami oleh kawan-kawan itu, sehingga saya berbeda melihat Anies yang mereka anggap mengkhianati Prabowo. Mengkhianati bagaimana kalau memang sudah berseberangan sejak awal? Dan, Prabowo sendirilah yang memilih pergi – menyeberang, sedangkan Anies sendiri tak kemana-mana. Lalu, siapa mengkhianati siapa? Lagi pula, faktor relasi Prabowo – Anies terlalu dominan jika dilihat sebagai hubungan pribadi. Padahal, urusan suksesi kepemimpinan nasional tersebut adalah masalah bangsa dan negara, bukan urusan pribadi Prabowo dan Anies. Di situlah naifnya kawan-kawan itu, sehingga wajar saja kalau ada pihak menilainya lebai. Coba, taruh misalnya, Anies tak pernah ada, maka, apakah eks-pendukung Prabowo itu akan kembali? Saya yakin, tidak. Mereka akan tetap mengalihkan dukungannya atau tidak memilih sama sekali. Begitulah cara rakyat akhirnya menghukum sosok pemimpin yang dianggap khianat. Jika situasinya tetap begitu, maka pada akhirnya Prabowo akan mengalami situasi yang dilematis dalam menghadapi Pilpres 2024. Sebab di satu sisi, dukungan massa kepada dirinya terus menurun, menurut survei yang sengaja dipublis maupun yang tidak dipublis, tapi hanya beredar secara terbatas di kalangan tertentu. Sementara di sisi lain, dukungan Istana juga tak pasti. Apalagi, jika nyanyian Hasnaeni Moein terkait skandalnya dengan Hasyim Asyari, Ketua KPU, itu benar, maka dapat dipastikan Prabowo bakal kandas lagi untuk kali ketiga. Karena itulah, saya memiliki keyakinan bahwa tidak mustahil Prabowo akan mendukung Anies. Mengapa tidak? Toh diantara mereka tidak ada masalah. Anies sangat menghormati sosok Prabowo. Sedangkan Prabowo sendiri tak pernah terdengar bicara buruk tentang Anies. Dan, satu-satunya jalan bagi Prabowo agar dapat dimaafkan oleh puluhan juta massa yang pernah ditinggalkan adalah kembali bersama mereka mendukung Anies. Makassar, 27 Desember 2022. (*)
Yang Pantas Diselamatkan Itu Demokrasi Pancasila, Bukan Demokrasi Liberal
Dengan begitu, demokrasi nyata dalam praktiknya belum terlaksana sebab rakyat hanya sebagai kuda tunggangan yang suaranya hanya dibeli dengan sembako atau uang lima puluh ribu. Oleh: Prihandoyo Kuswanto, Ketua Pusat Studi Kajian Rumah Pancasila KETIKA narasi mulai bergulir dan deras nya keinginan rakyat kembali ke UUD 1945 .arti nya demokrasi liberal sudah saatnya diakhiri, sebab kerusakan Negara Bangsa sudah semakin dititik nadir. Rupanya kaum liberal juga ingin pemilu tetap berlangsung padahal jika tetap ingin pilpres, pilkada, pemilu tetap berlangsung sama artinya memperkokoh sistem oligarki. Bahkan narasi narasi ancaman jika pemilu diundur ada gerakan untuk menyelamatkan demokrasi liberal. Padahal perubahan itu yang diinginkan adalah mengembalikan Pancasila dan UUD 1945 kembali sebagai dasar berbangsa dan bernegara .kembali pada jati diri bangsa yang oleh pengamat dan kaum liberal menarasikan seakan mau menghabisi demokrasi liberal mereka tidak melihat musyawarah mufakat sebagai demokrasi. Padahal musyawarah perwakilan itu lebih beartabat dari pada demokrasi banyak-banyakan suara kalah menang pertarungan dengan menghalalkan segala cara. Perdebatan terus berlangsung dan kasak kusuk partai politik sudah mulai menghidupkan mesin partai nya untuk berebut kenikmatan kue kekuasaan pada tahun 2024. Koalisi-koalisi mulai dibentuk strategi mengatur kekuatan mulai melontarkan hal-hal yang kadang tidak masuk akal pokoknya waton saja tanpa mampu melihat Indonesia itu apa dan bagaimana. Isu politik identitas mulai keluar dari mulut ketua partai politik tanpa mampu mengaca padahal diri nya adalah bagian dari politik identitas skema dan arah isu politik identitas sudah jelas bagian dari Islamophobia. Jejak sejarah ingin mereka hapus tetapi mereka lupa Indonesia dibentuk oleh berbagai macam Identitas, Suku, Ras, Agama, Golongan dan adat istiadat. Berakar dari berbagai macam identitas itulah melahirkan Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika untuk mempersatukan Identitas yang bermacam-macam itu. Sejak UUD 1945 diganti dengan UUD 2002 bangsa Indonesia ini seakan sudah tercerabut dari akar ke Indonesia-annya, aliran pemikiran yang penuh makna tentang negara Indonesia diganti dengan Indonesia yang tanpa makna, dari Indonesia dengan sistem yang terbaik diganti dengan sistem Indonesia yang terburuk. Presidential Threshold 20 % adalah sebuah instrumen untuk membatasi masuk nya calon pemimpin yang terbaik ,Indonesia tidak boleh dipimpin oleh orang orang yang terbaik tetapi Indonesia harus dipimpin oleh orang orang yang bisa melayani kepentingan oligarki. Oleh sebab itu telah dibuang sistem terbaik didalam UUD 1945. Sistem MPR dengan demokrasi konsensus yang mencerminkan Bhineka Tunggal Ika dan Pancasila dengan Permusyawaratan perwakilan diganti dengan demokrasi semua yang serba mahal dan bandar bandar demokrasi yang serba pecitraan dan uang untuk membeli suara rakyat dan geser menggeser caleg tentu saja serba transaksi uang. Pemilu tahun 2019 telah mengorbankan nyawa petugas KPPS sebanyak hampir 800 orang dan biayayah yang sangat besar. Kecurangan dan kebohongan bagisn dari strategi demokrasi liberal. Sebetulnya apa demokrasi itu? Apa masih demokrasi itu dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat, dan sesuai keinginan rakyat? Diganti dengan demokrasi dari oligarki, oleh ketua partai politik, dan untuk oligarki. Sistem musyawarah perwakilan diganti dengan demokrasi post thrud. Fenomena kebohongan yang dilakukan terus menerus akan menjadi pembenaran hal tersebut dinamakan post-truth dan istilah tersebut pertama kali dipopulerkan oleh Steve Tesich melalui esainya pada harian The Nation tahun 1992. Frasa post-truth awalnya dikenal di ranah politik saat kontes politik memperbutkan kursi parlemen dan/atau tujuan politik lain sehingga istilah ini disebut post-truth politics. Era post-truth dapat disebut sebagai pergerseran sosial spesifik yang melibatkan media arus utama dan para pembuat opini dan buzer-buzer Pada akhirnya harus menerima kenyataan bahwa semakin tipis pembatas antara kebenaran dan kebohongan, kejujuran dan penipuan, fiksi dan nonfiksi. Secara sederhana, post-truth dapat diartikan bahwa masyarakat lebih mencari pembenaran daripada kebenaran. Cara menanggulangi post-truth dapat dilakukan melalui literasi digital ke masyarakat luas. Praktik politik di Indonesia dengan pilpres, pileg langsung telah mempraktikan post truth sehingga munculnya buzer-buzer untuk membangun opini yang terus di gencarkan melalui media sosial membuat rakyat tidak bisa lagi melihat kebenaran. Demokrasi itu sebetulnya hanya alat bukan tujuan. Apakah demokrasi itu untuk rakyat atau rakyat untuk demokrasi? Mengganti UUD 1945 dengan UUD 2002 itu sama arti nya mengganti yang baik dengan yang buruk. Dengan dasar negara Pancasila dan bangsa Indonesia mempunyai bermacam- macam suku, adat istiadat, berbagai macam Agama, berbagai golongan maka the Founding Fathers adalah manusia terpilih yang mempunyai pemikiran melampaui jamannya. Tidak memilih sistem Individu, Liberal Kapitalis dengan sistem perlementer maupun Presidenseil, tetapi menciptakan sendiri sistem MPR dengan Permusyawaratan perwakilan adalah demokrasi konsensus yang bisa dikatakan demokrasi bermartabat dengan derajat yang tinggi. Menariknya, pemikiran founding fathers kita pada 1945 mengenai model Demokrasi Pancasila itu hampir identik dengan pemikiran demokrasi deliberatif yang dikemukakan oleh filsuf Jerman Jurgen Habermas (1982), hampir empat dasawarsa kemudian. Bagi Habermas, demokrasi deliberatif merupakan konsep demokrasi yang dilandasi oleh mekanisme musyawarah yang mendalam, tidak didasarkan pada demokrasi voting mayoritas, tetapi menekankan pada demokrasi yang mengarah pada ketaatan bersama. Konsep demokrasi ini memberikan konsensus untuk mengurangi gesekan kelompok minoritas yang tidak menerima keputusan demokratis. Arend Lijphart (1999) dalam buku nya Patternd of Democracy menjelaskan untuk mendapatkan mayoritas dukungan rakyat ada demokrasi mayoritas jika di negara itu hanya ada dua partai sedang di negara yang banyak partai maka dibutuhkan demokrasi konsensus. Demokrasi konsensus-lah sebenar nya yang lebih sesuai di Indonesia seperti yang sudah digagas oleh pendiri negeri ini dengan keanggotaan MPR bukan hanya dari unsur partai politik tetapi ada utusan utusan golongan dan utusan daerah. Dengan model demokrasi konsensus maka keterlibatan partisipasi masyarakat melalui perwakilannya bisa terwujud maka konsep negara semua untuk semua dengan tujuan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia akan terwujud, dan kebhinekaan bangsa ini akan terwakili. Sistem kekeluargaan ini dianggap oleh the Founding Fathers sangat sesuai dengan nilai nilai budaya bangsa Indonesia . Ironisnya, kita buang sistem yang baik ini, dan diganti dengan demokrasi banyak-banyakan suara, kalah-menang pertarungan yang lebih buruk dari demokrasi konsensus. Demokrasi terpimpin menurut istilah UUD 1945 ialah “Kerakyatan Yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”. Demokrasi terpimpin bukanlah diktatur ,beda dengan sentralisme,dan sangat berbeda dengan demokrasi liberal yang dijalankan model pilkada, pilpres, pilsung saat ini. Demokrasi terpimpin adalah demokrasi yang cocok dengan kepribadian dan dasar hidup bangsa Indonesia sejak dulu kala. Demokrasi terpimpin adalah demokrasi disegala soal kenegaraan dan kehidupan kemasyarakatan ,yang meliputi bidang-bidang politik, Ekonomi, Sosial, Demokrasi yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan. Tetapi demokrasi semu sekarang ini dijalankan , malah jadi juru pawang menangkal masuknya sumberdaya manusia terbaik bangsa ke dalam tatanan politik. Bukannya menyaring dan merekrut orang-orang terbaik bangsa masuk ke dalam tatanan politik. Dengan begitu hanya pemimpin yang diinginkan oleh kepentingan oligarki saja Yanga boleh ikut. Dengan begitu, demokrasi nyata dalam praktiknya belum terlaksana sebab rakyat hanya sebagai kuda tunggangan yang suaranya hanya dibeli dengan sembako atau uang lima puluh ribu. Apakah kebodohan ini akan terus kita lanjutkan? Kesadaran kita berbangsa dan bernegara harus berani merobah tatanan yang salah ini kembali pada demokrasi musyawarah mufakat selamatkan Indonesia dari oligarkinya. (*)
Tafsir Kupas Gambar Hewan di Tubuh Jokowi pada Karikatur di The Week Magazine
Mengakumulasi kekayaan dengan cara-cara keji dan menjijikkan. Tindakan itu pun berdampak merusak hingga melumpuhkan daya hidup dan tatanan kehidupan. Oleh: Jliteng Suparman, Budayawan dari Solo KODOK simbol karakter ke atas menjilat ke bawah menginjak. Karakter kodok seperti itulah yang kini sudah menjadi budaya perilaku di lingkungan rezim pemerintahan Joko Widodo. Orang meniadakan pasal malu walau harus melakukan tindakan yang rendah dan hina, untuk menjilat atasan demi kekuasaan dan kekayaan. Sebaliknya pada bawahan atau kepada rakyat tidak ada kata sungkan untuk melakukan tindakan represif, bahkan hingga membunuh demi mengamankan posisi dan kepentingan. Kodok memang menjadi ajimat utama bagi Jokowi. Tuah atau pengaruhnya membuat banyak orang agar berperilaku seperti itu. Laba-laba itu adalah hewan yang mencari mangsa dengan memasang jerat. Sebagaimana perilaku politik Jokowi. Pembiaran merajalelanya korupsi dan tindakan pelanggaran lain oleh hampir seluruh pejabat negara, bukan tanpa maksud. Demikian pula bagi-bagi posisi komisaris dan lain-lain. Semua itu merupakan jaring laba-laba untuk menjerat agar orang menjadi tunduk dan takluk. Kalajengking, hewan yang suka tinggal bersembunyi di celah-celah lembabnya dan kotor, seperti di bawah bebatuan, di celah-celah dinding, dan sebagainya. Jika ada gerak yang membuatnya terkejut atau merasa terancam maka ia akan mematukkan ekornya dan mengeluarkan bisa. Lembab dan kotor lambang kondisi kemiskinan. Simbol-simbol kondisi itu dipakai oleh Jokowi sebagai citra diri. Pemimpin berasal dari kalangan rakyat bawah, rendah hati, sederhana, merakyat dan lain-lain. Kala persembunyian, kamuflase, kepalsuannya terbongkar hingga mengancam posisinya, dia akan menjadi sangat jahat dan keji. Perilaku demikian mewabah di lingkungan rezim. Maka pada rezim Jokowi ini kriminalisasi, pembunuhan, pembantaian kepada kalangan lemah ataupun kalangan bawah menjadi identitasnya. Makan ulat dan belatung. Ulat hewan pemakan tumbuhan dan buah-buahan, belatung pemakan bangkai. Perpaduan keduanya menjadi simbol keserakahan yang luar biasa. Ibarat kata yang kaya dirampok, yang miskin diperas. Mengakumulasi kekayaan dengan cara-cara keji dan menjijikkan. Tindakan itu pun berdampak merusak hingga melumpuhkan daya hidup dan tatanan kehidupan. Disamping itu di karikatur tersebut Jokowi pakai rompi merah. Saya kira itu juga bukan tanpa maksud... tafsirnya? Terserah Anda... hehehe. Demikianlah. (*)
Sidang Pemeriksaan Saksi: Menunggu Kehadiran Saksi Pelapor Dodo Baidlowi dan Saksi Korban Joko Widodo
Keterangan Bambang Tri soal Ijazah Joko Widodo palsu inilah, yang dianggap berita bohong. Karena itu, kalau Saksi Joko Widodo tidak hadir maka tidak ada korban kebohongan. Oleh : Ahmad Khozinudin, SH, Ketua Tim Advokasi Gus Nur & Bambang Tri Mulyono HARI ini (Selasa, 27/12) adalah sidang kedua dengan agenda pemeriksaan saksi dari JPU. Pada sidang yang lalu, JPU menyatakan akan menghadirkan 5 orang saksi. Penulis saat menulis artikel ini telah berada di sekitar PN Surakarta. Penulis dengan sejumlah tim advokasi Gus Nur dari Solo, akan kembali bersidang dengan menghadirkan Terdakwa secara offline, untuk agenda pemeriksaan saksi dari Jaksa Penuntut Umum (JPU). Pada sidang yang lalu (29/12), kami tim Penasehat Hukum sudah meminta kepada JPU melalui majelis hakim, agar saksi Dodo Baidlowi selaku pelapor dalam perkara ini dihadirkan diawal pemeriksaan. Kami tak ingin, pengalaman Gus Nur saat dilaporkan Banser NU pada kasus sebelumnya tidak terulang. Gus Nur sudah pernah masuk penjara dengan vonis 10 bulan, karena laporan Banser NU. Saat itu, saksi pelapor dan korban ada Yaqut Cholil Qoumas (saat ini pejabat Menag) dan Sa\'id Aqil Shiroj (dahulu Ketum PBNU). Pasalnya, Gus Nur dianggap mencemarkan Banser dan NU melalui unggahan video di kanal Youtube yang potongan videonya beredar di berbagai sosial media. Dalam berkas perkara, ada BAP atas nama saksi Yaqut Cholil Choumas dan saksi Said Aqil Shiroj. Keduanya diperiksa dan diambil keterangannya di tingkat kepolisian. Hanya hingga putusan, dua saksi ini tidak pernah diambil keterangannya di persidangan. Padahal, menurut KUHAP, saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri (pasal 1 angka 27 KUHAP). Lebih spesifik dalam pasal 185 ayat (1) KUHAP disebutkan: “Keterangan saksi sebagai alat bukti adalah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan”. Berdasarkan ketentuan pasal ini, maka semestinya tidak terbukti unsur pencemaran terhadap Banser maupun NU karena pencemaran adalah delik aduan. Karena keterangan Saksi Yaqut Cholil Choumas dan Saksi Said Aqil Shiraj tidak dinyatakan di pengadilan. Namun, anehnya Gus Nur tetap divonis 10 bulan penjara. Dalam kasus Mubahalah Ijazah palsu Jokowi ini yang dianggap menista agama, mengedarkan kabar bohong, maka saksi pelapor harus dihadirkan. Jangan sampai terulang kasus pencemaran Banser NU, tapi saksi pelapor dan sebagai korbannya tidak pernah dihadirkan di persidangan. Lebih dari sekedar itu, selain saksi pelapor Dodo Baidlowi maka saksi Saudara Joko Widodo juga harus dihadirkan. Karena konten Mubahalah Gus Nur adalah terkait keterangan Bambang Tri Mulyono yang meyakini ijazah SD, SMP, SMA dan S-1 Joko Widodo palsu. Keterangan Bambang Tri soal Ijazah Joko Widodo palsu inilah, yang dianggap berita bohong. Karena itu, kalau Saksi Joko Widodo tidak hadir maka tidak ada korban kebohongan. Yang lebih penting selain hadir di persidangan adalah Saksi Joko Widodo bisa menunjukan ijazah yang dimilikinya di hadapan persidangan, untuk memastikan Ijazah Joko Widodo asli dan Bambang Tri telah bohong soal ijazah Joko Widodo. Kalau saksi Joko Widodo tidak dihadirkan, maka tidak ada kabar bohong. Bahkan, publik berhak ikut meyakini bahwa ijazah SD, SMP, SMA dan S-1 Joko Widodo adalah palsu, sebagaimana keterangan dan keyakinan Bambang Tri Mulyono dalam Mubahalah yang dibimbing Gus Nur. (*)
Gagah-Gagahan Jokowi Versus Protes Daerah
Kalau diasumsikan harga nikel sebesar US$ 23 ribu per ton, padahal pada Maret 2022, harga nikel sempat menclok di level US$ 50 ribu per ton, angka totalnya ketemu Rp 34 triliun. Oleh: Nasmay L. Anas, Wartawan Senior dan Pemerhati Persoalan Publik SEMPAT viral, ketika Presiden Joko Widodo memperingatkan Gubernur Maluku Utara (Malut) Abdul Ghani Kasuba untuk berhati-hati membuat kebijakan. Karena, menurut presiden, propinsi itu dinyatakan sebagai daerah dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi di dunia. Luar biasa, karena mencapai 27 persen. Tidak ada daerah lain di belahan dunia mana pun di masa sekarang yang mengalami pertumbuhan ekonomi setinggi itu. Dengan gagahnya Presiden Jokowi mengatakan, “Hati-hati Pak Gubernur! Hati-hati Maluku Utara, hati-hati, hati-hati! Jangan main-main, karena pertumbuhan ekonomi di Maluku Utara itu 27 persen.” Presiden Jokowi juga menambahkan, “Pertumbuhan ekonomi di Malut sudah tinggi sekali. Paling tinggi di dunia. Enggak percaya? Cek, mana ada pertumbuhan ekonomi sebuah provinsi 27 persen.” Hal itu dikemukakan Jokowi, saat membuka Pertemuan Tahunan Bank Indonesia di JCC, Jakarta Pusat, Rabu, 30 November 2022. Pertanyaannya: Mengapa Propinsi Malut bisa mengalami pertumbuhan ekonomi begitu pesat? Meminjam istilah Jokowi: Meroket! Dan tentu saja, jawabannya: Karena menurut presiden, telah terjadi hilirisasi industri di sana. Sebab saat ini di sana telah dibangun smelter nikel. Sehingga hasil tambang bisa diolah terlebih dahulu sebelum diekspor ke luar negeri. Tidak tanggung-tanggung, Jokowi juga menyebut inflasi di Maluku Utara rendah dibanding daerah lainnya. Hanya 3,3 persen. Karena itu, beberapa survei menyebut, masyarakat Maluku Utara sebagai paling bahagia di Indonesia. Pertanyaannya lagi: Benarkah demikian? Benarkah masyarakat di Malut merupakan yang paling bahagia di Indonesia? Yang jelas, ternyata Gubernur Malut Abdul Ghani Kasuba mengeluhkan peringatan presiden itu. Karena menurut dia, pertumbuhan ekonomi tersebut tidak berpengaruh kepada kehidupan masyarakat Malut. “Pertumbuhan ekonomi tinggi, sebenarnya masyarakat tidak menikmati apa-apa,” ujarnya. Hal itu disampaikannya kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, ketika dia bicara dalam Rapat Kerja Nasional Pengelolaan Dana Lingkungan Hidup Tahun 2022 di Gedung AA Maramis, Kemenko Perekonomian, Rabu (21/12/2022). Seperti dilansir detikFinance, Rabu, 21 Des 2022. Meski Abdul Gani tidak mengemukakan pernyataannya itu sebagai sebuah protes keras, namun orang dapat menilai. Bahwa pernyataan presiden itu tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan. Bahwa masyarakat paling bahagia di Indonesia adalah masyarakat Malut adalah omong kosong. Sebab, sejumlah fakta justru memperlihatkan banyak hal yang berbeda. Jauh sekali dari apa yang diungkapkan presiden. Karena faktanya adalah sebagai berikut: Pertama, tambang nikel di Maluku Utara hanya tinggalkan kerusakan alam. Menurut catatan Walhi Maluku Utara, pertambangan nikel di Malut telah mengakibatkan hilangnya hutan alam di pulau kecil seluas 16.000 hektar itu. Hanya dalam 15 tahun terakhir. Kedua, Industri pertambangan nikel tersebut juga mencemari laut dan menyebabkan penurunan jumlah nelayan. Direktur Walhi Malut Faizal Ratuela menyebutkan, sepanjang tahun 2014 hingga 2018 saja, telah terjadi penurunan jumlah nelayan secara sangat drastis. Dari 8.587 pada 2014 menjadi 3.532 orang pada 2018. Ketiga, Malut yang kondang sebagai provinsi kaya nikel, ternyata tidak mampu membuat rakyatnya sejahtera. Ekonom Pergerakan Kedaulatan Rakyat (PKR), Gede Sandra menyebutkan, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Tahun 2021, sebanyak 70 persen warga Malut tidak dapat mengakses makanan bergizi. Keempat, penyebab utama ketidakmampuan mereka membeli makanan bergizi adalah karena kemiskinan. Badan Pusat Statistik Provinsi Maluku Utara, seperti dilansir malut.bps.go.id, konsumsi daging oleh Penduduk Maluku Utara sangat rendah. Hanya 0,2 persen rata-rata setiap bulannya. Kelima, prevalensi stunting di Provinsi Maluku Utara berdasarkan Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2021 sebesar 27, 5 persen. Hal ini diungkapkan Kepala Perwakilan BKKBN Provinsi Maluku Utara, Renta Rego, di Hotel Sahid Bela Ternate, Kamis (14/9/2022). Bahkan dia menegaskan bahwa sebenarnya datanya jauh lebih tinggi. Karena, “Angka prevalensi stunting di Maluku Utara, yang tertinggi Kabupaten Taliabu, yakni sebesar 35,2 persen,” katanya. Mengapa semua ini terjadi? Tak dapat dipungkiri, karena upaya menyejahterakan rakyat tidak berjalan. Sementara, menurut sejumlah sumber yang layak dipercaya, China leluasa mengangkut nikel ke negaranya. Luput dari pajak dan kewajiban lainnya. Hilirisasi tambang nikel, seperti diungkapkan presiden, sama sekali tidak terbukti. Semua karena dari hulu sampai hilir dikuasai Cina. Pemerintah daerah tak punya kuasa apa-apa. Protes Daerah Dalam beberapa waktu terakhir, aksi protes Bupati Kepulauan Meranti H. Muhammad Adil, SH, MM, terhadap Kementerian Keuangan juga tidak kalah viral. Duduk perkara Bupati Kepulauan Meranti marah-marah itu adalah karena dalam Pengelolaan Pendapatan dan Belanja Daerah, dia menilai Kemenkeu tidak adil. Karena, Kemenkeu memberikan dana bagi hasil (DBH) yang nilainya kecil atas produksi minyak Meranti. Adil melancarkan protesnya di hadapan Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan (Kemenkeu), Luky Afirman. Dalam acara yang digelar di Menara Dang Merdu, Bank Riau Kepri Syariah, Pekanbaru, beberapa waktu lalu. Saking kesalnya dalam Rakornas Pengelolaan Pendapatan dan Belanja Daerah di Pekanbaru, Kamis (8/12/2022) lalu itu, Adil bahkan sempat melontarkan kata \"ibl**\" dan \"set**\". Sehingga Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) memberikan teguran keras kepada Bupati Kepulauan Meranti itu. Pada awalnya, Adil menerangkan DBH yang diterima Kabupaten Kepulauan Meranti senilai Rp 114 miliar yang didasarkan pada perhitungan harga minyak 60 dollar AS per barel pada 2022. Dari situlah, Adil kemudian mengungkit-ungkit pernyataan Presiden Jokowi yang mengatakan, harga minyak dunia mengalami kenaikan 100 dollar AS per barel, dalam pembahasan APBD 2023. Sejumlah daerah yang dinyatakan kaya akan SDA, tetapi rakyatnya tetap miskin secara perlahan tapi pasti terus menggeliat. Mereka protes karena merasa dibohongi. Penyebabnya, tentu saja, bukan hanya karena DBH yang tidak adil. Tapi juga ketidakpedulian pemerintah pusat terhadap upaya menyejahterakan rakyat setempat. Dalam hal ini coba perhatikan apa yang sempat dikemukakan pengusaha Mardigu Wowiek Prasantyo alias Bossman Mardigu. Melalui akun YouTube-nya, dia menceritakan sebuah desa bernama Desa Lelilef di Halmahera Tengah (Halteng). Di mana sekarang banyak berdiri perusahaan tambang China. Di desa yang pernah dikunjungi 10 tahun lalu, kini banyak dihuni pekerja China. “Kondisinya beda dengan 10 tahun lalu. Di mana, Lelilef menjadi kota tambang, kota nikel yang luar biasa sibuk. Lebih kaget lagi, wajah penduduk Lelilef, sangat berbeda. Bukan lagi manusia lokal yang saya lihat 10 tahun lalu,” tuturnya. Dia menyebut salah satu perusahaan tambang China bernama Tsingshan Holding Group. Ini bukan perusahaan ecek-ecek. Di China, Tsingshan HG adalah perusahaan tambang baja dan nikel terbesar. Yang sedikitnya memboyong 800.000 ton nikel dari Desa Lelilef ke China, melalui pelabuhan pribadinya. Kalau diasumsikan harga nikel sebesar US$ 23 ribu per ton, padahal pada Maret 2022, harga nikel sempat menclok di level US$ 50 ribu per ton, angka totalnya ketemu Rp 34 triliun. Tsingshan HG jadi sangat kaya. Dibiarkan mengeruk SDA Halteng begitu leluasa. Tapi sama seperti di Malut, rakyat di daerah itu tetap dibiarkan miskin. (*)
“Birahi” Hasyim Asy'ari Menodai Demokrasi
Demokrasi Indonesia dan Pemilu 2024 sedang menghadapi ancaman dari dalam, dari pelaksana pemilu itu sendiri, yaitu KPU. Tentu hal ini tak boleh dibiarkan, karena akan merugikan bangsa Indonesia. Oleh: Isa Ansori, Kolumnis DEMOKRASI Indonesia menuju titik nadhir. Betapa tidak. Setelah praktik penunjukan Plt Pejabat Kepala Daerah yang dibajak oleh Mendagri Tito Karnavian dengan penunjukan langsung. Lalu, penjegalan kepada Anies Baswedan, bakal capres yang tidak dikehendaki oleh Istana dan Oligarki melalui upaya-upaya mempersulit perizinan, perilaku presiden melalui endorcing terhadap bakal capres tertentu, pembiaran kepada bakal capres tertentu yang dikehendaki meski masih menjabat sebagai kepala daerah ataupun menteri. Tafsir KPU tentang larangan kepada bakal capres, cawapres dan caleg yang mengatakan dirinya sebagai bakal capres, bakal cawapres dan caleg sebelum penetapan dan yang terakhir perilaku Ketua KPU, Hasyim Asy\'ari atas dugaan asusila terhadap Ketua Umum Partai Republik Satu (PRS), Hasnaeni Moein. Birahi yang dimaksud bukan hanya syahwat politik tapi syahwat seksual, sebagaimana dugaan yang dilakukan oleh Hasyim Asy\'ari kepada Hasnaeni. Dalam kesaksiannya yang beredar viral melalui medsos, Hasnaeni menyebut bahwa ada bujuk rayu Hasyim, yaitu partainya akan diloloskannya dengan imbalan tertentu, imbalan itu berupa permintaan Hasyim supaya Hasnaeni melayani birahi seksualnya. Tampaknya Hasyim Asy\'ari tak hanya tak kuasa menahan hasrat seksualnya ketika berhadapan dengan Hasnaeni, tapi birahi politiknya juga tidak bisa ditahan, sehingga tanpa merasa bersalah dia sampaikan ke Hasnaeni bahwa calon presiden dan wakil presiden yang dipersiapkan adalah Ganjar Pranowo -Erick Thohir. Tanpa beban ketika Hasnaeni ditanya di dalam video yang beredar, “Masuk nggak itu burungnya Hasyim?” “Masuklah Pak”. Itu artinya bahwa perbuatan tersebut dilakukan dengan sadar dan sama-sama suka. Hasyim menikmati petualangannya dan Hasnaeni juga mau karena dijanjikan partainya akan diloloskan untuk mengikuti Pemilu 2024. Demokrasi Indonesia dan Pemilu 2024 sedang menghadapi ancaman dari dalam, dari pelaksana pemilu itu sendiri, yaitu KPU. Tentu hal ini tak boleh dibiarkan, karena akan merugikan bangsa Indonesia. Tentu ini menodai dan mengkhianati perjuangan rakyat dan mahasiswa tahun 1998 ketika menumbangkan orde baru. Mantan aktivis 1998 yang hari ini tentu masih banyak dan masih memegang nilai-nilai anti korupsi, kolusi dan nepotisme sangat dihinakan dan dilecehkan oleh persekongkolan jahat oknum KPU dan oligarki dengan mengendalikan partai politik. Tak ada kata kompromi untuk yang seperti ini, meminjam apa yang pernah disampaikan oleh Wiji Thukul: Peringatan jika rakyat pergi, ketika penguasa pidato, kita harus hati-hati, barangkali mereka putus asa; Kalau rakyat bersembunyi dan berbisik-bisik ketika membicarakan masalahnya sendiri, penguasa harus waspada dan belajar mendengar; Bila rakyat berani mengeluh, itu artinya sudah gasat, dan bila omongan penguasa tidak boleh dibantah, kebenaran pasti terancam; Apabila usul ditolak tanpa ditimbang, suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan, dituduh subversif dan mengganggu keamanan, maka hanya ada satu kata: lawan! Surabaya, 25 Desember 2022. (*)